Financial Technology: Definisi, Peran, Keuntungan dan Contoh FinTech dalam Bisnis

Dewasa ini perkembangan teknologi mempengaruhi segala sektor yang ada di masyarakat, salah satunya adalah perekonomian dan keuangan. Dimana saat ini masyarakat sering menggunakan teknologi untuk melakukan kegiatan perekonomian mereka.

Berikut ini penjelasan mengenai financial technology yang mulai banyak digunakan di masyarakat.

Definisi Financial Technology

Financial Technology adalah inovasi dalam transaksi keuangan melalui teknologi. financial technology atau teknologi finansial adalah sistem keuangan yang mengandalkan teknologi yang menghasilkan produk, layanan atau model  bisnis baru pada sistem keuangan.

Berdasarkan pengertian dari Bank Indonesia, financial technology adalah gabungan antara jasa keuangan dan teknologi yang membentuk model bisnis dari konvensional menjadi moderat, maksudnya adalah sistem pembayaran yang semula dilakukan dengan tatap muka dapat dilakukan dengan transaksi jarak jauh melalui financial technology.

Financial Technology disingkat juga menjadi FinTech merupakan penggunaan teknologi informasi yang terjadi di masyarakat dan telah menjadi bagian dari kebutuhan gaya hidup. FinTech biasanya digunakan oleh masyarakat yang membutuhkan suatu barang tapi tidak memiliki waktu atau memiliki halangan untuk mengunjungi lokasi tersebut secara langsung, melalui FinTech masyarakat dimudahkan dengan proses transaksi pembayaran.

Peran Financial Technology

Financial Technology memiliki peran dalam penggunaan transaksi pembayaran yang lebih efektif. Berikut ini peran yang dapat kamu rasakan dengan kehadiran financial technology :

  1. Menjadi tools pembayaran, FinTech dapat dimanfaatkan sebagai alat bantu pembayaran yang lebih efisien, mudah dan cepat.
  2. Meringankan pekerjaan pelaksanaan investasi.
  3. Menjadi tools yang dapat menanggulangi risiko dari sistem pembayaran secara konvensional, FinTech memiliki peran untuk mencegah terjadinya risiko pada saat melakukan sistem pembayaran secara konvensional seperti pencurian, kehilangan uang, uang rusak di tengah jalan dan sebagainya.
  4. Membantu masyarakat yang akan menabung, meminjam dana maupun penyertaan modal.
  5. Membuka potensi pasar bagi para pelaku usaha, seperti munculnya metode pembayaran baru seperti OVO, DANA, Gopay dan lain sebagainya

Keuntungan Financial Technology

Berdasarkan definisi dan peran yang telah dijelaskan sebelumnya, FinTech juga memiliki keuntungan yang dapat dirasakan oleh masyarakat. Berikut ini keuntungan yang dapat kamu rasakan dengan kehadiran sistem pembayaran financial technology :

1.Bagi Konsumen

Financial Technology dari perspektif konsumen dapat memberikan keuntungan berupa pelayanan yang diberikan lebih baik dan efisien pada saat proses transaksi dilakukan, mendapatkan berbagai alternatif pilihan metode pembayaran yang murah dan praktis, pembelian barang dapat dilakukan dengan jarak jauh.

2.Bagi Penyedia Jasa

Bagi para penyedia jasa layanan penjualan produk atau jasa, mereka akan lebih dimudahkan untuk melakukan analisa dan rekapitulasi transaksi yang terjadi, mengurangi biaya operasional dan modal dengan menggunakan financial technology dibandingkan pada saat metode transaksi dilakukan secara konvensional dan dapat membekukan alur informasi.

3.Bagi Negara

Keuntungan bagi sebuah negara jika menggunakan financial technology adalah mendorong penerusan kebijakan ekonomi di negara, mampu meningkatkan perekonomian masyarakat karena perputaran uang akan menjadi lebih cepat dengan  financial technology dibandingkan konvensional, dan mendorong Strategi Nasional Keuangan Inklusif lancar.

