Langkah-langkah Memulai “Email Marketing”

Tahun 2016, Indonesia memiliki lebih dari 130 juta pengguna email. Sehingga, email menjadi area pemasaran yang tidak boleh terlewat. Akan tetapi, ternyata masih terdapat beberapa pebisnis yang belum tahu bagaimana cara memulai email marketing.

Pada artikel kali ini kami menyajikan langkah-langkah memulai email marketing untuk memastikan setiap campaign yang dilakukan menjadi sukses.

1. Memilih email marketing tools yang tepat

Dalam memulai email marketing, hal pertama yang harus dilakukan adalah memilih dan berlangganan email marketing tools. Melakukan hal ini akan memastikan Anda tidak perlu lagi mengirim email satu persatu, namun mengirim banyak email sekaligus. Tidak hanya itu, kebanyakan email marketing tools menawarkan fitur lain, seperti template, manajemen kontak, hingga fitur tracking email.

2. Mengumpulkan daftar kontak

Setelah memilih email marketing tools, yang selanjutnya perlu dilakukan mengumpulkan kontak yang akan dikirimi email. Banyak sekali cara untuk mengumpulkan kontak, yang dapat dibaca di sini. Mengumpulkan kontak memang tidak bisa dilakukan secara instan, semisal dengan cara membeli daftar email.

Kami sangat tidak menyarankan untuk melakukan pembelian daftar email, karena para penerima email akan merasa memberikan tidak pernah memberikan emailnya dan bisa jadi email yang dikirimkan justru ditandai sebagai spam oleh mereka. Lebih baik mengirim email dengan jumlah kontak yang sedikit daripada kepada orang-orang yang bahkan tidak mengetahui bisnis Anda.

3. Mendesain email semenarik mungkin

Buat desain email semenarik mungkin. Manfaatkan template email yang telah disediakan oleh email marketing tools. Salah satu keuntungan dari menggunakan MailTarget yaitu setiap desain yang telah dibuat dapat tersimpan dalam Template Manager dan siap untuk diduplikasi kapanpun.

4. Menulis konten email

Tujuan utama email adalah agar subscriber memahami informasi yang dikehendaki. Tapi, membuat konten yang persuasif tidak dapat dilakukan dengan sekali mencoba. Diperlukan proses latihan untuk membuat konten email menjadi lebih persuasif.

Untuk memudahkan, Anda dapat membagi email ke dalam 3 bagian penting:

  • Headline (apa yang Anda tawarkan)
  • Isi email (keterangan bagaimana ‘headline’ dapat membantu pembaca)
  • Call to action (beritahu apa yang selanjutnya harus dilanjutkan pembaca)

Tidak hanya konten email, luangkan juga waktu untuk membuat subjek email. Sebagai tips tambahan, buat subyek email sesingkat mungkin, tidak lebih dari 40 karakter.

5. Mengetes pengiriman email

Jika sudah memiliki email yang siap dikirim (dengan desain dan konten menarik), tes email sebelum mengirimnya ke seluruh subscriber. Tujuannya adalah untuk mengecek apakah masih ada kesalahan atau kekurangan di dalam email yang telah dibuat. Ini juga untuk melihat apakah email yang dikirimkan akan masuk spam atau tidak. Jika semua sudah sempurna, lanjut ke langkah berikutnya.

6. Mengirim email

Satu hal yang perlu diperhatikan dalam mengirimkan email adalah timing. Lakukan research terlebih dahulu untuk menentukan kapan waktu terbaik mengirim email. Selain research, Anda perlu melakukan trial and error untuk menentukan waktu pengiriman email yang sesuai dengan pelanggan Anda. Setelah mendapatkan waktu yang tepat, pastikan untuk selalu konsisten ketika mengirim email.


Disclosure: Artikel tamu ini adalah hasil kerja sama dengan layanan email marketing dan marketing automation MailTarget

Dear YouTube, Mulai Bertanggung Jawab dengan Isi Kontenmu!

Saya dan mungkin jutaan pengguna lainnya menjadikan YouTube sebagai pilihan media untuk mencari berbagai informasi dan hiburan yang sesuai dengan selera dan keinginan kita. Layanan Content on Demand seperti YouTube ini memang sudah menjadi tren dan akan semakin kuat di masa mendatang yang tidak bisa dielakan lagi. Disruptif bagi tatanan ekosistem yang sudah terlebih dahulu ada.

Bentuk layanan on-demand seperti YouTube ini juga memiliki banyak tantangan dan juga peluang bagi para pelaku bisnis. Bagi para pelaku kreatif, YouTube merupakan celah baru untuk menyalurkan kreativitas dan juga menjadi tempat untuk berekspresi. Indikasinya sangatlah mudah; ingin menjadi Youtubers menjadi keinginan banyak orang. Ingin mendapat pengakuan dan juga menjadikan ladang mencari uang. Wajar dan sangatlah lumrah. Dengan modal konsistensi untuk memproduksi konten yang kreatif dan menarik maka subscriber akan bertambah dan jumlah view semakin meningkat.

Namun apakah semua konten dari para kreator di YouTube layak ditonton? Tentu tidak. Karena di YouTube tidak ada yang melakukan monitoring dan kontrol terhadap isi konten, kecuali jika memang ada konten yang fenomenal dan tidak sesuai lalu menjadi viral, maka barulah YouTube akan mengambil sikap. Bagaimana dengan konten-konten lain yang tidak pantas namun tidak menjadi bahan perbincangan? Tetap akan ada dan bisa dinikmati.

Tidak untuk di bawah 13 tahun

Celakanya, dalam Term of Service YouTube sendiri disebutkan bahwa YouTube tidak diperuntukkan bagi anak yang berumur kurang dari 13 tahun!

12. Ability to Accept Terms of Service

You affirm that you are either more than 18 years of age, or an emancipated minor, or possess legal parental or guardian consent, and are fully able and competent to enter into the terms, conditions, obligations, affirmations, representations, and warranties set forth in these Terms of Service, and to abide by and comply with these Terms of Service. In any case, you affirm that you are over the age of 13, as the Service is not intended for children under 13. If you are under 13 years of age, then please do not use the Service. There are lots of other great web sites for you. Talk to your parents about what sites are appropriate for you.

Apakah Anda pernah membaca ini? Hal ini ada di artikel Nomor 12 yang letaknya di bawah dan dikeluarkan pada 14 Juni 2012, hampir 6 tahun yang lalu.

Lalu jika YouTube menyatakan bahwa layanannya bukan untuk orang yang berusia di bawah 13 tahun, mengapa mereka masih memelihara konten-konten bagi anak-anak yang notabene anak-anaklah audience-nya. Bahkan YouTube juga mendapatkan uang dari para pengiklan di konten tersebut. Sebuah hal yang ambigu.

Kita tidak perlu menampik kenyataan bahwa ratusan ribu orangtua memberikan tontonan YouTube bagi anaknya. Sekali kita menggunakan YouTube maka dengan segala teknologi canggihnya, YouTube akan menawarkan konten-konten lainnya untuk ditonton. Tidak ada jaminan bahwa suatu saat akan ada konten yang tidak sesuai yang tampil di bagian rekomendasi konten. Sebetulnya tidak usah jauh-jauh ke sana, pada bagian Trending di YouTube pun menjadi gerbang yang “mudah” disisipi konten-konten lain bagi anak-anak yang sudah terbiasa menggunakan YouTube.

Belum lagi iklan yang ditampilkan oleh pengiklan, nampaknya YouTube sama sekali tidak melakukan penyaringan terhadap iklan yang ditampilkan. Memang sudah menjadi strategi dan bagi para pengiklan agar iklannya diklik dan mendapatkan hasil yang bagus sesuai keinginan mereka dengan cara apapun. Bayangkan jika iklan itu tampil ke anak-anak.

Contoh iklan di YouTube yang tidak cocok jika ditonton anak-anak
Contoh iklan di YouTube yang tidak cocok jika ditonton anak-anak

Saya merasa bahwa YouTube memang harus sudah mulai ditata agar lebih baik lagi. Ditata tanpa mengurangi kebebasan dan kreativitas bagi para pelaku. Dimulai dari peruntukan konten, iklan yang tampil serta kelayakan dari konten yang ada. Pada dasarnya YouTube adalah platform penyiaran, hanya berbeda media saja jika dibanding dengan institusi penyiaran yang konvensional.

YouTube juga tidak bisa hanya bersembunyi di balik kedok hanya sebagai penyedia platform semata. YouTube harus bertanggung jawab terhadap semua konten yang ada dan peruntukkannya. Jika memang tidak diperuntukkan bagi anak-anak di bawah 13 tahun, jangan menyediakan konten bagi anak-anak di bawah umur tersebut. Atau hadirkan YouTube untuk anak secepatnya (di Indonesia) dan lakukan pembersihan konten. Bagaimanapun YouTube mendapatkan pemasukan dari platformnya sehingga tidak boleh melepaskan tanggung jawabnya.


Tulisan ini dibuat oleh pengamat dan pengguna internet Dolly Surya Wisaka. Dolly bisa dikontak di [email protected]

“Gotong Royong” is the Only Way for Indonesia Fintech

Ask ten thousand people when they think the Indonesian fintech industry was born, and you’re going to get as many birth date guesses as there are islands in Indonesia. Some would say it began with the release of OJK Regulation №.77/POJK.01/2016 by Otoritas Jasa Keuangan in January 2017, where Indonesia’s regulator unveiled its initial framework to regulate and facilitate the development of the fintech industry. Others would claim it began earlier, with the founding of the earliest fintech startups in the various fintech verticals of payment, remittances, crowdfunding, lending, asset management and marketplaces. And then there are others — banking and finance veterans — who try to remind us that fintech is merely the latest buzzword coming off the backs of earlier waves of digitization in banking and finance that gave us online banking over WAP before the age of smartphones.

Over the past few decades, the definition of fintech has expanded rapidly to match the relentless pace of technological progress; from the initial application of technology to the back-end of banking and finance, to its present-day portmanteau that applies innovation to the frontiers of information and communication technology, transforming financial activities for individuals and companies. With the likes of networking, computer science, computer vision, artificial intelligence, machine learning and even distributed ledger technology, we’re seeing the complete overhaul of the finance experience for individuals and companies across the realms of trade, banking, financial advisory, and in the origination, underwriting, pricing, promotion and operations of financial products.

History Repeats Itself, I-Win-You-Lose, but There Is Hope

As the Luddites of the early 18th century (1811–1816) have shown us, technology-induced disruptions in any industry tend to incite significant feelings of helplessness and despair among the disenfranchised, while exacerbating gaps in efficiency and competitiveness between those who become adept in harnessing its innovation and those who can’t. I started my career in 2006 as a policy maker specializing in the ICT industry in Singapore, became an early-stage technology venture capitalist in 2010 investing in tech startups in Southeast Asia and North America and have been a tech entrepreneur in Southeast Asia since 2013. Across all three sides of the table — initially as policy maker, industry developer and regulator, later on as investor and fund manager and most recently as entrepreneur and business leader — I have developed keen appreciation for the levels of close cooperation and ‘constructive agility’ needed between regulators, innovators and consumers to ensure that there is a sufficiently robust regulatory sandbox to give innovation room to thrive, while minimizing those that are left behind by the growing digital divide.

It is with the above in mind that I laud OJK’s invoking of Indonesia’s gotong royong kampung spirit as encouragement for greater collaboration between alternative fintech and mainstream banking and consumer finance. It is a breath of fresh air amidst antagonistic media portrayal that positions fintech companies as upstarts competing with financial institutions for customers and eroding the income of those who are slow to embrace new technologies. Ironically, some banks have even been quoted to expect regulators to level the playing field by ensuring that there is equal regulation between traditional banks and the fintech industry to ensure that banks will have no difficulty in competing with new-kid-on-the-block fintech. Among fintech players, Aidil of UangTeman has not helped matters by suggesting that the Indonesian online lending is a tragedy waiting to unfold for regulators and investors alike, thanks to the easy availability of cheap and dumb foreign capital flooding into Indonesia seeking fast and aggressive growth.

