Mengenal Verikool, Startup yang Lebih dari Sekadar “Marketplace Influencer”

Suka tidak suka keberadaan influencer media sosial sudah mengubah cukup banyak industri periklanan. Kendati begitu, masih banyak kendala yang perlu diatasi dari alternatif baru tersebut, semisal kemudahan mencari influencer, isu follower palsu, hingga efektivitas jasa influencer terhadap penjualan produk.

Masalah-masalah tersebut menjadi alasan kemunculan startup bernama Verikool. Founder & CEO Verikool Daniel Dewa menjelaskan bahwa startup yang ia dirikan itu bukan hanya sekadar marketplace influencer, tapi lebih sebagai perusahaan analitik.

“[Marketplace] sudah banyak banget. Kita tahu yang bikin seseorang memilih influencer bukan dari marketplace, mereka pakai influencer karena mereka terkenal. Jadi percuma kalau kita mengarah ke marketplace, nanti yang cari akan klien-klien kecil saja,” ujar Daniel kepada DailySocial.

Seperti yang Daniel katakan, marketplace untuk influencer memang sudah ada beberapa di Indonesia. Mereka di antaranya adalah SociaBuzz, IconReel, dan Allstars. Verikool ingin lebih dari sekadar marketplace yakni dengan menjadi perusahaan analitik yang memudahkan korporasi dan UKM beriklan melalui influencer.

Cara kerja Verikool cukup sederhana. Pada dasarnya mereka punya dua platform, endorse influencer dan analitik. Perusahaan atau UKM dapat memilih influencer yang relevan dengan kebutuhannya, melakukan pembayaran, hingga melakukan revisi.

Verikool juga dapat memberikan insight seperti follower asli dan palsu, tingkat engagement sebuah posting, berapa banyak klik ke situs perusahaan, email, chat, pola caption, dan banyak lagi. Bahkan algoritma Verikool memungkinkan melihat pose serta bahasa selebgram yang paling banyak menarik perhatian audiens. Biaya yang dikenakan bersifat flat untuk setiap transaksi sebesar Rp20.000.

Bedanya, UKM yang ingin melakukan endorse di Verikool harus bayar di muka, sementara korporasi dapat bayar setelah pemakaian jasa. Pihak influencer pun baru akan mendapatkan uangnya ketika mereka menyelesaikan tugas dari klien.

“Biasanya kalau ke agency kita bayar 5-20 persen dari harga influencer. Di kita mau harga influencer Rp1 miliar tetap aja Rp20.000,” ucap Daniel.

Sementara monetisasi dilakukan Verikool dengan cara menarik ongkos Rp100.000 per akun dari korporasi yang sudah jadi klien mereka. Dari ini saja Daniel mengaku pihaknya mendapat puluhan juta tiap bulan sehingga saat ini perusahaan sudah profit.

Sedangkan untuk pendanaan, Verikool berada di tahap pre-seed dengan total uang yang sudah dikantongi sebesar US$750.000, salah satunya dari Alpha JWC Ventures. Namun Daniel mengaku pengumpulan dana mereka hanya akan di fase seed dengan alasan sudah nyaman dengan kondisi saat ini.

“Segede-gedenya yang kita terima paling dari Alpha, kita enggak mau dari yang lain. Kita sudah fine kaya gini, sudah bagus bisa sales. Jangan sampai ada investor masuk jadi rusak,” ujar Daniel.

Saat ini sudah ada 1.700 lebih influencer di Indonesia yang sudah bergabung dengan mereka, termasuk beberapa di antaranya dari Taiwan. Sementara klien mereka sudah terdiri dari 20 korporasi dan 214 UKM.

Pada November nanti mereka berencana memperluas jangkauan layanan mereka hingga ke Thailand, Singapura, Malaysia, dan Taiwan. Alhasil nanti perusahaan di keempat negara itu dapat memakai jasa influencer lokal saat ingin mempromosikan produknya di Indonesia. Dan sebaliknya, pengiklan dari Indonesia dapat memakai jasa influencer keempat negara tadi untuk beriklan di sana.

Di samping itu meskipun saat ini hanya mengandalkan influencer di Instagram, tak lama lagi Verikool menyediakan jasa influencer di Youtube dan Twitter.

Fokus Raena Dukung Influencer Media Sosial Menjadi Entrepreneur

Besarnya penetrasi media sosial saat ini coba digali oleh Raena untuk menghadirkan peluang bisnis. Mereka hadir sebagai platform yang secara khusus membantu kegiatan promosi memanfaatkan influencer media sosial. Bukan hanya efektif mempromosikan produk dari berbagai brand, tapi kesempatan entrepreneurship bagi pengguna media sosial itu sendiri.

Berangkat dari pengalaman bekerja sebelumnya di berbagai platform e-commerce besar di AS seperti Amazon hingga turut mendirikan startup Flyrobe di India, Founder & CEO Raena Sreejita Deb akhirnya memilih mengembangkan konsep e-commerce enabler memanfaatkan influencer untuk ditekuni sebagai startupnya sendiri.

Mendukung influencer menjadi entrepreneur

Kepada DailySocial Sreejita Deb menegaskan, di Tiongkok dan Amerika Serikat saat ini sudah memiliki banyak media sosial influencer yang pada akhirnya menciptakan produk mereka sendiri. Untuk kegiatan pemasaran mereka memanfaatkan jumlah pengikut di akun media sosial masing-masing. Keputusan perusahaan mulai melirik Indonesia, setelah melihat besarnya jumlah influencer dari kalangan perempuan yang menyukai produk kecantikan, fesyen hingga produk khusus ibu dan anak.

“Di Indonesia kami mencatat sebanyak 50% influencer berasal dari kalangan perempuan. Besarnya pengaruh serta jumlah pengikut mereka menjadi alasan bagi kami untuk mengembangkan platform media sosial di Indonesia.”

