Kredivo to Consider SPAC; Expecting “Go-Public” Testimony from Indonesian Tech Giants

The fintech paylater company, Kredivo, is reportedly considering an option to go public on the New York stock exchange through SPAC. The company plans to partner with Victory Park Capital’s unit, an investment company that also provided debt funding facilities to Kredivo worth $100 million in November 2020.

This news was first reported by DealStreetAsia. As we continue to follow up, Kredivo executives were reluctant to comment on the rumors.

From the existing funding rounds, Kredivo’s current estimated valuation has reached $500 million. The ranks of investors include Singtel Innov8, Telkomsel Mitra Inovasi, MDI Ventures, Cathay Innovation, DST Partners, and Kejora Intervest.

Meanwhile, the value of the blank check company to be partnered with is estimated at $255 million.

Go-public plans

Recently, Tiket.com’s plan to go-public resurfaced. The company, which has now valued more than $1 billion, is reportedly considering SPAC as its vehicle to go-public on the stock exchange. Rumor has it that they will collaborate with a blank check company COVA Acquisition Corp. (COVA), forming a unity valued at more than $2 billion.

In addition, as quoted by Kumparan, GoTo’s CEO, Andre Soelistyo said the Gojek-Tokopedia joint venture also plans to go-public on the stock exchange before the end of 2021.

In a general note, other unicorns, including Traveloka and Bukalapak have reportedly begun exploring the option of going public with SPAC.

The SPAC popularity arises as the conventional IPO process is considered more complicated, expensive, and time-consuming for technology startups. In the United States, 2020 is a significant momentum for go-public through blank check scheme. There are more than 200 SPACs raising an estimated $799 billion.

However, there has been a decline in SPAC prices and interest in institutional investors to enter the PIPE; it is possible for startups to rethink about going public through this mechanism.

Withersworldwide’s partner, Joel Shen argues, SPAC’s resurgence can be attributed to low interest rates, abundant liquidity in the market due to the stimulus of the US central bank system, and an increase in the number of acquisition targets, especially in technology.

Expecting testimony

The plan remains, even the companies above avoid to openly discuss or admit about the SPAC. Some have already given the signal to immediately conduct an IPO.

If these market-leading startups can succeed with SPAC, it will be both a measure and a good benchmark for the ecosystem. One of them is related to the company’s acceptance on foreign exchanges, even though its business is focused on local [regional] markets.

In his  analysis, Gabriel Li as an expert from Withers KhattarWong Singapore said that the [global] public market has currently showing interest to invest in Southeast Asian technology startups. The success of Sea Group in bringing e-commerce, video games and payments businesses is said to be one of the early triggers. Investments in Southeast Asian or Indonesian companies are seen to be complementary for most investors.

Investors in the capital market, the government, and even the general public are now waiting for concrete steps of the tech-giants to go-public on the stock exchange. It is expected with careful steps, local startups can really give their best performance, therefore, it turns out to be extraordinary examples for innovators following in the same direction.

Indonesian capital market

All the news about unicorns planning to go-public, the Indonesia Stock Exchange (IDX) did not sit still. Various adjustments were made as “inducements” to local technology companies to consider domestic IPOs.

IDX’s Development Director, Hasan Fawzi said some adjustment points compiled through conversations with industry players. It is related to the listing option on the main board, expand the classification of sub-sectors, and to the rights of the founder to do a dual class share.

Dual listing is predicted to be an option for startups, as it is undeniable that investors from the United States stock exchange are connecting companies to embrace a wider circle of investors. On the other hand, an IPO on a local stock exchange will spice up the Indonesian market, while being a manifestation of nationalism.

IDX’ Commissioner, Pandu Sjahrir’s also said, as quoted by Tempo, currently three unicorns have registered to the local stock exchange, although no further details have been identified.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
Gambar Header: Depositphotos.com

 

Giliran Kredivo Dikabarkan Jajaki SPAC; Menanti Pembuktian “Go-Public” Raksasa Teknologi Indonesia

Perusahaan fintech paylater Kredivo dikabarkan sedang mempertimbangkan opsi go-public di bursa New York melalui SPAC. Rencananya perusahaan akan menggandeng salah satu unit Victory Park Capital, perusahaan investasi yang juga memberikan fasilitas debt funding kepada Kredivo senilai $100 juta pada November 2020 lalu.

Kabar ini pertama kali diberitakan oleh DealStreetAsia. Ketika kami hubungi, eksekutif Kredivo enggan memberikan komentar terkait rumor tersebut.

Dari putaran pendanaan yang ada, saat ini estimasi valuasi Kredivo menyentuh angka $500 juta. Investor Kredivo termasuk Singtel Innov8, Telkomsel Mitra Inovasi, MDI Ventures, Cathay Innovation, DST Partners, dan Kejora Intervest.

Sementara perusahaan cek kosong yang akan digandeng ditaksirkan memiliki nilai hingga $255 juta.

Rencana go-public terus bergulir

Belum lama berselang, rencana go-public Tiket.com kembali mengemuka. Perusahaan yang kini telah bervaluasi lebih dari $1 miliar tersebut dikabarkan juga mempertimbangkan SPAC untuk menjadi kendaraannya melantai ke bursa saham. Rumornya mereka akan menggandeng perusahaan cek kosong COVA Acquisition Corp. (COVA), membentuk gabungan perusahaan bernilai lebih dari $2 miliar.

Selain itu, dalam sebuah keterangan yang dikutip Kumparan, CEO GoTo Andre Soelistyo mengatakan perusahaan gabungan Gojek-Tokopedia juga ditargetkan bisa melantai ke bursa sebelum akhir tahun 2021.

Dan seperti diketahui sebelumnya, unicorn lain Traveloka dan Bukalapak juga sudah dikabarkan mulai menjajaki opsi go-public dengan kendaraan SPAC.

Popularitas SPAC muncul akibat proses IPO konvensional dinilai lebih rumit, mahal, dan memakan waktu lebih banyak bagi startup teknologi. Di Amerika Serikat, tahun 2020 menjadi momentum pertumbuhan signifikan go-public lewat kendaraan cek kosong. Ada lebih dari 200 SPAC mengumpulkan sekitar $799 miliar.

Kendati demikian, saat ini terlihat adanya penurunan harga SPAC dan minat investor institusi untuk masuk ke PIPE; berkemungkinan para startup berpikir ulang untuk go-public lewat mekanisme ini.

Partner Withersworldwide Joel Shen berpendapat, kebangkitan popularitas SPAC dapat dikaitkan dengan suku bunga rendah, likuiditas yang melimpah di pasar karena stimulus dari sistem bank sentral AS, dan peningkatan jumlah target akuisisi, terutama di bidang teknologi.

Menanti pembuktian

Rencana masih sekadar rencana, bahkan perusahaan-perusahaan di atas belum mau secara terang-terangan membicarakan atau mengakui tentang SPAC tersebut. Beberapa memang sudah memberikan sinyal untuk segera melakukan IPO.

Jika para startup pemimpin pasar tersebut bisa berhasil dengan SPAC, ini akan menjadi barometer sekaligus tolok ukur yang baik untuk ekosistem. Salah satunya terkait penerimaan perusahaan di bursa asing, kendati bisnisnya fokus di pasar lokal [regional].

Dalam analisisnya, Gabriel Li selaku pakar dari Withers KhattarWong Singapura mengatakan, saat ini pasar publik [global] telah memperlihatkan keinginan untuk berinvestasi di startup teknologi Asia Tenggara. Kesuksesan Sea Group membawa bisnis e-commerce, video game, dan pembayaran dikatakan menjadi salah satu pemicu awal. Investasi di perusahaan Asia Tenggara atau Indonesia dipandang akan menjadi pelengkap bagi sebagian besar investor.

