Mengenal Startup Proptech Rukita, Sajikan Layanan Co-Living

Konsep hunian co-living atau komunal memang bukan hal baru di Indonesia. Namun belakangan sejumlah startup mulai menggarap konsep ini sebagai turunan dari sektor proptech yang kian subur. Rukita adalah salah satu pemain yang namanya mencuat sebagai pembesut konsep hunian komunal ini.

Co-living di Rukita memberi penghuni kenyamanan tempat tinggal yang mendukung interaksi sosial dengan ketersediaan ruang-ruang komunal tanpa mengabaikan privasi penghuni yang tetap terjamin dengan kamar tidur pribadi,” ujar CEO & Co-Founder Sabrina Soewatdy dalam pernyataan tertulisnya.

Pada dasarnya Rukita menawarkan kamar berlangganan. Ini artinya Rukita menyediakan semua kebutuhan kamar bagi penghuni, baik itu kamar indekos atau apartemen. Rukita juga membuat program-program komunitas untuk mendorong para penghuninya saling berinteraksi. Program-program ini yang dimaksud oleh Rukita sebagai hunian co-living.

Model bisnis

Kamar yang dikelola Rukita selama setahun beroperasi tersebar di Jadetabek. Total ada 3000 kamar yang mereka kelola. Adapun sistem kerja sama mereka dengan para pemilik properti adalah sistem bagi pendapatan (revenue sharing).

Rukita mengurus dari layanan manajemen properti, renovasi, pemeliharaan, operasional, hingga pemasaran. Dengan kata lain pemilik hunian cukup terima bagi hasilnya saja.

Sabrina mengatakan yang membedakan mereka dengan penyewaan properti daring lainnya adalah pengecekan latar belakang calon penghuni. Ia memberi contoh pasangan yang belum menikah dan penyewaan hunian harian sebagai dua masalah sosial yang kerap muncul dari penyewaan harian.

“Sejalan dengan komitmen untuk membangun bisnis yang berkelanjutan di sektor proptech, kami menargetkan ekspansi layanan di wilayah Jabodetabek dengan berfokus pada jaminan kualitas sebagai prioritas utama kami,” imbuh Sabrina.

Dengan model penyewaan tempat hunian seperti itu, sudah ada beberapa startup yang tawarkan layanan serupa di Indonesia. Salah satunya Mamikos, mereka tidak hanya menampilkan layanan listing indekos dan apartemen, tapi juga bekerja sama dengan pemilik properti untuk pengelolaan.

Segmen pasar

Latar belakang Rukita sendiri berasal dari kebutuhan tempat tinggal bagi kelompok usia milenial yang terus membesar hingga 2035, yang mana sekitar 34% jumlah penduduk berasal dari kelompok usia itu. Potensi masalah muncul karena 69,4% (Millennial Report 2019) dari kelompok kiwari ini belum memiliki rumah. Sementara harga properti di Indonesia, khususnya Jakarta, jauh dari daya beli konsumen.

Sabrina mengatakan konsep hunian mereka cocok untuk kelompok milenial yang tinggal di wilayah urban mulai dari urban, eksekutif muda, dan pekerja asing di Indonesia.

“Kami hadir untuk meningkatkan gaya hidup yang lebih baik bagi kaum milenial, di mana kami percaya bahwa seseorang akan memiliki hidup yang lebih baik saat ia tinggal di hunian yang mendukung kebutuhannya,” ucap Sabrina.

Dari aspek pendanaan, Rukita terakhir mendapat suntikan pendanaan awal yang dipimpin oleh Sequoia Surge pada pertengahan tahun lalu. Sabrina menyebut tahun ini prioritasnya adalah mempertahankan kualitas layanan. Namun ia tak menyangkal bahwa pembicaraan tentang pendanaan masih terus berjalan.

Application Information Will Show Up Here

Mengenal Flokq dan Optimismenya sebagai Startup Operator Co-Living

Peminat hunian indekos di Indonesia tergolong tinggi, namun belum banyak tersentuh dengan teknologi dan solusi yang dibutuhkan penggunanya. Flokq sebagai pemain baru di industri ini hadir tidak hanya menawarkan solusi indekos, tapi juga co-living yang tersegmentasi untuk kalangan professional.

