Ajaib Rampungkan Pendanaan Seri A 356 Miliar Rupiah, Gencarkan Edukasi dan Akuisisi Pengguna Milenial

Platform investasi yang baru-baru ini telah mengakuisisi Primasia Unggul Sekuritas (Primasia Sekuritas), Ajaib Group, mengumumkan pendanaan seri A sebesar $25 juta atau setara 356,3 miliar Rupiah. Putaran pendanaan tersebut dipimpin oleh Horizons Ventures (Li Ka-shing) dan Alpha JWC Ventures, serta diikuti oleh SoftBank Ventures Asia, Insignia Ventures, dan Y Combinator.

Ajaib sebelumnya sempat tergabung ke dalam program Y Combinator tahun 2018, sekaligus membuka seed round-nya. Pendanaan berlanjut di tahun berikutnya, membukukan dana $2,1 juta dari Y Combinator, SoftBank Ventures, Alpha JWC Ventures, dan Insignia Ventures.

“Saya merasa bangga karena Ajaib menjadi pilihan bagi sebagian besar investor saham baru di Indonesia. Sebagai seorang milenial, saya tahu seberapa sulit pengalaman saya saat mulai berinvestasi. Itulah mengapa Ajaib sangat fokus pada kaum milenial dan edukasi yang lebih baik,” kata Co-founder & CEO Ajaib Group Anderson Sumarli.

Dana segar ini rencananya akan digunakan perusahaan untuk meningkatkan infrastruktur teknologi, merekrut tim teknis, dan memperluas penawaran produk. Selain itu dana tersebut juga akan digunakan untuk mendukung kampanye edukasi #MentorInvestasi Ajaib yang bertujuan untuk membantu upaya pemerintah Indonesia dalam mengedukasi milenial tentang investasi dan perencanaan keuangan.

“Sektor investasi di Indonesia masih kurang terlayani dan salah satu penyebabnya adalah kurangnya aksesibilitas. Ajaib mampu memberikan solusi untuk masalah tersebut dan merevolusi industri broker saham dalam waktu kurang dari dua tahun. Kami sangat terkesan dengan kecepatan pertumbuhan Ajaib dan kami sangat senang melihat Ajaib membantu jutaan anak muda di Indonesia untuk berinvestasi dengan lebih baik,” kata Managing Partner di Alpha JWC Jeffrey Joe.

Di Indonesia, saat ini memang sudah ada beberapa layanan digital yang mengakomodasi kebutuhan pengguna dalam melakukan investasi; termasuk untuk instrumen reksa dana, saham, emas, sampai aset kripto. Dalam Fintech Report 2020 yang dirilis DSResearch, menyurvei 329 responden, didapat hasil sebagai berikut terkait awareness aplikasi untuk kebutuhan investasi.

Aplikasi Investasi

Beberapa aplikasi di atas juga sajikan layanan serupa dengan Ajaib, misalnya Bibit, Tanamduit, Bareksa untuk reksa dana; dan Stockbit untuk saham.

Pertumbuhan Ajaib Group

Didirikan pada 2019, Ajaib telah menjadi salah salah platform investasi dengan pertumbuhan paling pesat di Indonesia, melalui Ajaib Sekuritas (sekuritas saham online) dan Ajaib Reksadana (reksa dana online). Dalam waktu 7 bulan sejak diluncurkan Ajaib Sekuritas pada Juni 2020 lalu, perusahaan mencatat lebih dari 10 miliar lot saham telah diperdagangkan di Ajaib.

Ajaib juga telah mendukung lebih dari 1 juta pengguna setiap bulannya dalam perjalanan investasi mereka. Pada bulan Desember 2020 lalu, Ajaib juga mengumumkan bahwa perusahaan menggandeng aktor drama Korea Kim Seon-ho pemeran Han Ji-pyeong dalam serial Start-Up di Netflix sebagai Brand Ambassador.

Kepada DailySocial beberapa waktu yang lalu Anderson mengungkapkan, pandemi yang terjadi saat ini ternyata tidak mampu memadamkan semangat investor individu Indonesia untuk berinvestasi di pasar modal. Pada dua bulan pertama sejak diluncurkannya layanan saham di Ajaib, perusahaan sudah mencatatkan puluhan ribu pengguna baru, yang kebanyakan di antaranya merupakan generasi milenial.