Berbeda dengan platform marketplace influencer lainnya, Raena bukan hanya ingin bermitra dengan influencer yang berkualitas, namun juga menciptakan entrepreneur baru dari kalangan influencer dengan menciptakan produk kecantikan hingga perawatan wajah milik mereka sendiri.

Makin besarnya minat masyarakat umum untuk mengonsumsi produk independen di luar dari produk yang dihadirkan oleh brand besar seperti P&G hingga Unilever, menjadi salah satu potensi yang saat ini tengah dikembangkan oleh Raena.

“Salah satu kesuksesan yang terjadi di Amerika Serikat adalah produk khusus untuk ibu dan anak milik selebriti Hollywood Jessica Alba bernama The Honest Company. Dengan produk khusus dan kegiatan pemasaran memanfaatkan media sosial, The Honest Company mampu bersaing sehat dengan brand besar di AS,” kata Sreejita.

Raena mengklaim saat ini sudah memiliki mitra supplier terpercaya hingga kemitraan dengan logistik pihak ketiga yang bisa membantu influencer untuk memulai usaha. Meskipun memiliki kemiripan model bisnis dengan brand besar, namun Raena mengklaim memiliki perbedaan yang cukup signifikan.

“Karena kami startup, tentunya proses serta pengambilan keputusan jauh lebih cepat dibandingkan perusahaan besar. Karena alasan itulah tahun 2019 ini kami memiliki target untuk meluncurkan 7 produk baru yang bisa diakses di situs kami. Ke depannya kami juga berencana untuk memiliki official store di marketplace seperti Shopee dan lainnya,” kata Sreejita.

Salah satu produk yang telah diluncurkan beberapa waktu lalu adalah Lalabee yang diperuntukkan bagi orang tua milenial yang menginginkan produk untuk anak-anak yang aman dan bebas dari bahan-bahan berbahaya. Menggandeng influencer Moonella dan Marsson, sekaligus jadi mitra Raena pertama di Indonesia.

Untuk strategi monetisasi, Raena hanya akan mengumpulkan pendapatan jika produk terjual. Dari hasil tersebut kemudian akan dibagikan dengan influencer.

Merangkul lebih banyak influencer

Saat ini Raena telah memiliki 5 influencer besar Indonesia dan berencana untuk mengumumkan lebih banyak peluncuran merek lain segera. Kebanyakan influencer yang bergabung dengan Raena adalah mereka yang memiliki lebih dari 1,5 juta pengikut dan memiliki engagement yang kuat dengan pengikut. Proses kurasi dilakukan oleh tim Raena secara khusus.

Untuk kegiatan pemasaran, Raena juga membantu influencer mendapatkan pendapatan lebih sekaligus membantu brand mempromosikan produk mereka.

“Kami meluncurkan Raena untuk bermitra dengan influencer yang memiliki nilai-nilai positif, fokus terhadap pelanggan dan mengerti media sosial. Selain produk kecantikan untuk perempuan, kami juga memiliki rencana untuk menghadirkan produk serupa untuk pria,” tutup Sreejita.

4 Tren Pemasaran di Tahun 2019 yang Patut Diketahui

Tak terasa penghujung tahun 2018 akan segera tiba. Bagi Tagtoo, 2018 merupakan tahun yang perlu tantangan dan perjuangan. Liku-liku yang kami lewati sejak awal menapakkan kaki di Indonesia kemudian menjadi bekal kami untuk terus menyediakan terobosan-terobosan baru bagi industri periklanan digital di Indonesia.

Selama satu tahun ini, kami telah mengamati dengan seksama perkembangan periklanan digital di Indonesia. Dilengkapi dengan hasil diskusi yang kami dapat dalam wawancara bersama klien dan pakar-pakar pemasaran lainnya, berikut ini kami merangkum 4 tren pemasaran di Indonesia pada tahun 2019 mendatang.

Kami berharap informasi ini dapat membantu pemasar untuk mempersiapkan diri menyambut tantangan yang akan datang di 2019.

Periklanan digital semakin menguat

Kebutuhan akan periklanan digital seperti banner ads, video ads, dan native ads akan semakin marak di tahun 2019. Hal ini terjadi seiring masyarakat memiliki akses internet yang lebih luas baik melalui desktop maupun telepon genggam. Meskipun persentase penetrasi internet hanya 54.68% di tahun 2017, namun menurut Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet di Indonesia, angka nyata pengguna internet telah mencapai 144 juta orang. Jumlah ini merupakan kesempatan yang sangat luar biasa untuk memulai periklanan digital.

Periklanan digital melalui telepon genggam akan menduduki 50% dari total biaya periklanan yang dikeluarkan pada tahun 2019, mencapai angka 312 juta USD atau setara dengan 4,5 triliun rupiah. Di saat penggunaan smartphone saat ini bukan merupakan hal yang mewah, periklanan melalui telepon genggam (mobile ads) merupakan kunci untuk berinteraksi secara lebih personal dengan pengguna.

Kemunculan personalisasi iklan melalui telepon genggam merupakan hal yang selanjutnya dinantikan. Setiap harinya semakin banyak data pengguna smartphone yang telah dikumpulkan. Tantangan selanjutnya adalah bagaimana para e-commerce mengelola data tersebut untuk menghasilkan strategi bisnis yang lebih baik.

Selain itu, penargetan iklan juga akan beranjak dari model target demografi yang tradisional menuju target berbasis perilaku pengguna. Transformasi ini akan menghasilkan periklanan yang lebih efektif dan diharapkan dapat membawa konversi yang nyata.

Dibutuhkan laporan yang lebih transparan

Periklanan digital di Indonesia memang masih di tahapan pemula. Banyak perusahaan yang baru saja memulai eksistensi mereka di dunia online dan memiliki pemahaman yang terbatas akan periklanan digital. Situasi inilah yang kerap menjadi celah untuk dieksplotasi oleh pihak ketiga.