Contoh Financial Technology dalam Bisnis 

Berikut ini contoh penggunaan financial technology dalam lingkup bisnis meliputi metode pembayaran yang saat ini semakin canggih dengan peran teknologi. Saat ini berbagai usaha bisnis mulai mengadopsi berbagai teknologi untuk mempersingkat dan meningkatkan efisiensi dalam melakukan pekerjaannya. 

Di Indonesia financial technology mulai banyak dikenal dan digemari oleh masyarakat khususnya dalam proses pembayaran yang dianggap lebih mudah dan murah, kemunculan berbagai perusahaan startup menjadi salah satu bukti bahwa financial technology semakin berkembang di masyarakat.

Salah satu jenis FinTech yang terjadi di Indonesia adalah digital payment system, yaitu layanan pembayaran secara digital untuk memudahkan transaksi pembelian oleh konsumen. Digital payment system menyediakan berbagai fitur yang dapat dimanfaatkan oleh pengguna untuk melakukan pembayaran pulsa, listrik atau token, QRIS dan lain sebagainya.

Beberapa startup yang muncul sebagai perusahaan FinTech diantaranya, Dana, OVO, Cicil, Ajaib, Kredivo, Gopay dan lain sebagainya. Hal ini menunjukan bahwa masyarakat mendapatkan kesempatan lebih banyak dalam memilih metode pembayaran dengan hadirnya financial technology. 

Berdasarkan penjelasan mengenai  financial technology diatas, maka dapat kamu pahami bahwa perkembangan teknologi menjadi salah satu faktor penunjang hadirnya  financial technology di masyarakat.  Financial technology sendiri merupakan sistem keuangan dengan menggunakan teknologi dalam sistem pembayarannya.

Semoga informasi yang telah disampaikan dapat membantu kamu memahami mengenai pengertian, peran dan keuntungan yang dapat diraih dengan menggunakan  financial technology.

Koinworks to Cast More Institutional Lenders, Focusing to Serve SMEs

Lendable pours another debt funding to KoinWorks. In 2020, the funds given were worth $10 million (equivalent to 149 billion Rupiah), the nominal has currently increased to $30 million or around 435 billion Rupiah. In Indonesia, Lendable also disbursed a similar loan to Amartha in February 2021 valued at 704 billion Rupiah.

Previously in April 2020, KoinWorks also announced the debt funding from two Europe-based financial institutions. As we contacted, the company refused to reveal its identity. In an interview, KoinWorks’ Co-Founder & CEO, Benedicto Haryono did say that collaboration with institutional lenders is one of his strategies, both from domestic and foreign institutions.

He explained that the company had obtained institutional lenders since early 2018, marked by the entrance of Saison Modern Finance. Furthermore, Bank Mandiri followed in the middle of the year. In 2019, Sampoerna and CIMB Niaga also joined.

Focused on SMEs

For the company’s next plan after receiving the fresh funds, KoinWorks’ CFO Mark Bruny said that his team will still focus on serving the SME market which has great potential in Indonesia. This strategic collaboration is also said to be a success thanks to the transparency and good communication that exists between KoinWorks and Lendable.

“We believe that digital SMEs that have become borrowers on our platform will be able to survive and even seize the opportunity to thrive from this pandemic. Lendable agrees and they believe in the ability of Indonesian Digital SMEs and KoinWorks’ ability to carry out this vision,” Mark told DailySocial.id .

Regarding a change in approval or additional requests from Lendable to KoinWorks through this second collaboration, Mark emphasized that the approval is likely remain. Through the 300% increase of loan amount, KoinWorks is expected to be able to accelerate the distribution funds to Indonesian SMEs.

The current number of KoinWorks’ disbursed funds in the second quarter of 2021 is exceed 1 trillion Rupiah to 300 thousand SMEs in Indonesia, a threefold increase compared to 2020. This indicates a significant development in this pandemic with many SMEs attending and pivoting to digital.