“Saat ini, posisi pasar juga belum pulih seutuhnya, sehingga peluang bagi pengguna untuk meraup keuntungan di pasar modal, masih besar,” ujarnya.

Tahun 2021 ini Ajaib akan melanjutkan misinya untuk menyambut investor generasi baru di pasar modal Indonesia. Per Desember 2020, terdapat 1.592.698 investor saham di Indonesia, artinya kurang dari 1% penduduk Indonesia memiliki rekening saham. Untuk meningkatkan jumlah investor ritel domestik, Ajaib berencana akan memperluas cakupan kampanye edukasi investasi dan perencanaan keuangan yang ditujukan bagi kaum milenial.

Application Information Will Show Up Here

Chandra Tjan: Indonesia’s Digital Ecosystem Is Quite Green, Momentum for Investors and Startups

Alpha JWC Ventures becomes one of the most active venture capital in Indonesia. After pouring investment for 10 startups in the past year, the list goes up to 41 portfolios by the end of 2020. This year, they plan to close the third fund that is said to worth much bigger than the previous one in order to aggressively contribute to Indonesia’s startup landscape.

In order to discover Alpha JWC Ventures’ vision and goals, we had the opportunity to do an exclusive interview with one of their founders, Chandra Tjan. He’s not quite the newbie in this industry as he used to be the Co-Founder & Managing Partner in East Ventures’ first fund in 2009. His investment footprints included the seed funding of Tokopedia, Traveloka, Disdus (acquired by Groupon), Pricearena (acquired by Yello Mobile), and few others.

“In 2009, I’ve been living in Singapore for 10 years and already settled down, also had a career as a banker at Credit Suisse and Citigroup. I saw the huge potential and opportunities in the technology sector in other countries such as America, Japan, and China. I think Indonesia could’ve been that too. Technology and its social impact will advance Indonesia’s ecosystem, and I want to take part in that process,” he said.

He continued, “It turns out at that time, there were already several technology/startup companies in Indonesia, however, they have not enough capability to capture funds from foreign investors in order to grow. Therefore, I returned to Indonesia to focus on this technology sector. Together with several colleagues, I founded East Ventures and became a Managing Partner in its first fund. I was also East Ventures’ sole full-time  Partner focused in Indonesia [at that time].”

Later on, together with his two colleagues Jefrey Joe and Will Ongkowidjaja, Chandra founded Alpha JWC Ventures in 2015. To date, the team has managed two funds with a value of nearly $200 million or the equivalent of 2.7 trillion Rupiah. The funds were collected from LPs from Indonesia, Singapore, the United States, several European countries, Japan, China, and Korea. They mainly focused on early stage and every year they have target to invest in 8-10 startups. However, Alpha JWC Ventures is quite often involved in the follow-on investment for series B. The ticket sizes given vary from $200 thousand to $15 million.

“In 2013, they started to have a different vision in East Ventures resulting in me, Jefrey, and Will founded Alpha JWC Ventures in 2015. We did quite a different approach from investors in Southeast Asia, and still ongoing. Alpha JWC was founded as an institutional and independent fund. With strict discipline in investment strategy, every decision can be accounted for later. From previous experiences, I also learned the importance of assisting founders in the early days of startups, therefore, we apply a value-add approach and build a great value-creation team at Alpha JWC,” Chandra explained.

Co-Founder Alpha JWC Ventures Chandra Tjan dan Jefrey Joe / Alpha JWC Ventures
Alpha JWC Ventures’ Co-Founder Chandra Tjan dan Jefrey Joe / Alpha JWC Ventures

Digital ecosystem is yet to bloom

With the existence of decacorn, unicorns, and dozens of centaurs in various business landscapes, Chandra said Indonesia’s digital ecosystem is quite green- even though it is starting to form. There are some factors to support the maturity of a digital startup ecosystem, among those, the competition between players will be tighter, the market will become saturated, and it will be difficult for companies to grow exponentially.

“Indeed, it is getting into shape, but it’s still a long way to go. Indonesia’s digital industry is still green, and this is good news for us as investors and startups. It means that the market holds enormous potential to be discovered and developed, and the growth projection is beyond great in almost all sectors and target markets. This is a very big momentum in Indonesia,” Chandra said.