As banking, finance and fintech industries experience rising entropy, we see those among us who have chosen the easier “I-win-you-lose” narrative and focus on negatives and how our differences divide us and potentially hurt one another. I stand opposed to this regressive view and adopt the other side of the same coin, arguing instead that it is much more sensible for upstart fintech and mainstream banking and finance to seek out common ground and mutually beneficial opportunities. I am heartened to note that I am not alone in holding this view, and am at least joined by banking veterans such as Jerry Ng, President Director of Bank BTPN, who discussed the differences in operating cadence between traditional banks and fintech companies, urging both parties to leverage on their core strengths in credit scoring using unconventional data by relying on the balance sheet of banks and the data science capabilities of fintech players.

TunaiKita as Part of Indonesia’s Fintech “Gotong Royong”

As one of Indonesian regulator OJK’s forty-odd registered peer-to-peer lending platforms, TunaiKita has actively promoted our unique institution-to-peer (i2p) lending platform — the first of its kind in Indonesia — to our banking and multifinance lending partners in Indonesia. Unlike traditional crowdsourcing peer-to-peer players in Indonesia, we do not accept consumer lenders on our platform and instead work exclusively with institutional lenders such as local banks and multi-finance companies.

Our mobile app is accessible across the 27 largest cities in Indonesia, across the islands of Java; Jabodetabek as 5 cities, Bandung, Surabaya, Semarang, Kudus, Yogyakarta, Surakarta, Magelang, Malang, Kediri, Jember, Gresik, Banyuwangi), Bali (Denpasar), Sumatra (Medan, Palembang, Padang, Pekanbaru, Batam), Kalimantan (Banjarmasin) and Sulawesi (Makassar, Manado, Pontianak).

Our fraud-resistant platform acquires new and repeat individual borrowers entirely via online channels through their smartphones and our mobile app, performs e-KYC to ensure their identity and provides borrowers with an accurate credit score powered by our proprietary ‘lending robot’. Individuals can then apply for loans that match their needs, backed by institutional lenders.

As a peer-to-peer loan arranger, we recommend and facilitate a loan between our institutional lenders and consumer borrowers, giving Indonesians anywhere-anytime access to unsecured consumer loans from the convenience of their smartphones, with loan amounts ranging from as low as Rp.500rb up to Rp.20mio with flexible tenures of between 10 days to 12 months. We approve and disburse loans to borrowers’ bank accounts 7 days a week within 24 to 36 hours via multiple redundant integrations with local Indonesian payment providers. We remind borrowers to repay on time and conduct respectful loan collection from overdue borrowers on behalf of our institutional lenders.

Despite being a startup in Indonesia with barely a year of operations under our belt, TunaiKita is actually a subsidiary of Wecash, a big data tech company founded in Beijing in 2013 that has since raised more than US$260 million over 4 rounds and more than 800 people across our offices in China, North America, Brazil, Singapore, India and Vietnam. TunaiKita also counts publicly-listed multi-finance company Danasupra Erapacific (IDX:DEFI) as its local minority shareholder. We have successfully commenced a lending collaboration with our first BUKU III bank earlier this year; all this while growing our Asia Pacific team to over 100 people across Singapore, Indonesia, Beijing, India and Vietnam, and climbing up the ladder to become the top free lending app in the Finance category of Indonesia’s Google Play Store since 22 May 2017.

It takes the Wecash village — comprising of our team, lending partners and tech partners — to raise the TunaiKita child. It would take everyone to embrace the gotong royong spirit (and each other) if we are to move the fintech-finance industry forward in the coming years.

Indonesia Fintech’s Four Horsemen: Fear, Uncertainty, Doubt and Greed

Yet, all our talk about collaboration in Indonesia fintech will go nowhere if we allow ourselves to be blinded by fintech-finance industry’s Four Horsemen.

Conquest, War, Famine and Death, reborn as Fear, Uncertainty, Doubt & Greed
Conquest, War, Famine and Death, reborn as Fear, Uncertainty, Doubt & Greed

Let me start with Fear.

There is a common misconception that fintech companies should have higher non-performing loan (NPL) ratios compared to traditional banks and consumer finance companies. Purporters of this fallacy fail to recognize the technological prowess of big data, machine learning and artificial intelligence to collect vastly more data and to dynamically train and tune credit models and cut-offs to achieve far better and responsive results than traditional underwriting typically conducted in mainstream financial institutions. By conflating NPL of consumer loans to that of corporate loans, or by relying on snapshot portfolio NPL instead of more indicative NPL figures via vintage analysis, we allow ourselves to be distracted by the shadows of fintech’s “high NPL” and fail to appreciate its benefits in providing greater financial access to the missing middle in the Indonesian society.

Next comes Uncertainty.

Another common misconception is that higher NPL by fintech companies relative to banks and multifinance companies’ NPL ratios equals higher risk and implies poorer credit quality and portfolio performance. Propagators of these falsehoods fail to recognize that thin-file, new-to-credit customers are inherently higher-risk and harder to acquire compared to more digitally aware, bankable consumers. Interest rates for shorter-term loans will always be higher for riskier borrowers than installment loans for borrowers with better credit scores, to account for higher loan delinquencies in those borrower segments. The NPL of any new loan portfolio with new borrower segments will always take time to stabilize as credit models get trained and underwriting improves.

And then there’s Doubt.

How could fintech companies ever identify and approve borrowers without requiring a wet (ink) signature? Indonesian banks need to comply with face-to-face Customer Due Diligence (CDD) KYC processes or fallback to biometric (face, fingerprint and/or iris scanning) protocols. How can Indonesian regulators so cavalierly permit fintech companies without greater levels of equity capitalization to perform seemingly weaker versions of e-KYC act as peer-to-peer arrangers of loans? Can Indonesian banks act as institutional lenders via fintech P2P regulatory frameworks? How would banks’ CDD KYC requirements work under P.OJK77/2016? Should peer-to-peer fintech companies be subjected to greater equity capitalization requirements than just the minimum IDR 2.5 billion OJK mandated?

There are so many questions lingering on our minds, yet so few ready answers to blow away the clouds of Doubt. Yet, if there is a will, there will be a way. You can be a doubter by the sidelines, or you can be a do-er and build this industry up, felling one doubt at a time alongside the rest of us in the fintech-finance industry.

Last but not least, we are left with Greed.

As the old saying goes, “the enemy of my enemy is my friend”. Yet, even amongst fintech players, there are some who view other peers as competitors out to starve each other of oxygen in the room. I think the fintech industry is currently far too nascent in development to focus on competing with our peers. The market is large and early enough such that we aren’t yet bumping into each others’ elbows (yet!). The finance industry is also unique in the sense that no one winner can ever take all. It behaves more like a network of centralized trust nodes. Banks lend to each other and also to multi-finance companies, while consumers borrow from different banks and multi-finance at different times for different purposes. We have also seen how a bank’s popular loan product often quickly inspires countless other me-toos by other banks.

And in other news, money is green.

This same network effect between capital, corporations and consumers is set to repeat itself in the fintech-finance industry where sharing, collaboration and frenemies should always trump outright disdain, antagonistic relationships and petty squabbles between competitors.

I’m pretty sure fintech naysayers are gleefully clapping when we fight among ourselves and jostle for favour with regulators. I have come to learn about interest groups that lobby regulators for an interest rate cap to create greater distinction between lintah darat-like payday loans and peer-to-peer platform loans. This goes against the spirit of “gotong royong”. First up, payday loans are short-term loans alongside installment loans for consumers and corporate loans for businesses, with each serving entirely different borrower segments and risk profiles. Peer-to-peer is but a mechanism of loan arrangement and co-underwriting, and can be used to facilitate loans to consumers or companies. It does not make sense to compare the two. Secondly, I do not believe it is pareto-efficient to prematurely introduce lending interest rate controls in the name of “consumer protection” from “predatory interest rates” this early in our growth curve when Indonesia will be better served in letting the market undergo several years of price discovery (just like China did) and permitting fintechs to bring thin-file, new-to-credit customers onto the SLIK system and our newly formed credit bureau databases.

Profit (or Loss) = Principal x (1 — NPL) x (1+loan interest) less Operating Expenses less User Acquisition Cost less Cost of Funds

No matter whether you are a fintech peer-to-peer arranger, a bank or multi-finance, we all operate upon the same universal formula (above). With or without enforced interest rate caps, the inherent NPL of subprime new-to-credit customers will stay the same; capping loan interest can only result in an increase in the Cost of Funds to maintain overall profitability. A clearer distinction needs to be made on consumer protection as applied to consumers as lenders and consumers as borrowers. In deliberating on consumer protection where consumers are borrowers, regulators should avoid the heavy hand of interest rate caps and focus more on consumers’ financial literacy, standardized interest calculation and fee representation by peer-to-peer platforms.

Gotong royong is the only way for Indonesia fintech. What do you think?


Disclosure: This guest post is initially written in Medium and has been republished  with permission.

James Chan is a Partner (Southeast Asia) for Wecash Global and concurrently Managing Director and Chief Executive Officer of Wecash Asia Pacific and TunaiKita (subsidiary of Wecash in Indonesia). He can be contacted at [email protected] or [email protected].

Menimbang Investasi melalui Crowdfunding Properti

Salah satu manfaat penting dari hadirnya financial technology (fintech) adalah tercapainya keuangan inklusif. Keuangan inklusif, sebagai kebalikan dari eksklusif, adalah terjangkaunya layanan keuangan oleh kelompok masyarakat yang lebih luas. Layanan keuangan seperti tabungan, kredit, dan investasi yang biasanya hanya dapat dijangkau oleh masyarakat berpenghasilan menengah ke atas, kini mulai bisa dinikmati juga oleh masyarakat dengan dana yang pas-pasan. Tujuan akhirnya adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.

Contohnya jelas, masyarakat yang selama ini tidak bisa mendapatkan pembiayaan dari perbankan, kini bisa mengambil skema peer-to-peer (P2P) lending. Dengan pembiayaan tersebut diharapkan mereka bisa melakukan usaha produktif yang dapat meningkatkan kesejahteraan mereka. Di sisi lain, jika selama ini bunga tabungan premium hanya bisa didapatkan oleh mereka yang memiliki dana besar, kini masyarakat juga bisa mendapatkan bunga di atas bunga deposito dengan menjadi investor pada skema P2P lending.

Tak hanya melalui P2P lending, dengan fintech orang kini juga memiliki banyak pilihan investasi lainnya. Salah satunya adalah berinventasi ke properti. Selama ini properti menjadi primadona investasi karena harganya yang terus-terusan naik, bahkan tiap hari Senin. Namun demikian, karena harganya yang cenderung tidak masuk akal, hanya mereka berpenghasilan tinggi dan tinggi banget yang bisa berinvestasi pada sektor ini. Itu sebelum fintech menyerang. Sekarang, hanya dengan lima ratus ribu pun orang bisa berinvestasi membeli properti melalui skema crowdfunding.

Di Indonesia, kini setidaknya ada tiga layanan fintech yang menawarkan crowdfunding untuk berinvestasi pada properti yakni Tavest, PropertiAnda, dan Napro. Skema crowdfunding properti adalah urunan bersama-sama untuk membeli sebuah properti, menikmati pembagian biaya sewa selama beberapa tahun, kemudian mendapatkan keuntungan kenaikan harga atas penjualan properti tersebut pada tahun kesekian.

Investasi melalui crowdfunding properti ini mempunyai kelebihan dan kekurangan dibandingkan dengan investasi melalui P2P lending. Salah satu kelebihannya, investasi ini lebih “syariah” dibandingkan dengan P2P lending. Keuntungan dari investasi P2P lending berasal dari bunga, sedangkan dengan crowdfunding properti keuntungan berasal dari sewa dan jual beli. Bagi beberapa orang ini terdengar sepele, tapi bagi orang-orang yang alergi terhadap riba, ini adalah salah satu poin penting.

Namun kelemahannya, crowdfunding properti ini mempunyai jangka waktu investasi yang lebih lama dibandingkan dengan investasi P2P lending. Jika jangka waktu P2P lending hanya terbilang bulanan, crowdfunding properti mempunyai jangka waktu investasi hingga tahunan sampai properti tersebut dijual kembali. Platform PropertiAnda menawarkan fitur resale di mana pengguna bisa menjual share-nya kapan saja, tapi peminatnya mungkin agak terbatas sehingga bisa jadi tidak langsung terjual. Crowdfunding properti bukan investasi likuid untuk investor yang menginginkan dananya bisa kembali sewaktu-waktu dibutuhkan.

