Melirik Hipotesis Insignia Ventures Terhadap Prospek Startup Indonesia

Dinamika startup yang terus berkembang, turut memengaruhi bagaimana hipotesis para investor sebelum menanamkan pendanaannya. Insignia Ventures melihat pada tahun ini, berkat gelombang digitalisasi yang didorong oleh pandemi, muncul startup baru dari berbagai sektor yang bahkan relatif terdepan dalam segi inovasi.

Dalam wawancara bersama DailySocial.id, Founding Managing Partner Yinglan Tan menjelaskan, “Bahkan mereka [startup] berada di ruang yang relatif terdepan seperti web3, pertanian, perawatan kesehatan, hingga iklim. Kami ingin memainkan peran kami dalam mendukung usaha ini lebih awal dan membantu mendorong mereka lebih jauh.”

Sektor-sektor unggulan inilah yang akan didukung perusahaan melalui dana kelolaan yang baru diumumkan yang difokuskan pada pendanaan tahap awal. Pada kelolaan yang ketiga ini, Insignia Ventures berhasil mengumpulkan dana sebesar $516 juta (lebih dari 7,7 triliun Rupiah); diklaim kelebihan permintaan (oversubscribed).

Dana tersebut terbagi menjadi tiga jenis kelolaan, yakni sebesar $388 untuk fund utama IVPF III, $28 juta untuk fund Entrepreneurs yang berinvestasi di samping fund utama; dan $100 juta untuk Annex Fund I. Investor yang berpartisipasi dalam putaran ini berasal dari institusi utama, termasuk dana kekayaan negara (sovereign wealth funds), yayasan, dana abadi universitas, dan kantor keluarga terkenal dari Asia, Eropa, dan Amerika Utara.

Tan tidak merinci spesifik seperti apa persentase dana yang akan disalurkan untuk startup Indonesia. Namun, dari dana kelolaan sebelumnya, persentase investasi untuk startup lokal mengambil jumlah yang signifikan karena negara ini menjadi pasar inti bagi Insignia Ventures berkat ukuran pasar dan peluang bisnis yang beragam yang dihadirkan.

Bahkan, sambungnya, meski ada beberapa pemain yang sudah mendominasi, portofolio dari Insignia diklaim tetap mampu ambil ruang baru, terutama di dua area. Yakni, digitalisasi bisnis tradisional dan perusahaan posisi tandingan atau startup yang membangun produknya atas dasar kesenjangan dari perusahaan teknologi yang lebih besar dalam hal segmen pasar atau kedalaman produk.

“Oleh karena itu, kami berharap aktivitas kami di Indonesia akan terus berkembang dalam dekade ini, tetapi pada saat yang sama, kami juga ingin membuka lebih banyak peluang di pasar seperti Vietnam, Filipina, dan Thailand.”

Secara terpisah dalam keterangan resmi, Tan menyampaikan alasan mengapa pihaknya tertarik untuk berinvestasi lebih agresif pada “sektor potensial berikutnya” seperti web3, teknologi iklim, perawatan kesehatan, dan pertanian. Dia bilang, dampak yang dibuat oleh perusahaan-perusahaan terbesar di luar Asia Tenggara dalam dekade terakhir akan menjadi permulaan baru dibandingkan dengan dampak yang akan dibuat oleh pembuat pasar pada dekade berikutnya.

Menurutnya, ada keselarasan yang tidak penting, tetapi kritis antara solusi yang keluar dari area ini dan masalah lama di wilayah ini dari keberlanjutan pangan ujung ke ujung hingga kepercayaan dengan institusi. Solusi untuk masalah ini tidak dapat diselesaikan oleh startup teknologi saja dan sektor-sektor ini sendiri mungkin masih awal.

“Tetapi pendiri yang tepat yang cocok dengan masalah yang tepat dapat memecahkan masalah, dan itulah tepatnya mengapa kita tidak dapat membuang waktu dalam “pemecahan masalah “waktu emas” ini untuk mendukung mereka.”

Dari awal Insignia Ventures debut di 2017, pihaknya akan terus melanjutkan misi awalnya untuk mendukung para pendiri startup dalam membangun perusahaan hebat, melihat peluang dalam membangun teknologi secara menyeluruh di berbagai industri dan aktivitas sebagaimana digital kini sudah mengambil alih lebih banyak aspek kehidupan dan bisnis.

“Saat kita mulai di tahun 2017, investor secara global masih belum familiar dengan potensi ekonomi digital Asia Tenggara. Pada tahun 2019, ketika kami mengumpulkan dana kedua kami, ada lebih banyak perhatian tetapi masih lebih utama diarahkan ke e-commerce, fintech, dan perusahaan raksasa di kawasan ini dengan putaran pertumbuhan yang besar-besaran.”

Tekanan atas tren pengetatan likuiditas

Terlepas dari inflasi global yang menjadi tantangan berat bagi pasar teknologi secara keseluruhan, Insignia Ventures justru memandang kondisi tersebut sebagai “waktu emas” bagi para pemimpin dan pembuat pasar ekonomi digital untuk bermunculan.

Tan menuturkan, pihaknya melihat peluang sekali dalam satu dasawarsa untuk menangkap keuntungan yang lebih besar karena jadi pemenang terpapar sangat jelas ketika kondisi sedang pasang surut. Di saat yang bersamaan, pemenang itu tidak dapat ditentukan begitu saja oleh valuasi dan skala bisnis, sebab pada akhirnya perusahaan dengan unit ekonomi yang berkelanjutan dan penciptaan nilai yang konkret jadi faktor terpenting.

“Ada keseimbangan yang baik antara kecepatan dan daya tahan yang menentukan pencarian kami untuk memperoleh pengembalian terbaik. Ini adalah ‘golden hour’ ketika pemimpin pasar Asia Tenggara dalam dekade ini akan dicetak. Lanskap pendanaan di regional ini berada dalam posisi terbaik karena investor sekarang lebih strategis dengan alokasi mereka daripada sebelumnya, katakanlah seperti di tahun 2021 atau 2019.”

Di Indonesia, Insignia Ventures memiliki sejumlah portofolio, di antaranya platform ritel mobil Asia Tenggara Carro, platform wealthtech Ajaib, perusahaan fintech Payfazz (sekarang Fazz Financial), platform e-commerce enabler Shipper, platform open finance Brankas, dan beberapa lainnya yang sudah memiliki bisnis dan tim di Indonesia.

