Platform Pembelajaran Bahasa LingoTalk Rampungkan Pendanaan Awal

Setelah mengantongi pendanaan pre-seed bulan Agustus tahun 2021 lalu yang dipimpin Kistech Pte. Ltd, platform edtech pembelajaran bahasa asing LingoTalk kini merampungkan pendanaan awal dari sejumlah perusahaan berbasis di Singapura. Di antaranya adalah Iterative Capital dan Eduspaze. Pendanaan ini juga diikuti oleh beberapa investor lainnya dari Asia Pasifik yang tidak disebutkan identitasnya.

Terkait nominal, perusahaan juga enggan menyebutkan jumlah pendanaan yang diterima. Lewat dana segar ini, LingoTalk ingin meningkatkan produk layanan dan menjangkau sekolah-sekolah yang ada di seluruh provinsi Jawa dan Sumatra.

“Sebuah kehormatan besar untuk mendapatkan dukungan dari para pihak yang percaya terhadap misi kami dalam memberikan akses pembelajaran bahasa asing yang lebih baik di Indonesia,” kata Co-founder & CEO LingoTalk Andre Benito.

Meluncur bulan Juni tahun 2021 lalu, LingoTalk merupakan platform pembelajaran bahasa asing untuk semua usia. Kini LingoTalk mengklaim telah bertransformasi menjadi platform edtech yang menyasar target pengguna dari kalangan anak-anak. Salah satu lini produk yang tengah mereka kembangkan adalah, produk LingoJunior.

“LingoTalk telah mengidentifikasi area penting dalam sistem pendidikan Indonesia, di mana mereka dapat membantu meningkatkan dan memengaruhi pembelajaran dan kehidupan banyak orang melalui platform mereka. Kami sangat senang dapat bekerja sama dan mendukung pertumbuhan mereka,” ujar Managing Partner Eduspaze Alex Ng.

Layanan pembelajaran bahasa memang miliki daya tarik tersendiri di pasar. Platform yang menawarkan layanan serupa dengan LingoTalk saat ini di antaranya LingoAce dan Cakap.

Fokus pada kurikulum untuk anak

Saat ini, LingoTalk berfokus pada pengembangan materi bahasa asing di level TK & SD melalui LingoJunior. Mereka telah memiliki lebih dari 150 mitra sekolah dan institusi di seluruh Indonesia.

LingoTalk berusaha untuk menghadirkan pembelajaran bahasa asing yang akurat dan disesuaikan untuk segmentasi pasar anak dengan melakukan kerja sama dengan lebih  sekolah melalui institusi pendidikan di Indonesia. Dukungan orang tua dan guru juga disebutkan menjadi kunci kesuksesan mereka dalam menyediakan solusi yang tepat untuk pembelajaran bahasa asing di sekolah.

Application Information Will Show Up Here

Ruangguru Rilis Versi Situs Web, Permudah Siswa Akses Materi Tanpa Aplikasi

Ruangguru meresmikan Ruangbelajar web, versi situs untuk permudah pelajar dari jenjang SD hingga SMA/K mengakses seluruh konten Ruangguru. Sebelumnya, Ruangguru baru bisa diakses melalui aplikasi mobile.

Ruangbelajar Web ini hadir untuk para pengguna yang sebelumnya mengalami keterbatasan saat menggunakan versi aplikasi Ruangguru. Sebab, aplikasi Ruangguru tidak dapat didukung saat diakses melalui Google Chrome dan belum optimal jika diakses melalui tablet. Pengguna tidak perlu mengunduh aplikasi apapun untuk mengakses materi belajar.

Saat ini, pengguna dapat mengakses Ruangbelajar Web melalui laptop dengan sistem operasi apa pun, mulai dari Mac, Windows, Chromebook, ataupun tablet dan smartphone. Seluruh preferensi pengguna saat belajar kini dapat diakomodasi oleh Ruangbelajar Web.

“Kebutuhan pengguna selalu menjadi pertimbangan utama kami dalam proses pengembangan produk. Kami menghadirkan Ruangbelajar Web dengan tujuan mengakomodasi kebutuhan dan preferensi pengguna yang bervariasi, termasuk pilihan perangkat untuk belajar. Melalui Ruangbelajar Web, kami juga ingin memberikan opsi platform belajar yang mudah digunakan, baik bagi pengguna lama maupun baru,” ucap AVP K12 Product Ruangguru Stephanie Hardjo dalam keterangan resmi, Jumat (1/7).

Dia melanjutkan, sebagai edtech, perusahaan akan terus berinovasi menghadirkan pengalaman belajar yang optimal bagi penggunanya. Ke depannya, akan lebih banyak inovasi, baik berbentuk produk maupun program, khususnya untuk menyambut momen tahun ajaran baru.

Akses jaringan terbatas

Menurut tulisan yang dimuat di blog Bank Dunia, ekonomi digital yang berfungsi dengan baik membutuhkan akses internet yang luas dan berkualitas tinggi. Meskipun penggunaan internet di Indonesia telah meningkat hampir empat kali dalam dekade terakhir, setengah dari populasi orang dewasa Indonesia masih belum dapat mengakses internet.

Selain itu, hampir semua pengguna internet di Indonesia mengakses melalui perangkat seluler. Meskipun internet seluler (3G/$G/LTE) menjadi layanan yang paling banyak digunakan, tapi kualitasnya masih tidak setara dengan internet kabel, baik dalam hal kapasitas, kualitas layanan, kinerja bandwidth, dan efisiensi biaya.

Aktivitas belajar jarak jauh selama pandemi Covid-19, menyoroti keterbatasan internet seluler di mana jutaan siswa dan guru di seluruh Indonesia merasa bahwa paket data seluler mereka tidak memadai dan sangat mahal. Akses internet berkualitas tinggi seperti ini menghambat masyarakat dalam menggali kemampuan produktifnya untuk memetik manfaat ekonomi digital sepenuhnya. Hal ini memberikan dua tantangan utama, yaitu bagaimana membuat akses internet kabel menjadi universal dan meningkatkan kualitas internet.

Meningkatkan cakupan jaringan serat optik adalah solusi yang penting, namun tidak cukup. Di saat investasi oleh penyedia layanan swasta, bersama dengan proyek-proyek pemerintah seperti Palapa Ring untuk meningkatkan konektivitas dan ketersediaan layanan di seluruh kabupaten di Indonesia, ternyata jumlah pelanggan internet tidak meningkat secara paralel. Hanya 26% rumah yang memiliki akses ke penyedia internet kabel yang berlangganan layanan ini.