Transparansi dan reliabilitas dalam periklanan digital telah menjadi isu yang serius dalam periklanan digital di Indonesia. Laporan palsu dan data yang tidak relevan sering didapati ketika para pemasar mempercayakan periklanan digital mereka pada agensi periklanan lain. Selain sulit untuk menilai performa kampanye iklan mereka, kebanyakan pemasar juga tidak tahu apabila iklan mereka ditayangkan pada channel yang benar, serta apakah laporan yang mereka terima benar-benar dapat dipercaya. Berbagai data hasil manipulasi kadang telah mengelabui realita performa yang sebenarnya.

“Itulah alasannya mengapa kami selalu menyarankan klien untuk menggunakan Google Analytics,” ujar Mick Lu, Head of Tagtoo Indonesia. Ketika pemasar mulai paham menggunakan tracking tool  yang tepat dari pihak ketiga seperti Google Analytics, serta berbagai agensi profesional mulai bermunculan, masalah ini akan segera terselesaikan.

“Membiarkan klien belajar menginterpretasikan data mereka dengan tepat merupakan hal yang sangat kritis untuk dilakukan di Indonesia saat ini. Hal ini akan membantu mengurangi ketidakpercayaan dan pemikiran skeptis antar klien dengan agensi periklanan,” lanjut Mick.

Laporan yang benar-benar menggambarkan performa periklanan merupakan hal yang paling dibutuhkan pasar Indonesia saat ini. DI tahun yang akan datang, kami optimis untuk melihat periklanan digital berubah menjadi lebih transparan dari sebelumnya.

Penyediaan periklanan yang strategis

Berbicara mengenai periklanan digital di Indonesia, dapat diamati bahwa masih terdapat kesenjangan yang cukup besar. Perusahaan berbasis internet yang besar dan maju tentunya memiliki tim dan sumber daya yang cukup untuk menguasai teknologi periklanan terbaru di pasar. Namun disisi lain, perusahaan UKM harus berusaha keras untuk mengejar ketertinggalan mereka tanpa berbekal apapun.

Kesenjangan ini diprediksi akan semakin terlihat di tahun yang akan datang ketika semakin banyak sumber daya kapital yang masuk ke dalam perusahaan besar atau startup unicorn yang ada di Indonesia. Semakin sulit terciptanya ruang untuk para pemula.

Mengatasi kesulitan ini, baik untuk startup maupun UKM, agensi periklanan digital memiliki peranan yang penting. Agensi periklanan kini dapat bertindak sebagai penyedia strategi dan membantu eksekusi ide untuk membantu UKM bersaing dalam pasar yang kompetitif. Dengan adanya berkolaborasi dengan agensi profesional, UKM dapat fokus pada inti bisnis dan optimasi produk mereka. UKM akan tetap memiliki kesempatan untuk ikut meranah dalam dunia digital tanpa harus dibekali dengan tim yang kompeten di dalam perusahaan mereka.

“Banyak entrepreneur Indonesia masih belum menyadari beta pentingnya pengumpulan data sedangkan hal ini telah lama digunakan oleh perusahaan asing untuk optimasi produk dan campaign sejak lama,” ujar Kent Kang, Marketing Director Wellcomm, retailer gadget terbesar di Indonesia.

“Dengan metodologi terbaru dan perangkat marketing lainnya yang disediakan oleh para agensi periklanan, saya percaya bahwa hal ini cepat lambat akan merubah pola pikir para entrepreneur di Indonesia,” tambah Kent dalam sesi interviewnya bersama Tagtoo.

Micro-influencer marketing akan semakin popular

Influencer marketing merupakan senjata ampuh yang kerap digunakan oleh berbagai perusahaan di Indonesia untuk mendorong penjualan mereka ke level berikutnya. Dengan menggunakan pengaruh yang dimiliki para selebriti kepada para fans mereka, pemasar kini memiliki satu lagi opsi untuk menjalankan kampanye pemasaran mereka.

Namun, tidak semua perusahaan, seperti UKM, dapat mengeluarkan ratusan juta rupiah untuk membayar jasa pemasaran produk melalui akun media sosial para selebriti. Jumlah tersebut tentu memiliki nilai yang sangat besar bagi UKM dan dapat digunakan untuk biaya operasional mereka selama beberapa bulan.

Oleh karena itu, salah satu jalan pintas yang dapat diambil adalah dengan berpindah kepada micro-influencer, yaitu mereka yang memiliki followers kurang dari 50,000. Meskipun tidak memiliki jumlah follower selangit seperti selebriti popular lainnya, namun fanbase yang dimiliki justru lebih relevan dan memiliki kemungkinan untuk melakukan konversi.

Ditambah lagi, para micro-influencer sebenarnya memiliki lingkungan hidup yang jauh lebih dekat dengan masyarakat pada umumnya. Hal ini membuat promosi yang mereka lakukan akan lebih terpercaya dan relevan di mata masyarakat. Sama halnya seperti mendapatkan rekomendasi dari teman yang jauh lebih powerful dibandingkan sederetan iklan di TV.

Kemunculan micro-influencer akan semakin menjamur pada beberapa tahun ke depan. Hal ini dipercaya akan mendongkrak gaya pemasaran baru yang sebelumnya belum pernah ada di media sosial.

Artikel ini ditulis oleh Edison Chen dalam situs blog Tagtoo. Direjemahkan oleh Sisylia Angkirawan.

Cara Tepat Menggunakan Media Sosial

Dahulu media sosial merupakan platform paling mudah, dengan biaya minimum, untuk memberikan hasil organik dalam melancarkan kegiatan pemasaran. Di tahun 2018 ini, dengan persaingan yang semakin ketat dan perubahan aturan (dari pemilik platform) tentang bagaimana perusahaan menggunakan media sosial, strategi seperti apa yang harus dilakukan saat memanfaatkan media sosial?