Perusahaan pertama kali debut dengan fund sebesar $120 juta, kemudian melakukan penggalangan yang kedua sebesar $200 juta di 2019. Selama lima tahun terakhir ini, pendekatan Insignia Ventures berhasil mendukung para founder startup dalam membangun bisnisnya sebagai pemimpin pasar di Asia Tenggara, menciptakan dampak yang lebih besar untuk semua orang.

Hingga saat ini, Insignia Ventures bernilai $46 miliar dengan modal yang diinvestasikan sebesar $304,9 juta, dengan rasio kerugian kurang dari 2%. Perusahaan portofolionya juga berhasil menarik investasi lanjutan sebesar $7,7 miliar. Dengan seluruh kinerja ini, Yinglan melihat ini hanya sebagai puncak gunung es dalam hal berapa banyak lagi penciptaan pasar teknologi yang dapat dihasilkan dari wilayah tersebut.

“Kami bangga dengan dampak yang telah diciptakan oleh perusahaan portofolio kami dan bangga telah bermitra dengan mereka sejak awal, melalui pertumbuhan bersama mereka dan menyaksikan secara langsung bagaimana mereka telah membentuk ekonomi digital Asia Tenggara. Tapi ini masih awal bagi kami; ini masih merupakan hari-hari awal digitalisasi di kawasan ini. Kami percaya ada lebih banyak peluang bagi perusahaan semacam itu untuk muncul di Asia Tenggara,” pungkas Tan.

Hipotesis B Capital Terhadap Ekosistem Startup Asia Tenggara

B Capital, perusahaan investasi multi-tahap global, memandang wilayah Asia Tenggara merupakan salah satu pasar dengan pertumbuhan tercepat karena terdapat populasi muda, wirausaha, dan generasi digital. Indonesia sendiri dinilai sebagai wilayah kunci dengan pertumbuhan ekonomi digital tercepat di Asia.

Prospek yang positif dari kawasan ini mendorong B Capital untuk memberikan perhatian lebih, terlihat dari penghimpunan dana kelolaan tahap awal Ascent Fund II senilai $250 juta yang diumumkan pekan lalu (20/7). Alokasi investasi tersebut akan diarahkan untuk pasar Amerika Serikat dan Asia, untuk pendanaan tahap pra-awal hingga Seri A.

Secara terpisah dalam wawancara bersama DailySocial.id, Partner B Capital Karan Mohla mengatakan alokasi dana tersebut akan digunakan untuk melanjutkan dedikasi perusahaan dalam membangun Economy of Future dan fokus mengidentifikasi gelombang inovasi berikutnya di seluruh teknologi SaaS, kesehatan, fintech, logistik, dan sejumlah sektor lain yang sedang berkembang.

Sektor tersebut dilirik potensial tak lain dikarenakan laju digitalisasi telah mengalami percepatan selama beberapa tahun terakhir di seluruh korporasi dan konsumer akhir. Potensi tersebut ditawarkan oleh kawasan Asia Tenggara. Filosofi tersebut, sambungnya, telah menjadi arahan investasi B Capital sejak pertama kali berdiri di 2015 yang fokus pada sektor enterprise, fintech, dan kesehatan, hingga memiliki aset yang dikelola (AUM) senilai lebih dari $6,5 miliar.

“Kami akan terus mencari startup dengan tim dan teknologi luar biasa yang memiliki potensi untuk maju menjadi perusahaan global dan mengubah industri yang sudah mapan. [..] Juga terus dorong startup portofolio kami agar berkembang secara global sesuai dengan visi kami untuk menjadi platform investasi global,” kata Mohla.

Dia melanjutkan, pihaknya tidak memiliki alokasi investasi khusus untuk regional, apalagi Indonesia, karena pihaknya bekerja dari akar rumput untuk bermitra dengan para pendiri startup yang dinamis dan inovatif di kawasan yang menjadi fokus perusahaan. “Kami percaya bahwa Indonesia dan Vietnam adalah dua pusat teknologi dengan pertumbuhan tercepat di Asia Tenggara dan menawarkan peluang besar.”

Terkait iklim makroekonomi dan tren pengetatan likuiditas, Mohla memastikan bahwa pihaknya memiliki pandangan jangka panjang saat melakukan investasi dan bermitra dengan para pendiri startup. Ia pun mengakui ada ketidakpastian ekonomi makro yang perlu diperhitungkan dalam strategi dan pengambilan keputusan investasi.

Akan tetapi, ada siklus pasar yang sudah diprediksi dan mengacu pada komitmen perusahaan terhadap pasar Indonesia dan Asia Tenggara. ”Kami tetap bersemangat mencari peluang investasi pada pendanaan tahap awal dan terus bermitra dengan para pendiri startup yang inovatif dan tangguh.”

Sebagai catatan, B Capital tercatat memiliki sejumlah portofolio startup di Indonesia. Di antaranya, putaran pendanaan Kopi Kenangan Seri B pada Mei 2020 sebesar $109 juta, pendanaan seri A Ula $20 juta pada Januari 2021, putaran Seri B $53 juta untuk Payfazz pada Juli 2020. Investasi terbaru diberikan untuk Finku sebesari $2,8 juta pada Mei 2022 dan startup social commerce Super untuk putaran Seri C pada Juni 2022 sebesar $70 juta.

Seleksi startup

Mohla melanjutkan misi inti dari B Capital adalah berinvestasi di perusahaan yang memiliki keunggulan kompetitif dengan teknologi yang unggul, proposisi nilai pelanggan yang kuat, dan kemampuan untuk tumbuh cepat ke sektor dan wilayah baru. Oleh karenanya, pihaknya percaya bahwa inovasi tidak memiliki batas.

Perusahaan mencari startup paling menjanjikan di dunia yang memiliki potensi untuk berkembang menjadi perusahaan global, mengubah industri yang sudah mapan, dan akan mendukung mereka sejak pendirian hingga tahap IPO. Aspek founder juga tak luput dari perhatian penting.

Dia bilang, B Capital mencari pendiri dan pemimpin visioner yang mampu menata ulang industri tradisional dengan teknologi yang membantu bisnis agar berkembang di masa depan digital. Ambisi, integritas, dan kemauan untuk terus belajar adalah kualitas dan karakteristik penting yang kami cari dalam diri para pendiri startup.