Rendahnya tingkat berlangganan sebagian besar disebabkan oleh masalah biaya dan kualitas. Harga paket data seluler Indonesia relatif terjangkau dibandingkan dengan paket serupa di negara tetangga, namun hal ini tidak berlaku pada paket internet kabel.

Dalam peringkat ITU 2019 untuk biaya berlangganan internet kabel, Indonesia berada di peringkat 131 dari 200 negara dan wilayah yang diamati dalam hal keterjangkauan biaya. Hal ini menegaskan bahwa Indonesia adalah salah satu pasar internet kabel yang paling mahal. Hampir separuh rumah tangga Indonesia (44%) menyebut biaya tinggi sebagai alasan utama mereka tidak berlangganan layanan internet kabel.

Selain biaya yang mahal, kualitas layanan internet di Indonesia termasuk yang terendah dibandingkan dengan negara tetangga di ASEAN. Indonesia mencatat kecepatan download internet seluler paling lambat kedua (17,24 Mbps), sedikit di atas Kamboja (16,4 Mbps). Untuk kecepatan internet kabel, Indonesia paling lambat ketiga di ASEAN, setelah Kamboja dan Myanmar.

Oleh karenanya, saat mengakses internet, apalagi untuk pembelajaran jarak jauh butuh dukungan platform yang dapat diakses melalui berbagai metode. Situs itu sendiri jauh lebih simpel, bahkan lebih ringan dibandingkan aplikasi laptop. Hal ini mengingat aplikasi laptop memiliki kustomisasi fitur yang unik, sehingga kebutuhan penyimpanan data pengguna dan aktivitasnya pun jauh lebih kompleks membutuhkan server yang jauh lebih besar, sekelas cloud hosting.

Application Information Will Show Up Here

[Video] Kolaborasi Sekolah.mu Mendukung Kegiatan Belajar Mengajar

Dalam wawancara bersama DailySocial, COO Sekolah.mu Radinka Qiera membahas efek pandemi terhadap platform edtech yang ia kelola.

Perempuan yang akrab disapa Inka ini mengungkap seperti apa proses adaptasi dan pendekatan teknologi yang diaplikasikan Sekolah.mu untuk memberikan dampak bagi masyarakat.

Meski banyak bermunculan platform-platform edtech sejenis, Inka menyebut beberapa strategi yang ia aplikasikan sebagai pembeda.

Simak semua pembahasan Inka tentang Sekolah.mu yang terangkum dalam video wawancara di bawah ini.

Untuk video menarik lainnya seputar strategi bisnis dan kontribusi sejumlah startup di Indonesia, kunjungi kanal YouTube DailySocialTV di sesi DScussion.

Platform Edtech Dibimbing Tawarkan Program Bootcamp Persiapan Karier di Bidang Teknologi

Meluncur tahun 2020 lalu, startup edtech “Dibimbing” telah mengantongi pendanaan tahap awal dari Init-6. Ini menjadi startup edtech ketiga yang diumumkan mendapatkan pendanaan dari perusahaan modal ventura milik mantan eksekutif Bukalapak tersebut setelah Educa dan Codemi.

Kepada DailySocial.id, Founder & CEO Dibimbing Zaky Muhammad Syah menyebutkan, setelah mendapatkan dana hibah dari Universitas Indonesia, mereka memang tidak terlalu agresif melakukan penggalangan dana. Telah mendapatkan profit sejak hari pertama, mereka lebih fokus untuk mengembangkan bisnis dan menambah lebih banyak siswa.

Tahun ini dengan tujuan untuk mempercepat pertumbuhan bisnis dan memperluas cakupan layanan, penawaran dari Init-6 sebagai investor mereka terima. Tentunya setelah melihat adanya kesamaan visi dan misi dengan pemodal ventura tersebut.

“Saya melihat Init-6 memiliki misi yang sama dengan kami yaitu menyalurkan tenaga kerja baru yang makin banyak diminta oleh industri digital saat ini. Masih belum adanya kesamaan kurikulum di kampus dengan permintaan dari industri digital, menjadikan kurangnya talenta digital yang relevan dan berkualitas saat ini di Indonesia,” kata Zaky.

Dana segar akan dimanfaatkan untuk merekrut talenta di jajaran senior level. Selain itu mereka juga ingin mengembangkan Learning Management System (LMS) yang lebih user friendly dan personal kepada para siswa. Dengan sistem pembelajaran yang lebih terstruktur, diharapkan bisa meningkatkan kualitas dari lulusan.

Dikatakan juga, saat ini sebanyak 80% dari lulusan Dibimbing diterima oleh perusahaan sebagai tenaga kerja baru. Targetnya dengan penguatan yang dilakukan, bisa meningkatkan persentase tersebut menjadi 100%.

“Saat ini sudah ada 450 perusahaan yang telah bermitra dengan Dibimbing untuk menyerap lulusan kami menjadi pegawai mereka. Harapannya tahun 2023 mendatang bisa memiliki sekitar 300 ribu siswa baru. Saat ini ada sekitar 30 ribu siswa dari program pendidikan Dibimbing,” kata Zaky.

Program pendidikan yang ditawarkan oleh Dibimbing di antaranya adalah, data science, digital marketing, UI/UX, business intelligent, SEO, product management, web development, dan lainnya.

Masih fokus di B2C

Meskipun meluncur sebagai platform edtech, namun dengan pilihan program pendidikan yang ada, Dibimbing juga ingin menjadi platform penyalur tenaga kerja digital, yang saat ini makin banyak dibutuhkan oleh industri digital. Untuk itu mereka berkonsentrasi betul terhadap kualitas pengajaran.

Salah satu hal yang juga sangat diperhatikan adalah terkait perekrutan mentor. Mereka menghadirkan mentor pilihan yang diambil dari pelaku industri.

“Proses kurasi yang kita lakukan diawali dengan mengundang mereka menjadi mentor untuk kelas gratis. Nantinya, setelah melewati evaluasi, akan kami tawarkan kontrak selama satu tahun dan seterusnya,” kata CPO Dibimbing Alim Anggono.

Dari sisi demografi, tercatat sekitar 70% siswa Dibimbing berusia 23-29 tahun. Bukan hanya fresh graduate, banyak juga yang sudah bekerja dan kemudian memutuskan untuk berpindah haluan karier di bidang teknologi. Akhir-akhir ini Dibimbing juga juga melihat lonjakan siswa baru yang merupakan korban layoff dari startup hingga perusahaan teknologi di Indonesia.

“Dengan pilihan kelas yang ditawarkan, mulai dari video learning dan kelas bootcamp, kami mengenakan biaya Rp6 juta kepada siswa selama lima bulan dan kesempatan untuk disalurkan sebagai pegawai di perusahaan yang telah menjalin kerja sama dengan kami,” kata Zaky.