In a research by KoinWorks, it was revealed that SMEs using conventional and digital channels actually dominate the market with a share of 48% compared to SMEs that only use digital channels (40%) or conventional channels (12%). This digital transformation has succeeded in helping Digital SMEs not only survive but are able to thrive during the pandemic.

This transformation was also a major factor in the rise of the Digital SME Confidence Index to the level of 2.49 from the level of 2.37 at the end of last year and pushed us closer to the normal level, at the level of 3.00.

Potential of foreign investors in Indonesia

Mark also said, the high interest of foreign investors, in this case those who provide funds in the form of debt funding such as Lendable to Indonesia, is due to the large business growth in Indonesia, especially among SMEs. Indonesia has become the investors target, seen from the potential and incoming investment.

Was founded in 2015, Lendable Inc through fintech has channeled a lot of capital to people around the world. This is a good way to be able to provide access to financial services to the public. The direct entry of companies like Lendable to Indonesia has had a multiply effect on funding. By introducing foreign investors to Indonesia, it opens up opportunities for other fintech services in Indonesia to raise fresh funds.

“As the current most advanced platform, we are lucky to be able to make this deal and help the ecosystem by introducing strong players while introducing Indonesia globally,” Mark said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Menyimak Kinerja Platform P2P Lending di Tengah Pandemi

Pandemi yang masih terjadi hingga saat ini ternyata sudah mulai mengganggu jalannya bisnis layanan p2p lending. Makin minimnya pendanaan yang dikeluarkan hingga masa depan yang masih belum jelas menjadi isu yang disorot vertikal bisnis tersebut saat ini. Dalam sesi #Selasastartup kali ini, DailySocial mengundang Direktur Asetku Andrisyah Tauladan, untuk berbagi informasi dan beberapa kendala yang masih kerap ditemui saat ini.

Menekan risiko gagal bayar

Salah satu fokus utama yang dicoba untuk dipertahankan oleh Asetku sebagai platform p2p lending adalah mempertahankan risiko gagal bayar hingga 0%. Dengan demikian perusahaan bisa meyakinkan kepada pemberi pinjaman (lender) bahwa investasi yang sudah digelontorkan terjamin dan pasti akan kembali.

Di sisi peminjam (borrower), Asetku mencoba untuk mendisplinkan mereka untuk selalu mematuhi perjanjian, terkait dengan pembayaran yang wajib dilakukan. Dengan demikian perusahaan bisa melihat dan melakukan kurasi organik, siapa saja peminjam yang memiliki rekam jejak positif.

“Karena kebanyakan lender kita adalah kalangan ritel yang memberikan pendanaan kepada mereka peminjam yang kebanyakan adalah mitra dari layanan e-commerce, kami menyadari benar kebutuhan dan kebiasaan dari para lender kami. Untuk itu meskipun pandemik berlangsung, kami mencoba untuk mempertahankan risiko gagal bayar tetap di nol persen,” kata Andrisyah.

Disinggung seperti apa demografi dari lender yang telah bergabung di Asetku, secara umum dari kalangan berusia sekitar 37 tahun. Sementara untuk borrower kebanyakan berasal dari kalangan milenial yang berusia sekitar 25 tahun.

“Itu semua sesuai dengan target kami mulai dari usia, pekerjaan hingga kebutuhan mereka untuk melakukan pinjaman hingga memberikan pendanaan melalui platform Asetku,” kata Andrisyah.

Besarnya pasar layanan p2p lending

Meskipun saat ini makin banyak bermunculan layanan p2p lending di Indonesia, tidak menjadikan platform seperti Asetku kehilangan target pengguna. Dengan kebijakan dan pemahaman yang benar di antara masing-masing pemain, masih banyak segmentasi pengguna yang bisa dirangkul. Untuk itu masing-masing penyedia harus menentukan dengan tepat, layanan seperti apa yang ingin dihadirkan dan siapa target pengguna yang ingin diincar.

“Saat ini baru sekitar 3,4% pendanaan yang digelontorkan kepada UKM oleh layanan p2p lending, artinya masih besar peluang untuk masing-masing pemain bermain di layanan tersebut yang bisa menguntungkan target pengguna,” kata Andrisyah.