Pendiri startup yang hebat juga perlu memiliki visi ke mana mereka ingin membawa perusahaan mereka dan memiliki tujuan jangka panjang yang akan berfungsi sebagai fondasi perusahaan. Bagaimana para pendiri startup bisa tetap beradaptasi dengan perkembangan kondisi bisnis dan mengubah strategi mereka sembari tetap fokus pada visi awal.

“Selain itu, kami juga mencari startup dan pengusaha yang selaras dengan nilai-nilai B Capital. Kami mencari pendiri yang menginspirasi, visioner, gigih, rendah hati, terbuka dan inklusif, kolaboratif, serta bersedia mengambil risiko dan belajar dari kegagalan mereka. Yang paling penting, mereka bersedia berinovasi dan mengadvokasi dengan rasa ingin tahu dan kreativitas yang tak terbatas.”

Dia melanjutkan, “Kesuksesan startup bukanlah tentang menjadi yang pertama tapi lebih tentang menjadi yang terbaik, pengetahuan mumpuni dan pengalaman panjang di bidang mereka akan memberikan keuntungan dibandingkan pesaing dan petahana di industri yang sama.”

Dalam mengelola portofolio B Capital yang tersebar secara global, khusus di Asia Tenggara, tim profesional investasinya telah bermitra strategis dengan Boston Consulting Group (BCG). Kesepakatan tersebut memungkinkan pihaknya memberikan perusahaan portofolionya di kawasan ini dengan akses jaringan yang luas dengan pemimpin perusahaan global yang ingin bermitra dengan teknologi yang sedang berkembang. B Capital sendiri memiliki kantor global yang berlokasi di Los Angeles, San Francisco, New York, Singapura, Hong Kong, dan Beijing.

“Mitra strategis kami berasal dari industri spesifik seperti enterprise, perawatan kesehatan, teknologi, dan engineering. Inilah cara kami membawa keahlian lokal dan membantu perusahaan portofolio kami tumbuh.”

Lightspeed Umumkan Dana Kelolaan 7,5 Triliun Rupiah untuk Startup di Asia Tenggara dan India

Lightspeed India Partners mengumumkan dana kelolaan tahap awal (early stage) LSIP Fund IV sebesar $500 juta atau sekitar 7,5 triliun Rupiah. Dana ini akan digunakan untuk melanjutkan investasinya di India dan Asia Tenggara.

Dalam keterangan resminya, penggalangan dana tersebut merefleksikan komitmen mendalam terhadap pasar India dan Asia Tenggara sejak investasi pertama mereka pada 2007.

“Kami akan akan terus memperluas dan mendalami peluang di kawasan ini. Dipimpin oleh para founder kelas dunia dan cakupan teknologi yang terus berkembang untuk membentuk kembali ekonomi di India dan Asia Tenggara,” demikian disampaikan dalam keterangan resminya.

Dalam lima tahun terakhir, Lightspeed India Partners telah memiliki 28 partners yang bermarkas di Bengaluru, Delhi, Mumbai, dan Singapura. Adapun, investasi pada startup growth stage di India dan Asia Tenggara melalui dana kelolaan Select Fund dan Opportunity Fund.

Lightspeed Venture Partners telah berinvestasi di Tiongkok, India, Israel, Eropa, dan Asia Tenggara. Total portofolionya mencapai lebih dari 500 di berbagai sektor, seperti consumer, healthtech, dan fintech.

Di Indonesia, Lightspeed telah berinvestasi ke Pintu, Astro, Shipper, Chilibeli, dan Ula.

Adapun, sekitar seperempat dari total portofolio globalnya telah diakuisisi atau go-public dengan 33 IPO dalam beberapa tahun terakhir. Lightspeed juga telah memiliki 70 investor yang berlokasi di 12 kota di dunia.

Penggalangan dana multi-stage

Secara terpisah, Lightspeed Venture Partners mengumumkan telah menutup penggalangan dana sebesar $7 miliar atau sekitar 104,7 triliun Rupiah. Total pendanaan multi-stage ini dibagi dalam tiga dana kelolaan, antara lain Fund XIV sebesar $1,98 miliar, Select Fund V sebesar $2,26 miliar, dan Opportunity Fund II dengan $2,36 miliar.

Singkat informasi, Lightspeed Venture Partners XIV-A/B, L. P atau Fund XIV difokuskan untuk investasi tahap awal, seed, hingga seri B di sektor enterprise, consumer, health, dan fintech. Kemudian, Lightspeed Venture Partners Select V, L. P atau Select Fund V diperuntukkan bagi startup yang mulai melakukan scale up bisnisnya. Sementara, Lightspeed Opportunity Fund II, L.P. untuk mendukung investasi pada breakout companies.

“Sejak awal 2000-an, Lightspeed mulai membangun jejak global dengan keyakinan kami bahwa masa depan teknologi dan kewirausahaan akan mendunia. Kami membangun cross-border team sehingga dapat memberikan pemahaman terhadap pasar lokal yang mendalam kepada founder. Dengan demikian, kami dapat melihat dan belajar dari inovasi yang ada di dunia,” ungkap Partner di Lightspeed Bejul Somaia.

Proyeksi sektor investasi

Dalam wawancara terakhir dengan DailySocial pada 2020, Partner & Regional Head Lightspeed Venture Partners Akshay Bhushan mengatakan, Indonesia merupakan pasar yang bagus bagi pendekatan investasi Lightspeed. Hal ini karena Indonesia memiliki populasi muda yang melek digital dan ekosistem startup yang tumbuh cepat.

Berdasarkan laporan Startup Report 2021-2022Q1 yang diterbitkan DSInnovate, ada tiga sektor yang diproyeksi berkembang di Indonesia pada tahun ini, yakni Direct-to-Consumer (D2C), embedded finance, dan Web3.

Laporan ini juga menyoroti tren investor yang kini tak lagi tertarik pada sektor mainstream, tetapi yang punya dampak langsung ke aspek sosial-ekonomi masyarakat. Misalnya, social commerce, agrikultur, dan renewable energy.

