PlayGame.com Ingin Revolusi Industri Game dengan Blockchain

PlayGame.com sebelumnya adalah platform yang dimanfaatkan Anton Soeharyo (Co-Founder Touchten) untuk mempublikasikan game yang dapat dimainkan secara live. Kini platform tersebut berevolusi menjadi sebuah unit baru. Masih seputar dunia game, kali ini Anton (CEO PlayGame.com) bersama Aria Rajasa (CIO PlayGame.com & Founder Tees), dan Batista Harahap (CTO PlayGame.com & Co-Founder Prism) menyajikan konsep yang jauh lebih revolusioner.

Memanfaatkan teknologi blockchain, PlayGame.com mencoba menyelesaikan masalah menahun yang sering dialami pengembang dan penerbit game. PlayGame.com akan menjadi platform untuk mendistribusikan game (direct-to-play gaming platform) dan menjadi tempat penggalangan dana (crowdfunding) hal-hal berkaitan dengan pengembangan game. Konsepnya memadukan ekonomi virtual dengan ekonomi konvensional menggunakan cryptocurrency.

Software Development Kit (SDK) yang dirilis memungkinkan pengembang atau penerbit game untuk menerapkan bisnis berbasis token mereka sendiri di game yang dikembangkan. Implementasinya dapat dielaborasikan dengan berbagai fitur, misalnya untuk penghargaan loyalitas pengguna. Bisnis berbasis token diterapkan untuk tiga area: (1) pool-price game competition, (2) crowdfunding platform, dan (3) ad network & retention.

Manfaat yang didapatkan melalui platform PlayGame / PlayGame
Manfaat yang didapatkan melalui platform PlayGame / PlayGame

“Kami ingin menyediakan ekosistem yang lengkap untuk pengembang game, mencakup saluran distribusi melalui situs PlayGame.com, SDK untuk monetisasi dengan token kami, dan paltform untuk crowdfunding yang kami sebut dengan FunFund,” tulis tim PlayGame.com dalam publikasinya.

PlayGame.com juga menjadi Launchpad Project pertama Tokenomy. Tokenomy merupakan platform token global untuk berbagai proyek berbasis blockchain yang didirikan Founder INDODAX Oscar Darmawan.

PlayGame Token

PlayGame Token (PXG) adalah token ERC20 dengan platform smart-contract yang memungkinkan penerbit, pengembang, dan komunitas game untuk melakukan monetisasi atas produknya secara langsung dari pengguna cryptocurrency di seluruh dunia. Akan ada satu miliar token yang dibuat dan didistribusikan. PXG memanfaatkan Ethereum, karena fleksibilitas dan tingkat adopsi yang dimiliki dari sistem blockchain tersebut. Blockchain akan bertindak sebagai basis data multi-game dan menyimpan seluruh skor permainan secara aman.

Selain itu dengan blockchain diharapkan membuat para pemain yakin bahwa game yang diletakkan di platform PlayGame.com nantinya akan berlaku adil. Pengembang game  juga akan memiliki jaminan soal pembayaran yang transparan. Data kepemilikan disimpan secara aman di blockchain, dengan smart-contract untuk memastikan tidak ada manipulasi atau penipuan. Saat pre-sale, 18.000 PXG dihargai dengan 1 Ethereum.

Roadmap pengembangan PlayGame / PlayGame
Roadmap pengembangan PlayGame / PlayGame

Proses ICO (Initial Coin Offering) sendiri akan segera dimulai di kuartal ketiga tahun ini. Dilanjutkan peluncuran demo website dan SDK pada kuartal keempat. Untuk proses bisnisnya sendiri direncanakan dimulai Januari 2019, dengan target peluncuran secara global di kuartal ketiga 2019, termasuk ekspansi ke Jepang dan Tiongkok. Di masa permulaan, PlayGame.com akan berbasis di Singapura.

“Selama satu dekade mengembangkan Touchten, saya menyadari bahwa membuat game memerlukan biaya yang mahal dan sulit untuk menghasilkan uang. Belum lagi distribusi game yang memotong 30% (dari keuntungan yang seharusnya didapat). Proses membuat game seharusnya tidak perlu rumit, saya percaya blockchain dan cryptocurrency dapat membantu kami para developer untuk tetap tumbuh berkelanjutan,” ujar Anton.

Dukungan investor

Aria Rajasa, Anton Soeharyo, dan Oscar Darmawan / Tokenomy
Aria Rajasa, Anton Soeharyo, dan Oscar Darmawan / Tokenomy

Selain tim inti yang sudah berpengalaman di bisnis digital, PlayGame.com turut didukung sejumlah advisor. Mereka adalah Andrew Darwis (Co-Founder Kaskus), Oscar Darmawan (CEO INDODAX & Tokenomy), Mizune Kazuhiro (CEO Quan Inc), dan beberapa lainnya. Sementara itu investor yang tercatat sudah bergabung dalam inisiatif tersebut termasuk Ideosource dan Digital Nusantara Capital (DNC).