Ditilik secara imbal balik, selalu berlaku hukum investasi high risk high return, low risk low return, dan no risk no return. Pada investasi P2P lending, pengguna selalu bisa memilih untuk memberikan pinjaman pada usaha yang berisiko tinggi dengan imbalan yang lebih tinggi, atau memilih konservatif dengan tingkat imbalan yang lebih rendah. Crowdfunding properti mungkin mempunyai tingkat pengembalian yang moderate, namun ada risiko yang melekat dengan properti itu sendiri.

Secara teori memang nilai tanah dan properti akan terus naik. Namun demikian, masih terdapat kejadian-kejadian yang membuat properti tersebut tidak laku terjual atau disewa misalnya lingkungan sekitar properti tidak berkembang, kerusakan pada properti karena tidak terawat, banjir, macet, adanya sengketa hukum terkait kepemilikan, dan lain sebagainya. Karena risiko ini, investor dituntut untuk pintar-pintar untuk memilih properti sebelum menanamkan dananya.

Pilih-Pilih Platform Crowdfunding

Selain pada properti, risiko crowdfunding properti juga terletak pada platform crowdfunding sebagai penyedia layanan. Yang harus dicatat, sampai dengan saat ini, belum ada otoritas yang mengatur dan mengawasi skema kegiatan ini. Paling pahit, uang investor bisa-bisa dilarikan oleh investasi bodong berkedok platform crowdfunding. Salah kelola uang investasi juga bisa membuat uang investor tidak kembali.

Masalahnya, properti yang dibeli dan sebenarnya adalah milik puluhan investor, akan diatasnamakan founder atau badan usaha platform crowdfunding. Jika terjadi salah urus, investor akan mengalami masalah hukum sebelum bisa mendapatkan investasinya kembali. Jika nilai investasi terbilang kecil (di bawah lima juta Rupiah katakanlah), biaya legal bisa jadi tidak sebanding dengan nilai investasi yang hilang. Karenanya, investor perlu cerdas mempertimbangkan platform crowdfunding yang digunakan.

Terkait kepemilikan properti, perlu dicatat bahwa platform Tavest berani untuk mengambil risiko yang lebih besar. Selama masa beta testing, Tavest tidak menjamin bahwa tanah atau properti yang dibeli tidak dijaminkan kembali pada Bank atau lembaga keuangan manapun. Meskipun mungkin tidak ada intensi negatif dari Tavest atas hal tersebut, hal ini menambah risiko bagi investor jika terdapat mismatch dalam pengelolaan arus kas Tavest.

Sebagai pengelola investasi, platform crowdfunding juga harus transparan dalam skema monetisasi mereka. Transparansi tersebut membantu calon investor dalam menghitung imbal balik bersih mereka, setelah dikurangi dengan biaya-biaya yang ditarik oleh platform crowdfunding. Transparansi metode monetisasi juga membantu calon investor untuk memilih platform crowdfunding yang akan mengusahakan agar investor memperoleh keuntungan. Hal tersebut bisa dinilai dari sumber pendapatan platform. Platform yang menggantungkan pendapatannya dari keuntungan investor, baik berupa presentase atas keuntungan sewa maupun keuntungan jual beli, akan lebih berkepentingan pada keuntungan investor.

Dalam hal ini, Napro memiliki kekurangan karena adanya potensi konflik kepentingan pada saat pembelian properti oleh investor. Salah satu skema monetisasi Napro adalah komisi atas penjualan properti yang didapatkan dari developer. Hal ini memang seolah-olah menguntungkan calon investor karena Napro mendapat keuntungan dari pengembang, bukan dengan memotong uang investasi. Namun demikian, konflik kepentingan bisa terjadi apabila Napro mempromosikan properti yang sebenarnya kurang potensial karena adanya komisi penjualan yang cukup besar dari developer properti tersebut.

Dari ketiga platform yang telah disebutkan di atas, memang tidak ada yang benar-benar mendasarkan pendapatannya pada keuntungan investor. PropertiAnda, yang paling transparan terkait dengan monetisasinya, mengambil biaya admin sebesar 2% pada awal investasi. Artinya, nilai investasi malah akan langsung berkurang sebelum berkembang. Selain itu, jika biaya admin tersebut dimaksudkan sebagai biaya penggunaan infrastruktur, rasanya kurang tepat jika biaya admin diambil secara presentase mengingat biaya penggunaan infrastruktur sifatnya fixed cost.

Rasanya masih akan lama sampai dengan adanya pengawasan terhadap fintech crowdfunding. Industrinya masih mencari bentuk untuk berkembang, sementara portofolio-nya juga masih terbilang kecil. Bentuknya yang beragam juga memerlukan analisa yang cukup sampai dengan munculnya aturan untuk mengawasi platform crowdfunding sekaligus melindungi investornya.

Selama belum ada aturan tersebut, tak ada benar salah terkait dengan model bisnis dan skema monetisasi dari masing-masing platform. Lagipula, skema bisnis masing-masing platform crowdfunding masih belum teruji. Belum ada platform di Indonesia yang telah melewati satu siklus bisnis di mana properti yang dibeli telah dijual kembali. Atas hal tersebut, belum diketahui skema bisnis mana yang mampu bertahan sekaligus menguntungkan bagi investor. Sepanjang belum diatur dan diawasi oleh otoritas, maka pilihan investasi melalui platform crowdfunding tersebut merupakan tanggung jawab dari calon investor sendiri.


Disclosure: Artikel tamu dibuat oleh Andi Miftachul. Penulis merupakan Pengawas Bank pada Otoritas Jasa Keuangan. Tulisan merupakan opini pribadi yang tidak terkait dengan DailySocial maupun OJK.

Tren yang Akan Membentuk [Lanskap] Ecommerce Asia Tenggara di 2018

Masuknya Alibaba ke Asia Tenggara merupakan bukti nyata bagi para pengusaha dan bisnis bahwa mereka sedang menuju sesuatu yang besar dan hal ini berujung kepada tahun yang subur bagi dunia ecommerce.

“Kita baru tiba di permulaan, [transaksi Alibaba-Lazada] ini yang akan memulai keseluruhan siklusnya. Hal ini akan menarik lebih banyak lagi investasi global dan pengusaha yang memandang wilayah ini sebagai tempat yang tepat untuk memulai bisnis.” – Stefan Jung, founding partner Venturra Capital yang berbasis di Indonesia dalam wawancara dengan Tech in Asia.

Bahkan ketika kita semakin mendekati 2018, sejumlah “korban” telah berjatuhan di salah satu pasar ecommerce berkembang yang paling menjanjikan ini.

Alibaba melipatgandakan investasinya di Lazada dengan meningkatkan bagiannya dari 51 persen menjadi 83 persen. Dan dalam upaya untuk memonopoli pasar, mereka juga “menancapkan kukunya” di Tokopedia, yang bisa dikatakan sebagai salah satu kompetitor terbesar Lazada di Indonesia.

Di tempat lain, Tencent, baik secara langsung atau melalui JD, telah mulai mengeksekusi buku pedoman Cina mereka dengan berinvestasi di perusahaan-perusahaan seperti Sea, Go-Jek, Traveloka, Pomelo Fashion, dan Tiki.vn.

Melengkapi trifecta ini adalah KKR, yang melalui Emerald Media, menaruh $65 juta dalam ‘agen senjata’ ecommerce aCommerce dalam usahanya mereplikasi dominasi Baozun dalam lansekap “TP” (Tmall Partner) Cina.

Permainan ini tidak akan berhenti di sini.

Memanfaatkan kekuatan konsolidasi mereka yang baru, para marketplace akan melintasi batas tradisional mereka dan memasuki area-area seperti merek label pribadi dan distribusi offline. Para brand juga akan semakin merasa terpojok menghadapi situasi yang seperti memakan buah simalakama.

Mereka yang berhasil bertahan di 2018 harus bisa menemukan niche yang lebih menjanjikan, misalnya fashion atau home, karena sudah tidak ada ruang yang cukup bagi pemain ecommerce horisontal besar lainnya. Sementara yang lain akan tergoda untuk mengambil jalan pintas yang penuh resiko seperti mengumpulkan pendanaan melalui ICOs.

Di tahun 2018 kita juga akan mendapati Tencent, bukan Alibaba atau perusahaan lokal, muncul sebagai pemenang dalam pembayaran mobile di Asia Tenggara.

Mungkin ini saat yang tepat untuk belajar bahasa Mandarin.

Plata o Plomo: Ecommerce di Asia Tenggara akan semakin terbelah menjadi kamp Alibaba dan Tencent, dan perusahaan lokal akan memilih sisi

Karena kesamaannya dengan Cina kurang lebih 10 tahun lalu, Asia Tenggara telah menjadi ladang emas bagi para raksasa internet Cina yang ingin berkembang di luar daratan. Akuisisi Alibaba atas Lazada tahun lalu menjadi pemicu “adu senjata” antara Alibaba dan Tencent di Asia Tenggara, dan sebagai gantinya, menyebabkan perusahaan-perusahaan lokal harus memilih sisi.

Sumber foto: Sohu
Sumber foto: Sohu

Sebagai tambahan dari akuisisinya atas Lazada, Alibaba juga memimpin investasi $1.1 juta atas Tokopedia di tahun 2017, melanjutkan pertaruhan besarnya atas ecommerce. Ke depannya, Alibaba diharapkan akan memposisikan Lazada dan Tokopedia sebagai Tmall dan Taobao di Asia Tenggara.

Sementara itu, Tencent secara agresif telah mencoba mereplikasi formula tiga-cabang yang telah sukses membantunya dalam pertarungannya melawan Alibaba di Cina: gaming, mobile, dan pembayaran.

Langkah pertama adalah menjadi pemegang saham terbesar dari Sea (sebelumnya Garena), perusahaan gaming ternama yang juga mengelola Shopee, marketplace ecommerce mobile-first. Langkah keduanya adalah bertaruh di Go-Jek, satu dari beberapa perusahaan unicorn di Indonesia, untuk menjadi “super app” seperti WeChat dan WeChat Pay.

Langkah ini sangat dimengerti mengingat WeChat Pay saat ini meraih 40% market share di Cina vs. 54% milik Alipay – meningkat dari 11% di 2015.[1][2]

 

Faksi Alibaba Faksi Tencent

(Tencent adalah pemegang saham terbesar di JD[3])

Lazada $1 miliar untuk 51% (Apr 2016)

$1 miliar untuk 83% (Jun 2017)[4]

Tokopedia $1.1 miliar pendanaan Seri F (Agu 2017)[5]
SEA (Shopee) 39.7%[6]
JD (Thailand) $250 juta dari $500 juta joint-venture dengan Central Group[7]
Go-Jek $100-150 juta (Aug 2017)

$100juta (Aug 2017) via JD[8]

Traveloka $0-150 juta (Jul 2017) via JD[9]
Pomelo Fashion $19 juta (Oct 2017, Lead) via JD[10]
Tiki.vn $44 juta (Nov 2017) via JD[11]

 

“Apakah saat ini ada lahan yang tersedia untuk aset seperti ini? Saya rasa dalam hal lahan, mereka [Tencent] mengikuti kami. Mereka melihat bahwa kami telah memposisikan diri kami dengan baik, maka itu mereka sedang bermain mengejar ketertinggalan. Karena kami telah berada di posisi ini, apa yang ingin kami lakukan selanjutnya adalah bekerja sama dengan para pengusaha lokal.” — Joe Tsai, Vice Chairman Alibaba, berbicara kepada Bloomberg.

Harga saham Tencent dan Alibaba meningkat dalam 7 tahun terakhir dibandingkan dengan gabungan Amazon dan NASDAQ. Sumber: Yahoo Finance (December 4, 2017)
Harga saham Tencent dan Alibaba meningkat dalam 7 tahun terakhir dibandingkan dengan gabungan Amazon dan NASDAQ. Sumber: Yahoo Finance (December 4, 2017)

Dengan kondisi pasar keduanya, Tencent dan Alibaba, yang berada pada posisi tertinggi, kita bisa berharap bahwa tren ini akan berlanjut di sepanjang 2018 dengan keduanya melahap lebih banyak lagi perusahan-perusahaan lokal lintas lansekap ecommerce dan meningkatkan saham mereka di perusahaan yang telah ada.

Menghadapi pertumbuhan organik yang lambat, Amazon akan menempuh jalur akuisisi untuk mempercepat ekspansi ecommerce-nya di wilayah ini

Sumber foto: Getty Images
Sumber foto: Getty Images

Masuknya Amazon di “Asia Tenggara” merupakan kejutan terbesar yang pada saat bersamaan, juga tidak mengejutkan.