Selama penyebaran virus Covid-19 ini menurut Andrisyah akan makin terlihat, siapa saja pemain yang akan unggul dan siapa di antara mereka yang bakal tergerus dan terpaksa tutup layanan. Makin ketatnya masyarakat umum menyimpan uang mereka dan menahan keperluan untuk berinvestasi, menjadikan pemain yang masih baru dan belum menjadi top of mind masyarakat akan kehilangan peluang.

“Ke depannya saya lihat konsolidasi pun mungkin akan terjadi di antara pemain-pemain baru yang masih kecil tersebut. Di sisi lain untuk pemain yang sudah besar dan cukup populer, akan makin cerdas lagi mengatur model bisnis mereka,” kata Andrisyah.

Di Asetku sendiri sejak bulan Januari 2020 ketika Covid-19 sudah mulai menyebar di Wuhan, Tiongkok, perusahaan telah menyiapkan modeling risiko. Tujuannya untuk memastikan lender dan borrower bahwa pinjaman dan investasi yang telah diberikan bisa berjalan secara normal. Modeling tersebut yang diklaim mampu untuk mempertahankan posisi risiko gagal bayar Asetku berada dalam posisi 0%.

“Kami telah menerapkan beberapa tahap modeling, di antaranya adalah memberikan potensi dan probabilitas terbaik bagaimana proses disburse loan yang tepat, memanfaatkan data, demografi dan histori para calon peminjam,” kata Andrisyah.

Cara lain adalah Asetku menunda pemberian pendanaan kepada peminjam yang sudah mendaftarkan untuk sementara dan hanya fokus kepada peminjam dan pemberi pinjaman yang sudah berjalan saat ini. Secara langsung cara tersebut mempengaruhi kepada penjualan dari perusahaan. Namun sesuai dengan misi perusahaan agar bisnis bisa berjalan secara stabil, sikap hati-hati dalam mengambil keputusan patut untuk diterapkan.

Masa depan layanan p2p lending

Masih diwarnai dengan berita miring soal pinjaman online ilegal, namun dengan menerapkan proses yang benar dan tidak asal memilih, dipastikan semua layanan p2p lending ilegal tersebut bisa diminamilisr jumlahnya. Ada perbedaan yang cukup signifikan antara pinjaman online ilegal dan layanan p2p lending yang terdaftar oleh OJK. Kebanyakan mereka yang ilegal tidak memiliki kantor di Indonesia dan hanya memanfaatkan aplikasi yang kemudian diunggah di Play Store untuk menyebar luaskan layanan mereka.

“Yang bisa dilakukan oleh masyarakat umum adalah melihat apakah layanan p2p tersebut sudah terdaftar di OJK. Langkah tersebut bisa digunakan untuk memverifikasi layanan yang resmi dan terdaftar di Indonesia,” kata Andrisyah.

Meskipun baru muncul tahun 2016 lalu, saat ini layanan p2p lending telah muncul sebagai platform pilihan kalangan unbanked dan underserved, untuk mencari alternatif pinjaman atau tambahan modal. Kolaborasi dengan berbagai pihak terkait pun makin agresif dilancarkan, seperti perbankan, layanan e-commerce, penyedia layanan digital untuk verifikasi hingga tanda tangan digital. Semua kolaborasi tersebut wajib diperluas untuk mengembangkan ekosistem layanan p2p di Indonesia.

The Unspoken Truth Behind OJK’s Public Appeal on Illegal Fintech Lending

Fintech, peer to peer lending (FP2PL) in particular, is still an on-demand sector in Indonesia. However, the industry exists with the presence of illegal fintech lending. Although law enforcement and authorities have been hunting it down, these illegal FP2PL keep surviving and multiplying.

The act against illegal practices took place on December 21th, 2019. An operation by Polres Metro Jakarta Utara uncover the fraudulent practice of online lending (fintech lending) office under the name PT Vega Data and PT Barracuda Fintech in Penjaringan, North Jakarta, specifically pinned at Mal Pluit Village. The police named 5 suspects of the total of 76 employees at that time.

