Utilisasi Data dalam Personalisasi Layanan

Tiga startup Indonesia, yakni Blibli, Cakap, dan Super, duduk bersama dan berbagi wawasan tentang pemanfaatan AI dalam penciptaan produk/layanan yang sangat personal (hyper-personalization) bagi bisnis mereka.

Berbeda dari acara tahun lalu, kali ini panel diskusi The Big Leap yang dihelat oleh e27 bersama CleverTap mengulas topik “Engagement Playbook Indonesia: Harnessing Automation and AI for Hyper Personalization”.

Sebagai pengantar, hyper-personalization umumnya dikenal sebagai teknik pemasaran yang sangat ditarget dan dipersonalisasi kepada pelanggan dengan memanfaatkan data secara real-time.

Strategi ini banyak digunakan untuk membangun hubungan dengan pelanggan lewat produk/layanan yang sesuai dengan kebutuhan dan preferensi mereka. Lewat strategi ini pemilik usaha dapat mendorong tingkat penjualan dan retensi pengguna.

Ketiga narasumber, yaitu VP of CLM Marketing Blibli Fanky Mulia, Chief Growth Officer Cakap Margarita Tan, dan Co-Founder & CEO Super Steven Wongsoredjo bicara tentang pemanfaatan data hingga pengembangan produk dalam lingkup bisnisnya yang berbeda-beda di sektor e-commerce, edtech, dan social commerce.

Simplifikasi dan utilisasi

Ada beberapa catatan penting yang diperoleh dari paparan panelis terkait automasi dan personalisasi, serta relevansinya dalam bisnis mereka masing-masing.

CEO Super Steven Wongsoredjo menyoroti pentingnya simplifikasi pada personalisasi layanan yang mereka kembangkan. Hal ini dikarenakan target pasarnya berada di area rural yang mana memiliki perilaku konsumen berbeda dibandingkan mereka yang tinggal di perkotaan.

Simplifikasi ini tercermin dari cara Super melakukan strategi akuisisi pengguna maupun upayanya mendorong penggunaan layanannya. Strategi ini dapat dieksekusi melalui data yang mereka kumpulkan, misalnya transaksi pembelian terakhir, produk yang dibeli, atau biaya yang dihabiskan untuk belanja.

“Salah satu tantangan kami adalah membangun strategi scalable yang applicable untuk mereka. Pengguna di area rural tidak menggunakan perangkat mobile yang mahal, paket data yang dibeli juga tidak besar. Ketika kami buat fitur, ini akan menyedot data mereka dengan cepat. They will drop, they will churn. Maka itu, simplifikasi sangat sulit, tetapi penting bagi kami. Once you make things simpler, kita dapat memahami mereka,” jelasnya.

Sementara, VP of CLM Marketing Blibli Fanky Mulia mengamati aspek personalisasi dari aspek teknologi. Automasi memang dapat membantu scale up, tetapi ia melihat teknologi hanya sebuah tool. Justru penting untuk fokus mengutilisasi data menjadi sebuah insight bernilai.

“Kalau insight yang dihasilkan salah, ini bakal mendorong keputusan yang salah. Terlalu filosofis dalam memanfaatkan AI juga tidak akan membawamu menuju target yang ingin dicapai. Personalisasi itu tentang mengutilisasi data yang sudah ada. Apabila data yang diutilisasi tidak mencapai ROI, misalnya, mungkin bakal jadi keputusan tepat untuk menutupnya. Personalization is not a magic potion,” papar Fanky.

Prioritas

Meningkatnya perilaku digital ikut memicu terjadinya ledakan data dalam beberapa tahun terakhir. Pelaku bisnis dituntut untuk memahami pelanggan lebih baik dengan memanfaatkan data yang mereka miliki. Namun, di tengah ledakan data ini, apakah relevan menyebut istilah “terlalu banyak data”?

Chief Growth Officer Cakap Margarita Tan menilai belajar adalah proses jangka panjang yang tidak akan berhenti. Selama proses itu masih berjalan, data akan tetap diperlukan untuk mengenal customer dan memberikan layanan yang sesuai kebutuhannya.

There’s no such thing as too much data selama ini tidak perlu mengeluarkan biaya. Ini masalah prioritas saja kapan data ini akan diutilisasi. Data ini dapat dimanfaatkan kembali untuk peluang lainnya. Setiap marketer dapat memilih mana yang dapat dikejar dan mana yang dapat kembali ditindaklanjuti,” ujarnya.

Sementara, Fanky justru memberikan sudut pandang berbeda dari sisi teknis. Menurutnya, semakin banyak data yang dimiliki tentu akan memengaruhi aspek biaya. Pasalnya, data memerlukan tempat penyimpanan (storage) yang besar. Di sini lah penting untuk dapat memilih data yang dapat bernilai.

The Big Leap: Peran Teknologi Tingkatkan Retensi Pengguna Lewat Personalisasi

Isu tech winter masih hangat dibicarakan, mengingat terus mengalirnya pemberitaan layoff  dari startup teknologi. Perusahaan rintisan kini semakin mengencangkan ikat pinggang dan fokus pada strategi perusahaan untuk mendulang profit. Dimulai dari menjaga retensi pengguna yang sudah ada di platform.

Platform manajemen pelanggan CleverTap berkolaborasi dengan e27 mengadakan Roadshow The Big Leap di 6 kota di Asia Tenggara, termasuk Jakarta. Acara yang bertajuk “The Indonesia Retention Pinnacle: Personalized Customer Journeys with Innovative Technology” ini bertujuan untuk membantu para pemain industri meningkatkan pertumbuhan dan retensi pelanggan.

Beberapa pemain industri yang turut hadir dalam acara ini adalah VP of Brand Communication Kitabisa.com Iqbal Hariadi, Co-Founder & CMO Sociolla Chrisanti Indiana, serta VP of Marketing Rukita Lika Aprilia Samiadi. Mereka mewakili perusahaan rintisan di Indonesia yang juga tengah berjuang mempertahankan retensi pengguna.

Membangun relasi personal

Memberi pengalaman personal kepada pengguna merupakan salah satu strategi bisnis yang sangat penting, agar setiap pengguna merasa mereka dikenal secara personal dan merasa yakin dapat mengandalkan sebuah brand untuk setiap kebutuhan. Bila perusahaan bisa menangkap peluang itu, maka penjualan dan kesetiaan pelanggan secara otomatis akan mengikuti.

