The Big Leap: Peran Pemasaran dan Upaya Memahami Gen Z

Beberapa waktu lalu, e27 bersama CleverTap menyambangi Jakarta melalui gelaran “The Big Leap“; bagian dari rangkaian acara yang menghubungkan para growth leader di Asia Tenggara, mulai dari founder, VP, Marketing, hingga Product Director.

DailySocial.id berkesempatan hadir mengikuti diskusi panel yang dipandu oleh CEO e27 Mohan Belani, dengan sejumlah pembicara yang terdiri dari SEA Regional VP Sales CleverTap Marc-Antoine Hager, Chief Marketing Officer BlueBird Mediko Azwar, Head of Marketing Pintu Timothius Martin, dan Chief Marketing Officer Halodoc Felicia Kawilarang.

Diskusi santai ini utamanya menyinggung tentang bagaimana marketing dapat memahami karakteristik Gen Z, tantangan, hingga customer experience dalam implikasi sebuah bisnis di masa pandemi Covid-19. Berikut rangkumannya.

Pencapaian, peluang, dan tantangan

Sedikit gambaran, transportasi merupakan salah satu sektor yang terdampak signifikan saat awal pandemi. Sebaliknya, layanan digital di sektor lain, seperti health dan wealth termasuk yang mencicipi kenaikan trafik pada periode tersebut.

Kebijakan pembatasan sosial dalam skala besar (saat itu disebut PSBB) menurunkan mobilitas masyarakat secara drastis. Orang-orang mengurangi perjalanan ke luar, aktivitas kerja dan sekolah dilakukan dari rumah.

Bagi Mediko Azwar, situasi tersebut sangat sulit bagi bisnis BlueBird yang bermain pada jasa transportasi. Malah, kala itu ia baru bergabung dengan perusahaan berlambang burung biru tersebut saat pandemi terjadi. “Ini menjadi tantangan tersendiri karena saya harus meyakinkan tim, bagaimana kita harus dapat memahami perubahan consumer needs dan memenuhi permintaan mereka.”

Sebaliknya, di sektor kesehatan, situasi ini berbuah manis kala pemerintah memberikan lisensi penggunaan telemedis untuk urgensi penanganan Covid-19. “Tiba-tiba ada lonjakan trafik di platform kami. Di situasi tersebut, secara tak langsung, platform telemedis seolah mendapat ‘free marketing‘ karena pemakaiannya langsung dipromosikan pemerintah,” tutur Felicia Kawilarang.

Namun, lonjakan trafik itu justru memunculkan tantangan selanjutnya bagi Halodoc, yakni memastikan aplikasi dapat bekerja memenuhi permintaan tinggi. Pihaknya bekerja keras untuk membuat platform dapat diakses setiap saat sembari mengedukasi dokter terkait Covid-19, dan memahami target pengguna dan perilakunya.

Di sinilah marketing memainkan peran signifikan. “User knowledge comes from the marketing team, that’s how we build the product. We have done a lot of research and survey,” tambah Felicia.

Mediko juga mengungkap bahwa marketing mendorong BlueBird untuk meningkatkan hubungan dengan customer dan mencari peluang pengembangan layanan baru dari customer journey.

Memahami Gen Z

Timothius Martin mengungkap, situasi pandemi memunculkan peluang dalam membentuk pendekatan marketing, terutama bagi Gen Z. Ia berujar, ada banyak kekhawatiran muncul dari masyarakat tentang bagaimana mengamankan uang atau aset mereka saat pandemi.

“Platform kami meluncur saat pandemi, orang-orang saat itu stay at home. Kami melihat [peluang di mana] karakter [yang ingin disasar] ada pada Gen Z. Mereka cari tempat di mana bisa taruh aset dengan mudah, accessible 24/7, gampang dicairkan, dan volatile enough to give that adrenalin pump,” paparnya.

Belum lagi, saat itu, platform kripto yang ada di Indonesia belum banyak dipahami oleh Gen Z. Di sini lah, ia mengawinkan produk dan marketing agar informasi yang dibutuhkan dapat tepat sampai ke penggun alih-alih hanya sekadar viral saja.

