Bukalapak Kantongi Laba Bersih Rp8,59 Triliun di Semester I 2022

PT Bukalapak.com Tbk (IDX: BUKA) mengantongi laba bersih sebesar Rp8,59 triliun atau meroket 1.220% pada semester I 2022 dari kerugian Rp763 miliar di periode sama tahun lalu. Laba bersih ini adalah hasil dari nilai investasinya di PT Allo Bank Tbk (IDX: BBHI).

Namun, Bukalapak masih mencatatkan EBITDA minus Rp732 miliar dengan rasio adjusted EBITDA terhadap Total Processing Value (TPV) membaik dari -1,2% menjadi -1% pada semester I 2022.

“Meski sudah mencatat laba bersih, kami tetap fokus pada kinerja operasional. Maka itu, kami tetap menggunakan adjusted EBITDA sebagai indikator kinerja perusahaan,” demikian pernyataan manajemen Bukalapak dalam keterangan resminya.

Berdasarkan laporan keuangan, Bukalapak membukukan total pendapatan sebesar Rp1,6 triliun atau naik 96% dari periode sama tahun lalu yang sekitar Rp863 miliar.

Jika dirinci, pendapatan dari lini bisnis Mitra naik 235% menjadi Rp969,3 miliar. Adapun, kontribusi pendapatan Mitra merangkak dari 33% menjadi 55% (YoY).

Sementara, lini Marketplace mengantongi pendapatan sebesar Rp648 miliar atau tumbuh 22,4% (YoY). Marketplace menyumbang 38% terhadap total pendapatan Bukalapak. Lini Buka Pengadaan juga mencatatkan pertumbuhan sebesar 65% menjadi Rp73,5 miliar meski baru berkontribusi 4,3% ke pendapatan.

Marjin kontribusi Bukalapak naik dari -0,2% menjadi -0,1%. Marjin ini dihitung sebagai laba kotor dikurangi beban penjualan dan pemasaran terhadap TPV. Adapun, marjin kontribusi Mitra terhadap TPV Mitra membaik dari -0,5% menjadi -0,4%. Rasio beban umum dan administrasi terhadap TPV juga membaik menjadi 1% dari periode sama tahun lalu 1,2%

TPV Mitra

Lebih lanjut, Bukalapak membukukan total TPV sebesar Rp70,6 triliun pada semester I 2022 atau naik 25% dibanding periode sama tahun lalu. Dari total tersebut, TPV Mitra menyumbang Rp34,9 triliun dengan kenaikan 46% (YoY).

Di kuartal II saja, total TPV meningkat 24% menjadi Rp36,5 triliun di mana TPV Mitra menyumbang Rp17,7 triliun. Menurut perusahaan, sebanyak 75% dari total TPV disumbang dari wilayah luar tier 1 berkat pertumbuhan kuat pada digitalisasi warung dan toko ritel tradisional.

Saat ini, Bukalapak memiliki 14,2 juta mitra warung offline dan 6,8 juta merchant online. Adapun, Bukalapak berupaya mendorong utilisasi lini Mitra, Marketplace, channel online, termasuk specialized platform (itemku, Allo Fresh, dan Bmoney) untuk memonetisasi trafiknya.

Dalam paparan publik beberapa waktu lalu, Presiden Bukalapak Teddy Oetomo mengungkap tengah memperkuat layanan keuangan sebagai tulang punggung dari seluruh lini bisnis Bukalapak. Misi utamanya adalah meningkatkan inklusi keuangan pada pemilik warung atau UMKM di Mitra Bukalapak.

Per akhir Juni 2022, posisi kas Bukalapak mencapai Rp20 triliun.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Blibli Perbanyak Gerai Offline untuk Strategi Omnichannel

Blibli terus ekspansif perluas ekosistem omnichannel-nya melalui gerai offline. Ditargetkan pada 2024 mendatang, perusahaan dapat memiliki gerai hingga 300 unit. Langkah ini akan dicapai dengan menggandeng lebih banyak brand, khususnya untuk menjual perangkat gadget seperti handphone, dan bangun sendiri (independen).

“Kita sangat optimis akan buka 300 toko pada 2024 mendatang. Ini rencana serius kalau kita punya 300, kita akan jadi nomor dua terbesar di Indonesia. Nomor satunya kita tahu siapa [Erajaya],” ucap EVP of Consumer Electronics Blibli Wisnu Iskandar saat perayaan ulang tahun ke-11 Blibli, Senin (26/7).

Seperti diketahui, Blibli gencar masuk ke ranah offline untuk mewujudkan strategi omnichannel yang sudah dijalankan sejak 2016, ditandai dengan kehadiran Blibli Instore. Adapun peluncuran gerai offline itu sendiri dilakukan melalui anak usaha Blibli, PT Global Teknologi Niaga (GTN).

Dalam gerai offline milik Blibli ini, di antaranya mencakup Blibli Store (toko gadget dan elektronik), Blibli Mart (minimart), gerai Tukar Tambah, dan Samsung Experience Store. Khusus yang terakhir, Blibli akan menambah kemitraan dengan brand gadget lainnya, salah satunya dengan Xiaomi. Strategi ini serupa dengan yang dilakukan Erajaya, yang bekerja sama dengan iPhone (iBox), Samsung dan Huawei, lewat anak-anak usahanya.

Saat ini gerai offline Blibli sudah tersebar di 87 titik di Jabodetabek dan kota-kota besar di pulau Jawa, Medan, dan Makassar sejak pertama kali meluncur pada tahun lalu. Wisnu menyebut hingga akhir 2022 ini, perusahaan menargetkan dapat memiliki 160 gerai. Kota-kota di Sumatera dan Kalimantan masuk ke dalam daftar berikutnya yang siap disambangi.

Khusus di Blibli Store, lanjut dia, pengunjung bisa mendapatkan beragam promosi hingga layanan after sales seperti garansi kerusakan. Dalam waktu dekat, akan tersedia garansi buyback untuk pembelian gadget tertentu dari brand dan berlaku untuk produk flagship (premium) saja.

“Enggak semua brand kita entertain. Ada dua brand yang kita lakukan dan hanya untuk produk flagship karena untuk define harga agak sulit, harus ada forecast harga. Lagipula karena ini fitur baru, jadi akan lebih nyaman kalau untuk barang premium dulu [sebagai langkah awal].”

Kekuatan Blibli di produk gadget dan elektronik sejak awal berdiri, menjadi kenyamanan bagi perusahaan untuk meluncurkan berbagai fitur yang memudahkan konsumen. Terlebih lagi sebagai perusahaan teknologi, proses adopsi teknologi dari digital ke offline akan lebih mulus saat mengimplementasikan solusi omnichannel.

“Fokus kita adalah mengembangkan teknologi makanya banyak fitur yang kita rilis seperti Click&Collect untuk omnichannel. Kedua, karena kita itu consumer centric, kita tanamkan sales di sini harus punya product knowledge yang bagus.”

Khusus untuk Blibli Mart, sejauh ini baru ada satu lokasi yang terletak di kantor pusat Blibli di Gedung Sarana Jaya, Jakarta Pusat. Peresmian gerai ini sudah dilakukan pada awal 2020, mengadopsi konsep tanpa kasir (cashierless) dan pembayaran non-tunai (cashless).

Kategori barang sehari-hari dan elektronik, merupakan kontributor pendapatan terbesar di Blibli secara keseluruhan, terutama semenjak pandemi. Khusus untuk barang elektronik, tercatat tumbuh dua kali lipat sepanjang 2020 dibandingkan tahun sebelumnya. Kemudian, pada semester I 2022 ini tumbuh hingga 60% secara year-on-year.

Strategi omnichannel

Dalam kesempatan yang bersamaan, turut disampaikan oleh SVP O2O Blibli David Michum bahwa solusi omnichannel adalah masa depan bagi industri e-commerce karena menciptakan suatu fleksibilitas bagi konsumen untuk berbelanja secara online maupun offline. “Kunci dari kami adalah menjaga kepercayaan konsumen dengan menggandeng seller partner terpercaya agar konsumen tetap senang,” katanya.

Sejak 2016 masuk ke omnichannel melalui Blibli InStore, fitur ini memungkinkan konsumen bisa belanja online dari perangkat yang disediakan Blibli di toko offline yang telah menjadi merchant resmi. Keuntungan yang konsumen terima adalah beragam pilihan pembayaran dari Blibli, seperti cicilan 0%, metode pembayaran yang fleksibel, program loyalitas, dan customer care 24/7.