Startup retailer kecantikan Sociolla mengungkapkan bahwa mereka memiliki misi untuk menjadi user’s best friend atau sahabat pengguna. Setiap kampanye yang digalakkan juga selalu disesuaikan dengan preferensi para penggunanya. Hal ini sesuai dengan misinya ‘liberating self-care for everyone’, menjangkau semakin banyak beauty enthusiast di seluruh Indonesia.

Terkait pendekatan secara personal ini, Chrisanti angkat bicara, “Kami ingin menciptakan nilai dalam produk-produk yang kami salurkan melalui Sociolla. Kami ingin menjadi merek yang autentik. Hal ini memang membutuhkan waktu yang tidak sebentar, tetapi kami merasa ini penting untuk bisa bertahan di industri.”

Sociolla sendiri saat ini tengah fokus pada solusi omnichannel dengan menggabungkan pengalaman online dan offline yang seamless. Dari situ, perusahaan dapat menghilangkan semua hambatan dan batasan bagi pelanggan untuk berbelanja sesuai keinginan mereka, di mana saja dan kapan saja.

Selain itu, strategi omnichannel menjadi lebih relevan dengan perilaku pelanggan saat ini. Bertahannya preferensi digital dan omnichannel di antara konsumen Indonesia adalah salah satu dari lima tema konsumen baru yang diperkirakan akan terus berlanjut pasca-COVID 19.

Fokus pada solusi

Salah satu startup yang juga hadir dalam acara ini adalah Rukita, yang dikenal sebagai platform penyedia sewa hunian jangka panjang. Perusahaan dinilai memiliki tingkat pertumbuhan yang cukup pesat dengan usia yang masih terbilang belia.

Rukita saat ini berfokus pada banyak hal. Salah satunya adalah tentang bagaimana pengembangan produk teknologi Rukita mampu meningkatkan pengalaman terhadap para pelaku ekonomi di dalam ekosistemnya, mulai dari konsumen (penyewa), agen properti, hingga rekan atau mitra.

Dalam memasarkan brand terkadang pemasar juga terlalu fokus pada kinerja perusahaan. “Fokus pada apa yang dapat dilakukan brand dalam menyediakan solusi bagi pengguna, daripada sekadar apa yang bisa dilakukan brand,” tegas VP of Marketing Rukita Lika Aprilia Samiadi.

Ke depannya, perusahaan memiliki long-term goal untuk bisa menyediakan tempat tinggal yang nyaman, terjangkau, dan assle-free di seluruh Indonesia. Beberapa waktu lalu, Rukita juga baru saja mengakuisisi Infokost yang merupakan startup yang bergerak di bidang online listing untuk sewa hunian seperti indekos dan sejenisnya.

Memanfaatkan data

Terlepas dari industrinya, pemanfaatan data telah diakui menjadi kunci pengambilan keputusan yang cerdas. Selain dapat mengukur tingkat retensi secara akurat dan memperbaiki metrik, data menyediakan semua hal yang dibutuhkan untuk mengukur kinerja serta mengidentifikasi strategi dan fitur yang memberikan dampak.

Kitabisa.com turut berbagi mengenai strategi perusahaan dalam menjaga retensi dan mendorong pertumbuhan penggunanya. Salah satunya adalah dengan mengembangkan donasi otomatis yang bisa dipersonalisasi sesuai preferensi pengguna. Dalam hal ini, Kitabisa fokus pada aplikasi mobile dan menggunakan teknologi pemasaran untuk mengingatkan pengguna memberikan donasi.

Saat ini kecerdasan artifisial (AI) juga menjadi salah satu teknologi yang ramai dikembangkan perusahaan teknologi. Melihat kesuksesan dari ChatGPT, tidak sedikit startup yang berusaha mengaplikasikan teknologi AI terhadap solusi yang ditawarkan perusahaan. Meskipun begitu, beberapa perusahaan masih yakin pada pendekatan personal untuk bisa menjangkau dan menjaga loyalitas pengguna.

Salah satu contohnya adalah chatbot yang sudah banyak digunakan sebagai pengganti customer service (cs). Untuk pertanyaan dasar, teknologi ini sangat membantu, namun untuk pertanyaan yang lebih spesifik, chatbot bukanlah sebuah solusi. “Para pengguna kalian adalah manusia, maka layani mereka layaknya seorang manusia,” tegas COO PT MNC OTT Network Roy Debashis.

“Mulai dari rasa empati untuk bisa lebih dekat dengan pengguna. Dari situ, kita akan mulai mendapatkan data, karena data adalah basis untuk menciptakan solusi. Ingatlah juga untuk berinvestasi pada customer service atau pelayanan pelanggan,” tambah Chrisanti.

Kompetisi Startup Tahunan “TOP100” dari e27 Kembali Dibuka Tahun Ini

Program kompetisi startup TOP100 dari e27 kembali diselenggarakan pada tahun ini setelah hiatus selama tiga tahun. Program yang menjadi bagian dari konferensi tahunan Echelon Asia Summit ini akan diselenggarakan pada 31 Mei dan 1 Juni 2023 mendatang di Singapura.

TOP100 merupakan program kompetisi yang menyediakan platform bagi startup tahap awal untuk bermitra, mendapat peluang pendanaan, dan dukungan pertumbuhan bisnis lainnya di kawasan Asia Pasifik. Sejak awal kehadirannya, kompetisi pitching TOP100 menghadirkan startup terbaik untuk tampil dan mempresentasikan rencana bisnisnya. Jajaran alumnusnya mulai dari 99.co, Softinn, dan Carousell.

Setelah hiatus selama tiga tahun, pada tahun ini TOP100 bakal memanfaatkan platform e27 Pro Connect yang telah mendukung hampir 20 ribu koneksi online antara startup dan investor.

Dalam pelaksanaannya, pertemuan TOP100 2023 akan mengadopsi format hybrid, termasuk saat pendaftaran dan penilaian, tetapi sambil tetap mempertahankan aktivitas berjejaring secara offline di berbagai kota di Asia Tenggara.

Ada dua hal baru yang diterapkan dalam program tahun ini, yakni menambahkan kategori untuk solusi teknologi bencana (D-Tech) yang bermitra dan didukung oleh SAFE STEPS D-Tech Awards dari Prudence Foundation, dan yang kedua adalah penyertaan startup Web3.0, khususnya proyek yang menargetkan perusahaan teknologi Web2.0 sebagai pengguna atau pelanggan mereka.