“Saya adalah seorang gamer dan saya percaya semua orang sejatinya menyukai game. Saat ini game adalah bagian dari gaya hidup. Kami percaya PlayGame dapat merombak industri game di regional. Tokenomy merasa bangga bisa membimbing PXG dan memastikan semua hal berjalan lancar serta aman,” sambut Oscar.

Promosikan Pengembang Game Lokal, Bekraf Game Prime Kembali Digelar

Masih rendahnya minat investor hingga kualitas talenta pengembang game lokal saat ini, menjadi sorotan dari Asosiasi Game Indonesia (AGI). Dalam acara konferensi pers Bekraf Game Prime 2018, Presiden Asosiasi Game Indonesia (AGI) Narenda Wicaksono mengungkapkan, kegiatan ini bisa dijadikan kesempatan bagi pengembang lokal untuk mempromosikan sekaligus memperluas networking dengan pihak terkait.

“Lakukan juga uji coba game yang saat ini sedang dikembangkan kepada publik. Dengan demikian feedback langsung dari target pengguna bisa didapatkan. Selain itu siapkan elevator pitch saat bertemu dengan investor yang hadir di acara tersebut,” kata Narenda.

Tahun ini Bekraf bersama AGI dan Idea Network memiliki misi untuk mempromosikan karya pengembang lokal, bukan hanya di tanah air namun juga secara global. Dengan demikian diharapkan bisa memancing lebih banyak lagi minat dari generasi muda untuk menjadi pengembang game.

“Jika kita lihat tahun ini eSport mulai banyak digemari oleh pecinta mobile game di Indonesia. Selain memberikan kesempatan untuk melihat langsung karya pengembang lokal, pengunjung juga bsa bertemu langsung dengan pengembang game asing,” kata CEO Idea Network Ricky Setiawan.

Nantinya sekitar 70-80 booth akan diisi oleh pengembang game lokal untuk mempromosikan karya game mereka. Mulai dari mobile game, console hingga PC Game, Semua bisa ditemui saat acara Bekraf Game Prime, yang bakal digelar pada tanggal 13-15 Juli 2018. Serupa dengan tahun sebelumnya, kegiatan ini akan dibagi menjadi dua konsep, yaitu untuk kalangan B2B dan B2C.

Peranan AGI untuk pengembang game lokal

Sebagai asosiasi yang fokus kepada pertumbuhan pengembang game lokal, AGI kerap memberikan dukungan keada pengembang lokal yang kebanyakan adalah entitas, untuk bisa mempromosikan karyanya secara global. Tercatat saat ini Indonesia menduduki peringkat 20 sebagai negara pengembang game yang memiliki potensi cerah.

“Memang tidak mudah untuk mengembangkan game yang sukses dan disukai pengguna. Sedikitnya dibutuhkan waktu sektar tiga tahun, hingga game tersebut berhasil seperti yang telah dilakukan oleh Agate dan pengembang game Tahu Bulat,” kata Narenda.

Meskipun AGI tidak menuntut semua pengembang game untuk masuk kedalam asosiasi, namun dengan bergabungnya mereka yang kebanyakan dari kalangan individu atau kurang dari 3 orang, bisa mendapatkan kesempatan untuk memperluas jaringan hingga meningkatkan kualitas talenta. Dengan demikan, produk yang baik dan tepat sasaran bisa diciptakan.

AGI sendiri bersama dengan Bekraf saat ini tengah menyiapkan platform untuk pengembang lokal mendapatkan pelatihan hingga kesempatan untuk mengembangkan produk game.

“Tentunya tidak ada formula yang efektif untuk game yang ideal dan berpotensi untuk laku di pasaran. Semua mengikuti tren dan tentunya tergantung dari kualitas game itu sendiri,” kata Narenda.

BEKRAF Game Prime 2018 Kembali Diselenggarakan

Setelah sukses di tahun 2017, acara BEKRAF Game Prime akan kembali diadakan. Tahun ini, BEKRAF Game Prime 2018 akan diselenggarakan tiga hari berturut-turut dengan agenda Business Day dan Public Day. Untuk menyukseskan acara ini, BEKRAF menggandeng IDEA Network dan Asosiasi Game Indonesia (AGI). Acara akan diselenggarakan mulai tanggal 13 – 15 Juli 2018.

