Ramaikan Layanan EWA, Halofina Hadirkan “Halogaji” untuk Karyawan Perusahaan

Daftar startup yang merambah segmen earned wage access (EWA) di Indonesia terus bertambah, kali ini giliran Halofina yang menghadirkan Halogaji. Sejatinya, solusi ini sudah hadir sejak Agustus 2021 dan mulai menjadi fokus utama perusahaan. Hal tersebut terlihat dari seluruh sumber daya dialihkan untuk pengembangan Halogaji, ketimbang aplikasi Halofina yang diketahui sudah lama tidak ada pembaruan teranyar baik di App Store dan Play Store.

Kepada DailySocial.id, Co-Founder & CEO Halofina Adjie Wicaksana menjelaskan, ketertarikan perusahaannya untuk merintis Halogaji terlihat dari fakta bahwa saat ini masih banyak segmen masyarakat yang berjuang mengatasi cash flow harian. Tak jarang berakibat membuat mereka terpaksa untuk mengambil pinjaman ke lembaga non-bank dengan bunga tinggi.

“Kita melihat segmen ini besar dan jadi sesuatu yang perlu kita berikan solusi. Berdasarkan riset internal kami, EWA bisa jadi salah satu opsi yang bisa bantu cash flow dan menghindari orang dari pinjaman berbunga tinggi,” paparnya.

Sama seperti startup EWA lainnya, akses pencairan gaji lebih awal ini diperuntukkan buat karyawan yang sudah didaftarkan oleh perusahaan. Setiap penarikan tidak akan dibebankan dengan bunga, melainkan biaya administrasi. Diferensiasi yang mencolok dari Halogaji adalah penerapan konsep syariah untuk seluruh prosesnya, mulai dari akad hingga sumber dana.

“Karyawan bisa melihat saldo balance yang mencerminkan sudah berapa hari kerja yang sudah dijalankan. Kemudian, bisa tarik gajinya lewat aplikasi. Sumber dana bisa dari perusahaan atau pihak ketiga dari Halogaji yang memberikan talangan dana jangka pendek.”

Tidak disebutkan jumlah pengguna Halogaji saat ini. Namun, Adjie menyebutkan pertumbuhan bisnisnya naik 130% secara bulanan sejak pertama kali diluncurkan. Target penggunanya tidak terbatas dari kelas ekonomi manapun. Meski saat ini perusahaan membidik karyawan dari kalangan ekonomi menengah-bawah, ke depannya akan memperluas ke menengah-atas lewat fitur Tabungan Pintar.

Langkah ini sekaligus menjadikan Halogaji tak lagi sebagai EWA saja, tapi sebagai employee financial wellness karena mendorong orang untuk rutin menabung yang terintegrasi langsung dengan gajinya. Pengguna bisa memperoleh keuntungan finansial sampai empat kali lipat bila dibandingkan dengan bunga deposito bank.

“Jadi tidak hanya dengan EWA untuk dana darurat, karyawan bisa membangun kebiasaan menabung lebih baik lewat fitur terbaru yang akan kami rilis pada akhir kuartal I ini.”

Ia meyakini potensi pertumbuhan EWA di Indonesia akan jauh lebih pesat dari sekarang, mengingat populasi pekerja menengah-bawah yang besar. Kondisi tersebut terefleksi dengan kondisi yang sama di pasar global, pemain EWA juga ikut membludak melihat populasi pekerja yang terus bertumbuh. Oleh karenanya, agar EWA terus sejalan dengan kebutuhan para pengguna, Adjie melihat kunci utamanya adalah membangun ekosistem.

“Dengan bangun ekosistem, yang mana kebutuhan pembayaran dan pembelian barang dan jasa bisa terintegrasi, sehingga lebih memudahkan penggguna dalam menggunakan alokasi gajinya untuk kebutuhan sehari-hari.”

Rencanakan putaran dana baru

Dengan lini barunya tersebut, Halofina berencana untuk membuka penggalangan dana segar agar lebih ekspansif membangun produknya. “Masih belum pastikan skemanya, tapi rencananya akhir kuartal I ini akan fundraising lagi.”

Perusahaan terakhir kali mengumumkan pendanaan tahap awal dengan nominal dirahasiakan pada 2019. Putaran tersebut dipimpin oleh Mandiri Capital Indonesia, dengan partisipasi dari Finch Capital, Plug and Play Asia Pacific, dan Rekanext.

Bila dilihat secara historis, pemain EWA memang baru hadir di Indonesia semenjak pandemi. Keseluruhan pemain telah mengantongi pendanaan segar dari investor. Berikut daftar lengkapnya:

Startup EWA di Indonesia

Application Information Will Show Up Here

Ambisi GetPaid Sehatkan Keuangan Karyawan dengan Akses Gaji Lebih Awal

GetPaid turut meramaikan startup earned wage access (EWA) di Indonesia yang memiliki segudang masalah, terutama dari sistem penggajian yang menjadi isu buat sebagian besar pekerja. Menurut data BPS, sekitar 129 juta pekerja menghadapi tekanan dan kesulitan finansial yang disebabkan oleh arus kas yang tidak teratur, jadwal pembayaran bulanan, pengeluaran tak terduga, dan akses finansial yang terbatas. Isu-isu di atas membuat mereka akhirnya “lari” meminjam uang dari lembaga tidak resmi, yang sering menetapkan bunga tinggi dan penagihan yang mencekam.

GetPaid didirikan pada 2020 oleh Mitchell Goh dan Ian Goh. Mitchell yang mengawali karier profesionalnya sebagai pekerja sosial, kemudian melanjutkan menangani tunjangan karyawan dan keuangan. Dari situ, ia melihat bahwa sebagian besar karyawan tidak memiliki metode keuangan yang dapat membantu mereka jika ada keperluan tak terduga. Selang satu tahun, GetPaid melebarkan sayapnya ke Indonesia sejak September 2021 dan menunjuk Joses Tjohjono sebagai pimpinan regional Managing Director GetPaid Indonesia.

Seperti startup EWA lainnya, GetPaid berfokus pada penyediaan akses gaji lebih awal untuk karyawan. Perusahaan bukan memosisikan diri sebagai perusahaan pemberi pinjaman karena tidak ada kerangka waktu pembayaran, biaya bunga, atau biaya keterlambatan. Hanya biaya flat per transaksi yang dibayar karyawan ketika mereka ingin mengakses upah yang mereka peroleh.

“GetPaid hanya akan mengenakan biaya saat karyawan melakukan penarikan. Perbandingan GetPaid dengan perusahaan EWA lainnya, kita akan lebih fleksibel dan memberikan pilihan biaya transaksi untuk kenyamanan perusahaan/karyawan,” ucap Joses saat dihubungi DailySocial.id.

Dilanjutkan lebih jauh, GetPaid memberikan tiga opsi biaya. Pertama, sebesar 4% per transaksi, kemudian Rp36 ribu per transaksi, dan berlangganan Rp72 ribu per bulan. Biaya tersebut dikenakan saat pertama kali melakukan penarikan dan tidak akan ada biaya potongan lagi jika melakukan transaksi di bulan yang sama.

Akses gaji tersebut akan diberikan apabila perusahaan mendaftarkan karyawan mereka yang berhak terhadap akses tersebut melalui GetPaid. Berikutnya, karyawan dapat membuka dan mengakses aplikasi GetPaid untuk menarik gaji. Masing-masing karyawan memiliki limit penarikan dan alokasi perhitungan gaji yang dapat ditarik.

Ambil contoh, karyawan yang sudah bekerja dalam 10 hari, hanya bisa mengakses 10 hari gaji/limit penarikan mereka. Joses menuturkan, perusahaan merekomendasikan akses limit sebesar 50%-80% dari keseluruhan gaji agar karyawan tetap mendapatkan sisa gaji di tanggal seharusnya. “Dan dana yang diperoleh tersebut langsung dari GetPaid. Lalu perusahaan (karyawan) akan membayar kembali kepada GetPaid di saat tanggal gajian perusahaan tersebut.”

Joses tidak merinci secara spesifik target pengguna yang dibidik GetPaid. Ia hanya bilang membidik semua karyawan yang terdaftar di perusahaan untuk menggunakan fasilitas GetPaid. Terhitung, saat ini solusinya telah digunakan oleh 20 perusahaan. “Kami targetkan tahun ini bisa mencapai 50-100 perusahaan yang bergabung dengan kami.”

Ekspansi perusahaan akan didukung lewat perolehan dana tahap awal sebesar $1,15 juta (sekitar Rp16,4 miliar) yang didapat pada Januari kemarin dari Grovey Pay dan Nityo Infotech Service. Investasi ini memungkinkan GetPaid untuk meningkatkan dan memperluas produk EWA ke negara lainnya di Asia Tenggara.