Dua tahun kemudian, merilis Click&Collect yang memungkinkan konsumen untuk berbelanja online di Blibli tanpa harus menunggu kurir mengantarkan pesanan ke alamat tujuan, Fitur ini menggabungkan dua kebiasaan konsumen saat berbelanja di platform online dan online. Konsumen online menggunakan platform untuk membandingkan harga, cari promosi, dan fitur. Di sisi lain, konsumen offline berbelanja karena ingin lihat barang, trial, dan memegang barang yang akan dibeli.

Lewat akuisisi jaringan supermarket di bawah PT Supra Boga Lestari, turut menambah persebaran titik Click&Collect di Blibli. Ekosistem Bliblimart kini telah terintegrasi dengan lebih dari 60 gerai milik Ranch Market Group dan Ranch Market Official Store. Kebutuhan konsumen akan kebutuhan sehari-hari, mulai dari produk segar, makanan segar, hingga kebutuhan ibu dan anak, dapat terpenuhi.

Hingga saat ini, Blibli mencatat memiliki lebih dari 9,500 merchant Blibli InStore, 12,000 pick up point Click&Collect, dan Blibli Mitra yang telah menghadirkan solusi bisnis digital terpadu bagi lebih dari 100 ribu mitra di 34 provinsi. Di luar itu, perusahaan juga menawarkan nilai tambah, seperti jaminan 100% produk original, pengiriman 2 Jam Sampai, Trade-In, dan asuransi untuk memberikan kepuasan bagi pelanggan.

Application Information Will Show Up Here

Mapan Tak Sekadar Platform “Social Commerce” untuk Ibu Pedesaan

Sektor e-commerce adalah mesin utama penggerak berbagai inovasi digital, mulai dari pembayaran, logistik, hingga pemberdayaan UMKM. Namun, isu pemerataan masih melekat bagi negara berkembang, seperti Indonesia yang memiliki ribuan pulau, menjadi cikal bakal lahirnya konsep social commerce.

Menurut Research and Markets (2021) dan Alpha JWC Ventures & Kearney (2021) seperti yang disusun DSInnovate dalam laporan “Social Commerce Report: Digitizing the Second-Tier Cities”, pangsa pasar di segmen ini mencapai $8,6 miliar pada 2022 dengan pertumbuhan CAGR per tahunnya sebesar 55%. Diprediksi segmen ini akan tumbuh $86,7 miliar pada 2028 mendatang dengan CAGR 47,9%.

Segmen social commerce yang menargetkan pengguna di kota tier dua dan tiga ini diprediksi pertumbuhan ekonomi digitalnya akan meningkat hingga lima kali lipat pada 2025 mendatang. Kota-kota di luar kota metropolitan juga akan menjadi kontributor GDP dengan angka 3-5% pada 2030, atau senilai $46-77 miliar.

Pasar yang besar inilah yang menjadikan banyak bermunculannya para pemain social commerce. Masih mengutip dari laporan yang sama, setidaknya ada 16 startup yang terdeteksi beroperasi di Indonesia. Mapan bisa dikatakan sebagai pemain tertua, dengan nama sebelumnya RUMA yang sudah beroperasi sejak 2009.

Startup yang didirikan Aldi Haryopratomo ini mengawali perjalanannya dengan menjadi salah satu pionir agen layanan pulsa dan PPOB (payment point online bank) yang beroperasi di Jawa dan Bali. Kemudian pada 2015, meluncurkan Mapan Arisan, terobosan untuk memenuhi kebutuhan produk dasar rumah tangga melalui aplikasi arisan digital. Produk tersebut akhirnya menjadi flagship dan pembeda di antara pemain social commerce kebanyakan.

Pemetaan posisi Mapan terhadap pemain social commerce lain, bila mengacu dari laporan DSInnovate, tidak ada yang menjadi kompetitor langsung, baik itu dari sisi produk maupun model bisnis. Dari sisi produk, Mapan bersanding dengan Berkahi, IbuSibuk, dan Selleri untuk menyajikan rangkaian produk lainnya dan fesyen. Sementara dari model bisnis, Mapan dengan posisi sebagai group buy, bersanding bersama dengan Grupin, Kitabeli, dan Credimart.

 

Perjalanan Mapan Arisan

Aplikasi ini memiliki cara kerja mirip dengan konsep arisan konvensional pada umumnya, yakni menggunakan kocokan untuk menentukan siapa yang mendapatkan giliran di periode tertentu. Bedanya, anggota arisan dimotivasi untuk mencicil barang yang diinginkan, seperti peralatan dapur, rumah tangga, dan furnitur, dan dibeli melalui katalog yang sudah disediakan Mapan.

Seiring berjalannya waktu, katalog Arisan Mapan terus ditambah. Kini tersedia pilihan produk elektronik, gadget, hingga mainan anak, yang disediakan oleh lebih dari 200 brand prinsipal yang telah bermitra.

Anggota dapat memilih barang yang berbeda-beda dalam satu grup. Kemudian, aplikasi akan menentukan dan menyesuaikan jumlah setoran sesuai dengan jenis dan harga barang yang diinginkan. Celah ini bisa dilihat sebagai cara untuk meningkatkan daya beli rumah tangga di kalangan ekonomi menengah ke bawah.

Ketua arisan akan mendaftarkan kelompok arisannya dengan minimal lima orang ini, dengan masukkan nama, nomor ponsel, alamat, dan pesanan anggota arisan. Kemudian mengisi alamat pengiriman, untuk nantinya dikirim langsung ke alamat anggota arisan. Secara bersama-sama tiap kelompok juga menentukan tanggal kocokan sebagai batas akhir pembayaran setoran. Pemenang arisan tiap bulannya akan diumumkan setelah setoran kelompok berhasil dibayar.

Ketua arisan, yang menjadi perpanjangan tangan dari Mapan, menjadi channel pembayaran tagihan dari para anggotanya. Anggota itu sendiri dapat menyetor uang arisannya berbentuk tunai, atau transfer melalui Gopay. Sebelum arisan selesai dikocok, ketua yang akan menyetorkan seluruh dana ke Mapan, melalui Gopay atau transfer rekening bank.

Konsep Mapan Arisan yang begitu dekat dengan target pengguna Gojek ini akhirnya menginisiasi masuknya Mapan ke dalam ekosistem Gojek sampai resmi diakuisisi penuh pada 2017. Setahun sebelumnya, kedua perusahaan melakukan kerja sama bisnis menyasar pasangan dari mitra Gojek menjadi ketua arisan.

Katalog Mapan Arisan / Mapan

Arisan = social commerce

Dalam wawancara bersama DailySocial.id, CEO Mapan Ardelia Apti menyampaikan konsep arisan ini dapat menjadi pintu masuk menuju akses keuangan yang lebih layak. Isu dari kelas menengah ke bawah adalah belum adanya akses ke layanan perbankan karena nihilnya histori kredit, sehingga banyak yang lari ke pinjaman berbunga besar.

Kondisi ini membuat kelompok masyarakat ini tidak punya banyak pilihan ketika ingin membeli barang dengan harga mahal. Menurut Ardel, panggilan akrab Ardelia, konsep arisan yang diadopsi Mapan ini masyarakat diperkenalkan dengan cara menabung untuk membeli barang yang diinginkan, dengan tetap mengedepankan prinsip kedisiplinan.

“Kami mengawinkan jiwa masyarakat Indonesia yang erat dengan komunitas yang memiliki banyak faktor, yakni mereka senang punya hubungan sosial, tapi level kepercayaannya rendah terhadap perusahaan atau metode pembayaran baru yang tidak dikenal. Komunitas diperlukan sebagai channel untuk mendapatkan informasi baru,” ujar dia.

Selain menggabungkan konsep arisan dengan menabung, Mapan mengurasikan barang-barang pilihan yang cocok dan dibutuhkan anggota arisan agar semakin dipermudah saat memilih barang. Juga, permudah aspek pembayarannya, tidak perlu ada KYC untuk jadi anggota arisan karena ini semua dilakukan dengan berdikari. Akses terhadap kualitas barang yang bagus ternyata adalah isu yang cukup sering dialami oleh masyarakat di luar kota besar.

“Buat grup arisan sendiri karena ini bukan untuk kredit atau menabung, sehingga enggak ada risiko finansial. Kalau ada anggota yang gagal bayar, akan diatur secara kekeluargaan oleh grupnya. Kita pegang ketua arisan sebagai agen kami untuk bantu proses perkenalan pasar.”

Dia melanjutkan, “Kita buat produk arisan di Mapan ini relevan, mulai dari cara pembayaran dan bentuk komunitas, tujuannya agar masyarakat bisa lebih percaya dengan ekosistem yang kita buat.”

Selain Mapan Arisan, perusahaan juga mengembangkan solusi lainnya, yakni Mapan Pulsa (PPOB) dan Mapan Mart (platform berjualan sembako dan kebutuhan rumah tangga). Keduanya adalah channel tambahan bagi ketua arisan (disebut agen) untuk memperoleh penghasilan di luar penghasilan utama dari suami demi menyokong keluarga.

