Astra Group Partners with WeLab to Establish a Fintech Lending Company Named AWDA

Astra Group, through its investment arm Sedaya Multi Investama (SMI), with p2p lending company from Hong Kong and China WeLab, founded a fintech lending joint venture named Astra WeLab Digital Arta (AWDA). It is Astra’s attempt to fill the gap of fintech lending industry in Indonesia.

The launching of AWDA, Wed (9/5), was attended by Astra International’s management, Astra Financial’s subsidiaries, Financial Service Authority (OJK), and WeLab representatives. AWDA becomes the eleventh company under Astra Financial, a company engaged in financial services.

Suparno Djasmin, Astra International Director explained, SMI has 60% of AWDA shares while WeLab owns the remaining 40%. Both are committed to increasing the capital deposit up to $21 million (around Rp315 billion) in order to support AWDA business in the future. In terms of operation, AWDA will be fully under FIF Group, Astra’s investment arm.

“AWDA is a collaboration of two powers, with Astra dominating the automotive and financial industry, also WeLab having the innovative financial product can boost up the financial inclusion,” he explained.

According to Djasmin, Astra partners with WeLab because they have expertise in fintech lending, in terms of innovation and technology. WeLab business has been operating in Hong Kong and China with the total customers of 30 million.

Simon Loong, WeLab’s CEO and Founder added, WeLab has been eyeing Indonesia since 2016 by studying its market condition. As the conclusion, Indonesia has a similar condition to China in its previous years. Indonesia has become the third market for WeLabs penetration after China in 2014.

“On our side, there will be knowledge transfer for AWDA local talents. We’ll also develop two products we’ve previously mastered, individual and corporate lending.”

AWDA business plan

At the same occassion, AWDA introduces the availability of the Maucash app. It’s currently available for Android. Rina Apriana, AWDA’s President Director explained, Maucash has two lending products, Maucepat and Mauringan.

Maucepat provides lending from Rp1million to Rp3.5 million within 10-30 days tenor. Mauringan provides Rp2 million to Rp8 million with longer tenor of 3-6 months.

“We specifically targeting young people who familiar with the technology for Maucash customers. They can get an easy access for loans and hopefully meet their expectation,” she explained.

This year, AWDA will market their products in sequence through FIF group network. There are 12 target cities, six are in Java and the rest are outside the island. In the early stage, AWDA is expected to acquire 5 thousand customers.

“Next, we expect to grow exponentially upon the ecosystem synergy from Astra Financial or Astra Group,” Djasmin added.

Similar to other p2p lending players, Apriana explained the lending source will be from two sources, either from internal (Astra Group) or external (institutional investor and individual investors).

Currently, individual investors is not able to invest in Maucash. AWDA is still observing the right model to be implemented.

Before the official launching, AWDA has acquired the registration license from OJK and Kominfo for electronic-based service providers.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Astra Group dan WeLab Dirikan Perusahaan Fintech Lending “AWDA”

Astra Group, lewat anak usaha Sedaya Multi Investama (SMI), bersama WeLab, perusahaan p2p lending asal Hong Kong dan Tiongkok, mendirikan perusahaan patungan yang bergerak di fintech lending Astra WeLab Digital Arta (AWDA). AWDA menjadi cara Astra meramaikan potensi fintech lending di Indonesia yang masih mengalami gap yang cukup lebar.

Peluncuran AWDA hari ini, Rabu (5/9), turut dihadiri oleh jajaran manajemen Astra Internasional, anak-anak usaha di bawah Astra Financial, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan perwakilan dari WeLab. AWDA menjadi perusahaan kesebelas yang bernaung di bawah Astra Financial, perusahaan yang bergerak di jasa keuangan.

Direktur Astra Internasional Suparno Djasmin menjelaskan, SMI memiliki porsi saham 60% AWDA, sedangkan sisanya 40% dimiliki oleh WeLab. Keduanya berkomitmen untuk menambah modal setor ke AWDA hingga $21 juta (sekitar 315 miliar Rupiah) demi menunjang bisnis AWDA ke depannya. Untuk operasionalnya, AWDA akan sepenuhnya ada di bawah naungan FIF Group, anak usaha Astra di bidang pembiayaan.

“AWDA merupakan kolaborasi dari dua kekuatan, Astra punya brand yang kuat di otomotif dan finansial, dan WeLab yang memiliki produk finansial yang inovatif bisa meningkatkan inklusi keuangan,” terang Suparno.

Menurutnya, Astra menggandeng WeLab karena mereka memiliki expertise yang baik untuk fintech lending, baik dari segi inovasi dan teknologi yang dipakai. WeLab secara bisnis telah beroperasi di Hong Kong dan Tiongkok, bila diakumulasi diklaim total nasabahnya mencapai 30 juta orang.

CEO dan Founder WeLab Simon Loong menambahkan, sebenarnya pihak WeLab sudah mengincar pasar Indonesia sejak 2016 dengan mulai mempelajari kondisi pasar terlebih dahulu. Dari kesimpulannya, kondisi Indonesia ternyata tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di Tiongkok pada tahun-tahun sebelumnya. Indonesia menjadi pasar ketiga yang disambangi WeLab, setelah Tiongkok pada 2014 lalu.