The impact of the massive raid on illegal fintech lending is OJK’s appeal letter. It is to appeal registered fintech to avoid the Pluit and Central Park area, West Java, for an office space.

OJK said some of that illegal fintech players were running as syndicates, therefore, they are most likely to move in one area. Appeals to not have offices in the two places mentioned, according to the FSA, are part of prevention efforts.

“Considering that illegal fintech can be very tricky for intimidating users, and in terms of protection for the public community, prevention steps are required, as well as to maintain the quality and reputation of registered and/or fintech lending licenses,” OJK’s Director for Fintech Managing, Licensing and Supervision, Hendrikus Passagi told DailySocial,

In fact, the illegal fintech termination wasn’t just a one-time thing. Similar operations have been carried out before. There are some factors that allow those illegal firms to keep appearing and capture new customers.

Large market

Lending businesses grow big every year. In 2017, lending has contributed 15% of the total fintech transaction in Indonesia. Another indicator is the number of cash distributed to customers that keeps increasing.

Based on OJK’s data during 2019, fintech lending has distributed up to Rp68 trillion. The number grew from Rp22.66 trillion last year. This is considered a rapid growth.

It is obvious that the business players are also increasing, both legal and illegal. OJK said, there are a total of 25 fintech lending players by December 2019, while the illegal ones are getting thousands.

Regarding the illegal fintech lending, they’ve been using various kinds of platforms. There’s an app-based operation, websites, or through SMS blast that’ll lead into instant messages platforms, such as WhatsApp. The Ministry of Communication and Information, as part of the OJK-formed Investment Alert Task Force, claims that there are 4,020 illegal fintech players have been blocked during the last two years.

The existing gap

Observing the government’s effort in terminating illegal fintech is like trying to dodge a bullet. The acts are unstoppable because there’s still a gap to be leveraged by the law gangsters.

The biggest one is, there’s no exact law to avoid the rise of these illegal businesses. Passagi admitted the absence of regulations can be the main reason for the mushrooming illegal fintech lending.

Another hole that may be missed by the supervisory authority, especially by the Ministry of Communication and Information, is the SMS feature to outsmart the government systems supervision and operating system provider. Quoted from Kompas, the Pluit based office search by the police used random SMS chains. Start from the SMS, potential victims will be escorted to a site through the sent link. They will be asked for some data to process loans such as National Identity Cards, Family Cards, also the Tax ID.

On the other hand, prohibiting an area for fintech lending operation is a kind of unreasonable act. Seeing how dynamic the movement of illegal syndicates is, a place is just a place. With the existing passionate market and multiple gaps, they can be anywhere.

Room for Improvements

Aside from hoping the regulations for illegal fintech lending issued, the government has an “optimistic” plan coming.

The Kominfo, The Indonesian Telecommunications Regulatory Agency (BRTI), and the Directorate General of Population and Civil Registration are currently working on renewing the registration terms of prepaid cellular. This plan will later enable cellular operators to use the ‘know your customer’ mechanism as in banking.

It will involve biometric technology to make sure the prepaid cellular owner has a valid number. In reverse, when the data doesn’t match in the Dukcapil’s system, there will be sanctions.

“For example, with face recognition technology, fingerprint, or iris recognition. On the records, operators are fully responsible for the validity of their customers. In this way, hopefully there will be no misuse of other people’s data to register prepaid customers,” BRTI’s member, I Ketut Prihadi said.

Basically, the new draft regulation will patch up the failure of the prepaid registration policy which was previously said to overcome SMS / telephone spam. The rest is yet to know whether the new policy is applicable. No doubt, as long as there is no policy intends to protect the industry from unlicensed organizers, the stories of illegal fintech lending with tens of billions of revenue like the one in Pluit will keep repeating.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Yang Tak Terkatakan dari Imbauan OJK Soal “Fintech Lending” Ilegal

Fintech, terutama peer to peer lending (FP2PL), memang masih naik daun di Indonesia. Namun pertumbuhan industri ini juga turut dinikmati pelaku fintech lending ilegal. Meski penegak hukum dan otoritas berwenang mengejar, FP2PL ilegal ini dapat bertahan dan berlipat ganda.