Mapan menargetkan pengguna dari kalangan perempuan yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga atau pemilik warung, ingin berkontribusi buat keluarganya. Ardel menceritakan, kondisi nyata yang dialami oleh seorang agen Mapan bahwa ia berhasil memberikan performa terbaik hingga penghasilan yang diterima akhirnya menjadi penghasilan utama di keluarganya.

“Rentang usia pengguna kami dari usia 35-50 tahun. Yang kami rekrut sebagai agen itu adalah ibu-ibu yang sudah tech-savvy, early adopter, dan menjadi key opinion leader (KOL) di lingkungannya. Jadi minimal mereka sudah punya digital wallet dan bank payment, sebab mereka jadi perpanjangan tangan kami dan agen untuk mengedukasi teman-temannya.”

Tim Mapan / Mapan

Menjadi perusahaan berkelanjutan

Sebagai startup, Mapan juga dihadapkan pada tuntutan untuk menjadi perusahaan berkelanjutan. Ardel menuturkan, pendapatan perusahaan pada saat ini bersumber dari kemitraan dengan brand prinsipal yang menyuplai barang-barang di katalog Mapan Arisan. Ada sejumlah komisi yang diterima perusahaan apabila berhasil menjualnya ke anggota arisan.

Mapan memberikan akses kepada mereka ke komunitas terdalam yang sebelumnya belum bisa di rambah dengan cara yang unik. Sebelumnya, untuk masuk ke daerah diperlukan faktor pemengaruh langsung yang punya peranan penting agar dilirik masyarakat. “Dengan konsep arisan dan menghubungkan brand prinsipal, kami ada di tengah-tengah. Kami bisa profitable dengan generate profit dari B2B. Kita tidak charge interest sama sekali dari arisan.”

Tak hanya didorong dari B2B, operasional di internal Mapan sejak tiga tahun terakhir mulai menerapkan konsep light asset. Maksudnya, seluruh rantai pasok menggunakan kemitraan dengan pihak ketiga, baik dari pengadaan hingga pengiriman, termasuk pengadaan produk di Mapan Mart menggunakan kemitraan dengan Blibli. Mapan hanya menjadi channel penjualan bagi brand prinsipal untuk bertemu dengan target pembelinya.

“Karena kita hanya ambil behaviour existing, jadi enggak perlu ubah hal yang baru, apalagi burning banyak uang. Kebiasaan arisan ini sudah common, hanya perlu digitalisasi saja. Kami bisa naikin level profit dan growth jadi lebih baik dengan memanfaatkan partner karena ini penting buat scalability.”

Karena kecepatan pengiriman bukan jadi sesuatu yang didorong perusahaan, maka setiap barang yang dibeli anggota arisan paling lama sampai 7-14 hari sesuai dengan SLA dari Mapan dan tergantung kondisi di lapangan. Tapi tak jarang kalau di kota-kota besar, durasi pengiriman bisa memakan waktu kurang dari tujuh hari.

Meski tidak dirinci posisi perusahaan terhadap profitabilitas saat ini, Ardel memastikan ada beberapa metriks yang menunjukkan pertumbuhan yang lebih sehat. “Adanya likuiditas tambahan [fundraising] bisa mempercepat posisi kami bergerak menuju profitabilitas.”

Terkait agen Mapan sejauh ini diklaim telah tembus 250 ribu orang melayani lebih dari 3 juta pengguna, tidak disebutkan berapa orang yang aktif dari angka tersebut. Para agen ini tersebar di 250 kota lapis dua dan tiga di Jawa, Bali, Sumatera, Sulawesi, dan kota Kupang. Sayangnya tidak disebutkan pula kota-kota mayoritas agen Mapan.

Tak hanya ingin dikenal dengan arisan digitalnya, Mapan ke depannya ingin menjadi aplikasi yang memiliki berbagai produk untuk penghasilan tambahan bagi para agen , sekaligus aplikasi untuk belanja berbagai kebutuhan bagi konsumen akhir.

“Dari sisi commerce dan financial kami ingin lebih menyeluruh karena ke depannya Mapan harus jadi ekosistem dari berbagai produk dan layanan.”

Investasi tersebut akan didukung dari perolehan pendanaan Seri A senilai $15 juta yang beberapa lalu diumumkan perusahaan. Dengan demikian, target perusahaan untuk dapat menjangkau 10 juta keluarga Indonesia pada 2026 dapat terealisasi.

Application Information Will Show Up Here

KitaBeli Secures 299 Billion Rupiah Funding, Expanding into New Business and Categories

An FMCG-specific social commerce startup, KitaBeli, announced a $20 million (worth 299.5 billion Rupiah) funding round led by Glade Brook Capital Partners, an American equity investment firm. KitaBeli’s previous investors, AC Ventures, and Go-Ventures also participated, along with a new investor, Innoven Capital.

KitaBeli is to use the fresh money to continue expanding into second and third-tier cities across the country, while launching new product categories such as beauty, personal care, mother & baby products, and frozen foods.

KitaBeli is a social commerce platform that offers FMCG products and allows users and partners to get discounts and earn money by leveraging their social network. This app allows consumers to enjoy discounted prices through a social and gamified shopping experience.

Unlike most e-commerce applications, KitaBeli runs a direct-to-consumer business model that offers buyers the basic necessities of daily life. KitaBeli combines PinDuoDuo’s ‘group buying’ approach and combines it with a local community approach.

“By being extremely consumer-focused, we have been able to achieve product-market fit and scale very fast in a historically untapped market,” explained Prateek Chaturvedi, co-founder and CEO of KitaBeli, Monday (18/7).

He continued, by leveraging the offline social networks of our Local Community Leaders (Mitras), we have been able to reach thousands of new users who are buying online for the first time in their lives. This has helped us build massive loyalty with our customers and enabled us to deliver better long-term margins than other players.”

“Glade Brook is one of the most experienced growth stage investors we’ve met, and their experience in e-commerce and social commerce across emerging markets globally is unmatched. The experience and insight that Linda Guo, Paul Hudson and their entire team have brought to this space convinced us that they are the right partners on our journey.” he said.

Glade Brook Capital Partners’ Partner, Linda Guo said, “We are excited to partner with KitaBeli to bring better, more affordable ecommerce access to second-tier communities in Indonesia. We believe the next wave of ecommerce growth in Indonesia will be driven by consumer demand outside major cities like Jakarta.”

AC Ventures Founder & Managing Partner Adrian Li added, the company’s commitment to KitaBeli further substantiates our thesis that Indonesia’s next frontier of ecommerce users will come from second- and third-tier cities in Indonesia. KitaBeli has focused on creating a solution that is well-suited for rural consumers. It utilizes social hooks and gamification to push engagement and employs a hyper-local community delivery model.

“KitaBeli’s product-led approach and operational excellence has demonstrated powerful customer engagement, strong top-line growth, and promising take rate expansion. We are enthusiastic about KitaBeli’s future and excited to have been a part of the journey from the very beginning,” Adrian said.

Opportunities in the second and third tier cities

Chaturvedi said that historically, expansion into rural areas has not been widely implemented by other players. Whereas second and third-tier cities in Indonesia currently represent a market of more than $100 billion, with over 200 million consumers and contributions exceeding 50% of the country’s GDP. However, this opportunity is not immune to the following issues.

For example, consumers often experience longer delivery times for online shopping orders. KitaBeli provides solutions by building warehouses in its operational areas, enabling it to make same-day and next-day deliveries straight to the customer.

Furthermore, consumers are often hitched with higher prices due to broken supply chains. This often results in 10%-50% cost higher than consumers living in Jakarta. By sourcing products directly from brands and principals, KitaBeli provides huge savings to consumers.

“Also, consumers in second-and third-tier cities often have trust issues with e-commerce as they don’t familiar with the person they doing business with. In order to solve the trust issues, KitaBeli employs a different strategy from its competitors, focusing on consumers’ offline networks and encouraging them to invite friends and family to use the platform.”

Over the past few months, KitaBeli claims to have grown more than 10 times and this achievement makes the company a leading player in this vertical in Indonesia.

Download the recent Social Commerce report published by DailySocial.id here. Discussing the trend and business model of Indonesian Social Commerce.

Application Information Will Show Up Here

KitaBeli Raih Pendanaan 299 Miliar Rupiah, Siap Perluas Bisnis dan Kategori Baru

Startup social commerce khusus produk FMCG KitaBeli mengumumkan telah menyelesaikan putaran pendanaan senilai $20 juta (senilai 299,5 miliar Rupiah) yang dipimpin oleh Glade Brook Capital Partners, perusahaan investasi ekuitas asal Amerika Serikat. Investor KitaBeli sebelumnya, yakni AC Ventures, Go-Ventures juga turut bergabung, bersama investor baru, Innoven Capital.