“Dari pihak kami, akan ada transfer knowledge untuk para talenta lokal AWDA. Kami pun akan mengembangkan dua produk yang sebelumnya sudah sangat kami kuasai, yaitu pinjaman ke individu dan korporat.

Rencana bisnis AWDA

Pada saat yang bersamaan, AWDA merilis aplikasi Maucash, sementara baru tersedia untuk versi Android. Presiden Direktur AWDA Rina Apriana menerangkan ada dua produk pinjaman yang ditawarkan, Maucepat dan Mauringan.

Maucepat memberikan pinjaman dari Rp1 juta sampai Rp3,5 juta dengan tenor 10-30 hari. Sedangkan Mauringan memberikan pinjaman Rp2 juta sampai Rp8 juta dengan tenor yang sedikit lebih panjang 3-6 bulan.

“Kami secara khusus menargetkan nasabah usia muda yang paham dengan teknologi untuk menjadi nasabah Maucash. Mereka jadi bisa mendapatkan kemudahaan saat mencari pinjaman, semoga bisa tepat dengan apa yang kami berikan,” terang Rina.

Dalam tahun ini, AWDA akan mulai dipasarkan secara bertahap lewat jaringan FIF Group. Ada 12 kota yang disasar, enam di dalam Pulau Jawa dan sisanya di luar Pulau Jawa. Diharapkan pada tahap awal ini AWDA bisa memperoleh 5 ribu nasabah.

“Berikutnya kami bisa tumbuh lebih eksponensial, apalagi akan ada sinergi ekosistem yang akan dilakukan baik dari Astra Finansial maupun Astra Group,” tambah Suparno.

Sama seperti pemain p2p lending lainnya, Rina menjelaskan untuk sumber dana pinjaman, pihaknya akan membuka dari dua sumber dari institusi, baik dari internal Astra Group maupun dari institusi eksternal dan investor individu.

Untuk saat ini, investor individu masih belum bisa berinvestasi di Maucash. AWDA masih melakukan proses kajian model seperti apa yang cocok untuk diterapkan.

Sebelum diresmikan ke publik, AWDA sudah mengantongi surat tanda terdaftar dari OJK dan Kominfo untuk izin penyelenggara jasa berbasis elektronik.

Application Information Will Show Up Here

GO-JEK Partners with Findaya, Dana Cita, and Aktivaku

GO-JEK (8/31) announced a strategic partnership with three fintech lending companies, Findaya, Dana Cita, and Aktivaku. It aims to add up financial service options in GO-JEK ecosystem for merchants, drivers, and users. In fact, Dana Cita is a p2p lending service focused on academic purposes.

Findaya is a financial product of PT Mapan Global Reksa focused on lending for GO-JEK and GO- LIFE teams. Aktivaku, on the other hand, is a p2p lending platform focused on property products.

“Our enthusiasm in GO-JEK ecosystem is the partnership with financial technology providers for bridging consumers and partners, particularly those having difficulty to access formal financial services. We rely on the solid partnership between financial service providers with technology companies can reach broader public haven’t had an access to banking services,” Andre Soelistyo, GO-JEK’s President said.

Moreover, Susli Lie, Dana Cita’s Co-Founder, explained, “We believe our platform can help GO-JEK ecosystem to access financial services, particularly those related to academic financial. Our vision is to widen academic access for all students by reducing financial constraints.”

Ricky Gandawijaya, Aktivaku’s Co-Founder, through this partnership, optimistic that GO-JEK ecosystem can get a safe and transparent financial service. “We can provide housing financial service options for GO-JEK ecosystem in need. Aktivaku also supports the ecosystem development through an easy capital access for SMEs,” he added.

The official launching is attended by OJK representatives. Hendrikus Passagi, OJK’s Fintech Regulation, Licensing, and Supervision Director, said in his speech that this synergy could increase financial inclusion in Indonesia. He also emphasized that OJK will continue to boost the existence of digital economy ecosystem in Indonesia to improve public welfare.

This is not GO-JEK’s first partnership to advance its financial service. Previously, in late 2017, GO-JEK has made some acquisition over three fintech startups at a time, Midtrans, Kartuku, and Mapan. Nevertheless, it was issued by authority related to the procedure, Bank Indonesia in this case. BTN, BNI, Bank Permata Syariah, Allianz, and BPJS Ketenagakerjaan was previously engaged in a strategic partnership with the first local unicorn.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

GO-JEK Jalin Kerja Sama dengan Findaya, Dana Cita, dan Aktivaku

GO-JEK hari ini (31/8) mengumumkan kerja sama strategis dengan tiga perusahaan fintech lending, yakni Findaya, Dana Cita dan Aktivaku. Kerja sama tersebut ditujukan untuk memperkuat pilihan layanan pembiayaan yang ada di ekosistem GO-JEK, baik bagi mitra, merchant, maupun pengguna. Sebagai informasi, Dana Cita merupakan layanan p2p lending yang fokus memberikan pinjaman untuk kebutuhan pendidikan.