Flokq didirikan oleh Anand Janardhanan dan Harmeet Singh pada Agustus 2019. Startup tersebut telah mengelola ratusan unit kamar tersebar di berbagai lokasi di pusat bisnis Jakarta, seperti Mega Kuningan, Senayan, Rasuna Said, Sudirman, Semanggi, dan lainnya.

Dalam wawancara bersama sejumlah media pada pekan lalu, Co-Founder & CEO Flokq Anand Janardhanan menjelaskan Flokq memberikan solusi untuk mereka yang ingin upgrade hunian indekos dari sebelumnya atau mencari apartemen dengan harga lebih terjangkau.

Perusahaan secara khusus mengincar kalangan professional sebagai pengguna, kebetulan penghuni terbanyaknya adalah ekspatriat dan pengusaha muda yang tetap ingin bangun jaringan dan terhubung dengan penghuni co-living lainnya di tempat yang mereka huni dalam suatu komunitas.

“Kekuatan utama dari Flokq adalah komunitas, kami ada aplikasi yang dikhususkan untuk menghubungkan antar penghuni yang punya kesamaan ketertarikan pada hobi atau spesialisasi tertentu,” terangnya.

Dalam satu gedung apartemen, biasanya Flokq mengelola sejumlah kamar di beberapa lantainya dari pihak manajemen, kisarannya antara lima sampai 20 unit. Tiap satu unit apartemen yang disewakan idealnya terdiri dari tiga kamar tidur privat untuk tiap tenant yang sudah lengkap dengan furniturnya dan ruang tengah yang dapat digunakan secara bersama.

Anand menerangkan Flokq menyewakan tiap unit kamarnya mulai dari Rp2,7 juta sampai Rp20 juta per bulan, dengan kontrak sewa minimal tiga bulan tanpa skema uang muka. Penentuan harga ini akan bergantung pada lokasi. Biaya sewa bulanan sudah termasuk listrik, jasa kebersihan, laundry, WiFi, dan fasilitas lainnya seperti area gym, kolam renang, layanan 24 jam, dan bebas parkir.

Dampak pandemi terhadap bisnis

Dia mengklaim pemberlakuan PSBB dan pengetatan lainnya untuk mengurangi penyebaran pandemi, tidak begitu memberikan dampak penurunan bisnis buat Flokq. Tercatat ada 26 penghuninya yang berkewarganegaraan luar Indonesia yang menyewa kamar melalui Flokq.

Dalam rangka mengurangi penyebaran pandemi, tim Flokq membuat sejumlah aturan yang diberlakukan di tiap huniannya. Beberapa di antaranya adalah frekuensi jasa kebersihan jadi seminggu sekali, dilarang berkunjung ke unit lain, dan peniadaan acara mingguan.

“Jadi situasinya tidak banyak berubah untuk okupansinya, meski ada yang keluar tapi ada yang masuk. Akan tetapi kami membuat aturan baru dalam rangka pencegahan ini, ada sistem yang memantau untuk memastikan setiap tenant ada di unitnya masing-masing.”

Di sisi lain, perusahaan jadi berbangga diri bahwa konsep co-living seperti ini ke depannya akan jauh lebih cerah karena tingkat permintaan yang lebih tinggi daripada co-working space pasca pandemi berlalu.

Flokq Advisor Akash Mulani menerangkan konsep co-living pada masa mendatang akan sangat berkaitan dengan kondisi masyarakat dan ekonomi yang terdampak pada Covid-19. Kegiatan isolasi mandiri yang dilakukan oleh banyak orang, berarti akan mengurangi interaksi manusia dan menurunkan kualitas kesehatan mental.

“Dengan co-living, orang-orang mendapat kesempatan untuk menjaganya tetap stabil sambil tinggal di dalam rumah. Kebijakan WFH yang menjadi umum, masyarakat butuh ruang untuk dirinya bekerja, teman yang dapat diandalkan karena persamaan minat dan latar belakang, atau tentunya ruang dengan biaya sewa ringan,” tuturnya.