KitaBeli akan memanfaatkan dana segar untuk melanjutkan ekspansi ke kota-kota lapis kedua dan ketiga di seluruh nusantara, sembari meluncurkan kategori produk baru seperti kecantikan, perawatan pribadi, produk ibu & bayi, dan makanan beku.

KitaBeli adalah platform social commerce yang menawarkan produk FMCG dan memungkinkan pengguna dan mitra mendapatkan diskon dan mendapatkan uang dengan memanfaatkan jejaring sosial mereka. Aplikasi ini memungkinkan konsumen untuk menikmati harga diskon melalui pengalaman belanja sosial dan gamified.

Berbeda dengan aplikasi e-commerce kebanyakan, KitaBeli menjalankan model bisnis direct-to-consumer yang menawarkan kebutuhan pokok kehidupan sehari-hari kepada pembeli. KitaBeli menggabungkan pendekatan ‘group buying’ ala PinDuoDuo dan menggabungkan dengan pendekatan komunitas lokal.

“Dengan sangat berfokus pada konsumen, kami telah mampu mencapai kesesuaian dan skala produk-pasar dengan sangat cepat di pasar yang secara historis belum dimanfaatkan,” jelas Co-founder dan CEO KitaBeli Prateek Chaturvedi dalam keterangan resmi, Senin (18/7).

Dia melanjutkan, dengan memanfaatkan jaringan sosial offline dari Pemimpin Komunitas Lokal (Mitra), perusahaan dapat menjangkau ribuan pengguna baru yang membeli secara online untuk pertama kalinya dalam hidup mereka. Langkah tersebut dapat membangun loyalitas dari pelanggan dan memungkinkan pihaknya untuk memberikan margin jangka panjang yang lebih baik daripada pemain lain.

“Glade Brook adalah salah satu investor tahap pertumbuhan paling berpengalaman yang pernah kami temui, dan pengalaman mereka dalam e-commerce dan social commerce di seluruh negara berkembang secara global tidak tertandingi. Pengalaman dan wawasan mendalam yang dibawa Linda Guo, Paul Hudson, dan seluruh tim mereka ke ruang ini meyakinkan kami bahwa mereka adalah mitra yang tepat dalam perjalanan kami,” ujarnya.

Partner Glade Brook Capital Partners Linda Guo menyampaikan, “Kami sangat senang dapat bermitra dengan KitaBeli untuk menghadirkan akses e-commerce yang lebih baik dan lebih terjangkau ke komunitas lapis kedua di Indonesia. Kami percaya gelombang pertumbuhan e-commerce berikutnya di Indonesia akan didorong oleh permintaan konsumen di luar kota-kota besar seperti Jakarta.”

Founder & Managing Partner AC Ventures Adrian Li menambahkan, komitmen perusahaan terhadap KitaBeli semakin memperkuat tesis yang menyatakan bahwa pengguna e-commerce berikutnya di Indonesia akan datang dari kota-kota tingkat kedua dan ketiga di Indonesia. KitaBeli telah berfokus pada penciptaan solusi yang cocok untuk konsumen pedesaan. Ini menggunakan kait sosial dan gamifikasi untuk mendorong keterlibatan dan menggunakan model pengiriman komunitas hyperlocal.

“Pendekatan yang dipimpin oleh produk dan keunggulan operasional KitaBeli telah menunjukkan keterlibatan pelanggan yang kuat, pertumbuhan lini atas yang kuat, dan ekspansi tingkat penerimaan yang menjanjikan. Kami sangat antusias dengan masa depan KitaBeli dan bersemangat untuk menjadi bagian dari perjalanan sejak awal,” ucap Adrian.

Potensi di kota lapis dua dan tiga

Chaturvedi menyampaikan, ekspansi ke daerah pedalaman ini secara historis belum banyak dilirik oleh pemain lain. Padahal di kota-kota tingkat kedua dan ketiga di Indonesia sekarang mewakili pasar lebih dari $100 miliar, dengan lebih dari 200 juta konsumen berkontribusi lebih dari 50% dari PDB negara. Akan tetapi, peluang tersebut tidak luput dari isu yang menghantui.

Di antaranya, konsumen sering mengalami waktu pengiriman yang lama untuk pesanan belanja online. Solusi yang diberikan KitaBeli adalah membuka gudang di setiap kota tempat ia beroperasi, memungkinkannya untuk melakukan pengiriman pada hari yang sama dan hari berikutnya langsung ke depan pintu pelanggan.

Berikutnya, konsumen sering dihadapi dengan harga yang lebih tinggi karena rantai pasokan yang rusak. Hal ini sering mengakibatkan pelanggan akhir membayar 10%-50% lebih banyak daripada konsumen yang hidup di Jakarta. Dengan mendapatkan produk langsung dari merek dan prinsipal, KitaBeli memberikan penghematan besar kepada konsumen.

“Terakhir, konsumen di kota tingkat kedua dan ketiga sering kali memiliki masalah kepercayaan dengan e-commerce ketika mereka tidak mengenal orang yang mempromosikan atau menjual produk. Untuk mendobrak hambatan kepercayaan, KitaBeli menggunakan strategi yang berbeda dari pesaingnya, berfokus pada jaringan offline konsumen dan mendorong mereka untuk mengundang teman dan keluarga untuk menggunakan platform.”

Selama enak bulan terakhir, KitaBeli mengklaim telah tumbuh lebih dari 10 kali lipat dan pencapaian ini menjadikan perusahaan sebagai pemain terdepan di vertikal ini di Indonesia.

Unduh laporan tentang Social Commerce yang baru diterbitkan DailySocial.id di sini. Membahas tren dan model bisnis Social Commerce yang ada di Indonesia.

Application Information Will Show Up Here

Berkaca dari Nasib Groupon, Melihat Prospek Bisnis E-Voucher di Indonesia

Tidak ada konsumen yang tidak suka dapat diskon atau uang kembali (cashback) saat belanja, meski secara konsep keduanya berbeda. Yang pertama, potongan harga sebelum pembelian, yang satunya lagi, mengembalikan uang konsumen setelah pembelian. Tapi keduanya punya ujung yang sama, merebut hati konsumen dengan harga termurah. Apalagi di tengah persaingan yang ketat, brand/perusahaan selalu putar otak bagaimana pabriknya tetap “ngebul”, strategi seperti demikian tetap dibutuhkan.

Kondisi tidak jauh berbeda ketika masuk ke dunia online. Suka atau tidak, dalam benak pelanggan sudah mulai mengharapkan diskon saat mereka berbelanja online. Diskon sepanjang tahun, diskon berbasis keanggotaan dan berbasis pendaftaran, kode diskon, dan kode kupon adalah mekanisme yang menonjol untuk memberikan diskon kepada pelanggan. Jadi, pada prinsipnya, pemain e-voucher sangat selaras dengan paradigma di mana e-commerce beroperasi.

Konsumen biasanya tertarik untuk belanja karena pemberian voucer (bentuk baku versi KBBI dari istilah voucher). Hampir di tiap situs belanja online terdapat opsi untuk memasukkan kode voucer saat checkout. Bila, UI/UX dari situs belanja ramah terhadap konsumen, akan tersedia mana voucher yang valid mana yang tidak sesuai dengan nominal belanjaan. Tidak perlu manual harus menulis kode voucernya. Belanja impulsif semakin terasa dimudahkan.

Di Indonesia sendiri, pemain e-vouchercashback, reward, dan bentuk sejenis lainnya— sangat beragam. ShopBack dan Fave adalah nama terbesar dari non-Indonesia yang punya massa di sini. Di luar itu, terdapat Ultra Voucher sebagai perusahaan lokal yang sudah melantai di Bursa Efek Indonesia. Meski begitu, hingga saat ini di sini belum ada yang menjadi pemain dominan seperti Groupon saat masa kejayaannya.

Kemudian, timbul pertanyaan baru, memangnya seperti apa model bisnis voucer ini? Apakah prospeknya meragukan sehingga belum ada yang jadi dominan?

Menurut hipotesis yang diunggah Small Business, alasan pertama adalah beberapa pihak menduga bahwa seiring matangnya dunia e-commerce —dalam artian mulai berfokus pada laba alih-alih berfokus secara gila-gilaan pada bottom line—akan ada tekanan untuk menyingkirkan diskon. Jika hal ini terjadi, voucer bisa menjadi korban pertama.