Indonesia Menjadi Fokus Utama Endeavor dalam Berinvestasi di Asia Pasifik

Endeavor memiliki Endeavor Catalyst, sebuah modal ventura yang dibentuk secara eksklusif bagi pengusaha dalam jaringan program mereka. Belum lama ini, unit investasi tersebut menutup dana kelolaan keempat senilai $290 juta atau sekitar 4,3 triliun Rupiah — terbesar yang pernah mereka kelola. Dana tersebut dibukukan dari sejumlah institusi dan tokoh ternama, termasuk founder LinkedIn dan Snowflake.

Menurut pemaparan tim Endeavor Indonesia, sejauh ini Endeavor Catalyst telah berinvestasi ke 15 startup di Indonesia — ini menjadi yang terbanyak di Asia Pasifik. Beberapa startup tersebut termasuk Aruna, Bukalapak, BukuKas, eFishery, Investree, HappyFresh, OnlinePajak, dan VIDA. Di seluruh dunia, ada sejumlah 258 startups yang sudah mendapatkan investasi darinya, mulai dari pendanaan tahap awal sampai lanjut.

“Indonesia sendiri menjadi target utama Endeavor Global untuk berinvestasi di Asia Pasifik,” ujar tim Endeavor Indonesia.

Sejak awal dibentuk, Endeavor Catalyst melakukan penyertaan modal berbasis aturan, yaitu hanya terbuka bagi Endeavor Entrepreneurs, dengan besaran maksimal 10% atau $1,5 juta dari total jumlah pendanaan. Karena seluruh founder di jaringannya telah melewati proses seleksi yang ketat di rangkaian programnya, maka tidak lagi perlu melakukan proses uji tuntas sebelum memutuskan untuk menyertakan dana.

Saran untuk founder di masa sulit

Tidak dimungkiri, saat ini banyak startup tengah menghadapi masa sulit. Di tengah ketidakpastian kondisi ekonomi global, mereka memikirkan cara untuk menjaga runway bisnis dengan tetap memacu pertumbuhan. Sejumlah startup akhirnya melakukan efisiensi, termasuk melakukan layoff — beberapa lainnya pivot model bisnis, bahkan sampai menutup bisnis mereka. Fenomena ini tidak hanya dialami startup di Indonesia, namun dari berbagai belahan dunia.

Sebagai sebuah lembaga yang turut membantu startup bertumbuh melalui program akselerasi dan jejaring, Endeavor punya cara sendiri untuk membantu founder menghadapi masa sulit ini. Dikatakan mereka tidak pernah punya saran yang sifatnya “one size fits all”, pendekatannya selalu dipersonalisasi untuk setiap founder.

“Salah satu nilai yang kami junjung di Endeavor adalah ‘network of trust’, yang berarti Endeavor sebagai ruang aman untuk berbagi ketika para pengusaha menghadapi kesulitan atau masalah. Saat masa sulit melanda, maka yang kami lakukan adalah mempertemukan mereka dengan mentor dan peer network yang tepat, baik dari untuk memberikan perspektif, pertimbangan, dan validasi atas permasalahan yang sedang dihadapi. Didukung dengan nilai ‘entrepreneur first‘ yang kami anut, semua masukan diberikan secara obyektif, supaya para founder dapat mengambil langkah yang terbaik bagi diri dan bisnisnya.”

Kendati ekosistem startup tengah diterpa ketidakpastian, namun dikatakan tidak ada perubahan hipotesis atau strategi Endeavor dalam berinvestasi.

“Endeavor fokus pada misi membangun ekonomi yang berkelanjutan, yang bergantung pada high-impact entrepreneurship. Dampak di sini tidak dibatasi pada dampak sosial atau lingkungan, tetapi dampak ekonomi, sehingga kami sering mengukurnya misalnya melalui jumlah lapangan pekerjaan dan pendapatan yang dihasilkan oleh para perusahaan yang dimiliki oleh Endeavor Entrepreneurs.”

Tengah langsungkan ScaleUp Growth Ke-3

Sosialisasi program ScaleUp Growth yang dibawakan tim Endeavor Indonesia dan perwakilan pengusaha di jaringannya / Endeavor
Sosialisasi program ScaleUp Growth yang dibawakan tim Endeavor Indonesia dan perwakilan pengusaha di jaringannya / Endeavor

Endeavor kembali menyelenggarakan “Endeavor ScaleUp Growth Program” untuk yang ketiga kalinya. Program ini merupakan akselerator non-dilutif (tidak melakukan penyertaan modal bagi perusahaan yang terpilih) selama 3 bulan yang dirancang untuk memandu 10 startup terpilih agar dapat menavigasi kompleksitas bisnis menuju skala lanjut.

Endeavor ScaleUp Growth Program Manager Zakia Syifa mengatakan, “Misi Endeavor adalah untuk membuka kekuatan transformasional kewirausahaan dengan cara melakukan seleksi, memberikan dukungan, dan memberikan investasi pada para pendiri top dunia; serta menyediakan wadah untuk berkontribusi kembali ke masyarakat. Seluruh aspek program ini didukung sepenuhnya oleh jaringan pengusaha, mentor, pemimpin bisnis, dan investor Endeavor yang sudah dikurasi sedemikian rupa menyesuaikan kebutuhan dan tantangan perusahaan di fase pertumbuhan.”

Beberapa aktivitas yang ditawarkan oleh ScaleUp Growth Program meliputi sesi mentoring 1-on-1  bersama jaringan lokal maupun global yang disesuaikan dengan kebutuhan setiap peserta dan usahanya. Selain itu peserta dilibatkan dalam diskusi panel untuk mendapatkan umpan balik atas strategi perkembangan merek dan perspektif baru terhadap tantangan yang sedang dihadapi.

Peserta juga akan memiliki akses ke jaringan investor Endeavor dan seorang Account Manager khusus dari tim Endeavor Indonesia. Selama program, peserta juga akan dipasangkan dengan seorang Endeavor Buddy, yang merupakan high-impact entrepreneur Endeavor sebagai dukungan peer to peer (sesama rekan).

Target selanjutnya di Indonesia

Sejak hadir di Indonesia pada 2012, program Endeavor telah mendukung 76 pengusaha dari 54 perusahaan. Mereka juga telah memiliki 80 mentor lokal, dari total 3.000 mentor yang ada di seluruh jaringan global. Dari startup yang ada di jaringannya, hingga akhir 2021 telah menciptakan lebih dari 3,4 juta lapangan pekerjaan dengan pendapatan sampai $42 miliar.