Tidak mengejutkan karena peluncuran Amazon yang telah lama dinantikan dan dibicarakan di Singapura telah diberitakan besar-besaran oleh media bahkan sebelum layanan Prime Now secara resmi tersedia pada 26 Juli 2017.

Mengejutkan karena pencapaian Amazon yang diharapkan akan terjadi lintas wilayah ini berakhir sebelum dimulai.

Para fanboy Amazon merayakan peluncuran sebuah versi kecil dari Amazon – Amazon Prime Now – yang hanya menawarkan barang-barang kebutuhan rumah tangga dan sehari-hari.

“Saya mengharapkan lebih banyak barang yang tidak bisa didapatkan di Singapura, contohnya Sriracha atau hal kecil lain yang tidak tersedia di Singapura, namun kebanyakan barang di Prime Now adalah barang dasar yang bisa didapatkan dari Fairprice…” – Pengguna Reddit Ticklishcat

Namun ada alasan yang bagus untuk hal ini.

Tidak masuk akal bagi Amazon untuk membangun sebuah operasi lokal besar-besaran di negara kota ini. Penduduk Singapura, dengan pilihan dari Free Amazon Global Saver Shipping, sebenarnya sudah bisa medapatkan pengiriman barang gratis dari Amazon secara massal untuk pesanan di atas $125.

Singapura hanya menempati posisi #29 dalam hal sesi/tahun di Amazon.com dalam skala global namun #4 jika dinormalisasikan dengan ukuran populasi. Dengan rata-rata 14.04 sesi per orang yang mengunjungi Amazon.com per tahun, Singapura menempati posisi teratas di antara semua negara di Asia.

Penduduk Singapura sudah berbelanja langsung dari Amazon tanpa kehadiran operasi lokal penuh dari Amazon: Singapura hanya menempati posisi #29 akan traffic ke Amazon.com namun #4 saat dinormalisasi ke ukuran populasi (#1 di Asia). Sumber: SimilarWeb, World Bank
Penduduk Singapura sudah berbelanja langsung dari Amazon tanpa kehadiran operasi lokal penuh dari Amazon: Singapura hanya menempati posisi #29 akan traffic ke Amazon.com namun #4 saat dinormalisasi ke ukuran populasi (#1 di Asia). Sumber: SimilarWeb, World Bank

Peluncuran Amazon Prime di Singapura bulan ini menjadikan Amazon lebih tidak mungkin lagi membangun operasi lebih dari layanan Amazon Prime Now. Amazon tidak lagi mensubsidi pengiriman gratis untuk pesanan di atas $125 ke Singapura namun para anggota Prime Singapura mendapatkan pengiriman gratis untuk pesanan di atas S$60 di website global Amazon dan keuntungan lainnya dengan biaya keanggotaan sebesar S$8.99 per bulan.

Tidak banyak lagi hal yang terdengar tentang ekspansi lebih lanjut dari Amazon di Asia Tenggara, khususnya Indonesia dan Thailand, di mana pasarnya secara cepat dilahap oleh Alibaba dan Tencent.

Dengan semakin sempitnya waktu untuk benar-benar masuk secara organik ke pasar-pasar yang berkembang pesat di Asia Tenggara, saham perusahaan yang berada di nilai tertinggi sepanjang masa, dan memori kegagalan mereka di Cina yang belum lama terjadi, kita bisa mengharapkan Amazon setidaknya melakukan satu akuisisi besar di 2018 untuk mempercepat ekspansi regionalnya.

Offline menjadi online yang baru: pemain ecommerce murni akan meluncurkan toko fisik untuk mengimbangi biaya akuisisi konsumen online yang tinggi, memperbaiki last-mile fulfillment, dan mempercepat pertumbuhan

Selagi retailer offline tradisional seperti Central di Thailand dan Matahari di Indonesia berlomba-lomba memindahkan bisnis mereka ke online, pemain ecommerce online murni justru akan melakukan ekspansi ke ranah offline mulai 2018.

Dengan saluran akuisisi konsumen online seperti Google dan Facebook yang dengan cepat mencapai kejenuhan dan menghasilkan profit yang semakin rendah, pemain ecommerce seperti Pomelo dan Lazada akan semakin melirik saluran offline untuk meraih konsumen baru.

Pomelo dalam beberapa tahun terakhir ini baru mencoba peruntungannya di toko pop-up, namun dengan penerimaan dana baru series B sebesar $19 juta, mereka baru saja meluncurkan toko pop-up terbesarnya di Siam Square, pusat fashion di Bangkok. Toko-toko ini memiliki konsep “click-and-collect”, memungkinkan kustomer untuk memesan secara online dan mencoba barangnya secara offline di toko sebelum memutuskan mana yang akan disimpan atau dikembalikan.

Sumber foto: Pomelo
Sumber foto: Pomelo

“Dalam fashion, penghalang nomor satu dalam pembelian adalah kebutuhan untuk mencoba produk disertai dengan kesulitan melakukan pengembalian barang. Kehadiran toko offline akan menjawab halangan ini secara langsung. Terlebih lagi, pelanggan bisa diakuisisi secara offline dan data dari online bisa digunakan untuk meningkatkan penjualan dan efisiensi operasional secara offline. Pendeknya, gabungan dari offline dan online merupakan strategi optimal untuk ritel fashion ke depannya.” — David Jou, Co-Founder dan CEO, Pomelo Fashion.

Love Bonito, merek fashion online-first lainnya dari Singapore, secara resmi meluncurkan toko flagship permanen di Orchard Road setelah tujuh tahun menjadi pemain ecommerce murni.

Sumber foto: Love Bonito
Sumber foto: Love Bonito

Sementara itu, Lazada kemungkinan akan mengikuti jejak Alibaba di Cina di mana mereka meluncurkan supermarket Hema di Beijing dan Shanghai. Tidak hanya untuk meningkatkan pengalaman brand dan akuisisi konsumen, toko-toko offline baru ini juga berperan sebagai pusat pemenuhan (fulfillment) yang secara efektif mengimbangi kekurangan infrastruktur logistik di Asia Tenggara.

Supermarket Hema milik Alibaba di Cina. Sumber foto: Quartz
Supermarket Hema milik Alibaba di Cina. Sumber foto: Quartz

Tidak hanya untuk meningkatkan pengalaman brand dan akuisisi konsumen, toko-toko offline baru ini juga berperan sebagai pusat pemenuhan (fulfillment) yang secara efektif mengimbangi kekurangan infrastruktur logistik di Asia Tenggara.

Toko pop-up Pomelo di Siam Center memberlakukan click-and-collect, memungkinkan kostumer untuk membeli barang online dan mencobanya di toko sebelum memutuskan produk mana yang ingin disimpan atau dikembalikan.

CEO Lazada Max Bittner telah memberi isyarat akan kemungkinan peluncuran toko fisik di Indonesia saat berbicara di sebuah konferensi tahun ini.

Dalam satu dekade terakhir di Cina, Alibaba mengalami kenaikan ecommerce tahunan (year-on-year) sebesar 50%+ hingga menjadi sebesar sekarang ini. Namun demikian, seiring dengan melambatnya pertumbuhan ecommerce di Cina, Alibaba kemudian melipat-gandakan inisiatif seperti 11.11, “New Retail” (toko pop-up pintar di sekitar Cina), dan ekspansi pasar untuk mempercepat penjualan mereka (Asia Tenggara).

Walaupun Asia Tenggara diperkirakan akan menjadi cerita ecommerce besar selanjutnya, ecommerce hanya terhitung 1-2% dari total ritel saat ini. Jika para perusahaan seperti Lazada dan Shopee ingin tumbuh lebih cepat dari yang dimungkinkan pasar, memasuki ranah offline menjadi pilihan yang jelas.

Para startup ecommerce baru akan menggunakan ICO untuk mengumpulkan dana demi melawan para raksasa

Dengan Asia Tenggara semakin dikuasai oleh para raksasa seperti Alibaba dan Tencent dengan karakter pasar “winner-takes-all”, para startup ecommerce akan mencari alternatif untuk membiayai bisnis mereka.

Masuklah yang kini sedang populer, Initial Coin Offerings (ICOs).

Pengumpulan dana melalui cara ini di Asia Tenggara dipionirkan oleh Omise, sebuah startup fintech yang berbasis di Thailand, yang sukses mengumpulkan $2.5 juta dalam beberapa jam untuk membangun sistem pembayaran yang terdesentralisasi.

Berdasarkan spekulasi dini atas masuknya Amazon ke ranah cryptocurrency, kita akan memiliki lahan yang subur bagi ICO pertama untuk startup ecommerce. Sudah ada sebuah startup bernama HAMSTER yang menjual token HMT untuk membangun marketplace terdesentralisasi yang menjanjikan “tanpa biaya, tanpa perantara”.

09

Platform ecommerce yang revolusioner dibiayai oleh ICOs atau skema ponzi?
Platform ecommerce yang revolusioner dibiayai oleh ICOs atau skema ponzi?

Kita akan melihat para startup ecommerce memanfaatkan ICOs untuk membiayai akusisi konsumen, pembangunan produk baru, dan membiayai inventaris. Setidaknya, hingga gelembungnya pecah

2018 akan menjadi gelombang konsolidasi ecommerce terakhir seiring para pemain lokal menyesuaikan diri dengan Aturan Dunia Baru

Kami telah berbagi sekian banyak cerita mengenai korban dan konsolidasi di pertarungan tumpah darah ecommerce dalam prediksi tahunan sebelumnya.

Rakuten asal Jepang menjual hampir semua asetnya di Asia Tenggara saat keluar dari pasar pada 2015/2016. Rocket Internet melepaskan Zalora Thailand dan Vietnam di diskon besar-besaran pada 2016 dan menjual bisnisnya di Filipina kepada konglomerat lokal Ayala Group di tahun berikutnya.

Di Thailand, Ascend Group menaruh aset-asetnya, WeLoveShopping dan WeMall, dalam moda “life support” dan kemudian fokus kepada fintech.

Di Indonesia, bermunculan berita mengenai penjualan saham SK Planet di Elevenia kepada konglomerat Indonesia Salim Group yang diikuti oleh berita penawaran entitas mereka di Malaysia antara Alibaba dan JD.

Awal tahun ini, perusahaan telco terbesar di Indonesia Indosat Ooredoo menutup situs ecommerce-nya Cipika. Alfamart, rantai toko kelontong terbesar kedua di Indonesia juga harus memperkecil dan mempivot usaha ecommerce-nya, Alfacart, dari marketplace umum menjadi kanal online khusus grocery.

Memasuki 2018, perhatian akan tertuju pada para pemain ecommerce horizontal lokal. Seiring meningkatnya pertaruhan Alibaba dan Tencent, bisa diharapkan akan jatuh lebih banyak “korban” di tahun yang baru.

Go-Pay akan menjelajah ke luar Indonesia melalui Sea, Traveloka, dan JD untuk menjadi WeChat Pay versi Asia Tenggara

Situasi ecommerce di Indonesia saat ini terlihat seperti situasi Cina di tahun 2008 —  kecepatan perubahannya tidak terbayangkan. Saat saya mengunjungi kantor kami di Jakarta 12 bulan lalu, hampir tidak ada seorang pun yang menggunakan platform pembayaran dan dompet mobile milik Go-Jek, Go-Pay.

Enam bulan kemudian, hampir semua kolega menggunakan Go-Pay untuk mentransfer uang antar-sesama dan untuk membayar produk maupun jasa.

Di sebagian pasar berkembang Asia Tenggara (kecuali Singapura dan Malaysia), penetrasi kartu kredit masih rendah, hanya mencapai satu digit dan sebagian besar penduduk bahkan tidak memiliki akun bank.

Sumber: Global Findex, World Bank
Sumber: Global Findex, World Bank

Sayangnya, hanya beberapa startup fintech dan pembayaran di wilayah ini yang bisa membangun produk yang menjawab kurangnya penetrasi kartu kredit dan populasi unbanked yang besar. Mayoritas dari mereka malah membangun gerbang pembayaran dan dompet yang bergantung kepada kartu kredit dan warisan infrastruktur kartu kredit seperti di Amerika Serikat (Apple Pay, anyone?)