Atas optimisme tersebut, pihaknya sedang menggodok konsep penggabungan co-living dan co-working dalam gedung yang sama. “Ini adalah konsep baru yang sedang kami jajaki dalam beberapa tahun ini. Kami berencana meluncurkannya dalam 12 atau 24 bulan ke depan.”

Rencana Flokq berikutnya

Anand menerangkan pada tahun depan perusahaan masih akan fokus mengelola apartemen di Jakarta. Ditargetkan angkanya bisa mencapai 3 ribu unit kamar yang bisa menampung 10 ribu penghuni. Berikutnya, perusahaan baru ekspansi ke kota potensial lainnya seperti Surabaya, Bandung, dan Medan.

Untuk bantu ekspansi, perusahaan sudah mengantongi pendanaan pra seri A pada awal tahun ini. Hanya saja terkait nominal dan investor yang dirahasiakan. “Investornya dari keluarga pengusaha real estate. Kemungkinan akhir tahun ini akan ada funding tambahan.”

Monetisasi perusahaan, sambungnya, diambil dari komisi yang dibayarkan tenant. Persentasenya sekitar 8%-10% tergantung kesepakatan dengan manajemen gedung. Adapun untuk tim Flokq saat ini ada 35 orang.

Untuk penyewaan kamar, Flokq belum menyediakan aplikasinya. Seluruh pemesanan diproses melalui situs sebagai gerbang utamanya, lalu WhatsApp untuk diskusi dengan admin untuk diskusi lebih lanjut.

Pemain lainnya di ranah co-living yang beroperasi di Indonesia ada Coliving Space by CoHive, YukStay, Wellspaces, Rukita, RedDoorz, Cocohub, dan lainnya.

Application Information Will Show Up Here

Rambah Bisnis Indekos “KoolKost”, Strategi RedDoorz Menuju Profitabilitas

Startup hotel budget RedDoorz resmikan vertikal bisnis teranyarnya di bidang indekost KoolKost untuk melayani pengguna yang mencari hunian lebih dari satu bulan. Konsep bisnis ini diyakini bisa direplikasi untuk pasar RedDoorz di luar negeri, meski belum menjadi prioritas dalam jangka waktu dekat.

Kepada DailySocial, Business Head Coliving RedDoorz Ankit Lalwani menjelaskan, konsep KoolKost sebenarnya bisa direplikasi untuk negara lain. Namun, setidaknya sepanjang tahun ini, perusahaan ingin fokus pada perluasan KoolKost hingga 50 kota di Indonesia, dari posisi sekarang 14 kota dengan 100 properti.

“Cukup memungkinkan untuk ekspansi ke luar Indonesia, tapi di sini adalah negara dengan populasi tertinggi. Makanya, sekarang ini kami fokus ke Indonesia terlebih dulu, bukan ke pasar lain,” ujar Ankit, Kamis (23/1).

Menurutnya, KoolKost hadir karena kebutuhan teknologi dan solusi yang selama ini absen di industri indekos. Padahal, industri ini punya potensi yang besar, ada lebih dari 50 ribu properti indekos tersebar di Indonesia. Serta, belum ada operator yang dominan di industri ini.

Sasaran pengguna KoolKost adalah mahasiswa, first jobbe, dan middle level profesional. Mengutip dari data BPS, pada 2015 ada 9,3 juta orang yang memilih hidup migran untuk kerja dan menempuh pendidikan. Dari angka tersebut, sekitar 60% atau 5 juta orang memilih indekos sebagai tempat tinggal.

Sebelum diresmikan, Ankit menyebut KoolKost telah memasuki masa uji coba kurang lebih selama enam bulan sembari mempelajari masalah dan menyelesaikannya dengan pendekatan teknologi. Dari pembelajaran tersebut, pihaknya yakin dapat memberikan solusi nyata buat industri.

KoolKost memberikan jaminan layanan pelanggan 24 jam, koneksi internet berkecepatan tinggi, jasa pembersihan kamar dan air isi ulang. Semua kamar KoolKost dilengkapi dengan kamar mandi dalam, perabotan dan perlengkapan berkualitas, termasuk tempat tidur yang nyaman dan lemari pakaian dengan ruang penyimpanan cukup luas.