Lewat ScaleUp Growth Program, diharapkan tahun ini Endeavor bisa membina 20-25 startup baru dari Indonesia. Ke depannya, setelah lulus dari program ini, mereka ingin melanjutkan dukungan dengan mengirimkan para startup ke seleksi panel lokal dan internasional, sebelum akhirnya dapat terpilih menjadi Endeavor Entrepreneur.

Northstar Mulai Bidik Startup Tahap Awal, Siapkan Dana 1,5 Triliun Rupiah

Perusahaan private equity Northstar Group dikabarkan tengah menyiapkan dana kelolaan khusus untuk berinvestasi ke startup tahap awal. Menurut sumber kami, Northstar telah menyiapkan dana debut sekitar $100 juta (sekitar 1,5 triliun Rupiah).

Nantinya mereka akan menyuntik startup pre-seed dan seed dengan ukuran tiket berkisar $500 ribu (sekitar 7,5 miliar Rupiah). Hipotesis investasinya tidak jauh dari yang sudah dilakukan sebelumnya, yakni menyasar startup di bidang finansial, konsumer, dan ekonomi digital.

Ketika dihubungi DailySocial.id, perwakilan Northstar enggan berkomentar atas rumor pasar, tapi ditegaskan bahwa perusahaan memang punya ketertarikan di area tersebut [berinvestasi ke startup seed].

Sebelumnya Northstar dikenal sebagai investor startup tahap akhir dan/atau korporasi — ukuran tiket investasinya bisa mencapai $20 juta. Akhir tahun 2021 lalu, perusahaan juga baru mengumumkan penutupan dana “flagshipNorthstar Equity Partners V Limited dengan nilai komitmen $590 juta atau sekitar 8,3 triliun Rupiah.

Secara total saat ini Northstar mengelola portofolio dengan nilai lebih dari $2,5 miliar (lebih dari 35 triliun Rupiah). Adapun tahun ini mereka juga berpartisipasi dalam pendanaan lanjutan sejumlah startup lokal, seperti Moladin, Pintu, DailyBox, Sayurbox, dan NOICE.

Untuk memperluas cakupannya,  Northstar juga telah bermitra dengan Google sepakat membentuk joint business plan. Fokusnya untuk bersama-sama mempercepat pertumbuhan ekonomi digital di Asia Tenggara.

Diterangkan oleh salah satu direktur perusahaan, melalui inisiatif tersebut Northstar akan fokus pada investasi dan mengalokasikan sumber daya untuk memberikan pengetahuan pasar lokal. Sementara Google akan banyak membantu di unsur teknologi, juga mengajarkan praktik terbaik dari studi kasus global.

Sequoia Southeast Asia Debut Dana Kelolaan 12,5 Triliun Rupiah, Mayoritas Suntik Startup Indonesia

Sequoia Southeast Asia mengumumkan dana kelolaan perdana untuk kawasan Asia Tenggara senilai $850 juta (lebih dari 12,5 triliun Rupiah). Pemodal ventura tersebut akan menyuntik startup potensial dari berbagai tahapan, mulai dari tahap awal sampai tahap pertumbuhan. Menariknya mereka bilang akan menjadikan Indonesia sebagai negara prioritas.

Managing Director Sequoia Southeast Asia Abheek Anand menyampaikan, selama lebih dari 10 tahun terakhir perusahaan telah berinvestasi di beberapa putaran awal dari beberapa startup Indonesia, termasuk Gojek, Tokopedia, Kopi Kenangan, Bibit, Lummo, dan lainnya. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi digital, pihaknya melihat ledakan jumlah founder yang membangun generasi perusahaan legendaris berikutnya.

“Kami berharap dapat bermitra dengan mereka langsung dari tahap ide hingga IPO dan seterusnya, dan membawa pengalaman investasi global dan pembangunan perusahaan selama lima dekade untuk membantu berkontribusi bagi masa depan ekonomi digital Indonesia,” ucapnya dalam keterangan resmi, Selasa (14/6).

Komitmen serius Sequoia ini berawal dari eksperimen kecil di sebuah ruangan dalam gedung sepi di Singapura sejak 10 tahun lalu. Setelah menghabiskan banyak waktu di sini, ekosistem teknologi di kawasan ini menunjukkan banyak tanda awal pertumbuhan yang sama seperti telah terlihat di India dan Tiongkok. Dengan total tim kini sebanyak 40 orang dari 12 kewarganegaraan, Sequoia kini memiliki sejumlah portofolio dari investasi-investasi awal, ventura dan pertumbuhan, dan program akselerator seperti Surge dan Spark.

Untuk menyuntik lebih banyak startup di Asia Tenggara, mereka akan terus membawa tim spesialis portofolio besarnya untuk bermitra dengan para founder di saat-saat paling penting mereka dan mendorongnya melalui program akselerator. Juga, menggandakan inisiatif untuk berkolaborasi di seluruh ekosistemnya — dengan founder, pemerintah, rekan investor, dan mitra — untuk membantu kawasan Asia Tenggara menjadi lebih besar, lebih sehat, dan lebih berkelanjutan daripada sebelumnya.

Program akselerator

Salah satu program yang menjadi unggulan dari Sequoia Capital adalah Surge. Melalui program ini startup yang masih dalam tahap awal, bisa mendapatkan mentoring hingga dukungan capital yang relevan. Surge menggabungkan modal awal $1 juta hingga $2 juta dengan dukungan pembangunan perusahaan, kurikulum global, dan dukungan dari komunitas mentor dan pendiri startup.

“Kami melihat program Surge menjadi langkah awal bagi startup yang masih berada dalam tahap awal. Kami ingin menjalin kemitraan dengan lebih banyak lagi startup di Indonesia,” kata Abheek secara terpisah dalam wawancara bersama DailySocial.id.

Bagi mereka yang sudah masuk dalam program Surge dan berhasil mengantongi pendanaan, ke depannya jika memiliki potensi, Sequoia akan memberikan investasi dalam putaran pendanaan selanjutnya. Dengan demikian, program Surge menjadi pembuka bagi mereka untuk bisa mendapatkan kesempatan pendanaan lanjutan.