Penindakan terhadap praktik ilegal tersebut paling anyar terjadi pada 20 Desember 2019 lalu. Sebuah operasi oleh Polres Metro Jakarta Utara mengungkap praktik culas kantor peminjaman online (pinjol) bernama PT Vega Data dan PT Barracuda Fintech di wilayah Penjaringan, Jakarta Utara, tepatnya di Mal Pluit Village. Polisi menetapkan 5 tersangka dari total 76 karyawan saat penggrebekan itu.

Salah satu imbas penggrebekan terhadap fintech lending tak berizin itu adalah surat imbauan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dalam surat itu, OJK mengimbau fintech berizin untuk menghindari kawasan Pluit dan Central Park di Jakarta Barat sebagai tempat mereka berkantor.

OJK menyebut ada indikasi pelaku fintech ilegal tadi beroperasi dalam bentuk sindikat sehingga mereka cenderung bergerak dari lokasi yang sama. Imbauan untuk tidak berkantor di dua tempat tadi, menurut OJK, menjadi bagian dari upaya pencegahan.

“Mengingat fintech ilegal dapat beroperasi seperti siluman dalam melakukan intimidasi kepada pengguna, dan dalam rangka perlindungan bagi masyarakat secara luas, maka langkah pencegahan sangat diperlukan, sekaligus untuk menjaga kualitas dan reputasi fintech lending terdaftar dan atau berizin OJK,” ucap Direktur Pengaturan, Perizinan, dan Pengawasan Financial Technology OJK Hendrikus Passagi kepada DailySocial.

Kendati demikian, perlu dipahami bahwa upaya pemberantasan FP2PL ilegal tak sekali ini terjadi. Operasi serupa sudah dilakukan beberapa kali sebelumnya. Ada sejumlah faktor yang memungkinkan FP2PL tak berizin tetap bermunculan dan menjerat nasabah baru.

Pasar yang besar

Bisnis pinjam-meminjam tumbuh dengan mantap setiap tahun. Pada 2017 saja, lending berkontribusi 15 persen dari total transaksi fintech di Indonesia. Indikator lainnya adalah nominal uang yang disalurkan kepada nasabah terus meningkat.

Data OJK sepanjang 2019 menunjukkan total pinjaman yang sudah disalurkan oleh fintech lending mencapai Rp68 triliun. Angka itu tumbuh 200% dari sekitar Rp22,66 triliun pada tahun sebelumnya. Pertumbuhan ini terbilang sangat pesat.

Maka tak heran pelaku bisnisnya terus bertambah, baik yang legal maupun ilegal. OJK menyebut jumlah perusahaan fintech lending yang terdaftar hingga Desember kemarin berjumlah 25 perusahaan, sedangkan yang ilegal jumlahnya mencapai ribuan.

Mengenai fintech lending ilegal itu, platform yang mereka gunakan cukup beragam. Ada yang operasinya berbasis aplikasi, situs web, atau sekadar SMS blast yang berlanjut via aplikasi pesan instan seperti WhatsApp. Kementerian Komunikasi dan Informatika, sebagai bagian dari Satuan Tugas (Satgas) Waspada Investasi bentukan OJK, mengklaim sudah 4.020 fintech ilegal mereka blokir sepanjang dua tahun terakhir.

Masih Ada Celah

Melihat upaya pemerintah dalam membasmi fintech ilegal ini serupa menghabisi cendawan di musim hujan. Penindakan tak henti-henti terjadi karena masih ada celah yang dapat dimanfaatkan para pelanggar hukum tersebut.

Celah paling besar adalah ketiadaan payung hukum yang dapat mencegah lahirnya pinjol nakal. Hendrikus mengakui absennya peraturan tersebut jadi alasan utama maraknya fintech lending ilegal.