Co-founder e27 Thaddeus Koh menyampaikan, kendati pitching dan showcase sebagian besar telah berevolusi secara online untuk memaksimalkan efisiensi dalam perjalanan dan manajemen waktu, namun terdapat permintaan yang kuat bagi startup, investor, dan perusahaan untuk tetap bertemu secara offline dan jaringan.

“Kami berharap untuk melihat hal-hal menarik yang telah dilakukan oleh startup Asia dan terhubung dengan komunitas secara langsung,” ucap Koh.

Selama periode seleksi, semua peserta TOP100 akan diberikan akses e27 Pro Connect agar mereka dapat terhubung dengan lebih dari 500 ribu investor yang sudah terverifikasi di dalam platform. Dari seluruh peserta yang daftar, nantinya akan dipilih 100 startup terbaik untuk dipamerkan di Echelon Asia Summit 2023 dan presentasi di panggung yang akan disaksikan banyak orang.

Dari hasil sebelumnya, banyak startup yang berhasil mengumpulkan putaran pendanaan tambahan dalam 18 bulan ke depan untuk mencapai status tahap pertumbuhan mereka.

“TOP100 selalu menjadi program yang memfasilitasi startup dapat terhubung dengan pemangku kepentingan yang paling dapat membantu bisnis mereka. Dengan memberikan peserta akses ke e27 Pro Connect dan menampilkan semi-finalis selama Echelon, kami bertujuan untuk membantu memulai dan meningkatkan perjalanan penggalangan dana mereka,” lanjut Kho.

Startup yang tertarik dapat mendaftar terlebih dahulu melalui situs resmi TOP100. Echelon Asia Summit menyatukan startup, perusahaan, pembuat kebijakan, pemimpin industri, dan investor terkemuka APAC ke Singapura. Konferensi ini dijadwalkan berlangsung pada tanggal 31 Mei hingga 1 Juni di Singapura. Pada tahun ini, konferensi dua hari ini diperkirakan akan menarik lebih dari 5.000 orang untuk membahas inovasi terbaru, kewirausahaan, pendanaan, dan lainnya.

The Big Leap: Peran Pemasaran dan Upaya Memahami Gen Z

Beberapa waktu lalu, e27 bersama CleverTap menyambangi Jakarta melalui gelaran “The Big Leap“; bagian dari rangkaian acara yang menghubungkan para growth leader di Asia Tenggara, mulai dari founder, VP, Marketing, hingga Product Director.

DailySocial.id berkesempatan hadir mengikuti diskusi panel yang dipandu oleh CEO e27 Mohan Belani, dengan sejumlah pembicara yang terdiri dari SEA Regional VP Sales CleverTap Marc-Antoine Hager, Chief Marketing Officer BlueBird Mediko Azwar, Head of Marketing Pintu Timothius Martin, dan Chief Marketing Officer Halodoc Felicia Kawilarang.

Diskusi santai ini utamanya menyinggung tentang bagaimana marketing dapat memahami karakteristik Gen Z, tantangan, hingga customer experience dalam implikasi sebuah bisnis di masa pandemi Covid-19. Berikut rangkumannya.

Pencapaian, peluang, dan tantangan

Sedikit gambaran, transportasi merupakan salah satu sektor yang terdampak signifikan saat awal pandemi. Sebaliknya, layanan digital di sektor lain, seperti health dan wealth termasuk yang mencicipi kenaikan trafik pada periode tersebut.

Kebijakan pembatasan sosial dalam skala besar (saat itu disebut PSBB) menurunkan mobilitas masyarakat secara drastis. Orang-orang mengurangi perjalanan ke luar, aktivitas kerja dan sekolah dilakukan dari rumah.

Bagi Mediko Azwar, situasi tersebut sangat sulit bagi bisnis BlueBird yang bermain pada jasa transportasi. Malah, kala itu ia baru bergabung dengan perusahaan berlambang burung biru tersebut saat pandemi terjadi. “Ini menjadi tantangan tersendiri karena saya harus meyakinkan tim, bagaimana kita harus dapat memahami perubahan consumer needs dan memenuhi permintaan mereka.”

Sebaliknya, di sektor kesehatan, situasi ini berbuah manis kala pemerintah memberikan lisensi penggunaan telemedis untuk urgensi penanganan Covid-19. “Tiba-tiba ada lonjakan trafik di platform kami. Di situasi tersebut, secara tak langsung, platform telemedis seolah mendapat ‘free marketing‘ karena pemakaiannya langsung dipromosikan pemerintah,” tutur Felicia Kawilarang.

Namun, lonjakan trafik itu justru memunculkan tantangan selanjutnya bagi Halodoc, yakni memastikan aplikasi dapat bekerja memenuhi permintaan tinggi. Pihaknya bekerja keras untuk membuat platform dapat diakses setiap saat sembari mengedukasi dokter terkait Covid-19, dan memahami target pengguna dan perilakunya.

Di sinilah marketing memainkan peran signifikan. “User knowledge comes from the marketing team, that’s how we build the product. We have done a lot of research and survey,” tambah Felicia.

Mediko juga mengungkap bahwa marketing mendorong BlueBird untuk meningkatkan hubungan dengan customer dan mencari peluang pengembangan layanan baru dari customer journey.

Memahami Gen Z

Timothius Martin mengungkap, situasi pandemi memunculkan peluang dalam membentuk pendekatan marketing, terutama bagi Gen Z. Ia berujar, ada banyak kekhawatiran muncul dari masyarakat tentang bagaimana mengamankan uang atau aset mereka saat pandemi.

“Platform kami meluncur saat pandemi, orang-orang saat itu stay at home. Kami melihat [peluang di mana] karakter [yang ingin disasar] ada pada Gen Z. Mereka cari tempat di mana bisa taruh aset dengan mudah, accessible 24/7, gampang dicairkan, dan volatile enough to give that adrenalin pump,” paparnya.

Belum lagi, saat itu, platform kripto yang ada di Indonesia belum banyak dipahami oleh Gen Z. Di sini lah, ia mengawinkan produk dan marketing agar informasi yang dibutuhkan dapat tepat sampai ke penggun alih-alih hanya sekadar viral saja.

Dalam perkembangannya, Timothius mencatat pentingnya melakukan mind shift dalam menentukan strategi marketing. Tidak ada approach yang bersifat satu untuk semua. Misalnya, bagaimana mengubah mindset atasan terkait bagaimana menggunakan budget marketing pada influencer atau iklan. “[Dalam konteks pemanfaatan influencer atau iklan] rather than number of impression, sebaiknya untuk [capai] conversion rate.