The conditions brought Alpha JWC Ventures to adopt a sector-agnostic view. They invest in various business ideas in various sectors estimated to have great growth potential with a positive impact on society.

“In terms of investment, we always look at 3 factors: people, product, and potential — the quality of the founders who built the startup, products that provide solutions to real problems for people’s need, and the potential for the product to develop in terms of features and users. Among those three, the quality of the founder is the most important factor in our Point of View, because ideas and products can change at an early stage, but we can only hold on to the founder’s commitment and vision,” he explained.

In 2020, the startup ecosystem had to encounter Covid-19 pandemic. Startups and investors had to form many adjustments. On the other side, Chandra sees that the pandemic has succeeded in forcing investors to pay more attention to fundamentals and unit economics in startups – something that Alpha JWC Ventures has been implemented since the beginning. Also, a pandemic has accelerated digital adoption in Indonesia, therefore, startups will find it easier to introduce their products to the public.

“For us, higher digital adoption will bring high investment potential, and this is the right time to invest. However, being selective is crucial, whether these startups can survive and thrive despite a pandemic. Since the beginning of the year, we are actively invest in new companies and follow-on investments into our portfolio, and until now we are satisfied with the results,” Chandra explained.

Exit strategy

To date, Alpha JWC Ventures has scored 3 portfolio exits through acquisition. Exit, through M&A or IPO, is indeed one way for venture capitalists to get ROI from their investment expense. They will profit from an increase in the valuation, based on the growth of the related startup.

Regarding the exit strategy, Chandra said that they currently focus on becoming a long-term partner for their portfolio. “Exit is certainly important, but making exit the main focus will actually damage the dynamics with the portfolio. We will exit at the right time, and ‘right’ means a different thing for each startup.”

He added, “To date, we have successfully brought 3 startups to exit, Spacemob was acquired by WeWork less than a year from our investment; DealStreetAsia was acquired by Nikkei to realize their vision of bringing quality news from Asia to the world; and Jualo was acquired by our other portfolio, Carro, as an expansion path in Indonesia. All three happened at the right moment and we are proud of this achievement. ”

Indonesia’s digital ecosystem in the future

Kopi Kenangan menjadi salah satu portofolio "signature" new retail Alpha JWC Ventures / Kopi Kenangan
Kopi Kenangan becomes one of Alpha JWC Venture’ signature portfolio of new retail / Kopi Kenangan

Chandra also revealed that investors need to read the future trends or even create the trend. “In 2010, for example, I saw that e-commerce would become an ‘idol’ in society, at that time people are getting familiar with fast and cheap internet connections. I started with Tokopedia and Traveloka. Then, 6 years ago, when we started Alpha JWC, we saw that people are getting more comfortable making transaction through digital applications and will definitely need a more practical way of payment and an affordable source of funds, that’s why we started investing in several fintech startups such as Kredivo and Modalku. Both have now become the leading players in Indonesia and part of people’s daily lives.”

He also mentioned, “It is likewise the new retail trend in the F&B sector. In 2018, we saw technology has made it easier for startups and consumers, therefore, we made a big investment in Kopi Kenangan. Many people considered this investment is a crazy act then. However, we can prove that not only did we make the right choice, but we are bringing the trend of VC investment for new retail startups – something that was unlikely in Indonesia. Always one step ahead, that’s the key. ”

Regarding the startup ecosystem, he thought that Indonesia is approaching an “inflection point”. The ecosystem has started to rise 10 years ago, and accelerated in the last 5 years; Supposedly, soon after the pandemic ends, the development will accelerate both in terms of quality, innovation, the quantity of startups, and cooperation between players.

Alpha JWC Ventures also has plans to expand its business in Southeast Asia. “After Indonesia, Singapore, and Malaysia, we believe Vietnam will become the next digital hotspot in Southeast Asia. The startup ecosystem in Vietnam is quite similar to Indonesia, only a little younger, that’s why we find it interesting.”