Tentukan fokus sejak awal

Berdasarkan laporan We Are Social 2018, dari empat miliar pengguna internet di dunia, 3,1 miliar atau lebih dari 75% nya merupakan pengguna sosial media aktif. Angka ini naik hingga 13% dibandingkan dengan tahun lalu. Hal inilah yang membuat platform media sosial menjadi salah satu channel yang paling berpengaruh dalam meningkatkan brand awareness sebuah produk.

“Shopback memanfaatkan channel ini untuk membantu meningkatkan pemahaman masyarakat tentang Shopback serta menciptakan sebuah komunitas yang berkaitan baik secara langsung maupun tidak langsung dengan Shopback,” kata Social Media & Community Manager Shopback Indonesia Lalitya Hayuningtyas.

Strategi konten media sosial untuk meningkatkan brand awareness yang kemudian dapat mewujudkan follower yang aktif berinteraksi, baik untuk meminta bantuan dalam menyelesaikan masalah teknis, memberi masukan dan rekomendasi konten yang ingin mereka tonton, maupun melontarkan ide dan keluhan serta saran mengenai apa pun yang berhubungan dengan produk.

“Tujuan utama menggunakan media sosial bagi kami adalah menciptakan persona yang berperan sebagai teman bagi para follower yang notabene juga pengguna iflix,” kata Senior Content Marketing Executive Iflix Suryo Hapsoro.

Sementara itu, menurut VP Digital Marketing Traveloka Sandeep Bastikar, Traveloka ingin selalu hadir di semua tahapan travelling. Tujuan penggunaan media sosial adalah untuk tiga hal yaitu discovery, experience, dan sharing.

“Untuk discovery kami ciptakan dengan kehadiran kami di beberapa platform media sosial, disitu kami memberi inspirasi dan informasi travelling dan destinasi wisata. Untuk experience, kami memberikan tautan yang mengarah langsung ke app kami. Supaya follower kami bisa langsung membukanya saat mereka mempertimbangkan untuk menggunakan produk kami. Selain itu kami juga membantu menjawab pertanyaan tentang destinasi atau produk kami via media sosial,” kata Sandeep.

Sementara untuk sharing, saat pengguna share/post konten di media sosial dan menceritakan pengalaman mereka dalam menggunakan produk di media sosial, Traveloka akan memberi apresiasi, berkomunikasi langsung dengan mereka dan membagikan konten mereka di akun media sosial.

Pilihan platform dan konten

Setelah tujuan sudah ditentukan, langkah selanjutnya adalah menentukan platform media sosial mana yang paling ideal untuk masing-masing perusahaan.

“Saat ini Shopback lebih banyak menggunakan media sosial seperti Facebook Page, Facebook Group, Instagram, dan LINE. Keempat platform ini dirasa cocok dengan karakteristik target market dari pengguna Shopback. Platform tersebut kami nilai mampu mengakomodir kebutuhan Shopback sebagai brand, membantu membangun komunitas, meningkatkan brand awareness dan tentunya juga conversion,” kata Lalitya.

Sementara itu untuk layanan Video on Demand (VOD) seperti Iflix, sebelum menentukan platform media sosial yang tepat perlu juga dilakukan trial and error pada hampir seluruh platform media sosial yang tersedia di Indonesia.

“Instagram juga merupakan platform yang ideal bagi iflix untuk melancarkan kegiatan pemasaran, dengan adanya fitur Instagram Stories dan IGTV, kami bisa melakukan berbagai variasi kegiatan pemasaran seperti ulasan film atau mengunggah video dengan durasi yang lebih panjang,” kata Suryo.

Dalam hal ini format video diklaim memiliki keunggulan lebih saat melancarkan kegiatan pemasaran memanfaatkan media sosial. Sebagai layanan video streaming, YouTube banyak digunakan oleh perusahaan untuk mempromosikan kampanye tersebut.

“Terkait konten, Shopback biasanya menggunakan video, foto, serta blogpost dengan porsi yang berbeda-beda. Kami ingin membuat pengguna kami tidak merasa bosan dengan konten yang itu-itu saja. Untuk yang mana yang lebih ideal, semua balik lagi kepada platform serta tujuan dari konten tersebut. Misalnya untuk review produk, mungkin akan lebih ideal menggunakan video, sehingga pengguna atau audience lebih mendapatkan gambaran yang nyata,” kata Lalitya.

Sementara menurut Sandeep, di Traveloka platform media sosial yang digunakan adalah Facebook, Instagram, Twitter, dan YouTube. Alasan utamanya mayoritas digunakan penduduk Indonesia dan pengguna aplikasi Traveloka.

Selain itu, fokus lain yang wajib diperhatikan adalah konten apa yang paling banyak disukai pengguna. Sandeep melihat Traveloka ingin hadir di semua key points di dalam journey para traveller.

“Sebelum mereka memutuskan untuk memesan di Traveloka, mereka mencari inspirasi dan melakukan riset mengenai destinasi yang akan mereka kunjungi. Maka menjadi penting bagi kami untuk dapat menghadirkan konten-konten yang informatif bagi pengguna kami. Kami fokus di konten visual, baik berupa foto atau video, dan juga blog di website kami yang bisa memberikan inspirasi atau memberi rekomendasi destinasi dan atraksi liburan.”

Mengukur aktivitas

Untuk mengetahui kesuksesan sebuah kampanye memanfaatkan media sosial, perlu juga ditentukan cara terbaik memonitor kegiatan tersebut untuk mengetahui jenis posting yang sukses, tidak sukses, bagaimana hasilnya divisualisasikan, dan optimasi seperti apa yang memberikan hasil.

“Seluruh kegiatan di atas sebetulnya kami terapkan untuk memonitor kinerja media sosial Iflix. Laporan yang kami buat setiap minggu, kami analisis untuk melihat apa yang perlu kami perbaiki di minggu berikutnya. Tingkat keterlibatan pengguna dan para follower sejauh ini menjadi parameter evaluasi kami untuk menentukan apakah yang kami lakukan sudah tepat atau belum. Kami juga memantau data dari platform media sosial yang kami gunakan. Sehingga kami dapat mengetahui konten, waktu, dan angle seperti apa yang paling maksimal untuk menampilkan konten,” kata Suryo.