Di samping itu, sejumlah teknologi manajemen perhotelan dari RedDoorz juga disiapkan untuk menggaet lebih banyak mitra properti indekos. Misalnya, RedPartners yang dapat digunakan pemilik properti mengatur inventaris, melacak dan menggabungkan pesanan; mengelola dari awal sampai akhir; dan memberikan pengalaman tinggal jangka panjang yang baik untuk tamu.

Di dalam platform tersebut, mereka dapat mengikuti program uji coba KoolKost melihat lonjakan hunian ruangan yang signifikan, dengan rata-rata kenaikan lebih dari 30%. Berikutnya, RedFox sebuah platform untuk distribusi harga terkini secara langsung di seluruh OTA, memudahkan pemilik properti tanpa harus merekrut seorang revenue manager.

Perusahaan juga menjamin, hunian yang dipilih sesuai kriteria yang telah ditentukan dengan RedEagle. Ia adalah alat pendeteksi dan pengakuisisi properti, perusahaan dapat mengidentifikasi properti yang tepat untuk KoolKost sesuai dengan parameter pencarian yang spesifik.

Tidak ada tim khusus

Tidak seperti RedDoorz, sambung Ankit, KoolKost memiliki tiga jenis pilihan indekos yang dapat menjangkau semua pengguna. Yakni, hunian dengan konsep syariah, girls dan men only. Di samping itu, KoolKost termasuk dari bagian dari Coliving, unit bisnis dari RedDoorz untuk menyasar hunian jangka waktu lama.

“Kami membentuk kehidupan komunitas makanya kami membuat banyak jenis layanan KoolKost, agar menjangkau semua orang untuk saling berteman dalam satu komunitas yang sama.”

Selain KoolKost, ada Residences by RedDoorz yang menawarkan lebih banyak fasilitas dan standardisasi khusus, mencakup ruang game, Netflix ruang bersama, dapur, dan sarapan gratis tiap hari Minggu.

Terakhir, Residences by RedDoorz Apartment punya fasilitas paling atas dibandingkan layanan coliving lainnya. Disediakan kolam renang, area parkir, bebas biaya listrik dan area coworking.

Ankit memastikan seluruh properti yang berada di bawah payung KoolKost akan dikelola secara berkala. Ada tim yang khusus mendatangi setiap properti untuk menanyakan apakah ada keluhan, kerusakan atau sebagainya. Tim tersebut bekerja tidak hanya untuk KoolKost saja, tapi buat properti RedDoorz secara keseluruhan.

Sebelum bergabung pun, tim RedDoorz memastikan bagian apa saja dari properti tersebut yang harus ditingkatkan atau direnovasi. Paling lama dalam kurun waktu dua minggu, properti baru bisa masuk listing KoolKost.

“Sehingga semua listing properti yang ditampilkan, sudah melalui berbagai proses QC. Ada tim yang reguler cek kualitas properti, apakah propertinya di-manage dengan baik atau tidak, bagaimana kebersihan dan sebagainya.”

Di saat yang sama, dia juga menegaskan bahwa ke depannya KoolKost tidak akan mengelola properti apartemen karena ada perbedaan konsep pengelolaannya.

Sementara ini, KoolKost dapat dipesan melalui aplikasi dan situs RedDoorz. Aplikasi dan situs resmi untuk KoolKost sendiri sedang dalam tahap pengembangan, rencananya akan dirilis dua bulan dari sekarang.

Sebenarnya konsep serupa juga sudah ditawarkan beberapa startup lokal. Salah satunya dilakukan pengembang situs listing indekos MamiKos dengan meluncurkan MamiRooms.

Melaju ke arah profit

Vice President of Operations RedDoorz Adil Mubarak menjelaskan KoolKost adalah vertikal bisnis yang ditargetkan dapat membantu mewujudkan ambisi perusahaan menuju posisi profitabilitas.

“Kita fokus mau bawa negara di mana kita sudah ada, untuk profitable dan KoolKost ini sebagai segmen baru, untuk diferensiasi antara short dan long stay,” tuturnya.