Regarding expansion for its startup portfolio, Chandra believes more that each portfolio has its own focus, and regional expansion is not always the best, especially with the Indonesian market that is quite large and still some space left to be discovered. “Some of our startups are going regional in the near future, but at the moment I can’t reveal much,” concluded Chandra


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Chandra Tjan: Ekosistem Digital di Indonesia Belum Matang, Kesempatan Bagi Investor dan Startup

Alpha JWC Ventures menjadi salah satu pemodal ventura yang aktif di Indonesia. Tahun 2020, mereka berinvestasi di 10 startup. Jumlah ini menambah deretan perusahaan portofolio menjadi 41 buah. Tahun 2021 ini, mereka berencana menutup fund ketiganya yang diklaim memiliki nominal yang lebih besar sehingga bisa lebih agresif bermanuver di lanskap startup Indonesia.

Untuk mendalami visi dan tujuan Alpha JWC Ventures, kami berkesempatan melakukan wawancara eksklusif dengan salah satu founder mereka, Chandra Tjan. Di ekosistem, ia bukan orang baru karena sebelumnya di tahun 2009 ia sempat menjadi Co-Founder & Managing Partner East Ventures dalam Fund 1-nya. Keterlibatannya termasuk dalam investasi awal Tokopedia, Traveloka, Disdus (diakuisisi Groupon), Pricearena (diakuisisi Yello Mobile), dan beberapa lainnya.

“Di 2009, saat itu saya sudah 10 tahun tinggal di Singapura dan sudah settle down dan berkarier sebagai bankir di Credit Suisse dan Citigroup. Di sana, saya melihat besarnya potensi dan kesempatan sektor teknologi di negara lain seperti Amerika, Jepang, dan Tiongkok. Saya rasa Indonesia harusnya bisa seperti itu juga. Teknologi dan social impact-nya akan memajukan Indonesia, dan saya ingin ikut berperan di proses tersebut,” ungkapnya.

Ia melanjutkan, “Ternyata, saat itu di Indonesia sudah ada beberapa perusahaan teknologi/startup, tapi mereka tidak punya kemampuan menarik dana dari investor asing untuk berkembang lebih besar. Melihat kebutuhan itu, saya pulang ke Indonesia untuk fokus di sektor teknologi ini. Bersama beberapa rekan, saya mendirikan East Ventures dan menjadi Managing Partner di fund pertamanya. Saya juga menjadi satu-satunya Partner East Ventures yang full-time dan fokus di Indonesia [saat itu].”

Kemudian di tahun 2015, bersama dua rekannya Jefrey Joe dan Will Ongkowidjaja, Chandra mendirikan Alpha JWC Ventures. Hingga saat ini, ada dua fund yang dikelola dengan nilai hampir $200 juta atau setara 2,7 triliun Rupiah. Dana tersebut dibukukan dari LP yang berasal dari Indonesia, Singapura, Amerika Serikat, beberapa negara Eropa, Jepang, Tiongkok, dan Korea. Setiap tahun, mereka memiliki target berinvestasi ke 8-10 startup dengan fokus utama pendanaan tahap awal. Kendati demikian, tak jarang Alpha JWC Ventures juga terlibat dalam follow on investment untuk seri B. Ticket size yang diberikan berkisar $200 ribu s/d $15 juta.

“Pada 2013, terjadi perbedaan visi di East Ventures dan akhirnya di 2015 saya bersama Jefrey dan Will mendirikan Alpha JWC Ventures. Pendekatan yang kami ambil cukup berbeda dengan investor-investor di Asia Tenggara, bahkan hingga saat ini. Alpha JWC didirikan sebagai fund yang independen dan institusional. Dengan disiplin ketat dalam strategi investasi sehingga setiap keputusan dapat dipertanggungjawabkan di kemudian hari. Dari pengalaman sebelumnya, saya juga belajar pentingnya mendampingi founder di masa-masa awal startup, karena itu di Alpha JWC kami menerapkan pendekatan value-add approach dan membangun tim value-creation yang besar,” terang Chandra.

Co-Founder Alpha JWC Ventures Chandra Tjan dan Jefrey Joe / Alpha JWC Ventures
Co-Founder Alpha JWC Ventures Chandra Tjan dan Jefrey Joe / Alpha JWC Ventures

Ekosistem digital belum matang

Kendati saat ini Indonesia sudah memiliki decacorn, unicorn, dan puluhan centaur di berbagai lanskap bisnis, menurut Chandra ekosistem digital di Indonesia masih belum matang–meski sudah mulai terbentuk. Ada beberapa indikasi untuk kematangan sebuah ekosistem startup digital, di antaranya kompetisi antarpemain akan semakin ketat, pasar akan menjadi saturated, dan sulit bagi perusahaan untuk berkembang secara eksponensial.