Dalam perkembangannya, Timothius mencatat pentingnya melakukan mind shift dalam menentukan strategi marketing. Tidak ada approach yang bersifat satu untuk semua. Misalnya, bagaimana mengubah mindset atasan terkait bagaimana menggunakan budget marketing pada influencer atau iklan. “[Dalam konteks pemanfaatan influencer atau iklan] rather than number of impression, sebaiknya untuk [capai] conversion rate.

Mark menambahkan, pendekatan marketing menggunakan iklan tidak selalu harus dikesampingkan. Setiap strategi punya pendekatan berbeda. Pada kasus Gen Z, mereka termasuk segmen pengguna yang tidak bisa didekati dengan model penjualan langsung atau gamblang (hard sell), tetapi melalui pemanfaatan sebuah produk.

“Bagi kami, untuk bisa evolve di pasar, perusahaan tidak melulu bicara cost dan profit, tetapi fokus ke pengguna agar dapat memahami pasar. Dan marketing punya peran untuk fokus menyuarakan pesan dari customer bukan perusahaan.”

Ingin Garap Pasar Gen Z, DANA Godok Sejumlah Fitur Baru

DANA mencatatkan peningkatan pengguna lebih dari 20 juta orang dalam lima bulan terakhir di tengah pandemi, total menjadi 70 juta pengguna. Lonjakan ini juga dibarengi dengan peningkatan transaksi harian menjadi 5 juta transaksi, dari sebelumnya 3 juta transaksi per akhir tahun lalu.

Perusahaan mencatat, rata-rata transaksi harian tertinggi terjadi pada bulan Mei 2021. Dibandingkan di bulan yang sama di tahun lalu, pertumbuhannya mencapai 164%. Aktivitas yang paling banyak digunakan pengguna dalam aplikasi DANA adalah pembayaran QRIS, kirim uang, pembelian pulsa, pembayaran online commerce, dan pembayaran tagihan.

Pengguna dengan mudah dapat melakukan transfer ke berbagai platform dengan DANA, seperti nomor telepon seluler, akun bank, media sosial seperti WhatsApp, atau melalui agen dan gerai-gerai mitra untuk dapat diambil penerimanya dalam bentuk tunai.

Co-Founder & CEO DANA Vince Iswara menambahkan, aktivitas transfer yang meningkat selama pandemi membawa dampak tersendiri dalam mendorong meluasnya budaya nontunai di kalangan masyarakat. “Ini menguatkan optimisme kami terhadap makin meningkatnya inklusi keuangan masyarakat Indonesia berkat teknologi yang kami kembangkan,” ujarnya dalam konferensi pers virtual, Rabu (23/6).

Dalam rangka memperkuat adopsi budaya transaksi masa depan ini, dan menjadikan teknologi finansial semakin inklusif, perusahaan akan terus meningkatkan proteksi serta pengalaman pengguna melalui pengembangan teknologi secara progresif.

Menariknya, lonjakan kinerja ini turut disumbangsih dari kemitraan perusahaan dengan TikTok, SnackVideo, dan Helo untuk penukaran koin dan referral menjadi saldo DANA. Saldo tersebut dapat digunakan untuk bertransaksi lewat DANA, entah untuk beli pulsa atau voucher game. Meski tidak disebutkan seberapa besar kontribusinya, namun kondisi tersebut menjadi potensi yang bakal diseriusi perusahaan pada tahun ini.

“Dari situ mengombinasikan pengalaman pengguna mengenai kemudahan transfer karena terima uangnya lebih mudah. Kami mencatat transfer p2p di DANA naik 2x lipat, lebih tinggi dari transfer ke bank pada ramadan 2021,” ucap Senior VP of Produt DANA Rangga Wiseno.

Seperti diketahui, mayoritas pengguna TikTok datang dari generasi Z yang notabenenya belum memiliki KTP. Alhasil mereka pun terhalang ketika melalui tahap KYC. Untuk menjawab kebutuhan tersebut, Rangga menyebut saat ini perusahaan tengah menyiapkan fitur yang rencananya akan diumumkan dalam waktu dekat.

