Startup Wellness “Fita” Memperoleh Pendanaan 30 Miliar Rupiah dari Telkomsel INDICO

Platform preventive healthcare berbasis reward Fita memperoleh pendanaan sebesar $1,9 juta atau sekitar 30 miliar Rupiah dari Telkomsel Ekosistem Digital (INDICO). Dana segar ini akan diprioritaskan untuk pengembangan produk yang user-oriented dan fitur penunjang bagi professional coach.

Fita merupakan platform kesehatan yang berfokus pada pencegahan sakit dan gaya hidup sehat. Visinya memimpin pasar platform kesehatan terintegrasi di Indonesia. Salah satu komitmen Fita adalah menghadirkan dua produk antarmuka, yakni aplikasi Fita untuk end-user dan platform professional coach Coach at the Center of Health (CATCH) yang dirilis baru-baru ini.

Sementara, Telkomsel INDICO merupakan anak usaha Telkomsel yang didirikan sebagai holding company bagi sub-bisnis digital Telkomsel. Selain Fita, portofolio INDICO lainnya adalah Kuncie (edtech) dan Majamojo (game).

CEO Fita Reynazran (Rey) Royono mengatakan, pihaknya fokus membangun awareness dan fondasi produk yang kuat, serta menarik minat masyarakat lewat fitur bernilai tambah di tahun ini. Pihaknya juga terus melakukan kegiatan edukasi terkait kesehatan dan nutrisi dengan menggandeng certified coaches.

“Ternyata keinginan masyarakat untuk hidup sehat sangat tinggi. Hal ini terlihat dari pertumbuhan pengguna Fita yang kini telah mencapai 350.000 pengguna aktif setiap bulannya,” tutur Rey dalam keterangan resminya.

Dalam kurun waktu setahun, Fita telah diunduh sebanyak 2,5 juta kali, juga didukung lebih dari 200 coach bersertifikat, 800 konten tutorial olahraga, dan 200 resep makanan sehat. Dari sisi penjualan, pertumbuhannya mencapai lima kali dalam tiga bulan terakhir. Dengan pencapaian ini, Fita mengklaim sebagai startup kesehatan dengan pertumbuhan tercepat di Indonesia.

CEO INDICO Andi Kristianto menambahkan, “pendanaan ini adalah bagian dari komitmen awal kami untuk mendukung pertumbuhan bisnisnya. Kami menilai Fita layak mendapat pendanaan karena mereka mampu memaksimalkan potensi dan resources yang dimiliki, dan telah merealisasikan rencana bisnis sesuai komitmen mereka.”

Pengembangan masif

Pihaknya mengungkap rencana pengembangan produk secara masif ke depan. Pertama, Fita akan masuk ke ranah offline melalui keanggotaan (membership) di fasilitas gym dan kelas olahraga. Program kesehatan juga akan diperluas ke kategori penyakit kritis dan kesehatan jiwa, seperti diabetes, hipertensi, women health, serta mindfulness.

Sumber: Telkomsel Fita
Sumber: Fita

Di samping itu, Fita akan memperluas cakupan pembelian produk dan perangkat kesehatan secara online, misalnya wearable, suplemen, dan vitamin. Ada pula rekomendasi paket asuransi yang tepat untuk pengguna.

Menurut Rey, pengembangan ekosistem produk dan layanan kesehatan yang lengkap akan menandai kesiapan Fita untuk membuka peluang pendanaan eksternal atau di luar lingkungan Telkomsel.

“Tahun 2023 akan menjadi gerbang bagi kami untuk scale up menuju profitability yang matang. Kami membuka potensi kerja sama secara luas bagi siapapun termasuk potential investor untuk penetrasi sektor kesehatan digital bersama Fita. Melihat potensi dan antusiasme market yang luar biasa, kami optimistis dalam lima tahun mendatang, Fita memiliki kesempatan besar untuk mencapai pemerataan di sektor healthtech dan fitness Indonesia.”

Dalam wawancara dengan DailySocial.id sebelumnya, Rey mengungkapkan tantangan mengembangkan produk wellness masih besar. Pasalnya, pasar healthtech Indonesia saat ini 70% masih didominasi layanan telemedicine yang akselerasinya meningkat pesat tahun lalu. Pasar wellness mulai memperlihatkan tren pertumbuhan mengingat banyak masyarakat Indonesia kini mulai memperhatikan kesehatan di era Covid-19.

Sekadar informasi, dalam pengembangan solusi digital, Telkomsel berfokus pada dua hipotesis besar. Pertama, hipotesis “inside-out“, Telkomsel berpotensi melepas (spin off) solusi ini untuk membesarkan valuasinya apabila sukses di pasar. Kedua, hipotesis “outside-out” berfokus dalam mencari ide atau use case yang punya keterkaitan erat dengan business unit Telkomsel.

Application Information Will Show Up Here

Telkom Group Suntik 292 Miliar Rupiah untuk INDICO

Telkom Indonesia melalui anak usahanya Telkomsel menyuntikkan modal sebesar Rp292 miliar kepada anak usahanya, PT Telkomsel Ekosistem Digital (TED) atau kini dikenal dengan Indonesia Digital Ecosystem (INDICO). Berdasarkan keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia, Telkom melakukan transaksi afiliasi tersebut dalam rangka memperkuat platform digital yang dimiliki TED.

PGS Direktur Strategic Portofolio Telkom Bogi Witjaksono mengatakan, transaksi ini termasuk transaksi afiliasi mengingat Telkom merupakan perusahaan pengendali Telkomsel dengan kepemilikan sebesar 65%. TED merupakan anak perusahaan yang dikendalikan langsung Telkomsel dengan kepemilikan saham sebesar 99,99%.

“Dalam rangka memenuhi ketentuan Pasal 6 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No.42/POJK.04/2020 tentang Transaksi Afiliasi dan Transaksi Benturan Kepentingan (POJK 42/2020), dengan ini kami sampaikan bahwa pada tanggal 18 Mei 2022 telah dilakukan Transaksi Afiliasi berupa Penyertaan Modal oleh PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel) kepada PT Telkomsel Ekosistem Digital (TED),” tulis Bogi.

TED merupakan perusahaan yang bergerak di bidang jasa konsultasi manajemen bisnis dan investasi atau penyertaan modal kepada sejumlah perusahaan. Selain itu, bisnis TED juga bergerak di sektor aktivitas pengolahan data, hosting, dan kegiatan yang berkaitan dengan periklanan.