Findaya merupakan produk finansial berbasis p2p lending di bawah naungan PT Mapan Global Reksa yang berfokus memberikan pinjaman modal untuk mitra GO-JEK dan GO-LIFE. Saat ini CEO mereka, Aldi Haryopratomo, juga merupakan CEO dari GO-PAY. Sedangkan Aktivaku merupakan platform p2p lending yang memfokuskan pada pendanaan produk properti.

“Semangat kami di ekosistem GO-JEK adalah berkolaborasi dengan penyedia jasa keuangan untuk menjadi jembatan kepada konsumen dan mitra, terutama bagi mereka yang kesulitan mengakses layanan keuangan formal. Kami percaya kolaborasi yang kuat antara penyedia jasa keuangan dengan perusahaan teknologi bisa menjangkau lebih luas masyarakat yang belum mengakses layanan perbankan,” sambut President GO-JEK, Andre Soelistyo.

Sementara itu, Susli Lie, Co-Founder Dana Cita memaparkan, “Kami yakin platform kami dapat memudahkan anggota ekosistem GO-JEK mengakses layanan keuangan terutama yang terkait dengan pembiayaan pendidikan. Visi kami adalah memperluas akses pendidikan bagi semua pelajar dengan menurunkan kendala keuangan.”

Ricky Gandawijaya, Co-Founder Aktivaku yakin melalui kerja sama ini anggota ekosistem GO-JEK bisa mendapatkan layanan pembiayaan yang aman dan transparan. “Kami bisa memberikan pilihan layanan pembiayaan perumahan bagi anggota ekosistem GO-JEK yang membutuhkan. Aktivaku juga mendukung pengembangan anggota ekosistem melalui kemudahan akses permodalan bagi usaha kecil dan menengah,” ujarnya.

Peresmian kerja sama ini juga dihadiri perwakilan dari OJK. Dalam sambutannya Hendrikus Passagi selaku Direktur Pengaturan, Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK mengatakan bahwa sinergi ini dapat meningkatkan inklusi keuangan di Indonesia. Ia juga menegaskan bahwa OJK akan terus mendorong lahir dan hadirnya ekosistem ekonomi digital di tanah air supaya bisa membantu peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Ini adalah kemitraan kesekian kalinya yang digenjot GO-JEK untuk memperkuat layanan finansial miliknya. Sebelumnya pada akhir 2017 lalu GO-JEK melakukan akuisisi kepada tiga startup fintech sekaligus, yakni Midtrans, Kartuku, dan Mapan. Kendati demikian proses tersebut sempat diisukan oleh otoritas terkait prosedur yang dijalankan, dalam hal ini Bank Indonesia. BTN, BNI, Bank Permata Syariah, Allianz dan BPJS Ketenagakerjaan sebelumnya juga telah bermitra strategis dengan unicorn lokal pertama tersebut.

Application Information Will Show Up Here

INDEF: Fintech “Lending” Sumbang PDB hingga 25,97 Triliun Rupiah

Lembaga riset independen INDEF (Institute for Development of Economics and Finance) bersama Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) mengungkapkan peran fintech lending di Indonesia selama dua tahun terakhir mampu meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB) hingga Rp25,97 triliun. Dampak lain yang lebih umum juga mulai dirasakan, melihat dari konsumsi rumah tangga dan penyerapan tenaga kerja.

Ekonom INDEF, Bhima Yudhistira, menjelaskan dari sisi konsumsi rumah tangga produk fintech meningkat hingga Rp8,94 triliun setiap tahunnya. Dunia usaha berbasis fintech dapat mendongkrak kompensasi tenaga kerja sebesar Rp4,56 triliun. Sektor yang paling banyak mengalami kenaikan adalah perdagangan, keuangan, dan asuransi.

Penyerapan tenaga kerja pasca fintech sudah mencapai 215.433 orang. Tidak hanya dari sektor-sektor tersier, namun sektor premier. Misalnya pertanian, mengalami penyerapan yang cukup besar hingga 9 ribu orang. Terlihat dari angka penyaluran kredit dari fintech tembus Rp7,64 triliun pada 2018 dan banyak disalurkan ke sektor perdagangan dan pertanian.

“Selain itu, investasi di [perusahaan] fintech di Indonesia mencapai Rp5,69 triliun, didapat dari porsi pembentukan PDB Indonesia dikalikan dengan jumlah investasi fintech dunia,” ujar Bhima, Selasa (28/8).

Menurut Bhima, merambahnya sektor pertanian semakin menegaskan bahwa fintech bukanlah substitusi perbankan, melainkan pelengkap dari jasa keuangan yang sudah ada.

Mengutip dari World Bank 2015, rasio penyaluran kredit terhadap PDB yang masih berada di angka 39,1 persen. Lebih dalam lagi, pelayanan kredit bagi UMKM bahkan masih sangat rendah.

“Porsi kredit UMKM terhadap total kredit stagnan di kisaran angka 20-22 persen. Di sisi lain, hanya ada setengah penduduk dewasa yang memiliki rekening di bank. Angka-angka tersebut menunjukkan pelayanan perbankan, terutama di segmen pelayanan kredit, masih sangat rendah.”