Dorong kurangi pinjaman konsumtif

Joses melanjutkan, semangat yang ingin disampaikan GetPaid adalah mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap pinjaman konsumtif yang dianggap merugikan karena bunganya yang tinggi. Kondisi tersebut benar adanya. Mengutip dari studi Health Living Index oleh AIA, uang adalah sumber utama faktor stres di Indonesia. Keuangan rumah tangga menyebabkan orang Indonesia lebih stres daripada pekerjaan, hubungan, atau bahkan kesehatan fisik mereka.

Survei global lainnya yang diselenggarakan PwC pada 2019 menemukan bahwa sebanyak 67% pekerja melaporkan berjuang pada tekanan finansial, yang berarti lebih dari dua pertiga populasi pekerja rentan terhadap migrain, depresi, dan kecemasan. Banyak penelitian menyoroti efek stres keuangan karyawan terhadap kinerja bisnis.

“GetPaid dapat membantu karyawan yang memerlukan dana darurat tanpa perlu melakukan pinjaman. Rencana kami ke depannya adalah memberantas pinjaman online dengan menggunakan GetPaid, sebab kami bukan pinjaman online.”

Perusahaan akan terus melakukan edukasi kepada masyarakat mengenai solusi EWA yang terbilang masih baru di Indonesia. Terlebih semenjak pandemi, banyak orang yang membutuhkan dana di awal untuk bertahan hidup. EWA dapat menjadi solusi untuk mendapatkan gaji lebih awal dan bukan berbentuk pinjaman karena tidak memiliki bunga atau biaya keterlambatan.

Karena potensi yang luas, ia optimistis bahwa ke depannya EWA akan diminati oleh perusahaan karena menguntungkan. Perusahaan tidak perlu terganggu cash flow-nya untuk memberikan kasbon kepada karyawan. “Kami masih melakukan edukasi kepada masyarakat bahwa jangan takut untuk menggunakan fasilitas yang diberikan GetPaid karena kami adalah solusi keuangan yang sehat untuk keluarga,” pungkas Joses.

Gajiku Snags 16 Billion Rupiah Seed Funding

The earned wage access (EWA) and HR platform, Gajiku, announced an early-stage investment worth of $1.1 million (approximately 16 billion IDR). This round was led by AC Ventures, with the participation of Agung Ventures, Monk’s Hill Ventures Scouts Program, Sampoerna, and several Indonesian angel investors.

The fresh money will be used for product, sales and business development to bring in new customers, focus on large companies, and increase the number of employees across all functions.

The startup was founded in January 2021 by several founders, including Sherman Tanuwidjaja (CEO), with expertise in developing technology focused HR solutions for large clients including Temasek; and Herry Gunawan (CTO), who was the former Head of Engineering at Ruangguru and Lead Engineer at Tokopedia.

The platform

Gajiku is a payroll and employee management solution provider that enables employees to access on-demand payroll through an employer-centric approach. Gajiku offers a complete suite of employee management processes for attendance, payroll disbursement, and KPI tracking, helping employers digitize their human capital and accounting operations.

Companies generally work with large corporations, such as large retail and manufacturing companies with over 1,500 employees per company in average. 90% of employees registered at Gajiku transact at least once a month through partnerships with conglomerates and Indonesian companies.

Gajiku is usually used by labor-intensive companies that employ thousands of blue-collar workers, most of whom are considered unbanked and may work in informal settings. Low financial literacy among Indonesian blue-collar workers has made them particularly vulnerable to moneylenders and other predatory lenders.

These workers are likely to live from paycheck to paycheck or possible to disappear from the workplace due to immense financial stress. By offering Gajiku’s on-demand payroll services, employers can provide a lifesaver for employees, helping them relieve financial stress and reduce employee turnover.

By combining access to earned wages with human resources and financial services, Gajiku is able to provide a complete range of services that increase business efficiency, reduce employee turnover, and provide financial well-being for the Indonesian working class.

“Indonesia’s blue-collar workforce has enormous potential, when assisted with the right tools and opportunities to develop. With more businesses putting Indonesia as part of a global supply chain, we are working with employers to improve employee management, while ensuring that their employees are in the best financial position to succeed,” Gajiku’s Co-founder and CEO, Sherman Tanuwidjaja said in an official statement, Thursday (27/1).

AC Ventures’ Managing Partner, Adrian Li added, considering the Indonesian workers often sign informal agreements, employee management is business’ top priority to increase efficiency and reducing turnover.

He believes that Gajiku’s company-centric approach will enable employers to positively impact the majority of employees through access to early wages (EWA) and other financial services possibilities. “We are very excited to support the Gajiku team as they change the way for managing employees in Indonesia,” Li said.

EWA’s penetration

In Indonesia, there are several startups that specifically provide EWA solutions, including GajiGesa, Gigacover, wagely, KoinGaji (from KoinWorks), and HaloGaji (from Halofina). The EWA concept is an adoption of similar solutions that have previously been present in developed countries.

Its existence most likely due to money as the main source of stress in Indonesia, citing the Health Living Index published by AIA. Household finances cause Indonesians more stress than work, relationships, or even physical health.

Another global survey by PwC in 2019 found that 67% of workers reported struggling with financial stress, resulting more than two-thirds of the working population are prone to migraines, depression and anxiety. Many studies have highlighted the effects of employee financial stress on business performance.

According to PwC, workers spend three or more hours per week focusing on financial matters rather than their work. Of the employees who reported financial stress, 12% lost their jobs because of the problem, and 31% felt their productivity was affected. One of three workers admit to being less productive at work because of financial stress.

PwC estimates for a company with 10,000 workers, all these financial stress-related problems could cost up to $3.3 million in one year.

In Indonesia alone, the lower middle class workers still dominate the working class. The World Bank noted that out of a total of 85 million income recipients which include employees, casual workers, and self-employed, only 13 million workers or 15% have enough income to support a middle class life with four family members.

Of this group, only 3.5 million or 4% of workers with middle-class income while enjoying full social benefits and having permanent employee status.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Startup EWA Gajiku Raih Pendanaan Awal 16 Miliar Rupiah

Startup earned wage access (EWA) dan platform SDM Gajiku mengumumkan perolehan investasi tahap awal sebesar $1,1 juta (sekitar 16 miliar Rupiah). Putaran ini dipimpin oleh AC Ventures, dengan partisipasi dari Agung Ventures, Monk’s Hill Ventures Scouts Program, Sampoerna, dan beberapa angel investor Indonesia.

Dana segar akan dimanfaatkan untuk pengembangan produk, mendorong penjualan dan pengembangan bisnis untuk mendatangkan pengguna baru, fokus pada perusahaan besar, dan meningkatkan jumlah karyawan di semua fungsi.

Startup ini didirikan pada Januari 2021 oleh sejumlah founder, termasuk Sherman Tanuwidjaja (CEO), dengan pengalaman yang mendalam dalam mengembangkan teknologi yang fokus pada solusi SDM untuk klien besar termasuk Temasek; dan Herry Gunawan (CTO), yang sebelumnya menjabat sebagai Head of Engineering di Ruangguru dan Lead Engineer di Tokopedia.

Platform Gajiku

Gajiku merupakan penyedia solusi penggajian dan manajemen pegawai yang memungkinkan karyawan mengakses gaji sesuai permintaan melalui pendekatan yang berpusat pada pemberi kerja. Gajiku menawarkan rangkaian lengkap proses manajemen karyawan untuk kehadiran, pencairan gaji, dan pelacakan KPI, membantu pemberi kerja mendigitalkan sumber daya manusia dan operasi akuntansi mereka.

Perusahaan umumnya bekerja sama dengan korporasi besar, seperti perusahaan ritel dan manufaktur besar dengan rata-rata lebih dari 1.500 karyawan per perusahaan. 90% dari karyawan terdaftar di Gajiku bertransaksi setidaknya satu bulan sekali melalui kemitraan dengan konglomerat dan perusahaan Indonesia.

Gajiku biasanya digunakan oleh perusahaan padat karya yang mempekerjakan ribuan pekerja kerah biru, yang sebagian besar dianggap tidak memiliki rekening bank dan mungkin bekerja dalam pengaturan informal. Literasi keuangan yang rendah di antara pekerja kerah biru Indonesia telah membuat mereka sangat rentan terhadap rentenir dan pemberi pinjaman predator lainnya.

Para pekerja ini kemungkinan besar hidup dari gaji ke gaji atau cenderung menghilang di tempat kerja karena tekanan keuangan yang sangat besar. Dengan menawarkan layanan penggajian sesuai permintaan Gajiku, pemberi kerja dapat memberikan penyelamat bagi karyawan, membantu mereka meringankan tekanan keuangan dan mengurangi pergantian karyawan.

Dengan menggabungkan akses upah yang diperoleh dengan sumber daya manusia dan layanan pembiayaan, Gajiku mampu menyediakan rangkaian lengkap layanan yang meningkatkan efisiensi bisnis, mengurangi pergantian karyawan, dan memberikan kesejahteraan finansial bagi kelas pekerja Indonesia.