Hal senada dilakukan Traveloka yang merasa terbantu dengan adanya social media reporting tools dan tracking angka-angka yang menjadi metric dalam setiap campaign. Reporting tersebut kemudian dikaji ulang dan menjadi referensi untuk melakukan campaign selanjutnya. Tantangan terbesar saat ini adalah bagaimana untuk bisa mengenali sinyal dari sekian banyak noise yang ada di media sosial.

“Untuk itu, kami melakukan analisis, evaluasi, dan membuat perbaikan untuk konten berikutnya. Tentu kami melakukan ini setiap hari, karena tren media sosial yang cepat berubah, dan kami tidak mau melewatkan setiap kesempatan yang ada untuk menyajikan konten menarik. Terkadang rencana media sosial kami bisa berubah seketika jika kami melihat ada tren baru atau hasil evaluasi dari konten sebelumnya tidak seperti yang kami harapkan,” kata Sandeep.

Melihat tren

Tidak dapat dipungkiri, Instagram masih menjadi platform media sosial favorit yang banyak dipilih oleh perusahaan. Sifatnya yang viral dan paling banyak dipilih secara global menjadikan Instagram platform ideal. Munculnya fitur Stories dan IGTV juga mulai digunakan perusahaan untuk melancarkan kegiatan pemasaran.

Menurut Sandeep, dengan aktivitas di media sosial, kesempatan untuk dapat masuk ke ranah emosional (emotional mindspace) pengguna terbuka lebih lebar dibandingkan jika menggunakan jalur pemasaran lainnya.

“Tren followers kami saat ini banyak dipengaruhi Instagram Stories sebagai media baru yang terus bertambah fiturnya. Followers dapat berinteraksi dengan kami dengan berbagai cara, mulai dari rekomendasi, pertanyaan, dan berbagi cerita,” kata Sandeep.

Selain Instagram, Facebook masih menjadi platform media sosial yang paling sering diakses masyarakat. Meskipun demikian, perlu diingat bahwa saat ini pengguna sudah mulai cerdas memilih dan menelaah konten dari brand. Jadi mulailah untuk lebih banyak berinteraksi dengan konsumen ketimbang memberikan konten hard selling.

“Saat ini Facebook lebih bergeser ke komunitas atau group, terlebih untuk membuat engagement yang lebih tinggi. Sedangkan untuk Instagram orang-orang lebih cenderung melihat konten yang bergerak seperti video misalnya. Penggunaan influencer masih memberikan pengaruh yang cukup besar, namun perlu diperhatikan saat ini, micro influencer lebih mendatangkan conversion yang cukup tinggi ketimbang macro influencer,” kata Lalitya.

Makin maraknya fenomena millennial dan generasi Z saat ini sangat mempengaruhi tren media sosial. Generasi ini cenderung lebih selektif dalam memilih konten apa yang ingin mereka lihat. Artinya, sebuah merek harus memproduksi konten yang relevan dan memiliki nilai tambah bagi para follower. Ketika sebuah merek tidak bisa memenuhi kriteria ini, mereka harus bersiap untuk tergerus dari pasar persaingan.

“Menurut saya pribadi, netizen saat ini sedang dalam masa jenuh dengan keindahan mereka [dan saya juga] sedang menggandrungi guyonan receh. Lihat saja beberapa konten video yang belakangan ini berhasil viral bukanlah konten yang menunjukkan keindahan, tetapi konten yang konsepnya berhasil dieksekusi dengan baik sehingga kelucuannya dapat diterima oleh semua kalangan,” kata Suryo.

IconReel is a Platform to Connect Influencer and Brand

Are you familiar with the term “selebtweet” or “selebgram”? It’s a word to call those who gain many followers on Twitter and Instagram. They’re influencing. They’re called influencer and people often hire them for any kind of product marketing campaigns or activities. The increasing use of influencer is utilized by Mumu.id (a pivot from formerly grocery service) by making an influencer discovery platform called IconReel. This platform works by connecting influencers with campaigners and brands.

IconReel provides a search engine for an easy way to find content creators, “selebtweet”, “selebgram”, and Key Opinion Leaders (KOLs) with brands to collaborate. For an optimal support, IconReel claims to use Artificial Intelligence technology for social media analysis data in helping a brand to find the suitable criteria.

In the search column, there are kinds of categories or filters that can help brands to find a specific influencer. Start from followers limit, the platforms they used, related industry, location, also countries.

Founded by Winston Muljadi and Bradian Muliadi, IconReel has been operating since August 27, 2016. As time goes by, IconReel is trying to be a leading platform for influencer marketing in Indonesia with variant features, completed with accurate analysis.

IconReel facilitates not only brands to find the right influencers, but also provide full-service agency to help brands from planning, recruitment, execution, and evaluate campaign activities. A full package for brands or those in need of social media exposure with the role of influencers.

“We look forward to empower local business and communities globally through data analytics and social media-based technology products as our vision in Building Power and Democratizing Social Empowerment Platforms,” IconReel representative told DailySocial.

To complement IconReel as influencer discovery platform, Mumu.id is about to launch another new product called Analisa.io. It is an SaaS platform with artificial intelligence technology for Instagram’s hashtag and account analysis.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

IconReel Jadi Platform Penghubung “Influencer” dan “Brand”

Pernah mendengar istilah “selebtwit” atau “selebgram”? Sebuah istilah yang diberikan kepada mereka yang memiliki banyak pengikut di platform Twitter dan Instagram. Mereka berpengaruh. Mereka ini disebut juga dengan influencer, tak jarang jasa mereka digunakan untuk berbagai jenis kampanye pemasaran produk atau kegiatan. Meningkatnya penggunaan influencer ini disambut Mumu.id (yang sudah pivot dari awalnya membuat layanan grocery) dengan membuat platform pencarian influencer IconReel. Platform ini bekerja dengan menghubungkan influencer dengan mereka yang memiliki rencana kampanye dan juga brand.