Investor di pasar modal, pemerintah, bahkan masyarakat secara umum kini menantikan langkah konkret para raksasa teknologi dalam melantai ke bursa. Harapannya, melangkah dengan kehati-hatian, para startup lokal dapat benar-benar memberikan performa terbaik sehingga dapat dijadikan percontohan yang luar biasa bagi inovator-inovator yang tengah merangkak ke arah yang sama.

Pasar modal di Indonesia

Mendengar kabar bahwa para unicorn berencana melangsungkan penawaran publik, Bursa Efek Indonesia (BEI) tidak tinggal diam. Berbagai penyesuaian dilakukan sebagai “bujukan” agar para perusahaan teknologi lokal turut mempertimbangkan IPO di dalam negeri.

Direktur Pengembangan BEI Hasan Fawzi sempat mengatakan beberapa poin penyesuaian yang dihimpun dari perbincangan dengan para pemain industri. Di antaranya terkait opsi masuk ke papan utama, perluasan klasifikasi sub-sektor, dan terkait hak founder melakukan dual class share.

Dual listing juga digadang-gadang dapat menjadi opsi bagi para startup, karena tidak dimungkiri bahwa investor dari bursa Amerika Serikat menghubungkan perusahaan untuk merangkul kalangan investor yang lebih luas. Di sisi lain, IPO di bursa lokal akan membuat pasar di Indonesia bergairah, sembari sebagai perwujudan nasionalisme.

Menurut keterangan Komisaris BEI Pandu Sjahrir, seperti dikutip Tempo, saat ini sudah ada tiga unicorn yang mendaftar ke bursa lokal, kendati tidak disebut detail nama-namanya.

Gambar Header: Depositphotos.com

Tiket.com Confirms the Unicorn Status, Considering IPO through SPAC on the NYSE

Tiket.com is exploring the potential to go public on the New York stock exchange through SPAC. According to a Bloomberg report, the company is in discussions with COVA Acquisition Corp. (COVA), with an estimated of $2 billion combined value of the companies. The company is also said to consider raising an additional $200 million through the PIPE scheme.

The representative of Tiket.com has confirmed the unicorn status. He ensured that the company is exploring the potential to go public.

“Regarding that, we can now confirm that Tiket.com is now a unicorn, and Tiket.com plans for an IPO in the future,” a spokesperson for Tiket.com said.

Tiket.com was founded in 2011 and acquired by the Djarum Group through Blibli in 2017. Currently, both are operating as separate legal entities (PT), therefore, it is possible whether Tiket.com run for an IPO first.

Tiket.com founders are Mikhael Gaery Undarsa (CMO), Wenas Agusetiawan, Dimas Surya Yaputra (CCO), and Natali Ardianto (CTO – already exited). George Hendrata currently serves as Tiket.com’s CEO.

In April 2021, Tiket.com’s Co-Founder & CMO Gaery Undarsa stated at the media gathering that airline ticket sales has increased by 331%, while hotel reservations increased by 321%.

The positive result was obtained amidst various restrictions due to the pandemic.

Previously, several unicorn startups had planned to go public through SPAC, including Traveloka, which is Tiket.com’s closest competitor. Other unicorns also  rumored to conduct an IPO, including GoTo (Gojek and Tokopedia) and Bukalapak. In addition, the MNC conglomerate’s OTT business unit has chosen a similar step.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Tiket.com Konfirmasi Sandang Status Unicorn, Jajaki Potensi Melantai di Bursa New York (UPDATED)

Menurut pemberitaan Bloomberg, Tiket.com dikabarkan menjajaki potensi go public di bursa saham New York melalui SPAC. Perusahaan tengah berdiskusi dengan COVA Acquisition Corp. (COVA), dengan estimasi nilai gabungan perusahaan mencapai $2 miliar. Perusahaan disebut juga berpotensi meraih dana tambahan $200 juta melalui skema PIPE.

Kepada DailySocial, pihak Tiket.com mengonfirmasi status unicorn ini. Mereka juga memastikan perusahaan sedang menjajaki potensi go public. Meskipun demikian, perusahan tidak menyebutkan apakah akan menggunakan kendaraan SPAC.

“Sehubungan dengan itu, saat ini kami dapat memastikan bahwa Tiket.com telah berstatus unicorn, dan Tiket.com memiliki rencana IPO ke depan,” ujar juru bicara Tiket.com.

Tiket.com didirikan tahun 2011 dan diakuisisi Djarum Group melalui Blibli pada tahun 2017. Saat ini keduanya tetap berjalan dengan entitas legal (PT) terpisah, sehingga memungkinkan jika Tiket.com melangsungkan IPO terlebih dulu.

Para pendiri Tiket.com adalah Mikhael Gaery Undarsa (CMO), Wenas Agusetiawan, Dimas Surya Yaputra (CCO), dan Natali Ardianto (CTO – sudah exit). George Hendrata saat ini menjadi CEO perusahaan.

Di sebuah kesempatan temu media pada April 2021 lalu, Co-Founder & CMO Tiket.com Gaery Undarsa menyampaikan penjualan tiket pesawat naik sebesar 331%, sementara reservasi hotel naik di angka 321%.

Capaian positif ini didapat di tengah berbagai pembatasan akibat pandemi.

Sebelumnya beberapa startup unicorn telah merencanakan go public via SPAC, termasuk Traveloka yang merupakan kompetitor terdekat Tiket.com. Unicorn lain yang dikabarkan hendak menjajaki IPO adalah GoTo (Gojek dan Tokopedia) dan Bukalapak. Di samping itu unit bisnis OTT konglomerasi MNC juga memilih langkah serupa.

Application Information Will Show Up Here

Pertemuan Jaket Motor dan Kotak “Hijau”, Peta “GoTo” dari Gojek dan Tokopedia

Bagi banyak kaum urban Indonesia, kehidupan mereka dapat digambarkan dalam dua fase: sebelum Gojek, dan setelah Gojek menjadi bagian dari ponsel mereka. Sekarang, aplikasi hijau-putih tersebut telah menjadi kebutuhan pokok. Hal ini mencakup transportasi, pembayaran, hiburan, pengiriman makanan, dan banyak lagi. Lalu bagaimana dengan e-commerce? Anda mungkin sedang bertanya-tanya. Nah, hal itu akan segera hadir.

Gojek dan Tokopedia, platform e-commerce terbesar di Indonesia, semakin dekat dengan merger yang akan menciptakan entitas baru bernama GoTo, dengan co-CEO Gojek Andre Soelistyo sebagai nahkodanya. GoTo bisa menjadi ekosistem teknologi yang kuat dalam menghubungkan jutaan pelanggan, pedagang, serta mitra pengemudi, dan akan menempati posisi kokoh untuk segera go public.

Kedua perusahaan memiliki banyak keuntungan dari merger ini. Tokopedia akan memiliki akses ke sumber daya logistik Gojek untuk layanan pengiriman yang lebih efisien, sementara Gojek juga akan mendapat dukungan dari jaringan pengiriman e-commerce Tokopedia. Cabang fintech Gojek, GoPay, dan bank digital Bank Jago dapat menargetkan usaha kecil dan menengah Tokopedia untuk menawarkan layanan pembayaran dan peminjaman.

Meningkatkan ragam fungsi aplikasi dapat memperluas jejak Gojek di Asia Tenggara. Terlepas dari kekuatannya di Indonesia, Gojek masih tertinggal dari saingannya, Grab, di luar kandang. Gojek saat ini hanya tersedia di empat pasar, yakni Vietnam, Thailand, Singapura, dan Indonesia. Grab hadir di semua pasar di mana Gojek beroperasi ditambah Malaysia, Myanmar, dan Filipina, dan telah bermitra dengan JapanTaxi untuk memungkinkan pengguna Grab memanggil taksi di lokasi wisata populer di Jepang.