Kantor RedDoorz di Bandung / RedDoorz
Kantor RedDoorz di Bandung / RedDoorz

Posisi perusahaan pada saat ini adalah mengambil jalur pertumbuhan perlahan dengan mengelola seluruh pengeluaran secara lebih sehat. Artinya, RedDoorz tetap mengambil strategi bakar duit namun lebih terkontrol, bukan sembrono karena ingin mengejar pertumbuhan.

Alhasil, dalam setiap negara di ASEAN yang dimasuki RedDoorz sudah melalui keputusan strategis yang matang. Selain Indonesia, terhitung saat ini RedDoorz hadir di empat negara, Singapura, Vietnam dan Filipina sejak pertama kali beroperasi di 2015.

“Kita selalu memastikan pasar [yang akan kita masuki] itu sudah bagus, pasarnya terbentuk, konsumennya sudah baik, tidak asal saja.”

Kondisi ini kontras dengan ekspansi Oyo yang berusaha untuk hadir di negara manapun. Dalam waktu tujuh tahun, unicorn ini beroperasi di 80 negara, termasuk A.S, Tiongkok, Eropa, Inggris, India, Timur Tengah, Asia Tenggara dan Jepang.

Seiring dengan target tersebut, sambungnya, perusahaan fokus pada pengembangan teknologi untuk memuaskan semua pihak. RedPartners, RedEagle dan RedFox adalah beberapa di antaranya. Ambisi yang sedang disiapkan adalah menyiapkan aplikasi yang lebih intuitif agar konsumen dapat terlayani lebih maksimal.

“Kami ingin interaksi dengan konsumen jauh lebih baik. Jadi saat mereka check-in, aplikasi bisa lebih pintar memberi notifikasi apakah ada keluhan dengan kamar mereka. Itu plan kita,” pungkas Adil.

Tercatat RedDoorz telah memiliki lebih dari 1200 properti di seluruh Indonesia yang tersebar di lebih dari 100 kota.

Application Information Will Show Up Here

Perjalanan Empat Tahun Mamikos, Rambah Model Bisnis Baru Melalui Mamirooms

Mamikos dirilis sejak tahun 2015, pada awalnya berperan sebagai situs dan aplikasi pencarian hunian sewa atau indekos di beberapa kota. Masih dengan misi yang sama, kini startup asal Yogyakarta tersebut sudah mengalami pertumbuhan yang sangat pesat.

Dalam kurun 4 tahun, mereka berhasil menghubungkan 110 ribu pemilik indekos di berbagai kota di Indonesia dengan 8 juta pengguna setiap bulannya. Di sisi layanan juga ada beberapa improvisasi signifikan yang dibubuhkan, termasuk fitur Booking untuk membantu pengguna memesan kamar langsung dari aplikasi.

“Kami akan terus fokus pada kategori industri indekos dengan membantu memajukan bisnis para pemilik kamar, sekaligus membantu para pencari kamar mendapatkan tempat dengan mudah lewat platform kami,” ujar Co-Founder & CEO Mamikos Maria Regina Anggit Tut Pinilih kepada DailySocial.

Anggit juga menceritakan mengenai inisiatif Mamirooms, yakni model bisnis baru di Mamikos untuk membantu pemilik indekos dalam mengelola propertinya. Bagi pemilik indekos yang tergabung, mereka akan mendapatkan bantuan intensif dalam kegiatan pemasaran, pengelolaan kamar, hingga standardisasi properti agar meningkatkan nilai jual. Standarisasi tersebut meliputi interior, fasilitas, operator, pelayanan, serta teknologi pembayaran (MamiPay – masih dalam tahap pengembangan).

Saat ini layanan Mamirooms sudah mencakup di wilayah Jabodetabek, Yogyakarta, Solo, Semarang, Surabaya, dan Malang.

Mamirooms
Mamirooms sediakan layanan pemasaran hingga operasional / Mamikos

Melanjutkan cerita, Anggit memaparkan awal mula pengembangan layanan tersebut. Ide awalnya berangkat dari masalah yang ia liat dihadapi oleh teman-temannya yang merantau. Pada saat itu mencari indekos menjadi suatu kegiatan yang memakan waktu, padahal internet sudah menjadi bagian hidup. Informasi yang tersedia di online sering tidak akurat, tidak lengkap, dan tidak diperbarui.