Direktur Aftech, Ajisatria Suleiman, merekomendasikan pemerintah untuk memperkuat peran fintech, sehingga dibutuhkan kebijakan yang mampu menekan biaya akuisisi nasabah, meminimalkan risiko fraud, dan memberikan perlindungan konsumen.

Ia berharap risiko fraud dari nasabah palsu dan risiko gagal bayar dapat diminimalkan dengan penguatan akses identitas berbasis biometrik dan akses ke layanan biro kredit.

“Saat ini sudah ada pengaturan di OJK terkait e-KYC dan informasi kredit, sehingga yang dibutuhkan adalah implementasi di level teknisnya, terutama yang bersifat lintas kementerian, contohnya antara Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Kominfo,” kata Aji.

Hasil penelitian lebih dalam

INDEF dan Aftech melakukan penelitian menggunakan analisis Input-Output (I-O). Kajian dilatarbelakangi rendahnya penetrasi layanan keuangan di Indonesia, khususnya di bidang kredit atau pembiayaan. Dijabarkan lebih dalam, dampak pertumbuhan PDB masih dapat berubah seiring makin berkembangnya fintech dalam beberapa tahun ke depan.

Secara sektoral, yang memperoleh dampak signifikan terhadap adanya investasi penyaluran dana fintech adalah industri teknologi, perusahaan jasa, perbankan, keuangan, dan penyaluran dana pensiun. Kelimanya sangat erat kaitannya dengan teknologi berbasis internet.

Berikutnya, dampak fintech terhadap konsumsi rumah tangga terjadi karena adanya kenaikan signifikan di sektor yang berkaitan langsung dengan fintech ataupun kegiatannya. Bisa dilihat dari pengadaan konsumsi pembayaran listrik jadi terbesar, setelah sektor perdagangan dan jasa lembaga keuangan lainnya.

Untuk dampak terhadap tenaga kerja, pendapatan secara nasional bertambah dengan adanya investasi ke sektor fintech dan penyaluran dana ke masyarakat. Seperti petani, pedagang, atau investor personal berpotensi mendapatkan kenaikan pendapatan atau upah karena adanya pengembangan fintech.

Sektor yang mendapatkan kenaikan pendapatan paling besar setelah perdagangan dan lembaga keuangan berbasis asuransi. Pasalnya fintech juga akan memanfaatkan jasa asuransi terutama asuransi kredit.

Saat ini OJK mencatat ada 66 perusahaan fintech di Indonesia yang telah resmi terdaftar dan mendapatkan izin.

Uang Teman to Expand to the Philippines Post Series B Funding

The microlending startup Uang Teman is processing an expansion plan to the Philippines this year, after acquiring Series B funding which currently in the final process. One of the reasons to choose Philippines is the similar demographic with Indonesia.

Aidil Zulkifli, Uang Teman’s CEO and Founder, explained this expansion as the first for the company since being founded in April 2015. They will have local partners which familiar with the public’s condition. It will use a different brand. The business model will remain the same as previously done by Uang Teman, an online microlending.

“We’re in the Series B funding process. To be announced by the end of July or early August. Funding will be used for business expansion,” Zulkifli told
DailySocial.

Although there aren’t any number or name published yet, he ensures that there will be new investors followed by the existing ones. The value claims to meet the expectation, helps the company to be confident about regional expansion.

“The investors we’re having talks with, they’re very enthusiastic with our business. Moreover, we’ve reached profit since last April. It gives us enough confidence.”

As a profitable company, he claims the company has already found the right business model. In the meantime, it is said to be able to acquire a big number of customers.

Last year, Uang Teman received Series A investment worth of Rp160 billion led by K2 Venture Capital, Enspire VC, Alpha JWC Ventures, and followed by Silicon Valley expert, Tim Draper, through investment institution Draper Associates.

The funding is used to acquire more users, invest in research, and product development. Uang Teman also creates Data Science & Analytics Center in Singapore and India.

Postponing pivot

The company also postpone the pivot plan to be a p2p lending company from its core business as an online micro-lending. According to Zulkifli, it was because the license by OJK has yet to be received, although the company has completed all the requirements.

“After getting the registration letter, we directly applying for the license. It hasn’t been finalized. We also have other priorities, therefore we postpone the pivot.”

Zulkifli mentioned in the previous interview that the old business model will be pivoted to the subsidiary prepared by the company. Uang Teman, it will run the p2p lending business. Thus, Uang Teman will operate in line with OJK regulation according to POJK No 77/2016.

Regarding the business performance, Zulkifli said that Uang Teman has facilitated more than Rp500 billion in the first half of 2018. As the target, this year we need to distribute Rp1 trillion loans. The number is 10 times higher than last year’s realization of Rp130 billion.

“The progress is currently hitting more than 50% of our target. We’re optimistic to achieve it,” he finished.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Pasca Perolehan Pendanaan Seri B, Uang Teman Segera Ekspansi ke Filipina

Startup lending mikro Uang Teman tengah memproses rencana ekspansi ke Filipina tahun ini pasca memperoleh pendanaan seri B yang dalam proses finalisasi. Salah satu alasan Filipina yang dipilih sebagai tempat ekspansi pertama adalah kesamaan demografi dengan Indonesia.