Ekspansi regional sepertinya menjadi salah satu fokus utama Gojek saat ini. Tahun lalu, perusahaan menyatukan merek Vietnam dan Thailand, sementara di Singapura, telah mengumumkan rencana untuk meluncurkan produk baru, termasuk fitur baru untuk klien korporat, pesanan taksi, dan layanan kendaraan besar.

Langkah tersebut tampaknya diperlukan untuk meningkatkan kompetisi dengan Grab, yang bersiap untuk go public di AS melalui mega-merger SPAC dengan Altimeter Growth Corporation. GoTo juga kemungkinan akan melakukan dual listing di Indonesia dan di bursa saham AS tahun ini, keputusan yang bisa jadi didorong oleh tingginya minat raksasa teknologi AS pada startup Asia Tenggara. Gojek sudah memiliki beberapa investor AS seperti Facebook, PayPal, Visa, dan Google, sementara Tokopedia juga mendapat dukungan dari Google. Kedua perusahaan bahkan berbagi DNA investor di Sequoia Capital India dan Temasek.

“Setiap potensi merger akan didorong oleh konvergensi. Layanan yang diberikan oleh kedua perusahaan sangat saling melengkapi dan akan menggabungkan skala yang signifikan. Pemain gabungan juga akan lebih berkelanjutan secara finansial mengingat aliran pendapatan yang lebih beragam,” sebut Kenny Liew, analis senior telekomunikasi, media, dan teknologi di Fitch Solutions, kepada KrASIA.

Menyalurkan minat investor asing

Perusahaan teknologi di Asia Tenggara telah menarik minat investor global berkat ekonomi internet yang berkembang di kawasan ini, yang diharapkan dapat menghasilkan nilai barang dagangan bruto (GMV) sebesar USD 309 miliar pada tahun 2025.

Kesuksesan IPO Sea Group di Bursa Efek New York juga telah membangkitkan minat investor untuk perusahaan-perusahaan di kawasan ini, menurut Hian Goh, mitra pendiri dari investor awal Gojek, Openpace Ventures.

Gojek bisa meyakinkan investor berkat operasional perusahaan di beberapa sektor dan merger dengan Tokopedia. Gojek dapat dilihat sebagai perpaduan Uber, DoorDash, Alipay, dan Flipkart, yang mencakup layanan transportasi online, pengiriman makanan dan bahan makanan online, dan pembayaran online. “Keragaman biasanya mirip dengan pemain teknologi besar AS dan China, yang umumnya diterima dengan baik oleh investor pasar publik,” kata Goh.

Fitch Solutions ‘Liew menambahkan bahwa “tidak seperti IPO ride-hailing sebelumnya seperti Uber dan Lyft, Gojek memiliki model bisnis yang terdiversifikasi dengan kehadiran yang kuat di berbagai bidang seperti fintech dan pengiriman makanan, dua sektor di mana sudah ada jalur yang jelas menuju profitabilitas, dan investor ‘bunga sangat tinggi. ”

Siapa yang memegang kendali Gojek?

Proyeksi pengiriman makanan dan pembayaran digital di Asia Tenggara cukup menjanjikan dibandingkan dengan transportasi online. Pada tahun 2025, nilai bruto pengiriman makanan akan mencapai USD23 miliar, sedangkan nilai transaksi bruto untuk pembayaran akan mencapai USD1,2 triliun, menurut laporan oleh Google, Temasek, dan Bain & Co. Transportasi diprediksi hanya mencapai USD19 miliar, tercatat di laporan yang sama.

Sejauh ini, perusahaan yang beroperasi di sektor ini telah melihat reaksi positif di pasar modal. Platform pengiriman makanan DoorDash berhasil mendapatkan debut yang sukses di pasar saham pada akhir tahun 2020, sementara bisnis pengiriman makanan Uber, UberEats, melaporkan pertumbuhan positif pada Maret 2021.

“Kami yakin minat ini akan terus meningkat di masa mendatang karena investor di semua tahap investasi ingin menangkap peluang yang berkembang di Asia Tenggara,” kata Goh.

Menambahkan layanan e-commerce dapat menjadi keunggulan kompetitif bagi Gojek dalam persaingan melawan Grab, karena perusahaan yang berbasis di Singapura ini tidak memiliki cabang e-commerce, juga belum mengumumkan rencana untuk bergabung dengan salah satunya. Grab menjalin kemitraan dengan Lazada di Vietnam pada November 2020, memberikan konsumen Vietnam akses ke GrabFood dari beranda aplikasi dan halaman web Lazada, sementara pengguna Grab di Vietnam dapat mengakses platform Lazada melalui Banner dan widget di aplikasi Grab.

Hampir 2 juta mitra pengemudi Gojek juga dapat memberikan GoTo kesempatan yang lebih baik untuk membangun jaringan pengiriman yang solid untuk bersaing dengan platform e-commerce Sea Group, Shopee.

Namun, GoTo perlu menciptakan ekosistem yang kokoh dan meningkatkan penawarannya. “Untuk menjadi kompetitif dan menangkis persaingan ketat dari pesaing seperti Shopee dan Grab, Tokopedia dan Gojek perlu menciptakan lebih banyak sinergi dan mengembangkan ekosistem layanan yang akan menghasilkan belanja dan loyalitas pelanggan yang lebih besar, daripada berpegang pada status quo dan mengandalkan produk apa adanya,” kata Liew.

Pengemudi Gojek kelak akan mengirim parcel untuk Tokopedia. Dokumentasi oleh Gojek

Memompa valuasi dan kesempatan di masa depan

Seperti Google dan Uber, Gojek telah menjadi kata kerja yang digunakan oleh masyarakat Indonesia dalam bahasa sehari-hari: Gojek-in aja (“kirim saja lewat Gojek”) dan nge-Gojek (“menggunakan layanan transportasi Gojek”). Di wilayah metropolitan, pengemudi Gojek ada di mana-mana, masing-masing mengenakan jaket hijau khasnya, mengangkut penumpang, mengantarkan paket, atau beristirahat di taman saat istirahat makan siang.

Sebagian besar pedagang offline juga memiliki mesin dan barcode GoPay sebagai opsi pembayaran, yang mencerminkan keberadaan Gojekdi seluruh strata kehidupan masyarakat Indonesia.

Keberadaan Tokopedia lebih halus. Tidak seperti Amazon, platform e-commerce Indonesia tidak mencetak logonya pada paket yang meninggalkan pusat penyimpanannya. Namun, platform ini menjadi yang terbanyak dikunjungi kedua di Indonesia, dengan lebih dari 114 juta kunjungan web setiap bulan, menurut situs agregator pasar iPrice. Platform ini juga mengklaim memiliki lebih dari 900.000 pedagang. Perusahaan telah memasuki kios-kios kecil di pinggir jalan — yang dikenal sebagai warung — menambahkan pulsa telepon dan token listrik ke dalam stok mereka.

Gojek dikabarkan bernilai USD10,5 miliar, sedangkan Tokopedia USD7,5 miliar. Penyatuan antara keduanya akan menciptakan entitas senilai USD18 miliar. Bloomberg memperkirakan, dengan potensi dual listing di Indonesia dan AS, perusahaan dapat mencapai penilaian sekitar USD40 juta, menyamai valuasi yang diharapkan Grab setelah bergabung dengan Altimeter’s SPAC.

Pemegang saham Gojek akan memiliki 58% saham di GoTo, dan pemilik Tokopedia akan mengambil sisanya, menurut sumber familiar yang berbicara dengan Bloomberg. GoTo akan membagi operasinya menjadi tiga unit bisnis: ride-hailing di bawah Gojek, e-commerce di bawah Tokopedia, dan divisi pembayaran dan keuangan baru bernama Dompet Karya Anak Bangsa, atau DKAB.