TED resmi dibentuk pada awal Januari 2022 dan diposisikan sebagai perusahaan holding yang menaungi beberapa anak usaha dari emerging portofolio bisnis vertikal Telkomsel di bidang sektor digital, dengan mengoptimalkan pemanfaatan sinergi seluruh keunggulan ekosistem aset yang dimiliki Telkomsel. Beberapa inovasi digital yang sudah berjalan di antaranya adalah Kuncie (edtech), Fita (healthtech), dan Majamojo (game).

Dalam peresmiannya beberapa waktu lalu, CEO TED Andi Kristianto menegaskan INDICO berkomitmen untuk menggerakkan pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia secara inklusif dan berdampak. “INDICO akan memampukan kami untuk lebih engage dengan para inovator, investor, mitra strategis, dan stakeholder terkait,” tutur Andi.

Untuk jangka pendek, TED mengembangkan platform yang memungkinkan para inovator, investor, collaborator untuk menjangkau pasar lebih mudah dalam lima tahun ke depan. Pengembangan ini akan didasarkan pada kebutuhan masyarakat dengan memanfaatkan aset dan kapabilitas yang dimiliki induk usaha, yakni basis pelanggan sebanyak 170 juta dan lebih dari 300 ribu mitra outlet Telkomsel di 514 kota.

Pengembangan inovasi digital tersebut juga memanfaatkan pemahaman yang dimiliki, baik secara geografis maupun demografis. “Dengan demikian, aset kami tak hanya relevan bagi [pasar] telekomunikasi saja, tetapi bagi seluruh masyarakat Indonesia, dengan strategi growth hacking. Indonesia sangat diverse, pemahaman terhadap lokal itu sangat berharga,” tambahnya.

Untuk tahap awal, lanjut Andi, pihaknya akan mendorong pengembangan produk digital yang sudah ada dalam enam bulan ke depan, yakni Kuncie, Fita, dan Majamojo. Apabila kapabilitas yang dimiliki sudah dimanfaatkan secara optimal, pihaknya baru akan mulai masuk ke vertikal lain.

Pendekatan baru Telkomsel

Merangkum perjalanan transformasi digitalnya, sejak tahun lalu Telkomsel mulai mengambil pendekatan berbeda dalam mengembangkan produk digital. Sebelum ini, pengembangan inovasi digital dilaksanakan lewat kendaraan Telkomsel Innovation Center (TINC) dan Telkomsel Mitra Inovasi (TMI). TINC menjaring ide untuk diinkubasi dan diakselerasi dari startup lokal, sedangkan TMI masuk melalui pemberian investasi ke startup tahap awal (early stage).

Namun, kali ini Telkomsel mencoba mengeksplorasi vertikal yang belum pernah digarap oleh telekomunikasi sebelumnya. Telkomsel mengembangkan platform Kuncie dan Fita yang sama-sama masuk ke segmen digital lifestyle tahun lalu. Kemudian, masuk Majamojo yang didirikan lewat skema patungan oleh TED dan GoTo pada Februari kemarin.

Dalam wawancara terdahulu DailySocial.id dengan Kuncie dan Fita, pendekatan ini tercermin dari langkah Telkomsel mendapuk CEO Kuncie dan Fita dari luar lingkungan perusahaan dan induk usaha. Selain itu, Telkomsel memberikan keleluasaan untuk mengembangkan bisnis dengan model growth hacking, dan punya potensi untuk di-spin-off. Model ini tentu bertentangan dengan model bisnis telekomunikasi yang berorientasi pada Return of Investment (ROI).

Andi Kristianto: INDICO Manfaatkan Aset Telkomsel untuk Membesarkan Bisnis Digital

Andi Kristianto bukanlah sosok baru di industri telekomunikasi. Ia telah dipercaya memimpin berbagai inisiasi dan langkah strategis dalam meningkatkan nilai Telkomsel sebagai penyedia jaringan terbesar melalui produk digital.

Andi merupakan Founder dari program inkubasi dan akselerasi Telkomsel Innovation Center (TINC). Ia juga sempat ditunjuk menakhodai entitas baru Telkomsel di bidang investasi, yakni Telkomsel Mitra Inovasi (TMI) selama dua tahun. Kini ia kembali dipercaya memimpin Telkomsel Ekosistem Digital (TED) melalui brand INDICO. Pendirian entitas INDICO tentu menjadi penanda penting yang menunjukkan komitmen Telkomsel dalam membesarkan bisnis digital, lepas dari cangkangnya.

Sebelum mendirikan INDICO, Telkomsel telah memperkenalkan produk digital Kuncie (edtech) dan Fita (healthtech) pada paruh 2021. Kedua produk ini dikembangkan berbasis dua hipotesis penting, yakni (1) “inside-out” atau potensi melepas (spin off) bisnis untuk membesarkan valuasinya apabila sukses di pasar dan (2) “outside-in” berfokus dalam mencari ide atau use case yang punya keterkaitan erat dengan business unit Telkomsel.

Hingga akhir 2021, Telkomsel memiliki tiga portofolio dengan mendirikan perusahaan patungan yang didirikan bersama GoTo melalui PT Aplikasi Multimedia Anak Bangsa (AMAB), yakni Majamojo.

DailySocial berkesempatan berbincang dengan Andi seputar pendirian INDICO dan bisnisnya. Berikut rangkumannya.

Ceritakan alasan pendirian entitas baru dengan brand Indonesia Digital Ecosystem (INDICO)?

Jawab: INDICO punya dua peran; (1) sebagai holding atau horizontal platform dan (2) untuk mengembangkan vertikal bisnis. Di poin kedua, INDICO sudah menaungi Kuncie, Fita, dan Majamojo. Potentially more to come.

Holding pada umumnya adalah bagaimana membuat vertikal bisnis punya competitive advantage. Maksudnya begini, semua orang bisa buat startup. Namun, yang membedakan INDICO adalah leverage aset yang telah dibangun Telkomsel selama 27 tahun di industri telekomunikasi. [Aset] ini punya banyak relevansi dalam mendorong kemajuan inovator dengan metrik berbeda. Misalnya, metrik cost acquisition atau market delivery pada startup.

Masalah engagement itu lebih ke “how”, tapi “why”-nya adalah aset Telkomsel bisa relevan. Semua bisa berinvestasi di startup, tetapi ekosistemnya semakin mature selama lima tahun terakhir. Ada VC, ada inkubator. Sudah ada pakem. Kami yakin akan ada pembeda jika aset Telkomsel bisa relevan dalam mendorong inovator [berinovasi dengan cara] berbeda. INDICO menjadi titik awal untuk bisa engage, bisa ke investor, ekosistem partner, dan startup sendiri.