IconReel menyediakan mesin pencarian untuk memudahkan mencari para konten kreator, “selebtwit”, “selebgram” dan Key Opinion Leaders (KOLs) dengan brand untuk berkolaborasi. Untuk mendukung pencarian yang optimal, pihak IconReel mengklaim telah menggunakan teknologi artificial intelligence untuk menyuguhkan data analisis media sosial untuk membantu brand menemukan kriteria yang cocok dengan mereka.

Di dalam kolom pencarian juga disediakan berbagai macam kategori atau filter yang bisa membantu brand menemukan influencer yang spesifik. Mulai dari batasan jumlah followers, jenis media sosial yang digunakan, industri yang terkait dengan influencer, lokasi, hingga negara.

Diprakarsai Winston Muljadi dan Bradian Muliadi, IconReel sudah beroperasi sejak 27 Agustus 2016. Seiring berjalannya waktu, IconReel mencoba hadir sebagai salah satu pemimpin untuk platform influencer marketing di Indonesia dengan beragam fitur lengkap dengan analisis yang akurat.

Selain memudahkan brand dalam mencari influencer yang tepat, IconReel juga menyediakan full service agency yang bisa membantu brand, mulai dari planning, rekrutmen, eksekusi, hingga mengevaluasi kegiatan kampanye. Paket lengkap yang ditujukan untuk brand atau siapa pun yang membutuhkan exposure media sosial dengan memanfaatkan peran influencer.

“Kami berharap untuk [bisa] memperdayakan komunitas dan bisnis lokal, secara global melalui produk teknologi berbasis social media dan data analytics dengan visi kami Building Power and Democratizing Social Empowerment Platforms,” terang co-founder IconReel Winston Muljadi ketika dihubungi DailySocial.

Selain memiliki IconReel sebagai platform pencarian influencer dalam waktu dekat, Mumu.id juga akan meluncurkan produk terbaru lainnya, Analisa.io. Produk ini adalah sebuah platform SaaS dengan teknologi artificial intelligence untuk analisis akun dan hashtag Instagram yang akan melengkapi peran IconReel.

Melakukan Kegiatan Pemasaran Memanfaatkan “Influencer”

Maraknya kegiatan pemasaran memanfaatkan media sosial seperti Instagram dan Facebook telah melahirkan pilihan kegiatan pemasaran memanfaatkan influencer.

Istilah influencer mulai hadir ketika pengguna media sosial telah memiliki eksistensi yang kuat dalam menampilkan jati diri mereka secara online. Bukan hanya sekedar memiliki pengikut dalam jumlah yang banyak, influencer  memiliki cara unik tersendiri menampilkan kreativitas mereka yang bersifat menghibur dan informatif ke pengikut mereka di masing-masing platform.

Kepada DailySocial, Co-Founder dan CEO GetCRAFT Indonesia Anthony Reza mengungkapkan, di tahun 2015, Nielsen menyatakan bahwa “word of mouth” adalah salah satu strategi pemasaran yang paling efektif. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah menentukan obyektif yang ingin dicapai dari kegiatan pemasaran tersebut. Kemudian lakukan analisis audiens yang menjadi target, seperti perilaku konsumsi mereka yang mencakup produk, informasi, media, dan influencer yang mereka ikuti.

“Tergantung dari obyektif pemasaran, brand bisa menentukan skala influencer yang akan diajak kerja sama dan juga frekuensi keterlibatan dari influencer ini, apakah hanya untuk campaign tertentu atau terus menerus,” kata Anthony.

Mengukur efektivitas influencer

Menurut hasil survei yang dikeluarkan Sociabuzz soal penggunaan influencer untuk kegiatan pemasaran, terungkap sebanyak 98,8% digunakan untuk meningkatkan awareness, sementara 62,7% untuk mengedukasi target konsumen, 50,6% untuk penjualan, dan sisanya yaitu 39,8% untuk meningkatkan jumlah follower. Pemanfaatan influencer yang sifatnya cenderung viral dianggap mampu mengubah cara pandang konsumen saat melihat tampilan produk.

Hal menarik lainnya yang bisa dipertimbangkan ketika ingin memanfaatkan influencer untuk kegiatan pemasaran adalah tidak selamanya artis atau selebriti memiliki efek yang lebih baik, dibandingkan dengan “selebgram”, istilah bagi pemilik akun media sosial Instagram yang populer.

Jika konsep yang dimiliki menarik, memanfaatkan influencer dari kalangan selebriti internet kini menjadi preferensi utama. Menurut survei Sociabuzz tersebut, sebanyak 59,0% responden memiliki influencer berdasarkan kategori selebriti internet, disusul dengan artis sebesar 22,9% dan sisanya adalah micro influencer sebesar 14,5%.

Menurut survei tersebut, ternyata sekitar 70% memilih efektivitas penggunaan influencer mencapai skala 7-10, artinya dinilai efektif untuk mendukung target yang ingin dicapai.

Skala influencer yang ideal

Saat ini secara organik influencer terbagi menjadi tiga kategori, yaitu mega influencer (selebriti), macro influencer, dan micro influencer. Kategori ini menyesuaikan jumlah pengikut, engagement, kreativitas masing-masing influencer.

Brand saat ini banyak mengunakan influencer marketing sebagai salah satu strategi channel PR mereka untuk meningkatkan engagement dengan target pelanggan. Terutama di Indonesia, Instagram [saat ini] paling populer untuk influencer,” kata Country Manager AdAsia Holdings Indonesia Lidyawati Aurelia.