Meskipun belum menyasar segmen B2B secara khusus, namun melalui program bootcamp khusus, perusahaan yang ingin merekrut beberapa pegawai untuk mengisi beberapa jabatan bisa memanfaatkan program ini. Dibimbing juga menyediakan pilihan pengajaran kepada pegawai yang telah direkrut oleh perusahaan tersebut secara mandiri.

“Hingga saat ini strategi monetisasi Dibimbing adalah mengenakan biaya kepada siswa (B2C). Belum ada rencana bagi kami untuk lebih serius menyasar segmen B2B dalam waktu dekat,” kata Zaky

Bukan hanya ingin mencetak lulusan baru yang dicari oleh perusahaan lokal, Dibimbing juga memiliki rencana untuk menghasilkan lulusan terbaik untuk kemudian mereka salurkan kepada perusahaan di luar negeri. Hal ini kemudian menjadi tujuan mereka, setelah mendapat kabar bahwa ada beberapa siswa mereka yang telah diterima oleh perusahaan asing.

“Fakta tersebut menjadi peluang yang baik bagi kami untuk kemudian menjadi tujuan baru Dibimbing. Dilihat dari adanya kesamaan teori, yang membedakan hanyalah dari sisi use case saja,” kata Zaky.

Konsep bootcamp diterima cukup baik di pasar Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan traksi yang cukup mengesankan dari startup pengembang layanan bootcamp. Selain Dibimbing, juga ada beberapa penyedia bootcamp yang telah mendapatkan dukungan dari investor. Terbaru ada Binar Academy, Skilvul, MySkill, Hacktiv8, dan lain-lain. Sebagian dari mereka juga menyalurkan lulusannya ke mitra startup atau perusahaan yang membutuhkan

Startup Edtech “Tentorin” Mudahkan Siswa SMA Belajar Bersama Secara Daring

Pendidikan adalah fenomena atau asasi dalam kehidupan manusia, sebab di mana ada kehidupan manusia, bagaimanapun juga ada pendidikan. Ibarat kata, pendidikan adalah hak asasi. Sama seperti hak untuk hidup, hak untuk berpendapat, hak untuk berorganisasi.

Semenjak pandemi, adopsi digital terhadap layanan edtech kian kencang. Proses belajar tidak lagi harus tatap muka secara langsung, tapi mediumnya beralih ke daring. Di tengah nilai lebih dan kurangnya, semangat pemain edtech untuk terus mendemokratisasikan pendidikan tidak kunjung pudar. “Tentorin” hadir menawarkan solusi note-sharing platform untuk siswa SMA, khususnya mereka yang sedang dalam persiapan ujian masuk universitas.

Startup ini dirintis oleh Rafsi Albar (CEO) dan Syahriza Ilmi (CTO) yang memiliki minat mendalam di dunia edukasi. Keduanya bertemu dua tahun lalu di Akademis, startup edtech yang berfokus pada persiapan masuk universitas, saat bekerja sebagai consumer researcher. Saat itu, Rafsi fokus di divisi keuangan, sementara Syahriza di produk digital.

Baik Rafsi maupun Syahriza punya berbagai pengalaman yang saling mendukung satu sama lain. Rafsi pernah bekerja sebagai Investment Analyst di Kejora Capital, Boston Consulting Group, dan Kinobi. Sedangkan Syahriza punya pengalaman sebagai Digital Finance & Business Analyst di Mitsubishi Fuso, Kalibrr, dan ASA Digital. Selain mereka berdua, Tentorin kini memiliki lima karyawan inti lainnya yang memiliki pengalaman beragam, termasuk membangun organisasi dan startup.

“Setelah kami merasa memiliki dasar yang cukup, kami membentuk tim kembali di akhir 2021 untuk berkomitmen lebih dengan membangun startup di bidang edukasi,” ujar Rafsi kepada DailySocial.id.

Sebelum menawarkan solusi note-sharing platform, sebenarnya Tentorin punya ide awal yang berbeda, tapi masih tetap dalam ranah edukasi. Namun keyakinan semakin bulat untuk pivot, setelah beberapa bulan melakukan riset pasar dan testing produk. Ia dan tim ternyata menemukan masalah yang lebih besar, yaitu kesulitan yang dihadapi para pelajar dalam mendapatkan materi pembelajaran yang cocok buat mereka.

“Sebagai contoh, banyak siswa yang merasa bahwa penjelasan dari guru saja kadang kurang untuk dapat mengerti keseluruhan materi. Setelah meriset lebih jauh, ternyata behaviour siswa Indonesia itu gemar berbagi dan belajar bersama teman karena adanya perbedaan penyampaian materi oleh guru dan teman sebayanya.”

Sumber: Tentorin

Solusi Tentorin

Sejatinya, Tentorin baru dirilis pada Maret 2022 atau sekitar tiga bulan lalu dengan produk utama berupa note-sharing platform yang dapat diakses melalui situsnya. Di sana, pelajar dapat mengakses lebih dari 500 catatan pelajar Indonesia yang mencakup materi SMA, khususnya mata pelajaran yang diujikan dalam seleksi masuk universitas, yakni UTBK-SBMPTN dan ujian mandiri.

Sejauh ini, sambungnya, platform Tentorin masih gratis untuk diakses oleh pelajar dari mana pun. Akan tetapi, untuk strategi monetisasi ke depannya, pihaknya sedang menyiapkan fitur live class, pelajar dapat membuat kelas berbayar yang difasilitasi oleh Tentorin. “Untuk mem-posting kelas di platform Tentorin, difasilitasi dari segi pembayaran, dan hal teknis lainnya, tentor (sebutan untuk siswa yang mengajar) diberikan charge.”

Proposisi tersebut menjadi diferensiasi yang paling mencolok antara Tentorin dengan pemain sejenisnya di Indonesia. Pasalnya, Tentorin tidak langsung menyediakan tenaga pengajar in-house. Justru, membangun ekosistem yang berfokus pada pelajar sebagai sumber belajar siswa antara satu sama lain.

Sumber: Tentorin

Dia kembali mencontohkan, di platform Tentorin, terdapat biodata pembuat catatan, seperti akun media sosialnya. Harapannya, Tentorin tidak hanya menyampaikan materi kepada pelajar, tapi juga melibatkan mereka secara aktif dengan memberikan apresiasi terhadap hasil karya mereka. Terlebih itu,  platform tersebut juga memungkinkan untuk mengumpulkan berbagai sumber untuk setiap materinya dengan memberikan lebih banyak opsi kepada pengguna.

“Tentorin juga memiliki Discord yang diisi oleh hampir 1.000 pelajar, setiap harinya kami mengadakan engagement dalam bentuk diskusi yang berhubungan dengan seleksi masuk universitas.”

