E-money Adalah: Pengertian, Jenis, Kelebihan dan Kekurangannya

E-money merupakan salah satu bentuk kemajuan teknologi di bidang keuangan. Dalam beberapa tahun terakhir, penggunaan e-money atau uang elektronik semakin meningkat. Jika dulu kamu harus membawa banyak uang tunai untuk transaksi pembayaran, kini sudah berubah. Apa itu e-money? Lihat pembahasan selengkapnya di bawah ini.

Apa Itu E-money?

E-money adalah alat pembayaran dalam bentuk elektronik. Dimana nilai moneter disimpan dalam media elektronik tertentu. Contohnya adalah peta. Untuk dapat menggunakan uang elektronik, pengguna terlebih dahulu harus menyetor sejumlah uang tertentu kepada penerbit. Media elektronik yang digunakan untuk menyimpan uang elektronik biasanya berupa chip atau server. Untuk alasan keamanan, uang elektronik sangat aman karena sulit dibajak atau diretas.

Setelah itu, uang disimpan di media elektronik sebelum digunakan untuk transaksi pembayaran. Ketika uang elektronik digunakan untuk transaksi pembayaran, saldo yang tersimpan di dalamnya berkurang sesuai dengan nilai transaksi. Saat pulsa habis, pengguna bisa mengisi ulang atau top up. Jadi jika kamu ingin membayar sesuatu, kamu dapat menggunakan kartu sebagai pengganti uang tunai.

Jenis E-money yang Ada di Indonesia

Menurut situs resmi BI, berikut daftar e-money yang telah mendapat izin dan dapat digunakan untuk bertransaksi:

• Bank DKI – JakCard

• BCA (Bank Central Asia) – Flazz

• Bank Mandiri – Mandiri e-Money

• Bank Mega – Mega Cash

• BNI (Bank Negara Indonesia) – TapCash

• Bank Nationalnobu – Nobu e-Money

• BRI (Bank Rakyat Indonesia) – Brizzi

• Telkomsel (Telekomunikasi Selular) – Tap-izy

• PT Kereta Commuter Indonesia (KRL) – KMT

• PT Mass Rapid Transit (MRT) – MTT

Kelebihan dan Kekurangan E-money

Kelebihan

Ringkas

Keuntungan pertama dari uang elektronik tentu saja keringkasannya.

Dengan kartu e-money, kamu bisa membawa uang hingga satu juta rupiah tanpa menguras kantong. Selain karena uang elektronik juga tidak memerlukan kode PIN (Personal Identification Number) atau tanda tangan. Saat membayar, yang harus kamu lakukan hanyalah menghubungkannya ke mesin pembaca saja.

Memudahkan Transaksi

Kamu pasti pernah berdiri di pintu tol berjam-jam saat berada di luar kota? Karena semua orang membayar tunai, banyak yang sengaja menghabiskan banyak uang untuk melakukan penagihan, menunggu kembalian, dan lainnya. Kalaupun terkadang masih ada antrean panjang, setidaknya sekarang jauh lebih baik daripada uang tunai.

Uang elektronik menjadi solusi yang tepat untuk tempat-tempat yang membutuhkan transaksi cepat, seperti gerbang tol.

Kekurangan

Hanya Digunakan pada Mesin Spesifik

Kerugian utama e-money adalah kamu hanya dapat menggunakannya dengan mesin tertentu. Kartu ini tidak bisa digunakan untuk belanja online, ATM yang biasanya terletak di kasir, atau bahkan ATM.

Tidak Bisa Diisi Terlalu Banyak

Meski penggunaannya langka, kekurangan lain dari e-money adalah tidak bisa diisi ulang. Ini karena uang elektronik tidak memerlukan kode PIN atau jenis verifikasi apa pun. Jika kartu tiba-tiba hilang, uang di kartu juga hilang.

Pengisian Ulang Cukup Repot

Jika ingin isi ulang uang elektronik, masing-masing bank memiliki caranya masing-masing. Namun, mayoritas dapat diselesaikan melalui bank dengan memasukkan debit langsung dan kemudian menempatkan uang elektronik di tempat yang disediakan.

Itulah penjelasan lengkap mengenai e-money beserta kelebihan dan kekurangannya.

Singkatnya, e-money adalah metode pembayaran yang sangat nyaman, meski juga memiliki beberapa kekurangan.

Kami berharap setelah membaca artikel ini kamu dapat menggunakan e-money dengan bijak, ya.

[Founders Library] Penggalangan Dana dan Pengelolaan Finansial Startup

Modal dan arus kas adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Keduanya sama-sama harus dikelola dengan hati-hati dan penuh tanggung jawab. Keduanya juga menjadi bagian atau syarat penting startup yang ingin bertumbuh.

DailySocial merangkum beberapa tips mengenai bagaimana strategi melakukan fundraising hingga bagaimana cara mengelola cashflow. Topik ini berguna bagi para founder pemula atau founder yang tidak memiliki latar belakang pendidikan akuntansi atau keuangan. Berikut daftarnya:

Artikel

Belum Setahun Beroperasi, Agregator Produk Keuangan GoBear Masih Fokus Perbanyak Mitra

Situs agregator produk keuangan GoBear masih fokus perbanyak kemitraan dengan institusi jasa keuangan dalam tahun pertamanya beroperasi di Indonesia. Diharapkan pada akhir tahun ini perusahaan dapat menambah hingga sembilan mitra dari saat ini enam perusahaan.