Alasan kedua, untuk memberdayakan keuntungan yang diberikan pemain voucer, bisnis e-commerce harus menyerahkan dua kantong duit, untuk pelanggan dan untuk pemain voucer. Hal ini mungkin akan dianggap tidak menarik dan situs voucer dapat dihilangkan. Terakhir, social marketing, content marketing, affiliate marketing, dan sejenisnya tampak jauh lebih menarik bagi pemain e-commerce daripada kupon. Ini mungkin segera menghilangkan voucer sebagai senjata pemasaran di mata e-commerce.

“Tapi kami cenderung percaya bahwa voucer adalah alat yang terlalu kuat untuk menghilang dari muka e-commerce. Terutama ketika bisnis voucer cukup masuk akal untuk diintegrasikan secara mendalam ke dalam jejaring sosial penggunanya dan menawarkan penawaran yang benar-benar berfungsi, kami pikir pelanggan akan lebih memilih untuk membeli dari situs tempat mereka dapat menerapkan kode kupon. Dan itu akan mendorong bisnis e-commerce untuk terus menawarkan kode kupon agar tetap menjadi tujuan yang menarik,” tulis laporan tersebut.

Model bisnis Groupon

Sumber: Groupon

Sebelum masuk ke perkembangan bisnis voucer di Indonesia, kiprah Groupon perlu ditengok terlebih dahulu karena pemain global dan mengubahnya menjadi sesuatu yang paling diburu oleh discount hunter. Perusahaan menghubungkan pelanggan dengan bisnis lokal, terutama dengan menjual voucer dan kupon diskon untuk bisnis fisik.

Dalam hal ini, Groupon menghasilkan pendapatan dengan menggunakan salah satu model bisnis tertua: menjadi perantara. Perusahaan menghasilkan pendapatan produk dan layanan dalam tiga kategori: Lokal, Barang, dan Perjalanan. Dalam beberapa kasus, konsumen dapat membeli barang dan jasa dengan diskon lebih dari 50% dengan menggunakan voucer Groupon.

Perusahaan melakukan IPO pada 2011, tetapi sejak saat itu pendapatan terus loyo sebagai akibat dari meningkatnya persaingan dan perjuangan untuk mempertahankan popularitas. Akhirnya, Groupon mengubah model bisnisnya dari pendekatan berbasis voucer ke kartu, di mana pelanggan menerima cashback setelah menggunakan kartu kredit tertaut tertentu untuk menyelesaikan pembelian produk yang diiklankan di platform Groupon.

Groupon menjual berbagai produk dengan diskon besar, termasuk barang fashion dan kecantikan, paket liburan, layanan spa, dan sertifikat hadiah ke bar dan restoran. Meskipun konsumen dapat dengan mudah membeli produk yang sama langsung dari bisnis yang menawarkannya, Groupon sering kali menawarkan harga jauh di bawah harga eceran.

Pada dasarnya, Groupon berfungsi sebagai mesin periklanan yang kuat, menghasilkan penjualan dan pengenalan merek yang lebih kuat untuk bisnis dengan imbalan biaya. Meskipun bisnis menerima barang dan jasa lebih sedikit daripada yang biasanya mereka kenakan, Groupon berfungsi sebagai pengiklan dengan jangkauan yang sangat luas, dan pebisnis juga diuntungkan dengan tidak harus membayar iklan di muka. Sebaliknya, mereka membayar sebagian pendapatan yang diperoleh berdasarkan kesepakatan dengan Groupon sesudahnya.

Groupon menarik bagi pemilik bisnis karena dijanjikan akan dikunjungi banyak pembeli yang melintas dan menjamin sejumlah peningkatan pendapatan. Akan tetapi dengan catatan, penawaran Groupon ini belum berlaku sampai sejumlah orang tertentu mendaftar, sehingga bisnis yang berpartisipasi tahu bahwa seberapa banyak pelanggan yang masuk.

Dengan munculnya kartu kredit yang tertaut diskon pada 2018, Groupon telah mendaftarkan hampir tujuh juta kartu kredit pada laporan tahunan terakhirnya. Sistem baru ini bertujuan untuk membuat proses lebih lancar bagi pelanggan; konsumen mungkin lebih mungkin untuk mengambil keuntungan dari beberapa penawaran terkait kartu daripada serangkaian voucher kupon individu.

Lebih lanjut, penawaran tertaut kartu memungkinkan pelanggan untuk tidak membayar sampai titik layanan dan menggunakan penawaran yang sama beberapa kali, fitur yang tidak tersedia dengan model voucer lama.

Melalui segmen Barang, Groupon juga menjual barang dagangan langsung ke pelanggan, melewati proses voucer sama sekali. Adapun untuk segmen Perjalanan, Groupon menjual penawaran perjalanan, termasuk penerbangan dan menginap di hotel, kepada pelanggan; beberapa di antaranya dilakukan melalui voucer, yang harus ditukarkan pelanggan nanti, dan dipesan langsung melalui Groupon.

Dengan model bisnis seperti ini, banyak pelanggan yang akhirnya menghabiskan uangnya lebih dari nilai Groupon yang mereka beli. Misalnya, seorang pelanggan yang membeli voucer salon mungkin juga memanjakan dirinya dengan pedikur, karena dia menghemat banyak untuk layanan awal. Jika bisnis menyediakan produk atau layanan berkualitas tinggi, pelanggan yang awalnya datang karena kesepakatan Groupon dapat menjadi pelanggan tetap.

Groupon sempat hadir di Indonesia. Pada masa jayanya sekitar 2011-2012, Groupon Indonesia merupakan pemain terbesar di segmen daily deals. Mereka hadir di sini berkat aksi akuisisinya terhadap Disdus. Mereka hengkang dari kawasan regional Asia Tenggara karena diakuisisi kompetitornya Fave pada Juni 2016.

Kinerja Groupon

Dalam laporan keuangannya, Groupon mengidentifikasi dua jenis pendapatan: tagihan kotor dan pendapatan. Jumlah tagihan bruto adalah total pendapatan dari penjualan barang dan jasa, tidak termasuk pajak dan pengembalian uang. Pendapatan mewakili jumlah transaksi di mana Groupon bertindak sebagai pasar dikurangi porsi layanan atau penyedia produk. Perusahaan juga menerima pendapatan langsung dari penjualan persediaan barang dagangan melalui situs marketplace.

Pada 2018, Groupon melaporkan tagihan kotor sebesar $5,2 miliar dan pendapatan $2,6 miliar. Pendapatan ini turun dari $2,8 miliar pada tahun sebelumnya. Adapun, basis pelanggan aktif mencapai 48,2 juta, turun dari 49,5 juta pada tahun sebelumnya. Sementara, laba bersih untuk 2018 adalah $2 juta dan arus kas operasi adalah $191 juta.

Bisnis Groupon terus merosot pada puncaknya hingga 2021. Mengutip dari Statista, selama beberapa tahun terakhir jumlah pembeli Groupon menurun tajam. Dari hampir 54 juta pelanggan unik yang membeli setidaknya satu penawaran di situs pada kuartal IV 2014, angka ini menyusut menjadi 22,2 juta pembeli pada kuartal I 2022.

Penurunan jumlah pelanggan telah berdampak signifikan pada pendapatan Groupon. Pada 2021, pendapatan global Groupon sekitar $967 juta, jauh lebih sedikit dari setengah dari apa yang tercatat pada puncaknya di 2016. Sebagian besar karena pandemi Covid-19 pada 2020, membukukan kerugian bersih sekitar $286 juta. Namun pada satu tahun berikutnya, perusahaan mengumpulkan lebih dari $120 juta dari laba bersih, peningkatan besar setelah kerugian pada tahun sebelumnya.

Sementara itu, aplikasi Groupon diunduh 5,8 juta kali di seluruh dunia. Sementara Amerika Serikat, tempat kelahirannya, menempati peringkat teratas untuk unduhan aplikasi – dengan lebih dari 4,3 juta unduhan tercatat tahun itu. Uni Emirat Arab menyajikan pertumbuhan tertinggi dalam unduhan aplikasi Groupon di App Store dan Google Play.

Investopedia menyebut, kelangsungan model bisnis Groupon dalam jangka panjang adalah topik yang banyak diperdebatkan. Untuk beberapa bisnis, pelanggan yang besar ini hanya membayar sebagian kecil dari harga eceran sebenarnya bisa dimaksimalkan nominalnya. Selain itu, beberapa kritikus turut menyoroti penurunan kualitas penawaran Groupon dalam beberapa tahun terakhir sebagai indikasi kehancuran yang akan datang.

Bisnis UVCR

Corporate Secretary Ultra Voucher (UVCR) Ayu Kusuma Trisyani masih meyakini prospek bisnis voucer di Indonesia masih cerah dan dapat tumbuh secara berkelanjutan. Kepada DailySocial.id, dia menyampaikan bahwa apa yang terjadi di Groupon Indonesia tidak bisa mewakili dari kondisi bisnis voucer di Indonesia.