“Gen Z pun kami lihat suka beli pulsa dan voucher game, kami akan improve juga di sini. Bakal ada banyak kita improve karena gen Z ini sekarang jadi segmen fokus kami juga,” tambah dia.

Saat ini ada sejumlah fitur di DANA yang kental dengan unsur sosial yang sengaja dihadirkan untuk gen Z, seperti Split Bill dan DANA Kaget. Tak hanya fitur, perusahaan ingin merancang pengalaman bertransaksi digital secara personal, serta berdasarkan kepuasan pelanggan. Caranya dengan memberikan personalisasi profil pengguna dengan bantuan AI dan proses integrasi tanpa celah bagi pengguna.

“Kita ingin mendeteksi apa yang konsumen suka, tapi juga berikan rekomendasi mana yang cocok untuk mereka karena DANA punya banyak fitur,” pungkasnya.

Application Information Will Show Up Here

[Infografik] Tren Konsumsi Media Selama Pandemi Berdasarkan Usia Konsumen

Sulit membayangkan bagaimana jadinya seandainya pandemi COVID-19 terjadi 20 atau bahkan 30 tahun yang lalu. Internet kala itu belum se-mainstream sekarang, dan layanan streaming macam Netflix maupun Spotify belum eksis.

Skenario khayalan ini sejatinya bisa kita jadikan bahan untuk mensyukuri keadaan sekarang. Sesulit apapun masa swakarantina yang kita hadapi, kita masih punya begitu banyak akses ke beragam jenis media, baik untuk mencari informasi atau menghibur diri.

Cara kita mengonsumsi berbagai bentuk media selama pandemi tentu berbeda-beda, dan ini ternyata bisa dikategorikan berdasarkan usia. Global Web Index belum lama ini melakukan survei terhadap hampir 4.000 orang di Amerika Serikat dan Inggris dengan rentang usia 16 – 64 tahun. Datanya kemudian disadur menjadi infografik yang sangat apik oleh Visual Capitalist.

Media Consumption Gen Z

Kita mulai dari yang paling muda, yakni Gen Z (16 – 23 tahun). Seperti yang bisa kita lihat, lebih dari separuh mengaku menonton lebih banyak konten video online sejak pandemi melanda. Layanan streaming film menjadi jenis media andalan kedua buat mereka, disusul oleh video game, layanan streaming musik, dan siaran TV tradisional.

Media Consumption Millenials

Tren serupa juga ditunjukkan oleh kalangan Millenial (24 – 37 tahun). Menariknya, generasi ini adalah yang konsumsinya paling merata, alias tidak ada satu jenis media yang benar-benar mendominasi sangat jauh. Platform video online seperti YouTube atau TikTok masih berada di urutan pertama, diikuti oleh layanan streaming film dan musik.

Milennial bisa dibilang merupakan generasi yang paling haus informasi. Ini terbukti dari besarnya konsumsi mereka terhadap media online, podcast dan radio. Kendati demikian, ketertarikan Millenial terhadap video game tetap tidak kalah dari kalangan Gen Z.

Media Consumption Gen X

Lanjut ke kalangan Gen X (38 – 56 tahun), mereka adalah konsumen terbesar saluran TV tradisional, bahkan jauh melebihi konsumsi platform video online. Setelah TV, radio merupakan medium terpopuler kedua di kalangan Gen X, sama porsinya seperti layanan streaming film.

Media Consumption Baby Boomer

Tanpa harus terkejut, generasi Baby Boomer (57 – 64 tahun) juga paling memercayakan saluran TV tradisional ketimbang medium lainnya. Pada kenyataannya, cara mereka mengonsumsi media adalah yang paling sedikit berubah selama pandemi berlangsung.

Balik ke gagasan di awal, kalangan Millenial dan Gen Z bakal menjadi yang paling kesulitan di masa pandemi seandainya tidak ada internet. Tidak terlalu mengejutkan mengingat sebagian besar dari mereka memang belum lahir pada skenario khayalan tersebut.