Startup yang awalnya merupakan lulusan program Surge dan berhasil mengantongi investasi tahapan lanjutan dari Sequoia Capital di antaranya adalah Lummo dan Qoala. Saat ini tercatat sudah ada 9 startup lulusan program Surge. Sementara Sequoia Capital sendiri sudah terlibat dalam 22 startup di Indonesia. Di antaranya adalah Traveloka, Gudangada, GoTo, hingga Kopi Kenangan.

Berikutnya, program Sequoia Spark yang diinisiasi oleh Sequoia India untuk mendukung usaha para perempuan. Program dana hibah sebesar $100.000 beserta pendampingan ini, ingin mengajak lebih banyak perempuan di India dan kawasan Asia Tenggara untuk menjadi pengusaha.

Program ini diadakan dengan menyediakan pendampingan langsung yang mendalam kepada 15 startup yang dipimpin oleh perempuan setiap tahunnya dan modal cukup sebagai biaya awal untuk memulai usaha. Kohort pertama dari program Sequoia Spark terdiri dari berbagai macam bidang, termasuk edtech, fintech, SaaS, dan crypto. Kohort ini menggabungkan tujuh startup dari Asia Tenggara, tujuh dari India dan satu dari Uni Emirat Arab. Dari Indonesia Sribuu berhasil mendapatkan mentoring dan pendanaan awal dari Sequoia Capital.

Mentoring merupakan bagian dari Sequoia, kami bukan hanya bertindak sebagai mitra bisnis tapi juga bisa membantu mereka berupa mentoring melalui program yang kami tawarkan. Diharapkan bisa membantu komunitas karena semua program kami bangun berdasarkan tahapan yang ada. Mulai dari Surge untuk startup tahap awal, Spark untuk perempuan dan kami juga memiliki program bagi startup yang telah masuk dalam tahapan lanjutan seperti seri B hingga mereka yang sudah menjadi unicorn dan decacorn,” kata Abheek.

1982 Ventures Tutup Dana Kelolaan Awal 292 Miliar Rupiah, Jadikan Indonesia sebagai Pasar Inti

1982 Ventures mengumumkan penutupan akhir dari dana kelolaan awal mereka senilai lebih dari $20 juta atau setara 292 miliar Rupiah dalam bentuk komitmen modal. Dana tersebut diklaim mengalami kelebihan permintaan atau oversubscribed, target awalnya mengumpulkan sekitar $15 juta.

Perusahaan modal ventura yang didirikan Scott Krivokopich dan Herston Elton Powers ini sejak awal debutnya memfokuskan untuk berinvestasi kepada startup di Asia Tenggara. Secara keseluruhan mereka telah berinvestasi kepada 25 usaha rintisan di berbagai negara di Asia Tenggara, Pakistan, dan Bangladesh.

“Kami mempercepat laju investasi meskipun ada sentimen [negatif] pasar saat ini. Layanan fintech tahap awal di Asia Tenggara tetap menjadi sektor yang paling menarik untuk modal ventura,” kata Herston.

Dana pertama mereka telah didukung oleh VC, institusi, perusahaan dan kantor keluarga global. Investor terkemuka di dana debut 1982 Ventures termasuk kantor keluarga dari salah satu konglomerat terbesar di Indonesia, Trihill Capital, fintech unicorn AS Carta, hingga unit ventura Genting Group.

Sementara itu pendukung individu 1982 Ventures termasuk di antaranya pendiri startup unicorn, eksekutif senior perusahaan teknologi, partner di VC seperti salah satunya Sheel Mohnot (Better Tomorrow Ventures).

“Kami adalah fintech fund global dan telah melihat bagaimana fintech mengubah semua pasar. 1982 Ventures adalah pilihan yang jelas bagi kami untuk pendanaan dan menjadi mitra yang memahami lanskap layanan fintech di Asia Tenggara,” Co-Founder & General Partner Better Tomorrow Ventures Sheel Mohnot.

Rencana di Indonesia

1982 Ventures memimpin putaran pendanaan pre-seed dan seed dengan tiket investasi senilai $250 ribu hingga $500 ribu. Perusahaan menargetkan bisa melakukan 10-15 investasi baru, selain investasi lanjutan yang ada dalam portofolio Fund I mereka.

1982 Ventures memiliki komitmen awal lebih dari $5 juta untuk Fund II yang akan segera diumumkan.

Khusus untuk Indonesia saat ini sudah ada sekitar 9 startup yang telah mendapatkan investasi dari 1982 Ventures. Di antaranya adalah aman, Citycall, hipajak, Luna, Monit, PasarMikro, Pina, Wagely dan Brick.

“1982 Ventures memimpin putaran VC pertama kami dan Brick sangat beruntung memiliki investor yang hidup dan bernafaskan fintech dan selalu siap mendukung kami dengan pengenalan investor, pelanggan, dan talenta,” kata Co-Founder & CEO Brick Gavin Tan.

Kepada DailySocial.id Herston menyebutkan, Indonesia adalah pasar inti untuk 1982 Ventures dan mereka berharap dapat meningkatkan investasi ke startup fintech Indonesia.

Jungle Ventures Tutup Dana Kelolaan Keempat Senilai 8,8 Triliun Rupiah

Jungle Ventures menutup dana kelolaan keempat (Fund IV) senilai $600 juta atau sekitar 8,8 triliun Rupiah. Pendanaan ini membawa total Aset Under Management (AUM) yang dikelola Jungle Ventures melampaui $1 miliar atau 14,6 triliun Rupiah.

Berdasarkan keterangan resminya, Fund IV disebut mengalami permintaan berlebih (oversubscribe) dari target awal senilai $350 juta. Lebih dari 50% pendanaan disuntik oleh investor existing, termasuk Temasek, International Finance Corporation, FMO, DEG, serta investor global baru, seperti StepStone Group.

Adapun, dari total pendanaan yang diperoleh, sebesar $450 juta merupakan investasi utama, sedangkan sisanya $150 juta masuk ke dalam komitmen tambahan.

Catatkan pertumbuhan AUM 100x

Jungle Ventures didirikan oleh Amit Anand dan Anurag Srivastava pada 2012 dengan pendanaan awal senilai $10 juta. Sejak itu, Jungle Ventures mencatat pertumbuhan AUM 100 kali dalam 10 tahun dengan berpegang pada visi “build to last.