“Kami memulai mendirikan Mamikos dari Yogyakarta, kota kelahiran saya. Kami mulai hanya dengan hanya 3 orang. Saat itu kami bertiga memulai mengumpulkan data indekos dan dapat 50 data listing. Dua minggu kemudian kami merilis Mamikos. Selang tiga tahun layanan tersebut sudah memiliki lebih dari 200 ribu properti,” terang Anggit.

Saat ini perusahaan yang turut didirikan Bayu Syerli (Co-Founder & COO) tersebut masih terus fokus pada pengembangan fitur. Misinya membantu semua aspek kehidupan penyewa dan pemilik indekos.

“Nama Mamikos sendiri berawal dari saya ingin memberikan nama yang memiliki berkesan personal tapi juga modern sesuai dengan misi kita yang ingin meningkatkan kelas pencarian indekos,” pungkasnya.

Application Information Will Show Up Here

Oyo Resmikan Vertikal Bisnis Hunian Indekos “Oyo Life” di Indonesia

Oyo memboyong vertikal bisnis yang bergerak di hunian jangka panjang atau indekos ke Indonesia dengan brand “Oyo Life.” Indonesia adalah negara ketiga yang disambangi Oyo Life, setelah India dan Jepang.

Country Head for Emerging Business Oyo Indonesia Eko Bramantyo menjelaskan, pasar indekos di Indonesia terus bergeliat, didorong oleh permintaan yang tinggi dan potensi pengembangan rantai bisnis yang besar termasuk katering, laundry, housekeeping, dan lain-lain.

Di Asia, pemanfaatan co-living space menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari gaya hidup milenial. Studi yang ia kutip menunjukkan bahwa 70 juta orang Asia memilih tinggal di kos, dengan total sepertiganya ada di Indonesia (estimasi 23 juta jiwa).

Data Property Affordability Sentiment Index H1 2019 menunjukkan kenaikan harga rumah menjadi salah satu alasan utama orang Indonesia tidak terburu-buru membeli rumah. Makanya sebagian besar yang baru memulai karier cenderung memilih tinggal di kos sampai mendapat tempat tinggal permanen.

“Keputusan kami untuk bawa Oyo Life ke Indonesia, salah satunya karena permintaan para mitra properti kami yang mendorong Oyo untuk ikut mengelola properti ke segmen kos. Melihat dari pencapaian kami dalam kurang dari setahun, kami percaya ini adalah saat yang tepat,” terang dia, Rabu (9/10).

Perlu ditekankan ekspansi Oyo ke indekos ini adalah bagian dari investasi $300 juta (setara 4,2 triliun Rupiah) di Indonesia yang telah diumumkan sebulan lalu.

Status Oyo kini resmi menyandang sebagai decacorn (valuasi di atas $10 miliar), setelah mengantongi pendanaan dari CEO-nya sendiri Ritesh Agarwal, SoftBank, dan investor lainnya sebesar $1,5 miliar (sekitar Rp21 triliun).

Di global, Oyo Life baru hadir di tiga negara dan diklaim mengalami pertumbuhan bisnis yang pesat dalam kurang dari setahun terakhir. Sejak beroperasi di India pada Oktober 2018, Oyo Life telah mengakuisisi lebih dari 500 gedung, menyediakan 30 ribu kasur, dan tiap bulannya menambah 5 ribu kasur baru.

Sementara di Jepang baru diresmikan pada April 2019, telah mengakuisisi 1000 kunci tersebar di 20 titik sekitar Tokyo. Pada peluncurannya di Indonesia, Eko menyebut pihaknya hadir di delapan kota dengan 2500 kamar. Lokasinya di Jakarta, Bekasi, Bogor, Padang, Solo, Yogyakarta, dan Surabaya. Diklaim tingkat okupansinya berada di angka 80% dalam 30 hari.