Quarantine Internet Activities

Seandainya tidak ada internet, apa saja aktivitas yang bakal hilang dari keseharian kita selama masa pandemi? Jawabannya bisa kita temukan pada infografik terakhir ini, dan yang paling berkurang drastis adalah aktivitas mencari informasi seputar wabah COVID-19, kecuali Anda masuk kalangan Gen Z, yang ternyata lebih banyak menghabiskan waktu untuk streaming musik.

Sumber: Visual Capitalist. Gambar header: Mollie Sivaram via Unsplash.

Menggali Strategi dan Teknologi yang Diusung TikTok Dalam Upaya Menggaet Gen Z

Einstein pernah bilang bahwa takaran dari kecerdasan seseorang ialah kemampuan mereka untuk beradaptasi terhadap perubahan. Di ranah teknologi serta internet, perubahan berjalan begitu cepat sembari membawa hal baik dan buruk. Mungkin Anda masih ingat kontroversi yang ditimbulkan oleh TikTok. Pemerintah Indonesia sempat memblokir app ini karena berseliwearannya konten-konten negatif.

Berita gembiranya, TikTok sudah banyak berubah sejak ia meluncur kurang lebih dua tahun silam. Setelah dihantam kritisi terkait masalah privasi, ketergantungan, dan keselamatan (terutama bagi user berusia muda), developer ByteDance pelan-pelan mengimplementasikan sejumlah fitur keamanan. Contohnya: kita bisa membuat batasan akses ke app (dari mulai 40 sampai 120 menit per hari). Jika tenggat waktunya tercapai, kita perlu memasukkan password sebelum bisa kembali membuka app.

TikTok 2

Tentu saja TikTok turut dibekali fungsi pelaporan, pemblokiran, serta ‘mode terbatas’ buat menyaring video-video tertentu. Sebagai bentuk realisasi ByteDance dalam menanggulangi konten-konten negatif – dan supaya TikTok dapat dizinkan lagi beroperasi di Indonesia – mereka menugaskan tim berisi 20 orang untuk melakukan moderasi terhadap segala video yang beredar. Berkat desakan tersebut, developer turut menerapkan sistem pembatasan umur.

TikTok kini tersedia di 150 negara/wilayah, didukung 75 bahasa, dan punya 50 kantor cabang tersebar di dunia. Versi iOS-nya telah diunduh sebanyak lebih dari 104 juta kali di periode paruh pertama tahun 2018. Jumlah ini melampaui rekor yang sempat dipegang oleh PUBG Mobile, YouTube, Facebook, WhatsApp dan Instagram.

Dan di acara 2019 TikTok SEA Creators & Content Marketing Conference, ByteDance berbicara banyak soal tren video singkat dan teknologi yang mereka usung di app populer tersebut.

TikTok 9

 

Karakteristik Gen Z

Saat ini masih ada banyak orang menyiapkan atau mendesain produk mereka untuk kalangan millennial. Sejujurnya, era keemasan Gen Y sudah berakhir dan sekarang adalah waktunya generasi Z buat bersinar. Di presentasinya, Surayot Aimlaor selaku head of marketing TikTok Thailand menyampaikan bahwa rata-rata penduduk Asia Tenggara menghabiskan waktu 3,6 jam sehari untuk bermain smartphone (Indonesia mencapai 3,9 jam), dan persentasenya didominasi oleh pengguna berusia 15 sampai 24 tahun.

TikTok 10

98 persen dari kelompok generasi Z punya smartphone-nya sendiri. Mereka ini tersambung ke internet selama 10 jam sehari dan 1/3 di antaranya menonton video hingga satu jam sehari, serta mengonsumsi rata-rata 68 dalam periode 24 jam. Tapi ada efek samping dari ketersediaan serta kemudahan akses konten bagi kalangan tersebut: umumnya, mereka cuma bisa menghabiskan waktu delapan detik buat memerhatikan satu topik (attention span). Selanjutnya, Gen Z akan mengalihkan fokusnya ke hal lain.

Karakteristik inilah yang dimanfaatkan oleh TikTok. ByteDance menyebut layanan ini sebagai platform short-video nomor satu di dunia – terutama di kawasan Asia dan Amerika. Pengguna dipersilakan untuk membuat video berdurasi 3 sampai 15 detik atau maksimal satu menit. Dari pengakuan sejumlah kreator, salah satunya dancer asal Surabaya Kelly Courtney, video 15 detik ternyata merupakan jenis konten yang lebih disukai dan merangsang lebih banyak komentar.