Profitability dan liquidity harus tetap menjadi goals utama bagi sebuah perusahaan. Bukan tentang seberapa besar market size-nya, tapi tentang menghadirkan revenue generator baru dengan menyelesaikan problem yang ada di market,” kata Ayu.

Dia melanjutkan, program marketing yang bertujuan untuk konversi —penjualan maupun akuisisi pelanggan— masih akan terus dilakukan oleh banyak perusahaan. Artinya, ruang untuk platform rewards akan selalu ada dan berkelanjutan. Alasan ini yang mendorong UVCR pada 2016 menginisiasi bisnis utama di bidang voucer.

“Ke depannya, rewards model mungkin akan menggunakan tools yang berbeda, namun masih dengan core model yang sama. Untuk tetap sustain tentu saja UVCR melakukan adaptasi terhadap interest & demand di market, baik B2B dan B2C,” kata dia.

Berdasarkan laporan keuangan sepanjang 2021, UVCR mencatatkan pertumbuhan laba bersih hingga 253% atau senilai Rp5,57 miliar dari sebelumnya Rp1,57 miliar, menunjukkan tren tumbuh positif dari 2019 sebesar Rp291 juta. Kinerja dari bottom line UVCR ini melesat karena ditopang oleh kenaikan penjualan bersih sebesar Rp939,20 miliar. Perolehan itu meningkat 177,26% dari 2020 yang tercatat sebesar Rp338,74 miliar.

“Untuk kuartal I 2022, kami telah mencapai hampir 50% goal kami di tahun 2022. Target kuantitatif kami adalah revenue Rp1,3 triliun dengan beberapa inisiasi yang siap kami luncurkan di kuartal III.”

Distribusi produk di channel e-commerce dianggap menjadi salah satu penyumbang pendapatan terbesar UVCR di tahun lalu, sekaligus berperan dalam meningkatkan laba kotor UVCR sebesar 127% secara yoy. Meski tidak dirinci oleh Ayu, mayoritas kontribusi datang dari penjualan di channel B2C.

UVCR merupakan perusahaan yang menjual berbagai macam voucer fisik dan digital dari merchant yang telah bekerja sama dengan perusahaan, sesuai dengan ketentuan regulasi di Indonesia. Voucer yang diproduksi kemudian didistribusikan ke seluruh channel milik UVCR, baik B2C dan B2B. Hingga saat ini, perseroan telah menjalin kerja sama dengan lebih dari 400 brand yang tersebar sebanyak 40.000 outlet di seluruh Indonesia.

“Voucer menjadi core business model kami, tapi generating revenue dari teknologi merupakan bisnis model terbaru kami untuk meningkatkan net profit margin kami.”

Dimaksudkan lebih jauh, UVCR memiliki aplikasi yang dapat membeli, menyimpan, dan membagikan voucer untuk kerabat dari raturan merchant yang telah hadir di aplikasi. Mulai dari F&B, lifestyle, hiburan, investasi, kesehatan, dan kecantikan. Disamping itu, terdapat fitur biller untuk membayar tagihan rutin dan berulang, seperti bayar BPJS, listrik, paket data, item game, dan sebagainya.

Inisiasi tersebut akan terus dilanjutkan dengan memosisikan UVCR sebagai CATS (Catalogue-Service-as-SAAS). Ayu bilang, solusi ini hadir untuk platform yang ingin memiliki ekosistem voucher sekarang cukup dengan menjadi partner UVCR. Perseroan sudah melakukan pilot project bersama BCA dan Bank Sinarmas. Kedua bank ini punya basis nasabah yang besar, jadi momok empuk bagi UVCR akusisi pengguna baru.

Di luar itu, perusahaan juga melayani konsumen korporat untuk pembelian gift card dalam jumlah banyak. Voucer tersebut dapat diintegrasikan lewat aplikasi UVCR dalam bentuk penambahan saldo yang dapat digunakan sebagai alat pembayaran untuk beli voucer apa pun yang tersedia di aplikasi.

“UV Gift Card edisi terbaru kami juga sudah dapat digunakan di seluruh Alfamart seluruh indonesia, dan kami continue untuk dapat meng-enable UV Gift Card ini agar bisa digunakan di merchant-merchant kami secara direct redemption tanpa aplikasi.”

Dalam laporan keuangan di tahun lalu, dijelaskan skema kerja sama antara perusahaan dengan mitra. Salah satunya, Boga Group untuk penyediaan dan/atau penerbitan voucer digital di dalam aplikasi Ultra Voucher, yang dapat digunakan sebagai alat pembayaran oleh konsumen dalam melakukan transaksi di outlet milik Boga Group.

Berdasarkan perjanjian yang dibuat pada Mei 2018, pembelian voucer seluruhnya bernilai Rp1 miliar dalam waktu satu tahun. Boga Group akan memberikan cashback berupa voucer sebesar 12,5% kepada UVCR berlaku apabila pembelian voucer mencapai nilai sekurang-kurangnya Rp500 juta atau kelipatannya dalam satu tahun. Perjanjian ini sudah beberapa kali diperpanjang sampai terakhir Maret 2021.

Dijelaskan lebih jauh, Boga Group akan memberikan diskon jika akumulasi pembelian dalam kurun waktu periode kerja sama, i) Tiering 1: Rp1 miliar – Rp2,99 miliar mendapatkan diskon 10%; ii) Tiering 2: di atas Rp3 miliar mendapatkan diskon 12,5%. Masa berlaku voucer satu tahun efektif sejak tanggal penerbitan voucer.

Tokopedia, Shopee, JD.id, Bhinneka, adalah platform online lainnya yang turut memanfaatkan solusi e-voucher yang turut disediakan oleh UVCR. Masing-masing skema kerja sama tergantung kesepakatan masing-masing perusahaan.

Head of External Communications Tokopedia Ekhel Chandra Wijaya menuturkan, perusahaan berkolaborasi dengan banyak pihak stratagis untuk menghadirkan pengalaman belanja online yang lebih menyenangkan dan efisien. Salah satunya melalui voucer, bisa berupa voucer cashback, voucer diskon, voucer toko, bebas ongkos kirim, dan lainnya.

“Praktiknya misal, kami memberikan voucer belanja Rp0 khusus unutk pengguna baru lewat program Traktiran Pengguna Baru. Untuk masyarakat di berbagai kota di Indonesia, kami juga menyediakan voucer bebas ongkir instan di kampanye Kumpulan Toko Pilihan (KTP) yang dipersonalisasi untuk setiap daerah dan menerapkan teknologi geo-tagging sebagai turunan inisiatif hyperlocal,” kata Ekhel.

Kehadiran voucer, sambung dia, memberikan dampak positif terhadap tren belanja di Tokopedia selama kuartal I 2022 hingga Ramadan 2022. Tanpa didetailkan dengan angka, diklaim dari data internal, voucer potongan harga belanja, voucer tiket acara, serta voucer potongan harga restoran menjadi kategori e-voucher yang paling laris selama kurun waktu tersebut.

“Manfaat dari hadirnya voucer juga dirasakan langsung oleh para pegiat usaha. [..] Melihat antusiasme masyarakat terhadap promo, termasuk voucer belanja sangat tinggi, ke depannya kami akan terus berinvasi agar kehadiran voucer dapat terus sesuai dengan kebutuhan pembeli.”

Prospek UVCR

Bila target bisnis pendapatan UVCR tercapai Rp1,3 triliun tahun ini, tentu saja prospek bisnisnya akan cerah. Setidaknya, perseroan sudah berhasil cetak laba dan tidak terjerat dalam strategi bakar duit yang berkepanjangan. Akan tetapi, bila mengacu pada laporan keuangannya, kemampuan UVCR dalam menghasilkan laba relatif tidak besar.

Mengutip dari data RTI, pada tahun lalu margin laba bersih atau net profit margin (NPM) UVCR hanya 0,60%. Angka ini jauh lebih baik dari kuartal I 2021 sebesar 0,28%. Namun ini masih sangat jauh bila melihat rata-rata industri sebesar 65,08%. Dengan kata lain, UVCR membutuhkan runway yang lebih panjang untuk terus meningkatkan kinerjanya. Masuk ke produk baru CATS dan melebarkan sayap bisnis ke ASEAN dapat menjadi penolong.

Pasalnya, bisnis seperti UVCR ini bukan tanpa risiko. Sebagai pemain digital, perseroan juga senantiasa dihadang oleh isu keamanan data, penipuan, dan peretasan.

Selain itu, model bisnisnya juga relatif mudah ditiru, sehingga tidak menutup kemungkinan bakal ada pesaing baru yang siap merebut kue di vertikal tersebut.