Founder dan CEO Uang Teman Aidil Zulkifli menuturkan, ekspansi ini adalah pertama kalinya dilakukan perusahaan sejak berdiri di April 2015. Pihaknya akan menggandeng mitra lokal yang paham dengan kondisi di sana. Brand yang dipakai pun akan berbeda. Model bisnis yang dipakai bakal sama dengan apa yang dilakukan Uang Teman, yakni pinjaman online mikro.

“Kami sedang proses pendanaan seri B. Kira-kira akhir Juli atau awal Agustus ini bisa diumumkan. Dana tersebut akan kita pakai untuk ekspansi usaha,” kata Aidil kepada DailySocial.

Kendati belum bersedia mengungkapkan nilai yang didapat dan identitas investornya, Aidil memastikan akan ada investor baru yang masuk, diikuti investor lama yang ikut berpartisipasi. Nilainya diklaim cukup memenuhi ekspektasi, sehingga perusahaan percaya diri untuk ekspansi regional.

“Para investor yang berbincang dengan kami, mereka sangat antusias dengan bisnis kami. Ditambah lagi saat ini kami sudah capai titik keuntungan di April lalu, cukup memberikan kepercayaan diri bagi kami.”

Sebagai perusahaan yang sudah bisa mencetak untung, dia mengklaim perusahaan sudah menemukan model bisnis yang tepat sehingga bisa menekan biaya pemasaran. Di saat yang bersamaan, perusahaan disebut tetap bisa memperoleh nasabah dalam jumlah yang banyak.

Tahun lalu Uang Teman memperoleh investasi seri A senilai Rp160 miliar yang dipimpin K2 Venture Capital, Enspire VC, Alpha JWC Ventures, serta diikuti tokoh ternama dari Silicon Valley, Tim Draper, lewat lembaga investasi Draper Associates.

Pendanaan tersebut dipakai untuk menggaet pengguna lebih banyak, berinvestasi di bidang riset dan pengembangan produk. Uang Teman juga membuka Data Science & Analytics Center di Singapura dan India.

Tunda pivot

Perusahaan juga menunda rencana pivot untuk menjadi perusahaan p2p lending dari bisnis awalnya sebagai pinjaman online mikro. Penundaan ini, menurut Aidil, karena tak kunjung diterimanya surat izin yang diterbitkan OJK, meski perusahaan sudah memproses seluruh persyaratannya.

“Setelah memperoleh surat tanda terdaftar, kami langsung ajukan untuk peroleh izin. Tapi itu belum kunjung keluar. Karena kami ada prioritas lainnya, akhirnya pivot kami tunda.”

Dalam wawancara sebelumnya, Aidil menuturkan model bisnis lama akan dialihkan ke anak usaha yang dipersiapkan perusahaan. Sedangkan, Uang Teman itu sendiri bakal menjalani bisnis p2p lending. Dengan demikian Uang Teman akan sejalan dengan aturan yang sudah diregulasi OJK sesuai POJK No 77/2016.

Terkait kinerja bisnis Uang Teman sejauh ini, Aidil mengatakan perusahaan telah menyalurkan lebih dari Rp500 miliar per paruh pertama tahun 2018. Adapun sepanjang tahun ini ditargetkan dapat menyalurkan pinjaman sebesar Rp1 triliun. Angka ini naik lebih dari 10 kali lipat bila dibandingkan dengan realisasi tahun lalu sebesar Rp130 miliar.

“Sekarang progressnya sudah lebih dari 50% dari target kami. Masih optimis bisa tercapai,” tutupnya.

Application Information Will Show Up Here

Startup Fintech Lending Dana Cita Bantu Pelajar Tempuh Pendidikan Formal

Masih minimnya tingkat partisipasi kasar perguruan tinggi di Indonesia, yang masih berkisar di angka 28%, menjadi peluang bisnis bagi startup fintech lending Dana Cita. Dengan model bisnis yang berbeda dibanding pemain sejenis, Dana Cita ingin mewujudkan cita-cita setiap pelajar Indonesia melalui pinjaman pendidikan yang terjangkau.

“Kami melihat adanya potensi untuk menjembatani kesenjangan pembiayaan sehingga Dana Cita berdiri di awal 2017. Supaya setiap anak bangsa yang ingin melanjutkan studi dapat meraih potensi maksimal mereka,” terang Co-Founder Dana Cita Susli Lie kepada DailySocial.

Dalam menjalankan bisnisnya ini, perusahaan menerapkan sistem dua peminjam. Pelajar menggandeng seorang wali dengan penghasilan terverifikasi untuk mengajukan permohonan. Dengan demikian, perusahaan dapat memberikan pinjaman sampai dengan 100% biaya kuliah. Tenornya pun jadi lebih panjang (maksimal 6 tahun) dan cicilan bulanan yang terjangkau, umumnya berkisar antara 1-1,5% (flat) per bulan.

Lewat cara tersebut, Susli berharap Dana Cita dapat mendorong pelajar berprestasi yang tadinya tidak mendaftar kuliah karena masalah pembiayaan untuk berani melanjutkan studi tanpa khawatir.