Lubang lain yang mungkin terlewatkan oleh otoritas pengawas, terutama oleh sistem Kemenkominfo, adalah penggunaan fitur SMS untuk mengakali pengawasan darri sistem pemerintah maupun penyedia sistem operasi. Dikutip dari Kompas, kantor layanan fintech yang di Pluit yang digrebek polisi memanfaatkan SMS berantai secara acak. Dari SMS itu, calon korban akan digiring ke sebuah situs via tautan yang tertera di dalamnya. Mereka nantinya akan dimintai sejumlah data untuk memproses pinjaman seperti Kartu Tanda Penduduk, Kartu Keluarga, hingga Nomor Pokok Wajib Pajak.

Di sisi lain, melarang suatu kawasan sebagai tempat fintech lending beroperasi justru bisa tidak beralasan. Melihat betapa dinamisnya pergerakan sindikat pinjol ilegal, tempat hanyalah tempat. Dengan kondisi pasar yang tengah bergairah dan berbagai celah yang ada, mereka bisa hidup di mana saja.

Harapan untuk Perbaikan

Selain berharap munculnya undang-undang yang dapat menghukum penyelenggara fintech lending tak berizin, ada satu rencana pemerintah yang dapat diharapkan jika nanti sudah direalisasi.

Kominfo, Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), dan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil saat ini sedang menggodok pembaruan registrasi pelanggan seluler prabayar. Rencana ini nantinya memungkinkan operator seluler memakai mekanisme know your customer seperti halnya di perbankan.

Mekanisme ini akan melibatkan teknologi biometrik untuk memastikan identitas pemilik nomor prabayar tadi benar-benar valid. Sebaliknya, jika data yang diberikan pelanggan tidak cocok dengan data yang terekam di sistem Dukcapil, maka ada sanksi yang menunggu.

“Misalnya dengan face recognition technology, finger print, atau iris recognition. Dengan catatan, operator bertanggung jawab penuh terhadap validitas pelanggannya. Jadi dengan cara ini, diharapkan tidak akan terjadi lagi penyalahgunaan data orang lain untuk melakukan registrasi pelanggan prabayar,” ucap anggota BRTI I Ketut Prihadi.

Pada dasarnya rancangan peraturan baru itu akan menambal kegagalan kebijakan registrasi prabayar yang sebelumnya disebut akan mengatasi SMS/telepon spam. Selebihnya, belum diketahui kapan kebijakan baru itu dapat diterapkan. Maka jangan lagi heran selama kebijakan yang diputuskan untuk melindungi industri dari penyelenggara tak berizin ini masih nol, kisah-kisah penggrebekan kantor pinjol ilegal yang beromset puluhan miliar seperti di Pluit tadi akan kembali terjadi.

Amartha Announces Series B Funding Led by Line Ventures

The p2p lending service, Amartha announced series B funding led by Line Ventures with undisclosed amount. Participated also other investors, such as Bamboo Capital Partners, UOB Ventures Management, PT Teladan Utama, and PT Medco Intidinamika.

Line Ventures, has some startup portfolios in Indonesia, including HappyFresh, IDN Media, and Warung Pintar.

Meanwhile, UOB Ventures invests in Amartha through its entity, Asia Impact Investment Fund I. The fund is specifically raised for Southeast Asia and China’s startup growth. To date, there are nine startups in its portfolios, including Halodoc and Ruangguru.

Amartha’s Founder and CEO, Andi Taufan Garuda Putra said, the fresh money will be distributed for business expansion across Indonesia, in order to empower more women and families in the rural area.

“By expanding coverage throughout Indonesia, Amartha also expects to accelerate financial inclusion through digital financial innovation, also to stay true to their vision, equal welfare across Indonesia,” he said in an official statement.

Line Ventures’ Director of Investment, James Lim added, he was eager to join Amartha’s mission in bringing social impact and financial inclusion throughout Indonesia.