Konsep peer-to-peer seperti Tentorin ini sebenarnya sudah diterapkan oleh startup edtech skala global, seperti Course Hero, Quizlet, dan Chegg. Masing-masing memiliki nilai lebih dan kurang. Course Hero dan Quizlet adalah platform note-sharing terbesar di dunia, mereka juga memiliki layanan seperti bantuan tugas. Sayangnya, platform tersebut tidak menjangkau pelajar di Indonesia dengan baik.

“Kami melihat ada kebutuhan besar yang tidak terpenuhi. Tentorin mengambil best practice dari para pemain global tersebut dan menyesuaikannya pada konteks dan karakteristik pelajar di Indonesia.”

Rencana berikutnya

Rafsi mengklaim, setelah dua bulan dirilis, Tentorin telah membantu lebih dari 3.500 pelajar yang bersiap menuju universitas. Tak hanya itu, tengah dalam tahap pre-revenue karena fokus mengembangkan pustaka dan basis komunitas pelajar, agar Tentorin mampu menjaring lebih banyak pelajar ke depannya.

Inovasi yang dapat mengakomodasi pembelajaran peer-to-peer berikutnya akan tetap menjadi fokus perusahaan. Pada April kemarin, perusahaan baru merilis fitur pendukung, yaitu fitur koleksi. Fitur ini memungkinkan pengguna untuk menyimpan catatan yang ia suka dalam satu ‘binder’ di sistem Tentorin. Dengan demikian, pelajar dimudahkan mengakses catatan kapan pun mereka butuhkan.

Berikutnya, fitur live class yang sebenarnya sudah mulai diujicobakan sejak Mei kemarin. Untuk target pengguna, Tentorin akan tetap menyasar pelajar SMA. Setelahnya, berencana masuk ke pendidikan formal lainnya. “Jika semua berjalan sesuai rencana, Tentorin akan siap menyambut tahun ajaran baru 2022/2023 dengan memperkenalkan satu atau dua gebrakan baru.”

Untuk status pendanaan, sejauh ini masih berjalan secara bootstrap dengan dana tambahan yang diterima Tentorin berupa hadiah atau hibah. Hibah tersebut diterima saat menerima penghargaan sebagai runner up di Gotcha Competition yang diselenggarakan OCBC NISP Ventura dan Upturn Scale Program.

“Saat ini kami sedang menggalang pendanaan tahap awal dan berencana akan gunakan dana tersebut untuk percepat proses pembuatan produk dan mengembangkan komunitas pengguna Tentorin,” tutup Rafsi.

Pintaria Berganti Nama Jadi “Pintar”, Fokus Berdayakan Angkatan Kerja Lewat Teknologi

Berubahnya dunia kerja seiring perkembangan teknologi menyebabkan adanya kesenjangan demand dan supply dalam pasar tenaga kerja. Pintar (sebelumnya Pintaria, bagian dari  HarukaEDU) hadir untuk menutup celah tersebut dengan mengembangkan sebuah platform pengembangan diri. Ini juga jadi pengajawantahan visi perusahaan untuk memberdayakan angkatan kerja Indonesia lewat akses belajar tanpa kenal usia.

Pintar memiliki 3 produk pembelajaran utama, yaitu Kuliah, Kursus, dan Korporasi. Pada produk Kuliah ini, mereka bekerja sama dengan mitra universitas lokal untuk menyediakan Sistem Manajemen Pembelajaran (LMS) dan membantu menjalankan digitalisasi dalam proses pembelajaran.

Selain itu, ada juga Kursus yang menawarkan kelas-kelas untuk pengembangan diri dan karier. Lalu pada produk Korporasi, Pintar bermitra dengan para korporasi yang ingin berinvestasi pada para pekerja untuk membantu menyediakan pembelajaran yang fleksibel sesuai kebutuhan untuk upskilling dan reskilling para pekerja.

Ragam layanan yang disediakan Pintar lewat platformnya

 

CEO Pintar Ray Pulungan menyatakan bahwa keputusan rebranding dari nama “Pintaria” ke “Pintar” ini mempertegas misi perusahaan untuk membuka akses kepada pendidikan berkualitas di era digital sebagai bagian dari proses pembangunan ekonomi yang inklusif, berdaya saing tinggi, dan berkelanjutan.

Pendidikan yang ditawarkan oleh Pintar tidak cuma berupa pendidikan formal tetapi pendidikan yang dinamis dan peka terhadap perubahan zaman.

“Pendidikan ini sesuatu yang tidak mengenal ruang dan waktu. Ini yang kami perjuangkan. Pintar hadir untuk memberikan kesempatan yang setara bagi setiap pembelajar di usia produktif. Kami ingin memberdayakan angkatan kerja lewat akses pendidikan tanpa kenal usia,” jelas Head of Learning Pintar Grace Gunawan.

Dalam acara soft-launching Pintar yang diikuti oleh diskusi bertajuk “Empowering Indonesia’s Workforce through Upskilling”, salah satu isu yang turut diangkat adalah fenomena horizontal mismatch atau ketidakselarasan output pada dunia kerja. Ditengarai banyaknya tenaga kerja yang bekerja pada bidang yang tidak sesuai dengan latar belakangnya.

“Menurut penelitian LIPI, 4,6% tenaga kerja Indonesia undereducated, 27,9% tenaga kerja overeducated, dan 68,4% mengalami field of study mismatch. Berbagai mismatch ini menimbulkan konsekuensi berupa kesenjangan keterampilan, rendahnya kepuasan kerja, tingginya angka pengangguran, sampai kesenjangan gaji/upah,” tutur Shinta Kamdani selaku Chair of B20 Indonesia 2022 sekaligus Wakil Ketua Kadin Indonesia dan CEO Sintesa Group.

Pintar mencoba menjawab dan menangani kesenjangan antara supply dan demand tenaga kerja di Indonesia tersebut. Selain itu, juga menjembatani skill gap di dunia kerja lewat kolaborasi dengan berbagai institusi. “Kami percaya pendidikan itu bukan cuma persoalan individu. Hal ini membutuhkan sinergi dari banyak pihak untuk bisa meningkatkan sumber daya manusia,” ucap Grace.

Incoming Dean for School of Professional Studies Shankar Prasad yang juga hadir dalam sesi ini, mengungkapkan pentingnya kolaborasi dengan edutech bagi institusi pendidikan tradisional seperti universitas demi menciptakan konten-konten yang lebih relevan dengan kebutuhan dunia kerja. Selain itu, platform teknologi juga dinilai mampu menjangkau lebih banyak pembelajar dibanding institusi pendidikan tradisional.