Country Director GoBear Indonesia Tris Rasika menjelaskan, semakin banyak kemitraan tentunya makin banyak produk yang bisa ditawarkan ke calon nasabah berdasarkan preferensi masing-masing. Lambat laun ini akan berdampak semakin banyak orang yang tergiring untuk mengakses platform GoBear.

“Karena kami ingin jadi supermarket finansial, maka target tahun ini adalah mencari partner sebanyak mungkin. Agar produk lebih variatif sehingga bisa menarik pengguna ke depannya,” ujarnya, Rabu (30/10).

Perusahaan juga belum memutuskan apakah bakal merilis aplikasi GoBear untuk pasar ini. Tris menerangkan, dari hasil riset yang ia kutip, kebanyakan orang lebih suka mencari informasi produk keuangan dari desktop. Lantaran ada kompleksitas istilah keuangan yang lebih nyaman bila ditelusuri melalui desktop.

“Peluncuran aplikasi sebenarnya tergantung kesiapan pasar dan itu kondisinya berbeda-beda. Di negara lain, Vietnam misalnya, itu rencananya bakal tahun depan. Tapi Indonesia belum pasti tahun depan.”

Oleh karena itu, perusahaan bakal perkuat sisi back-end teknologinya agar nasabah semakin nyaman mengakses GoBear. Situs GoBear saat ini sudah dipersonalisasi sesuai profil nasabah, sehingga setiap kali mengaksesnya hanya akan menampilkan produk sesuai kebutuhan mereka.

Misi tersebut selaras dengan pendanaan yang diperoleh GoBear sebesar $80 juta (sekitar 1,15 triliun Rupiah). Mayoritas porsi dana tersebut diarahkan untuk pengembangan teknologi yang ujung-ujungnya akan bermanfaat buat nasabah.

Mitra institusi keuangan yang bergabung dengan GoBear di antaranya Standard Chartered, OCBC NISP, DBS, Commonwealth, Citibank, Asuransi Simasnet, dan Future Ready.

Dari kemitraan yang sudah ada, kebanyakan nasabah tertarik untuk mengajukan produk KTA dan asuransi perjalanan. Sementara di luar Indonesia, nasabah lebih gemar untuk mengajukan kartu kredit dan asuransi kendaraan .

Sayangnya, dia enggan membeberkan pencapaian GoBear di Indonesia sejauh ini. Di tujuh negara GoBear beroperasi, diklaim ada lebih dari 40 juta pengguna. Memiliki 1800 produk dari 100 mitra institusi keuangan. Di Indonesia, GoBear tercatat sebagai inovasi keuangan digital (IKD) di bawah OJK.

Pada saat yang bersamaan, perusahaan merilis riset bertajuk GoBear Financial Health Index untuk memahami apa yang masyarakat Asia pikirkan, rasakan, dan lakukan terkait dengan kesehatan keuangan mereka.

Salah satu hasil risetnya mengungkapkan, bahwa di usia 35 tahun, orang Indonesia bahkan belum memulai perencanaan keuangan. Di usia 41 tahun baru memulai perencanaan keuangan terkait pensiun.

Orang Indonesia juga merasa aman secara keuangan (nilai 7,5 dari skala 1-10), tapi hanya 37% dari mereka yang memiliki tabungan untuk mencukupi kebutuhan hidup lebih dari enam bulan bila mereka kehilangan sumber pendapatan utama.

Indonesia BFSI Innovation Summit akan Digelar di Jakarta, Bahas Transformasi Industri Keuangan dan Asuransi

Penyelenggara acara dan konferensi global Tradepass akan segera mengadakan “Indonesia BFSI Innovation Summit” di Jakarta. Tepatnya pada tanggal 1 dan 2 Oktober 2019 nanti bertempat di Hotel JW Marriott Jakarta. BFSI merupakan akronim dari Banking, Financial Services and Insurance, lini industri yang tengah bertransformasi kencang di Asia Pasifik.

Lebih dari 400 peserta ditargetkan akan hadir, merepresentasikan berbagai institusi termasuk dari otoritas, perbankan, kementerian, perusahaan asuransi, dan sebagainya. Akan ada 17 sesi presentasi interaktif yang dikemas dalam diskusi dan fireside chat, dipimpin pakar dari industri.

Beberapa pemateri yang akan hadir termasuk Wimboh Santoso (Kepala OJK), Sudarto (CIO Kemenkeu), Mustafa Sabuwala (Principal Financial Services HCL Technologies), Ritesh Verma (Global Head Newgen Software), Rian Kaslan (EVP & Head of Digital Strategy Bank Commonwealth), dan masih banyak lainnya.

Adapun tema yang diangkat meliputi peningkatan pengalaman pengguna di sektor perbankan dan asuransi di era digital, mendorong transformasi bisnis pinjaman, peluang automasi untuk industri keuangan, dan masih banyak lainnya.

Saat ini pendaftaran ke acara masih dibuka. Untuk informasi lebih lanjut, kunjungi situs resminya melalui tautan: http://www.indonesiabfsi.com.