“Memang sudah semakin terbentuk, namun masih jauh dari matang. Industri digital Indonesia masih muda, dan ini adalah berita baik bagi kami selaku investor dan para startup. Artinya potensi pasar masih luar biasa besarnya untuk ditemukan dan dikembangkan, dan proyeksi growth masih sangat besar di hampir semua sektor dan target pasar. Ini adalah masa-masa yang sangat menarik bagi Indonesia,” kata Chandra.

Kondisi tersebut membuat Alpha JWC Ventures memilih mengadopsi pandangan sector-agnostic. Mereka berinvestasi pada berbagai ide bisnis di berbagai sektor yang ditaksirkan memiliki potensi pertumbuhan yang besar dan memberikan dampak positif di masyarakat.

“Dalam berinvestasi, kami selalu melihat 3 faktor: people, product, dan potential — kualitas founder yang membangun startup tersebut, produk yang memberikan solusi pada masalah riil yang dibutuhkan orang banyak, dan potensi berkembangnya produk itu secara fitur dan pengguna. Di antara ketiganya, kualitas founder adalah faktor yang paling penting dalam pertimbangan kami, karena ide dan produk bisa berubah di tahap awal, hanya founder yang bisa kita pegang komitmen dan visinya,” jelasnya.

Tahun 2020 ekosistem startup dihadapkan dengan pandemi Covid-19. Banyak penyesuaian yang harus dilakukan oleh pelaku startup maupun investor. Chandra sendiri di satu sisi melihat, bahwa pandemi berhasil memaksa investor untuk lebih memperhatikan fundamentals dan unit economics di startup — sesuatu yang sudah diterapkan sejak awal di Alpha JWC Ventures. Di sisi lain, pandemi membawa percepatan adopsi digital di Indonesia, sehingga startup-startup akan lebih mudah mengenalkan produknya ke masyarakat.

“Bagi kami, digital adoption yang semakin tinggi membawa potensi investasi yang tinggi pula, sehingga justru inilah saat yang tepat untuk melakukan pendanaan. Namun, selektif itu harus, termasuk apakah startup-startup ini bisa bertahan dan berkembang meski menghadapi pandemi. Sejak awal tahun, kami terus aktif melakukan investasi ke perusahaan baru dan follow-on investment ke portofolio kami, dan hingga saat ini kami merasa puas dengan hasilnya,” jelas Chandra.

Strategi exit

Sampai saat ini, Alpha JWC Ventures sudah melakukan exit di 3 portofolionya melalui akuisisi. Exit, melalui M&A atau IPO, memang menjadi salah satu cara bagi pemodal ventura untuk mendapatkan ROI dari apa yang telah diinvestasikan. Mereka akan mendapati untung dari peningkatan nilai valuasi, didasarkan pada pertumbuhan startup terkait.

Terkait strategi exit, Chandra mengatakan bahwa saat ini fokus mereka adalah menjadi mitra jangka panjang untuk portofolionya. “Exit tentu penting, tapi menjadikan exit sebagai fokus utama malah akan merusak dinamika dengan portofolio. Kami akan exit di waktu yang tepat, dan ‘tepat’ itu punya arti yang berbeda bagi setiap startup.”

Ia menambahkan, “Sejauh ini, kami berhasil exit dari 3 startup, Spacemob diakuisisi WeWork kurang dari satu tahun dari investasi kami; DealStreetAsia diakuisisi Nikkei untuk mewujudkan visi mereka membawa berita berkualitas dari Asia ke seluruh dunia; dan Jualo diakuisisi oleh portofolio kami lainnya, Carro, sebagai jalur ekspansi di Indonesia. Ketiganya terjadi di momen yang tepat dan kami bangga atas pencapaian ini.”