Pinjaman pendidikan sendiri merupakan suatu bentuk kredit tanpa agunan yang memiliki risiko. Untuk memitigasi risiko tersebut, perusahaan hanya memberikan pinjaman yang hanya ditujukan sebagai biaya pendidikan dan pencairannya dilakukan langsung ke pihak lembaga pendidikan.

“Di luar itu, proses evalusi kredit dan approval kami sesuaikan dengan faktor-faktor yang merujuk ke pelajar dan pendidikan, seperti program studi, lembaga pendidikan, jenis gelar, dan sebagainya.”

Hingga saat ini total pendanaan yang telah disalurkan mencapai kurang lebih Rp1,5 miliar untuk berbagai ragam program studi, seperti D3, S1, S2, bahkan kursus pendek. Pinjaman diberikan ke 28 lembaga pendidikan, meliputi UI, ITB, IPB, BINUS, UMN, PNJ, dan berbagai lembaga pendidikan lain, baik sekolah negeri maupun swasta.

Dalam menyalurkan pembiayaan, Dana Cita menggunakan sumber dana kelembagaan sehingga bukan disebut on balance sheet lending.

“Memang untuk sekarang belum terbuka penggalangan dana dari individu melalui platform online, namun ke depannya kami akan membuka pendekatan tersebut seiring dengan pertumbuhan demand untuk student loan.”

Target Dana Cita

Fintech Lending Dana Cita dan Misinya Bantu Pelajar Tempuh Pendidikan Formal / Dana Cita
Fintech Lending Dana Cita dan Misinya Bantu Pelajar Tempuh Pendidikan Formal / Dana Cita

Tak ingin cepat puas dengan pencapaian saat ini, Susli dan tim berharap bisa menyalurkan dana untuk membantu sebanyak-banyaknya mahasiswa dan calon mahasiswa di Indonesia. Sayangnya dia tidak menyebutkan secara detail target tersebut dalam bentuk angka.

Menurut Susli, perusahaan ingin berpartisipasi dalam peningkatan kualitas SDM, dengan indikator kuantitatif berupa naiknya angka partisipasi kasar perguruan tinggi di Indonesia. Angka tersebut saat ini sangat rendah, di kisaran 28%. Padahal tiap tahunnya ada 1,4 juta lulusan SMA/SMK yang masuk ke perguruan tinggi.

“Kami bermimpi agar Dana Cita menjadi top of mind ketika seseorang memutuskan untuk menempuh pendidikan tinggi. Calon pelajar seharusnya menaruh fokus terbesar mereka tentang bagaimana diterima di perguruan tinggi impiannya, bukan masalah finansial yang mereka hadapi,” pungkas Susli

Misi Startup “Lending” DanaBijak Salurkan Pinjaman ke Nasabah Mikro

Masih besarnya potensi masyarakat Indonesia yang belum terlayani dan tidak mendapatkan pinjaman dari bank, menjadi peluang bisnis bagi DanaBijak. Startup lending ini fokus pada pinjaman yang bersifat mikro, sebab perusahaan meyakini ada ceruk yang sebenarnya paling dibutuhkan masyarakat ketimbang harus melalui KTA.

“Banyak masyarakat Indonesia yang hanya membutuhkan pinjaman dalam jumlah kecil untuk kebutuhan sehari-hari seperti membayar listrik, modal bisnis, pendidikan, atau travelling. D isinilah Dana Bijak hadir sebagai solusi bagi masyarakat Indonesia dalam menyelesaikan masalah keuangannya,” ucap CEO DanaBijak Markus Prommik kepada DailySocial.

DanaBijak, sambung Markus, memiliki diferensiasi dibandingkan pemain on balance sheet lending lainnya, di antaranya sistem poin (Poin Bijak) yang akan membuat nasabah mendapatkan bunga lebih rendah, limit pinjaman lebih tinggi (hingga Rp10 juta), dan tenor lebih panjang (hingga 90 hari).

Perusahaan juga memberlakukan sistem bayar lebih cepat, bunga lebih rendah. Artinya jika nasabah membayar pinjaman lebih cepat dari tenor, maka sisa bunga tidak perlu dibayarkan. Sebagai contoh, tenor pinjaman 30 hari namun jika di hari ke-20 nasabah sudah membayarkan pinjamannya, bunga di sisa hari tidak perlu dibayarkan.

Poin Bijak adalah sistem reward yang disediakan perusahaan bagi nasabah yang sering mengajukan pinjaman dan memiliki riwayat kredit yang baik. Tak hanya itu, nasabah yang menggunakan referral code, memberikan ulasan tentang perusahaan di media sosial, dan berpartisipasi dalam edukasi akan mendapat poin tambahan.

Markus mencontohkan, untuk nasabah yang baru pertama kali meminjam di DanaBijak, batas maksimum pinjaman di angka Rp3 juta, bunga 1% per hari, dan tenor maksimal 30 hari. Namun dengan sistem Poin Bijak, nasabah bisa pinjam hingga Rp10 juta, bunga 0,4% per hari, dan tenor maksimal 30 hari.

“DanaBijak bertujuan memberikan edukasi finansial untuk menyelesaikan isu finansial yang dihadapi nasabah setiap harinya. Untuk itu rencana berikutnya dari kami adalah membuat offline workshop untuk nasabah dan nasabah potensial.”