Hari pertama akan digelar Business Day bertempat di Hotel Ayana Midplaza Jakarta. Di sini para pelaku di industri game dari dalam dan luar negeri akan dikumpulkan untuk saling bertukar pikiran dan membangun relasi. Tujuannya agar tercipta kolaborasi jangka panjang untuk meningkatkan kualitas industri game nasional.

Sesi Business Day juga akan diisi dengan kegiatan seminar dari para pakar di bidang pengembangan game. Beberapa materi yang akan disampaikan termasuk tips untuk mengoptimalkan jaringan bisnis, kiat bekerja sama dengan perusahaan asing, manajemen proyek untuk pengembang game, dan beberapa materi lainnya. Seluruh rangkaian kegiatan ini dapat diikuti secara gratis oleh para pelaku di industri game nasional.

Untuk saat ini pendaftaran sesi Business Day telah dibuka. Formulir pendaftaran dan informasi lebih lanjut dapat ditemukan melalui situs resmi Game Prime 2018 di http://event.gameprime.org. Sedangkan untuk acara Public Day akan diumumkan kemudian hari terkait detail dan konten acara yang ditawarkan. Sesi tersebut akan bertempat di Balai Kartini, Jakarta pada tanggal 14 dan 15 Juli 2018.

Tahun lalu, BEKRAF Game Prime 2017 mencatatkan sejarah baru di industri game Indonesia. Digelar selama tiga hari berturut-turut, acara tersebut berhasil menyedot animo lebih dari 13.000 pengunjung dari seluruh Indonesia. BEKRAF Game Prime 2017 pun bukan hanya menjadi acara industri game terbesar di Indonesia, melainkan juga salah satu pagelaran industri game papan atas di kawasan Asia Tenggara.


Disclosure: DailySocial merupakan media partner acara BEKRAF Game Prime 2018

DStour #35: Menikmati Ruangan Kerja Desain Minimalis di Kantor Agate

Jika sebelumnya sudah dirilis obrolan DScussion dengan CEO Agate, edisi DStour terbaru kali ini DailySocial turut menyuguhkan pesona di kantor Agate yang terletak di Bandung Jawa Barat. Gedung kantor yang memiliki desain modern dan minimalis ini, memiliki ruangan kerja yang cukup luas menampung jumlah pegawai yang semakin banyak.

Satu keunikan yang dimiliki oleh kantor Agate adalah untuk setiap tamu yang datang wajib untuk melepaskan sepatu dan menggantinya dengan sandal Agate yang sudah disiapkan. Simak liputan selengkapnya di kantor Agate.

Haru Biru Andi Taru Mendirikan Educa Studio

Andi Taru begitu terkejut ketika istrinya, Idawati, mengabarkan dirinya terkena PHK. Pemutusan hubungan kerja itu membuat masalah rumah tangga mereka semakin runyam. Pasalnya, bisnis Andi, pengembang game online, lagi mandek dan terancam bangkrut. Kejadian ini terjadi sekitar lima tahun lalu di kota kelahiran pasang pengantin baru itu, Salatiga.

Dalam beberapa hari, gelar pengantin baru berubah menjadi pasangan suami istri pengangguran. Keran sumber penghasilan keduanya macet. Yang tersisa hanya tabungan yang mereka punya. Dalam keadaan terjepit, konon otak manusia menjadi lebih kreatif. Survival Spirit. Keduanya memutar otak bagaimana menciptakan sumber penghasilan baru.

Andi memang penggemar game sejak jadi mahasiswa Teknologi Informasi di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga. Meskipun demikian, itu sekadar melampiaskan hobi saja, belum ada niatan untuk menjadikannya sebagai sumber mata pencaharian utama.

Setelah berdiskusi panjang lebar dengan istri, keduanya sepakat untuk membangun game khusus anak. Alasannya simpel. Saat itu belum banyak produk game edukasi khusus anak beredar di pasaran. Pasangan ini kemudian melakukan riset game anak seperti apa yang mau dibuat.

Pangsa pasar game edukasi cukup luas. Jenjangnya mulai dari PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) sampai kuliah. Idawati, yang juga lulusan Teknologi Informasi, menyarankan Andi menciptakan game untuk usia yang paling “dini”, baru perlahan ke jenjang yang lebih tinggi.

Keduanya lantas berbagi tugas. Andi memegang bagian pemrograman, sementara istrinya bagian riset dan desain. Ruang tamu berukuran seadanya diubah menjadi kantor kecil. Kelak, ruang ini yang menjadi cikal bakal lahirnya Educa Studio dan kini terus berkembang menjadi pengembang game yang mampu bertahan dengan seri-seri game-nya.

Sepanjang tahun 2012, Andi dan Idawati bertahan hidup dari sisa tabungan sembari merintis bisnis game mereka.