Disclosure: DailySocial merupakan media partner Indonesia BFSI Innovation Summit Jakarta

Danamon Rilis “D-Bank Registration”, Mungkinkan Nasabah Buka Rekening Secara Online

Bank Danamon hari ini (30/1) meresmikan aplikasi D-Bank Registration untuk melengkapi versi D-Bank yang sudah dirilis sebelumnya. Sederhananya fitur aplikasi baru ini memungkinkan calon nasabah membuka rekening secara online. Proses verifikasinya pun dilakukan secara virtual, yakni melalui video call di dalam aplikasi yang sudah terintegrasi.

Saat ini aplikasi D-Bank Registration sudah bisa digunakan untuk pengguna perangkat Android maupun iOS. Ketika melakukan pendaftaran secara online, calon nasabah hanya diminta untuk mengunggah foto e-KTP dan foto diri bersama e-KTP –tentunya selain melengkapi data diri. Selanjutnya kartu debit akan dikirimkan ke alamat domisili yang telah dimasukkan.

Menurut pemaparan Wakil Direktur Utama Bank Danamon Michellina Triwardhany, layanan D-Bank dan D-Bank Registration dihadirkan untuk menjawab kebutuhan gaya hidup masyarakat saat ini. Inisiatif ini juga mendukung gerakan non-tunai serta inklusi keuangan yang ditetapkan Pemerintah untuk menambah akses layanan perbankan bagi yang belum mendapatkannya.

Melalui aplikasi baru tersebut, nasabah juga bisa melakukan berbagai hal, seperti mengelola deposito online, tarik tunai tanpa kartu, hingga pembukaan produk perbankan lain yang dimiliki Bank Danamon.

Kendati sudah mengarah ke model pelayanan digital, namun belum ada upaya khusus Bank Danamon untuk membuat layanan pembayarannya sendiri di aplikasinya (e-money) mengikuti tren yang tengah ada di pasar. Hal tersebut tervalidasi hingga saat ini Bank Danamon belum memiliki lisensi uang elektronik dari Bank Indonesia. Beberapa perbankan yang sudah mulai mengikuti “tren fintech” adalah BCA dan Mandiri, mereka mulai menginisiasi aplikasi untuk mengakomodasi pembayaran melalui QR code.

Di sisi lain, Danamon tidak mau berdiam diri. Belum lama ini mereka membuka API untuk memudahkan pengembang aplikasi memanfaatkan berbagai fitur perbankan yang dimiliki.

Application Information Will Show Up Here

Halofina Hadirkan Asisten Virtual untuk Perencanaan Keuangan Pribadi

Halofina merupakan aplikasi perencana keuangan pribadi. Konsep kerjanya dibuat sebagai asisten virtual. Hal tersebut didasarkan pada kecenderungan masyarakat menganggap pengelolaan keuangan adalah aktivitas yang rumit. Harapannya ketika ada teman (virtual) yang memberikan pengetahuan tentang keuangan, kegiatan pengelolaan tersebut menjadi lebih nyaman.

Di lanskap digital, produk chatbot memang tengah menjamur. Satu hal yang coba ditekankan dalam Halofina, chatbot yang disebut “Robo Advisor” akan melakukan asisten si secara personal. Tim Halofina menyebutkan bahwa produk besutannya telah mengikuti standardisasi global dan didukung oleh pakar di industri keuangan.

Para pakar digandeng untuk berdiskusi dengan tim produk dan teknis untuk membangun algoritma yang akan memberikan rekomendasi cerdas. Rekomendasi yang diberikan Halofina didasarkan pada bagaimana preferensi keuangan (syariah/konvensional), profil risiko, kondisi keuangan, dan tujuan keuangan pengguna.

Beberapa fitur Halofina yang melengkapinya sebagai asisten virtual / Halofina
Beberapa fitur Halofina yang melengkapinya sebagai asisten virtual / Halofina

“Pada saat pertama kali mengakses Halofina, pengguna akan melakukan serangkaian personal assessment yang ditujukan agar sistem mempelajari karakter pengguna dan memberikan rekomendasi terbaik sesuai kondisi,” terang Co-Founder & CEO Halofina Adjie Wicaksana.

Misi Halofina memberikan edukasi dan rekomendasi pengelolaan keuangan. Halofina akan menjadi sebuah aplikasi gratis bagi masyarakat. Secara model bisnis, Halofina akan mendapatkan keuntungan melalui sistem commission fee dan subscription fee dari fitur edukasi dan konsultasi keuangan online di aplikasi.

Soft launching akhir bulan ini

Saat ini aplikasi baru dapat diakses oleh kalangan terbatas, namun melalui situs resminya Halofina sudah membuka pendaftaran untuk early access. Rencananya akan dilakukan soft launching pada 28 Agustus 2018 mendatang. Sejauh ini Halofina menjalankan operasional secara bootstrapping.

Adjie mengatakan pihaknya sedang intensif berbicara kepada venture capital untuk pendanaan tahap awal. Baru-baru ini Halofina juga terpilih menjadi salah satu peserta program akselerator Plug and Play Batch 3 bersama 16 startup lainnya.

Startup berbasis di Bandung ini didirikan oleh dua orang founder. Selain Adjie, ada seorang rekannya bernama Eko Pratomo. Adjie adalah lulusan University of Southern California. Semangatnya untuk menghasilkan bisnis berdampak sosial, terutama untuk mendorong tingkat literasi dan inklusi keuangan di Indonesia yang melahirkan pemikiran tentang Halofina.