Proyeksi ekosistem digital Indonesia

Kopi Kenangan menjadi salah satu portofolio "signature" new retail Alpha JWC Ventures / Kopi Kenangan
Kopi Kenangan menjadi salah satu portofolio “signature” new retail Alpha JWC Ventures / Kopi Kenangan

Chandra juga mengungkapkan, pentingnya bagi investor untuk membaca tren di masa mendatang atau bahkan menciptakan tren itu sendiri. “Di 2010 misalnya, saya melihat e-commerce akan menjadi ‘idola’ di masyarakat yang saat itu mulai akrab dengan koneksi internet cepat dan murah. Saya mulai dengan Tokopedia dan Traveloka. Lalu, 6 tahun lalu, saat kami memulai Alpha JWC, kami melihat bahwa masyarakat yang mulai nyaman dengan beberapa aplikasi digital sehari-hari pasti akan membutuhkan cara pembayaran yang lebih praktis serta sumber dana yang terjangkau, karena itu kami mulai investasi di beberapa startup fintech seperti Kredivo dan Modalku. Keduanya kini sudah menjadi salah satu pemain terbesar di Indonesia dan bagian hidup sehari-hari masyarakat.”

Lebih lanjut ia menambahkan, “Begitu juga dengan tren new retail di sektor F&B. Tahun 2018, kami melihat teknologi dapat memberikan kemudahan bagi startup dan konsumen, karena itu kami memberikan investasi besar pada Kopi Kenangan. Investasi ini dianggap gila oleh banyak orang pada saat itu. Tapi, saat ini, kami bisa membuktikan bahwa tak hanya kami melakukan pilihan tepat, tapi kami membawa tren pendanaan VC ke startup makanan — sesuatu yang tadinya tidak terpikirkan di Indonesia. Always one step ahead, itu kuncinya.”

Terkait ekosistem startup sendiri, ia menilai di Indonesia tengah mendekati “inflection point”. Ekosistem sudah mulai menanjak sejak 10 tahun yang lalu, kemudian mengalami akselerasi di 5 tahun terakhir; diyakini sebentar lagi setelah pandemi berakhir perkembangannya akan semakin melesat baik dari segi kualitas, inovasi, kuantitas startup, dan kerja sama antara para pemain.

Alpha JWC Ventures sendiri juga memiliki rencana untuk melakukan ekspansi bisnis di Asia Tenggara. “Setelah Indonesia, Singapura, dan Malaysia, kami percaya Vietnam akan menjadi digital hotspot selanjutnya di Asia Tenggara. Ekosistem startup di Vietnam juga mirip dengan Indonesia, hanya saja sedikit lebih muda, karena itu kami tertarik ke sana.”

Lalu terkait ekspansi untuk portofolio startupnya, Chandra lebih percaya bahwa setiap portofolio punya fokusnya masing-masing, dan tidak selalu ekspansi regional itu yang terbaik, apalagi dengan market Indonesia yang sangat besar dan masih bisa dieksplorasi lebih lanjut lagi. “Ada beberapa startup kami yang akan melakukan ekspansi regional dalam waktu dekat, tapi saat ini saya belum bisa cerita banyak,” tutup Chandra.

Tips dari VC untuk Mereka yang Ingin dan Sedang Menjalankan Startup

Bagi mereka yang punya mental kewirausahaan, mendirikan startup digital adalah salah satu jalan yang menarik untuk dicoba. Terlebih ketika penetrasi internet dan ekonomi digital di negeri ini melaju cukup cepat.

Namun mendirikan dan menjalankan perusahaan rintisan bukan perkara mudah. Memilih vertikal yang tepat, membentuk visi yang kuat, menentukan model bisnis yang cocok dengan target pasar, hingga menghimpun pendanaan merupakan tahapan yang harus mereka lalui dengan seksama guna mencapai kesuksesan.

Di mata Jefrey Joe selaku Co-founder & Managing Partner Alpha JWC Ventures, figur pendiri startup adalah salah satu faktor terpenting dalam bisnis startup. Ia menilai tugas founder sebuah startup sangat berat. Jefrey paham sulitnya peran founder sehingga ia tak pernah merekomendasikan mendirikan startup sebagai penghidupan.

Dalam #SelasaStartup kali ini Jefrey berbagi pandangan dan saran dari perspektif investor agar para founder startup dapat bersiap menjalani bisnisnya.

Tidak ada jaminan

Jefrey mengaku ada anggapan pihak pemodal ventura memiliki bias terhadap latar pendidikan. Eks COO Groupon itu menjelaskan faktor pendidikan penting bisa dipakai untuk mengukur seorang founder dapat menciptakan dan memimpin sebuah perusahaan besar. Namun ia menolak latar pendidikan founder akan jadi alasan utama sebuah startup dilirik oleh VC.