“With Amartha’s solid management team and always striving to meet the highest standards of authority regulations, also in its capacity with technology and operations, Amartha is in a good position to maintain and promote more healthy socio-economic welfare,” Lim said.

amartha

Amartha has distributed Rp1.6 trillion funding to more than 343 thousand partners in 5,200 villages in Java and Sulawesi. The company develops technology platforms and algorithms to automate operational aspects, services, and safe and accurate credit assessment systems.

The company also implements a joint responsibility system for partners to build social cohesion and reduce the default rate. All the methods used by Amartha, are said to have proven to reduce the poverty level of their partners, even in the 2019 CFDS report, which significantly increased the income of micro-entrepreneurs women.

The last time, Amartha announced Series A funding in 2017 led by Mandiri Capital Indonesia worth $2 million (over 26 billion Rupiah). Lynx Asia Partners, Beenext and Midplaza Holding also participated in this round.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Amartha Umumkan Perolehan Pendanaan Seri B yang Dipimpin Line Ventures

Layanan p2p lending Amartha mengumumkan perolehan dana seri B yang dipimpin Line Ventures dengan nominal yang tidak disebutkan. Investor lain yang turut berpartisipasi diantaranya Bamboo Capital Partners, UOB Ventures Management, PT Teladan Utama, dan PT Medco Intidinamika.

Line Ventures, punya beberapa portofolio startup di Indonesia, di antaranya HappyFresh, IDN Media, dan Warung Pintar.

Sementara, UOB Ventures sebelumnya masuk ke Amartha lewat entitasnya, Asia Impact Investment Fund I. Pendanaan yang khusus dibentuk untuk growth startup di Asia Tenggara dan Tiongkok. Sejauh ini ada sembilan startup yang masuk ke dalam portofolionya, termasuk Halodoc dan Ruangguru.

Founder & CEO Amartha Andi Taufan Garuda Putra menjelaskan, pendanaan akan digunakan untuk ekspansi bisnis ke seluruh Indonesia, agar dapat memberdayakan lebih banyak lagi perempuan dan keluarga di pedesaan.

“Dengan memperluas jangkauan ke seluruh pelosok negeri, Amartha juga berharap dapat mempercepat inklusi keuangan melalui inovasi keuangan digital dan mewujudkan visi kami yaitu kesejahteraan merata bagi Indonesia,” kata Taufan dalam keterangan resmi.

Direktur Investasi Line Ventures James Lim menambahkan, pihaknya bersemangat untuk bergabung dengan misi Amartha dalam membawa dampak sosial dan inklusi keuangan di seluruh Indonesia.

“Dengan tim manajemen Amartha yang solid dan selalu berusaha keras untuk memenuhi standar tertinggi peraturan otoritas, ditambah dengan kekuatannya dalam teknologi dan operasional, Amartha berada dalam posisi yang baik untuk memelihara dan mempromosikan kesejahteraan sosial ekonomi yang lebih sehat,” kata Lim.

Saat ini Amartha telah menyalurkan pendanaan Rp1,6 triliun kepada lebih dari 343 ribu mitra di 5.200 desa di Jawa dan Sulawesi. Perusahaan mengembangkan platform teknologi dan algoritma untuk mengotomatiskan aspek operasional, layanan, dan sistem penilaian kredit yang akurat dan aman.

Perusahaan juga mengimplementasikan sistem tanggung renteng kepada para mitra guna membangun kohesi sosial dan menekan angka gagal bayar. Seluruh metode yang dipakai Amartha, disebutkan terbukti mengurangi tingkat kemiskinan mitranya, bahkan dalam laporan CFDS tahun 2019, berhasil meningkatkan pendapatan perempuan pengusaha mikro secara signifikan.

Amartha terakhir kali mengumumkan pendanaan Seri A pada 2017 yang dipimpin oleh Mandiri Capital Indonesia senilai $2 juta (lebih dari 26 miliar Rupiah). Di dalam putaran ini juga diikuti oleh Lynx Asia Partners, Beenext dan Midplaza Holding.

Application Information Will Show Up Here