Tidak mengherankan jika cash-on-delivery (COD) masih mendominasi lebih dari 70% transaksi menurut data dari ecommerceIQ.

Mereka yang fokus menargetkan populasi unbanked dengan dompet mobile yang diisi secara tunai seperti True Money dari Thailand mengalami kesulitan mencapai “nilai utama produk” yang berkelanjutan dan meraih massa.

“Komunitas, Commerce, dan Pembayaran saling terhubung di Dunia Digital. Sejauh ini, semua permainan pembayaran mobile yang sukses, secara global, terpusat pada dagang dan komunitas sebagai sumbunya. PayPal dimulai dengan eBay, Alipay dengan Alibaba/Tmall/Taobao, WeChat Pay memanfaatkan WeChat/QQ dan Amazon Pay memiliki Amazon. Karena alasan inilah, bisnis pembayaran/dompet yang berdiri sendiri akan mengalami kesulitan.” — Gaurav Sharma, Pendiri Atlantis Capital

Go-Pay menjawab masalah fundamental ini dengan memungkinkan penggunanya mengirimkan pembayaran antar sesama (peer-to-peer/P2P) dan mengisi ulang dengan memberikan uang tunai kepada supir Go-Jek yang berperan sebagai mesin ATM mobile.

Isi ulang dompet mobile Go-Pay dimungkinkan dengan memberikan uang tunai kepada supir Go-Jek.
Isi ulang dompet mobile Go-Pay dimungkinkan dengan memberikan uang tunai kepada supir Go-Jek.

Lebih penting lagi, dengan GoJek sebagai bagian dari faksi Tencent, kita bisa mengharapkan perusahaan tersebut mendorong Go-Pay ke negara-negara di Asia Tenggara lainnya melalui platform komunitas dan dagang seperti Sea (Garena, Shopee, dll), Traveloka, dan JD).

Setelah beredarnya rumor pada bulan November, Go-Jek akhirnya mengumumkan akuisisinya terhadap Kartuku, Mapan, dan Midtrans. Yang terakhir, sebagai salah satu gerbang pembayaran terdepan di Indonesia, akan memberikan Go-Pay saluran distribusi tambahan dan menggunakan kasus-kasus seperti MatahariMall, Tokopedia, dan Garuda Indonesia — mendorong Go-Pay untuk melewati ranah P2P dan memasuki pembayaran B2C.

Lawan kuat bagi “WeChat dari Asia Tenggara” ini adalah Grab, yang memiliki 2.5 juta perjalanan harian menjadikannya platform ride-hailing terbesar di Asia Tenggara. GrabPay, diluncurkan tahun ini, merupakan usaha Grab untuk menjadikan Singapura sebagai masyarakat non-tunai, dengan rencana ekspansi di wilayah Asia Tenggara pada tahun 2018.

Haruskah Go-Jek khawatir? Tidak juga.

Singapura bukan tempat tes yang ideal untuk meluncurkan dompet mobile karena negaranya telah memiliki platform pembayaran non-tunai yang ada di mana-mana — “kartu kredit”. Dan kerja sama GrabPay baru-baru ini dengan Ovo dari Lippo Group tidak menghasilkan banyak perhatian atau menunjukkan pemakaian yang luas.

“Walau sepertinya terlihat sebagai praktek yang umum untuk melakukan tes (ide) pertama di Singapura, dan kemudian membawanya ke regional dan kemudian ke seluruh dunia, dengan hormat, saya kira hal ini tidak masuk akal di situasi dunia saat ini.” — Min-Liang Tan, Co-Founder dan CEO dari Razer

Go-Pay, di lain pihak, memberikan nilai lebih kepada penggunanya di negara di mana hanya 36% dari penduduknya memiliki akun bank dan hanya 2% memiliki kartu kredit. Pasar berkembang seperti Thailand, Vietnam, dan Filipina memiliki kesamaan akan kurangnya infrastruktur finansial seperti Indonesia.

Go-Jek sebagai bagian dari faksi Tencent memiliki akses ke saluran distribusi yang lebih beragam dan menawarkan bermacam kasus sehari-hari seperti gaming (Garena), belanja (Shopee, JD), travel (Traveloka) dan lain-lain (Go-Jek sendiri).

Marketplace fashion dan kecantikan baru yang berbasis mobile akan mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh Zalora

Zalora, bisnis ecommerce fashion milik Rocket Internet, telah mengalami kesulitan di Asia Tenggara sejak peluncurannya di 2012. Zalora Thailand dan Vietnam kemudian diambil oleh konglomerat ritel Thailand Central Group dengan harga yang murah, sementara entitasnya di Filipina sebagian dijual kepada grup real estate Ayala.

Bahkan ada juga rumor bahwa Zalora Indonesia membicarakan exit ke peritel lokal MAP, yang kemudian disanggah.

Beberapa faktor yang berkontribusi pada tantangan yang dialami perusahaan ini: 1. Pedagang langsung berjualan di Facebook, Instagram dan LINE, 2. Kontrol atas brand-brand yang dikuasai satu atau dua grup konglomerat ritel seperti Central di Thailand, MAP di Indonesia, dan SSI Group di Filipina.

Dua faktor tersebut mempersulit Zalora untuk mengubah arah menjadi marketplace bagi brand premium seperti ASOS.

Tantangan yang dihadapi Zalora meninggalkan sebuah kekosongan yang semakin banyak diisi oleh marketplace fashion mobile-first yang lebih gesit yang bisa melihat kesempatan di ruang yang didominasi oleh pasar-massal, platform ecommerce umum seperti Lazada dan Shopee.

Seperti dibuktikan oleh kesulitan Amazon dalam meminang merek fashion premium di AS, pemain merek mewah tidak menyukai berjualan di platform massal di mana katalog barang mereka muncul berdekatan dengan deterjen dan mesin cuci.

“Setelah membeli Whole Foods, Amazon sekarang memiliki akses ke kulkas terkaya di negara ini namun mereka masih tidak bisa memasuki lemari kita karena merek fashion dan beauty yang aspirasional tidak akan mau berdistribusi di platform mereka. Mengapa? Karena mereka tidak bodoh dan sadar bahwa cara Amazon melakukan kerja sama dengan para merek seperti cara sebuah virus bekerja sama dengan induknya.” — Scott Galloway, Founder L2 dan Professor di NYU Stern.

Di Cina, baik Tmall dan JD harus mengerahkan usaha yang luar biasa untuk menarik para merek fashion. Pada bulan Oktober, JD meluncurkan TopLife, platform online mewah yang berdiri sendiri untuk memberikan pengalaman high-end yang dijanjikan oleh merek-merek high-end ini.  Alibaba juga meluncurkan Luxury Pavilion, sebuah bagian dalam Tmall yang dikhususkan untuk merek mewah seperti Burberry dan Hugo Boss.

Mengepalai gelombang baru dari marketplace fashion berbasis mobile di Asia Tenggara adalah Zilingo, yang baru saja mendapatkan pendanaan seri B sebesar $18 juta, dan Goxip, startup berbasis di Hong Kong yang baru saja menutup pendanaan seri A sebesar $5 juta dengan rencana untuk memasuki Thailand. Di Indonesia, ada juga LYKE, yang ironisnya, didirikan oleh ex-CMO dari Zalora.

Diuntungkan dengan retrospeksi dan peran social commerce dalam menumbuhkan sektor fashion, para pemain baru ini akan menawarkan elemen seperti chat dan permainan konten murni serta jaringan influencer yang bisa mengatasi tantangan biaya akuisisi konsumen yang sering ditemui dalam upaya memperbesar ecommerce.

Marketplace akan “mendewasa” dan membersihkan diri dari “grey market” untuk melayani merek-merek mewah dan blue chip

Dalam enam tahun terakhir, kebanyakan dari pertumbuhan awal ecommerce difokuskan untuk meningkatkan GMV dengan memasukkan semua penjual dan merek yang ingin berjualan secara online.

Pada 2018, marketplace seperti Lazada dan Shopee berusaha memasukkan merek yang lebih besar, namun hal ini mengharuskan mereka untuk bisa mengontrol penjual “grey market” dan barang palsu serta membangun lingkungan di mana merek besar akan merasa nyaman untuk berjualan.

Alibaba melewati proses yang sama di Cina, ketika pembicaraan seputar pengontrolan barang palsu dan produk “grey market” yang ada di Tmall and Taobao mencapai puncaknya pada waktu IPO Alibaba pada 2014.

Berdasarkan data dari oleh platform analisis pasar BrandIQ, 80% SKU dari raksasa produk konsumen seperti Unilever, Samsung, dan L’Oreal rata-rata dijual oleh reseller pasar gelap yang tidak sah. SKU “grey market” ini dijual dengan harga 30% lebih rendah dari toko flagship resmi dan reseller resmi.

13

Mengapa hal ini menjadi penting? Karena penjualan pasar abu-abu berdampak pada citra penjualan merek di toko-toko resmi.

“Akhir-akhir ini, ledakan penjual pihak ketiga di situs online menyebabkan produk asli dari merek seperti Nike, Chanel, The North Face, Patagonia dan Urban Decay dijual di Amazon meskipun mereka tidak mengotorisasi penjualan tersebut, melemahkan kontrol mereka akan harga dan distribusi,” ujar Wall Street Journal.

Nike, misalnya, menolak untuk berjualan langsung melalui Amazon untuk waktu yang lama, menghindari pelemahan mereknya. Namun dengan tidak berjualan secara resmi di marketplace, meninggalkan ruang yang, seperti bisa kita lihat dari data BrandIQ sebelumnya, secara cepat diisi oleh penjual yang tidak resmi, reseller yang mencari kesempatan dari arbitrase.

Pelanggan seringnya mengganggap pembelian dari pasar abu-abu ini sebagai pembelian langsung dari brand tersebut, dan saat mengalami pengalaman yang tidak mengenakkan, akan menyalahkan brand dan bukannya reseller yang tidak sah tersebut

Data BrandIQ menunjukkan bahwa nilai rata-rata SKU pasar kelabu 24% lebih rendah daripada ulasan untuk produk serupa yang dijual melalui toko resmi atau toko utama.

14

Memasuki 2018, kita akan melihat dorongan baik dari marketplace dan brand untuk mengatasi penjualan pasar abu-abu di Asia Tenggara. Marketplace akan menggunakan pegangan yang lebih erat bagi para reseller pihak ketiga untuk menarik merek yang lebih besar, sementara para brand akan tetap membangun kehadiran resmi di marketplace untuk secara proaktif mengelola pengalaman pelanggan dan citra brand.

Marketplace dan e-tailers akan memperkenalkan label pribadi dan mengalienasi brand

Seiring dengan semakin dewasanya pasar ecommerce di Asia Tenggara, marketplace, e-tailer dan startup ecommerce akan semakin teliti mencari cara untuk meningkatkan margin. Lewatlah sudah hari-hari mengejar pertumbuhan garis atas yang agresif dan pangsa pasar yang menghalalkan segala cara.

Dengan akuisisi Lazada post-Alibaba dan Shopee pasca-IPO (sebagai bagian dari Sea), layanan bernilai tambah apa yang akan dimiliki perusahaan-perusahaan ini untuk mencapai pertumbuhan pendapatan yang berkelanjutan?

Di kesempatan ini, perusahaan-perusahaan di Asia Tenggara menyontek dari buku permainan Cina. Lazada meluncurkan unit Lazada Marketing Solutions untuk membantu memonetisasi 23 juta pengguna aktif tahunannya melalui pengiklanan mirip seperti bagaimana Tmall and Taobao mengumpulkan biaya untuk iklan di Cina.

Saat ini, Lazada menawarkan display ads dan iklan promosi produk programmatic bagi pelanggannya namun Lazada diharapkan meluncurkan iklan pencarian pay-per-click pada tahun 2018, berkompetisi dengan Google dan Facebook. Lintas wilayah Asia Tenggara, Shopee telah meluncurkan iklan pencarian per-per-click.

Lebih dari sekadar periklanan, kita bisa mengharapkan lebih banyak marketplace dan e-tailer akan mengikuti jejak Amazon dalam meluncurkan merek label pribadi untuk meningkatkan margin. Dengan data yang dikumpulkan dari merek pihak ketiga, platform ecommerce ini mengetahui betul barang jenis apa yang laku di pasaran, siapa pasarnya, serta kapan dan di mana penjualannya mencatat hasil terbaik.