Jungle Ventures berupaya mendorong pelaku usaha di India dan Asia Tenggara yang tangguh teruji waktu, terukur, dan konsisten. Pihaknya menyebut portofolionya memiliki enterprise value lebih dari $12 miliar dengan hanya menginvestasikan sebesar $250 juta dan rasio kerugian kurang dari 5%.

Jungle Ventures telah menanamkan investasi di sejumlah vertikal bisnis, mulai dari digital bank, social commerce, Web3, hingga SaaS. Tesis investasinya adalah ide bisnis berbasis teknologi yang capital-efficient yang dapat mengakomodasi kebutuhan konsumen dan UMKM. Pihaknya juga membidik perusahaan yang berdiri di Asia dan ingin berkembang ke skala global.

Beberapa portofolio Jungle Ventures di Indonesia mencakup Kredivo, Sociolla, Evermos, Hypefast, dan Waresix. Kredivo termasuk salah satu portofolio yang menerima pendanaan tahap awal (seed) dari Jungle Ventures hingga mencapai status unicorn.

Fokus investasi

Founding Partner Jungle Ventures Amit Anand mengatakan pihaknya telah membantu portofolio dalam mencapai pertumbuhan dan regionalisasi bisnis untuk memimpin pasar konsumen yang luas dan berkembang cepat di dunia.

“Dengan Fund IV, Jungle Ventures bertujuan memperkuat posisi ini sambil melanjutkan pendekatan membangun ‘portofolio yang terkonsentrasi’, dengan membuat proyeksi 15-18 investasi di India dan Asia Tenggara,” ungkap Anand.

Untuk merealisasikan target ini, Jungle Ventures terus mengembangkan talenta-talent yang dimilikinya. Baru-baru ini, Jungle Ventures telah mempromosikan Yash Sankrityayan, Sandeep Uberoi, dan Manpreet Ratia sebagai Managing Partner di perusahaan, bergabung dengan jajaran kepemimpinan Jungle, yang terdiri dari David Gowdey, dan Founding Partners Amit Anand dan Anurag Srivastava.

Dalam wawancara dengan DailySocial.id di 2020, Amit Anand mengungkap melakukan pendekatan investasi portofolio yang terkonsolidasi dengan agenda membantu pengembangan kepemimpinan secara langsung, memberikan modal jangka panjang, sekaligus membantu penataan neraca keuangan, berinvestasi bersama, dan kemitraan strategis.

“Kami percaya bahwa teknologi dapat menghubungkan manusia antarkota dan negara dengan tetap beradaptasi dengan budayanya. Kami berinvestasi pada founder yang memiliki visi sama dalam menghubungkan ekonomi digital ini untuk mengatasi keterbatasan dalam model bisnis dan pangsa pasar.” Ungkapnya kala itu.

Sinar Mas Land Luncurkan “Urban Gateway Fund”, Bidik Startup Pengembang Inovasi Kota Pintar

Sinar Mas Land mengumumkan kerja sama strategis dengan East Ventures, Redbadge Pacific, dan Prasetia Dwidharma untuk meluncurkan “Urban Gateway Fund (UGF)”. Dana kelolaan ini disiapkan untuk investasi startup tahap awal yang bergerak pada pengembangan tata kota.

Selain ketiga pemodal ventura di atas, Sinar Mas Land juga menggandeng pengembang asal Korea Selatan GS E&C, yang juga akan menjadi salah satu investor dan mitra strategis UGF dalam jangka panjang di Indonesia.

UGF membidik startup di bidang urban dan proptech yang menjadi kebutuhan mendasar bagi pembangunan perkotaan di masa depan. Ada enam sektor pengembangan utama antara lain mobilitas dan transportasi, teknologi properti, analisis data dan AI, ritel omnichannel, pengelolaan sumber daya berkelanjutan, dan smart city tech.

Group CEO Sinar Mas Land Michael Widjaja berharap akselerasi keenam sektor tersebut dapat memenuhi kebutuhan pengembangan urban bagi generasi selanjutnya. “Dalam upaya transformasi BSD City menjadi integrated smart digital city, kami membuka peluang bagi pelaku startup untuk memberikan ide dan solusi yang memperkaya ekosistem kota ini,” tuturnya dalam keterangan resmi.

CFO Prasetia Dwidharma Ardi Setiadharma menambahkan, UGF dapat menjadi sarana tepat bagi lulusan program akselerator Escalate untuk berkontribusi terhadap pengembangan kota pintar. Sekadar informasi, sebelumnya Prasetia Dwidharma telah menjalin kerja sama dengan Sinar Mas Land pada program Escalate.

“Dalam program Escalate, kami sama-sama mendukung startup untuk tumbuh di ekosistem Sinar Mas Land. Kami bersemangat hadir bersama UGF agar dapat memampukan lebih banyak startup lokal dalam menampilkan teknologi dan solusi mereka,” ujar Ardi.

Fasilitas dan ekosistem

Lebih lanjut, rencananya UGF akan menyediakan akses ke ekosistem kota pintar di BSD City dan ekosistem milik Sinar Mas Land melalui tiga tahap. Pertama, UGF menyediakan fasilitas di mana startup terpilih dapat menggunakan platform uji coba dan mengintegrasikan ide/prototype ke ekosistem Sinar Mas Land.

Kedua, startup terpilih dapat menginkubasi dan memvalidasi pilihan solusi dalam pengembangan tata kota. Terakhir, startup terpilih mendapatkan kesempatan untuk bekerja sama dengan pemimpin Sinar Mas Land dalam pengembangan kota dan manajemen properti.

Sebagai informasi, Sinar Mas Land merupakan anak usaha konglomerasi Sinar Mas yang merupakan salah satu pengembang properti terbesar di Indonesia. Sinar Mas Land terdiri dari dua pengembang besar, yakni Bumi Serpong Damai dan Duta Pertiwi.

Menurut Managing Partner of Redbadge Pacific Timothy Yong, BSD City dinilai memiliki ekosistem dan captive market yang dapat mendorong pertumbuhan startup di bidang urban dan proptech. “Ini juga akan mendorong kehadiran startup lain. Dukungan strategis dan ekosistem menjadi hal yang penting bagi startup proptech untuk bisa berkembang di tahap awal.” Tutupnya.