Dari cara [berinovasi], kami sebetulnya agile. Organisasi kami berkembang, ada saya, Andry Firdiansyah (CFO dan CHRO), dan Luthfi K Arif (CTO), ke depan akan terus bertambah. Saat ini cukup untuk kickstart sambil menyiapkan operasional, culture, dan hal teknis lain. Penting untuk punya culture baru dan fundamental bagus ketika membentuk perusahaan, karena tim founder ini yang akan membawa INDICO lebih maju.

Bagaimana cara INDICO leverage aset ini?

Jawab: Kami punya 170 juta pelanggan dan lebih dari 300 mitra outlet di 514 kota. Ini merupakan [aset] yang luar biasa. Ternyata ada banyak use case yang dapat dieksplorasi dari offline presence ini. Selama ini, sebagai perusahaan telekomunikasi, kita tahu ada aset, tetapi leverage ke bisnis digital belum terbayang. Justru terkadang dapat dari ekosistem inovator.

Mungkin ada inovator bingung mulai dari mana, mungkin biaya akuisisi berat. Bisa saja kita go global, tetapi ada banyak yang dapat dieksplorasi. Di sini kita bisa engage untuk mencari win-win. [INDICO] dapat membuat startup bisa go to market lebih cepat, ada efisiensi cost.

Dari sisi konektivitas, semua orang saat ini butuh, berbeda dengan dulu di mana penetrasi masih rendah. Saat ini, kita tinggal membangun di atas konektivitas, yakni platform untuk enable layanan digital lain.

Industri telekomunikasi selama ini dilihat sebagai vertikal bisnis. Namun, sebagai vertikal bisnis, kita juga harus siap jadi enabler di horizontal. Konektivitas itu akan selalu ada, tapi aset kami tidak cuma konektivitas saja. Aset itu sangat luas, bisa networking atau pemahaman terhadap pasar lokal. Kalau bicara horizontal enablement, banyak yang bisa dieksplorasi. Kita tidak mimpi semua bisa dibangun sendiri, makan cost dan waktu, dan eksplorasi ide juga tidak mungkin dilakukan sendiri.

Use case apa yang sedang dieksplorasi oleh INDICO?

Jawab: Saya melihat [industri] telekomunikasi di skala global sudah mencoba [eksplorasi digital], mungkin karena dulu mereka merasa punya basis pelanggan, lalu bikin sendiri saja [produknya]. Sekarang, tidak hanya telekomunikasi, semua perusahaan besar harus membuka diri ke ekosistem jika ingin berinovasi. Tidak bisa bangun sendiri. R&D terlalu lama, banyak potensi di luar sana.

Telkomsel ada di 514 kota. Kami jadi tahu karakteristik pasar di daerah–banyak unknown yang belum kita ketahui. Pada akhirnya, kita harus buka diri dan gabung ke ekosistem.

Bicara pasar healthtech dan edtech, pasarnya besar di Indonesia. Kami yang masuk di dua vertikal ini melihat ini bukan sesuatu yang baru. Telkomsel Mitra Inovasi (TMI) sudah punya portofolio di dua vertikal itu. TMI memang VC, tapi ada bridging ke sinergi.

Mengenai hipotesis inside-out atau outside-in, keduanya kita garap agar inovator manapun bisa engage. Di dalam telkomsel, ada banyak inovator yang paham market dan punya sense of purpose yang kuat. Dunia Games dan Maxstream itu kan dikembangkan dari dalam Telkomsel. Telkomsel juga punya TMI, Telkomsel Innovation Center (TINC), dan The NextDev. Jadi tidak perlu [semua use case] di INDICO, tergantung di mana modelnya cocok.

Saat ini, fokus vertikal kami agnostik. Kami melihat opportunity, juga mengombinasikan antara market dan right-to-play. Ada banyak potensi menarik, tapi ini masih too early to say. Untuk sekarang, saya melihat vertikal di video [streaming atau on-demand], agritech, dan leisure economy menarik. Kalau blockchain, tampaknya masih terlalu early ya.

Apa peran INDICO dalam pengembangan bisnis portofolio?

Jawab: Saat ini, Kuncie, Fita, dan Majamojo sudah punya entitas sendiri. Sudah jadi legal company, bukan business unit lagi. Setiap perusahaan punya CEO dan mereka yang paling paham bisnisnya. Peran kami adalah sebagai holding atau horizontal platform. Awalnya, ada funding [internal], tetapi ke depan harus terbuka. Mereka harus act as a founder. 

Nah yang kami lakukan di INDICO adalah create value. Kami sudah tahu tesisnya. Apa opportunity yang dapat diambil? Apa aset Telkomsel yang bisa di-leverage agar mereka bisa create a difference?

Sejauh ini tiga bulan berdiri, kami sudah melihat perkembangan positif, initial indicator-nya menarik. Memang masih too early ya, apalagi inovator harus menjaga persistensinya.

Operator telekomunikasi umumnya mengacu pada metrik ROI dan EBITDA. Bagaimana INDICO dalam menetapkan metrik bisnis pada portofolionya?

Jawab: Sebetulnya, sebuah perusahaan pada akhirnya akan melihat metrik itu seiring berkembangnya bisnis. Contohnya GoTo. Jadi saya tidak ingin mengkotak-kotakan soal ini. Memang kami memisahkan diri supaya lebih agile, tetapi ini karena mereka sedang berada di fase eksplorasi. Jangan sampai perusahaan yang masih eksplorasi dan belum product market-fit, langsung dihadapkan pada metrik-metrik besar.

Yang lebih penting di masa eksplorasi adalah alasan di belakangnya. Contoh, Objective and Key Result (OKR) menjadi sebuah referensi bagaimana membuat kita aspirasional dalam mengejar target. Proses “so what” itu lebih penting. Selain mengembangkan produk dan mencapai target product market-fit, pastikan jalan menuju monetisasinya juga jelas.

Dengan model OKR, kita bisa diskusikan kenapa target tercapai terlalu cepat? Apakah target kerendahan atau kontribusi kami kurang? Pasti ada sesuatu. Yuk kita coba raise the bar supaya kita bisa proud kerjanya. Kalau tidak tercapai kenapa? Apa ada metrik yang mengganjal? Jadi kita sudah punya mentality di sana.

Apakah INDICO terbuka mencari sumber pendanaan eksternal?