Secara keseluruhan faktor pendidikan, jaringan, rekam jejak, dan reputasi adalah kombinasi yang paling dilihat oleh investor. Jefrey menyebut akan selalu ada founder yang mendapat suntikan modal ketika mereka bahkan belum memiliki produk.

Founder jago teknis, enggak jamin sukses. Founder sekolahnya bagus, enggak jamin sukses. Pernah bikin startup, enggak jamin sukses. Semua itu digabung pun ga jamin juga. Makanya memang tidak gampang, tapi setidaknya semua kotak itu semakin banyak diceklis semakin besar kemungkinannya,” ucap Jefrey.

Dilema growth vs profit

Ada semacam pilihan yang cukup dilematis yang perlu dihadapi pendiri startup sebelum memulai perjalanannya: memilih pasar yang sudah besar atau masuk ke model bisnis yang unik? Tanpa ragu Jefrey menjawab akan memilih yang pertama.

Jefrey mencontohkan aplikasi telekonferensi Zoom yang kian populer sejak pandemi melanda dunia. Perusahaan itu mampu membuat teknologinya menjadi pilihan pasar setelah bersaing dengan banyak perusahaan di vertikal serupa. Situasi pandemi yang otomatis membesarkan jumlah pengguna keseluruhan aplikasi telekonferensi berhasil mereka manfaatkan dengan baik sehingga penggunanya terus tumbuh seiring waktu.

Itu sebabnya ia menilai memilih vertikal dengan pasar yang besar lebih penting ketimbang model bisnis yang unik. “Makanya penting market yang besar dulu karena dengan itu bisa kasih kesempatan lebih besar agar perusahaan jadi besar juga,” imbuhnya.

Namun jika ditarik lebih jauh antara prioritas mengejar pertumbuhan bisnis dahulu atau mengejar profit cepat, Jefrey tidak memilih keduanya. Menemukan unit economics yang tepat menurutnya lebih penting.

Jefrey menyarankan sebuah startup tidak perlu mengejar pertumbuhan besar terlebih dahulu jika belum ada unit economics, dan masih lama memperoleh laba, karena akan sangat berisiko.

“Ada skenario lain mungkin dengan model bisnis pertama enggak akan bisa making money tapi kalau sudah ada user yang banyak kita bisa monetisasi dari model bisnis kedua dan seterusnya. Kita harus mengerti kenapa harus tumbuh sambil bakar uang,” lengkap Jefrey.

Membuka komunikasi

Dalam situasi sulit ini ada banyak keputusan-keputusan sulit yang harus dibuat founder. Jefrey sebagai bagian dari VC pun maklum dengan situasi mereka. Itu sebabnya ia merasa founder bisa lebih aktif merangkul para investor untuk berdiskusi.

Jefrey mengaku timnya di Alpha JWC Ventures selalu terbuka untuk membantu mencarikan solusi atas masalah-masalah yang dihadapi founder. Ia menilai investor bukan sekadar pihak yang memberikan uang dan menuntut laporan saja. “Kita sangat welcome founder yang proaktif mengajak kita diskusi untuk cari solusi.”

Mati dengan cepat

Startup adalah bisnis penuh duri. Tak heran tingkat kegagalan startup mencapai 90%. Maka dari itu gagal menjalankan startup bukan sesuatu yang langka.

Jefrey pun mengamini hal itu. Ia menilai startup yang gagal bukanlah skenario terburuk. Namun kegagalan yang terjadi dalam waktu yang panjang dan perlahan merupakan mimpi buruk bagi founder mana pun.

Menurut Jefrey sebuah bisnis mati dalam waktu cepat dan ketika skala bisnis belum terlalu besar jauh dari kata buruk. Dari sana seorang founder justru bisa belajar lebih cepat dan melangkah ke depan dengan pivot atau bahkan dengan membuat startup baru.

“Tidak masalah gagal, tapi gagal yang benar,” pungkasnya.

Ketika Startup Harus Menutup Bisnis

Penutupan startup adalah proses yang tidak dapat dihindari ketika produk yang dihasilkan tidak mencapai product market fit, perusahaan tidak mampu pivot atau menghasilkan skema bisnis berkelanjutan untuk mendukung operasional, atau bahkan terjadi perpecahan di antara para pendiri.