Sementara Eko Pratomo telah berpengalaman 20 tahun di industri keuangan dan investasi reksa dana. Ia sempat mendapatkan penghargaan sebagai “Indonesia’s Asset Manager CEO of the Year 2008” dari Asia Asset Management.

Founder Halofina, Adjie Wicaksana dan Eko Pratomo / Halofina
Founder Halofina, Adjie Wicaksana dan Eko Pratomo / Halofina

“Visi Halofina adalah to be the leading robo advisory apps in Indonesia. Untuk mendukung visi tersebut, kami membagi capaian dalam 3 babak besar, yaitu product development, customer development, dan strategic partnership,” ujar Adjie.

Adjie melanjutkan, “Di tahun ini, kami menargetkan dapat bekerja sama dengan berbagai Fintech, Bank, Fund Manager, dan lembaga keuangan lain untuk memperkuat layanan. Di sisi produk, kami akan terus menguatkan platform Halofina dengan komponen artificial intelligence untuk memberikan rekomendasi terbaik.”

Mengantar pengguna pada tujuan investasi

LifePlan merupakan fitur utama Halofina yang akan memberikan rekomendasi investasi sesuai tujuan hidup pengguna. Melalui LifePlan, Halofina mengelompokkan siklus hidup seseorang dalam empat fase finansial. Fase pertama, saat seseorang belum berpenghasilan dan masih bergantung pada orang tua. Fase kedua, saat seseorang mulai berpenghasilan, mandiri secara finansial, dan muncul berbagai kebutuhan. Fase ketiga, saat seseorang berada pada puncak karier dan kebutuhan meningkat. Dan fase keempat, saat memasuki usia senja, bahkan mungkin tidak berpenghasilan.

Berdasarkan pada empat fase tersebut, dipahami bahwa seseorang memiliki berbagai kebutuhan finansial di masa depan yang perlu dipersiapkan sejak dini, misalnya biaya pendidikan, kepemilikan rumah, ibadah, liburan hingga pensiun.

“Fitur LifePlan akan memudahkan pengguna mewujudkan tujuan finansial. Halofina memberikan asistensi penuh dari awal hingga akhir. Mulai dari proses merencanakan, menghitung kebutuhan investasi, memilihkan investasi yang tepat, berinvestasi secara rutin, hingga laporan perkembangan investasi,” tutup Adjie.

Bagaimana Perbankan Indonesia Melihat Disrupsi Digital

Lembaga riset PwC merilis laporan survei bertajuk “Digital Banking in Indonesia 2018”. Survei tersebut dilakukan pada 43 institusi perbankan di Indonesia melibatkan 52 responden yang terdiri dari kalangan CEO, Vice CEO, C-Level dan pemegang kendali strategis bank lainnya. Secara garis besar, survei ini ingin menangkap tentang kepedulian perbankan di Indonesia dengan strategi digital guna menangkap peluang konsumen dan mengimbangi disrupsi teknologi yang tengah mengguncang dunia.

Umumnya strategi digital dielaborasikan ke dalam lini strategi lain yang sudah ada sebelumnya. Di perbankan Indonesia, kebanyakan dari responden (66%) menjawab bahwa strategi digital ditempatkan ke dalam bagian strategi korporasi. Respons tersebut dinilai menunjukkan arah baik, yakni penerimaan strategi digital sebagai strategi bisnis, bukan semata-mata inisiatif teknologi informasi.

Penempatan strategi digital di dalam perbankan / PwC
Penempatan strategi digital di dalam perbankan / PwC

Indikasinya, bank-bank besar telah memulai perjalanan transformasi digital terlebih dulu. Namun survei juga masih menemukan tantangan dalam mengembangkan pandangan umum tentang strategi digital. Tim produk, tim pelayanan, tim teknologi, dan tim digital khusus menciptakan strategi digital mereka sendiri-sendiri.

Fokus strategi digital

Sektor konsumen (90%) yang selama ini dipandang sebagai benteng stabilitas perbankan justru mendominasi jawaban terkait fokus strategi digital yang akan digulirkan perbankan. Pun demikian dengan segmentasi yang disasar, kalangan umum menjadi prioritas terbesar (70%). Pada responden menyatakan bahwa ada indikasi area tersebut akan mulai terganggu pemain fintech dalam kurun lima waktu mendatang, sehingga strategi digital yang digulirkan harus memastikan layanan bank akan tetap relevan di masa itu.

Fokus implementasi strategi digital dalam perbankan / PwC
Fokus implementasi strategi digital dalam perbankan / PwC

Dalam praktiknya masih banyak kalangan pelanggan yang lebih memilih interaksi langsung (dengan manusia) dengan proses bisnis yang sudah ada tatkala berurusan dengan finansial, namun pendekatan digital memang menjadi layak diprioritaskan untuk memastikan perbankan mampu bersaing di semua segmen konsumen. Melalui teknologi, fintech memberikan akses 24/7 terhadap layanan yang disediakan. Mereka mencoba untuk menjadi layanan yang konsumen-sentris.