TikTok 8

Dalam diskusi panel, CEO Kantar China Rana Deepender membahas lebih jauh mengenai karakteristik Gen Z. Banyak orang menyangka, dibanding millennial, kalangan ini mempunyai loyalitas brand yang lebih rendah. Ternyata hal ini keliru. Pengguna generasi Z sangat sadar terhadap merek dan mereka cenderung setia pada nama-nama yang konsisten dalam memegang prinsip atau nilai tertentu.

TikTok 7

Menjawab pertanyaan saya, senior director global marketing Lionel Sim menjelaskan bahwa mereka tidak khawatir jika kepopuleran tren short-video akan menurun di masa depan, atau saat era Gen Z telah berlalu. Perhatian utama mereka bukan sekadar terpusat pada video singkat, tapi bagaimana memudahkan semua orang berkreasi.

TikTok 6

 

Teknologi di balik layanan TikTok

Memang mudah mengesampingkan teknologi dan upaya penggarapannya ketika sebuah layanan menawarkan kesederhanaan pemakaian. TikTok menjadi app favorit kalangan pengguna berusia muda karena kombinasi kayanya fitur serta UI yang intuitif. Di tampilan utama saja, Anda disuguhkan akses ke beragam pilihan musik, filter, serta fungsi untuk men-switch kamera atau mengubah kecepatan video. Tombol upload juga ditempatkan di layer yang sama.

TikTok 4

Namun sisi teknologi TikTok jauh lebih dalam dari itu semua. Beberapa contoh kecil misalnya filter yang bisa mengubah warna rambut, lalu saya juga sempat melihat pemanfaatan sistem augmented reality untuk menempatkan (dinosaurus) Velociraptor virtual dengan latar belakang dunia sesungguhnya. Lalu ada pula fitur stiker ala ‘3D emoji‘ yang dapat menggantikan muka sembari mengikuti raut wajah Anda.

Satu fitur lagi yang berhasil memukau saya ialah stiker dan lensa bertema hujan. Cukup berbekal lambaian tangan, pengguna dapat menghentikan tetesan air sembari mengaktifkan fungsi zoomin/out. Skenario ini sedikit mengingatkan saya adegan di film The Matrix, ketika Neo menyetop peluru. Agar bisa menyajikan hal tersebut, ByteDance menggarap sebuah sistem yang mampu melacak 21 titik di telapak tangan sehingga mampu mendeteksi tak kurang dari 19 tipe gesture dengan keakuratan 99 persen.

TikTok 3

Machine learning (dan kecerdasan buatan, jika saya tak salah dengar) juga dimanfaatkan agar penerapan filter dan stiker lebih akurat. Selain itu, algoritma pintar juga digunakan agar konten bisa sampai pada pengguna yang tepat, dalam rangka mengoptimalkan sistem rekomendasi.

Satu kesimpulan menarik yang saya tangkap dari presentasi panjang ByteDance serta wawancara bersama developer adalah, mereka mau bersusah payah mengembangkan bermacam-macam teknologi yang kompleks, kemudian mengemasnya dalam interface sederhana demi memudahkan semua orang buat jadi kreator.

TikTok 5

Sentimen negatif terhadap TikTok, terutama di Indonesia, memang masih belum sepenuhnya hilang. Tapi saya rasa upaya-upaya ByteDance dalam memoles berbagai aspek di platform short-video itu serta melihat kepatuhan developer mengikuti kebijakan pemerintah tetap mesti diapresiasi.

Perlu Anda ketahui bahwa sejumlah lembaga pemerintah seperti Kominfo dan Kemenpar turut menggunakan TikTok demi menyebarkan informasi serta menjangkau dan berinteraksi dengan masyarakat.