Jawab: Secara struktur, Kuncie, Fita, dan Majamojo tetap punya entitas berbeda. Mereka bisa fundraise sendiri dan menurut saya perlu. Ini bukan masalah uangnya, tetapi pendanaan eksternal itu perlu bagi kredensial bisnis. Belum tentu semua investor punya tesis yang cocok dengan korporat yang filled with startups. Justru ini akan membuat perubahan besar, dalam satu tahun bisa sebesar ini [bisnisnya]. Kami punya network lebih luas. Sementara, mungkin [startup] lain butuh waktu 3 tahun atau lebih. Memang perlu timing yang tepat untuk fundraise. Saat ini [Kuncie, Fita, dan Majamojo] belum, belum decide. Tapi, kami sangat terbuka dengan pendanaan eksternal.

Dalam jangka pendek, kami ingin menunjukkan lewat kesuksesan kami bahwa aset Telkomsel dapat relevan bagi startup, dan beneficial juga buat Telkomsel dan INDICO. Ini bisa menjadi bisnis baru, model bisnis ini ada yang mau beli. Dalam jangka panjang, visi kami adalah membuat sebagian besar orang Indonesia yang tinggal di pedesaan, punya rezeki kota dan bisnisnya mendunia.

Telkomsel Ekosistem Digital Resmikan Identitas Baru “INDICO”

PT Telkomsel Ekosistem Digital (TED) resmi mengumumkan identitas baru bernama Indonesia Digital Ecosystem atau INDICO. Dengan identitas ini, INDICO akan menaungi berbagai inovasi digital Telkomsel, baik yang sudah ada maupun yang akan datang.

Seperti diketahui, TED merupakan entitas baru yang didirikan Telkomsel awal tahun ini. TED menjadi holding company bagi sub-bisnis digital Telkomsel. Beberapa inovasi digital Telkomsel yang sudah berjalan di antaranya adalah Kuncie (edtech), Fita (healthtech), dan Majamojo (game).

Disampaikan dalam acara peresmian secara virtual, CEO Telkomsel Ekosistem Digital Andi Kristianto menegaskan INDICO sebagai komitmen untuk menggerakkan pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia secara inklusif dan berdampak. “INDICO akan memampukan kami untuk lebih engage dengan para inovator, investor, mitra strategis, dan stakeholder terkait,” tutur Andi.

Untuk jangka pendek, TED mengembangkan platform yang memungkinkan para inovator, investor, collaborator untuk menjangkau pasar lebih mudah dalam lima tahun ke depan. Pengembangan ini akan didasarkan pada kebutuhan masyarakat dengan memanfaatkan aset dan kapabilitas yang dimiliki induk usaha, yakni basis pelanggan sebanyak 170 juta dan lebih dari 300 ribu mitra outlet Telkomsel di 514 kota.

Pengembangan inovasi digital tersebut juga memanfaatkan pemahaman yang dimiliki, baik secara geografis maupun demografis. “Dengan demikian, aset kami tak hanya relevan bagi [pasar] telekomunikasi saja, tetapi bagi seluruh masyarakat Indonesia, dengan strategi growth hacking. Indonesia sangat diverse, pemahaman terhadap lokal itu sangat berharga,” tambahnya.

Untuk tahap awal, lanjut Andi, pihaknya akan mendorong pengembangan produk digital yang sudah ada dalam enam bulan ke depan, yakni Kuncie, Fita, dan Majamojo. Apabila kapabilitas yang dimiliki sudah dimanfaatkan secara optimal, pihaknya baru akan mulai masuk ke vertikal lain.

Pendekatan baru Telkomsel

Merangkum perjalanan transformasi digitalnya, sejak tahun lalu Telkomsel mulai mengambil pendekatan berbeda dalam mengembangkan produk digital. Sebelum ini, pengembangan inovasi digital dilaksanakan lewat kendaraan Telkomsel Innovation Center (TINC) dan Telkomsel Mitra Inovasi (TMI). TINC menjaring ide untuk diinkubasi dan diakselerasi dari startup lokal, sedangkan TMI masuk melalui pemberian investasi ke startup tahap awal (early stage).

Namun, kali ini Telkomsel mencoba mengeksplorasi vertikal yang belum pernah digarap oleh telekomunikasi sebelumnya. Telkomsel mengembangkan platform Kuncie dan Fita yang sama-sama masuk ke segmen digital lifestyle tahun lalu. Kemudian, masuk Majamojo yang didirikan lewat skema patungan oleh TED dan GoTo pada Februari kemarin.

Dalam wawancara terdahulu DailySocial.id dengan Kuncie dan Fita, pendekatan ini tercermin dari langkah Telkomsel mendapuk CEO Kuncie dan Fita dari luar lingkungan perusahaan dan induk usaha. Selain itu, Telkomsel memberikan keleluasaan untuk mengembangkan bisnis dengan model growth hacking, dan punya potensi untuk di-spin-off. Model ini tentu bertentangan dengan model bisnis telekomunikasi yang berorientasi pada Return of Investment (ROI).

Menanggapi langkah strategis TED, Partner Telecommunications Practice di Bain & Company Kiran Karunakaran menilai sejumlah platform memanfaatkan pertumbuhan pasar di industri teknologi dan telekomunikasi. Bagi pasar seperti Indonesia, platform digital berpotensi menjadi katalis ekonomi dan mengakselerasi startup lokal di vertikal industri utama.

Maka itu, operator telekomunikasi besar, seperti Telkom dan Telkomsel, dapat memanfaatkan aset mereka untuk bertransformasi menjadi platform digital. “Inti dari transformasi tersebut adalah kemampuan untuk membentuk kemitraan dengan jangkauan luas dan menarik investasi dari hyperscaler global yang ingin berperan mendukung ekonomi digital,” tutur Karunakaran dalam keterangan resminya.

Anak Usaha Telkomsel dan GoTo Bentuk Perusahaan Game “Majamojo”

Telkomsel melalui anak usahanya PT Telkomsel Ekosistem Digital (TED) dan GoTo melalui PT Aplikasi Multimedia Anak Bangsa (AMAB) mengumumkan perusahaan patungan PT Games Karya Nusantara (Majamojo). Perusahaan ini khusus menggarap pasar game di Asia Tenggara.