“Tenaga kerja kerah biru Indonesia memiliki potensi yang sangat besar, bila dibantu dengan alat dan kesempatan yang tepat untuk berkembang. Dengan semakin banyaknya bisnis yang melihat Indonesia sebagai bagian dari rantai pasokan global, kami bekerja sama dengan pemberi kerja untuk meningkatkan manajemen karyawan, sekaligus memastikan bahwa karyawan mereka berada dalam posisi keuangan terbaik untuk sukses,” ucap Co-founder dan CEO Gajiku Sherman Tanuwidjaja dalam keterangan resmi, Kamis (27/1).

Managing Partner AC Ventures Adrian Li menambahkan, mengingat pekerja Indonesia sering menandatangani perjanjian informal, manajemen karyawan merupakan prioritas utama bagi bisnis dalam meningkatkan efisiensi dan mengurangi pergantian.

Dia percaya bahwa pendekatan yang berpusat pada perusahaan oleh Gajiku akan memungkinkan para pemberi kerja untuk memberikan dampak positif bagi sebagian besar karyawan melalui akses upah yang lebih awal (EWA) dan kemungkinan layanan keuangan lainnya. “Kami sangat bersemangat untuk mendukung tim Gajiku saat mereka mengubah cara masuk yang besar prises mengelola karyawannya di Indonesia,” kata Li.

Faktor pendorong kehadiran EWA

Di Indonesia sendiri, sudah ada beberapa startup yang spesifik menyediakan solusi EWA. Mereka adalah GajiGesa, Gigacover, wagely, KoinGaji (dari KoinWorks), dan HaloGaji (dari Halofina). Kehadiran EWA ini merupakan adopsi dari solusi serupa yang sebelumnya sudah hadir di negara maju.

Faktor pendorongnya, karena uang adalah sumber utama faktor stres di Indonesia, mengutip dari Health Living Index yang diterbitkan oleh AIA. Keuangan rumah tangga menyebabkan orang Indonesia lebih stres daripada pekerjaan, hubungan, atau bahkan kesehatan fisik mereka.

Survei global lainnya yang diselenggarakan PwC pada 2019 menemukan bahwa sebanyak 67% pekerja melaporkan berjuang pada tekanan finansial, yang berarti lebih dari dua pertiga populasi pekerja rentan terhadap migrain, depresi, dan kecemasan. Banyak penelitian menyoroti efek stres keuangan karyawan terhadap kinerja bisnis.

Menurut PwC, pekerja menghabiskan tiga jam atau lebih per minggu untuk fokus pada masalah keuangan daripada pekerjaan mereka. Dari karyawan yang melaporkan stres keuangan, sebanyak 12% kehilangan pekerjaan karena masalah tersebut, dan 31% merasa produktivitas mereka terpengaruh. Satu dari tiga pekerja mengaku kurang produktif di tempat kerja karena stres finansial.

PwC memperkirakan bahwa untuk sebuah perusahaan dengan 10.000 pekerja, semua masalah yang berkaitan dengan tekanan keuangan ini dapat menelan biaya hingga $3,3 juta dalam satu tahun.

Di Indonesia sendiri, pekerja kelas menengah ke bawah masih mendominasi dari kelas pekerja. Bank Dunia mencatat dari total 85 juta penerima pendapatan yang meliputi, pegawai, pekerja kasual, dan wiraswasta, hanya 13 juta pekerja atau 15% yang memiliki pendapatan cukup untuk membiayai kehidupan kelas menengah dengan empat anggota keluarga.

Dari kelompok tersebut, hanya 3,5 juta atau 4% pekerja dengan pendapatan setara kelas menengah sekaligus menikmati manfaat sosial secara utuh dan memiliki status pegawai tetap.

GajiGesa Secures Pre Series A Funding Worth of $6,6 Million Led by MassMutual Ventures

Fintech startup GajiGesa announced a pre-series A funding of $6.6 million or equivalent to 94.5 billion Rupiah. MassMutual Ventures led this round with the participation of some new investors, including January Capital, Wagestream, Bunda Group, and Smile Group. There are also individual investors, such as Oliver Jung, Northstar Group’s Partner Patrick Walujo, Ula’s CEO, Nipun Mehram, and Stripe’s Business Lead for APAC, Noah Pepper.

Meanwhile, also participated the previous investors, including Defy.vc, Quest Ventures, GK Plug and Play, and Next Billion Ventures.

“GajiGesa’s integrated platform can combine customer-centric product design and world-class technology infrastructure to ensure its unique position to empower underserved markets and help expand financial resilience for millions of people in Southeast Asia,” MassMutual Ventures’ Managing Director, Anvesh Ramineni said in the release.

Wagestream’s Co-Founder & CEO, Peter Briffet said that he was amazed by GajiGesa’s innovative product roadmap and marketing speed. “We are currently accelerating our shared mission to improve the financial health of workers around the world,” he said.

Recently, GajiGesa also received an additional strategic investment four months after announcing its seed funding of $2.5 million. The fresh money comes from OCBC NISP Ventura and several angel investors, one of which is Edward Tirtanata through Kenangan Kapital.

An interesting fact, Bunda Group is listed as one of GajiGesa’s recent pre-series A investors. According to DailySocial.id’s data, GajiGesa is Bunda Group’s second portfolio which also an affiliate of PT Bundamedik Tbk (IDX: BMHS), the owner of an integrated health service ecosystem, from a network of hospitals, clinics, laboratories, and medical evacuations.

Multiplying business growth

Since the last year, digital transformation has becoming a significant trend within the company’s scope. The adoption of various digital solutions is required to reduce physical interactions and accelerate business processes constrained by the Covid-19 pandemic.

On a general note, GajiGesa is an integrated platform that allows partner companies to manage workforce and cash flow, also to empower the employers with services related to financial management.

One of its solutions is the Earned Wage Access (EWA) which allows employees to make payroll withdrawals on demand and faster than the traditional monthly payment cycle. This solution was developed to reduce dependence on illegal lenders.

Based on the company’s data, EWA has recorded 40-fold growth since January 2021, and has been used by various industrial sectors, such as plantations, retail, hospitals, restaurants, technology, and manufacturing. Currently, GajiGesa has partnered with 120 companies and serves hundreds of thousands of employees in Indonesia.

GajiGesa’s Founders, Vidit Agrawal and Martyna Malinowska discover an explosive growth trend in 2021 in line with the increasing interest of domestic and international investors in this funding round. Moreover, Indonesia becomes the main target market in Southeast Asia.

In addition, his team projects more large companies are starting to use a holistic approach to improve employee welfare.

Agrawal said that this investment is a proof that his team has built a business with strong fundamentals. Therefore, GajiGesa will double its business growth through this investment to expand financial stability for millions of workers in Southeast Asia.

“GajiGesa has doubled its team member over the past six months. We want to use this fresh fund to accelerate product development, grow our business across Indonesia, and expand our market throughout Southeast Asia,” he said.

Malinowska added, “in these turbulent times, our platform has become a valuable tool for employers to provide simple solutions and reduce financial burdens. The pandemic has emphasized the essential of having an empowered workforce and the benefits of a holistic workplace,” she said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

GajiGesa Memperoleh Pendanaan Pra-Seri A 94,5 Miliar Rupiah Dipimpin MassMutual Ventures

Startup fintech GajiGesa mengumumkan perolehan pendanaan pra-seri A senilai $6,6 juta atau sekitar 94,5 miliar Rupiah. MassMutual Ventures memimpin putaran ini dengan partisipasi dari sejumlah investor baru, antara lain January Capital, Wagestream, Bunda Group, dan Smile Group. Kemudian, investor individual, yaitu Oliver Jung, Partner Northstar Group Patrick Walujo, CEO Ula Nipun Mehram, serta Business Lead Stripe untuk APAC Noah Pepper.

Sementara itu, ada beberapa investor sebelumnya yang kembali berpartisipasi dalam pendanaan kali ini, antara lain defy.vc, Quest Ventures, GK Plug and Play, dan Next Billion Ventures.

“Platform terintegrasi GajiGesa dapat menggabungkan desain produk yang berpusat pada pelanggan dan infrastruktur teknologi kelas dunia, serta untuk memastikan posisi unik mereka dalam memberdayakan pasar yang kurang terlayani dan membantu memperluas ketahanan finansial bagi jutaan orang di Asia Tenggara,” ujar Managing Director MassMutual Ventures Anvesh Ramineni dalam keterangan resminya.

Co-Founder & CEO Wagestream Peter Briffett mengatakan bahwa pihaknya kagum dengan peta jalan produk inovatif dan kecepatan pemasaran yang dibuat oleh GajiGesa. “Saat ini kami mempercepat misi bersama kami untuk meningkatkan kesehatan keuangan pekerja di seluruh dunia,” tuturnya.

Beberapa waktu lalu, GajiGesa mendapatkan tambahan investasi strategis selang empat bulan usai mengumumkan pendanaan tahap awal sebesar $2,5 juta. Tambahan investasi ini diperoleh dari OCBC NISP Ventura dan sejumlah angel investor, salah satunya adalah Edward Tirtanata melalui Kenangan Kapital.