Apabila brand ingin mendapatkan awareness yang besar, seperti peluncuran produk baru, dapat menggunakan mega dan macro influencer karena jumlah follower mereka yang sangat banyak. Namun jika obyektifnya adalah engagement, seperti pembelian produk, dapat menggunakan micro influencer karena tingkat engagement-nya lebih tinggi.

“Setelah memilih influencer yang sesuai, kita harus mengarahkan influencer ini untuk membuat konten yang dapat mendorong follower mereka untuk mencoba langsung pengalaman yang dirasakan influencer,” kata Lydia.

Influencer biasanya memiliki cara yang kreatif dan storytelling yang menarik untuk membuat follower tertarik mengetahui lebih lanjut mengenai brand yang mereka dukung.

“Ketika bekerja sama dengan influencer, penting memosisikan mereka seperti creative media partner yang ahli dalam melakukan produksi konten dan memiliki ide kreatif untuk menyampaikan pesan brand kepada audiens mereka. Jadi sifatnya kolaboratif dan dua arah.”

Setelah menemukan influencer yang dirasa tepat, untuk memperkuat informasi, sebaiknya kegiatan pemasaran memanfaatkan influencer juga didukung strategi pemasaran lainnya, termasuk konten bersponsor menggunakan publisher.

Memanfaatkan marketplace influencer

Mulai banyak marketplace influencer yang menawarkan opsi beragam dan harga terjangkau yang bisa dimanfaatkan brand dan UKM. Salah satunya GetCRAFT yang baru saja meluncurkan marketplace tempat praktisi pemasaran (brand dan agency) menemukan lebih dari empat ribu influencer, media online, penulis, fotografer, videographer, dan desainer grafis di Asia Tenggara.

“Marketplace ini juga memberikan kemampuan penggunanya untuk mencari content creator dengan lebih mudah melalui fitur filter mulai dari kategori konten, jangkauan konten, harga, dan lainnya,” kata Anthony.

Sementara CastingAsia, yang telah melokalkan platform-nya di Indonesia, Vietnam, Thailand, Taiwan, dan Jepang, menggunakan deteksi penipuan untuk menyaring influencer yang memanfaatkan pengikut berbasis bot.

“Hal ini penting bagi kami untuk mempertahankan pasar yang aman untuk brand. Pada saat yang sama, kami akan meluncurkan aplikasi CastingAsia Marketplace sehingga influencer dapat disiagakan untuk setiap kampanye di mana pun mereka berada,” kata CEO & Co-Founder AnyMind Group Kosuke Sogo.

Apa pun pilihannya, pengunaan influencer menjadi opsi menarik bagi brand dan UKM bereksplorasi untuk berbagai kegiatan pemasaran. Marketplace influencer bisa menjadi awal penjajakan tersebut.

Aplikasi Aidoru Permudah Influencer Media Sosial Kelola Pekerjaannya

Kehadiran influencer saat ini menjadi alternatif bagi brand untuk melancarkan kegiatan pemasaran. Tidak hanya mengandalkan televisi dan iklan digital, influencer yang biasanya memiliki jumlah pengikut cukup banyak di akun media sosial telah menjadi pilihan baru yang terbukti memberikan hasil yang cukup viral.

Melihat fenomena tersebut, Aidoru Entertainment sebagai talent management yang kini telah menaungi ratusan micro influencer di Indonesia dan Thailand meluncurkan aplikasi “Aidoru” di awal bulan Maret 2018. Tujuannya untuk mempermudah influencer dalam mengatur jadwal pekerjaan yang diterimanya. Aplikasi ini diklaim oleh Aidoru Entertainment sebagai aplikasi influencer marketing management pertama di Indonesia.

“Aplikasi Aidoru ini diharapkan dapat menjadi jalan keluar agar ke depannya tidak ada lagi kejadian lupa posting atau lupa ada jadwal shooting yang dapat merugikan brand dan juga influencer,” kata Direktur Aidoru Entertainment Yummi Zahra.

Masih menjalankan bisnis secara bootstrap, Aidoru menargetkan satu juta influencer untuk bergabung dengan aplikasi di akhir tahun 2018 ini.

Platform pilihan untuk influencer

Berfungsi sebagai pengatur load kerja endorsement dari influencer Aidoru, secara keseluruhan Aidoru mendapatkan profit ketika klien memesan profil influencer di Aidoru untuk melancarkan kegiatan pemasaran memanfaatkan one-click unique link, yang rencananya segera diluncurkan. Hal tersebut nantinya akan memudahkan klien yang ingin melakukan kerja sama dengan influencer Aidoru.

“Kami ingin menciptakan transaksi yang aman untuk seluruh ekosistem, di mana influencer dapat fokus berkarya,” kata Yummi.

Sebagai aplikasi manajemen influencer yang berfungsi untuk mengatur pekerjaan yang diterima, Aidoru saat ini telah memiliki sekitar 100 ribu lebih buzzer eksklusif sebelum aplikasi tersebut diluncurkan. Jumlah tersebut terbagi dalam beberapa segmen, yaitu fashion, beauty, food, travel, music, sport, parenting, lifestyle dan hijab.

Application Information Will Show Up Here

Laporan GetCRAFT: Meningkatnya Penggunaan Media Sosial, “Influencer”, dan “Native Ads” untuk Kegiatan Pemasaran

Untuk memberikan gambaran jelas tentang kegiatan pemasaran secara online, GetCRAFT, platform yang memenuhi kebutuhan content marketing, influencer marketing dan native ads, meluncurkan survei yang berjudul Indonesia Native Advertising & Influencer Marketing Report 2018.

Dalam survei tersebut disebutkan Instagram merupakan platform media sosial populer saat ini (97%) di kalangan influencer, disusul Twitter (67%). Sementara kehadiran influencer masih menempati pilihan pertama perusahaan menyalurkan kegiatan pemasaran, disusul dengan iklan berbayar secara online. Laporan yang dibuat berdasarkan tiga survei terpisah ini ditujukan untuk brand, agensi, penerbit, media hingga influencer.