Flipkart, satu dari marketplace terdepan di India yang bersaing dengan Amazon, baru-baru ini mengumumkan target mereka mendapatkan 20-22% kontribusi penjualan dari label pribadi dalam lima tahun ke depan.

“Saat kami memutuskan untuk memasuki label pribadi pada pertengahan 2016, sebuah “Tim Macan’ untuk merek label pribadi kemudian dibentuk secara internal untuk meneliti sekitar 50 peritel dari seluruh dunia, termasuk Eropa, AS, Cina, dan India, untuk membayangkan seperti apa lansekap label pribadi bagi Flipkart dalam beberapa tahun ke depan. Penelitian menunjukkan bahwa label pribadi bisa berkontribusi 10-20% dari bisnis suatu perusahaan. Sebagai contohnya, label pribadi dari perusahaan AS Costco Wholesale, Kirkland, berkontribusi sebesar 20-25% kepada bisnis mereka,” ujar Adarsh Menon, Kepala Label Pribadi Flipkart dalam interview dengan The Hindu.

Meluncurkan merek label pribadi di Asia Tenggara bukanlah hal yang baru. Zalora meluncurkan merek label pribadi EZRA sejak 2013 yang diikuti oleh Lazada dengan LZD Premium Collection pada 2014. Namun demikian, dengan fokus kepada pertumbuhan top line pada periode 2013-2015, merek label pribadi ini kurang diprioritaskan seperti bisa dilihat dari jumlah terbatas yang masih dijual di Zalora dan Lazada saat ini.

Althea, sebuah e-retailer produk kecantikan Korea yang meraih pendanaan seri B sebesar $7 juta, secara spesifik mengatakan bahwa mereka akan menggunakan dana tersebut untuk meluncurkan lebih banyak produk label pribadi.

“Berdasarkan data pengguna yang besar yang telah kami kumpulkan.. Kami saat ini bisa mengerti kebutuhan spesifik dari pelanggan kami di setiap pasar, mengumpulkan masukan secara instan melalui platform online kami, dan secara cepat mengubah itu semua menjadi satu produk dalam satu atau dua bulan,” ujar Co-Founder dan CEO Althea Frank Kang. “Kami memiliki pengetahuan yang dalam akan pelanggan kami yang tidak bisa disamai oleh brand tradisional.”

Di tengah semua ini, tidak mengejutkan bahwa Zalora menunjukkan ketertarikan untuk mendorong label pribadi mereka, “Something Borrowed” dan “Zalora”, di tahun yang baru.

15 Label pribadi Althea dijual di website mereka

B2B ecommerce akan mengganggu distributor offline, mengaburkan batas antara distribusi online dan offline

Meski ecommerce memiliki masa depan yang cerah di Asia Tenggara, nyatanya B2C ecommerce saat ini masih berada di persentase satu digit. Dengan target pertumbuhan yang agresif, para merek dan marketplace serta e-tailer akan meningkatkan usaha mereka untuk tumbuh lewat saluran non-B2C seperti B2B dan B2E.

Zilingo, marketplace fashion yang didukung oleh Sequoia, meluncurkan marketplace B2B, Zilingo Asia Mall. Inisiatif ini memungkinkan para pembeli fashion di AS dan Eropa untuk membeli produk Zilingo dengan harga grosir, secara efektif membangun “Alibaba” bagi fashion.

Shopee meluncurkan fitur grosir tahun ini, memungkinkan pedagang untuk menurunkan harga unit satuan untuk pesanan dalam kuantitas yang besar.

Shopee Malaysia menawarkan fitur grosir
Shopee Malaysia menawarkan fitur grosir

aCommerce, ecommerce enabler dan e-distributor di Asia Tenggara, yang baru saja mendapatkan pendanaan seri B sebesar $65 juta dari firma bangunan KKR — Emerald Media,  menciptakan istilah baru untuk semua ini — “B2A” atau Business-to-All.

Perusahaan ini merupakan pihak di balik inisiatif B2B dan B2E bagi merek seperti Samsung dan L’Oreal. Menurut aCommerce, B2B ecommerce saat ini berkontribusi kepada 20% dari total pendapatan di aCommerce, naik 10% dari tahun sebelumnya. (disclaimer, saya bekerja di sini).


Disclosure: artikel tamu ini ditulis oleh Sheji Ho, aCommerce Group Chief Marketing Officer

Opini yang dinyatakan ini merupakan pendapat pribadi saya dan tidak mewakili pandangan atau pendapat dari tempat saya bekerja.

[1] http://www.kpcb.com/internet-trends

[2] http://knowledge.ckgsb.edu.cn/2017/08/28/mobile-commerce/wechat-economy-messaging-wechat-pay

[3] https://asia.nikkei.com/Business/Deals/Tencent-becomes-top-shareholder-of-e-retailer-JD.com

[4] https://techcrunch.com/2017/06/28/alibaba-ups-its-stake-in-southeast-asias-lazada-with-1-billion-investment

[5] https://techcrunch.com/2017/08/17/alibaba-tokopedia

[6] https://techcrunch.com/2017/09/23/sea-files-for-a-1-billion-u-s-ipo

[7] https://www.reuters.com/article/us-jd-com-centralgroup/jd-com-thai-retailer-central-group-form-500-million-e-commerce-jv-idUSKCN1BQ0A1

[8] https://asia.nikkei.com/Business/Companies/Indonesia-s-Go-Jek-gets-a-lift-from-Tencent-JD.com-funding

[9] https://techcrunch.com/2017/07/28/expedia-invests-350m-in-traveloka

[10] https://techcrunch.com/2017/10/31/jd-com-leads-19m-investment-in-pomelo

[11] https://e27.co/jd-com-puts-us44m-vietnamese-e-commerce-platform-tiki-vn-fight-lazada-20171121

Teknologi Pemasaran Prediktif: Panduan Bagi Pemula

Ingin mendapatkan ROI maksimal dengan segala usaha pemasaran anda? Inilah saat yang tepat untuk berteman baik dengan teknologi pemasaran prediktif (predictive marketing). Belum lama ini, perusahaan besar rela menginvestasikan banyak usaha dan uang untuk mengumpulkan data demi menguraikan perilaku para pelanggan mereka. Akan tetapi, lanskap digital kini telah berubah drastis, dengan pemasaran online yang menjadi super kompetitif dan pelanggan online yang tersebar di berbagai tempat.

Berikut sebuah kabar baik! Munculnya teknologi baru telah membuka jalan bagi platform-platform pemasaran untuk mengubah algoritme data raksasa menjadi teknologi prediktif yang optimal. Tenang saja dan tidak perlu membawa buku panduan data sains anda. Dalam artikel ini, Anda akan belajar bagaimana mengoptimalkan pemasaran online dengan teknologi prediktif, menargetkan pengunjung bahkan sebelum mereka memasuki situs.

Apa yang dimaksud dengan Teknologi Pemasaran Prediktif?

Teknologi pemasaran prediktif akan menganalisis data pengunjung situs Anda untuk mengidentifikasi pola. Dengan informasi ini, para pemasar dapat menyampaikan pengalaman yang sesuai target pada para pengunjung dengan perilaku serupa dan membantu memindahkannya ke saluran pemasaran.

Penelitian terbaru kami mengenai data e-commerce yang dikumpulkan di Indonesia menunjukkan bahwa rasio perempuan pengguna seluler ada lebih dari 50% dibandingkan dengan laki-laki yang hanya sekitar 40%, sedangkan untuk rasio penggunaan desktop pada laki-laki lebih tinggi sebanyak 60% dan perempuan ada di bawah 50%. Dengan data ini, para pemasar bisa menggunakan teknologi prediktif untuk secara khusus menargetkan pengunjung berdasarkan jenis kelamin mereka.

Misalnya, dengan mengetahui bahwa perempuan lebih banyak beralih ke seluler, perusahaan yang menargetkan pengguna perempuan dapat menyesuaikan pengalaman seluler dengan menu khusus dan rekomendasi produk-produk real-time untuk menciptakan gambaran besar bagi pengunjung perempuan (di mana 50% nya cenderung akan membeli). Jadi, alih-alih menghabiskan tenaga dan uang untuk menjangkau pelanggan perempuan di desktop, brand bisa berkomunikasi dan membangun koneksi langsung melalui perangkat seluler.

Bagaimana cara kerjanya?

Cara kerjanya sendiri sangat sederhana. Semisal situs Anda mendapat ribuan pengunjung dan teknologi memprediksi bahwa seratus dari jumlah pengunjung memiliki kecenderungan pembelian yang tinggi. Satu hal yang perlu Anda lakukan adalah, mengintegrasikan platform pemasaran menjadi platform iklan yang dipilih (Google Adwords, Iklan Facebook, Yandex Direct) untuk meningkatkan segmen pengguna dengan potensi pembelian yang tinggi ke platform iklan Anda.

Anda kemudian dapat menjangkau pengunjung di seluruh situs dan aplikasi, serta berkomunikasi langsung dengan mereka melalui iklan yang ditargetkan. Karena platform tersebut telah memperkirakan para pengunjung yang memiliki potensi pembelian tinggi, Anda akan melihat lebih banyak konversi dibandingkan dengan penggunaan pendekatan ‘spray-and-pray‘ (kapanpun, di manapun). Dan lagi, Return on Ad Spend (ROAS) Anda akan meningkat secara drastis.

Dengan menggunakan teknologi prediktif, para pemasar dapat lebih memahami kecenderungan pengguna mereka dan mengarahkan mereka ke pesan, produk, atau diskon yang sesuai, sehingga mereka lebih banyak terlibat. Hal ini memungkinkan pemasar untuk mengoptimalkan pengeluaran iklan dalam menyederhanakan saluran konversi mereka.

Singkatnya, teknologi ini akan menganalisis data dari semua pengunjung (prospek dan pelanggan), menarik kesimpulan mengenai pola kecenderungan mereka, dan mengidentifikasi kebiasaan kelompok tertentu untuk memprediksi perilaku pengunjung.

Kendati itu belum semua. Dengan menggunakan teknologi pemasaran prediktif, Anda dapat menilai pengunjung terkait dengan kecenderungan pembelian dan mengirimkan pemberitahuan yang ditargetkan dan dipersonalisasi pada mereka.

Wawasan lain yang diraih dari penelitian di ruang e-commerce Indonesia ini juga menunjukkan bahwa traffic pada situs seluler di negara ini mencapai 71%. Hal ini menunjukkan besarnya potensi bagi para pemasar untuk menargetkan pengguna seluler dengan diskon tinggi dan lifetime value, beberapa fitur merupakan informasi dari teknologi prediktif. Dengan demikian, pemasar dapat lebih memahami data historis dan real-time serta memprediksi perilaku di masa depan. Dan hasilnya tidak sebanding: dengan komunikasi yang telah dipersonalisasi dan disesuaikan, pelanggan akan lebih terlibat dan berkonversi lebih baik.

Menutup Kesenjangan Antara Pemasaran dan Periklanan

Jika Anda menjalankan situs e-commerce, tentu saja Anda memiliki strategi pemasaran. Anda bisa saja menggunakan AdWords, Facebook Ads, Display Ads, dan banyak lagi, untuk menarik perhatian pengunjung situs. Anda tidak tahu banyak tentang mereka, namun berharap mereka akan mengklik iklan Anda serta mengunjungi situsnya berkat segmentasi dan penargetan yang telah diterapkan melalui platform iklan Anda. Agar strategi ini berhasil, Anda mungkin sudah menyisihkan anggaran yang besar untuk iklan online, namun, seringnya iya, Anda tetap tidak dapat menyesuaikan pengeluaran untuk pembelanjaan iklan. Balasannya ternyata tidak sesuai dengan semua usaha, waktu dan uang yang telah dihabiskan untuk strategi tersebut.

Mari melihat kembali pada data Indonesia yang telah disebutkan sebelumnya untuk memahami skenario ini dan bagaimana teknologi prediktif dapat mengubah jalannya permainan dengan penggunaan alat personalisasi. Angka tersebut menunjukkan bahwa aktivitas sementara desktop mencapai 40% di siang hari, antara pukul 09:00 pagi hingga 16:00 sore, sesi seluler mencapai 90% pada dini hari, dengan puncaknya pada 04:00 pagi. Ini berarti pada siang hari, pengunjung menghabiskan lebih banyak waktu untuk menjelajah di desktop daripada seluler, namun pada pagi,malam dan dini hari, pengunjung selular meningkat secara drastis.