Menariknya, pada jajaran investor baru pra-seri A ini, terdapat Bunda Group yang kembali terlibat dalam pendanaan startup. Menurut catatan DailySocial.id, GajiGesa menjadi portofolio kedua yang diinvestasikan oleh Bunda Group yang merupakan afiliasi dari PT Bundamedik Tbk (IDX: BMHS), pemilik ekosistem layanan kesehatan terintegrasi, mulai dari jaringan rumah sakit, klinik, laboratorium, dan evakuasi medis.

Menggandakan pertumbuhan bisnis

Tren transformasi digital di lingkup perusahaan mulai terakselerasi secara signifikan sejak tahun lalu. Adopsi berbagai solusi digital dibutuhkan untuk mengurangi interaksi fisik dan mempercepat proses bisnis yang terkendala akibat pandemi Covid-19.

Seperti diketahui, GajiGesa merupakan platform terintegrasi yang memungkinkan perusahaan mitra untuk mengelola tenaga kerja dan arus kas hingga memberdayakan pemberi kerja dengan layanan terkait manajemen keuangan.

Salah satu solusinya adalah Earned Wage Access (EWA) yang memungkinkan karyawan untuk melakukan penarikan gaji sesuai permintaan dan lebih cepat dari siklus pembayaran tradisional secara bulanan. Solusi ini dikembangkan untuk mengurangi ketergantungan pada pemberi pinjaman ilegal.

Berdasarkan data perusahaan, solusi EWA telah mencatatkan pertumbuhan sebesar 40 kali lipat sejak Januari 2021, dan telah digunakan oleh berbagai sektor industri, seperti pabrik, perkebunan, ritel, rumah sakit, restoran, teknologi, dan manufaktur. Saat ini, GajiGesa telah bermitra dengan 120 perusahaan dan melayani ratusan ribu karyawan di Indonesia.

Para Founder GajiGesa, yakni Vidit Agrawal dan Martyna Malinowska melihat tren pertumbuhan eksplosif di 2021 sejalan dengan meningkatnya minat investor domestik dan internasional terhadap putaran pendanaan ini. Terlebih Indonesia merupakan target pasar utama di kawasan Asia Tenggara.

Selain itu, pihaknya melihat semakin banyak perusahaan besar yang mulai menggunakan pendekatan holistik untuk meningkatkan kesejahteraan karyawan.

Vidit mengatakan bahwa investasi ini menjadi bukti bahwa timnya telah membangun bisnis dengan fundamental kuat. Maka itu, GajiGesa akan menggandakan pertumbuhan bisnis melalui investasi ini untuk memperluas stabilitas keuangan bagi jutaan pekerja di Asia Tenggara.

“Tim GajiGesa telah bertambah dua kali lipat selama enam bulan terakhir. Kami ingin menggunakan dana segar ini untuk mempercepat pengembangan produk, menumbuhkan bisnis di seluruh Indonesia, dan ekspansi pasar di seluruh Asia Tenggara,” ucapnya.

Sementara Martyna menambahkan, “di masa yang penuh gejolak ini, platform kami menjadi tool yang sangat berharga bagi pengusaha untuk dapat memberikan solusi sederhana dan mengurangi beban keuangan. Pandemi telah menekankan pentingnya memiliki tenaga kerja yang berdaya dan manfaat tempat kerja yang holistik,” ungkapnya.

Application Information Will Show Up Here

Earned Wage Access Concept to Normalize Advanced Salary

Some people say money can solve all problems. Ironically this is true. Quoting from the Health Living Index study by AIA, money is the main source of stress in Indonesia. Household finances cause Indonesians more stress than work, relationships, or even their physical health.

Another global survey conducted by PwC in 2019 found that 67% of workers reported struggling with financial stress, meaning more than two-thirds of the working population are prone to migraines, depression and anxiety. Many studies highlight the effects of employee financial stress on business performance.

According to PwC, workers spend three or more hours per week focusing on financial matters rather than their work. Of the employees who reported financial stress, 12% lost their jobs because of the problem, and 31% felt their productivity was affected. One in three workers admit to being less productive at work because of financial stress.

PwC estimates that for a company with 10,000 workers, all these problems related to financial stress could cost up to $3.3 million in one year.

In Indonesia, the lower to middle class workers still dominate the working class. The World Bank recorded out of a total of 85 million income recipients which include employees, casual workers, and self-employed, only 13 million workers or 15% have enough income to support a middle class life with four family members.

Of all that group, only 3.5 million or 4% of workers with middle-class income while enjoying full social benefits and having permanent employee status.

This is yet to talk about freelancers which total has reached 33.34 million, up 26% YOY as of August 2020 according to BPS data. Freelancers in Indonesia are in the lowest position of the work protection pyramid, even losing to blue-collar workers protected by Law No. 13 of 2003.

Freelancers in this country hardly have guarantees related to labor, not even job security, income or social protection. Their social security is not listed as part of the employer’s required entitlement, which means they have to pay for other products for protection.

This financial health issue does not only occur in Indonesia, but also in various other parts of the world. No single tool or approach can meet all employees’ financial needs. Employers should consider providing programs and tools that better equip employees to deal with financial emergencies.

While many employers provide employee loans (such as cash), they are actually only locking in valuable cash flow and yet to be able to provide employees with flexibility and instant solutions. For example, lower-class workers struggling with unstable incomes or expenses for a variety of reasons, including unexpected or increased bills and fluctuating working hours.

For employers, earned wage access (EWA) programs allow employees to access part of their paycheck early, helping them balance payday time with their expected or unexpected expenses to avoid late fees or penalties.

The United States became the first country to take a technological approach to solving the wage issue through technology. The pioneer company is Payactiv, a pioneer of earned wage access products, which was founded in 2012.

Some people interpret EWA for early wage access. There are also those who use other terms such as, on-demand pay, instant pay, daily pay benefit, or earned income access. But all the names refer to solutions covering the same basic thing: help employees access the wages they’ve earned before payday arrives.

The truth is, Payactiv created the term earned wage access carefully because they are very aware that every word in the term is specific and full of meaning. Payactive’s founder and CEO, Safwan Shah explained, the word “earned wage” is a wage that is earned, not “early” which connotes impatience.

“It’s wages, not income because income can be in the form of commissions or something; and the word access, not referring to a down payment that implies someone is helping you. The reasons for each word are very specific,” Shah said as quoted from an interview with Forbes.

He said, the main point of EWA is when the workers payday is fully controlled by the employer. This is a technological decision. This initial idea became the forerunner of Payactiv about 10 years ago.

“I said if technology drives the payment timing, then we can create technologies and products where people can access their money when they earned it. I have a very strong belief that, for this service to be delivered properly, employers must be part of the solution.”

Payactiv Wagestream Even
Operating since 2012 2018 2014
Country Amerika Serikat Inggris Amerika Serikat
Total funding $133,7 juta $79,3 juta $52 juta
Total user 2 juta orang 1 juta orang 500 ribu orang
Investors Softbank Capital, Ziegler, Plug and Play QED, Northzone, Balderton Capital Khosla, Valar Ventures, PayPal Ventures, Founders Fund

Global EWA which already achieve the unicor status

(Collected from several sources)

Indonesian players

The acceptance of EWA concept in developed countries has inspired fintech companies from developing countries. In fact, it is common in developing countries, where low-wage workers often turn to fast loans with high interest rates to keep their sudden expenses in check before payday arrives.

The pandemic creates momentum for them to start implementing the concept in Indonesia. Since the pandemic, at least four services have been operating, including GajiGesa, Wagely, Gigacover, and GajiKoin carried by KoinWorks.

Gigacover Indonesia’s Country Head, Cobysot Avego explained, the momentum of EWA’s platform in Indonesia was triggered by the pandemic situation which has affected many aspects of people’s lives, from working to managing monthly finances, makes it necessary for them to be more careful in managing cashflow and consider the possibility of an emergency need that can occur at any time.

“This situation is a momentum for Gigacover to help independent workers and communities of gig economy players yet to be served in the country, so that they can have access to the same benefits as part-time workers,” said Cobysot when contacted by DailySocial.

Gigacover not only provides EWA solutions, it also provides financial financial products and services for freelancers thanks to collaborations with various conventional financial services industries, such as insurance companies.

GajiGesa’s Co-Founder Vidit Agrawal said the platform presence is quite appropriate because many entrepreneurs struggled to provide employee benefits to their employees during the pandemic. “GajiGesa partners with employers to help them provide financial, health and educational benefits, also to build self-reliance and financial resilience for employees,” he said.

Agrawal continued, “We have seen employee benefits and EWA acceptance across all verticals including traditional businesses, factories and technology companies.”