Media sosial dan kehadiran influencer

Salah satu platform yang paling banyak digunakan brand dan perusahaan melakukan kegiatan pemasaran dan membina relasi serta engagement dengan pengguna adalah melalui media sosial.

Sebagai salah satu negara di Asia yang mengalami peningkatan cukup tinggi terkait dengan penggunaan mobile internet, yaitu 47% (123 juta orang) dan penggunaan internet secara keseluruhan sekitar 51% (133 juta orang), laporan GetCraft menyebutkan media sosial yang paling aktif digunakan adalah YouTube sebanyak 49%, disusul Facebook sebanyak 48%, Instagram 39%, Twitter 38%, Whatsapp (38%), FB Messenger (31%), Line (30%), Linkedin (28%), BBM (26%), Pinterest (22%) dan WeChat (21%).

Selain platform iklan berbayar seperti Google Adwords, Facebook Ads, dan lainnya, kehadiran para influencer di media sosial juga sudah memiliki peranan yang tidak kalah pentingnya dari platform berbayar yang ada. Kegiatan pemasaran memanfaatkan influencer berupa engagement yang dilakukan individu yang memiliki jumlah pengikut yang besar di akun media sosial. Dalam bentuk percakapan, brand dan perusahaan menyematkan konten pemasaran yang beragam, mulai dari gambar, video, hingga blog.

Dalam laporan tersebut juga disebutkan Instagram merupakan platform paling favorit digunakan para influencer untuk melancarkan kegiatan pemasaran dan terbilang paling ampuh. Sebanyak 97% influencer memanfaatkan Instagram, disusul dengan Twitter 67%, Youtube 33%, dan Facebook sebanyak 30%.

Penggunaan native ads yang makin populer

Laporan menarik lainnya yang juga disampaikan oleh GetCRAFT adalah penggunaan native ads yang makin banyak dipilih brand dan perusahaan untuk kegiatan pemasaran. Format native ads yang fleksibel menyatu dengan konten, memberikan kesempatan advertiser untuk mempromosikan konten. Contohnya adalah opsi untuk mendorong posting di Facebook, iklan berbayar di mesin pencari Google, hingga listing promosi di layanan e-commerce.

Definisi native ads sendiri yang dijabarkan dalam laporan tersebut adalah iklan berbayar yang memiliki kesamaan dari sisi format, fungsi hingga kualitas dari konten di media. Biasanya konten ini tidak terkesan “hard sell” namun menyatu dengan topik layaknya sebagai pendukung dari konten tersebut.

Di tahun 2018 nanti diprediksi brand dan perusahaan bakal lebih fokus di penggunaan native ads. Tercatat budget yang dialokasikan brand untuk native ads (dibanding total biaya pemasaran) akan mencapai 16% pada tahun 2018, dibandingkan 9% pada tahun 2017.

Warner Bros. Ketahuan Menyuap YouTuber, PewDiePie Merespons

Di industri game, opini dari individu atau instansi terpercaya merupakan aspek yang bisa memengaruhi laku atau tidaknya sebuah karya digital. Dan kehadiran platform video sharing serta kemunculan para influencer ternama memberikan keleluasaan bagi publisher untuk memasarkan produk. Tapi tentu saja, di sana masih ada banyak celah yang mudah dieskploitasi.

Beberapa hari lalu, Federal Trade Commission Amerika Serikat berhasil membongkar penyalahgunaan YouTube yang lakukan oleh Warner Bros. Tim publisher ketahuan membayar uang pada para influencer agar permainan Middle-earth: Shadow of Mordor mendapatkan skor tinggi, dan pada akhirnya mendongkrak penjualan game. Meski sponsored content memang bukanlah hal baru di YouTube, WB Games terpergok melanggar ketentuan FTC.

Prosedurnya sebetulnya cukup sederhana: Para bintang YouTube diberikan satu kopi permainan sebelum tanggal rilis dan diminta untuk mempromosikanya. Dengan jumlah subscriber yang begitu banyak, video-video kreasi para influencer ditonton lebih dari 5,5 juta kali. Video Felix Kjellberg alias PewDiePie sendiri berhasil mengumpulkan penonton paling banyak, mencapai 3,7 juta view. Lalu apakah hal itu salah?

Masalahnya, WB Games meminta YouTuber menempatkan informasi bahwa video tersebut disponsori di dalam boks deskripsi (bukan bagian dari konten ataupun judul), kemudian catatan itu sengaja disembunyikan di bagian ‘show more‘. Melalui partner marketing Warner Bros. Plaid Social Labs, FTC juga menemukan instruksi sang publisher pada influencer agar tidak mengekspos glitch dan bug pada penonton.

Mungkin Anda penasaran, mengapa baru ketahuan sekarang, padahal Middle-earth: Shadow of Mordor diluncurkan hampir dua tahun lalu? Kendalanya, Federal Trade Commission baru akan melakukan investigasi jika ada laporan. Dan seperti badan pemerintah lainnya, proses pemeriksaan membutuhkan waktu lama.

Mengetahui namanya tersangkut kasus ini, PewDiePie segera memberikan respons berupa video. Ia menjelaskan bahwa ada banyak YouTuber terlibat dalam program sponsor tersebut, namun karena namanya paling dikenal orang, maka cuma dirinya yang disebutkan. Kjellberg menegaskan, ia terang-terangan menginformasi hubungannya dengan Warner Bros. di bagian About, meskipun sebetulnya bertentangan dengan permintaan publisher.

Menurut PewDiePie, WB Games-lah yang melanggar peraturan FTC dan yang harusnya dikenai sanksi, bukan dirinya. Ia juga berargumen, pedoman mengenai ketentuan disclosure YouTube oleh Federal Trade Commission baru dikeluarkan di tahun 2015, sedangkan videonya (serta permainan Shadow of Mordor) sudah dipublikasi sejak 2014.

Sumber: Eurogamer & Polygon.