Mark menambahkan, pendekatan marketing menggunakan iklan tidak selalu harus dikesampingkan. Setiap strategi punya pendekatan berbeda. Pada kasus Gen Z, mereka termasuk segmen pengguna yang tidak bisa didekati dengan model penjualan langsung atau gamblang (hard sell), tetapi melalui pemanfaatan sebuah produk.

“Bagi kami, untuk bisa evolve di pasar, perusahaan tidak melulu bicara cost dan profit, tetapi fokus ke pengguna agar dapat memahami pasar. Dan marketing punya peran untuk fokus menyuarakan pesan dari customer bukan perusahaan.”

e27 Luminaries Tampilkan Daftar Individu di Balik Perkembangan Startup di Asia Tenggara

e27 mengumumkan peluncuran “e27 Luminaries”, yakni sebuah daftar yang menampilkan 56 individu dari ekosistem startup di Asia Tenggara yang berhasil melewati tantangan akibat pandemi Covid-19. Mereka menjadi sosok penting untuk kesuksesan dan pertumbuhan perusahaan masing-masing. Inisiatif ini menyoroti “pahlawan tanpa tanda jasa” di ekosistem startup, individu yang tidak gentar dan berprestasi tinggi dalam mewujudkan visi perusahaan.

Secara spesifik e27 Luminaries menampilkan daftar non-founder yang telah memimpin proyek inovatif, menerapkan ide-ide yang bermanfaat bagi masyarakat, atau membuat pencapaian luar biasa meskipun di tengah situasi yang tidak menguntungkan — dan secara langsung dinominasikan oleh masing-masing perusahaan. Adapun perusahaan yang masuk ke dalam daftar tersebut juga dipilih oleh tim e27 berdasarkan pencapaian luar biasa mereka di salah satu dari lima kategori: Pivot, Pendanaan dan Akuisisi, Kemitraan, Ekspansi, dan Terobosan.

“e27 Luminaries adalah sebuah penghargaan untuk orang-orang yang bekerja di startup, yang berjuang untuk membuat hal-hal yang tidak mungkin terjadi dan bekerja melawan segala rintangan untuk mewujudkan misi-misi di balik startup,” ujar Co-Founder & CEO e27 Mohan Belani.

Lebih lanjut Mohan mengatakan, “Ekosistem teknologi yang berkembang tidak hanya membutuhkan founder visioner dan investor yang bersedia mengiyakan ide-ide gila, tetapi juga sekelompok orang yang berdedikasi kuat untuk menantang pasang-surutnya bekerja di sebuah startup untuk membantu mewujudkan visi dan ide tersebut. Tujuan kami adalah untuk menyoroti individu-individu tersebut dan beberapa pencapaian yang telah mereka buat yang mungkin tidak disadari oleh banyak orang.”

Beberapa sosok penting startup dari Indonesia yang masuk ke daftar tersebut di antaranya: Victor Oloan (Senior Engineering Manager, Finantier), Ade Yuanda Saragih (Country Head Indonesia, GajiGesa), Severan Rault (CTO, Gojek), Andre Widjaja (Chief of Business Development, GudangAda), dan masih banyak lainnya. Untuk daftar selengkapnya dapat dilihat melalui tautan berikut ini: https://e27.co/luminaries-2021/.

Berkat upaya individu-individu ini, perusahaan mereka telah menciptakan lebih dari 13 ribu pekerjaan dan melayani setidaknya 200 juta pelanggan di pasar. Mereka juga menghasilkan valuasi gabungan lebih dari $50 miliar.

Ini adalah satu dari inisiatif yang terus digulirkan e27 untuk mengawal pertumbuhan ekosistem startup digital di regional. Sebelumnya mereka juga meluncurkan Perks, yakni benefit layanan digital yang bisa didapatkan startup untuk mendukung produktivitasnya sehari-hari.

Disclosure: Artikel ini adalah hasil kerja sama DailySocial dan e27

e27 Luncurkan “Perks” untuk Pelanggannya, Kumpulan Alat Digital Premium Penunjang Bisnis

Media startup berbasis di Singapura, e27, baru-baru ini meresmikan fitur baru yang dinamai “Perks”. Fitur tersebut menjadi satu dari tiga benefit yang bisa didapatkan melalui program e27 Pro. Di dalamnya berisi berbagai penawaran spesial alat-alat yang dapat membantu meningkatkan produktivitas bisnis.

Beberapa produk yang sudah tersedia di e27 Perks di antaranya: Airtable, AWS Activate, Canva, MyStartupEquity, Notion, Typeform, Zendesk, dan masih banyak lagi. Setiap produk yang ditawarkan adalah versi premium, dengan nominal kredit tertentu yang dapat digunakan.

Pandemi Covid-19 benar-benar telah mengubah tatanan dan cara bisnis bekerja. Optimasi alat-alat digital menjadi penting untuk menunjang laju bisnis. Di sisi lain, menjaga pengeluaran operasional agar tetap efektif harus tetap menjadi prioritas pengusaha. Kondisi tersebut yang juga melatarbelakangi peluncuran Perks.

Selain itu dalam rilis resminya dikatakan, program keanggotaan e27 Pro difungsikan sebagai katalisator untuk bisnis dengan memberdayakan pengusaha dengan alat dan sumber daya untuk meningkatkan skala bisnis secara cepat. Selain Perks, e27 juga menyajikan fasilitas Ecosystem Roundup dan Connect.

Ecosystem Roundup membantu pengusaha mendapatkan pembaruan informasi melalui rangkuman pemberitaan bernas yang terkurasi. Sementara Connect menjadi platform yang dapat membuka peluang kepada bisnis untuk terhubung dengan investor dan mitra bisnis.

Lebih lanjut soal Perks dan keanggotaan e27 Pro: klik di sini.

Disclosure: Artikel ini adalah hasil kerja sama DailySocial dan e27

Tiga Alasan Mengapa Startupmu Harus Ikut Echelon TOP100

Yakin kamu bisa memenangkan kompetisi tahun ini? Daftarkan startupmu sekarang juga!

Kamu mungkin sudah pernah mendengar tentang Echelon TOP100, sebuah kompetisi startup yang menjadi bagian dari konferensi Echelon Asia Summit 2019, yang akan diadakan oleh e27 pada 23-24 Mei 2019 di Singapore Expo, Singapura.