Currently, GajiGesa’s solution includes not only EWA, but also financial products (top up credit, e-wallet transfers, and bill payments), micro health insurance, and educational products that soon to be released. Also, a special application for GajiTim’s employers that contains various employee management and HRIS features.

KoinGaji is the only EWA platform that stands as an additional service from KoinWorks for companies. KoinGaji was launched last year.

KoinWorks’ Co-Founder and CEO, Benedicto Haryono said the EWA solution is an attractive benefit to meet the needs of employees at any time, especially sudden needs such as medical, and so on. Therefore, it makes various startups interested in trying to provide this service.

“Although this will be a competitive market, KoinWorks set this solution as a bundle for MSME players. Our strategy through the Super App is to provide a more complete package with a unique value proposition, therefore, it can holistically meet the financial needs of MSMEs,” said Ben as Benedicto’s nickname.

All three monetize the service by adding a service fee for each employee from company partners using its technology and services. They “bail” the salary that was disbursed earlier, then billed it to the company partners at the end of the month.

With Gigacover, for example, Cobysot explained the application process where employees can download the Gigacover application and fill out a registration form including to explain information about the company, therefore, it can carry out further communication regarding their needs.

Furthermore, employees can apply for salary disbursement to be processed by Gigacover -the funds will be taken from Gigacover Indonesia- and the company will return the funds to Gigacover on the payday.

“For each of transaction, we apply an affordable administration fee ranging from Rp. 20,000 to Rp. 40,000. Our business model is quite unique B2B2W (Business to Business to Workers), where the partnership we have is with the company to provide welfare for its employees,” he said.

Meanwhile, KoinGaji sourced its funds from KoinP2P, the KoinWorks fintech lending company. However, this product does not take interest, but a service fee of 1%-2% of the total wages taken.

“In addition, we also offer KoinGaji as an additional feature for our clients and partners who have used our other product facilities before, therefore, we can monetize from several of our products at once,” Ben added.

GajiGesa wagely Gigacover KoinGaji
Operating since Oktober 2020 Maret 2020 2017 (Singapura), 2020 (Indonesia) Agustus 2020
Total users ≥200 ribu pengguna Puluhan ribu karyawan ≥30 ribu pengguna ≥30 ribu pengguna dgn pencairan >Rp30 miliar
Services Employee app: finansial (EWA, top up pulsa, transfer e-wallet, bayar tagihan), asuransi kesehatan mikro,  edukasi (segera dirilis). Employer app (GajiTim): manajemen karyawan dan HRIS EWA Prepaid Credits, Earning Advance (EWA), Productive Loan, Health and Life Protection Super App: KoinP2P, KoinBisnis, KoinInvoice, KoinRobo, KoinGold
Total funding $3 juta $5,6 juta Undisclosed $72,1 juta (melalui KoinWorks)
Investors Defy., Plug and Play, Next Billion Ventures, Alto Partners, OCBC NISP Venture, Quest Ventures, Kenangan Fund, dan angels Integra Partners, ADB Ventures, PT Triputra Trihill Capital, Global Founders Capital, 1982 Ventures, dan angels Vectr Fintech, Quest Venture Partners, Alto Partners, M Venture Partners, Farsight Capital EV Growth, Quona Capital, Mandiri Capital Indonesia,Convergence Ventures, Gunung Sewu, dan lainnya.

(collected from several sources)

Optimisme startup EWA

Although these players are still infant, they offer spirit that is quite ambitious, by wanting to reduce worker dependence with payday loans that often frustrating. Education plays an important role in manifesting this idea.

Due to such business model, some consider the EWA platform to be like a fintech lending company. Shah flatly rejected this assumption. He said, since Payactiv created Earned Wage Access in 2012, Payactiv’s competitors have increased and the industry has become more competitive.

He also tried to meet the Consumer Financial Protection Bureau (CFPB) dozens of times to discuss this matter. Eventually, in early 2021, EWA Payactiv products became the first products to be approved by the CFPB. “They recognized EWA was not a “credit” and were exempt from federal loan laws,” Shah said.

However, he was never against products that help people meet their needs before payday. Payday loans are only the initial phase of the financial education process because payday loan companies don’t bother involving employers, they just approach their employees.

“Therefore, I don’t blame them at all. I’m not criticizing them. I’m not judging of the history of payday loans. I put a product out there, and I said “If you still want to use a payday loan, I can’t stop you.” It’s like you want to drive a car that goes 9 miles, it’s up to you, but there are cars that will go 50 miles to the gallon.”

He continued, there are people who use payday loans, but no one has ever asked why. He said, this happened because there was a mismatch between the bi-weekly wage, and the several days in between where bills and other expenses had to be paid.

Bills and expenses don’t wait for payday. This misalignment creates cash flow shortfalls, which hourly workers have historically filled through expensive short-term forms of credit such as payday loans, installment loans, car ownership loans, mortgage loans, overdraft fees, and late fees.

“Earned wage access corrects this misalignment, while increasing worker liquidity, reducing demand for high-cost credit.”

In Indonesia, AFPI’s Daily Chair, Kuseryansyah explained, the regulation that actually accommodates EWA players is included in digital financial innovation and digital financial innovation support services, referring to POJK 13 of 2018 concerning Digital Financial Innovation.

“The platform must be registered with the OJK as an IKD. Or else, it can be reported as an illegal fintech service because it is not registered, listed, and licensed at the OJK,” he said.

Of all the current EWA players in Indonesia, only KoinGaji products have been registered as IKD in the aggregator cluster under PT Sejahtera Lunaria Annua. Others claimed to be preparing the submission to the OJK.

Amidst the huge opportunities awaited, Ben continued that he believes the growth of EWA players in Indonesia will be slower than that the overseas players. In fact, there’s still negative stigma of illegal loans attached in Indonesia’s people. Therefore, EWA players need to carry out more massive education. KoinWorks needs to first introduce KoinGaji’s vision and mission.

“Moreover, it is expected to provide awareness that this is a necessary product and a helpful one, it can even prevent employees from being entangled in illegal loan interest which can ultimately affect the employee’s performance.”

However, both Agrawal and Cobysot are prepared with a large population in Indonesia to deepen EWA adoption.

“We are very excited about the EWA’s growth in Indonesia. Employers are starting to realize the benefits of giving employees their paycheck before their pay date and are actively partnering with us to use our technology for the same purpose. GajiGesa has seen exponential growth this year and expects the same for the rest of the year as well,” Agrawal said.

Cobysot added, “If we look at the COVID-19 pandemic that encourages remote working and the trend of the Indonesian gig economy industry which is still very green and not well regulated, we believe that the services provided by EWA startups will continue to develop in the future, as the needs will always  be there. To provide a picture, the use of Gigacover products has increased by 10 times throughout 2020 among the Indonesian independent worker community.”


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
*header photo: Depositphotos.com

Konsep “Earned Wage Access” Menormalisasi Pembayaran Gaji di Muka

Ada yang bilang uang bisa menyelesaikan semua masalah. Ironisnya hal tersebut benar. Mengutip dari studi Health Living Index oleh AIA, uang adalah sumber utama faktor stres di Indonesia. Keuangan rumah tangga menyebabkan orang Indonesia lebih stres daripada pekerjaan, hubungan, atau bahkan kesehatan fisik mereka.

Survei global lainnya yang diselenggarakan PwC pada 2019 menemukan bahwa sebanyak 67% pekerja melaporkan berjuang pada tekanan finansial, yang berarti lebih dari dua pertiga populasi pekerja rentan terhadap migrain, depresi, dan kecemasan. Banyak penelitian menyoroti efek stres keuangan karyawan terhadap kinerja bisnis.

Menurut PwC, pekerja menghabiskan tiga jam atau lebih per minggu untuk fokus pada masalah keuangan daripada pekerjaan mereka. Dari karyawan yang melaporkan stres keuangan, sebanyak 12% kehilangan pekerjaan karena masalah tersebut, dan 31% merasa produktivitas mereka terpengaruh. Satu dari tiga pekerja mengaku kurang produktif di tempat kerja karena stres finansial.

PwC memperkirakan bahwa untuk sebuah perusahaan dengan 10.000 pekerja, semua masalah yang berkaitan dengan tekanan keuangan ini dapat menelan biaya hingga $3,3 juta dalam satu tahun.

Di Indonesia sendiri, pekerja kelas menengah ke bawah masih mendominasi dari kelas pekerja. Bank Dunia mencatat dari total 85 juta penerima pendapatan yang meliputi, pegawai, pekerja kasual, dan wiraswasta, hanya 13 juta pekerja atau 15% yang memiliki pendapatan cukup untuk membiayai kehidupan kelas menengah dengan empat anggota keluarga.

Dari kelompok tersebut, hanya 3,5 juta atau 4% pekerja dengan pendapatan setara kelas menengah sekaligus menikmati manfaat sosial secara utuh dan memiliki status pegawai tetap.