“Saat ini adalah waktu yang sangat tepat untuk berinvestasi dalam keterampilan karyawan. Secara global teknologi sudah cukup maju, apa pun bisa dipelajari karena platform pembelajaran bisa diakses dengan mudah. Keberadaan platform-platform ini membuat para pekerja bisa terus mengembangkan
diri dengan tidak terhambat oleh pendidikan formal,” tambah Vice President Samator Group Imelda Harsono yang turut hadir mengisi sesi diskusi.

Perjalanan Bisnis Pintar

Didirikan pada tahun 2014, HarukaEDU — yang kemudian rebranding menjadi Pintaria— lalu sekarang resmi menggunakan identitas Pintar, memulai bisnis sebagai mitra universitas yang ingin meluncurkan pembelajaran online. Beberapa di antaranya adalah Universitas Kristen Indonesia dan Universitas Al Azhar Indonesia, untuk mendigitalkan konten mereka dan mengelola sisi teknologi dari proses pembelajaran.

HarukaEDU membantu universitas meningkatkan pendaftaran siswa baru dan meningkatkan pengalaman belajar siswa. Perusahaan meluncurkan platform Pintaria pada tahun 2018, menawarkan pelatihan teknis dan soft skill bagi mereka yang bersiap memasuki dunia kerja. Di tahun berikutnya, kembali meluncurkan CorporateEDU untuk mendukung perusahaan, organisasi, dan lembaga pemerintah dalam memberikan pelatihan perusahaan yang fleksibel, efektif, dan terukur bagi karyawan.

Selama masa pandemi COVID-19, Platform ini juga membantu pemerintah Indonesia dengan inisiatif pelatihan ulang Program Kartu Prakerja. Perusahaan fokus pada pengembangan program dan pilihan untuk memastikan bahwa siswa memiliki sarana dan sistem pendukung yang mereka butuhkan untuk menyiapkan mereka agar sukses dalam karier dan kehidupan mereka.

Sejak berdiri di tahun 2014, platform ini telah memfasilitasi transformasi karier melalui pendidikan dan pengalaman dalam keterampilan yang paling dibutuhkan saat ini. Ketika pengguna memulai pembelajaran dalam platform, mereka dapat memilih berbagai format dan modul untuk membantu mereka mencapai tujuan, termasuk full-online, blended learning, dan opsi short-form — di kampus dan online.

Resmi menggunakan identitas baru, Pintar menggunakan pendekatan bisnis yaitu kemitraan. Perusahaan bekerja sama dengan banyak universitas khususnya lokal. “Namun, misi penting kami tidak hanya dengan universitas saja, melainkan juga melibatkan institusi pendidikan lainnya dan tentunya pelaku teknologi. Ke depannya kami akan membangun kerja sama yang lebih luas lagi dengan berbagai stakeholder baik lokal maupun global,” ujar Ray.

Hingga kini, perusahaan sudah memiliki jaringan yang luas dengan 700+ kursus online, kemitraan dengan 13 universitas dan lebih dari 50 mitra pelatihan. Platform ini juga telah menjadi mitra Prakerja sejak 2020. Pintar juga telah berhasil menggaet lebih dari satu juta pengguna untuk mengakses kursus singkat, pendidikan tinggi, dan program Prakerja.

Startup Edtech MySkill Umumkan Pendanaan Awal dari East Ventures

Startup edtech MySkill mengumumkan telah mendapatkan pendanaan awal dari East Ventures dengan nilai dirahasiakan. Didirikan sejak pertengahan 2021, platform yang dikembangkan ingin membantu kaum muda dalam mempersiapkan diri ke jenjang karier melalui produk pembelajaran independen, interaktif, dan privat.

Diklaim saat ini MySkill telah memiliki sekitar 700 ribu pengguna. Adapun untuk layanan yang dijajakan meliputi Mentoring Privat, Bootcamp Interaktif, dan Video E-Learning On-Demand. Konten yang dihadirkan juga beragam, mulai dari pembuatan teknis persiapan karier, pemasaran digital, manajemen produk, sampai dengan pemrograman.

“Pendanaan ini akan mempercepat misi kami dalam mendukung para pencari kerja di Indonesia untuk menggapai karier impian mereka. MySkill hadir dengan solusi inovatif yang memastikan hasil pembelajaran yang lebih baik, di mana akan menciptakan efek domino dalam menghasilkan dampak sosial dan ekonomi yang lebih baik di Indonesia,” kata Co-Founder & CEO MySkill Angga Fauzan.

Selain Angga, startup ini turut didirikan oleh Erahmat (Co-Founder & Chief Business Officer). Kedua co-founder ini menyadari akan kesenjangan keterampilan yang sangat besar antara dunia akademik dan keterampilan yang dibutuhkan di dunia kerja, yang berujung pada banyak orang kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan yang layak.

Di Indonesia sendiri sudah ada beberapa layanan serupa, misalnya yang disediakan Binar Academy, ToMu by ProSpark, Kuncie, Skill Academy, Terampil, dan sebagainya. Bahkan pemain seperti Binar atau Hacktiv8 memiliki kemitraan khusus dengan perusahaan untuk menjembatani lulusannya agar memiliki kesempatan lebih besar dalam mendapatkan pekerjaan.

Permasalahan penyerapan tenaga kerja

Penyerapan tenaga kerja memang masih isu fundamental di Indonesia. Di sisi supply, jumlah tenaga kerja yang ada sangat melimpah karena setiap tahunnya ada ribuan sampai jutaan lulusan yang dihasilkan sekolah kejuruan atau perguruan tinggi. Pun demikian dengan demand dari industri, jumlahnya cukup besar setiap tahun. Namun faktanya, banyak pelaku industri yang merasakan kesulitan untuk menemukan talenta yang berkualifikasi.

Studi J.P. Morgan dan Singapore Management University menemukan bahwa salah satu penyebab rendahnya jumlah tenaga kerja berkualitas di Indonesia dikarenakan kesenjangan antara dunia akademik dan industri. Situasi tersebut diperparah oleh pandemi yang akibatnya dirasakan oleh lebih dari 29 juta pekerja di Indonesia, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS).

Dari permasalahan tersebut, banyak pihak mengupayakan adanya match-making antara lulusan universitas dengan kebutuhan industri. Salah satunya seperti yang dilakukan startup edtech seperti MySkill dengan menyelenggarakan pelatihan dengan kurikulum dan mentor yang dihadirkan langsung dari perspektif industri.

“Melihat kesenjangan besar yang dihadapi ketenagakerjaan Indonesia saat ini, kami percaya MySkill dapat membawa lebih banyak pertumbuhan serta dampak ke industri tenaga kerja di Indonesia,” kata Principal East Ventures Devina Halim.