Dengan wawasan demografi ini, pemasar dapat mengoptimalkan penjelajahan pelanggan sesuai dengan saluran digital mereka serta menargetkan pengguna yang tepat pada waktu yang tepat. Inilah saatnya teknologi membantu menutup kesenjangan antara pemasaran dan periklanan. Dengan menggunakan platform seperti Insider, Anda dapat memprediksi pengunjung yang memiliki kecenderungan tinggi dalam melakukan pembelian dan menjangkau orang-orang di berbagai platform iklan secara anonim.

Kapan dan Bagaimana Untuk Memulai?

Layaknya hubungan lain, menuai keuntungan penuh dari investasi dalam teknologi pemasaran prediktif memerlukan usaha jangka panjang. Hal ini disebabkan oleh akurasi dan efisiensi setiap data engine bergantung pada berapa banyak data yang terdapat di sistem. Semakin banyak data, semakin akurat pola dan wawasan yang akan didapat. Jadi, waktu terbaik untuk memulai adalah sekarang.

Untuk memulai, yang perlu Anda lakukan adalah mengintegrasikan platform teknologi pemasaran prediktif ke situs, memungkinkannya untuk mulai mengumpulkan data dan menciptakan segmen cerdas yang dapat Anda gunakan untuk menargetkan pengunjung dengan kemungkinan konversi lebih tinggi. Anda pasti akan melihat angka pemasaran yang meningkat. Alat yang tersedia cukup sederhana, ramah pengguna, dan tidak memerlukan pengetahuan khusus tentang coding atau data sains. Cukup memilih yang paling sesuai dengan target bisnis Anda, pilih dari rak lalu dapatkan, siap mengirim pesan yang relevan dan membangun komunikasi pribadi dengan segmen pengguna yang benar-benar penting.


Keterangan: Artikel Tamu ini ditulis oleh Edwin Halim. Edwin Halim bekerja sebagai Strategic Account Manager di Insider. Ia dapat dihubungi via email: [email protected].

Predictive Marketing Technology: A Beginner’s Guide

Looking to get maximum ROI from all your marketing efforts? Then it’s time you became best friends with predictive marketing technology. Not long ago, big companies would invest immeasurable effort and money collecting data to decipher the behaviour of their customers. But the digital landscape has drastically changed, with online marketing becoming ever more competitive and the online customer spread out across different channels.

But here’s the good news! The advent of new technologies has paved the way for new marketing platforms to convert gigantic data algorithms into optimized predictive technologies.

Rest assured and leave your data science textbook at home. In this article, you will learn how to optimize online marketing with predictive technologies, targeting visitors even before they enter your website.

What is Predictive Marketing Technology?

Predictive marketing technology analyses data about your website visitors to identify patterns. Using this information, marketers are able to deliver targeted experiences to groups of visitors who behave in similar ways and help to move them along the sales funnel.

Our latest research on ecommerce data collected in Indonesia shows that female conversion rate on mobile is more than 50%, with male rates around 40%, whereas in desktop male conversion rate is higher than 60%, with female rates standing below 50%. With this data in hands, marketers can use predictive technologies to specifically target visitors based on their gender.

For instance, knowing that women convert more on mobile, companies that wish to target a female audience can tailor the mobile experience with custom menu and real-time product recommendations to create hyper-personalized experiences for female visitors (who are already 50% more likely to purchase). So instead of wasting effort and money trying to reach out female customers on desktop, brands can channel their communication and build a more direct connection with them on mobile devices.

How does it work?

The way it works inside the tool is actually quite simple. Say your website gets a thousand visitors and the technology predicts that a hundred of them have a high likelihood of making a purchase. All you need to do is to integrate a marketing tech platform into your chosen ad platform(s) (Google Adwords, Facebook Ads, Yandex Direct) to push this segment of users who have a high purchase potential into your ad platform(s).

You will then be able to reach out to these visitors across the web, mobile web, and apps, and communicate with them directly through targeted ads. Since the platform already predicted that they have a high likelihood of making a purchase, you will see far more conversions than you would when using the conventional ‘spray-and-pray’ approach. Plus, your Return on Ad Spend (ROAS) will increase dramatically.

Using predictive technology, marketers can better understand their users’ preferences and point them to the appropriate messages, products, or discounts, making them more likely to engage. This enables marketers to optimize their ad spend and streamline their conversion funnel.

In short, this technology analyzes data from all your visitors (prospects and customers), draws out patterns in their preferences, and identifies specific group habits to predict a new visitor’s behavior. But that’s not all. Using predictive marketing technology you can score your visitors on their purchase likelihood and send them highly targeted and personalized notification.

Another insight from our research on the Indonesian ecommerce space shows that traffic on mobile web in the country is as high as 71%. This means that there is a huge potential for marketers to target mobile users with a higher discount affinity and a lifetime value, some of the features informed by predictive technologies. This way, marketers can better understand beyond historical and real-time data and predict future behaviours. And the results are unparalleled: with personalized and tailored communication, customers become more engaged and convert better.

Closing the Gap Between Marketing and Advertising

If you’re running an ecommerce site you will, of course, have an advertising strategy. You might be using AdWords, Facebook Ads, Display Ads, and many more, to catch the attention of visitors across the web. You don’t know much about these people, but you hope they’ll click on your ads and visit your website thanks to all the segmentation and targeting you’ve implemented via your ad platform. To make this strategy successful, you’ve probably set aside a huge budget for online advertising, yet, more often than not, you’re still unable to justify your ad spend. The return simply does not match up with all the effort, time and money you put into your strategy.

Let’s look back at the Indonesian data previously mentioned to understand this scenario and how predictive technology can change the game with the use of personalization tools. The figures show that while desktop activities reach a maximum of 40% peak during the day, between 9:00 in the morning and 4:00 in the afternoon, mobile sessions are as high as 90% in the wee hours, with its peak at 4:00 in the morning. This means that during the day, visitors spend more time on desktop browsing than on mobile, but during early morning, evening and late night, mobile visits spike exponentially.

With this valuable demographic insight, marketers can optimize customers’ journeys according to their digital channel and target the right audience at the right time. Here is where technology helps close the gap between marketing and advertising. Using platforms like Insider, you can predict which of your visitors have a high likelihood of making a purchase and reach out to these folks on various ad platforms anonymously.

When and How to Get Started?

Like any other relationship, reaping the full benefits of investment in predictive marketing technology requires a long term effort. This is because the accuracy and efficiency of any data engine relies on how much data there is in the system. The richer the data, the more accurate patterns and insights can be drawn from it. So the best time to get started is now.

To get started, all you need to do is integrate a predictive marketing technology platform with your website, allowing it to start collecting data and creating smart segments which you can use to hyper-target visitors with a high likelihood of conversion. You will definitely see your marketing numbers rising. The tools available are quite simple, user-friendly, and do not require any coding or data science knowledge. Just choose the one that best suits your business’ targets, pick it off the shelf and there you are, ready to send relevant messages and establish more personal communication with the user segments that really matter.


Disclosure: This guest post is written by Edwin Halim. Halim works as a Strategic Account Manager at Insider. He can be reached via email: [email protected].

4 Tips “Elevator Pitch” Para Founder

Sebagai founder, pasti Anda familiar dengan istilah elevator pitch. Kata ini diambil mengikuti makna elevator yang sesungguhnya, yaitu moda pemindahan secara cepat. Sehingga elevator pitch dapat diartikan sebagai percakapan singkat untuk membuat Anda, brand atau produk Anda lebih dikenal dan dapat menarik perhatian audiens yang Anda targetkan seperti klien atau investor. Panjang rata-rata elevator pitch adalah 56 detik. Sehingga Anda benar-benar harus memanfaatkan waktu berharga tersebut.

Berikut beberapa tips buat Anda agar sukses dalam menjalankan elevator pitch karena kesempatan tidak datang dua kali.

Apa yang menjadi daya tarik, show them off!

Penting bagi seorang founder untuk bisa “memamerkan” apa yang telah dikerjakan oleh perusahaannya. Termasuk jika klien Anda sebelumnya adalah pesaing klien barumu sekalipun. Anda harus tetap bangga dengan apa yang telah dikerjakan karena hal tersebut akan menunjukkan kredibilitas perusahaan. Klien barumu harus tahu bahwa perusahaan Anda sudah tumbuh dan mengalami perkembangan.

Believe in you and be proud of what you have

Karena waktu yang tersedia singkat, tidak ada waktu untuk Anda merasa ragu. Klien akan dengan mudah menangkap keraguan yang ada didiri Anda. Anda harus yakin dengan apa yang Anda miliki atau perusahaan Anda miliki. Dengan keyakinan, elevator pitch yang terkemas singkat akan tetap bisa membuat klien mempercayai Anda. Yakinkan bahwa Anda memiliki keahlian untuk mengeksekusi dan tahu persis apa yang akan dilakukan nanti.

Rata-rata kerja sama bisnis yang sukses terwujud dari elevator pitch adalah sebanyak 25%.

Show them with numbers

Untuk semakin meyakinkan klien terkadang Anda juga perlu menggambarkan proposisi angka, misalnya terkait peluang dan pasar atau juga bisa terkait keuntungan yang dihasilkan. Ada baiknya Anda juga mempelajari lebih dulu klien yang akan Anda temui karena Anda harus melakukan penyesuaian terhadap apa yang akan Anda bicarakan saat bertemu. Karena arti penting dari sebuah elevator pitch adalah terciptanya networking. Sangat disayangkan bila elevator pitch berlalu begitu saja tanpa ada hasil berupa jaringan koneksi baru. Tidak ada salahnya juga Anda melakukan latihan terlebih dahulu agar waktu singkat tersebut tidak menjadi sia-sia.

Be specific

Ceritakanlah secara spesifik solusi apa yang bisa Anda dan perusahaan Anda berikan. Jika banyak, fokuskan pada masalah yang sedang tren sekarang. Tidak perlu bertele-tele karena klien tidak membutuhkan itu. Jika Anda telah berhasil mendapatkan chemistry-nya, untuk pertemuan selanjutnya Anda punya kesempatan untuk menjabarkannya lebih lanjut.

Sebagai contoh template elevator pitch milik eBay:

Banyak orang ingin membuang barang bekas mereka, tetapi mereka tidak ingin memberikannya secara gratis. Saya membuat website yang membantu mereka melelang barang bekas ke penawar tertinggi.

Yang perlu diingat dalam elevator pitch, tujuan Anda bukanlah untuk melakukan hard sell. Melainkan hanya melakukan percakapan ringan namun dapat menyampaikan pesan Anda dengan tepat. Meski terjadi dalam waktu yang singkat, Anda tidak disarankan untuk berbicara terlalu cepat. Percakapan timbal balik juga disarankan sehingga klien atau investor akan merasa lebih dihargai. Inti dari sebuah elevator pitch adalah untuk mendapatkan chemistry dan membuat Anda mudah dikenali.


Disclosure: Artikel tamu ini ditulis oleh Gina Dwi Prameswari. Gina adalah Content Consultant di BBOX Consulting. Ia bisa dihubungi melalui blog BBOX.

Bagaimana Baiknya Startup Indonesia Bergerak Tumbuh Menuju Seri A?

Sejak 2012, saya telah bekerja di dalam yang sering disebut “industri startup” — yang dalam konteks ini pada dasarnya berarti startup teknologi — dengan bekerja di Wooz.in sambil membangun Ohdio.FM. Lima tahun terakhir saya lewati dengan sedikit penyesalan, sepertinya ketidakmampuan diri saya adalah faktor utama yang menyebabkan kedua startup yang saya jalani belum menjadi sukses besar. Tapi ini bukan tulisan introspektif.

Berbagai versi inkubator, akselerator dan VC pendanaan awal (seed) telah datang dan pergi dalam beberapa tahun ini, begitu pula VC untuk tahap-tahap pendanaan lain. Setelah berupaya mendapatkan kontak berbagai VC dan bertemu dengan mereka dalam rentang bulanan sampai tahunan, baru saya pahami gambaran besar soal tahapan-tahapan pendanaan.

Meskipun ada beberapa program seed/alpha baru-baru ini, kebanyakan dari jaringan atau VC dari luar negeri, terhitung akhir tahun lalu, hanya ada 2-3 program inkubasi startup yang besar. Ini bukan masalah karena mengelola inkubator tidak mudah, terutama karena banyak startup yang masih polos berpikir bahwa inkubator adalah jalan pasti menuju sukses (sori, nggak). Lalu medannya kosong, sampai VC-VC Seri A dan seterusnya yang akan memberikan uangnya pada startup yang cerdas dan mampu.