Ini belum bicara mengenai pekerja lepas yang jumlahnya mencapai 33,34 juta, naik 26% YOY per Agustus 2020 menurut data BPS. Pekerja lepas di Indonesia berada di posisi terendah dari piramida perlindungan kerja, bahkan kalah dari pekerja kerah biru yang dilindungi UU No.13 Tahun 2003.

Pekerja lepas di sini hampir tidak memiliki jaminan terkait tenaga kerja, baik itu jaminan pekerjaan, pendapatan atau perlindungan sosial. Jaminan sosial mereka tidak diwajibkan untuk masuk sebagai bagian dari hak yang harus diberikan pemberi kerja, yang berarti mereka harus membayar produk untuk melindungi diri mereka sendiri.

Isu kesehatan finansial ini sebenarnya tidak terjadi di Indonesia saja, juga di berbagai belahan dunia lainnya. Tidak ada alat atau pendekatan tunggal yang dapat memenuhi semua kebutuhan keuangan karyawan. Pemberi kerja harus mempertimbangkan untuk menyediakan program dan alat yang lebih membekali karyawan untuk menangani keadaan darurat keuangan.

Sementara banyak pemberi kerja memberikan pinjaman karyawan (seperti kasbon), sebenarnya mereka hanya mengunci arus kas yang berharga dan belum dapat memberikan fleksibilitas dan solusi instan kepada karyawan. Misalnya, golongan pekerja kelas bawah yang harus berjuang dengan pendapatan atau pengeluaran yang tidak stabil karena berbagai alasan, termasuk tagihan yang tidak terduga atau meningkat dan jam kerja yang berfluktuasi.

Untuk para pemberi kerja, program earned wage access (EWA) memungkinkan karyawan mengakses sebagian dari gaji mereka lebih awal dapat membantu mereka menyelaraskan waktu pendapatan mereka dengan pengeluaran yang diharapkan atau tidak terduga untuk menghindari biaya keterlambatan atau penalti.

Amerika Serikat menjadi negara pertama yang mengambil pendekatan teknologi untuk menyelesaikan isu upah lewat teknologi. Perusahaan pionirnya adalah Payactiv, pionir produk earned wage access, yang sudah meluncur sejak 2012 silam.

Ada yang mengartikan kepanjangan EWA sebagai early wage access. Ada juga yang memakai istilah lainnya seperti, on-demand pay, instant pay, daily pay benefit, atau earned income access. Tapi seluruh nama tersebut merujuk pada solusi yang melakukan hal dasar yang sama: membantu karyawan mengakses upah yang telah mereka peroleh sebelum hari gajian tiba.

Namun sejatinya, Payactiv menciptakan istilah earned wage access itu dengan hati-hati karena mereka sangat menyadari setiap kata-kata dalam istilah itu spesifik penuh makna. Founder dan CEO Payactive Safwan Shah menjelaskan, kata “earned wage” adalah upah yang diperoleh, jadi bukan “early” diperoleh di awal yang berkonotasi ketidaksabaran.

“Itu upah (wage), bukan penghasilan karena penghasilan bisa berupa komisi atau semacamnya; dan kata akses (access), bukan uang muka yang menyiratkan seolah-olah seseorang membantu Anda. Alasan untuk setiap kata sangat spesifik,” ujar Shah mengutip dari wawancara bersama Forbes.

Menurutnya, kunci utama yang ditawarkan dari EWA adalah kapan waktu pekerja di bayar sepenuhnya dikendalikan oleh pemberi kerja. Ini adalah keputusan teknologi. Ide awal inilah menjadi cikal bakal dari Payactiv sekitar 10 tahun lalu.

“Saya katakan jika teknologi mendorong waktu pembayaran, maka kita dapat menciptakan teknologi dan produk di mana orang dapat mengakses uang mereka saat mereka mendapatkannya. Saya memiliki keyakinan yang sangat kuat bahwa, agar layanan ini diberikan dengan benar, pemberi kerja harus menjadi bagian dari solusi.”

Payactiv Wagestream Even
Tahun beroperasi 2012 2018 2014
Negara Amerika Serikat Inggris Amerika Serikat
Total pendanaan $133,7 juta $79,3 juta $52 juta
Total pengguna 2 juta orang 1 juta orang 500 ribu orang
Investor Softbank Capital, Ziegler, Plug and Play QED, Northzone, Balderton Capital Khosla, Valar Ventures, PayPal Ventures, Founders Fund

Pemain EWA global yang sudah menjadi unicorn

(diolah dari berbagai sumber)

Pemain di Indonesia

Diterimanya konsep EWA di negara maju, menginsiprasi perusahaan fintech dari negara berkembang untuk turut hadir. Sebab, umumnya di negara berkembang, di mana pekerja berupah rendah sering beralih ke pinjaman cepat dengan bunga tinggi untuk menjaga pengeluaran mendadaknya sebelum hari gajian tiba.

Momentum pandemi membuka kesempatan kepada mereka untuk membawa konsep tersebut ke Indonesia. Sejak pandemi, setidaknya telah beroperasi empat layanan, yakni GajiGesa, wagely, Gigacover, dan GajiKoin yang diusung KoinWorks.

Country Head Gigacover Indonesia Cobysot Avego menjelaskan, momentum kehadiran platform EWA di Indonesia tak lain dipicu karena situasi pandemi yang telah banyak memengaruhi berbagai aspek dalam kehidupan masyarakat, mulai dari bekerja hingga mengatur keuangan bulanan. Hal tersebut membuat mereka perlu lebih berhati-hati mengatur cashflow dan mempertimbangkan kemungkinan ada kebutuhan darurat yang bisa terjadi kapan saja.

“Situasi ini merupakan momentum bagi Gigacover untuk membantu pekerja independen dan komunitas pelaku gig economy yang belum terlayani di dalam negeri, agar mereka dapat memiliki akses manfaat yang sama seperti pekerja paruh waktu,” kata Cobysot saat dihubungi DailySocial.

Gigacover tidak hanya menyediakan solusi EWA, juga memenuhi produk dan jasa keuangan finansial untuk pekerja lepas berkat kerja sama dengan berbagai industri jasa keuangan konvensional, seperti perusahaan asuransi.

Co-Founder GajiGesa Vidit Agrawal kehadiran GajiGesa cukup tepat karena selama pandemi banyak pengusaha yang berjuang untuk memberikan tunjangan karyawan kepada karyawannya. “GajiGesa bermitra dengan pengusaha untuk membantu mereka memberikan manfaat finansial, kesehatan dan pendidikan sehingga membangun ketergantungan diri dan ketahanan finansial pada karyawan,” ucapnya.

Agrawal melanjutkan, “Kami telah melihat penerimaan tunjangan karyawan dan EWA di semua vertikal termasuk bisnis tradisional, pabrik, dan perusahaan teknologi.”

Saat ini solusi GajiGesa tidak hanya mencakup EWA saja, tapi juga produk finansial (top up pulsa, transfer e-wallet, dan pembayaran tagihan), asuransi kesehatan mikro, dan produk edukasi yang akan segera dirilis. Serta, aplikasi khusus untuk pemberi kerja GajiTim yang berisi berbagai fitur manajemen karyawan dan HRIS.

KoinGaji menjadi satu-satunya platform EWA yang berdiri sebagai salah satu layanan tambahan dari KoinWorks untuk perusahaan. KoinGaji juga dirilis pada tahun lalu.

Co-Founder dan CEO KoinWorks Benedicto Haryono mengatakan solusi EWA menjadi benefit yang menarik untuk memenuhi kebutuhan karyawan sewaktu-waktu, terlebih kebutuhan mendadak seperti kebutuhan medis, dan sebagainya. Oleh karenanya, kebutuhan tersebut membuat berbagai startup tertarik untuk mencoba memberikan layanannya.

“Walaupun ini akan menjadi market yang kompetitif, KoinWorks melihat solusi ini sebagai salah satu jasa dari suatu paket yang bisa diberikan kepada para entrepreneur UMKM. Strategi kami melalui Super App adalah untuk memberikan paket yang lebih lengkap dengan value proposition yang unique sehingga bisa memenuhi kebutuhan finansial para UMKM dengan lebih holistik,” terang Ben, panggilan akrab Benedicto.

Ketiganya mengambil cara monetisasi dengan mengambil biaya layanan untuk setiap karyawan dari mitra perusahaan yang memanfaatkan teknologi dan layanannya. Mereka “menalangi” gaji yang dicairkan lebih awal tersebut, baru kemudian menagihkannya ke mitra perusahaan di akhir bulan.

Di Gigacover misalnya, Cobysot menjelaskan untuk proses pengajuan, karyawan dapat mengunduh aplikasi Gigacover dan mengisi formulir pendaftaran termasuk menjelaskan informasi mengenai perusahaan, sehingga pihaknya dapat melakukan komunikasi lebih lanjut terkait kebutuhan mereka.

Setelah itu karyawan dapat melakukan pengajuan pencairan gaji yang akan diproses oleh Gigacover -dana yang akan diambil berasal dari Gigacover Indonesia- dan perusahaan akan mengembalikan dana tersebut kepada Gigacover pada saat tanggal gajian.