Tidak tanggung-tanggung, dia menargetkan sampai akhir tahun Oyo Life dapat memiliki 10 ribu kamar di 10 kota utama di Indonesia yang memiliki populasi profesional muda dan mahasiswa yang tinggi sebagai konsumen utamanya. Di 10 kota ini, punya potensi 2 juta kamar kos yang bisa diakuisisi.

Model bisnis Oyo Life

Meski berangkat dari luar negeri, Oyo tidak semata-mata langsung copy paste model bisnis Oyo Life ke Indonesia. Ada perbedaan yang menonjol dari gaya hidup penghuni kos di luar negeri, yang akhirnya disesuaikan dengan kebiasaan orang Indonesia.

Di antaranya adalah konsep kunci, berapa banyak kunci yang bisa disewakan. Ini adalah hitungan untuk memperlihatkan pencapaian bisnis Oyo Life. Lantaran, di luar negeri itu, berbagi kamar (sharing room) dengan orang asing adalah hal yang normal.

“Beda dengan Indonesia, di sini tidak terbiasa dengan sharing room. Makanya kami pakai istilah kamar, bukan kunci karena orang Indonesia suka privasi.”

Berikutnya adalah kebiasaan untuk berinteraksi satu sama lain. Di luar negeri tidak ada itu karena masyarakatnya lebih individualis. Makanya di sini Oyo menyediakan kegiatan berbasis komunitas untuk saling engage satu sama lain antar penghuni.

Bila tertarik asetnya dikelola Oyo, persyaratan umumnya memiliki properti dengan langit-langit yang tinggi, ruangan yang cukup luas, dan minimal memiliki 10-15 kamar di dalam satu gedung.

“Nanti ada tim QC di lapangan yang akan memeriksa, lalu ada paperwork untuk perjanjiannya. Setelah setuju, tim kami yang akan renovasi properti, kami berinvestasi di situ, kurang lebih dua minggu selesai.”

Tidak hanya pugar properti, staf dari mitra properti akan dilatih secara rutin agar bisa memberi pelayanan yang terstandar hotel.

Dari segi teknologi dan layanan yang disediakan Oyo Life untuk para mitra properti, tidak ada perbedaan yang mencolok dengan Oyo Rooms. Mitra properti disediakan aplikasi yang dapat memantau seluruh proses bisnisnya dari jarak jauh. Nilai lebih inilah yang diklaim membedakan Oyo Life dengan kompetitornya.

“Layanan Oyo itu tergolong full stack dari hulu ke hilir, setelah aset dipugar kami pula yang akan memasarkan, mengelola operasional, hingga pembayaran, pemilik tidak perlu mengurusnya lagi.”

Eko enggan mengungkap bagaimana persentase pembagian hasil antara pemilik properti dengan Oyo karena rentangnya cukup bervariasi. Namun penentuan harga dilihat dari kisaran lokasi kos di sekitarnya, harga sewa di Oyo Life mulai dari Rp1,5 juta sampai Rp4,5 juta per bulannya.

Fasilitas yang disediakan mulai dari koneksi internet, pendingin ruangan, televisi, jasa housekeeping, kamera CCTV, dan layanan 24 jam. Apabila ada keluhan, penghuni cukup menghubungi tim Oyo Support tanpa biaya tambahan dari harga sewa bulanan.

“Kalau mau extend kos cukup fleksibel. Opsi pembayarannya juga bervariasi. Kalau ada yang telat bayar, tentu ada approach yang kami lakukan langsung dari Oyo, bukan dari pemilik kosnya.”

Eko mengungkap Oyo Life bakal tersedia sebagai aplikasi terpisah dari Oyo Rooms. Rencananya dalam waktu dekat akan meluncur. Sementara ini bisa diakses melalui situs resminya, dan situs OTA lain yang dimanfaatkan Oyo untuk memasarkan propertinya.

Di Indonesia, Oyo hadir di 100 kota dengan total 35 ribu kamar yang tersebar di lebih dari 1.000 hotel dari Sabang hingga Kupang.

Pemain indekos belakangan ini makin ramai, sebelumnya ada RedDoorz, Mamikos, dan RoomMe.

Application Information Will Show Up Here