Proses memulai yang tidak mudah

Proses pembuatan game pertama memakan waktu selama tiga bulan. Biayanya ditekan seminim-minimnya. Untuk tetap hidup, keduanya mematok dana Rp10 ribu untuk makan berdua. Aset terbesar adalah kedua laptop yang mereka miliki. Tidak ada konektivitas Wi-Fi di ruang tamu mereka. Untungnya internet saat itu tidak begitu diperlukan karena kebutuhannya hanya sesekali.

Demi menghemat budget, orang-orang terdekat dikerahkan sebagai talenta. Sang adik menjadi voice talent pada game. Lalu untuk urusan musik dikerjakan teman sendiri. Bila ditotal, biaya yang dihabiskan untuk buat produk pertama sekitar Rp9 juta.

Tiga bulan kemudian, tepatnya tanggal 1 Oktober 2012, judul mobile game pertama Andi dan Ida dirilis di Google Play. Namanya Marbel, yang berasal dari kata “Mari Belajar Sambil Bermain”. Sebelumnya, Marbel sudah ada versi PC di tahun 2011, tapi keduanya memutuskan untuk fokus ke mobile game, sebab di sanalah pasar yang belum tersentuh.

Versi pertama game Marbel ini sangat simpel. Hanya ada dua menu, play dan learn. Untuk menu learn, ada kartu yang bisa digeser-geser dan ditebak itu huruf apa. Pasca game Marbel dirilis, dapat diterima dengan baik oleh pengguna. Keduanya memanfaatkan semua masukan para pengunduh untuk terus memperbaiki kualitas.

Mumpung pasar mobile game anak belum banyak, pasutri pecinta dunia game ini memutuskan untuk berani mengambil pinjaman ke bank. Orangtua pun merestui bahkan mendukung dengan membolehkan keduanya menjaminkan sertifikat rumah sebagai agunan.

Karakter game yang dibuat Educa Studio / Educa Studio
Karakter game yang dibuat Educa Studio / Educa Studio

Bank yang bersedia memberi pinjaman adalah BRI dengan plafon Rp200 juta dan bunga 9% per bulan untuk tenor dua tahun.

Langkah pinjam ke bank ini diakui Andi cukup nekat. Pada saat itu “lebih mudah” jika mereka mencari investor modal ventura atau angel investor. Apalagi pada waktu itu bisnis game edukasi anak masih dianggap sebelah mata karena tidak seksi. Sayangnya, keduanya membutuhkan dana segar dalam waktu cepat dan jawaban untuk kebutuhan tersebut, yang ada di depan mata, adalah bank.

“Sejak dapat pinjaman, ada kelegaan sekaligus tanggung jawab berat yang harus saya tanggung. Ada sertifikat rumah yang harus segera ditebus. Kalau Educa Studio tidak jalan bisa fatal dampaknya. Beruntung pada awal-awal kami dibantu orang tua mengangsur kredit, jadi kami saling patungan,” Andi mengenang masa-masa sulitnya.

Kebetulan, orang tua Andi punya mimpi ingin punya perpustakaan dan sekolah. Keduanya memang berprofesi sebagai guru. Andi melihat keinginan orang tuanya itu sebagai sebuah impian untuk dikejar lewat bisnis barunya, Educa Studio.

“Saya bertekad untuk segera mempercepat pembuatan seri Marbel berikutnya. Langsung rekrut tim untuk meningkatkan kualitas game. Dari awalnya cuma saya dan istri, akhirnya ada tambahan orang yang khusus menangani musik, art, dan programmer,” paparnya.

Tahun berikutnya, Educa fokus pada produksi mobile game edukasi. Jumlah produk yang dirilis lebih dari 100 buah. Perhitungannya dalam sebulan mereka merilis delapan game baru. Educa memanfaatkan platform iklan Admob milik Google untuk strategi monetisasi seluruh produk.

Kondisi kemudian membaik

Tim Educa Studio / Educa Studio
Tim Educa Studio / Educa Studio

Pendapatan Educa perlahan meningkat dan mampu menutupi operasional sekaligus melunasi kredit bank. Banyaknya produk yang dirilis, bila diakumulasi dengan perolehan iklan, lumayan menutupi biaya perusahaan. Selain membayar utang bank, Andi dan Ida mulai memperbarui dan mempercanggih peralatan mereka.

Educa hingga kini sudah merilis 215 edugames di Google Play. Sekitar 80% pengguna Educa berasal dari Indonesia, sisanya dari Malaysia.

Sebenarnya, selain mengandalkan iklan, Educa juga memakai strategi in-app purchase. Hanya saja strategi ini tidak begitu berjalan karena sejak awal fokus Educa adalah aplikasi gratis, sehingga mendorong orang untuk membayar agak terlambat.

Kondisi keuangan di Educa Studio pada tahun 2014 mulai stabil, pendapatannya disebut sudah miliaran Rupiah.