“Untuk setiap transaksi ini kami memberlakukan biaya administrasi terjangkau yang berkisar antara Rp20 ribu hingga Rp40 ribu. Model bisnis kami cukup unik B2B2W (Business to Business to Workers), di mana kemitraan yang kami jalin adalah dengan perusahaan untuk memberikan kesejahteraan bagi para karyawannya,” kata dia.

Sedangkan, KoinGaji mengambil sumber dananya dari KoinP2P, perusahaan fintech lending KoinWorks. Namun demikian, produk ini tidak mengambil bunga, melainkan biaya layanan sebesar 1%-2% dari jumlah upah yang diambil.

“Selain itu KoinGaji juga kami tawarkan sebagai fitur tambahan terhadap client dan partner kita yang sudah menggunakan fasilitas produk kami yang lain sebelumnya, sehingga kami bisa mendapatkan monetisasi dari beberapa produk kami sekaligus,” tambah Ben.

GajiGesa wagely Gigacover KoinGaji
Tahun beroperasi Oktober 2020 Maret 2020 2017 (Singapura), 2020 (Indonesia) Agustus 2020
Total pengguna ≥200 ribu pengguna Puluhan ribu karyawan ≥30 ribu pengguna ≥30 ribu pengguna dgn pencairan >Rp30 miliar
Layanan Employee app: finansial (EWA, top up pulsa, transfer e-wallet, bayar tagihan), asuransi kesehatan mikro,  edukasi (segera dirilis). Employer app (GajiTim): manajemen karyawan dan HRIS EWA Prepaid Credits, Earning Advance (EWA), Productive Loan, Health and Life Protection Super App: KoinP2P, KoinBisnis, KoinInvoice, KoinRobo, KoinGold
Total pendanaan $3 juta $5,6 juta Undisclosed $72,1 juta (melalui KoinWorks)
Investor Defy., Plug and Play, Next Billion Ventures, Alto Partners, OCBC NISP Venture, Quest Ventures, Kenangan Fund, dan angels Integra Partners, ADB Ventures, PT Triputra Trihill Capital, Global Founders Capital, 1982 Ventures, dan angels Vectr Fintech, Quest Venture Partners, Alto Partners, M Venture Partners, Farsight Capital EV Growth, Quona Capital, Mandiri Capital Indonesia,Convergence Ventures, Gunung Sewu, dan lainnya.

(diolah dari berbagai sumber)

Optimisme startup EWA

Meski para pemain ini baru seumur jagung, tapi semangat yang mereka tawarkan cukup ambisius, yakni ingin mengurangi ketergantungan para pekerja dengan pinjaman payday yang sering menggerogoti mereka. Edukasi bermain penting dalam mewujudkan misi tersebut.

Karena model bisnis yang demikian, ada yang menganggap platform EWA itu seperti perusahaan fintech lending. Anggapan tersebut ditolak mentah-mentah oleh Shah. Dia bilang, sejak Payactiv menciptakan Earned Wage Access pada 2012, kompetitor Payactiv semakin banyak dan industrinya semakin kompetitif.

Ia pun berusaha menemui Consumer Financial Protection Bureau (CFPB) hingga puluhan kali untuk berdiskusi. Sampai akhirnya pada awal 2021 ini, produk EWA Payactiv menjadi produk produk pertama yang disetujui oleh CFPB. “Mereka mengakui EWA bukan “kredit” dan dibebaskan dari undang-undang pinjaman federal,” kata Shah.

Meski demikian, dirinya tidak pernah menentang produk yang membantu orang memenuhi kebutuhannya sebelum hari gajian. Pinjaman payday hanyalah fase awal dari proses edukasi finansial karena perusahaan payday loan tersebut tidak repot-repot melibatkan pemberi kerja, cukup menghampiri para pekerjanya.

“Jadi saya tidak menyalahkan mereka sama sekali. Saya tidak mengkritik mereka. Saya bukan hakim dari sejaraph payday loan. Saya memasang produk di luar sana, dan saya berkata “Jika Anda masih ingin menggunakan payday loan, saya tidak dapat menghentikan Anda.” Itu seperti Anda ingin mengendarai mobil yang menempuh jarak 9 mil, terserah Anda, tetapi ada mobil yang akan menempuh jarak 50 mil ke galon.”

Dia melanjutkan, ada orang yang menggunakan payday loan, tapi tidak pernah ada orang yang bertanya mengapa alasannya. Menurutnya, hal tersebut terjadi karena ada ketidakselarasan antara penerimaan upah dua mingguan, dan beberapa hari di antaranya di mana tagihan dan pengeluaran lainnya harus dipenuhi.

Tagihan dan pengeluaran tidak menunggu hari gajian. Ketidaksejajaran ini menciptakan kekurangan arus kas, yang secara historis telah diisi oleh pekerja per jam melalui bentuk kredit jangka pendek yang mahal seperti pinjaman gaji, pinjaman angsuran, pinjaman kepemilikan mobil, pinjaman gadai, biaya cerukan, dan biaya keterlambatan.

Earned wage access memperbaiki ketidakselarasan tersebut, sekaligus meningkatkan likuiditas pekerja, mengurangi permintaan kredit berbiaya tinggi.”

Di Indonesia sendiri, Ketua Harian AFPI Kuseryansyah menjelaskan, sebenarnya regulasi yang mengakomodasi para pemain EWA ini masuk ke dalam inovasi keuangan digital dan layanan pendukung inovasi keuangan digital yang merujuk pada POJK 13 Tahun 2018 tentang Inovasi Keuangan Digital.

“Platform tersebut harus mencatatkan diri di OJK sebagai IKD. Kalau tidak, ya bisa dilaporkan sebagai layanan fintech ilegal karena tidak tercatat, terdaftar, dan berizin di OJK,” kata dia.

Dari seluruh pemain EWA di Indonesia saat ini, hanya produk KoinGaji yang telah tercatat sebagai IKD dalam klaster agregator di bawah PT Sejahtera Lunaria Annua. Lainnya mengaku sedang menyiapkan diri untuk mengajukan diri ke OJK.

Di tengah peluang besar yang menanti, Ben melanjutkan bahwa ia berpendapat pertumbuhan pemain EWA di Indonesia akan lebih pelan daripada pemain di luar negeri. Lantaran, stigma pinjaman ilegal yang masih menempel di Indonesia. Oleh karena itu, pemain EWA perlu melakukan edukasi yang lebih masif. KoinWorks perlu memperkenal terlebih dahulu visi dan misi dari KoinGaji tersebut.

“Dengan itu diharapkan akan memberikan kesadaran bahwa produk ini memang sangatlah dibutuhkan dan membantu, bahkan bisa menghindari para karyawan untuk terjerat bunga pinjol ilegal yang pada akhirnya bisa memengaruhi kinerja karyawan tersebut.”

Kendati begitu, baik Agrawal dan Cobysot, bersiap dengan populasi yang besar di Indonesia untuk memperdalam adopsi EWA.

“Kami sangat gembira dengan pertumbuhan EWA di Indonesia. Pengusaha mulai menyadari manfaat memberikan gaji yang diperoleh karyawan sebelum tanggal gaji dan secara aktif bermitra dengan kami untuk menggunakan teknologi kami untuk hal yang sama. GajiGesa telah melihat pertumbuhan eksponensial tahun ini dan mengharapkan hal yang sama untuk sisa tahun ini juga,” kata Agrawal.

Cobysot menambahkan, “Jika kita melihat pandemi COVID-19 yang mendorong kerja jarak jauh serta tren industri gig economy Indonesia yang masih sangat hijau dan belum teregulasi dengan baik, kami yakin layanan yang diberikan startup EWA akan semakin berkembang ke depannya, sebagaimana kebutuhan yang terus berjalan. Sebagai gambaran, pada saat ini penggunaan produk Gigacover telah meningkat hingga 10 kali lipat sepanjang tahun 2020 di kalangan komunitas pekerja independen Indonesia.”


*Foto header: Depositphotos.com

wagely Secures 79 Billion Rupiah, Targeting 250 Thousand Employees for Early Wage Access

Indonesia has the largest underbanked population in Southeast Asia. Millions of low- and middle-income workers struggle to cover unexpected expenses each month, putting significant financial pressure on their paycheck.

Tobias Fischer, Sasanadi Ruka, and Kevin Hausburg intend to address this issue by establishing wagely in March 2020 in Jakarta. Those three hold digital industry background that counts for Wagely’s vision and mission to provide financial welfare to employees by providing access to early salaries.

Fischer used to work at Grab Financial Group, Capital Match, ADB, and Rocket Internet. Meanwhile, Ruka previously worked at Tokopedia, Jenius, AWS, and HappyFresh. While Hausburg has strong experience in digital marketing for many global companies.