Temuan menarik lainnya dari responden survei, penerapan strategi digital yang sudah banyak diusung saat ini ialah untuk memfasilitasi layanan pelanggan (82%). Saat ini perbankan mulai aktif di media sosial menjawab berbagai keluhan atau pertanyaan dari pelanggan. Di lain sisi mulai ada perbankan yang mulai mengembangkan layanan berbasis chatbot sehingga dapat memberikan otomasi selama 24/7 dalam pelayanan pelanggan.

Bentuk layanan yang disasar dengan strategi digital perbankan / PwC
Bentuk layanan yang disasar dengan strategi digital perbankan / PwC

Akuisisi pelanggan juga menjadi hal yang dianggap penting (68%), mereka memanfaatkan inovasi digital untuk menggiring konsumen baru, menghadirkan pembeda dengan layanan dari institusi lain.

Strategi digital dikontrol CIO/CTO

Sekitar 64% responden percaya lingkungan teknologi informasi yang ada di perusahaan saat ini sudah cukup efektif mendukung strategi digital yang ada. Implikasinya persentase paling besar terkait kepemimpinan strategi digital dipikul CIO/CTO (36%), sebagai kepala unit teknologi di perusahaan. Peran mereka dianggap penting, pasalnya transformasi digital dalam perbankan dianggap akan berhasil jika telah diawali dengan transformasi di lingkungan perusahaan itu sendiri.

Tulang punggung strategi digital dalam perbankan / PwC
Tulang punggung strategi digital dalam perbankan / PwC

Kendati demikian ada beberapa hal yang menjadi tantangan organisasi dalam proses pengembangan perangkat lunak untuk mendukung transformasi digital. Beberapa yang umum dikeluhkan misalnya soal “Time to Market” cenderung lama atau terlambat sehingga menghilangkan beberapa fitur penting. Selain itu “Development Agility” juga menjadi hambatan lain, menjadikan perusahaan tidak bisa secara cepat memenuhi permintaan pasar. Faktor “Usability and Interoperabillity” turut masuk ke dalamnya, padahal ini menjadi salah satu landasan penting dalam mengikuti inovasi teknologi.

Beberapa faktor di atas ternyata juga berkorelasi pada kekhawatiran akan risiko yang terjadi dalam transformasi digital perbankan. Persentase terbesar menghawatirkan jaminan keamanan sistem (48%), sebagian besarnya lagi menghawatirkan ketersediaan talenta untuk menopang kebutuhan strategi digital tersebut (38%), dan dinamika teknologi yang sangat cepat turut menimbulkan kekhawatiran (34%) di tengah persaingan antar bisnis yang makin ketat.

Kekhawatiran perbankan dengan pendekatan digital ke depannya / PwC
Kekhawatiran perbankan dengan pendekatan digital ke depannya / PwC

Mendorong strategi digital

Esensi dari layanan bank tidak pernah berubah, digitalisasi layanan mengarahkan agar prosesnya menjadi lebih efektif memanfaatkan perangkat komputasi yang dimiliki pengguna. Pemain fintech dari menawarkan kemudahan dengan aspek digital tersebut, membuat perbankan tidak mau berdiam diri. Dari survei pun dikemukakan, bahwa inovasi platform digital perbankan menjadi yang paling digencarkan (90%). Kemudian yang kedua justru pada analisis big data (78%).

Aset terbesar bank adalah pada basis data pengguna yang sudah sangat besar. Digitalisasi yang sudah dimulai mengonversi pencatatan data manual ke sistem komputer. Data besar tersebut kini disadari dapat menjadi sebuah investasi dalam penyusunan strategi, sehingga platform berbasis analisis dinilai menjadi urgensi bank untuk dikembangkan. Tujuannya untuk menemukan tren yang dihimpun langsung dari basis nasabah perbankan itu sendiri, dikenal dengan istilah “Know Your Customer”.

Produk digital yang menjadi prioritas pengembangan / PwC
Produk digital yang menjadi prioritas pengembangan / PwC

Yang tak kalah menarik justru keterbukaan perusahaan terhadap teknologi baru. Dalam visualisasi persentase di atas, Artificial Intelligence dan Blockchain memiliki porsi cukup, dua pendekatan teknologi dini digadang-gadang akan banyak merevolusi sektor keuangan dalam beberapa waktu ke depan.

Persaingan dengan pemain fintech

Tidak dimungkiri bahwa fintech mulai mendapatkan porsi konsumen yang besar. Sehingga tidak mengherankan perkembangannya cukup memberikan kekhawatiran kepada bisnis perbankan. Dari hasil survei PwC, kebanyakan responden memberikan jawaban terkait pemain mana yang mulai banyak mempengaruhi sektor keuangan. Jawaban terbesar ialah GO-PAY, disusun Alibaba (AliPay), Grab, hingga Tokopedia. Keunggulan masing-masing platform yang disebutkan tadi selain mereka memiliki fitur finansial digital, mereka juga memiliki komoditas layanan dan produk yang sehari-hari dapat dipakai oleh konsumen.

Pemain fintech yang dianggap mulai mengganggu sektor perbankan / PwC
Pemain fintech yang dianggap mulai mengganggu sektor perbankan / PwC

Indonesia tengah mengalami booming e-commerce dan fintech. Memanfaatkan teknologi, mereka dapat berlari kencang melakukan akuisisi pengguna dan mempelajari tren kebutuhan yang ada. GO-JEK misalnya, dari basis data awal konsumen transportasi on-demand kini mulai berkembang dengan pelayanan lain. Belum lagi sektor lain, termasuk ritel, telekomunikasi, hingga perusahaan teknologi yang mulai melirik potensi pemanfaatan teknologi keuangan.