Sayangnya ia enggan membeberkan lebih detil soal sumber dana yang dipakai perusahaan untuk penyaluran pembiayaannya. Markus hanya menuturkan mayoritas sumber dana DanaBijak masih berasal dari investor individu dari luar negeri dan institusi.

“Meskipun begitu, saat ini kami sedang fokus dalam mencari lender yang berasal dari Indonesia.”

Manajemen risiko dua arah

Dalam memberikan pinjaman, perusahaan melakukan verifikasi automated by system yang digabungkan dengan verifikasi secara manual. Setiap pinjaman yang lolos verifikasi by system akan masuk ke tim Dana Bijak untuk selanjutkan dilakukan pengecekan data untuk memastikan semua informasi yang diinput benar dan valid.

“Cara ini dilakukan untuk bantu nasabah membangun credit worthiness supaya mereka bisa mendapatkan bunga lebih rendah, limit lebih tinggi, serta tenor lebih panjang.”

Dia melanjutkan, sistem penilaian kredit juga berdasarkan smart data. Lebih dari 85% nasabah DanaBijak mengakes layanannya lewat smartphone mereka, artinya DanaBijak dapat menganalisis setiap digital footprint konsumen.

Langkah tersebut diklaim terdepan dibandingkan institusi keuangan lain, seperti bank dan multifinance, yang masih fokus pada dokumen kertas dan credit point yang tradisional.

“Memungkinkan kami untuk membuat keputusan kredit yang lebih baik dan membantu jutaan masyarakat Indonesia dalam membangun kelayakan kredit. Tim teknologi kami secara berkelanjutan terus berusaha untuk menyempurnakan algoritma credit scoring dengan mensupervisinya bersama tim analis kredit.”

Pengajuan pinjaman dapat dilakukan lewat akses situs DanaBijak dengan mengisi formulir secara online. Nasabah harus berusia di atas 21 tahun, WNI, minimum pendapatan Rp2,5 juta, dan memiliki akun bank terverifikasi.

Tujuan pinjaman dapat diarahkan untuk kebutuhan menutupi biaya yang tidak terduga, seperti perbaikan motor, biaya pendidikan, dan kebutuhan sehari-hari lainnya.

Dengan penerapan manajemen seperti itu, perusahaan yakin untuk terus ekspansi ke berbagai daerah di seluruh Indonesia. Sejak berdiri di Desember 2016 hingga kini, Dana Bijak telah menyalurkan sekitar Rp35 miliar dengan total 25 ribu nasabah yang telah mendapat pinjaman.

Bila dilihat dari yoy April 2017- 2018, kenaikannya mencapai 15 kali lipat dengan realisasi angka $500 ribu (sekitar Rp7 miliar) dari sebelumnya US$40 ribu (sekitar Rp560 juta). Cakupan layanan DanaBijak sementara ini masih tersebar di Jabodetabek, Bandung, dan Surabaya.

Rencana ke depan

Perusahaan berencana menambah lokasi lainnya di Semarang, Yogyakarta, Makassar, dan Bali. Tak hanya itu, mereka bakal meluncurkan aplikasi native demi permudah akuisisi nasabah baru, mendapatkan informasi lebih terkait Poin Bijak, dan membantu scoring model agar lebih baik pada pertengahan tahun ini

Seluruh rencana tersebut diharapkan membantu ambisi perusahaan yang ingin menargetkan penyaluran pinjaman sebesar$2 juta per bulan (sekitar Rp28 miliar).

Tak hanya itu, keikutsertaan DanaBijak sebagai salah satu lulusan Plug and Play bersama Gan Kapital (GK-PnP) batch kedua, dapat menjadi senjata pemicu faktor top of mind bagi calon nasabah yang membutuhkan pinjaman.

“Ditambah pula kami dapat menjadi salah satu media bagi masyarakat Indonesia mendapatkan finansial edukasi,” pungkas Markus.

Asosiasi Fintech Merasa “Diasingkan” OJK

Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) merasa “diasingkan” oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) jika dibandingkan perlakuannya terhadap lembaga jasa keuangan lainnya. Hal itu dipicu pernyataan Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso, pekan lalu (3/3), yang menuturkan penggunaan logo OJK tidak diperkenankan sebagai bentuk validasi kegiatan p2p lending.

Aftech menilai pernyataan Wimboh tersebut kontradiktif dengan POJK Nomor 77 Tahun 2016. Di dalam aturan tersebut, tepatnya pasal 35 ayat B, disebutkan bahwa perusahaan yang terdaftar harus mencantumkan logo OJK dalam kegiatan bisnisnya.

“Logo itu sejalan dengan POJK 77. Semua pemain yang terdaftar harus menampilkan logo. Bila melarang pencantuman logo, berarti bertolak belakang dengan landasan hukum yang diterbitkan oleh OJK sendiri,” ucap Wakil Ketua Aftech Adrian A. Gunadi, Selasa (6/3).

OJK berpendapat pelarangan pencantuman logo ini karena perusahaan fintech tidak dikategorikan sebagai lembaga keuangan. OJK tidak akan tanggung jawab jika nantinya ada perusahaan fintech yang bangkrut atau terjadi fraud.