In an interview with DailySocial, Fisher explained that Wagely helps businesses increase the productivity, engagement and loyalty of their workforce by offering employees an innovative financial benefits platform to access earned wages and financial education.

Employees can withdraw up to 50% of the salary instantly and on demand to their payroll bank account. The money will be used to help them pay for unexpected expenses and emergencies. Wagely provides an affordable flat fee per withdrawal with no hidden fees or interest. Therefore, Fisher consider wagely in accordance with the sharia concept.

“Wagely has a unique approach as it does not provide loans to employees but only access to earned salary. Therefore, Wagely does not require any underwriting and available to all employees in a company,” he said.

It is said that wagely has partnered with more than 50 companies, most of the companies are in global and national level. Among those are British American Tobacco, Ranch Market, Mustika Ratu, and others. As many as tens of thousands of employees from all of these partners have been served with early salary access.

Mockup aplikasi wagely / wagely
Wagely mockup app / wagely

Seed funding

In the same occasion, on its first anniversary, wagely officially announced the seed funding of $5.6 million (over 79 billion Rupiah) led by Integra Partners (formerly known as Dymon Asia Ventures). Also participated in this round Asian Development Bank (ADB) Ventures, PT Triputra Trihill Capital, 1982 Ventures, Willy Suwandi Dharma (former President Director of Asuransi Adira Dinamika), and others.

As wagely’s CEO, Fisher said that the fresh funds will be used to accelerate the adoption of the Wagely platform to more employees. It is targeted to attract more than 250 thousand employees as users this year. He said, providing a sound and affordable solution to an emergency cash flow problem is only the first step towards building long-term financial health.

“Ensuring long-term financial well-being means building a holistic platform that offers workers access to affordable services, encourages financial responsibility, and provides a pathway to financial stability and inclusion, with access to earned wages at the core and seamlessly integrated features. We are committed to building a complete ecosystem that builds and protects the future financial sustainability of employees in Southeast Asia.”

In an official statement, Integra Partners’ Partner, Christiaan Kaptein said, “The investment and participation of several Indonesian family conglomerates highlighted Wagely’s leadership role in financial awareness and its ability to build sustainable and responsible businesses by taking advantage of the vast financial services market opportunities in Southeast Asia,” he said.

ADB Ventures’ Senior Fund Manager, Daniel Hersson added, “This investment underscores our belief that Wagely has what it takes to lead financial inclusion and literacy in Indonesia. wagely offers workers what they didn’t have before: fair and accessible financial tools to help them manage inevitable contingencies and emergencies, including those caused by climate change.”

The presence of Earned Wage Access (EWA) platforms such as Wagely in Indonesia, GajiGesa has attracted a lot of attention from investors as the potential it offers. EWA solutions provide companies with the opportunity to reduce turnover, increase employee productivity, and increase business savings.

In the United States, Dailypay has received funding that brought them to the unicorn level. Softbank also invested in similar startups named Payactiv, Jeff Bezon and Bill Gates (Wagestream and Minu), and Peter Thiel (Even).

Terima Pendanaan 79 Miliar Rupiah, wagely Berambisi Jangkau 250 Ribu Karyawan Terima Akses Gaji Lebih Awal

Jumlah populasi underbanked di Indonesia merupakan terbesar se-Asia Tenggara. Jutaan pekerja berpenghasilan rendah dan menengah berjuang untuk menutupi pengeluaran tak terduga setiap bulanan, mengakibatkan tekanan keuangan yang signifikan terhadap pendapatan mereka.

Isu tersebut ingin ditangani oleh Tobias Fischer, Sasanadi Ruka, dan Kevin Hausburg dengan mendirikan wagely pada Maret 2020 di Jakarta. Latar belakang ketiganya dari industri digital membulatkan visi dan misi wagely yang ingin memberikan kesejahteraan finansial kepada karyawan dengan memberikan akses gaji lebih awal untuk membayar kebutuhan.

Fischer pernah bekerja di Grab Financial Group, Capital Match, ADB, dan Rocket Internet. Sementara, Ruka sebelumnya bekerja di Tokopedia, Jenius, AWS, dan HappyFresh. Sedangkan Hausburg memiliki pengalaman kuat di digital marketing untuk banyak perusahaan global.

Dalam wawancara bersama DailySocial, Fisher menerangkan wagely membantu bisnis meningkatkan produktivitas, keterlibatan, dan loyalitas tenaga kerja mereka dengan menawarkan karyawan platform manfaat keuangan yang inovatif untuk mengakses upah yang sudah diperoleh dan pendidikan keuangan.

Karyawan dapat menarik hingga 50% dari upah yang masih harus dibayar perusahaan secara instan dan sesuai permintaan ke rekening bank gaji mereka. Dana tersebut dipakai untuk membantu mereka membayar pengeluaran tak terduga dan keadaan darurat. wagely memberikan biaya tetap yang terjangkau per penarikan tanpa biaya tersembunyi maupun bunga. Makanya, Fisher menilai wagely sesuai dengan konsep syariah.

“wagely memiliki pendekatan yang unik karena tidak memberikan pinjaman kepada karyawan tetapi hanya akses ke gaji yang telah bekerja. Oleh karena itu, wagely tidak memerlukan penjaminan emisi apa pun dan terbuka untuk semua karyawan dalam suatu perusahaan,” ucapnya.

Disebutkan saat ini wagely telah bermitra dengan lebih dari 50 perusahaan, mayoritas mereka adalah perusahaan global dan nasional. Nama-namanya adalah British American Tobacco, Ranch Market, Mustika Ratu, dan lainnya. Sebanyak puluhan ribu karyawan dari seluruh mitra ini telah terlayani dengan akses gaji lebih awal.

Mockup aplikasi wagely / wagely
Mockup aplikasi wagely / wagely

Peroleh pendanaan tahap awal

Pada saat yang bersamaan, setahun setelah beroperasi, wagely resmi mengumumkan perolehan pendanaan tahap awal sebesar $5,6 juta (lebih dari 79 miliar Rupiah) yang dipimpin Integra Partners (sebelumnya dikenal sebagai Dymon Asia Ventures). Terdapat sejumlah investor yang turut berpartisipasi dalam putaran ini, yakni Asian Development Bank (ADB) Ventures, PT Triputra Trihill Capital, 1982 Ventures, Willy Suwandi Dharma (eks Presdir Asuransi Adira Dinamika), dan lainnya.

Fisher sebagai CEO dari wagely menyampaikan dana segar ini akan dimanfaatkan untuk mengakselerasi adopsi platform wagely kepada lebih banyak karyawan. Ditargetkan dapat menarik lebih dari 250 ribu karyawan sebagai pengguna sepanjang tahun ini. Menurutnya, memberikan solusi yang sehat dan terjangkau untuk masalah arus kas darurat hanyalah langkah awal menuju pembangunan kesehatan keuangan jangka panjang.

“Memastikan kesejahteraan finansial jangka panjang berarti membangun platform holistik yang menawarkan akses pekerja ke layanan yang terjangkau, mendorong tanggung jawab finansial, dan menyediakan jalan menuju stabilitas dan inklusi keuangan, dengan akses upah yang diperoleh sebagai inti dan fitur terintegrasi yang mulus. Kami berkomitmen untuk membangun ekosistem lengkap yang membangun dan melindungi keberlanjutan finansial masa depan karyawan di Asia Tenggara.”

Dalam keterangan resmi, Partner Integra Partners Christiaan Kaptein mengatakan, “Investasi dan partisipasi dari beberapa konglomerat keluarga Indonesia menggarisbawahi peran kepemimpinan wagely di bidang kesehatan keuangan dan kemampuannya untuk membangun bisnis yang berkelanjutan dan bertanggung jawab dengan memanfaatkan peluang pasar jasa keuangan yang luas di Asia Tenggara,” ucap dia.

Senior Fund Manager ADB Ventures Daniel Hersson menambahkan, “Investasi ini menegaskan keyakinan kami bahwa wagely memiliki apa yang diperlukan untuk mengarusutamakan inklusi dan literasi keuangan di Indonesia. wagely menawarkan pekerja apa yang tidak mereka miliki sebelumnya: alat keuangan yang adil dan dapat diakses untuk membantu mereka mengelola kontinjensi dan keadaan darurat yang tak terhindarkan, termasuk yang disebabkan oleh perubahan iklim.”

Kehadiran platform Earned Wage Access (EWA) seperti wagely di Indonesia sudah ada GajiGesa mulai menarik banyak perhatian investor karena potensi yang ditawarkan. Solusi EWA memberikan kesempatan kepada perusahaan untuk mengurangi turnover, meningkatkan produktivitas karyawan, dan meningkatkan tabungan bisnis.

Di Amerika Serikat, ada Dailypay yang memperoleh pendanaan yang memboyong mereka ke status unicorn. Softbank juga sudah memiliki portofolio startup bernama Payactiv, Jeff Bezon dan Bill Gates (Wagestream dan Minu), dan Peter Thiel (Even).

Application Information Will Show Up Here