“Jika kedua perusahaan dapat menunjukkan kepada calon investor seberapa kuat mereka dan di segmen baru apa mereka dapat bersaing dan tumbuh setelah merger, saya pikir itu pasti akan merefleksikan valuasi yang lebih tinggi,” kata Liew.

“Menggabungkan kedua bisnis akan membuka banyak sinergi bagi kedua perusahaan, dan kemungkinan besar akan membuat mereka menjadi pemain yang lebih kuat di bidangnya masing-masing. Membuka sinergi ini secara efektif dapat menghasilkan pertumbuhan yang lebih cepat dan berkelanjutan. Landasan pertumbuhan yang lebih panjang dan kuat adalah kunci dari valuasi yang lebih tinggi, ”tambah Liew.

Goh Openspace Ventures yang telah mengamati Gojek sejak menjadi startup, meyakini bahwa Gojek memiliki masa depan yang menjanjikan. “Kami melihat Gojek sebagai perusahaan teknologi generasi,” ujarnya. “Ini telah mencapai jumlah yang luar biasa dan masih memiliki ruang yang signifikan untuk berkembang. Kami yakin pertumbuhan ini dapat dicapai dengan atau tanpa IPO dalam waktu dekat.”


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis dalam bahasa Indonesia sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial

Grab Resmi Umumkan Rencana “Go Public” Melalui SPAC

Kemarin Grab mengumumkan kepastian go public di bursa saham Amerika Serikat menggunakan Special Purpose Acquisition Company (SPAC) bermitra dengan perusahaan cek kosong (blank check company) Altimeter Growth Corp ($AGC). Tidak disebutkan kapan pastinya proses ini selesai, tapi diperkirakan perusahaan resmi menggunakan ticker $GRAB di pertengahan tahun ini.

Grab menjadi perusahaan Asia Tenggara kedua yang memastikan melantai menggunakan SPAC. Sebelumnya Vision+, anak perusahaan MNC, telah menggandeng Malacca Straits Acquisition Company ($MLAC) untuk go public di kuartal ketiga tahun ini.

Grab membidik valuasi $39,6 miliar (sekitar Rp580 triliun) dan perolehan dana segar $500 juta dari $AGC dan melalui PIPE (Private Investment in Public Equity) senilai $4 miliar. $750 juta di antaranya merupakan komitmen Altimeter.

“Altimeter berkomitmen untuk memegang saham yang dimiliki oleh sponsornya selama tiga tahun dan juga akan melakukan kontribusi yang besar dari sahamnya untuk dana abadi GrabForGood. Altimeter bersama dengan para investor dan lembaga pengelola investasi ternama lainnya akan bersama kami dalam jangka panjang,” ujar Group CEO dan Co-Founder Grab Anthony Tan.

Angka valuasi Grab ini setara dengan valuasi yang diharapkan hasil merger Gojek dan Tokopedia. Sepanjang tahun 2020, Grab mencatatkan penjualan (Gross Merchandise Value / GMV) $12,5 miliar, dengan pilar bisnis terdiri atas Delivery (pengantaran), Mobility (pergerakan orang), dan Finance (kegiatan finansial). Indonesia adalah pasar terbesar Grab.

Anthony mengatakan, “Merupakan suatu kebanggaan bagi kami untuk dapat mewakili Asia Tenggara di pasar terbuka global. Langkah ini merupakan pencapaian dari perjalanan kami dalam memberikan akses kepada setiap orang untuk dapat menikmati kemajuan ekonomi digital. [..] Ketika Asia Tenggara sukses, maka Grab juga sukses.”

Brad Gerstner, Founder & CEO, Altimeter menambahkan, “Sebagai salah satu perusahaan internet terbesar di dunia dengan pertumbuhan terpesat, Grab membuka jalan digital bagi 670 juta masyarakat Asia Tenggara. Kami sangat senang bahwa Grab memilih Altimeter Capital Markets sebagai mitra IPO mereka dan sangat bersemangat untuk bergabung menjadi pemilik-pemilik jangka panjang dari perusahaan yang inovatif dan bermisi besar ini.”

Hati-hati dengan SPAC

Makin menjamurnya perusahaan yang go public menggunakan SPAC menjadi perhatian tersendiri dari regulator. Regulator Amerika Serikat, SEC, menghimbau agar keputusan berinvestasi di suatu SPAC tidak semata-mata karena didukung selebritas industri dan mewajibkan investor tetap melakukan pengecekan dan riset sendiri.

Data pertumbuhan dana yang diperoleh dari publik melalui SPAC dalam 8 tahun terakhir / Dealogic dan Goldman Sachs Global Investment Research
Data pertumbuhan dana yang diperoleh dari publik melalui SPAC dalam 8 tahun terakhir / Dealogic dan Goldman Sachs Global Investment Research

Menurut data yang dikompilasi Dealogic dan Goldman Sachs, pertumbuhan perolehan dana publik melalui SPAC melonjak pesat di tahun 2020 dan mencapai puncaknya di kuartal pertama 2021. ZeroHedge melaporkan angka ini turun drastis di permulaan kuartal kedua. SEC disinyalir memperketat proses pendaftaran dan go public SPAC ini demi melindungi dana publik.

Secara umum, SPAC mempermudah dan mempercepat proses go public perusahaan karena tidak banyak paperwork dan persyaratan yang harus dipenuhi perusahaan. Meskipun demikian, kasus Nikola, yang menyebabkan pendirinya harus mengundurkan diri, merupakan contoh bahwa perusahaan yang go public melalui SPAC ternyata belum pasti bebas dari masalah.

The Way SPAC and Dual Class Shares Drive Unicorns to Go-Public

The Indonesia Stock Exchange (IDX) has been improved since earlier this year to welcome three unicorns. Some relaxation has been prepared, one of which is allowing them to go public using SPAC (Special Purpose Acquisition Company) and dual class shares. These are currently being discussed in the internal unit.

DailySocial received a statement that IDX’s Company Assessment Director,  I Gede Nyoman Yetna Setia said SPAC and dual-class shares (DCS) are currently in internal review, discussing with authorities and stakeholders regarding the potential for implementation and regulation in Indonesia.

He said, in every process of regulation drafting, his team will first make comparisons with several other stock exchanges in other countries to determine the best practices in Indonesia.

“Indeed, by considering several things such as corporate governance, protection of public investors, and compliance with applicable laws and regulations,” he said.

Separately, quoting from Bisnis.com, Nyoman said that the IDX is currently studying the potential for implementing DCS with a multiple voting share (MVS) structure. MVS is a type of share with more than one vote for each share.

MVS implementation in several countries usually regulates the maximum ratio between shares with voting rights is 1:10 or 1 share has 10 voting rights. This is different from ordinary shares, with only one voting right for each share, which is called the ordinary share.

“In terms of best practice in several global exchanges, DCS with MVS classification usually can only be held by founders who also involve as company management or key parties who can ensure the sustainability of the company’s vision or innovation in the long term.”

Pros and Cons

Essentially, SPAC and DCS are trends in the United States which is the hub for all tech companies. Amvesindo’s Chairman, Edward Chamdani observed whether SPAC can be implemented in Indonesia, it will be quite similar to the practice of reverse listing but with a guarantee of a much cheaper cost and process.

“In reverse listing, there is a risk that the company’s shell suddenly has a tax or legal problem. Meanwhile, the SPAC is guaranteed to be clean as it is new. Of all the companies intend to merge with SPAC, the sponsor is flexible, as long as it can provide sufficient value and funds,”  Edward said to DailySocial.

The downside also applies to founders, because they have to sell a percentage of shares and at a lower value than the market price.