“Kalau boleh dihitung-hitung, pertumbuhan Educa Studio secara keseluruhan mencapai 3 kali lipat per tahunnya,” Andi berbinar.

Game pertama keluaran Educa Studio, Marbel Huruf, terbukti jadi penyokong utama hingga kini dengan total unduhan sampai 3,5 juta kali. Basis penggunanya meningkat pesat. Di awal 2015, Educa mulai mencetak profit. Angsuran lunas dan kantor berpindah dari ruang tamu Andi – Ida ke kantor yang lebih layak.

Fokus Educa Studio kini mulai bergesar. Hal ini disesuaikan dengan kondisi industri. Kompetitor mulai bermunculan. Kini Andi lebih berkonsentrasi menjaga pengguna yang sudah ada, bagaimana memperkecil churn rate, dan meningkatkan kualitas game. Churn rate adalah persentase pelanggan yang tidak melanjutan berlangganan.

“Rencananya kami akan mulai merambah pengembangan produk untuk segmen umur pelajar menengah pertama [SMP]. Selama ini kebanyakan produk untuk usia prasekolah sampai sekolah dasar,” kata Andi.

Strategi Google Bangun Ekosistem Pengembang Lokal yang Sehat

Google Playtime SEA (Southeast Asia) kembali diselenggarakan untuk kali ketiga membawa visi membantu pengembang aplikasi dan games di platform Android mengembangkan bisnis mereka. Bertempat di Singapura, rangkaian acara ini menyajikan berbagai informasi dan pengetahuan menarik. Setidaknya ada 250 rekanan pengembang yang diundang secara eksklusif di acara ini, banyak di antaranya dari Indonesia, seperti perwakilan Touchten, Picmix, dan Educa Studio.

Membuka sesi awal, Regional Director Google Play APAC James Sanders mengungkapkan beberapa fakta menarik. Sejauh ini telah ada lebih dari 2 miliar pengguna Android aktif yang menghasilkan lebih dari 82 miliar instalasi apps atau games di perangkat. James menilai bahwa ini merupakan momentum yang sangat baik untuk diteruskan penetrasinya, dengan didukung inovasi produk di Google Play oleh pengembang.

Agenda yang akan dilakukan untuk membangun ekosistem

Untuk meningkatkan pencapaian baik tersebut, ada dua pendekatan yang akan dimaksimalkan yakni membangun ekosistem pengembang lokal dan membawa ekosistem pengembang yang telah mapan untuk tidak hanya membawa dampak ekonomi di lokal saja, melainkan juga di kawasan regional dan global. Di SEA sendiri, revenue yang diperoleh pengembang produk aplikasi di Google Apps terpantau mengalami peningkatan yang cukup fantastis setiap tahunnya, pertumbuhannya mencapai 150 persen YoY.

Regional Director Google Play APAC James Sanders
Regional Director Google Play APAC James Sanders

Apa yang ingin dilakukan Google terhadap pengembang lokal ialah membantu mengembangkan ekosistem dari sisi bisnis. Keseimbangan antara inovasi produk dan kecakapan bisnis dinilai akan membangun ekosistem lokal yang lebih sehat. Salah satu yang sudah direalisasikan beberapa waktu lalu di Indonesia ialah kompetisi Google Play Indonesia Games Contest dan program pendampingan bisnis Google Developer Launchpad Indonesia.

Di sesi diskusi, DailySocial sempat menanyakan seputar strategi mengelaborasikan materi yang sudah dimiliki Google dengan kurikulum pendidikan formal. Kendati tidak menampik kemungkinan tersebut sangat mungkin terjadi, namun saat ini belum ada agenda khusus. Namun disadari betul bahwa jalur akademik bisa menjadi cara yang efektif untuk membangun ekosistem pengembang di suatu negara, karena secara kompetensi pun mobile developer masih sangat relevan dengan kebutuhan saat ini.

Mudahkan akses masyarakat untuk konsumsi konten premium

Upaya lain yang dilakukan Google ialah memperbanyak opsi pembayaran konten premium di Google Play. Disampaikan James, saat ini Google Play sudah mendukung 135 varian kartu kredit, 140 pembayaran via carrier billing di 55 negara, dan persebaran 700 ribu giftcard di 30 negara. Angka tersebut akan terus ditingkatkan untuk memicu penguatan model bisnis yang dijalankan pada aplikasi. Di Indonesia, Google sudah bekerja sama dengan hampir semua operator seluler unggulan untuk mengakomodasi sistem pembayaran melalui potong pulsa.