Tiba di Indonesia, Samsung Galaxy A50 dan A30 Sasar Gen-Z yang Gemar Membuat Konten Live

Ketika Rowan Atkinson menggunakan kamera analognya untuk ber-selfie di film Bean (1997), mungkin hanya sedikit orang yang membayangkan bahwa kegiatan tersebut akan jadi lebih mudah puluhan tahun kemudian berkat kapabilitas fotografi di ponsel. Ketika selfie kian lumrah, kehadiran kamera juga mulai dimanfaatkan untuk menciptakan konten live, apalagi dengan dukungan platform sosial media terhadap aktivitas ini.

Pembuatan konten live cukup populer bagi pengguna smartphone berusia muda, khususnya bagi generasi Z. Mereka ialah individu yang lahir pasca era milenial, familier dengan internet sejak kecil dan menurut demograf, kehidupan mereka sulit dipisahkan dari teknologi dan jejaring sosial. Menakar dari aspek minat dan gaya hidup, Samsung memberi sebutan unik bagi kalangan ini: generasi live. Dan sang produsen sudah menyiapkan deretan perangkat yang ideal untuk mereka.

 

Generasi live

Memahami generasi Z tentu bukan cuma dilakukan dari melihat kebiasaan, namun juga faktor karakteristik dan pandangan hidup. Berdasarkan pemaparan Public Relations Society of America, Gen-Z menyimpan semangat berwirausaha lebih tinggi dari milenial. Ditambah pemahaman kritis terhadap teknologi, sebuah produk yang ditujukan buat Gen-Z harus memenuhi rentetan kriteria: penuh fitur, performa tidak mengecewakan, ditunjang luasnya konektivitas, desain stylish, dan harga kompetitif. Hal-hal inilah yang coba ditawarkan oleh Galaxy A50 dan A30.

Galaxy A 14

Meski merupakan anggota dari keluarga Galaxy A Series, keduanya diramu sebagai alternatif lebih terjangkau dari A9 atau A7Head of product marketing IT & mobile Denny Galant menjelaskan bagaimana generasi ‘masa kini’ gemar menyaksikan pertandingan bola secara live, streaming musik, bermain game online, serta membuat posting Instagram Story atau Live. Dan sebentar lagi kita akan menjadi saksi apakah Galaxy A50 dan A30 dapat memenuhi misi tersebut.

Galaxy A 11

 

Galaxy A50 dan A30

Segala kegiatan kreasi konten memang mudah dilakukan dengan lini flagship terbaru Samsung, tetapi seperti yang saya singgung sebelumnya, dalamnya pemahaman gen-Z pada teknologi juga membuat mereka peka terhadap harga. Pertanyaannya sekarang, bagaimana Samsung menyeimbangkan semua ini tanpa berkompromi terlalu jauh? Kabar gembiranya, Galaxy A50 dan A30 berhasil memberikan impresi awal yang positif.

Galaxy A 4

Penampilan Galaxy A50 dan A30 bisa dibilang telah memenuhi standar desain modern. Keduanya mengusung layar Infinity-U AMOLED seluas 6,4-inci beresolusi 2340×1080 (FHD+) dengan notch water drop serta tubuh dengan bagian ujung curved. Dimensi kedua varian boleh dibilang identik, masing-masing berukuran 158,5×74,7×7,7mm serta menggunakan lapisan glossy di sisi punggung dan memanfaatkan konstruksi tubuh dari plastik.

Galaxy A 10

Di sesi hands-on minggu lalu, saya melihat setidaknya ada tiga aspek yang membedakan rancangan Galaxy A50 dan A30. Pertama adalah opsi warna. Kedua ialah jumlah lensa di modul kamera. Ada tiga set kamera di A50 dan dua di A30. Selanjutnya adalah diferensiasi sensor sidik jari. A30 masih menggunakan sensor fingerprint standar di sisi belakang, sedangkan A50 telah ditunjang sensor under display.

Galaxy A 3

 

Kreasi konten

Penciptaan konten lewat smartphone tidak bisa dipisahkan dari dukungan kamera, dan aspek ini jadi perhatian Samsung dalam meracik Galaxy A50 dan A30. A50 dibekali tiga sensor dan lensa untuk menangani pembuatan foto dan video via kamera belakang. Smartphone menggunakan kamera utama 25Mp f/1.7, dibantu sensor kedalaman 5Mp f/2.2 dan kamera ultra-wide 8Mp f/2.2. Galaxy A30 menyajikan setup kamera ganda dengan sensor 16Mp f/1.7 dan ultra-wide 5Mp f/2.2.