The DCS practice is capturing lots of attention in the United States. Around 26 of the 134 companies that went public in 2018, 25 of 112 new companies registered in 2019, and 32 of the 165 companies that were newly registered in 2020 adopted DCS.

This fact has motivated stock exchanges in other countries such as Hong Kong, Singapore and Shanghai to create relaxation to regulations expecting markets to be more attractive, especially for tech companies. Moreover, Hong Kong had previously lost as Alibaba and other big companies turned around and go public in New York.

Edward explained that his team would really appreciate the IDX’s steps if DCS practice could be implemented in Indonesia because this will be a new breakthrough. For investors, DCS is not a strange concept as it is similar to preferred stock when investors signed the shareholder agreement issued by the company during the rights issue.

The preferred shareholders have higher voting rights than common shareholders, although this practice is less common in Indonesia.

The DCS existence is essential for tech startup founders because in  startup journey they are likely to make various series of funding which causes their shares diminished.

When it becomes a public company, DSC serves to convince investors that the company can achieve a certain vision and mission in the long term under its control. Although the founder has technically less shares, the voting rights are greater than the common stock.

“If the stock exchange can implement this, it will be a positive thing because most of tech companies are driven by a founder figure.”

When go public, company benchmarks are usually valued from the financial statements and good corporate governance (GCG). Disruptive and innovative technology companies are strongly influenced by the founder figure to strengthen the company’s abstract vision and mission.

Edward also expects that from the investor’s point of view, he will be more familiar in the future with the characteristics of technology companies which benchmarks are invisible from EBITDA, enterprise value (EV), or price to earnings ratio (PE). Therefore, even though they still around negative profit and loss (P&L), in the next 10-20 years, by understanding the disruptive roadmap of these companies, it will become a valuable company.

“The closest example is when Amazon go public, every income is always converted into assets, therefore, they do not pay dividends to shareholders. With such knowledge, investors can think long term, not just quarterly.”

Behind the glittering promises of DCS, there is always a negative vibe as the capitalist system eliminates democratic elements. One share is no longer valued as one vote. Google even has three types of shares, Class A, B, and C. Each Class B share has 10 voting rights filled by Google insiders. Meanwhile Class A common stock sold to the public is worth only one vote and Class C does not have voting rights.

Academics from Queen Mary University of London, Min Yan said that another debate is about a shift to how to contain governance-related risks. Such steps as termination and restrictions on voting differences are designed to withhold control over several classes of shares by voting and provide mandatory protection for shareholders with lower votes. However, this action, intentional or not, jeopardizes the value of the different voting rights.

Such action is like a double-edged sword, not only helping to reduce governance risk but also undermining the isolation of controllers from external investors and market influence.

The lack of enthusiasm for technology companies to go public on the Hong Kong, Singapore and Shanghai exchanges reflects the diminishing attractiveness of the DCS structure when safeguards are tight. This situation is the opposite of what happened in the United States, because there are no such compulsory precautions there.

Yan also highlighted the key safeguards, including final provisions, maximum vote differentials, and improved corporate governance standards, as ex ante strategies. Given the objective of such action is to prevent potential managerial unaccountability and opportunism by restricting the ability of controlling shareholders to exercise some of their voting rights.

Because the strict ex ante strategy, with too much restriction of controlling power and jeopardizing the benefits of weighted voting rights under dual class shares, the action to make ex post as an alternative needs to be reconsidered.

He said, no financial authority in Asia has an effective and strong ex post regime. DCS’s true success lies in its market acceptance. Whether a few or no companies intend to go public with that kind of structure, allowing two-class listing will be futile.

“Therefore, I suggest exploring more ex post mechanisms, such as aggregate litigation through a representative process that provides solutions to disadvantaged shareholders when the problem of lack of managerial accountability occurs, to reduce dependence on ex ante constraints as mandatory safeguards,” he concluded.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
Foto header: Depositphotos.com

Bagaimana Kehadiran SPAC dan “Dual Class Shares” Dorong Kehadiran Startup Unicorn Melantai di Bursa Efek

Bursa Efek Indonesia (BEI) banyak melakukan pembenahan sejak awal tahun demi menyambut kehadiran tiga perusahaan unicorn. Sejumlah relaksasi telah disiapkan, salah satunya adalah membolehkan mereka go public menggunakan SPAC (Special Purpose Acquisition Company) dan menerbitkan saham kelas ganda (dual class shares). Dua rencana ini sedang dibahas di internal bursa.

Dari pernyataan yang DailySocial terima, Direktur Penilaian Perusahaan BEI I Gede Nyoman Yetna Setia menuturkan SPAC dan dual-class shares (DCS) sedang dalam kajian internal, berdiskusi dengan otoritas serta pemangku kepentingan terkait potensi penerapan dan pengaturannya seperti apa di Indonesia.

Menurutnya, dalam setiap proses penyusunan peraturan bursa, pihaknya akan terlebih dahulu melakukan perbandingan dengan beberapa bursa lain di negara lain untuk dapat menentukan best practice yang akan diterapkan di Indonesia.

“Tentunya dengan mempertimbangkan beberapa hal seperti corporate governance, perlindungan investor publik, dan kesesuaian peraturan dengan perundangan yang berlaku,” katanya.

Secara terpisah, mengutip dari Bisnis.com, Nyoman menerangkan kajian yang sedang dilakukan BEI adalah melihat potensi penerapan DCS dengan struktur multiple voting share (MVS). MVS itu sendiri adalah suatu jenis saham yang memiliki lebih dari satu hak suara untuk setiap lembar sahamnya.

Penerapan MVS di beberapa negara rata-rata mengatur maksimal rasio antara saham dengan hak suara adalah 1:10 atau 1 saham memiliki 10 hak suara. Ini berbeda dengan saham biasa yang hanya memiliki satu hak suara untuk tiap lembar sahamnya, biasa disebut ordinary share.

“Secara best practice di beberapa bursaa global, penerapan DCS dengan klasifikasi MVS biasanya hanya akan dipegang oleh para founder yang bertindak sekaligus menjadi manajemen perusahaan atau pihak kunci yang dapat memastikan keberlangsungan visi atau inovasi perusahaan dalam jangka panjang.”

Plus minus SPAC dan DCS

Pada hakikatnya, SPAC dan DCS adalah tren yang terjadi di Amerika Serikat sebagai kiblat perusahaan teknologi. Ketua Amvesindo Edward Chamdani melihat jika SPAC dapat diterapkan di Indonesia, sebenarnya ini tak jauh beda dengan praktik reverse listing (back door listing) namun dengan jaminan biaya dan proses yang jauh lebih murah.

“Yang sering ditakutkan saat reverse listing adalah cangkang perusahaan tersebut tahu-tahu ada masalah pajak atau hukum. Sementara kalau SPAC sudah dijamin bersih karena masih baru. Dari perusahaan yang mau di-merger-kan dengan SPAC juga bisa pilih sponsor mana yang ia suka, yang bisa berikan value dan dana yang cukup,” kata Edward saat dihubungi DailySocial.

Sisi minusnya juga berlaku bagi founder, karena mereka harus melepas sebagian persen saham dan dijual dengan harga lebih murah dari harga pasar.

Praktik DCS sendiri banyak dilirik di Amerika Serikat. Tercatat, sebanyak 26 dari 134 perusahaan go public pada tahun 2018, 25 dari 112 perusahaan baru yang terdaftar pada tahun 2019, dan 32 dari 165 perusahaan yang baru terdaftar pada tahun 2020 mengadopsi DCS.

Fakta tersebut membuat bursa di negara lain seperti Hong Kong, Singapura, dan Shanghai termotivasi melakukan pelonggaran aturan agar bursanya jadi lebih menarik, khususnya perusahaan teknologi. Apalagi Hong Kong sebelumnya telah kehilangan saat Alibaba dan perusahaan besar lainnya berpaling dan memilih go public di New York.