Seperti diketahui juga, Telkomsel merupakan salah satu investor strategis di Gojek. Ini adalah inisiatif ke sekian dari hasil sinergi keduanya. Sebelumnya sejumlah agenda telah dijalankan, misalnya mengintegrasikan Telkomsel MyAds dengan GoBiz, paket Telkomsel khusus mitra pengemudi, dan lain-lain. Terkait game sendiri, juga telah diumumkan kolaborasi Telkomsel Dunia Games dengan platform Gopay.

Majamojo akan berfokus menjadi perusahaan penerbit (publisher) yang membuka peluang kemitraan strategis bersama perusahaan pengembang pihak ketiga. Perusahaan akan mendorong penetrasi dan dominasi dalam industri gaming lokal nasional, khususnya platform mobile.

Menurut laporan Newzoo dan Niko Partners, pertumbuhan mobile game di Asia Tenggara pada 2014-2017 mencapai lebih dari 180%. Angka tersebut diprediksi akan terus tumbuh selama lima tahun ke depan. Shibuya Data Count juga memperkirakan pertumbuhan rata-rata tahunan atau Compound Annual Growth Rate (CAGR) industri game di Asia Tenggara akan mencapai 8,5% pada periode 2020-2025.

Potensi tersebut membuat kedua perusahaan percaya diri untuk menggarap industri game secara lebih serius. Mereka akan berkolaborasi dengan menyinergikan sumber daya kedua perusahaan, termasuk kapabilitas digital, aset teknologi, dan ekosistem bisnis yang terintegrasi.

Kerja sama ini akan memperkuat eksistensi para pelaku industri gaming lokal, terutama mendorong lahirnya lebih banyak lagi talenta digital anak negeri. Oleh karena itu, kehadiran Majamojo diharapkan akan mendukung akselerasi transformasi digital dan memperluas manfaat ekonomi digital nasional.

CEO Telkomsel Ekosistem Digital Andi Kristianto mengatakan, pihaknya berupaya memaksimalkan keunggulan aset dan kapabilitas Telkomsel untuk mengembangkan Majamojo dalam ekosistem gaming, melengkapi yang selama ini sudah dicakup oleh Dunia Games. “Kami optimistis Majamojo akan memiliki peran strategis dan bisa berkontribusi optimal dalam memajukan industri gaming di Indonesia dan Asia Tenggara,” kata Andi dalam keterangan resmi, Rabu (23/2).

Kehadiran Majamojo turut memperkuat upaya Telkomsel memperkaya lini bisnis vertikal di bidang digital, setelah PT Kuncie Pintar Nusantara (Kuncie) dan PT Fita Sehat Nusantara (Fita). Pun demikian dari sisi GoTo, melalui Gojek, sebelumnya sudah ada beberapa platform game yang terafiliasi, seperti MPL (diinvestasi Go-Ventures) dan MainGame (diberdayakan untuk GoGames).

Head of GoTo Strategic Partnership Reggy Susanto menambahkan, perusahaan patungan ini memiliki sumber daya yang luar biasa menjadi perusahaan game terbesar di regional. Terlebih itu selama beberapa tahun terakhir, kedua perusahaan sudah menjalin kerja sama yang erat karena ada kesamaan visi dalam menumbuhkan ekonomi digital yang inklusif dan berkelanjutan di Indonesia.

“Kami percaya sinergi ini akan memberikan kemudahan bagi semua orang dalam mengakses produk dan layanan digital dari GoTo dan Telkomsel, dengan tujuan melayani kebutuhan pasar mobile-first di Indonesia yang sedang berkembang,” ucap Reggy.

Dalam struktur kepemilikan Majamojo, TED menjadi pemegang saham mayoritas. Jungwon Hahn dipercaya sebagai Direktur Utama dan M. Dody Darmawan sebagai Direktur Keuangan. Jungwon Hahn sebelumnya pernah bekerja sejumlah perusahaan game, seperti Razer, Wargaming, dan Molten Games.

Direktur Utama Majamojo Jungwon Hahn menjelaskan, “Saya bersemangat untuk memimpin Majamojo yang akan fokus pada penerbitan dan pengembangan bisnis gaming. Misi kami adalah untuk melayani para gamer dengan dedikasi dan menjadi perusahaan gaming yang diperhitungkan di Asia Tenggara. Kami menargetkan Majamojo menjadi kekuatan unggul di Indonesia yang akan memperkuat ekosistem game Indonesia di Asia Tenggara.”

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Telkomsel Resmikan Anak Usaha Baru untuk Mewadahi Inisiatif Digital Perusahaan

Dalam upaya mendukung kelangsungan peta jalan transformasi digital di Indonesia, Telkomsel secara khusus membentuk sebuah entitas baru yang dinamakan PT Telkomsel Ekosistem Digital. Hal ini dinyatakan sebagai wujud keseriusan perusahaan dalam memperluas portofolio bisnis digital.

PT Telkomsel Ekosistem Digital akan mengambil posisi sebagai perusahaan induk yang menaungi beberapa anak perusahaan dari portofolio bisnis vertikal Telkomsel di sektor digital. Melalui inisiatif ini, mereka akan mengoptimalkan pemanfaatan sinergi seluruh ekosistem aset yang dimiliki. Hingga saat ini, perusahaan belum mengumumkan nama resmi yang akan digunakan sebagai brand atau identitas bisnis.

Selain itu, pembentukan anak usaha baru Telkomsel ini juga diharapkan bisa membuka peluang serta mempermudah pemanfaatan teknologi digital terkini. Hal ini semata-mata bertujuan untuk memperkuat ekosistem digital tanah air demi mengantarkan Indonesia menjadi digital powerhouse di Asia Tenggara.

Direktur Utama Telkomsel Hendri Mulya Syam mengatakan, “Telkomsel ingin terus memberikan manfaat kepada masyarakat dengan mengoptimalkan kapabilitas digital trifecta (digital connectivity, digital platform, dan digital service) yang dimiliki untuk mendorong perluasan portofolio bisnis di berbagai sektor, terutama yang dapat memperkuat perekonomian digital nasional.”

Indonesia kini telah menjadi salah satu negara dengan penetrasi ekonomi digital yang terus tumbuh positif setiap tahunnya dengan transaksi digital yang diproyeksikan mencapai $124 miliar pada tahun 2025.

Berdasarkan studi yang dilakukan Google, Temasek, dan Bain & Co., sekitar 41,9% dari total transaksi ekonomi digital Asia Tenggara berasal dari Indonesia. Nilai ekonomi digital Indonesia sendiri pada 2020 telah mencapai $44 miliar, tumbuh 11% dibandingkan 2019, dan memiliki kontribusi sebesar 9,5% terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Indonesia.