Jika melihat data yang ada, dibandingkan layanan digital lain, aplikasi Google Play memang yang paling banyak dibeli. DailySocial beberapa waktu lalu mengadakan survei ke lebih dari 1000 pengguna ponsel pintar di Indonesia, hasilnya menempatkan pembelian apps dan games di urutan teratas. Tahun ini disampaikan bahwa growth atau pertumbuhan pembelian di Google Play meningkat 20% (untuk konten premium), sedangkan untuk konten berlangganan angkanya meningkat 2x lipat.

Hasil survei DailySocial
Hasil survei DailySocial

Beberapa hal yang dapat dioptimalkan pengembang lokal

Masih di sesi yang sama, Head of Business Development Google Play SEA Kunal Soni menambahkan beberapa hal yang dapat dilakukan untuk meningkatkan ketertarikan pengguna terhadap karya aplikasi lokal. Menurut hasil survei, ketika aplikasi mendapatkan rating buruk, 50% pengguna mengatakan alasannya seputar bugs atau performa aplikasi yang kurang stabil.

Terkait kepuasan pengguna, masih berdasarkan survei komentar pengguna, sebanyak 60% mengatakan bahwa kecepatan performa aplikasi, desain dan kegunaan menjadi poin yang banyak di-mention sehingga mereka memberikan rating yang cukup bagus. Secara teknis ada beberapa hal yang dapat dioptimalkan. Google sendiri memiliki standar teknis yang dapat menjadi pertimbangan para pengembang.

Nantikan artikel reportase selanjutnya dari perjalanan Google Playtime SEA 2017. Stay tune!

Minggu Ini Touchten Akan Luncurkan PlayGame.com dan Hasil Kreasinya Bersama Deddy Corbuzier

Di antara varian produk digital, game menjadi salah satu yang paling populer di kalangan pengembang lokal, khususnya game di platform mobile. Namun tidak hanya berhenti di sana, para pengembang pun juga terus mengeksplorasi potensi dalam segmen game dengan berbagai model bisnis, salah satunya yang dilakukan oleh Touchten. Belum lama ini pihaknya menghadirkan sebuah platform game online berjuluk PlayGame.com. Sederhananya platform tersebut menampung game yang dapat dimainkan secara live di situs tersebut.

Saat tulisan ini terbit, PlayGame.com baru menginjak usia dua minggu. Kendati demikian sudah ada 40 game yang kini bisa dimainkan melalui situs tersebut. Sebagian besar game tersebut hasil embed dari game digital yang sudah ada sebelumnya. Rencananya PlayGame.com akan resmi diluncurkan Jumat ini (6/10).

Kepada DailySocial, CEO Touchten Anton Soeharyo selaku penggagas PlayGame.com menjelaskan:

“Fokus kami memang sebagai pengembang mobile game, membuat game yang sesuai di pasar Indonesia. Tercatat pada platform PlayGame.com saat ini sudah mencapai 40 game yang bisa digunakan. Walaupun belum ada game internal dari platform yang kami usung. Peluncuran platform PlayGame.com minggu ini  sekaligus bersamaan dengan peluncuran game baru kami.”

Dalam game yang akan dirilis tersebut, Touchten secara khusus menjalin kerja sama dengan pembawa acara kondang Deddy Corbuzier.

“Fist of Rage adalah game yang akan di-launching Touchten bersama dengan peluncuran PlayGame.com. Game yang diperankan seseorang hero untuk menjalankan misi tertentu. Sekaligus memperkenalkan Deddy Corbuzier sebagai pemeran penting di game ini,” ujar Anton.

Banyak ambisi yang digenggam Anton bersama Touchten di PlayGame.com, termasuk untuk ekosistem game lokal dan pengembang. Harapannya dapat menciptakan sebuah “jalur baru” yang memudahkan pelaku di industri game lokal untuk menyampaikan karyanya kepada penikmat game. Termasuk terkait monetisasi, yang menurut Anton masih ada beberapa kendala yang sejatinya bisa dioptimalkan, misalnya masalah integrasi sistem pembayaran.

“Kami menargetkan game baru yang dirilis bersama Deddy Corbuzier akan diunduh lebih dari 1 juta pengguna dalam waktu kurang dari tiga bulan. Dan untuk PlayGame.com harapannya dapat menjadi portal yang nantinya juga akan bermanfaat bagi para pengembang game di Indonesia,” pungkas Anton optimis.

Studio Asal Bandung “Visionesia” Memilih Fokus Kembangkan Game PC

Visionesia merupakan sebuah studio pengembangan game asal Bandung yang didirikan sejak Agustus 2016. Digawangi oleh 2 orang co-founder Dicky Juwono dan Deddy Tjiu, studio ini memfokuskan pada produk game untuk platform PC (Personal Computer).