Fund Amount Participant(s) Vertical/Focus
Urban Gateway Fund N/A Sinar Mas Land; bermitra dengan East Ventures, Redbadge Pacific, dan Prasetia Dwidharma Proptech, Urban
Bio-Health Fund $20 million (Rp292 billion) Bio Farma and MDI Ventures Biotech, healthtech
Fundnel Secondaries Fund $50 million (Rp727 billion) Fundnel Group and BRI Ventures Late-stage startups
Ratu Nusa Fund $10 million (Rp143 billion) Gobi Partners and Ozora Yatrapaktaja Women founders, healthtech, e-commerce, proptech, education, fintech, dan enterprise
IDN Live Streamer Fund Rp50 million IDN Media Content creator, live streamer
Indonesia Impact Fund N/A Mandiri Capital Indonesia and UNDP Social impact
Luno Expeditions N/A Luno Fintech, Web3, Crypto
Teja Ventures $10 million (Rp143 billion) Teja Ventures New economy, fintech, edtech
Cydonia Fund N/A Indogen Capital and Finch Capital Web3

Dana kelolaan yang diluncurkan di sepanjang 2022

Sebelumnya, pemerintah menyebut bahwa pengembangan smart city menjadi mendesak dan signifikan seiring dengan meningkatnya tantangan kependudukan. Bahkan sekitar 82,37% dari total populasi di Indonesia diproyeksi akan tinggal di perkotaan.

MDI Ventures dan Bio Farma Bentuk Dana Kelolaan 292 Miliar Rupiah untuk Startup Biotech

MDI Ventures dan Bio Farma membentuk dana kelolaan baru “Bio Health Fund” sebesar $20 juta atau sekitar 292 miliar Rupiah. Melalui dana kelolaan ini, keduanya membidik investasi startup early dan growth stage yang berfokus pada bidang biotech dan layanan kesehatan di Indonesia.

Dalam keterangan resminya, Bio-Health Fund ditargetkan dapat memberikan sinergi kepada Bio Farma sebagai salah satu LP utama. Sekaligus membuka peluang untuk meningkatkan kapabilitas Bio Farma dalam bidang penelitian biotech dan layanan kesehatan secara end-to-end.

“Saat ini industri kesehatan di Indonesia memiliki berbagai tantangan, termasuk bagaimana mengembangkan teknologi baru terkait bio science, farmasi, dan healthtech. Ini menjadi alasan Kementerian BUMN melalui Bio Farma, Kimia Farma, dan Indofarma, untuk berinvestasi teknologi dengan MDI Ventures,” tutur Wakil Menteri BUMN I Pahala Nugraha Mansury.

Sementara, Direktur Utama Bio Farma Honesti Basyir mengungkap, Bio Farma memiliki nilai kuat dengan posisinya sebagai produsen farmasi dan penyedia layanan kesehatan. Hal ini akan memberi nilai tambah bagi startup biotech untuk melakukan go-to-market.

“Bio-Health Fund tidak membatasi fokus geografi investasinya, terbuka untuk produk dan solusi yang dapat berkontribusi dan memberikan nilai tambah bagi sektor penyedia kesehatan di Indonesia,” tambah Honesti.

Sebagai informasi, Bio Farma merupakan anak usaha BUMN Farmasi yang bergerak di bidang kesehatan secara end-to-end di antaranya R&D, manufaktur, distribusi, hingga retail apotek, klinik, dan lab klinik. Bio Farma menyebut sebagai satu-satunya produsen vaksin manusia di Indonesia dan terbesar di Asia Tenggara.

Sementara MDI Ventures merupakan perpanjangan tangan untuk investasi Telkom Group. Total portofolionya mencapai 64 di mana tiga di antaranya merupakan startup healthtech, yakni Alodokter, mClinica. dan Heals.

Transformasi berbagai sektor

Selain vaksin dan serum, Bio Farma akan menambah portofolio produk dengan berinovasi bersama startup untuk memproduksi kit diagnostik berupa mBio-Cov dan Biosaliva. “Ini menjadi bagian dari inovasi untuk produk life science dan healthtech sebagai ultimate goal kami membentuk ekosistem kesehatan nasional,” tambah Honesti.

Sementara itu, COO & Risk Management MDI Ventures Sandhy Widyasthan mengatakan biotech punya potensi untuk mentransformasi, tak hanya sektor kesehatan, tetapi juga pertanian dan manufaktur di Indonesia.

“Selama dua tahun terakhir, MDI telah berinvestasi di sektor kesehatan dan investasi biotech dengan saran dari Bio Farma. Kami melihat biotech dapat menjadi the next frontier di teknologi yang sudah matang untuk ekspansi lebih cepat,” ucapnya.

Biotech atau biotechnology didefinisikan sebagai proses pemanfaatan bagian dari makhluk hidup untuk menghasilkan produk berupa barang atau jasa yang bermanfaat bagi manusia. Bioteknologi dapat diterapkan dapat pembuatan pangan, pengolahan limbah, hingga menghasilkan bibit dan produksi tanaman.

Biotech di Indonesia

Mengutip Bisnis.com, Bendahara Asosiasi Modal Ventura dan Startup Indonesia (Amvesindo) Edward Ismawan Chamdani menilai startup biotech belum dapat tumbuh optimal di Indonesia karena sejumlah faktor, seperti aturan yang kompleks dan kurangnya kompetitor.

Rata-rata pemain biotech dipegang oleh perusahaan besar dan konglomerasi. Sementara startup-startup berbasis riset membutuhkan waktu lebih lama untuk go-to market karena kurangnya pendanaan dan tidak punya kepastian pendapatan.

Menurut Koordinator Pusat Inovasi dan Inkubator Bisnis Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Dianta Sebayang, potensi pertumbuhan startup biotech cukup besar selama diimbangi dengan dukungan pemerintah untuk membangun ekosistem yang dibutuhkan, termasuk kesiapan SDM.

“Startup bioteknologi adalah perusahaan yang membutuhkan SDM yang andal tidak hanya secara digital, tetapi juga secara multiteknologi, kedokteran, kimia, biologi, nanoteknologi, dan lainnya. Selama ini fokus di Indonesia masih lebih banyak pada talenta digital untuk kebutuhan jasa saja,” katanya.