TOP100 bertujuan untuk menemukan, mempertunjukkan, dan mengakselerasi bibit-bibit unggul di komunitas startup Asia Tenggara. Proses penjurian TOP100 melibatkan juri dari berbagai perusahaan modal ventura ternama seperti 500 Startups, SparkLabs, Cocoon Capital, Cradle Fund, dan Monk’s Hill Ventures.

Proses penjurian akan diadakan secara tertutup di enam kota di seluruh Asia Tenggara, yang akan diakhiri dengan acara networking Echelon Roadshow. Indonesia sendiri akan mendapatkan gilirannya pada 4 April 2019. Startup yang berhasil lolos tahap ini berhak mewakili negara asalnya di Singapura pada bulan Mei nanti.

Tahun lalu, salah satu startup yang mewakili Indonesia di Echelon Asia Summit 2018 adalah MyClinicalPro, sebuah startup kesehatan yang dipimpin oleh co-founder William Suryawan.

Menurut William, hal paling menarik dari mengikuti TOP100 adalah kita tidak pernah tahu siapa yang sedang menyimak presentasi kita. Bisa jadi mereka adalah calon investor, partner, atau pelanggan kita yang berikutnya.

Masih belum yakin mengapa startupmu harus ikut kompetisi ini? Berikut ini tiga alasan utama yang bisa dijadikan pertimbangan:

  1. Tahun ini, TOP100 akan memberikan hadiah senilai lebih dari Rp1 miliar (US$75,000). Selain hadiah tunai, startupmu juga berkesempatan mendapatkan fasilitas coworking space gratis, slot eksibisi di Echelon Asia Summit 2019, dan berbagai hadiah lainnya yang bisa kamu gunakan untuk menunjang operasi startupmu.
  2. Bergabung dengan TOP100 berarti membuka diri untuk bertemu dengan banyak pihak yang nantinya dapat menunjang keberhasilan startupmu, mulai dari investor sampai calon karyawan. Selain itu, kamu juga bisa bergabung dengan jaringan alumni TOP100 yang meliputi nama-nama besar seperti Carousell, 99.co, dan HotelQuickly.
  3. Dengan mengikuti TOP100, kamu berkesempatan untuk mewakili Indonesia di ajang startup internasional –dan membuktikan bahwa #IndonesiaBisa. Dari tujuh startup unicorn yang ada di Asia Tenggara, empat di antaranya berasal dari Indonesia. Keempat perusahaan ini telah mengharumkan nama Indonesia di komunitas startup internasional —dan startupmu pun punya kesempatan untuk menjadi seperti mereka.

Jadi daftarkan startupmu hari ini juga dan sampai ketemu di Echelon Roadshow!


Artikel ini adalah hasil kerja sama DailySocial dan e27

Genesia Ventures: “Go Public”-nya Startup Unicorn Akan Perkaya Ekosistem Startup Indonesia

Takahiro Suzuki adalah sosok yang tidak asing dalam komunitas startup di Asia Tenggara. Sebagai seorang investor kawakan, Suzuki  pernah menjabat CEO CyberAgent Ventures (CAV) Indonesia hingga beberapa bulan lalu. Ia juga seorang investor awal bagi startup unicorn Indonesia Tokopedia.

Suzuki, baru-baru ini bergabung dengan Genesia Ventures sebagai General Partner. Sebuah perusahaan investasi tahap awal yang fokus di Jepang dan Asia Tenggara, Genesia baru saja mengumpulkan dana startup keduanya yang bernilai US$80 juta.

Dalam interview bersama e27, Suzuki berbagi pengalaman tentang pendanaan sebelumnya, industri startup di Asia Tengggara dan Jepang, serta rencana ke depan.

Dibawah ini adalah sebagian cuplikan yang sudah disunting:

Sekarang ada banyak VC untuk startup tahap awal di Asia Tenggara. Mengapa wilayah ini masih membutuhkan pendanaan? Apa pendekatan unik Anda?

Ya, ada lumayan banyak VC untuk startup tahap awal di Asia Tenggara, namun di Genesia kami memiliki tiga pendekatan unik. Pertama, kami bisa membuat investasi besar pada tiap perusahaan. Sementara investasi awal kami fokus pada pendanaan seri A, kami bisa mengucurkan hingga US$5 juta pada masing-masing perusahaan dalam pendanaan lanjutan di putaran selanjutnya. Kami yakin pendanaan lanjutan ini akan memberikan kekuatan bagi penggalangan dana startup selanjutnya.

Kedua adalah pengambilan keputusan untuk investasi cepat. Kami memiliki satu general partner di Jepang dan satu di Jakarta. Tentunya kami memiliki proses due diligence sebelum finalisasi investasi, tetapi keputusan bisa diambil dalam waktu beberapa minggu saja.

Ketiga, kami telah berpengalaman dalam investasi VC di Jepang dan Asia Tenggara. Kami juga telah membangun koneksi bisnis yang luas di seputar Asia. Ketika industri konvensional belum sepenuhnya berkembang di Asia Tenggara, ada banyak bidang di mana bisnis digital telah berkembang pesat sebelum industri konvensional. Terdapat juga beberapa industri di mana bisnis seperti Grab dan Gojek telah melampaui Jepang. Informasi seperti itu sangat membantu dalam membuat keputusan investasi yang lebih baik dan merancang strategi bisnis perusahaan portofolio kami di Jepang.

Di Jepang, di sisi lain, industri konvensional sedang dirombak ulang dan kami berinvestasi di banyak startup B2B dengan harapan membawa transformasi digital. Transformasi digital diharapkan menjadi gerakan besar di Asia Tenggara nantiny, dan dapat dipastikan kami juga membawa pengalaman investasi di Jepang.

Selanjutnya, banyak perusahaan Jepang sedang fokus pada pertumbuhan masa depan Asia. Mitra terbatas kami terdiri dari perusahaan besar dan bank Jepang, juga pengalaman investasi di CAV memungkinkan kami menjalin relasi dengan perusahaan dan VC di Jepang dan Asia Tenggara. Kami percaya hal ini akan mengarahkan kami melalui proses untuk menemukan perusahaan portofolio serta menjalin aliansi dengan mereka. Dalam pandangan kami, pengalaman investasi dan jaringan bisnis kami di Jepang dan Asia Tenggara menjadikan kami perusahaan modal ventura yang berbeda dari yang lain.