Terkait hal tersebut, Adrian sepakat bahwa perusahaan p2p lending lebih tepat disebut sebagai penyedia layanan keuangan. OJK memang tidak menanggung risiko yang ditimbulkan kegiatan usahanya, namun pemain tetap memenuhi syarat dan ketentuan yang sama seperti lembaga keuangan formal yang telah beroperasi.

Contohnya perusahaan p2p lending diminta memenuhi standar setara ISO 27001 yang menjadi acuan perbankan.

“Saat susun POJK, perusahaan p2p lending jadi bagian yang tidak terpisahkan dengan lembaga keuangan formal, sebab dalam praktik bisnisnya kami tetap menstandarkan diri dengan lembaga keuangan yang sudah ada.”

Adrian melanjutkan, OJK sebaiknya memperketat pengawasannya daripada lepas tangan. Caranya dengan menguatkan aturan apa saja yang bisa didetailkan lewat aturan turunan untuk menentukan kesungguhan operasi dan kinerja sebuah usaha p2p lending.

Aturan turunan yang bisa ditelaah OJK adalah yang terkait dengan pembuatan tata kelola yang baik, transparansi transaksi, dan pelaporan yang melibatkan auditor independen.

Ada pula aturan tentang manajemen risiko yang tertata rapi untuk melindungi konsumen dan pelaku usaha, juga untuk menekan angka NPL. Kontrol yang baik dari regulator, sambungnya, akan otomatis menyeleksi pelaku usaha yang tidak sungguh-sungguh.

“Kegiatan usaha yang diatur dan dilindungi oleh regulasi OJK justru menjaga pelaku tekfin dari kemungkinan menyalahgunakan dana masyarakat. Mengingat penyaluran dananya dipantau melalui mekanisme perbankan. Potensi kolaborasi fintech dan institusi keuangan lainnya bahkan terus meningkat dalam waktu dekat.”

Sentil bunga tinggi

Selain menyinggung soal pencabutan logo OJK, Wimboh juga menyentil pemberian bunga yang relatif lebih tinggi daripada perbankan, sehingga menjulukinya dengan sebutan rentenir. Sebutan inu ditolak mentah-mentah oleh Aftech.

Adrian bilang p2p lending tidak beroperasi seperti rentenir yang memberikan pay day loan (bunga harian) kepada nasabahnya. P2p lending hadir karena didasari semangat inklusi keuangan dan besarnya kebutuhan masyarakat terhadap akses pinjaman dana.

Menurut Adrian, OJK perlu memahami lebih baik bahwa terdapat berbagai model bisnis fintech lending dengan segmentasi nasabah yang berbeda-beda. Dalam pemberian bunga, biasanya pemain merujuk pada tingkat bunga pinjaman bank atau lembaga keuangan lainnya.

Untuk fintech lending yang bergerak di usaha mikro seperti Amartha, benchmark-nya menggunakan BPR dengan standar bunga di kisaran 27%-28%. Sedangkan untuk lending di usaha menengah, seperti Investree, menggunakan benchmark di bank BUKU I dan II dengan kisaran bunga di kisaran 14%-15%.

“Sayang banget kalau OJK menggeneralisir. Bunga di p2p lending memang susah untuk ditentukan langsung oleh OJK karena segmen bisnis kami itu beda-beda.”

Bunga yang diberikan kepada penerima pinjaman, tidak masuk ke kantong perusahaan, melainkan langsung diterima pemberi pinjaman. Perusahaan lending itu sendiri hanya menerima pemasukan dari komisi yang berasal dari proyek yang berhasil didanai. Umumnya kisaran komisi yang diterima perusahaan sebesar 3%-5%.

“Kita dapat fee dari borrower untuk setiap proyek yang berhasil didanai, itu hak kita sebagai platform. Bunga kredit itu masuk langsung ke pemberi pinjaman.”

Aturan pembatasan bunga

Pasca disinggung OJK, Ketua Kelompok Kerja P2P Lending Aftech Reynold Wijaya menuturkan saat ini asosiasi sedang menyusun “Pedoman Perilaku Layanan Pinjam Meminjam Daring yang Bertanggung Jawab”. Rencananya pedoman ini akan dikeluarkan paling lambat April 2018 mendatang.

Dalam pedoman ini nantinya asosiasi akan menyepakati batas bunga pinjaman maksimal. Ada beberapa acuan yang dipakai untuk menentukan batas atas suku bunga kredit p2p lending, seperti bunga KTA di bank, multifinance, BPR, hingga bunga di bank BUKU I dan II.

“Kami akan buat cap pricing (batas bunga) berdasarkan subsektor. Misalnya batas (bunga) untuk kredit UMKM itu berapa persen dan untuk ke individu atau konsumen berapa persen,” ucap Reynold.

Dia melanjutkan, “Aftech terus berkomitmen dan bekerja secara intensif untuk mendukung terbentuknya regulasi yang bijak, baik dari sisi advokasi penyusunannya maupun dari sisi implementasi operasional, serta melakukan edukasi kepada publik agar mereka dapat bertransaksi dengan aman dan nyaman.”