Galaxy A 13

Menariknya, baik Galaxy A50 mapun A30 turut mewariskan sejumlah fitur fotografi andalan Galaxy S10, misalnya kapabilitas mengabadikan pemandangan lebih luas dengan sudut 123 derajat. Varian A50 sendiri dilengkapi Live Focus yang memperkenankan kita mengatur efek kedalaman sebelum atau sesudah foto diambil, cocok bagi penggemar efek bokeh.

Galaxy A 6

Selain itu, dua handset anyar ini memiliki kemampuan pembaca skenario fotografi ‘Scene Optimizer’ yang ditopang oleh optimalisasi warna. Baik A50 dan A30 mampu mengetahui apa yang tengah Anda abadikan; contohnya orang, bunga, makanan, burung, serta dapat membaca waktu atau lokasi tertentu (saat matahari terbenam atau sewaktu pemotretan di pantai).

Galaxy A 5

Ada 20 skenario yang bisa dikenal oleh smartphone, namun Samsung mengingatkan bahwa hasilnya dapat berbeda tergantung dari objek foto dan kualitas fokus. Sistem kabarnya juga mampu memberi notifikasi jika mendeteksi tiga faktor yang berpeluang membuat foto kurang optimal, di antaranya sewaktu mata terpejam, gambar blur, serta backlight berlebihan.

Galaxy A 8

Untuk kebutuhan portrait diri, Galaxy A50 dan A30 masing-masing mengandalkan kamera depan 25Mp dan 16Mp f/2.0. Memang cuma ada satu modul kamera di sana, tetapi ia turut dibantu oleh fitur Selfie Focus yang mempersilakan kita mengaburkan latar belakang via software.

Perlu dicatat bahwa baik Galaxy A50 dan A30 belum mempunyai mode Instagram built-in di kameranya. Fitur masih tersaji eksklusif di keluarga Galaxy S10.

 

Samsung Pay

Hampir empat tahun setelah meluncur di Korea Selatan, layanan pembayaran digital Samsung Pay akhirnya dibawa oleh Galaxy A50 dan A30 ke Indonesia. Samsung punya alasan kuat soal keterlambatan itu. Khusus di nusantara, fitur tersebut dikembangkan sendiri oleh talenta lokal yang tergabung dalam Samsung Research Indonesia. Sejauh ini, Samsung sudah menggandeng Dana sebagai penyedia eWallet, namun produsen bilang kemitraan itu tidaklah eksklusif.

Galaxy A 1

Buat sekarang, status Samsung Pay masih dalam tahap pengujian. Berdasarkan sesi demo dan juga penjelasan product marketing manager Irfan Rinaldi, layanan tersebut memanfaatkan metode pemindaian QR code dan belum ada opsi NFC. Saya belum dapat memastikan apakah Samsung Pay bisa segera digunakan ketika Galaxy A50 dan A30 dirilis di Indonesia akhir minggu ini, atau kita harus menunggu sedikit lebih lama.

Galaxy A 2

Satu hal yang perlu digarisbawahi adalah, Samsung Pay tidak menyimpan data serta informasi transaksi para penggunanya. Layanan ini disiapkan sebagai ‘gateway‘.

Galaxy A 9

 

Harga dan ketersediaan

Samsung Galaxy A50 dan A30 rencananya akan dilepas di Indonesia pada tanggal 29 Maret 2019 besok. Galaxy A50 tersedia dalam dua pilihan memori, dibanderol seharga Rp 4,1 juta (RAM 4GB, ROM 64GB) dan Rp 4,9 juta (RAM 6GB, ROM 128GB), sedangkan Galaxy A30 bisa Anda miliki dengan mengeluarkan uang Rp 3,4 juta. Setelah itu, tipe Galaxy A20 dan A10 akan segera menyusul.