Tidak ada kelangkaan dana untuk startup tahap awal di Asia Tenggara, tetapi wilayah ini terlihat jelas kekurangan investasi Seri B dan C. Selain itu, ada persepsi kurangnya startup berkualitas di Asia Tenggara. Bagaimana pendapat Anda?

Kami ingin berkontribusi dalam pengembangan masyarakat Asia dalam pendanaan awal dengan tiga poin penjualan unik yang diuraikan di atas. Mengenai persepsi kurangnya startup berkualitas di Asia Tenggara, kami juga merasa ada lebih banyak startup yang berkualitas di AS dan Tiongkok dalam hal jumlah, tetapi ini semata-mata karena memang ada lebih banyak startup di sana, dibandingkan di Asia Tenggara.

Kami percaya bahwa startup berkualitas akan sama baik di Asia Tenggara maupun wilayah lainnya. Seiring dengan ekosistem startup yang semakin cepat bersamaan dengan pertumbuhan ekonomi di kawasan ini, kami yakin akan ada banyak startup yang akan tumbuh secara substansial.

Anda adalah investor awal di Tokopedia, yang sekarang menjadi unicorn. Apa yang mendorong Anda untuk berinvestasi dalam startup saat itu? Pernahkah Anda mengira perusahaan ini akan menjadi unicorn di masa depan? Apakah Anda sudah menuai hasil dari investasi ini?

Karena pasar telah didominasi oleh perusahaan unicorn di mana-mana, saya berinvestasi di Tokopedia berharap bahwa ia akan menjadi perusahaan unicorn di masa depan. Saya tidak mengira bahwa akan secepat ini.

Alasan terbesar untuk investasi adalah keputusan pendirinya, William Tanuwijaya dan Leontinus Alpha Edison. Mereka dengan kuat mengatakan bahwa mereka serius ingin membuat masyarakat Indonesia lebih baik lagi melalui Tokopedia. Saya ingin mendukung mereka dalam misi ini dan memutuskan untuk berinvestasi di dalamnya.

Apakah saya memegang saham mereka atau tidak adalah informasi non-publik dan oleh karena itu saya tidak dapat mengungkapkannya.

Apa menurut Anda beberapa hal yang dilakukan Tokopedia dengan baik untuk membantu menaklukkan industri e-commerce di Indonesia?

Menurut saya pribadi, Tokopedia bisa tumbuh begitu cepat karena tiga alasan berikut:

1- Pengembangan layanan yang mengutamakan pelanggan (mengedepankan kenyamanan konsumen dan pedagang)

2- Ekspansi nasional, bukan hanya Jakarta (khususnya, mereka mulai merekrut pedagang secara nasional pada tahap awal)

3- Visi dan tim yang kuat (mereka memiliki visi yang kuat untuk membentuk Indonesia menjadi negara yang lebih baik dan bisa menciptakan [tim] Nakama yang percaya dengan visi tersebut)

Menurut Anda, apakah Indonesia memiliki potensi untuk melahirkan unicorn lainnya seperti Tokopedia? Apakah Anda menaruh minat pada salah satu perusahaan teknologi untuk mengikuti laju pertumbuhan yang sama di negara ini?

Ya. Kami percaya bahwa banyak perusahaan unicorn akan muncul dari Indonesia. Kami juga selalu mencoba yang terbaik dalam berinvestasi pada perusahaan yang berpotensi menjadi unicorn.

Apakah Anda menyesal tidak berinvestasi pada perusahaan seperti Go-Jek dan Grab yang kemudian menjadi unicorn?

Tidak. Saya mendapat kesempatan untuk berinvestasi, namun tidak menyesal karena tidak mengambil kesempatan itu. Tetapi saya banyak belajar karena tidak mengira bahwa bisnis akan menjadi seberagam ini. Saya ingin bisa meramal sebuah bisnis dapat tumbuh dalam keadaan saat ini.

Bagaimana keseluruhan ekosistem startup di Asia Tenggara. Negara mana di wilayah ini yang berpotensi bersaing dengan Silicon Valley? Apa pendapat Anda tentang kegiatan startup yang terjadi di Malaysia?

Sekarang, banyak orang di AS, Cina, India, Korea Selatan berinvestasi dalam startup Indonesia, dan ekosistem semakin kaya. Kami merasa bahwa ekosistem startup akan menjadi lebih kaya jika perusahaan unicorn mulai menunjukkan diri di bursa saham. Silicon Valley ya Silicon Valley. Akan tidak masuk akal untuk membandingkannya dengan Asia Tenggara.

Kami percaya bahwa startup yang berbisnis di Indonesia lebih berpotensi menjadi unicorn dibandingkan dengan negara lain di Asia Tenggara. Ada banyak startup luar biasa di Malaysia dan beberapa di antaranya sudah menuai profit. Di sisi lain, sebagai negara, potensi kenaikan pasar terbatas, jadi kami merasa bahwa jika perusahaan tumbuh besar, ia akan memiliki model bisnis yang mampu melakukan ekspansi ke luar negeri seperti Grab.

Menurut Anda, apa saja perusahaan yang dapat mengubah lanskap startup di Asia Tenggara?

Untuk memperkaya ekosistem startup, kami berharap perusahaan seperti Go-Jek, Grab, Tokopedia, bisa mengajukan IPO atau mengamankan dana lebih besar untuk secara proaktif melakukan M&A dan lain-lain. Kami juga berharap bisa melihat lebih banyak pengusaha dengan pengalaman kerja di unicorn.

Mengapa Genesia memilih Jakarta sebagai kantor pusat di Asia Tenggara?

Hal itu karena Indonesia adalah negara terbesar dan pasar yang paling kompetitif di Asia Tenggara.

Berapa banyak perusahaan yang ada dalam rencana investasi lanjutan Genesia? Sudahkah Anda mengidentifikasi startup untuk investasi? Selain pendanaan, apa lagi yang Anda berikan kepada perusahaan portofolio Anda?

Kami belum memutuskan berapa banyak perusahaan yang akan kami investasikan dari dana kedua ini, tetapi kami tidak akan menambah jumlahnya menjadi tiga atau empat tahun. Kami akan tetap selektif dalam keputusan investasi kami. Sudah ada beberapa perusahaan yang kami janjikan untuk berinvestasi.

Selain pendanaan, kami mendukung mereka melalui diskusi strategi bisnis, konsultasi mengenai struktur organisasi dan rencana rekrutmen, dan penggalangan dana (memberikan dukungan untuk membuat pitch deck dan jaringan dengan investor tidak hanya di Jepang dan Asia Tenggara tetapi juga wilayah lain).