ToMu Kembangkan Platform Marketplace Pelatihan dan Pengembangan Talenta untuk Perusahaan

Dalam sebuah perusahaan, kualitas sumber daya manusia menjadi salah satu aspek yang sangat menentukan kemajuan bisnis. Maka dari itu, banyak perusahaan yang tidak enggan merogoh kocek untuk misi mengembangkan talenta para pekerjanya. Namun, tidak semua perusahaan bisa mengelola dengan baik kebutuhan akan para talenta ini.

Ada banyak sekali platform yang menawarkan pelatihan mandiri, coaching, atau program pengembangan dengan subyek tertentu, sementara sebuah perusahaan memiliki karyawan yang membutuhkan pelatihan di bidang yang lebih bervariasi. ToMu (Toko Ilmu) menawarkan solusi satu untuk semua kebutuhan Learning & Development dalam organisasi untuk meningkatkan kinerja dan produktivitas karyawan guna mempercepat pengembangan organisasi.

Platform one-stop learning & development

ToMu didirikan oleh Alfa Bumhira, yang juga dikenal sebagai Co-Founder & CEO ProSpark, sebuah Learning Management System (LMS) untuk B2B yang memungkinkan perusahaan untuk melatih, melakukan sertifikasi, transfer pengetahuan, dan berkolaborasi. Ia mendirikan ToMu pada awal tahun ini sebagai sebuah marketplace yang menawarkan layanan pembelajaran dan pengembangan baik training, coaching, nurturing dan well-being bersama mentor berpengalaman.

Meskipun solusi marketplace yang ditawarkan lebih menyasar ranah B2C, ToMu memilih fokus ke B2B, mereka juga menawarkan solusi untuk perusahaan bisa memiliki satu platform yang bisa mengelola semua kegiatan terkait L&D. Menargetkan startup, perusahaan ingin menjadi sebuah platform one-stop learning & development (L&D) yang menyediakan layanan seperti learning marketplace, course delivery, sentralisasi manajemen, hingga proses administrasi, dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas data & menjadikannya tolok ukur yang bermanfaat.

Alfa juga menilai bahwa salah satu isu besar yang ada di industri ini adalah banyaknya pelatih atau mentor menghabiskan waktu mereka untuk mengurus hal-hal minor daripada benar-benar melaksanakan pelatihan. ToMu berharap bisa menjadi solusi untuk menghubungkan mentor dengan lebih banyak kesempatan. Hingga saat ini, sudah ada lebih dari 300 mentor yang terdaftar di ToMu yang juga terafiliasi dengan pengembang platform learning management system (LMS), ProSpark.

Platform ini telah berhasil menghubungkan sekitar 20 perusahaan yang membutuhkan layanan training, mentoring, coaching, hingga wellbeing dengan mentor-mentor yang memiliki kapasitas dalam bidangnya.

Solusi yang ditawarkan ToMu saat ini tidak dikenakan biaya apa pun. Perusahaan hanya perlu mendaftar dan memasukkan data karyawannya. Setelah itu mereka bisa menikmati program L&D yang dipersonalisasi untuk tujuan tertentu. Dari situ, perusahaan akan mendapat data real-time yang bisa dikonversi menjadi wawasan baru untuk ditindaklanjuti menggunakan fitur OKR. ToMu juga menawarkan fitur ROI untuk dapat melacak setiap investasi yang telah dilakukan perusahaan.

Rencana ke depan

Untuk saat ini, ToMu fokus untuk mengembangkan solusi marketplace dengan melengkapi dari sisi supply dan demand. Lalu, ke depannya ToMu memiliki misi untuk masuk ke ranah pengelolaan talenta yang lebih serius. “Seiring kami membangun marketplace ini, kami juga berharap bisa membantu perusahaan dalam hal seleksi serta pengelolaan talentanya,” ujar Alfa.

ToMu juga akan segera terintegrasi dengan sistem manajemen pembelajaran ProSpark dan sistem pengelolaan HR perusahaan. Selain itu juga akan mengembangkan layanan ke talent placement dan assessment tools.

Alfa menilai bahwa konsep L&D masih terbilang baru di Indonesia dan peluangnya masih sangat besar. Dalam perhitungannya, pasar L&D di Indonesia bisa mencapai $1,5 miliar per tahunnya. Di Indonesia sendiri, terdapat lebih dari 2500 startup, kebanyakan tidak memiliki divisi L&D.

“Di sinilah peran ToMu akan menjadi penting, untuk bisa mendampingi perusahaan dalam mengembangkan kemampuan terbaik talentanya demi pertumbuhan bisnis yang lebih baik,” tambah Alfa.

Sebagai sebuah marketplace, ToMu bersaing head-to-head dengan Kuncie, diversifikasi lini bisnis operator telekomunikasi, Telkomsel, di ranah edtech. Kuncie memungkinkan penggunanya untuk upskill dan re-skill lewat konten pembelajaran dan melakukan sesi mentoring berbasis on demand melalui aplikasi.

Binar Academy Dikabarkan Peroleh Pendanaan Pra-Seri A 51 Miliar Rupiah

Startup edutech yang fokus menyediakan layanan bootcamp dan kelas online bersertifikat “Binar Academy” dikabarkan telah membukukan pendanaan pra-seri A senilai $3,5 juta atau setara 51 miliar Rupiah. Sejumlah impact investor terlibat dalam putaran ini, termasuk iGlobe Partners, Teja Ventres, Cellar Capital Partners, Spaze Ventures, YCAB Ventures, dan sejumlah lainnya.

Investasi ini melanjutkan perolehan seed funding pada April 2020 yang dipimpin Teja Ventures dengan partisipasi sejumlah investor termasuk Indonesia Women Empowerment Fund (IWEF— dana yang bertujuan untuk menciptakan dampak sosial dan dikelola bersama oleh Moonshot Ventures dan YCAB Ventures), Eduspaze, The Savearth Fund, serta beberapa angel investor dari ANGIN.

Terkait kabar ini, kami sudah mencoba meminta komentar dari pihak terkait.

Layanan Binar Academy

Binar memiliki beberapa model bisnis, baik di segmen B2C maupun B2B. Untuk layanan pembelajaran ke konsumer, ada tiga produk yang disediakan. Pertama Binar Bootcamp, yakni program pembelajaran intensif terkait pemrograman dan analisis data yang ditujukan untuk lulusan SMA sederajat dan profesional.

Lulusan program ini juga disalurkan ke perusahaan teknologi yang telah tergabung di layanan Job Connect milik Binar. Dikutip dari situs resminya, saat ini mereka telah meluluskan lebih dari 3000 pelajar dan menyalurkan lebih dari 500 lulusan ke perusahaan mitra.