Mendalami Masalah Utama Inklusi Finansial di Indonesia

Penetrasi layanan keuangan di Indonesia, terutama layanan perbankan, dinilai masih cukup rendah, jika dibandingkan dengan rasio penduduk Indonesia. Merujuk pada hasil riset OJK di tahun 2016 tentang literasi finansial, di Indonesia angkanya mencapai 29,6%. Sementara itu untuk indeks inklusi finansial mencapai 67,8% di tahun 2016. Pemerintah sendiri menargetkan minimal 79% di tahun 2019 mendatang.

Menurut Bank Dunia, inklusi finansial didefinisikan sebagai individu atau bisnis yang memiliki akses ke produk layanan keuangan untuk kebutuhan mereka, meliputi: transaksi, pembayaran, tabungan, kredit, dan asuransi yang disampaikan dengan cara bertanggung jawab dan berkelanjutan.

Secara umum banyak yang mengatakan bahwa kurang optimalnya persebaran layanan finansial di Indonesia disebabkan karena akses yang belum menjangkau secara penuh. Hal ini yang dianggap sebagai kesempatan banyak pemain fintech untuk menghadirkan layanan non-bank yang mengakomodasi kebutuhan transaksi masyarakat unbankable –seperti di desa-desa atau di wilayah pelosok. Namun pertanyaannya: apakah sepenuhnya karena akses saja?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, CXGO Consulting melakukan sebuah riset terpadu dan mempublikasikannya dalam laporan “Financial Inclusion: Is it truly about access?”.

Masalah akses

Berdasarkan data yang didapat OJK, mereka menyimpulkan bahwa ada dua hambatan inklusi finansial di Indonesia. Pertama ialah pada akses ke layanan atau produk finansial. Kemudian yang kedua pada produk finansial itu sendiri, belum mampu menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat (yang saat ini unbankable).

Beberapa program terus digencarkan untuk meningkatkan ketertarikan masyarakat pada layanan finansial. Bank Indonesia dan OJK memprioritaskan pada tiga aspek utama dalam programnya: keagenan, digitalisasi KYC (Know Your Customer — mengetahui apa yang sebenarnya dibutuhkan), dan melakukan penyesuaian produk perbankan.

Selain oleh institusi perbankan, menariknya tiga aspek tersebut ditangkap baik oleh para inovator teknologi. Startup fintech yang bermunculan mencoba memberikan layanan yang lebih fit dengan kebutuhan masyarakat unbankable. Saat ini ada tiga wilayah utama yang banyak disasar pemain fintech, yakni e-money & digital wallet, p2p lending, dan non-productive loan.

E-money dan digital wallet menghadirkan pada masyarakat proses transaksi non-tunai, umumnya secara digital dengan sistem yang didesain untuk meningkatkan kepercayaan konsumen. Pendekatan yang saat ini juga banyak dijadikan produk ialah Payment Point Online Banking (PPOB), dinilai sebagai aspek terdekat kebutuhan masyarakat. PPOB meliputi layanan pengisian pulsa, pembayaran listrik, layanan kesehatan dan lain-lain.

P2P (Peer-to-Peer) lending menghadirkan efek positif dengan sistem yang menyederhanakan proses pengajuan pinjaman. Sistem ini melibatkan dua pihak dari kalangan masyarakat, yakni peminjam dan pemberi pinjaman. Platform menjembatani dan memberikan prosedur. Salah satu manfaat yang saat ini sudah dirasakan ialah pinjaman yang dapat diberikan kepada peminjam dengan tingkat risiko yang lebih tinggi, termasuk dari kalangan pelaku UMKM.

Gambaran masyarakat unbankable di Indonesia

Survei CXGO Consulting menanyakan langsung kepada masyarakat dan menemukan beberapa realitas tentang tanggapan penggunaan layanan keuangan perbankan. Seperti salah satunya diungkapkan oleh Daenuri (25) yang bekerja sebagai petugas keamanan. Alasan utama ia membuka rekening bank ialah untuk menampung gaji bulanan. Secara personal, ia tidak pernah dan tidak nyaman menggunakan layanan perbankan. Bahkan jika diperbolehkan ia akan memilih mendapatkan pembayaran gaji secara tunai.

Dua responden lain yang diwawancara secara langsung, Lila (24) dari Ciledug dan Rofiq (28) dari Jakarta Timur, mengungkapkan tidak pernah menggunakan layanan perbankan karena tidak membutuhkan. Keduanya juga lebih memprioritaskan penuntasan kebutuhan secara tunai. Hal menarik yang diungkapkan justru pada kekhawatiran soal biaya layanan perbankan itu sendiri, yang harus memotong saldo yang ada secara bulanan.