Sumber: ShopBack

ShopBack, yang satu vertikal dengan UVCR, patut disoroti. Terlebih pasca mengumumkan perolehan dana segar Seri F sebesar Rp1,18 triliun yang dipimpin Asia Partners. Perusahaan yang didirikan Henry Chan dan Joel Leong ini, telah memiliki 35 juta pengguna dan beroperasi di 10 negara. Tahun lalu, perusahaan perluas solusi dengan mengakuisisi startup paylater asal Singapura, Hoolah.

Dengan amunisi yang besar, bukan jadi isu bagi ShopBack untuk lebih agresif mengembangkan kemitraannya dengan merchant offline, sesuatu yang belum hadir di Indonesia atau solusi lainnya di vertikal yang bersinggungan.

Di Indonesia sendiri, menurut data SimilarWeb, situs ShopBack menempati peringkat ke-6 di antara platform e-commerce lainnya. Adapun untuk kunjungan bulanannya hampir 600 ribu kali kunjungan, tertinggi untuk kategori layanan cashback. Adapun aplikasinya di Google Play masuk dalam urutan ke-19 untuk kategori Shopping, berjajaran dengan aplikasi e-commerce.

Dalam memperoleh pendapatan, ShopBack beroperasi di bawah model bisnis marketplace, menghubungkan merchant dengan pembeli yang ingin menerima cashback untuk pembelian. Perusahaan menghasilkan uang melalui dua strategi. Pertama, komisi afiliasi. Jadi, merchant membayar ShopBack komisi dengan imbalan mengirimi mereka pelanggan yang termotivasi untuk belanja. Perusahaan kemudian membagikan sebagian dari komisi ini kepada pelanggan dalam bentuk hadiah cashback.

Kedua, periklanan. ShopBack juga menghasilkan uang dengan menjual tempat iklan di situs web atau aplikasi selulernya. Di beranda situs web, misalnya, ada dua iklan spanduk menonjol di paruh atas yang mengiklankan berbagai merek dan acara promosi. Perusahaan dikompensasi oleh pengiklan dalam bentuk biaya tetap selama durasi iklan.

Laporan DSInnovate: Social Commerce Report 2022

Selama satu dekade terakhir, e-commerce telah berhasil menjadi lokomotif industri yang mendorong berbagai inovasi digital di berbagai sektor. Sebut saja pembayaran digital, logistik pintar, sampai dengan platform pemberdayaan UMKM. Namun demikian, di balik gegap-gempita industri e-commerce masih terdapat gap yang cukup kentara di Indonesia, khususnya saat berbicara tentang pemerataan.

Berbeda dengan masyarakat di perkotaan yang sudah terbiasa dengan layanan digital, kondisi di pedesaan —apalagi daerah rural—kondisinya masih jauh berbeda. Banyak faktor menjadi penyebab, mulai dari tingkat literasi digital sampai dengan keandalan infrastruktur. Terkait infrastruktur, contohnya, pengguna di pedesaan mendapati biaya kirim yang besar karena barang dikirim dari kota.

Adanya isu-isu tersebut mendorong para inovator melahirkan “Social Commerce”, versi e-commerce yang dimodifikasi dengan berbagai penyesuaian fitur. Model bisnisnya juga unik, seperti lewat kemitraan untuk menangani isu literasi digital, lewat group buying untuk menangani isu mahalnya ongkos kirim, sampai sistem hub-and-spoke untuk menangani sistem distribusi yang rumit.

Perlahan tapi pasti, model social commerce mulai diterima oleh masyarakat Indonesia, membuat bisnis ini kian banyak diminati oleh startup lokal.

Untuk melihat perkembangan bisnis ini, DSInnovate meluncurkan “Social Commerce Report 2022” dengan tema besar “Digitizing the Second-Tier Cities in Indonesia”. Laporan ini merangkum sejumlah hal, meliputi:

  1. Pembahasan konsep dan model bisnis social commerce
  2. Ekosistem social commerce di Indonesia
  3. Studi kasus social comerce di Indonesia
  4. Tren perkembangan social commerce di Indonesia

Terdapat beberapa temuan data menarik, salah satunya dari 16 startup social commerce yang ada di Indonesia, 14 di antaranya telah mengumumkan perolehan investasi. Menunjukkan bawah model bisnis yang diusung berhasil divalidasi oleh adopter awal dan hipotesis dari pemodal ventura. Selain itu, konsep bisnis berbasis syariah juga dipertimbangkan beberapa pemain di Indonesia.

Di sisi kematangan industri, peneliti juga melakukan analisis dan pengukuran terhadap beberapa variabel — yang menunjukkan bahwa social commerce masih memiliki ruang gerak yang luas untuk dieksplorasi. Selain itu, masih ada data dan temuan menarik lainnya. Selengkapnya, unduh laporan tersebut melalui tautan berikut: Social Commerce Report 2022.


Disclosure: Dagangan mendukung peluncuran laporan ini

ShopBack Peroleh Pendanaan 1,18 Triliun Rupiah; Bisnisnya Moncer di Indonesia

Startup agregator cashback ShopBack mengumumkan perolehan putaran pendanaan seri F sebesar $80 juta atau sekitar 1,18 triliun Rupiah. Pendanaan yang dipimpin oleh Asia Partners ini akan dipakai mendukung pengembangan platform untuk memberikan pengalaman belanja online terbaik di Asia Pasifik.

Mengutip laporan Bloombergputaran pendanaan ini turut didukung oleh investor existing January Capital. Dengan suntikan tersebut, ShopBack telah mengumpulkan total pendanaan sebesar $230 juta.

“Ini menjadi momentum tepat untuk mendukung para pemenang, mengonsolidasikan posisinya, dan mendapatkan hasil,” ungkap Managing Partner Asia Partners Nick Nash.

ShopBack didirikan di 2014 oleh Henry Chan dan Joel Leong. Saat ini ShopBack mengantongi 35 juta pengguna dan beroperasi di sepuluh negara, termasuk Singapura, Indonesia, Korea Selatan, dan Australia. Tahun lalu, ShopBack memperluas sekop layanannya dengan mencaplok platform “Buy Now, Pay Later” (BNPL) Hoolah asal Singapura.

Di Indonesia sendiri, menurut data SimilarWeb situs ShopBack menempati peringkat 6 di antara platform e-commerce lainnya dengan kunjungan bulanan rata-rata hampir 600 ribu, tertinggi untuk kategori layanan cashback. Mengindikasikan basis pengguna yang cukup besar ke layanan ini. Sementara di Google Play, untuk kategori Shopping, ShopBack menempati peringkat 19 — di bawah aplikasi e-commerce dan tertinggi untuk jenis aplikasi serupa.

Sementara itu, dalam laman Linkedin-nya, Co-founder dan CEO ShopBack Henry Chan mengungkap ingin terus memberikan pengalaman berbelanja sambil berhemat dengan cerdas di situasi perekonomian saat ini.

“Setiap hari kami mengirimkan lebih dari satu juta perjalanan belanja ke 10.000 mitra merchant di mana mereka bisa menemukan promo, perbandingan harga, dan reward dari pesanannya. Kami tetap menjadi partner terpercaya untuk memberikan solusi marketing dengan biaya efektif bagi merchant,” tuturnya.

Sebelumnya, ShopBack mendapat pendanaan sebesar $45 juta (Rp643,5 miliar) yang dipimpin oleh EV Growth dan Rakuten serta partisipasi EDBI dan investor lainnya.

Menurut laporan “2020 Global Cashback Report”, ukuran pasar untuk layanan ini secara global diproyeksi telah mencapai $108 miliar, termasuk didorong oleh adopsi e-commerce yang signifikan akibat pandemi. Sekurangnya ada 450 pemain global yang berpartisipasi memberikan layanan tersebut.

Pasar e-commerce

Potensi pertumbuhan bagi platform reward dari transaksi belanja online masih sangat besar di Indonesia. Sektor e-commerce masih menjadi kontributor terbesar di Indonesia. 

Menurut laporan NielsenIQ, jumlah konsumen yang belanja di mencapai 32 juta di 2021 atau naik 88% dari 2020. Sementara itu, laporan e-Conomy SEA 2021 mencatat sektor e-commerce tumbuh 52% secara tahunan. GMV e-commerce Indonesia diperkirakan mencapai $53 miliar atau naik dari $35 miliar di 2020.

Pertumbuhan ini turut didongkrak dari penambahan 21 juta konsumen digital baru sejak awal pandemi, di mana 72% di antaranya bukan berasal dari kota-kota besar.

Di Indonesia, aplikasi reward cukup diminati oleh online shopper. Selain ShopBack, beberapa aplikasi yang menawarkan layanan serupa di antaranya Snapcart yang hadir sejak 2015 dan Cashbac yang baru beroperasi sejak 2018.