Kedua, Binar Insight yang merupakan program webinar berbayar dengan speaker ternama. Sesi yang dihadirkan cukup beragam, mulai dari UI/UX, pengembangan web, manajemen produk, hingga business intelligence. Dan ketiga ada BinarGo, layanan pembelajaran on-demand dengan materi digital interaktif.

Binar juga memiliki layanan B2B yang menyasar korporasi. Ada dua layanan yang disuguhkan, yakni untuk perekrutan talenta digital dan program peningkatan kapasitas talenta teknologi melalui pelatihan/workshop.

Kompetisi pasar

Layanan bootcamp telah menjadi opsi pendidikan nonformal yang cukup diminati di Indonesia, apalagi terkait dengan pemrograman dan teknologi yang memiliki demand tinggi dari perusahaan. Selain binar, ada beberapa penyelenggara bootcamp serupa yang telah beroperasi, di antaranya Hacktiv8, Impact Byte, dan Skilvul.

Salah satu opsi menarik yang mereka tawarkan adalah skema “Income Share Agreement“, memungkinkan pelajar untuk terlebih dulu menimba ilmu dan baru membayar biaya akomodasi setelah mendapatkan penghasilan dari keahliannya.

Secara global, menurut riset yang dilakukan Technavio, layanan bootcamp yang fokus di materi pemrograman berpotensi menghasilkan kapitalisasi pasar hingga $772,04 miliar di 2021-2025 dengan CAGR 17%. Pandemi turut mendorong adopsi model pembelajaran ini, apalagi sejumlah pengembang layanan turut menyajikan fasilitas pembelajaran yang bisa dilakukan sepenuhnya online.

Dalam sebuah wawancara, Founder & CEO Binar Academy Alamanda Shantika mengatakan, kombinasi dari pengalaman belajar kontemporer, teknologi, dan komunitas akan menghasilkan pengalaman pembelajaran yang menarik sekaligus berdampak bagi para pelajar. Apalagi jika ditinjau secara demografi, kebanyakan member Binar adalah lulusan SMA, mahasiswa, dan orang-orang yang ingin berganti karier (career shifter).

Untuk meningkatkan cakupan bisnis, Binar juga secara konsisten meningkatkan dengan institusi pendidikan termasuk dengan pemerintah, universitas, dan sekolah vokasi. Selain itu, Binar Academy juga akan berkolaborasi dengan perusahaan yang terdampak oleh digitalisasi untuk upskilling employee agar kemampuannya kembali relevan.

Application Information Will Show Up Here

Andi Kristianto: INDICO Manfaatkan Aset Telkomsel untuk Membesarkan Bisnis Digital

Andi Kristianto bukanlah sosok baru di industri telekomunikasi. Ia telah dipercaya memimpin berbagai inisiasi dan langkah strategis dalam meningkatkan nilai Telkomsel sebagai penyedia jaringan terbesar melalui produk digital.

Andi merupakan Founder dari program inkubasi dan akselerasi Telkomsel Innovation Center (TINC). Ia juga sempat ditunjuk menakhodai entitas baru Telkomsel di bidang investasi, yakni Telkomsel Mitra Inovasi (TMI) selama dua tahun. Kini ia kembali dipercaya memimpin Telkomsel Ekosistem Digital (TED) melalui brand INDICO. Pendirian entitas INDICO tentu menjadi penanda penting yang menunjukkan komitmen Telkomsel dalam membesarkan bisnis digital, lepas dari cangkangnya.

Sebelum mendirikan INDICO, Telkomsel telah memperkenalkan produk digital Kuncie (edtech) dan Fita (healthtech) pada paruh 2021. Kedua produk ini dikembangkan berbasis dua hipotesis penting, yakni (1) “inside-out” atau potensi melepas (spin off) bisnis untuk membesarkan valuasinya apabila sukses di pasar dan (2) “outside-in” berfokus dalam mencari ide atau use case yang punya keterkaitan erat dengan business unit Telkomsel.

Hingga akhir 2021, Telkomsel memiliki tiga portofolio dengan mendirikan perusahaan patungan yang didirikan bersama GoTo melalui PT Aplikasi Multimedia Anak Bangsa (AMAB), yakni Majamojo.

DailySocial berkesempatan berbincang dengan Andi seputar pendirian INDICO dan bisnisnya. Berikut rangkumannya.

Ceritakan alasan pendirian entitas baru dengan brand Indonesia Digital Ecosystem (INDICO)?

Jawab: INDICO punya dua peran; (1) sebagai holding atau horizontal platform dan (2) untuk mengembangkan vertikal bisnis. Di poin kedua, INDICO sudah menaungi Kuncie, Fita, dan Majamojo. Potentially more to come.

Holding pada umumnya adalah bagaimana membuat vertikal bisnis punya competitive advantage. Maksudnya begini, semua orang bisa buat startup. Namun, yang membedakan INDICO adalah leverage aset yang telah dibangun Telkomsel selama 27 tahun di industri telekomunikasi. [Aset] ini punya banyak relevansi dalam mendorong kemajuan inovator dengan metrik berbeda. Misalnya, metrik cost acquisition atau market delivery pada startup.

Masalah engagement itu lebih ke “how”, tapi “why”-nya adalah aset Telkomsel bisa relevan. Semua bisa berinvestasi di startup, tetapi ekosistemnya semakin mature selama lima tahun terakhir. Ada VC, ada inkubator. Sudah ada pakem. Kami yakin akan ada pembeda jika aset Telkomsel bisa relevan dalam mendorong inovator [berinovasi dengan cara] berbeda. INDICO menjadi titik awal untuk bisa engage, bisa ke investor, ekosistem partner, dan startup sendiri.

Dari cara [berinovasi], kami sebetulnya agile. Organisasi kami berkembang, ada saya, Andry Firdiansyah (CFO dan CHRO), dan Luthfi K Arif (CTO), ke depan akan terus bertambah. Saat ini cukup untuk kickstart sambil menyiapkan operasional, culture, dan hal teknis lain. Penting untuk punya culture baru dan fundamental bagus ketika membentuk perusahaan, karena tim founder ini yang akan membawa INDICO lebih maju.

Bagaimana cara INDICO leverage aset ini?

Jawab: Kami punya 170 juta pelanggan dan lebih dari 300 mitra outlet di 514 kota. Ini merupakan [aset] yang luar biasa. Ternyata ada banyak use case yang dapat dieksplorasi dari offline presence ini. Selama ini, sebagai perusahaan telekomunikasi, kita tahu ada aset, tetapi leverage ke bisnis digital belum terbayang. Justru terkadang dapat dari ekosistem inovator.