Secara umum wawancara langsung terhadap masyarakat yang masuk dalam kategori unbankable menghasilkan pola berikut ini:

Gambar 1

Terhadap layanan perbankan, persepsi dan pemahaman mereka khususnya tentang layanan pinjaman terganjal pada beberapa hal, meliputi isu kepercayaan, biaya operasional, dan proses adopsi. Solusinya mereka membutuhkan beberapa hal:

  • Informasi yang lebih jelas tentang biaya bulanan dan minimal tabungan yang harus ada dalam rekening.
  • Dapat diperiksa kapan saja dan dari mana saja.
  • Dapat menyimpan dan mengambil uang dengan jumlah kecil, di bawah 50 ribu Rupiah.
  • Proses pendaftaran yang mudah dengan biaya bulanan yang kecil.

Kemudian untuk layanan peminjaman persepsi negatif mereka terdapat pada beberapa hal, yakni isu relevansi, tenor dan sistem pembayaran, dan proses penagihan. Mereka merasa tidak memenuhi kriteria untuk mengajukan peminjaman di bank, selain beranggapan bahwa bunga yang dibebankan terlalu besar. Persepsi lain soal debt-collector, yang dianggap akan selalu menghantui dan melakukan penagihan secara paksa. Beberapa solusi yang dibutuhkan meliputi:

  • Pinjaman dengan jumlah, tenor, dan sistem pembayaran yang bisa disesuaikan.
  • Proses yang mudah dan cepat.
  • Jaminan fleksibel (atau tanpa jaminan). Garansi dan verifikasi berdasarkan pengakuan sosial dan masyarakat.

Pendekatan yang dapat dilakukan

Berdasarkan temuan yang ada, terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan. Pertama harus dipahami, kendati mereka tidak akrab dengan layanan perbankan, tidak semata-mata buta dengan kemajuan digital. Penggunaan ponsel pintar sudah sangat erat di masyarakat, sehingga produk finansial sebenarnya bisa mengoptimalkan kultur tersebut untuk menciptakan layanan yang lebih sederhana dan praktis. Dengan transparansi, isu kepercayaan harusnya dapat diselesaikan. Pengguna sebenarnya hanya membutuhkan detail yang sederhana tentang informasi uang yang disimpan.

Dengan rendahnya aspek literasi di kalangan unbankable, menantang para penyedia layanan untuk menghadirkan solusi tepat guna yang mudah “dibaca”. Model keagenan yang melibatkan langsung masyarakat sebagai pengganti unit perbankan akan sangat membantu proses sosialisasi dan adopsi. Institusi non-formal seperti pemain fintech juga akan berpengaruh besar di sini, sehingga dibutuhkan integrasi dan kerja sama untuk antar pemain finansial untuk jangkauan pasar yang lebih menyeluruh.

Unduh laporan CXGO Consulting tentang inklusi finansial masyarakat Indonesia secara gratis melalui tautan ini:


Disclosure: artikel ini adalah hasil kemitraan DailySocial dan CXGO Consulting

Aplikasi Lunasbos Sediakan Fitur Pengingat Utang

Penagihan utang menjadi salah satu masalah yang kerap dijumpai masyarakat di Indonesia. Dari permasalahan tersebut aplikasi Lunasbos diluncurkan. Aplikasi Lunasbos secara sederhana menyediakan layanan pencatatan utang dua arah dengan notifikasi pengingat untuk memudahkan penagihan dan mengingatkan jika masih memiliki pinjaman.

CEO Lunasbos Adjie Purbojati kepada DailySocial menceritakan ide awal pengembangan aplikasi adalah dari pengalaman pribadinya yang memiliki permasalahan utang-piutang kepada temannya. Utang yang sudah jatuh tempo tak kunjung dibayarkan, dan perasaan tidak enak hati untuk menagih adalah permasalahan ini yang coba diselesaikan dengan Lunasbos.

Aplikasi Lunasbos memang memiliki konsep yang sederhana, tetapi Adjie tetap optimis aplikasinya bisa diterima di masyarakat. Terlebih ia juga menyediakan solusi untuk kalangan bisnis dengan fungsi yang serupa, pencatatan keuangan atau utang dua arah.

“[Saya]sangat yakin, karena ini berangkat dari permasalahan akar rumput serta Lunasbos selalu mempelajari user experience agar penggunaan aplikasi dapat maksimal,” ujar Adjie optimis.

Ia menambahkan ada beberapa fitur utama yang saat ini ada di versi beta Lunasbos. Antara lain pencatat keuangan dua arah dan notifikasi atau pengingat jatuh tempo. Ke depan juga akan menyusul beberapa fitur lainnya seperti fitur untuk menagih utang.

“Karena utang itu bentuknya bukan cuma uang ya, jadi nantinya akan ada utang dalam bentuk peminjaman barang dan utang janji. Biar nggak pada suka ingkar janji lagi,” tambahnya.

Karena masih dalam tahap beta, Adjie dan timnya tengah berupaya memperbaiki kualitas aplikasi dan juga terus memperbaiki kekurangan-kekurangan yang ada. Untuk pengembangan selanjutnya Lunasbos juga sudah menyediakan versi bisnis yang menargetkan perusahaan-perusahaan multi-finance.

“[Fitur yang ada di Lunasbos] seperti penambahan data secara masal, pengoperasian lewat desktop, analisis dan pengolahan data sesuai dengan kebutuhan perusahaan. Kita juga memanfaatkan pengguna big data untuk memaksimalkan efektivitas pengiriman reminder dan untuk keperluan iklan,” ujar Adjie menjelaskan.