Semenjak hari-hari awal memasuki industri startup, saya sudah sering mendengar bahwa masalah besar startup Indonesia adalah scaling up, bergerak tumbuh. Sejauh pengalaman saya sampai hari ini, hal ini masih menjadi masalah. Ada banyak faktor yang memberi efek negatif terhadap pergerakan tumbuh, sehingga saya asumsikan ini adalah masalah tingkat industri, dan bukan hanya persoalan dengan para founder (tapi saya akui, untuk saya sendiri, ini menjadi persoalan).

Jadi, ada jalur yang putus antara tingkat seed/incubator sampai kantong-kantong uang di Seri A (yang tidak seseksi kedengarannya, karena biasanya investasi hanya akan berkesinambungan apabila kinerja startup tersebut dianggap baik pada KPI yang berdasarkan data). Program-program seperti Gerakan 1000 Startup, Telkomsel NextDev dan yang lainnya, membantu orang untuk membentuk kerangka berpikir yang sesuai untuk membangun dari ide sampai proses bisnis (dan ya, penekanannya pada eksekusi secara bisnis, bukan programming). Setelah itu, semuanya terserah Anda, punya uang maupun tidak dan siap atau tidak untuk menghasilkan uang, sampai Anda dapat berbicara lagi pada VC tingkat Seri A.

Supaya jelas: VC itu cari uang. Mereka menghasilkan uang (di atas kertas) dari peningkatan nilai pemegang saham dengan berinvestasi pada bisnis risiko tinggi, dengan harapan saham tersebut suatu hari dapat dijual dengan nilai berkali-kali lipat, atau bahkan pada harga-harga bursa saham. Ini sebabnya seed VC akan lebih melihat pada foundernya ketimbang bisnisnya, karena pada akhirnya ini sebuah pertaruhan terhitung.

VC Seri A biasanya hanya akan investasi ke startup yang sudah memenuhi hal berikut:

  • Ada pasar cukup luas yang siap menerima produk/jasa, dengan data angka yang jelas
  • Siklus bisnis yang sudah matang: proses dari akuisisi pelanggan sampai penjualan perlu sampai pada tingkat sudah ada biaya akuisisi pelanggan, dan tinggal masalah “nambahin bensin ke mesin”.
  • Diutamakan pasar dengan kompetitor lain atau bisnis yang mirip di pasar lain, yang memberikan validasi tambahan pada model bisnisnya
  • Tren startup saat ini. Ini bukan sekedar mengikuti “selera zaman”, tapi terkait dengan tahap investasi selanjutnya dan potensi exit (penjualan saham secara keseluruhan). Makin banyak pihak yang tertarik pada sebuah industri, makin tinggi kemungkinan exit.

Pasti banyak contoh yang tidak mengikuti prinsip-prinsip di atas, tapi ini merupakan kesimpulan dari berbagai pertemuan dan diskusi saya dengan berbagai VC dalam upaya menggalang dana investasi.

Nah bagaimana caranya untuk bergerak dari teknologi yang terbukti, ke siklus bisnis yang dapat berulang, dan bergerak tumbuh sampai layak mendapatkan Seri A?

Sepertinya ini masalah dengan beberapa startup di Indonesia. Mungkin tidak cukup mentor atau jaringan untuk membantu ribuan startup yang ada di Indonesia, dan tidak banyak VC mau investasi di tahap pra-Seri A, yang pada akhirnya sama dengan bertaruh pada investasi seed, tapi dengan uang lebih banyak (sehingga risiko untuk tidak balik modal lebih tinggi). Banyak startup-startup yang sudah bertahan dari tahun-tahun awalnya, beralih menekankan pemasukan ketimbang pertumbuhan. Tidak ada masalah dengan itu, hanya saja, perusahaan-perusahaan ini tidak akan tumbuh dengan cepat.

Di sisi lain, beberapa VC telah menemukan cara untuk memanfaatkan dana VC untuk investasi ke real estate — melalui jaringan co-working space. Ini baik untuk para VC, tapi dana yang bisa diakses untuk perusahaan lain yang membutuhkan pertumbuhan jadi berkurang.

Jadi, bagaimana alternatif jalan keluarnya? Mari kita diskusi ide.


Disclosure: Artikel ini pertama kali terbit di Medium dalam bahasa Inggris dan dipublikasi ulang atas izin penulis, Ario Tamat.

Ario adalah co-founder Ohdio, layanan streaming musik Indonesia. Ia bisa dikontak melalui Twitter di @barijoe atau di blog-nya di http://barijoe.wordpress.com.

A Software Engineer Journey in Indonesia!

“Truth can only be found in one place: the code.” ― Robert C. Martin

Please stop reading this article if you are not a software engineer. It will be a boring read for you.

New York Times’ Indonesia’s Dire Need for Engineers Is Going Unmet article points out:

“…producing more skilled workers, including engineers and technicians, should be one of the key strategic priorities for the Indonesian government over the next decade[…] more than half of the engineering graduates produced by Indonesia go on to careers in other fields, like banking, Why? Because those jobs provide better incomes.”

The above article is consistent with my own findings in Indonesia over the past six years. In fact, this phenomenon is more apparent with software engineers, as they feel that companies undervalue their software engineering skills and frequently pursue opportunities in other industries instead.

Note: I use the term Software Engineer loosely, referring to Software Development Engineer, System Engineer, Data Scientist, Machine Learning Engineer, Mobile Software Engineer, Security System Engineer, Software Developer, Web Developer, etc.

However, these skills are a blessing that not everyone is capable of learning! In many countries, a software engineering job is one of the most rewarding and most sought after jobs today. We need to show that the Digital Revolution could impact the world even more than the Industrial Revolution.

5 out of the top 10 largest publicly traded companies by market capitalization in 2017 are high-tech companies: Apple Inc, Alphabet Inc. (Google), Microsoft, Amazon, and Facebook; they employ hundreds of thousands of software engineers. Many of their founders and C-Level executives are software engineers. Even over 120-year-old companies like General Electric and Goldman Sachs are hiring tens of thousands of software engineers. Software engineers are the catalyst in running and transforming companies in this digital revolution!

There is a global shortage of software engineering talent. This means that great talents can easily find many interviews and job offers with higher salaries than many other fields.

This article shows how to nurture natural, raw programming talent to its fullest potential by planning ahead carefully.

Early Years

Both of my sons started learning computer programming when they were in elementary school. Nowadays, many high schools are offering computer and programming classes. This is possible due to affordable computer hardware, developer-friendly computer languages, easy-to-use integrated development environments, widely available books, community support, and mentors.

Youngsters should view programming as a fundamental skill like mathematics. You should start learning to code as early as possible because there is so much to learn. Additionally, there are regular programming competitions at state, national and international levels. You should participate in these competitions to sharpen your skills by learning from your coaches and peers. Practice makes perfect. And, it’s fun!

College Years

Universities are great in teaching the fundamentals of computer science: algorithms, data structures, compilers, operating systems, functional and object-oriented computer languages, machine learning, security, networking, etc. Majors in computer science and mathematics are most conducive to building your foundation. However, it is most important that you learn how to learn quickly.

The computer industry has been innovating at an extremely fast pace over the past 50 years. It has been reinventing itself constantly: Mainframe, Minicomputer, Workstation, PC, the Internet, Cloud Computing, Mobile Computing, IoT, VR/AR, and Machine Learning. Each of these requires learning a new set of tools, technologies, and theories. Upon graduating, the industry will continue to evolve and you must keep up-to-date. You should take internships in order to apply the theories you have learned at school and explore the state-of-the-art tools with its best practices in a real-world environment.

At GDP Labs and KASKUS, we provide mentorship that matches your interest. You will learn various things which are completely different from your typical school projects; for example, engineers on my team learn about scalability, availability, performance, production code quality, processes, work ethic, professionalism, and teamwork.

The above will prepare you well with an unfair advantage when entering the workforce.

Software Engineer as a Career

The general curriculum, expectations, and progression through kindergarten, elementary, junior high, high school, and college are well-defined and understood. However, few people understand the software engineer career path. I wish someone would have explained this to me when I was first starting out.

This section outlines a potential career path based on my experience in the US, Indonesia, China & India after working with some of the best software engineers in the world first hand.

From a simplified high-level overview, you can view your career as nested circles in a bullseye as shown below.

AAEAAQAAAAAAAAmnAAAAJDg5ZDVhNTYzLWViODUtNDBjYy05ZTVmLTcyNzBkYTkxZDc5Mw

  • Software Engineer — The first circle is the smallest. This innermost circle represents an entry-level software engineer who has just graduated from a university. A mentor will be assigned to you. They will give you an overview of the overall system and the team structure. Then, they will help train you with the necessary skills and tools so that you could contribute to a single part of the system. Your contributions will impact a small group.
  • Senior Software Engineer — Joining the second circle typically means that you are self-sufficient and have become an expert in one area — iOS, Android, front-end, back-end, etc. Your responsibilities encompass those of an entry level software engineer and more. Your contributions will impact a larger audience.
  • Principal Software Engineer — In the third circle, you will likely have multiple areas of expertise. You might dive even deeper into your areas of expertise and interests, and your knowledge will have greater breadth as well. Your contributions will impact multiple groups. Also, you will start learning about leadership and management by mentoring a couple of individuals.
  • Senior Principal Software Engineer — Although the fourth circle still involves technical-related skills, you will also be involved with the business aspects of a company. Additionally, you will start dealing with corporate budgets, your company’s executives, partners, and customers. In a startup environment, your contributions will have a company-wide impact.
  • Architect — The fifth circle will make you the “go-to” person for all technical questions. You need to understand the entire system: application, middleware, infrastructure, security, deployment, performance, scalability, availability, monitoring, etc. Also, you will start recommending best practices, leading edge technologies and keeping an eye on bleeding-edge technologies.
  • Distinguished Engineer & Fellow — This is the outermost circle. It belongs to a small group of elite and accomplished super software engineers. These are very creative, resourceful, forceful, assertive and well-known individuals. They are usually both thinkers and doers. Many people, including their competitors, listen when they speak. Their contributions may impact their company and industry at a global scale for decades even long after they left their company to pursue other interest or passed away.

Additional Skills

It’s a given that you will deepen your skills continuously in order to keep up with the fast paced technology changes. But, that is not enough as you gain more experience and responsibilities. You need to learn non-technical skills which include, but are not limited to the following.

  • People Skills — This is a key skill in any occupation whether you are a Software Engineer, Product Manager, Lawyer, HR, Accountant, etc. in order to reach your fullest potential. There is a strong correlation between a person’s success with their domain expertise combined with people skills: building a team, connecting, inspiring, motivating, managing, retaining, listening, resolving conflicts, etc. Things are increasingly more complex and require a team of people to succeed. This is one of the most challenging skills for software engineers because this is something that has not come easily to most of them. It is more of an art than science. People need people. There is no substitute for human interaction, especially in the technology age!
  • Communication — Warren Buffett likes to remind people that U.S. President Gerald Ford said: “If I went back to college again, I’d concentrate on two areas – learning to write and to speak before an audience. Nothing in life is more important than the ability to communicate effectively.” Communicating on a regular basis becomes part of your job on various occasions: daily emails, reports, tech talks, company meetings, etc. You need to be able to articulate to a diverse audience, ranging from a highly technical audience like engineers to non-computer people like executives and customers so they understand your point of view.
  • Mentoring — You owe many people, including your own mentors when you get to this point. You can pay them back by paying it forward. Mentoring is a gift that keeps on giving. Mentor the promising young women and men who are eager to learn. You can learn as much from them as they will learn from you. Today’s world belongs to the young people. Groom them to be the future leaders!

Conclusion

Software engineers are in high demand during the digital revolution. Programming skill is only one of the essential building blocks because the software is the heart and soul of a computer system. You should use your computer programming gift wisely to improve yourself, your company, your community, your industry and the world. We are fortunate to be born with skills when they are required the most!


This guest post is written by On LeeKaskus’ COO & CTO, GDP Labs’ CEO & CTO, and GDP Venture’s CTO

It’s initially published at LinkedIn Pulse and has been republished with permission.