Edward menjelaskan pihaknya bakal sangat mengapresiasi langkah BEI bila praktik DCS dapat diimplementasi di Indonesia karena ini adalah terobosan baru. Di mata investor, DCS bukan barang asing karena tak jauh berbeda dengan saham preferen saat investor menandatangani perjanjian pemegang saham yang diterbitkan perusahaan saat rights issue.

Pemegang saham preferen (preferred share) juga punya hak suara yang lebih tinggi daripada saham biasa (common share), kendati praktik ini kurang umum di Indonesia.

Kehadiran DCS, bagi para founder startup teknologi, sangat bermakna karena dalam perjalanan startup kemungkinan besar sudah melakukan berbagai rangkaian pendanaan yang menyebabkan sahamnya kian terkikis.

Saat menjadi perusahaan publik, DSC berfungsi untuk meyakinkan para investor bahwa di bawah kontrolnya perusahaan dapat mencapai visi dan misi tertentu dalam jangka panjang. Meski founder tersebut secara teknis sahamnya lebih sedikit, tapi hak suaranya lebih besar daripada saham biasa.

“Kalau bursa bisa menerapkan ini, akan jadi hal positif karena rata-rata perusahaan teknologi itu di-drive oleh sosok founder.”

Pada umumnya, saat go public, biasanya tolak ukur perusahaan dilihat dari laporan keuangan dan tata kelola perusahaan yang baik (GCG). Perusahaan teknologi yang bersifat disruptif dan inovatif sangat dipengaruhi sosok founder untuk menguatkan visi misi perusahaannya yang masih abstrak.

Edward juga berharap dari sisi investor sendiri dapat lebih familiar ke depannya dengan karakteristik perusahaan teknologi yang tolak ukurnya bukan dilihat dari EBITDA, enterprise value (EV), atau price to earning ratio (PE). Jadi, meski profit and loss (P&L) masih negatif, tapi dengan mengerti roadmap dari perusahaan tersebut yang disruptif, pada 10-20 tahun mendatang akan menjadi perusahaan yang valuable.

“Contoh terdekatnya adalah Amazon saat go public, setiap pendapatannya selalu dialihkan menjadi aset, sehingga mereka tidak memberikan dividen kepada pemegang sahamnya. Dengan pengetahuan seperti itu, investor dapat berpikir jangka panjang, tidak kuartalan saja.”

Dibalik gemerlapnya janji yang ditawarkan DCS, selalu ada sisi negatif yang dikhawatirkan karena sistem kapitalisme ini menghilangkan unsur demokratis. Satu saham tidak lagi dinilai satu hak suara. Google bahkan memiliki tiga jenis saham, Class A, B, dan C. Tiap lembar saham Class B menguasai 10 hak suara diisi oleh orang-orang dalam Google. Sementara saham biasa Class A yang dijual ke publik hanya bernilai satu hak suara dan Class C tidak memiliki hak suara.

Akademisi dari Queen Mary University of London, Min Yan, menambahkan, perdebatan lainnya adalah mengenai pergeseran ke cara menahan risiko tata kelola terkait. Langkah-langkah seperti ketentuan penghentian dan pembatasan perbedaan hak suara dirancang untuk menahan kontrol yang berasal dari beberapa kelas saham dengan suara dan memberikan perlindungan wajib bagi pemegang saham dengan suara yang lebih rendah. Namun, tindakan ini, disengaja atau tidak, membahayakan nilai hak suara yang berbeda.

Tindakan tersebut ibarat pedang bermata dua, tidak hanya membantu mengurangi risiko tata kelola tetapi juga merusak isolasi pengontrol dari investor eksternal dan pengaruh pasar.

Minimnya antusiasme perusahaan teknologi untuk melantai di bursa Hong Kong, Singapura, dan Shanghai mencerminkan berkurangnya daya tarik struktur DCS ketika pengamanan wajib ketat. Situasi ini berbanding terbalik dengan Amerika Serikat, sebab di sana tidak ada tindakan pengamanan wajib seperti itu.

Yan juga menekankan, tindakan pengamanan utama, termasuk ketentuan akhir, perbedaan suara maksimum, dan standar tata kelola perusahaan yang ditingkatkan, adalah strategi ex ante. Mengingat objektif dari tindakan tersebut adalah mencegah potensi tidak akuntabilitas dan oportunisme manajerial dengan menahan kemampuan pemegang saham pengendali untuk menggunakan beberapa hak suara mereka.

Karena strategi ex ante yang cenderung ketat, terlalu mengekang kekuasaan pengontrol dan membahayakan manfaat hak suara tertimbang di bawah saham kelas ganda, maka tindakan ex post sebagai alternatif perlu dipertimbangkan.

Menurutnya, tidak ada otoritas keuangan di Asia yang memiliki rezim ex post yang efektif dan kuat. Keberhasilan DCS sebenarnya terletak pada penerimaan pasarnya. Jika sedikit atau tidak ada perusahaan yang memilih untuk go public dengan struktur saham seperti itu, mengizinkan pencatatan dua kelas akan sia-sia.

“Oleh karena itu, saya menyarankan eksplorasi mekanisme yang lebih ex post, seperti litigasi agregat melalui proses perwakilan yang memberikan solusi kepada pemegang saham yang dirugikan ketika masalah dari kurangnya akuntabilitas manajerial terjadi, untuk mengurangi ketergantungan pada kendala ex ante sebagai pengaman wajib,” tutupnya.


Foto header: Depositphotos.com

Kompetisi “Go Public” Raksasa Teknologi Asia Tenggara

Analis dan laporan media memproyeksikan bahwa 2021 akan menjadi tahun yang bersemangat bagi ekosistem teknologi Asia Tenggara karena raksasa teknologi di kawasan itu sedang giat mengincar penawaran umum perdana (IPO). Gebrakan itu muncul pada tahun 2020, ketika e-commerce unicorn Tokopedia dilaporkan sedang menjajaki opsi untuk listing melalui perusahaan akuisisi bertujuan khusus (SPAC) pada bulan Desember dan menunjuk Morgan Stanley dan Citigroup sebagai penasihatnya.

Tak lama kemudian, tersiar kabar bahwa Traveloka, unicorn lain yang berbasis di Indonesia, sedang mempertimbangkan IPO melalui skema yang sama. Perusahaan harus melewati turbulensi pada tahun lalu, ketika industri perjalanan dan perhotelan terhenti di seluruh dunia. Namun, di bulan Januari, CEO Traveloka, Fery Unardi, mengatakan kepada Bloomberg bahwa bisnis telah pulih dan perusahaan sedang mempertimbangkan jalur yang harus ditempuh, seperti merger SPAC untuk IPO tahun ini. Traveloka dikabarkan telah mengadakan diskusi dengan beberapa perusahaan cek kosong, termasuk perusahaan yang baru dibentuk seperti Bridgetown Holdings, yang didukung oleh Peter Thiel dan Richard Li.

Ada perkembangan yang bahkan lebih mencekam. Setelah berbulan-bulan berspekulasi, diskusi merger Grab dan Gojek — percobaan pertandingan yang dilakukan oleh Masayoshi Son dari SoftBank — gagal pada bulan Januari, dan kedua perusahaan tersebut menempuh jalur yang berbeda. Gojek dilaporkan sedang dalam pembicaraan lanjutan dengan Tokopedia untuk megamerger lain sebelum go public, sementara Grab mungkin meluncurkan IPO-nya sendiri di AS tahun ini.