Berapa rata-rata investasi Anda? Apakah akan berbeda untuk pasar di kawasan ini?

Kebijakan investasi kami pada dasarnya sama di mana pun di Asia Tenggara. Karena investasi awal kami menargetkan putaran pra-Seri A, ukuran tiket rata-rata adalah US$300.000-$600.000. Jumlah investasi lanjutan bervariasi dari perusahaan ke perusahaan. Rencana kami adalah membuat jumlah investasi rata-rata per perusahaan $1-2 juta, termasuk investasi lanjutan.

Apakah Genesia I sudah kehabisan dana? Apakah ada exit yang tersorot?

Kami tidak lagi melakukan investasi awal dari dana I. Kami hanya memiliki anggaran untuk investasi lanjutan. Jadi kami akan melakukan investasi awal dari dana II di masa depan. Tidak banyak exit sejauh ini karena baru berjalan dua tahun sejak dana I keluar, tetapi ada beberapa yang tersorot.

Bagaimana pengalaman Anda sebagai General Partner dari CyberAgent Ventures? Mengapa Anda meninggalkan Perusahaan untuk bergabung dengan Genesia?

Pekerjaan saya dengan beberapa pengusaha di Asia Tenggara dan Jepang telah mendorong minat saya untuk menjadi Mitra Umum di perusahaan VC institusional, melawan kemungkinan bekerja untuk CVC.

Sebagian besar, jika tidak semua, dari Limited Partner Genesia berasal dari Jepang. Apakah mereka optimis tentang industri startup di Asia Tenggara?

Walaupun Jepang masih merupakan ekonomi terbesar ketiga di dunia, pasarnya tidak akan tumbuh dengan cepat di masa depan. Karena itu banyak perusahaan Jepang memandang Asia sebagai pasar penting bagi pertumbuhan mereka di masa depan. Kami berusaha untuk menjadi platform yang menghubungkan perusahaan Jepang dan perusahaan tahap awal di Asia.

Bagaimana pembagian ekonomi di wilayah ini? Apakah ia berpotensi tumbuh lebih besar?

Karena real estat, mobil dan sepeda, serta peralatan konstruksi dan pertanian adalah aset yang mahal, menurut kami berbagi ekonomi untuk aset-aset tersebut memiliki potensi untuk berkembang. Karena itu kami telah berinvestasi di Luxstay, platform berbagi rumah di Vietnam. Selain itu, kami juga berinvestasi di Sukedachi (platform pencocokan pekerjaan berdasarkan permintaan untuk kontraktor dan pekerja konstruksi) dan Taimee (platform pekerjaan sementara berdasarkan permintaan) di Jepang. Kami juga mengawasi gig economy di Asia Tenggara.


Disclosure: Tulisan tamu yang dibuat oleh Sainul Abudheen K. ini awalnya dimuat di e27. Diterjemahkan (oleh Kristin Siagian) dan disunting atas izin penulis.

Arah Industri Startup Asia Tenggara di Bidang Finansial, Pendidikan, Kesehatan dan AI (Bagian 1)

Sebagai wilayah regional yang sangat berkembang dalam startup digital, Asia Tenggara kini dikatakan tengah dalam proses penguatan ekosistem di masing-masing lini kategori. Yang paling menjadi sorotan dewasa ini ada di sektor finansial (fintech), di sektor edukasi (edtech), di sektor kesehatan (healthtech) dan inovasi terkait dengan kecerdasan buatan (AI – Artificial Intelligence).

Pada pagelaran Echelon Asia Summit 2017 di Singapura di tanggal 28-29 Juni 2017, beberapa pakar dan pelaku bisnis mendiskusikan tentang tren dan tantangan startup yang bergerak pada empat bidang tersebut.

Fintech: Tren platform pembayaran belum usai, dan berpacu pada kepercayaan pengguna

Salah satu indikasi pertumbuhan di sektor ini adalah tren investasi yang tidak terbendung. Startup fintech sendiri juga berkembang signifikan di Indonesia, dari pemain early-stage hingga yang mendapat dukungan besar dari korporasi. Dalam diskusi panel yang digelar dalam Echelon, dihadirkan tiga pemateri yang terdiri dari Veiverne Yuen (Co-Founder & Managing Director Tryb Capital), Valenzia Jihsuan Yap (Founder & CEO PolicyPal) dan Anson Zeall (Co-founder & CEO Coinpip).

Tema yang disajikan ialah langkah fintech ke depan setelah berkutat pada platform berbasis pembayaran. Namun Anson Zeall, dalam perkembangan platform pembayaran pun di pasar Asia Tenggara belum usai. Inovasi masih akan terus berlanjut, seiring dengan pasar yang mulai teredukasi dan berpindah menjadi cashless society. Di beberapa negara disebutkan bahwa dominasi pembayaran masih menggunakan uang tunai, lebih parah lagi non-bankable society juga masih banyak ditemui.

Sesi Fintech dalam Future Stage / DailySocial - Wiku Baskoro
Sesi Fintech dalam Future Stage / DailySocial – Wiku Baskoro

Dari perjalanan startup fintech yang ada saat ini –termasuk di Indonesia—terdapat dua tendensi besar pada visi mereka, yakni menjadi institusi keuangan dan mengembangkan teknologi yang bisa disalurkan di masyarakat dan industri. Menurut pemateri justru kedua hal ini yang akan menentukan fintech ke depan dan akan menjadi seperti apa.

“Sebagian besar layanan keuangan, setidaknya 85% tidak dibuat di sektor konsumer (B2C), melainkan di sektor bisnis (B2B),” Veiverne Yuen.

Di lain sisi kepercayaan masih menjadi perjuangan industri untuk berkomunikasi dengan calon penggunanya. Dari pengalamannya bersama PolicyPal, Valenzia Jihsuan mengatakan, “Ini tentang membangun kepercayaan dan berada di sana setiap kali mereka membutuhkan bantuan.”

Untuk mendukungnya, keterlibatan regulator sangat dibutuhkan. Salah satu yang telah dipraktikkan adalah mendapatkan akreditasi dari Monetary Authority of Singapore (MAS) –OJK setempat, sebagai bagian dari validasi keabsahan yang dapat ditunjukkan kepada konsumen.