Mungkin ada inovator bingung mulai dari mana, mungkin biaya akuisisi berat. Bisa saja kita go global, tetapi ada banyak yang dapat dieksplorasi. Di sini kita bisa engage untuk mencari win-win. [INDICO] dapat membuat startup bisa go to market lebih cepat, ada efisiensi cost.

Dari sisi konektivitas, semua orang saat ini butuh, berbeda dengan dulu di mana penetrasi masih rendah. Saat ini, kita tinggal membangun di atas konektivitas, yakni platform untuk enable layanan digital lain.

Industri telekomunikasi selama ini dilihat sebagai vertikal bisnis. Namun, sebagai vertikal bisnis, kita juga harus siap jadi enabler di horizontal. Konektivitas itu akan selalu ada, tapi aset kami tidak cuma konektivitas saja. Aset itu sangat luas, bisa networking atau pemahaman terhadap pasar lokal. Kalau bicara horizontal enablement, banyak yang bisa dieksplorasi. Kita tidak mimpi semua bisa dibangun sendiri, makan cost dan waktu, dan eksplorasi ide juga tidak mungkin dilakukan sendiri.

Use case apa yang sedang dieksplorasi oleh INDICO?

Jawab: Saya melihat [industri] telekomunikasi di skala global sudah mencoba [eksplorasi digital], mungkin karena dulu mereka merasa punya basis pelanggan, lalu bikin sendiri saja [produknya]. Sekarang, tidak hanya telekomunikasi, semua perusahaan besar harus membuka diri ke ekosistem jika ingin berinovasi. Tidak bisa bangun sendiri. R&D terlalu lama, banyak potensi di luar sana.

Telkomsel ada di 514 kota. Kami jadi tahu karakteristik pasar di daerah–banyak unknown yang belum kita ketahui. Pada akhirnya, kita harus buka diri dan gabung ke ekosistem.

Bicara pasar healthtech dan edtech, pasarnya besar di Indonesia. Kami yang masuk di dua vertikal ini melihat ini bukan sesuatu yang baru. Telkomsel Mitra Inovasi (TMI) sudah punya portofolio di dua vertikal itu. TMI memang VC, tapi ada bridging ke sinergi.

Mengenai hipotesis inside-out atau outside-in, keduanya kita garap agar inovator manapun bisa engage. Di dalam telkomsel, ada banyak inovator yang paham market dan punya sense of purpose yang kuat. Dunia Games dan Maxstream itu kan dikembangkan dari dalam Telkomsel. Telkomsel juga punya TMI, Telkomsel Innovation Center (TINC), dan The NextDev. Jadi tidak perlu [semua use case] di INDICO, tergantung di mana modelnya cocok.

Saat ini, fokus vertikal kami agnostik. Kami melihat opportunity, juga mengombinasikan antara market dan right-to-play. Ada banyak potensi menarik, tapi ini masih too early to say. Untuk sekarang, saya melihat vertikal di video [streaming atau on-demand], agritech, dan leisure economy menarik. Kalau blockchain, tampaknya masih terlalu early ya.

Apa peran INDICO dalam pengembangan bisnis portofolio?

Jawab: Saat ini, Kuncie, Fita, dan Majamojo sudah punya entitas sendiri. Sudah jadi legal company, bukan business unit lagi. Setiap perusahaan punya CEO dan mereka yang paling paham bisnisnya. Peran kami adalah sebagai holding atau horizontal platform. Awalnya, ada funding [internal], tetapi ke depan harus terbuka. Mereka harus act as a founder. 

Nah yang kami lakukan di INDICO adalah create value. Kami sudah tahu tesisnya. Apa opportunity yang dapat diambil? Apa aset Telkomsel yang bisa di-leverage agar mereka bisa create a difference?

Sejauh ini tiga bulan berdiri, kami sudah melihat perkembangan positif, initial indicator-nya menarik. Memang masih too early ya, apalagi inovator harus menjaga persistensinya.

Operator telekomunikasi umumnya mengacu pada metrik ROI dan EBITDA. Bagaimana INDICO dalam menetapkan metrik bisnis pada portofolionya?

Jawab: Sebetulnya, sebuah perusahaan pada akhirnya akan melihat metrik itu seiring berkembangnya bisnis. Contohnya GoTo. Jadi saya tidak ingin mengkotak-kotakan soal ini. Memang kami memisahkan diri supaya lebih agile, tetapi ini karena mereka sedang berada di fase eksplorasi. Jangan sampai perusahaan yang masih eksplorasi dan belum product market-fit, langsung dihadapkan pada metrik-metrik besar.

Yang lebih penting di masa eksplorasi adalah alasan di belakangnya. Contoh, Objective and Key Result (OKR) menjadi sebuah referensi bagaimana membuat kita aspirasional dalam mengejar target. Proses “so what” itu lebih penting. Selain mengembangkan produk dan mencapai target product market-fit, pastikan jalan menuju monetisasinya juga jelas.

Dengan model OKR, kita bisa diskusikan kenapa target tercapai terlalu cepat? Apakah target kerendahan atau kontribusi kami kurang? Pasti ada sesuatu. Yuk kita coba raise the bar supaya kita bisa proud kerjanya. Kalau tidak tercapai kenapa? Apa ada metrik yang mengganjal? Jadi kita sudah punya mentality di sana.

Apakah INDICO terbuka mencari sumber pendanaan eksternal?

Jawab: Secara struktur, Kuncie, Fita, dan Majamojo tetap punya entitas berbeda. Mereka bisa fundraise sendiri dan menurut saya perlu. Ini bukan masalah uangnya, tetapi pendanaan eksternal itu perlu bagi kredensial bisnis. Belum tentu semua investor punya tesis yang cocok dengan korporat yang filled with startups. Justru ini akan membuat perubahan besar, dalam satu tahun bisa sebesar ini [bisnisnya]. Kami punya network lebih luas. Sementara, mungkin [startup] lain butuh waktu 3 tahun atau lebih. Memang perlu timing yang tepat untuk fundraise. Saat ini [Kuncie, Fita, dan Majamojo] belum, belum decide. Tapi, kami sangat terbuka dengan pendanaan eksternal.

Dalam jangka pendek, kami ingin menunjukkan lewat kesuksesan kami bahwa aset Telkomsel dapat relevan bagi startup, dan beneficial juga buat Telkomsel dan INDICO. Ini bisa menjadi bisnis baru, model bisnis ini ada yang mau beli. Dalam jangka panjang, visi kami adalah membuat sebagian besar orang Indonesia yang tinggal di pedesaan, punya rezeki kota dan bisnisnya mendunia.