Investor sering mengharapkan perusahaan portofolio untuk go public dalam jangka waktu tertentu, sehingga mereka dapat menguangkan sahamnya. Jika perusahaan portofolio tidak melakukan ini, mungkin akan dikenakan pembayaran kontraktual yang cukup besar. Misalnya, Grab akan berutang kepada Uber $2 miliar jika perusahaan yang berbasis di Singapura tersebut tidak memiliki saham yang diperdagangkan secara publik pada Maret 2023. Sementara itu, IPO yang berhasil dapat memberikan imbal hasil yang menarik bagi investor awal — dan memberikan preseden yang berarti ketika mereka mengumpulkan uang untuk fund baru. dana. Ini adalah siklus yang melahirkan dana investasi yang lebih besar dan lebih beragam yang dapat memotong cek yang lebih besar untuk para startup.

Keempat perusahaan ini — Grab, Gojek, Tokopedia, dan Traveloka — mungkin akan memperdagangkan sahamnya di New York, di mana Sea Group dari Forrest Li memimpin jalan bagi perusahaan teknologi yang berkembang pesat di Asia Tenggara. Mereka mendapat pengakuan nama di wilayah asalnya, tetapi apakah mereka dapat meyakinkan investor di AS untuk mempertahankan saham mereka?

Berlomba-lomba IPO

Para pendiri Grab, Gojek, Tokopedia, dan Traveloka semuanya telah menyatakan niatnya untuk mencapai profitabilitas sejak 2019. Tekanan meningkat tahun lalu karena pandemi — para investor mereka mengharapkan hasil. Go public memberi investor jalan keluar yang alami; Jika semua berjalan sesuai rencana, empat perusahaan teknologi Asia Tenggara akan membuka jalur uang tunai dari AS untuk mengalir ke pundi-pundi para modal ventura.

“Pasar publik telah mencerminkan keinginan yang luar biasa untuk berinvestasi di kancah teknologi Asia Tenggara, dan orang tidak perlu melihat lebih jauh dari Sea Group untuk melihat sejauh mana minat pasar dalam opsi untuk berinvestasi ke perusahaan teknologi di kawasan itu,” ujar Gabriel Li, seorang rekan dari firma hukum Singapura Withers KhattarWong.

Sebagai perusahaan teknologi yang mencakup e-commerce, video game, dan pembayaran, Sea Group adalah anak emas Asia Tenggara untuk pasar publik. Meskipun harga sahamnya datar selama lebih dari dua tahun, pemegang saham meraup 400% keuntungan di kertas di tahun 2020 saja.

Itu menambah kapitalisasi pasar sebesar $6 miliar ke Sea. Ini beberapa kali lebih banyak dari pertumbuhan Indeks Komposit NYSE pada periode yang sama, sebut Gabriel, dan dapat mendorong perusahaan teknologi lain untuk membuka garda depan persaingan baru, kali ini di pasar modal. “Perlombaan untuk tercatat kemungkinan merupakan bagian dari persaingan abadi untuk mendapatkan pangsa pasar. Ini hanyalah salah satu manifestasi terbaru mengingat, sekarang, sebagian besar akan merasa bahwa daftar akan jadi sangat bermanfaat. Dan sebagian besar akan mencoba meniru pengalaman Sea Group,” ujar Gabriel.

Saat ini, hanya ada sedikit pilihan bagi investor yang ingin memasukkan uangnya ke sektor teknologi kawasan. Menjadi salah satu firma pertama yang memperoleh simbol ticker di New York sama saja dengan memanfaatkan kesempatan yang ada. “Kelangkaan opsi kemungkinan akan mengarah pada penilaian yang lebih baik,” kata Gabriel, terutama karena perusahaan Asia Tenggara berada di radar investor Tiongkok dan Amerika sebagai opsi yang layak untuk mendiversifikasi portofolio. “Investor ini tidak hanya mencari peluang pertumbuhan investasi yang lebih tinggi di Asia Tenggara, tetapi juga mencari teknologi dan solusi yang lebih baru sebagai area pertumbuhan yang dapat meningkatkan portofolio yang ada.”

Sementara itu, Masana Takahashi, pendiri firma penasihat akuntansi dan keuangan perusahaan yang berbasis di Singapura, Jidobox, percaya bahwa minat investor pada perusahaan bergantung pada fundamental ekonomi tempat mereka beroperasi.

“Ada dua jenis investor utama — ritel dan institusional. Investor ritel boleh membeli ‘pasar Indonesia’ daripada Gojek atau Tokopedia,” kata Masana. “Mereka tahu Indonesia memiliki populasi yang besar dan ekonomi yang berkembang, yang membuat mereka tertarik untuk membeli saham teknologi Indonesia. Investor institusional membangun portofolio untuk melindungi nilai risiko, sehingga mereka akan memilih perusahaan yang memainkan peran penting dalam perekonomian negara mereka. ”

Takahashi berpendapat bahwa investasi di Indonesia atau perusahaan Asia Tenggara akan menjadi pelengkap bagi sebagian besar investor. “Investor tidak membutuhkan banyak unicorn di Asia Tenggara. Mereka hanya perlu merasakan sebagian dari pertumbuhan ekonomi kawasan. Misalnya, menurut saya orang Amerika tidak akan berinvestasi di Grab sebanyak yang mereka investasikan di Apple, karena mereka tidak familiar dengan perusahaannya.”

Seperti Gabriel Li, Masana setuju bahwa perusahaan yang melakukan IPO pertama di antara keempatnya akan dinilai dengan valuasi yang lebih tinggi.

Mampukah perusahaan teknologi Asia Tenggara mencapai bursa Tiongkok?

Banyak investor institusional menikmati keuntungan luar biasa melalui kesuksesan perusahaan Tiongkok di pasar saham AS. Namun, kebuntuan geopolitik antara AS dan Tiongkok telah meninggalkan tanda tanya atas masa depan perusahaan Tiongkok yang terdaftar di New York. Ketegangan ini bahkan mungkin menghalangi perusahaan baru untuk mendaftar di bursa saham Amerika, menurut GlobalData, sebuah perusahaan analitik. Faktanya, sejumlah perusahaan Tiongkok sedang mempertimbangkan secondary listings yang lebih lokal di Hong Kong.

Itulah mengapa perusahaan-perusahaan dari Asia Tenggara mungkin menarik bagi investor di AS. Wilayah ini diakui sebagai ekonomi terbesar keempat di dunia. Ini adalah rumah bagi populasi muda yang merasa nyaman dengan alat teknologi baru yang menyatu dengan kehidupan sehari-hari. Secara keseluruhan, Asia Tenggara memiliki 400 juta orang yang bergerak online, dan jumlah itu akan terus meningkat di tahun-tahun mendatang. Ini berarti potensi pertumbuhan yang luar biasa mungkin diambil oleh investor asing, menurut Gabriel. “Masuknya dana ke Asia Tenggara mungkin terus meningkat karena semakin mendapat pengakuan sebagai pasar berkembang.”

Bagaimanapun, fragmentasi pasar di Asia Tenggara dapat menimbulkan tantangan, dan fundamental ekonomi regional tidak sekokoh Tiongkok, sehingga tidak mungkin perusahaan teknologi Asia Tenggara melihat keriuhan yang sama di pasar saham layaknya beberapa perusahaan Tiongkok, ujar Masana. “Tiongkok sudah memiliki sekitar 300 juta masyarakat kelas menengah ke atas, sehingga memiliki daya beli negara maju. Ini perbedaan yang signifikan dari Asia Tenggara,” ujarnya.

Meskipun raksasa teknologi Asia Tenggara mungkin memiliki rencana bisnis jangka panjang yang menjanjikan, harga saham mereka mungkin akan tetap stagnan atau bahkan turun setelah debut mereka, seperti halnya Sea Group.