Alasan mendasar mengembangkan game PC menurut pemaparan Dicky karena game ini memiliki pangsa pasar berbeda. Dari sisi bisnis, game di platform PC lebih menjanjikan, pasalnya pasar game PC didominasi oleh kalangan gamer yang sudah terbiasa membayar untuk sebuah game. Sementara di mobile rata-rata tidak berbayar, khususnya casual gamer, kendati pasarnya memang jauh lebih luas. Namun secara “passion“-lah yang sebenarnya mendorong kuat Visionesia Studio menggarap game yang lebih serius.

Salah satu game PC yang tengah dikembangkan –saat ini sedang tahap penyempurnaan demo—adalah Crimson451. Rencananya game tersebut akan ditampilkan pada ajang Gameprime 2017 dari BEKRAF tgl 29-30 juli 2017 mendatang. Kendati demikian game mobile juga pernah diproduksi oleh tim Visionesia, salah satunya berjudul Si Meong.

Berbicara tentang latar belakang pendiri studio game ini Dicky bercerita bahwa dirinya sudah berkecimpung dalam dunia desain grafis sejak tahun 1991. Sejak tahun 2010 ia mulai fokus ke dunia Apps dan Games sebagai freelancer UX/UI Designer dan Game Artist untuk berbagai macam karya, dengan mayoritas klien dari luar Indonesia.

“Setelah cukup lama bekerja di bidang tersebut, saya berkeinginan untuk membuat sebuah game sendiri. Tapi menyadari keterbatasan bahwa untuk membuat sebuah game membutuhkan tim, maka saya mengajak rekan saya Deddy Tjiu untuk bergabung dan mendirikan sebuah studio. Role saya di Visionesia Studio selain sebagai co-founder juga sebagai Art Director, sementara Deddy sendiri berlatar belakang bisnis,” ujar Dicky.

Dicky juga menceritakan apa yang ia targetkan untuk tahun ini, yakni bisa mendapatkan investor untuk merampungkan game perdananya Crimson451. Untuk mengakselerasi penyelesaiannya, ia juga berencana untuk melakukan crowdfunding pada proyek game PC tersebut. Harapan besar bagi Dicky sebagai Artist Director adalah studio yang ia dirikan dapat menciptakan varian game dengan sentuhan visual yang menawan, baik visual static maupun motion.

Selain itu Dicky juga memberikan komentarnya terhadap ekosistem pengembang game  yang ada di Indonesia saat ini.

“Ekosistem game developer di Indonesia saat ini sangat baik dan menarik dengan banyaknya komunitas lokal baik berbasis wilayah maupun berbasis platform. Plus didukung oleh banyaknya acara-acara yang berhubungan dengan game developer dan dukungan dari pemerintah,” pungkas Dicky.

Application Information Will Show Up Here

Monetisasi Pengembang Aplikasi Mobile di Tengah Hingar Bingar Bisnis Berbasis Layanan

Jika kita melihat ke belakang sekitar 10 tahun yang lalu, ketika pertumbuhan startup digital masih di tahap yang sangat awal, pengembangan aplikasi mobile menjadi salah satu bisnis yang memulai tren startup. Model aplikasi hiburan, aplikasi permainan, aplikasi produktivitas banyak ditemukan dari pengembang lokal sebagai basis bisnis. Namun sekarang keadaannya sudah sangat berbeda. Startup baru umumnya mengusung sistem bisnis berbasis layanan, sangat jarang yang menjual kreasinya dalam bentuk aplikasi. Terlebih saat kita melihat startup yang berada di top level.

Kendati demikian sejatinya ekosistem pengembang aplikasi mobile tersebut masih ada, dan terus berkreasi. Nama-nama aplikasi seperti PicMix, Catfiz atau liteBIG masih berkarya sampai saat ini. Mereka memulai debutnya sejak platform “BlackBerry berjaya”, era baru perubahan habit pengguna ponsel menuju smartphone. Artinya dengan kualitas produk yang apik, inovasi berbasis aplikasi tersebut membuktikan dirinya masih mampu bertahan dengan bisnis proses yang bergantung pada kreasinya dalam mobile app.

DailySocial mencoba mengulas kembali tentang model bisnis yang saat ini diterapkan oleh para pengembang aplikasi mobile. Kami berdiskusi bersama beberapa pengembang aplikasi dengan beragam karakteristik, baik dari sisi bisnis, jenis aplikasi hingga model monetisasi yang diterapkan.

Didominasi oleh pengembang aplikasi permainan

Ketika berbincang soal bisnis atau pengembangan yang memfokuskan pada “menjual aplikasi”, kategori permainan (game) saat ini paling banyak diminati oleh mobile app developer lokal. Dari data narasumber yang berhasil kami himpun, mulai dari indie developer hingga startup, minat unduhan untuk aplikasi permainan menunjukkan angka statistik yang cukup memuaskan. Dari para pengembang, sebagian besar dari mereka menunjukkan data bahwa aplikasinya telah diunduh lebih dari 30 ribu kali, bahkan sudah ada yang menembus hingga puluhan juta.