Galaxy A 12

Karakter Gen Z untuk Strategi Pemasaran

Pasti Anda sudah tidak asing lagi dengan pengelompokan generasi berdasarkan tahun lahir. Ya, memasuki tahun 2018 ini banyak perhatian tertuju pada generasi Z. Generasi Z adalah mereka yang terkenal dengan karakter paling progresif  dan open-minded.

Pada keseluruhan lini mereka menyukai perbedaan, sebuah inovasi, dan terobosan baru. Ini dikarenakan mereka tergolong internet experts yang menuntut segala sesuatunya serba cepat. Termasuk dalam mencuri perhatian – buatlah konten yang menarik untuk 8 detik pertama jika ingin tetap mendapatkan perhatian mereka. Buang segala sesuatu yang sifatnya terlalu bertele-tele.

Berikut beberapa tips agar Anda dapat menyelami lebih jauh perilaku pembelian dari Gen Z:

The priority is your brand story

Bagi gen Z cerita di balik sebuah brand bisa menjadi kampanye promosi yang efektif. Posisikan mereka sebagai bagian dari brand Anda dengan berupaya terbuka menceritakan bagaimana produk dibuat, sumber bahan yang digunakan, serta bagaimana culture yang diterapkan pada para karyawannya. Gen Z hanya membutuhkan lebih banyak bukti jika memang suatu brand adalah yang terbaik. Selain itu, 80% dari populasi gen Z memiliki kecenderungan membeli produk yang memiliki dampak sosial atau dampak positif bagi lingkungan. Sehingga bukan lagi hanya nama besar sebuah brand yang dapat menentukan loyalitas konsumen dari gen Z ini, namun juga berfokus pada citra atau reputasi dari brand itu sendiri.

Don’t trick them

Jangan mencoba untuk mengecohkan gen Z dengan memberikan gambaran sempurna saat mengiklankan sebuah brand. Gen Z lebih tertarik pada sesuatu yang real, tidak muluk-muluk, dan mereka juga tidak mudah tertipu. Menurut penelitian dari FutureCast, 77% dari gen Z lebih menyukai iklan yang menunjukkan perilaku talent dalam situasi yang nyata. Alih-alih menggunakan selebriti, gen Z lebih tertarik melihat influencers di sosial media saat mempromosikan suatu brand.

Real people ini yang mereka anggap dapat merepresentasikan pengalaman yang nyata saat menggunakan brand tertentu. Mereka tumbuh pada era dimana informasi tersedia tanpa batas, sehingga saling tukar-menukar informasi menjadi salah satu kegiatan pemasaran yang biasa dilakukan.

Not quantity, but quality that matters

Penelitian dari FutureBay menunjukkan sebanyak 46% konsumen dari gen Z melakukan research lebih dulu sebelum membeli sebuah produk. Research dilakukan juga untuk mengetahui review dari konsumen lain yang telah lebih dulu mencobanya. Dalam pemilihan suatu brand, harga bukanlah faktor penentu utama. Gen Z lebih menimbang kesesuaian antara harga yang mereka bayarkan dengan apa yang mereka dapatkan. Nilai dari sebuah produk lebih diutamakan. Tidak hanya sekedar bagus dilihat, namun juga dapat memberikan banyak manfaat. Pengalaman pribadi adalah kunci utamanya. Gen Z juga tergolong pribadi yang berani – sebanyak 30% dari anggota mereka tidak pikir panjang untuk memberikan komplain melalui layanan konsumen jika terdapat layanan yang tidak memuaskan.
Gen Z yang cenderung kritis membuat mereka lebih selektif dan mempercayakan research untuk meyakinkan perilaku atau keputusan pembelian terhadap suatu produk. Lebih dari itu, sebanyak 85% dari Gen Z menggunakan media sosial untuk mendapatkan informasi mengenai produk atau brand terbaru. Serta sebanyak 32% Gen Z menonton video online (YouTube) minimal 1 jam per hari juga untuk mendapatkan informasi terkini. So, are you ready to embrace online experience for your Gen Z?

Disclosure: Tulisan tamu ini disusun oleh Gina Dwi Prameswari. Gina adalah Content Consultant di BBOX Consulting. Ia bisa dihubungi melalui blog BBOX