“Jika keuangan mereka tidak menarik, mereka tidak akan bisa menarik investor. Mayoritas investor di pasar saham AS tidak mengenal Asia Tenggara dan Anda mungkin tidak ingin berinvestasi di aset yang tidak Anda ketahui,” sebut Masana. “Kecuali raksasa teknologi ini dapat membuktikan bahwa mereka akan tumbuh pesat seperti Sea Group, tidak ada yang akan memperhatikan perusahaan yang merugi di negara yang asing dan jauh.”

The US Stock Exchange- Photo by Aditya Vyas on Unsplash
Bursa Efek AS mungkin akan segera menjadi rumah bagi simbol ticker dari lebih banyak raksasa teknologi di Asia Tenggara. Foto oleh Aditya Vyas dari Unsplash

Kapten yang gigih

Salah satu investor besar telah menjadi pendorong konstan dalam perjalanan membawa perusahaan teknologi Asia Tenggara dari swasta ke publik. Masayoshi Son dari SoftBank berusaha mengatur monopoli dengan menggabungkan Grab dan Gojek, dan dia dilaporkan telah memberikan restunya kepada potensi merger Gojek dan Tokopedia.

Mungkin tahun 2020 — dengan pandemi, perjalanan liar di pasar saham, dan pergeseran signifikan dalam cara kita berinteraksi satu sama lain — telah memberi SoftBank dosis chutzpah. Hal itu berubah dari menderita kerugian besar pada awal tahun 2020 menjadi meraup keuntungan kertas yang sangat besar menjelang akhir tahun. Banyak valuasi perusahaan portofolionya yang telah melonjak.

“Banyak kesuksesan SoftBank di kuartal terakhir bermuara pada Visinya — pun intended. Kemampuan Masayoshi Son untuk berinvestasi secara agresif dalam teknologi yang akan mengubah pasar telah terbayar dengan baik, dan saya pikir kenaikan mereka akan terus berlanjut karena lebih banyak perusahaan portofolio SoftBank memutuskan untuk tercatat,” kata Gabriel.

Secara ambisius, SoftBank dilaporkan sedang mempersiapkan setidaknya enam lagi dari perusahaan portofolionya untuk go public tahun ini. Salah satunya adalah Tokopedia. Analis memproyeksikan IPO ini akan memberikan SoftBank lebih banyak putaran kemenangan setelah penawaran DoorDash dan KE Holdings (Beike) tahun lalu. Selain itu, gerakan Son sulit dibaca oleh orang luar.

“SoftBank secara tradisional dan teratur mengejutkan seluruh pasar dan analis dengan gerakan yang sangat kontroversial dan terbukti sukses. Karena itu, kami tau faktanya bahwa menimbun uang tidak ada dalam DNA Softbank dan ini akan menjadi berita yang menarik untuk diikuti,” tambah Gabriel.

Salah satu perusahaan cek kosong Softbank, SVF Investment Corp, mengumpulkan USD525 juta di bulan Januari. Bulan lalu, konglomerat Jepang mengajukan dua SPAC lagi, yang diberi nama SVF Investment Corp 2 dan SVF Investment Corp 3, yang bertujuan untuk mengumpulkan lebih dari USD 632 juta setelah penjatahan berlebih. Target merger mereka berada di sektor yang mendukung teknologi seperti teknologi komunikasi seluler, kecerdasan buatan, robotika, dan teknologi cloud, menurut laporannya. Itu cukup untuk menjelaskan perusahaan teknologi mana pun di planet ini, tetapi akan adil untuk menunjuk ke perusahaan yang telah menerima cek dari Dana Visi SoftBank.

Untuk saat ini, belum jelas kapan Grab, Gojek, Tokopedia, dan Traveloka akan meraih simbol ticker — atau bahkan yang lebih dulu. Tetapi satu kepastian adalah bahwa go public berarti perusahaan-perusahaan ini akan menghadapi pengawasan dari regulator serta publik, jadi mereka harus menunjukkan nilai mereka dan mempertahankan bisnis yang menguntungkan dan berkelanjutan. IPO mereka akan menjadi terobosan besar bagi kancah teknologi Asia Tenggara. Pertanyaannya adalah: Setelah Sea Group, siapa yang akan menjadi peruntungan baru unicorn ini?


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis dalam bahasa Indonesia sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial

Traveloka Drops Strong Signal to Go Public on The New York Stock Exchange

Traveloka’s plan to go public on the stock exchange is getting obvious. In an interview with Bloomberg, Traveloka’s Co-Founder & CEO Ferry Unardi said, after going through his most difficult period at the beginning of the Covid-19 pandemic, this year is the right time for companies to go public. He believes that the company’s current state is great and the market is quite welcoming.

He said Traveloka’s business model has a clear profit path. Currently, its main business (travel and accommodation) is claimed to be profitable, while continuing to explore other business models, such as fintech. One of Traveloka’s focuses is providing paylater services.

He also implied that the company has been prepared to go public this year. Ferry has mentioned that Traveloka is to go public on the New York Stock Exchange (NYSE), then the local stock exchange.

The SPAC scheme may be an option due to its efficiency in terms of time. He emphasized that companies like Traveloka need an agile approach, therefore, they can focus on executing business growth post going public.

Previously, a Bloomberg source said Traveloka had chosen JPMorgan Chase & Co. as a strategic partner to explore potential IPOs on the NYSE. In addition, a Reuters source said, several blank check companies were in discussion to help with this process, including Provident Acquisition, COVA Acquisition, and Bridgetown Holdings.

SPAC is becoming a startups’ choice to go public on the NYSE. In a simple way, a blank check company that already goes public will conduct M&A on startups in need to go public on the stock exchange, therefore the startup is automatically listed on the exchange (direct listing). The process is faster, it can be within weeks as it doesn’t require a complex financial reporting process like the traditional IPO.

Traveloka is a leading regional OTA platform that is available in 6 Southeast Asian countries and Australia.

Is it the right momentum?

The pandemic had stopped the OTA business globally. Traveloka transaction volume was seriously affected. Ferry claims, the company started to climb back up in July 2020, and the transaction volume has getting recovered, reaching 50% pre-Covid-19, making their core business profitable.

Last year, Traveloka has secured new funding of $250 million or the equivalent of 3.6 trillion Rupiah. In order to raise the fund, Traveloka’s valuation is estimated to drop to $2.75 billion (nearly 40 trillion Rupiah). This down round action was taken because the company’s business was hit by Covid-19 and experienced a decrease in service traction.

There are some risk mitigation acts as the impact of Covid-19, one of which was performing business and operational efficiency. The company reportedly made a significant number of employee layoffs. Domestic travel is being optimized to maximize sales potential amid the relaxing massive social restrictions implemented in many regions.

It becomes an interesting question, after the business dropping and conditions are yet to fully recovered (especially in the travel industry), is this the right time for an IPO? What is clear is that Traveloka’s IPO plan has been revealed since before the pandemic. At the end of 2019, Ferry said that the startup is to perform an IPO in the next 2-3 years.

We had a chance to talk with Traveloka’s early investors, Willson Cuaca, Managing Partner of East Ventures and EV Growth, regarding the startup’s IPO process. He said that the pandemic will not affect the IPO plans. He said Indonesia’s startup current situation is quite ready.

“Whether there is a pandemic or not, the IPO is about time. For example, Tokopedia is 11 years old, Traveloka 8 years old, and others. Besides, monetization has getting visible, many have started to be profitable, the roadmap is getting clear, it’s only a matter of means. However, due to the pandemic, the government has issued more initiative. [..] It can accelerate the opportunity for IPO,” Willson explained.

Apart from East Ventures and EV Growth, Traveloka is also supported by some other investors, such as GIC, Expedia Group, and Rocket Internet. The company’s valuation is estimated at $3 billion and they want to go public on the stock exchange with a market capitalization of $4-6 billion.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
Header: Depositphotos.com