“Kami berharap, PT Telkomsel Ekosistem Digital dapat menjalankan perannya memperkuat Telkomsel sebagai digital ecosystem enabler, melalui optimalisasi kapabilitas ekosistem layanan digital yang dimiliki, guna mewujudkan visi Indonesia menjadi salah satu negara ekonomi digital terbesar di dunia,” ungkap Hendri.

Di tahap awal, PT Telkomsel Ekosistem Digital akan dipimpin oleh Andi Kristianto sebagai Chief Executive Officer (CEO). Sebelumnya, Andi juga pernah menjabat sebagai CEO Telkomsel Mitra Inovasi (TMI) dan SVP Corporate Strategy and Strategic Investment di Telkomsel. Selain itu, Andi juga akan didampingi oleh Andry Firdiansyah sebagai Chief Financial Officer (CFO) dan Chief Human Resource Officer (CHRO), dan Luthfi K. Arif sebagai Chief Technology Officer (CTO).

Inisiatif digital Telkomsel

Beberapa tahun terakhir, Telkomsel telah memperluas cakupan solusi digitalnya melalui divisi inkubasi dan akselerasi internal Telkomsel Innovation Center (TINC) dan Telkomsel Mitra Inovasi (TMI) sebagai perusahaan perpanjangan investasi di luar ekosistem perusahaan. Ini menjadi salah satu langkah strategis untuk mencari model bisnis yang tepat bagi bisnis telekomunikasinya.

Dalam upaya mendorong pengembangan di gelombang pertama, PT Telkomsel Ekosistem Digital akan fokus pada tiga sektor industri digital, yakni edtech, healthtech, dan gaming. Ketiga lini bisnis tersebut dinilai berpotensi untuk mendorong perekonomian digital nasional dan akan menjadi bagian dari emerging portofolio bisnis digital Telkomsel yang berkelanjutan.

Di pertengahan tahun 2021, Telkomsel memperkenalkan Kuncie, platform edtech yang menyediakan layanan pembelajaran pengembangan bisnis di berbagai macam kategori dengan mentor berpengalaman. Edtech merupakan vertikal bisnis yang mungkin belum pernah menjadi diversifikasi lini bisnis operator telekomunikasi, baik dikembangkan sendiri maupun lewat skema investasi atau kemitraan strategis.

Selang beberapa waktu, tepatnya di akhir tahun 2021, perusahaan resmi meluncurkan platform digital terbaru Fita yang bermain di segmen prevented healthcare. Produk ini disebut mengamalkan growth mentality yang lekat pada kultur startup. Sebelumnya, aplikasi Fita sudah lebih dulu hadir di Google Play Store dan Apps Store pada pertengahan tahun ini.

Dalam waktu dekat, Telkomsel berencana melakukan pemekaran usaha melalui pemisahan keseluruhan bisnis aplikasi Kuncie dan Fita untuk dialihkan kepada PT Telkomsel Ekosistem Digital, guna memperkuat penetrasi bisnis vertikal, masing-masing di sektor edutech dan healthtech.

Sedangkan untuk sektor gaming, Telkomsel juga telah mengalihkan kontrak usaha patungan kepada PT Telkomsel Ekosistem Digital untuk mendirikan perusahaan Joint Venture (JV) yang memiliki fokus bisnis sebagai perusahaan penerbit (publisher) gaming guna meningkatkan kompetensi dan kapabilitas di vertikal bisnis Telkomsel di industri gaming.

Telkomsel Gelar Program TINC Batch 5, Incar Startup Potensial di Tengah Pandemi

Telkomsel kembali menggelar program corporate inkubator dan akselerator Telkomsel Innovation Center (TINC) Batch 5. Kali ini TINC tidak mengangkat tema khusus dalam membidik startup binaan, melainkan ada sejumlah segmen yang dinilai memiliki kenaikan momentum di tengah pandemi yang masih berlangsung.

Segmen startup tersebut di antaranya IoT, pemelajaran mesin (ML), kecerdasan buatan (AI), teknologi periklanan (ads tech), fintech, logistik dan supply chain, healthtech, dan edutech.

“TINC fokus pada lini vertikal yang bisa difasilitasi oleh aset milik Telkomsel. Pada batch sebelumnya, kebanyakan solusinya untuk telko, tapi makin ke sini kami banyak berinteraksi ada banyak masalah di luar sana yang bisa diselesaikan oleh startup. Jadinya kami perluas cakupannya,” ujar VP Corporate Strategy Telkomsel Andi Kristianto, dalam konferensi pers secara online, kemarin (7/7).

Pendaftaran untuk batch ini sudah dibuka secara resmi sejak 15 Juni 2020. Dibandingkan batch sebelumnya, TINC memperkenalkan tiga manfaat lebih untuk startup binaannya, yakni market access, go to market and sales channels, dan innovation lab (testing lab IoT dan 5G, sandboxing platform, dan development kit).

Dalam pengembangan inovasi, TINC membaginya menjadi dua tahap, yakni inkubasi (prototyping, proof of concept) dan akselerasi (piloting, commercial), dengan pelaksanaan yang berlangsung selama tiga sampai 12 bulan.

Ada dana hibah yang diberikan untuk tahap awal. Andi menjelaskan, besarannya akan tergantung pada proposal yang diajukan startup terpilih. Nantinya dana tersebut akan dipakai untuk pengembangan startup agar lebih matang.

Model pendanaan berikutnya adalah berbentuk investasi. Ketika MVP sudah siap dan butuh akselerasi lebih jauh, startup akan menerima dana investasi yang berupa convertible notes. Nominalnya akan lebih besar dengan tenor yang lebih panjang.

“Kalau startup tumbuh fit dalam jangka panjang dan memberi nilai tambah buat Telkomsel, maka akan diinvestasi. Dari sisi kita akan dibantu untuk leverage network.”

Program Telkomsel lainnya

Sejak pertama kali digelar, TINC merupakan bagian dari salah satu pilar Telkomsel dalam mentransformasi perseroan menjadi perusahaan telkomunikasi digital terdepan, bersama pilar inovasi digital lainnya yaitu The NextDev dan Telkomsel Mitra Inovasi (TMI).

Ketiganya punya kesamaan misi, sama-sama ingin membangun ekosistem bagi para pegiat startup. Akan tetapi, ketiganya punya fokus yang berbeda. Misalnya The NextDev lebih diarahkan pada talent scouting dan social impact, TINC sebagai wadah untuk berakselerasi dan berkomersialisasi bersama Telkomsel, dan TMI fokus pada investasi strategis.