Bagi sebagian besar penggunanya, fintech menjadi cara baru dalam banyak aktivitas transaksi. Uang adalah hal yang sensitif, dalam artian orang baru akan mau meletakkan uang yang ia miliki manakala meyakininya bahwa ia akan mendapati keberhasilan dalam transaksi. Terkait dengan kepercayaan tadi, para panelis menilai bahwa menjadi sebuah hal penting yang harus menjadi fundamental dalam fintech, baik untuk jangka pendek dan jangka panjang.

Blockchain turut disinggung dalam panel, dengan keuntungan yang diberikan antara lain berupa portabilitas, akuntabilitas dan potensinya di luar fintech. Salah satu penerapan terbaik saat ini –sebagai bagian dari membiasakan proses di dalamnya—validitas data dapat disuguhkan sebagai bagian terpenting dalam blockchain. Sementara ini blockchain sangat bagus untuk memantau dan memvalidasi transaksi yang berjalan di atasnya.

Namun jika berbicara secara teknis, contohnya pada fintech untuk layanan asuransi seperti yang disuguhkan PolicyPal, tidak mudah menerapkan blockchain ke dalamnya. Tantangannya adalah pada perlindungan data yang menjadi bagian krusial dalam proses bisnis. Namun tidak menutup kemungkinan jika ke depan justru inovasi yang ada akan turut mendorong blockhain sebagai bagian penting dalam fintech di Asia Tenggara.

Artificial Intelligence: Hype sangat besar dan gagasan mayoritas yang masih sangat konseptual

Dalam sesi “Hype or Hope and Is there an AI bubble?” terdapat Annabelle Kwok (CEO SmartCow), William Klipgen (Managing Partner Cocoon Capital) dan Jarrold Ong (Co-founder & ‎CTO SWAT).

Berkaitan dengan pertanyaan apakah AI hanya sekedar hype semata, masing-masing panelis memiliki argumen yang berbeda. Annabelle misalnya, saat ini ia melihat hype yang begitu luar biasa terhadap AI, namun demikian bukan berarti banyak harapan yang pasti akan tercapai dengannya.

Berseberangan, Jarrold Ong dan William Klipgen, memiliki pendapat berbeda. Bahwa AI bukan hanya sekedar hype semata. Kendati demikian memang masih banyak tantangan yang masih harus dibuat lebih gamblang. Seperti kata William, masih banyak ditemui investor yang sulit memahami seberapa dalam AI tertanam pada sebuah teknologi. AI di sini jelas memberikan nilai, tapi tantangan dari sisi investor ialah menentukan seberapa besar hype yang ada dan berapa nilainya.

“Singapura (dan Asia Tenggara pada umumnya) memiliki sedikit inovasi dan lebih banyak aplikasi teknologi, inovasi AI lebih banyak terjadi di Silicon Valley,” Klipgen.

Sesi Artificial Intelligence dalam Future Stage / DailySocial - Wiku Baksoro
Sesi Artificial Intelligence dalam Future Stage / DailySocial – Wiku Baksoro

Dalam praktik implementasinya, Jarrold Ong menerangkan bahwa untuk beberapa produk tidak perlu dipaksakan menggunakan AI. Dalam artian, dalam sistem secara keseluruhan AI hanya perlu diterapkan pada apa yang benar-benar dibutuhkan. Karena pada dasarnya saat AI berelaborasi pada suatu layanan, maka kapabilitas data akan diuji di sana.

Pertanyaan terbesarnya, ketika berbicara tentang AI maka startup akan berkompetisi langsung dengan pemain besar seperti Google atau Microsoft, dengan investasi yang sangat besar di divisi tersebut. Menurut Klipgen, metrik untuk mengukur kecerdasan produk perusahaan bisa menjadi proposisi bisnis potensial. Aplikasi yang dibawa ke industri memiliki sifat yang sangat kustom, dengan menunjukkan bahwa memiliki strategi pemecahan pada masalah yang signifikan.

e27 Umumkan Perolehan Pendanaan Seri A Sebesar 29 Miliar Rupiah

Media teknologi Asia e27 mengumumkan perolehan pendanaan Seri A sebesar SG$ 3 juta (atau sekitar 29 miliar Rupiah) dari sejumlah investor yang dipimpin TechTemple Group yang berasal dari Tiongkok. Convergence Ventures yang berbasis di Jakarta dan Turochas Fuad, orang Indonesia yang berdomisili di Singapura dan telah menjual startupnya Travelmob (kini bernama Spacemob) ke Homeaway, terlibat dalam pendanaan kali ini.

Juga turut berpartisipasi Linear Venture, Venturecraft, Spacemob, dan Douglas Khoo (Co-Founder Qunar). Kemitraan dengan investor Tiongkok, Singapura, dan Indonesia ini disebutkan sejalan dengan misi e27 untuk mendorong ekosistem teknologi Asia Tenggara ke arah yang lebih baik.

e27 didirikan oleh Mohan Belani dan Thaddeus Koh di tahun 2007. Awalnya adalah blog dan pembuat ajang tahunan Echelon di sejumlah negara Asia, kini e27 mulai berevolusi menjadi platform digital tentang informasi startup di Asia Tenggara. DailySocial dan e27 sendiri bekerja sama setiap tahunnya menghadirkan Echelon Indonesia, sebuah ajang konferensi, eksebisi, dan pencarian startup baru yang potensial.

Co-Founder dan CEO e27 Mohan Belani mengatakan, “Selama 12 bulan terakhir, e27 telah menginvestasikan waktu dan skill untuk membangun landasan platform online kami. Hal ini termasuk database pekerjaan digital, marketplace, dan layanan database dan matching antara startup dan investor. Produk ini bebas digunakan oleh komunitas – sejalan dengan visi perusahaan untuk membantu pengusaha dengan mengembangkan produk dan layanan yang relevan untuk melayani kebutuhan startup dan industri teknologi secara umum.”

Platform basisdata ini yang bakal digunakan untuk mendorong pertumbuhan ekosistem teknologi Asia Tenggara ke arah yang lebih baik, dengan poros Tiongkok – Singapura – Indonesia sebagai kuncinya.

Serial entrepreneur Douglas Khoo dalam pernyataannya menambahkan, “Saya sangat percaya kebutuhan melatih dan mendidik profesional teknologi di Asia Tenggara. Bekerja sama dengan Tiongkok akan mengakselerasi peluang pertumbuhan di Asia Tenggara, ketimbang berkompetisi. Saat ini adalah waktunya generasi berikutnya menjadi pendorong ekosistem.”


Disclosure: Induk perusahaan e27 adalah investor di DailySocial.