Cashbac menyasar pasar social economy A dan B yang memiliki spending power tinggi dan rata-rata punya kartu kredit. Sementara, Snapcart memungkinkan pembeli mendapatkan cashback dari foto/video struk belanja dan memungkinkan brand berinteraksi dengan konsumen melalui survei.

Application Information Will Show Up Here

EMTEK Tambah Kepemilikan Saham di Bukalapak

Perusahaan konglomerasi media PT Elang Mahkota Teknologi Tbk (IDX: EMTK) melalui anak usahanya PT Kreatif Media Karya (KMK) kembali menambah kepemilikan sahamnya di PT Bukalapak.com Tbk (IDX: BUKA). KMK membeli sebanyak 724,30 juta saham atau setara 0,7% dari total saham pada 6 Juni 2022.

Berdasarkan keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia (BEI), saham tersebut dilepas dengan harga Rp317 per lembar saham sehingga nilai transaksinya mencapai 229,60 miliar Rupiah.

Dengan transaksi ini, kini KMK menggenggam sebanyak 24,63% dari sebelumnya 23,93% dengan status kepemilikan saham langsung. Tidak disebutkan secara rinci mengenai alasan pembelian saham ini, tetapi hanya untuk tujuan investasi.

Berdasarkan Laporan Tahunan Bukalapak, komposisi pemegang saham Bukalapak per 31 Desember 2021 terdiri dari KMK (23,93%), API (Hong Kong) Investment Limited (13,05%), Archipelago Investment Pte Ltd (9,45%), dan publik (53,58%).

Investasi EMTEK

EMTEK pertama kali berinvestasi di Bukalapak dengan memberikan pendanaan seri B pada Februari 2015. Kala itu Sutanto Hartono yang menjabat sebagai CEO EMTEK mengatakan, alasan akuisisinya terhadap Bukalapak adalah kesamaan visi-misi dengan perusahaan. Bukalapak dinilai dapat mengembangkan ekosistem lokal yang paling kuat.

Adapun saat itu, EMTEK masuk sebagai managing strategic partner dengan memberikan fresh cash money untuk mendukung pengembangan usaha Bukalapak.

Tidak disebutkan nominal investasinya, tetapi berbagai sumber menyebutkan bahwa EMTEK menyuntik Rp439 miliar ke Bukalapak. 
Berdasarkan laporan keuangannya, EMTEK justru telah berinvestasi di Bukalapak sejak 2014 dengan mencaplok sebanyak 459.200 saham atau setara 19,68% kepemilikan saham.

EMTEK melalui KMK beberapa kali melakukan penambahan modal sehingga kepemilikan sahamnnya di Bukalapak sempat naik menjadi 49,08% pada November 2015.

Kinerja keuangan

Berdasarkan kinerja keuangan kuartal I 2022, Bukalapak tercatat meraup laba bersih sebesar Rp14,5 triliun dari periode sama tahun lalu yang merugi hingga Rp323,8 miliar.

Perusahaan marketplace ini juga mengecap laba operasional RP14,42 triliun dari rugi Rp327,9 miliar, utamanya diperoleh dari laba investasi ke PT Allo Bank Tbk (IDX: BBHI). Sementara pendapatannya tumbuh 86% menjadi Rp787,9 miliar yang disokong oleh pertumbuhan lini bisnis Mitra.

Dirinci berdasarkan lini bisnis, Mitra masih menjadi motor pertumbuhan pendapatan Bukalapak dengan kontribusi sebesar Rp471,8 miliar di kuartal pertama 2022 atau tumbuh 227% dari periode sama 2021, yaitu Rp144,3 miliar.

Bisnis Mitra juga masih memimpin kontribusi terhadap total pendapatan dengan porsi 60%, naik dari kontribusinya di kuartal pertama 2021 yang sekitar 34%. Jumlah Mitra Bukalapak melesat dari posisi 6,9 juta per Desember 2020 menjadi 13,1 juta per Maret 2022.

Paylater Makin Diminati Konsumen untuk Belanja Online

Pesatnya perkembangan e-commerce ikut membawa pertumbuhan signifikan pada ekosistem pembayaran digital di Indonesia. Karena platform yang dihadirkan dapat berperan signifikan untuk mempermudah transaksi dengan beragam metode pembayaran digital.

Setelah era dompet digital, kini penggunaan paylater semakin dilirik konsumen saat bertransaksi di platform e-commerce. Berdasarkan laporan terbaru Kredivo bertajuk “Perilaku Konsumen E-commerce Indonesia” per Juni 2022, paylater (17%) menjadi metode pembayaran digital yang paling sering digunakan setelah e-wallet (53%) dan transfer bank/virtual account (20%).

Laporan ini juga mencatat pengguna paylater di platform e-commerce meningkat menjadi 38% di 2022 dibandingkan tahun lalu yang sekitar 28%. Adapun survei ini dilakukan pada Maret 2022 pada 3500 responden di seluruh Indonesia.

Dalam temuannya, responden menggunakan paylater karena sejumlah alasan, utamanya untuk membeli kebutuhan mendadak/mendesak (58%), belanja dengan cicilan jangka pendek atau kurang dari satu tahun (52%), dan mendapatkan lebih banyak promo menarik (45%).

Kendati begitu, sebagian responden belum tertarik menggunakan paylater karena alasan utama tidak ingin menambah utang (43%), takut boros (35%), dan takut dengan denda apabila telat melakukan pembayaran tagihan (30%).

“Sebagian konsumen memiliki kekhawatiran dalam mengelola keuangan mereka. Di sini penyedia paylater punya peran untuk membuat strategi pemasaran yang dapat mendorong awareness terhadap pemanfaatan paylater secara bijak. Dengan begitu, mereka dapat mengelola pengeluarannya,” demikian tertulis dalam laporan.

Perilaku konsumen paylater

Dilihat dari perilaku penggunaan, sebanyak 70% responden menyebut fleksibilitas pembayaran sebagai pertimbangan utama memilih paylater, tenor cicilan bervariasi (53%), dapat dipakai di banyak platform e-commerce (49%), dan limit pinjaman yang diberikan besar (35%).

Frekuensi penggunaan paylater selama pandemi / Sumber: Laporan “Perilaku Konsumen E-commerce Indonesia”

Berdasarkan kategori transaksi, sebesar 90% responden menggunakan paylater untuk berbelanja online, 50% untuk membeli paket data internet, dan 49% untuk tagihan bulanan.

Limit paylater (dalam Rupiah) / Sumber: Laporan “Perilaku Konsumen E-commerce Indonesia”

Adapun, hampir 60% pengguna paylater menghabiskan dana kurang dari Rp500 ribu per bulan saat berbelanja online di sepanjang 2022. Rata-rata responden menghabiskan kurang dari Rp250 ribu (29%), Rp250 ribu-Rp500 ribu (28%), Rp500 ribu-Rp1 juta (24%), dan di atas Rp1 juta (19%) untuk bertransaksi dengan paylater.

Potensi paylater

Menurut Global Payments Report yang diterbitkan FIS, perusahaan software fintech berbasis di AS, paylater menyumbang 2,9% dari total transaksi e-commerce global di 2021 dan diproyeksi naik menjadi 5,3% di 2025.

Data tersebut menunjukkan potensi besar paylater sebagai salah satu metode pembayaran digital pilihan konsumen dalam skala global. Hal ini diperkuat juga oleh laporan IDC tentang “How Southeast Asia Buys and Pays: Driving New Business Value for Merchants” yang menunjukkan penggunaan paylater pada transaksi e-commerce di 2020 mencapai $530 juta.

Penilaian responden terkait paylater / Sumber: Laporan “Perilaku Konsumen E-commerce Indonesia”

Angka tersebut setara dengan 58% dari total penggunaan paylater di platform e-commerce di Asia tenggara yang sebesar $910 juta pada 2020. IDC memperkirakan nilai penggunaan paylater pada di e-commerce pada kawasan ini mencapai $8,84 miliar pada 2025 atau melambung 8,8 kali dibanding 2020.

Sementara, mengutip laporan e-Conomy SEA 2021, paylater menjadi salah satu opsi untuk meningkatkan akses keuangan mengingat penetrasi kartu kredit di Indonesia masih sangat rendah. Terlebih, paylater menawarkan kemudahan akses dan cara penggunaan karena produknya sudah banyak terintegrasi dalam proses check-out di platform e-commerce.

Ekonom sekaligus Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menilai e-commerce dan keuangan digital berperan signifikan dalam mendorong penetrasi layanan digital lebih luas di Indonesia. Apabila tren positif ini terus berlanjut, ia meyakini pemerataan ekonomi dapat terealisasi lebih cepat dengan dukungan ekosistem digital.