TINC sendiri telah berlangsung sejak 2018. Tiap batch memiliki tema khusus yang diangkat. Secara berurutan, batch pertama mengangkat soal smart city and environment; agritech; industrial IoT. Berikutnya dalam batch 4 dan 5 tidak mengangkat tema, alias Telkomsel terbuka pada semua inovasi tapi dengan catatan ada beberapa sektor yang diincar karena sedang “hot” pada momentum tersebut.

“Mulai batch 4 kita mau beyond IoT karena pada batch 1-3 kita merasa sudah me-represent semua use case utama di industri. Batch 4 ini dimulai awal tahun 2020 dan mulai tahun ini pula kita mau lihat tren apa yang lagi banyak di ekosistem startup di tahap awal maupun level yang sudah siap masuk market,” jelas GM Business Incubation Telkomsel Eko Seno Prianto.

Secara total ada 19 startup binaan yang berhasil masuk sampai proses inkubasi sepanjang TINC dilaksanakan, di dalamnya terdapat dua solusi startup yang dikembangkan dari tim internal Telkomsel, salah satunya adalah Intank (Intelligent Tank Monitoring System).

Nama-nama startup binaan lainnya adalah eFishery, Jala, Mertani, Banopolis, Smash, Habibi Garden, Bantuternak, Neurafarm, TraffoBit, Eltisia, Manpro, Chatbiz.id, Cryptoscope, T-Man, Birru, Calty Farms, Fishgator, dan Mantis ID.

Pendanaan Startup Tak Hanya Soal Valuasi

Selama ini valuasi menjadi acuan utama para pemodal ventura dalam berinvestasi pada sebuah perusahaan. Metrik ini menentukan nilai sebuah perusahaan dan seberapa besar potensi bisnisnya. Salah satu terminologi yang erat dikaitkan dengan valuasi adalah unicorn, disematkan pada perusahaan dengan nilai valuasi di atas $1 miliar. Meskipun demikian, apakah valuasi menjadi satu-satunya ukuran pertumbuhan bisnis sebuah startup?

Industri VC atau Venture Capital sendiri masih tergolong muda di Indonesia dan baru mulai aktif dalam satu dekade terakhir. Masing-masing VC punya penilaian tersendiri dalam menentukan portfolio. Valuasi menjadi hal yang sangat penting bagi model bisnis ini untuk memproyeksikan rasio pengembalian (rate of return) investasi mereka. Hal ini yang juga membuat para investor berani mengasah nilai valuasi setinggi-tingginya demi mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya.

Di akhir tahun 2019 lalu, kita sempat dikejutkan dengan isu beberapa startup unicorn, seperti WeWork, Uber, dan OYO yang mengalami permasalahan bisnis. Siapa sangka jika perusahaan dengan valuasi tinggi dan didukung investor besar bisa tersandung masalah finansial. Ternyata valuasi saja tidak bisa menjamin keberlangsungan bisnis sebuah perusahaan.

Berbagai isu mengenai valuasi startup membuat para penyuntik dana ketar-ketir. Faktanya startup tak hanya tentang valuasi. Terdapat sejumlah faktor yang membentuk sebuah perusahaan sampai pada tahapannya saat ini.

Fundamental value

Sebelum masuk ke ranah valuasi, terdapat peran esensial yang ada dalam perusahaan itu sendiri, yaitu founder. Sebelum menyuntik dana ke perusahaan, investor harus terlebih dulu menanam kepercayaan pada founder. Ketika keduanya sudah align, barulah bisa masuk ke pembicaraan mengenai valuasi.

Peran seorang Founder, yang kerap merangkap CEO bisa diibaratkan sebagai seorang nahkoda yang bertugas menentukan arah perusahaan, namun tanpa kapasitas yang mumpuni bisa menenggelamkan kapal yang telah dibangun sedemikian rupa.

Iklim bisnis yang positif di Indonesia juga turut mengambil peran dalam perkembangan industri startup. Lima unicorn menjadi bukti serta menunjukkan pasar yang semakin mature. 

Co-founder dan Direktur Tokopedia Leontinus Alpha Edison mengatakan, “Founder dalam satu dekade terakhir harusnya memiliki kualitas yang lebih baik, didukung dengan penetrasi internet dan mobile yang sudah terbangun, serta akses pada pendanaan yang lebih mudah.”

Tahapan pendanaan

Dalam praktiknya ada beberapa tahapan dalam pertumbuhan bisnis startup. hal ini turut mempengaruhi investasi dan valuasi perusahaan. Masing-masing pemodal ventura memiliki fokus tersendiri. Ada yang lebih fokus ke early stage, yang lain memilih bermain aman dengan investasi pada later stage.

Kepada DailySocial, Managing Partner East Ventures Willson Cuaca mengatakan, “Setiap tahapan startup memiliki metrik yang berbeda. Di tahap awal kami akan memantau adopsi pengguna, selanjutnya akan lebih fokus pada unit ekonomi. Tidak ada aturan tunggal yang bisa berlaku untuk semua.”

Di sisi lain, dengan banyaknya jenis modal ventura yang ada, masing-masing punya strategi tersendiri dalam mengisi portfolio. Salah satunya dari Corporate Venture Capital (CVC), yang lebih fokus pada strategi dan potensi pemanfaatan aset.

CEO Telkomsel Mitra Inovasi (TMI), dana kelolaan milik Telkomsel, Andi Kristianto mengatakan, “Sebagai modal ventura korporasi, kami lebih fokus pada later stage. Dengan aset yang begitu banyak, kami berharap investasi ini bisa disalurkan pada semua vertikal startup yang relevan dengan core business kami.”

Strategi Investor

Menanggapi isu WeWork dan Uber, Willson tidak melihat kasus ini berdampak signifikan dengan kondisi di tanah air. Sebagai pemodal ventura, ia memandang memang ada nilai-nilai yang harus dipegang teguh agar kelak tidak tersandung persoalan seperti ini.

“Kami memahami bahwa disiplin finansial itu penting dan kami hanya akan memberikan valuasi yang fair kepada model bisnis, inovasi, serta penciptaan nilai yang baik,” tambah Willson.

Menurut pemaparan CEO DailySocial Rama Mamuaya, data menunjukkan adanya penurunan jumlah startup yang menerima pendanaan. “Tidak lagi menyuntik dana sedikit-sedikit di beberapa perusahaan, tetapi invest ke sebuah perusahaan dalam jumlah besar,” ujarnya.