Tahun 2018 akan jadi awal dari perjuangan Lunasbos. Selain untuk terus meningkatkan kualitas layanan mereka juga harus berusaha mendapatkan pengguna untuk terus bertahan. Sejauh ini selain bootstraping Lunasbos juga mendapatkan dana hibah dari Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi melalui program Perusahaan Pemula Berbasis Teknologi (PBBT) tahun 2018. Dana-dana tersebut yang menjadi modal untuk Lunasbos membuktikan diri bisa diterima di masyarakat.

Application Information Will Show Up Here

Wallezz Sajikan Ragam Solusi Teknologi Keuangan Berbentuk SaaS

Wallezz adalah salah satu dari sekian banyak perusahaan teknologi finansial yang ada di Indonesia. Beroperasi sejak Januari 2017, Wallezz (akronim dari Wallet Effortlezz) berusaha membantu menyediakan berbagai solusi di bidang pembayaran digital dengan beragam solusi yang ditawarkan.

CEO Wallezz Christian Linting bercerita kepada DailySocial, bisnisnya memiliki beberapa solusi seperti aplikasi untuk pengguna dan merchant berupa e-wallet, IoT as a Services, Credit Scoring as a Services, dan beberapa solusi penerimaan pembayaran online bagi pemerintah kabupaten dan provinsi dalam bentuk SaaS. Wallezz juga membantu UMKM dalam mengelola keuangan yang semuanya dalam bentuk digital, cashless dan cardless.

“Kami ingin menciptakan suatu ekosistem di mana seluruh nasabah bank atau non-bank dapat menikmati cara bertransaksi digital tanpa batasan. Tentu hal ini berbeda dengan kondisi saat ini di mana semua orang bekerja untuk mendorong cashless society, tapi tidak ada yang membuka diri agar infrastrukturnya mau dipakai bersama,” terang Christian.

Christian melanjutkan, selama satu tahun berjalan pihaknya sangat fokus untuk membangun berbagai macam solusi tadi dan membangun kemitraan B2G dan B2B dengan timnya yang saat ini berjumlah 32 orang. Wallezz sebagai perusahaan juga telah mengantongi perizinan umum untuk perusahaan di Indonesia dan sudah terdaftar di Layanan Pengadaan Secara Elektronik milik pemerintah.

“Sejak awal berdiri kami terus melakukan koordinasi dengan regulator, yaitu Bank Indonesia dan OJK, yang tentu saja sangat kooperatif dan benar-benar memosisikan diri sebagai mitra kerja,” terang Christian.

Ia juga menambahkan bahwa sebelum aturan BI yang baru ini pihaknya sudah melakukan pemaparan ke Bank Indonesia, dan dengan aturan baru dari BI Wallezz sebagai perusahaan pun sudah berusaha memenuhi dan berharap secepatnya bisa terdaftar di BI.

“Proses pendaftaran ke BI Fintech telah kami lalui dan telah memenuhi standar BI Fintech serta tinggal menunggu proses publikasi di Website BI, melengkapi 8 fintech lainnya yang sudah lebih dulu terdaftar,” imbuh Christian.

Yang dilakukan di tahun 2018

Tahun ini bisa dibilang sebagai tahun yang cukup sibuk bagi Wallezz. Selain masalah perizinan Wallezz juga tengah berupaya untuk menjalin lebih banyak kerja sama dengan berbagai macam pihak. Salah satu yang dipaparkan Christian adalah pihaknya selalu terbuka untuk bekerja sama dengan pemerintah, bank atau bahkan badan usaha lain untuk menggunakan solusi cashless dan cardless melalui layanan IoT yang disediakan Wallez. Termasuk untuk implementasi solusi berbasis vending machine, fully automatic parking, IoT Gate untuk KRL, busway, kereta api dan lain sebagainya.

“Solusi-solusi yang kami kembangkan dengan dukungan produk-produk SaaS seperti eGovernment, eEnterprise, eLoyalty, Online Banking Bank Sampah. Kami akan terus mengembangkan sisi teknologi dan bisnis dengan mengedepankan kerja sama dan saling dukung bisnis dengan seluruh pemangku kepentingan dan tidak ingin menyerang bisnis mitra-mitra kami,” imbuh Christian.

Mengenai legalitas, Christian menceritakan bahwa ada beberapa perizinan yang coba diurus. Seperti perizinan ke BI dan perizinan ke OJK untuk unit bisnis (Online Banking Bank Sampah) terkait bisnis model p2p lending yang diaplikasikan. Dari segi bisnis, Wallezz juga masih dalam fokus untuk akuisisi pelanggan perusahaan dan pemerintah.

“Satu harapan kami perusahaan startup yang baru satu tahun usianya ini, kami bisa menjadi pendorong integrasi seluruh pemangku kepentingan. Di tahap awal, kami menargetkan sebanyak mungkin dapat mengakuisisi pelanggan-pelanggan bisnis dan pemerintah daerah. Kami memiliki target yang cukup menantang di tahun ini, setidaknya kami sudah berpartner dengan 5 pemerintah kota/kabupaten, 2 bank BUKU, 6 bank pembangunan daerah, dan 3 komunitas. Sejujurnya itu masih jauh dari target kami di tahun 2018 ini,” tutup Christian.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here