Dari pengakuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa peminat aplikasi lokal sejatinya masih banyak. Masih ada ekosistem konsumen yang besar untuk para pengembang aplikasi mobile. Tantangannya justru sekarang pada monetisasi, sehingga aplikasi tersebut dapat memberikan keuntungan secara finansial kepada pengembang untuk menyelaraskan laju bisnis. Saat ini ada beberapa opsi yang umum digunakan untuk monetisasi aplikasi, baik oleh indie developer ataupun startup. Mulai dari model bisnis freemium, ads-placement hingga aplikasi berbayar.

Iklan masih diandalkan sebagai pemasukan

Saat diskusi tentang bagaimana mereka membisniskan aplikasi, model iklan digital mendominasi jawaban, disusul oleh model freemium, in-app purchase hingga brand placement. Pemilihan model iklan diungkapkan oleh para pengembang karena pasar Indonesia dinilai belum siap dengan B2C (Business to Consumer).

Muhamad Nur Awaludin dari Kakatu mengungkapkan masih tertanam kuat mindset “ketika ada yang gratis, buat apa bayar, untuk harga murah sekalipun”.

Pemasangan iklan pun juga bukan berarti tanpa tantangan. Beberapa pengembang mengaku bahwa ia dihadapkan pada kesadaran konsumen yang rendah terkait strategi monetisasi ikalan tersebut, salah satunya Anwar Fuadi pengembang game dari Madura. Ia mengatakan konsumen umumnya acuh dan tidak peduli dengan iklan tersebut sebagai pemasukan pengembang, sehingga banyak yang memberikan masukan untuk menghilangkan iklan. Taruhannya pada rating aplikasi. Di sini para pengembang harus berpikir keras untuk menempatkan iklan sesuai dengan porsinya.

Di sisi implementasi, iklan digital memang yang paling mudah. Jika harus menetapkan aplikasi berbayar, maka kualitas produk harus teruji betul. Ketika menerapkan premium, maka dari awal aplikasi harus memiliki digital item menyesuaikan flow aplikasi yang dirancang. Menyasar B2B (Business to Business) maka pengembang harus memiliki proses bisnis yang jelas.

Beberapa yang menyajikan konten premium merasa bahwa diperlukan energi lebih besar untuk memberikan edukasi kepada pasar. Target pasar untuk pengguna premium sedikit berbeda. Begitupun untuk in-app purchase. Proses optimasi dan desain agar konversi dari player ke purchase tinggi menjadi tantangan para pengembang.

Di mata pengembang, mereka banyak yang menilai ekosistem aplikasi mobile (khususnya untuk karya lokal) belum begitu matang, bahkan dikatakan merangkak. Namun di sisi lain, berkat tren baru dari industri digital, seperti e-commerce dan on-demand, ada sebuah kesempatan bisnis yang baik. Masyarakat semakin aware dengan mobile payment, kanal pembayaran semakin luas, artinya memberikan kesempatan bagi produk premium untuk mudah diterima oleh masyarakat.

Dukungan yang dibutuhkan untuk pengembang aplikasi lokal

Mulai dari dukungan pemerintah, investor, media, dan berbagai kalangan lain sangat ditunggu para pengembang aplikasi mobile lokal. Selain terkait dengan promosi dan edukasi pasar, menurut Adam Ardisasmita dari Arsanesia, banyaknya pagelaran (baik berupa kompetisi, workshop, hingga inkubator) sangat berarti untuk menumbuhkan pengetahuan mereka, baik dari sisi teknis pengembangan maupun berbagai hal lain yang perlu mereka perhatikan untuk mempertahankan bisnisnya.

Salah satu pengembang game Tebak Gambar Irwanto Widyatri mengatakan hal lain terkait dukungan, menurutnya penting adanya pihak yang mampu mengurasi aplikasi dan melakukan hubungan dengan brand potensial. Hal ini akan membantu pengembang menemukan alur bisnis yang lebih mapan dan memiliki sinergi yang baik dari sisi penyampaian konten dan iklan.


Randi Eka terlibat dalam penulisan artikel ini

Siap-Siap Unreal dan Unity, Ada Game Engine Baru dari Autodesk

Mendengar nama Autodesk, apa hal pertama yang Anda ingat? Sketchbook Pro? AutoCAD? Well, Anda tidak salah, karena nama Autodesk memang sering dikaitkan dengan dunia seni digital. Continue reading Siap-Siap Unreal dan Unity, Ada Game Engine Baru dari Autodesk