Hal ini bisa berarti para investor semakin selektif dalam berinvestasi. Untuk pendanaan dalam jumlah besar tentu saja tidak cukup hanya melihat valuasi. Dibutuhkan metrik lain untuk bisa mendapatkan kepercayaan dari sisi investor, salah satunya adalah founder yang berkualitas.

“Tidak hanya financial gain, tapi juga fundamental value,” ujar Andi.

Dalam kasus WeWork dan Uber, ketika valuasi sudah terlanjur (terlalu) tinggi, ada beberapa strategi yang bisa jadi solusi. Mengganti CEO bisa jadi adalah solusi yang paling memungkinkan, tapi solusinya bisa berbeda terkait model bisnis masing-masing perusahaan.

Modal ventura adalah bisnis yang sarat risiko. Dengan berbagai isu negatif terkait investasi, wajar jika para investor sangat berhati-hati dalam menggelontorkan dana. Permainan valuasi tetap harus diimbangi dengan struktur organisasi dan ekosistem yang mumpuni.

Telkomsel Suntik Pendanaan Seri B1 ke Startup Logistik Berbasis IoT “Roambee”

Telkomsel melalui unit investasi Telkomsel Mitra Inovasi (TMI) baru saja mengumumkan portofolio pendanaan baru kepada startup logistik berbasis IoT asal Amerika Serikat, yakni Roambee.

Roambee menerima pendanaan seri B1 dengan nominal yang tidak disebutkan. Sebelumnya di 2018, Roambee telah memperoleh pendanaan pertamanya lewat MDI Ventures yang diinisiasi Telkom Group.

“Saya belum bisa share detail sinerginya. Tapi ada [produk kolaborasi] yang dirilis di kuartal pertama,” ungkap CEO Telkomsel Mitra Inovasi Andi Kristianto dalam pesan singkatnya kepada DailySocial.

Sebagaimana disampaikan dalam keterangan pers, sinergi terhadap Roambee diharapkan dapat mendorong perusahaan di Indonesia untuk mengadopsi teknologi digital. Ditambah, baik Roambee dan Telkomsel memiliki solusi IoT yang dapat dikembangkan bersama.

Berdiri di 2013, Roambee mengembangkan solusi smart logistics dan asset monitoring berbasis IoT yang diperuntukkan bagi pelanggan enterprise, terutama yang memiliki sistem supply chain berbasis digital.

Sementara di Telkomsel, IoT telah menjadi salah satu fokus pengembangan bisnisnya dalam beberapa tahun terakhir. Strategi ini tak lain untuk memperkuat posisinya sebagai digital telco company di Indonesia.

Terlebih, teknologi 5G yang akan berperan penting terhadap pengembangan ekosistem IoT—meski masih melalui perjalanan panjang—akan segera menuju komersialisasi di Indonesia.

Hingga saat ini, Telkomsel telah menelurkan sejumlah  layanan baik melalui pengembangan sendiri maupun kolaborasi, antara lain Smart Connectivity, Fleet Sight, dan InTank. Untuk Fleet Sight, Telkomsel telah berkolaborasi dengan Pertamina dan Bluebird.

Pengembangan produk existing

Dihubungi terpisah, Head of Investor Relations & Capital Raising MDI Ventures Kenneth Li mengungkap bahwa sinergi ini akan diawali dengan pengembangan produk dari solusi existing milik Roambee. Pertimbangannya karena solusi tersebut dinilai sudah product-fit.

“Produknya tracking solutions untuk menyasar klien enterprise Telkomsel. Kalau [pengembangan] solusi baru, nanti [ada] ke depannya,” ujar Kenneth kepada DailySocial.

Menurut Kenneth, Roambee dipilih karena teknologinya dinilai telah terbukti, dan bahkan telah digunakan perusahaan besar ternama di dunia, seperti DHL, Deutch Telecom, dan Unilever. “Jadi, [teknologinya] sudah cukup strong,” tambahnya.

Selain itu, dengan jejak pendanaan pertama dari MDI Ventures di 2018, Roambee saat itu juga mengembangkan produk yang sama, seperti tracking solutions, untuk disinergikan dengan bisnis Telkom Group.

”Solusinya berjalan karena memang ada demand di pasar, terutama dari e-logistic yang membutuhkan real time monitoring of package on delivery,” tutupnya.

Telkomsel’s Venture Capital Debut Investment for Kredivo

Today (7/3) Telkomsel, through the investment arm, Telkomsel Mitra Inovasi (TMI) announced new investment for FinAccel (Kredivo). It is supported by MDI Ventures, the investment arm of Telkom Group. There is no further detail or nominal of the funding.

As of the current news, Kredivo’s latest funding was Series B worth 435 billion Rupiah, led by Square Peg Capital involving MDI Ventures, Atami Capital, and its previous investors. Earlier, they also received Series A funding from some investors including Jungle Ventures, Alpha JWC Ventures, 500 Startups, and many more.

“The collaboration between Telkomsel and Kredivo aims to provide payment solutions while maintaining to accelerate thousands of Indonesian retail entrepreneurs by providing alternative financial services for a broaden customer segment,” TMI’s CEO, Andi Kristianto said.

MDI Ventures’ CEO, Nicko Widjaja said, “There are some collaborations and synergies we identified as capable to bring great benefits for Telkomsel and FinAccel. It brought benefits because both parties can go-to-market at once, reaching out to Telkomsel’s broad customers and providing services with significant added value to them.

TMI was officially announced on May 2019. The amount of $40 million (equivalent to 576 billion Rupiah) is prepared to invest in startups operating in Indonesia. Under the initiative, Telkomsel partnered with MDI Ventures and Singtel Innov8. Previously, funding is to focus on big data, IoT, and entertainment industry startups.

Kredivo comes with the right innovations amidst the e-commerce momentum in Indonesia. The service offers “virtual credit cards” for various shopping demand. Regarding market penetration, they currently available in Greater Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang, Palembang, Medan, Bali, Yogyakarta, and Solo.

The credit given is within 30 days, 3 months, 6 months and 1-year tenor. Interest per month is up to 2.95%. Currently, the platform has been implemented in almost all kinds of e-commerce operating in Indonesia. Recently, the company founded by Akshay Garg, Alie Tan, and Umang Rustagi also launched a new product of cash loan.

Previously, the one rumored to invest in Kredivo is its series A round investor, Jungle Venture, worth 2.5 trillion Rupiah. However, it seems that it hasn’t been realized until now.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here