Jika akhirnya startup harus menutup bisnis, langkah apa yang harus dilakukan untuk memberikan pertanggungjawaban terbaik ke investor, pegawai, dan stakeholder lainnya.

DailySocial mencoba mencari tahu bagaimana investor dan pendiri startup berbagi pengalaman ketika harus dihadapkan pada keputusan menutup startup.

Memahami alasan penutupan

Salah satu alasan mengapa kebanyakan pendiri startup enggan berbagi cerita tentang penutupan startup adalah rasa malu untuk mengakui kegagalan. Menurut Partner Y Combinator Aaron Harris, menutup bisnis merupakan proses yang sulit. Itu berarti mengakui secara terbuka bahwa Anda salah, tidak beruntung, atau tidak kompeten. Kebanyakan founder tidak memiliki cara yang tepat untuk memikirkan kapan waktu yang tepat menutup startup.

Founder juga tidak selalu dapat memilih untuk menutup. [..] Itu keputusan yang sulit dan menyakitkan. Itu adalah keputusan yang emosional dan berat.”

Partner Alpha JWC Ventures Erika Dianasari mengatakan, “Umumnya [penutupan] terjadi akibat kurang akurasi pencatatan data dan laporan usaha. Ketidakakuratan data bisa terjadi karena blank spot dalam proses operasional startup, competency issue, atau hal lain. Kurangnya akurasi data ini dalam kasus yang parah membuat founder tidak memiliki cukup waktu dan resources untuk membiayai operasional startup.”

Saat perusahaan dihadapkan pada situasi tidak ada pilihan lain untuk meneruskan bisnisnya, mereka harus melakukan pendekatan intensif dengan investor untuk menentukan langkah selanjutnya.

“Semua tentu saja bergantung pada bisnis, status pendanaan, layanan, produk, dan strateginya. Mungkin ada sejumlah kemungkinan yang dapat terjadi. Termasuk kemungkinan membuat startup tidak aktif untuk sementara waktu sampai situasinya membaik, penjualan aset atau kekayaan intelektual, reorganisasi, pivoting dan pengembalian dana, merger atau akuisisi kecil oleh orang lain atau hanya menghentikan operasi,” kata Executive Director Alpha Momentum Indonesia Kelvin Yim.

Dialog atau komunikasi yang terbuka penting dilakukan, demi mencari jalan yang tepat agar proses penutupan berjalan dengan baik dan hubungan antara investor dan pendiri startup tetap terjaga.

“Sebelum menjawab pertanyaan tentang penutupan, saya rasa kita harus kembali ke dasar hubungan antara investor dan pendiri startup. Di Alpha JWC Ventures hubungan kita didasarkan pada kepercayaan dan empati. Kita tahu bahwa kita semua melakukannya bersama-sama. Sebagai investor, kita tahu bahwa investasi startup [..] berisiko tinggi. Kita tidak bisa mengharapkan semua investasi berhasil. Oleh karena itu kami memilih pendekatan high touch untuk meningkatkan peluang sukses bagi para pendiri,” kata Co-Founder & Managing Partner Alpha JWC Ventures Jefrey Joe.

Pertanggungjawaban

Idealnya startup berada di posisi terbaik untuk berhenti secara elegan ketika ada perjanjian yang mencakup detail penutupan: siapa yang memiliki otoritas pengambilan keputusan, bagaimana aset didistribusikan, siapa yang dibayar, dan dalam urutan apa. Hal ini biasanya tidak terlintas di pikiran kebanyakan pendiri startup saat baru mulai merintis. Ke depannya, langkah ini wajib dilakukan sebagai antisipasi skenario terburuk.

Menurut Daniel Tumiwa yang telah menutup startup adtech Adsvokat, penting untuk menjaga hubungan baik dan selalu transparan. Tidak hanya ke investor namun juga pegawai dan rekan bisnis.

Be transparent to all employees. Sebagai pemimpin harus bisa memberikan informasi jika saldo perusahaan sudah berada pada X rupiah misalnya. Saya akan menjadi orang pertama yang memberikan informasi kepada pegawai, untuk segera mencari pekerjaan baru, dan bersiap meninggalkan perusahaan,” kata Daniel.

Sementara Benny Tjia menyebutkan dirinya dihadapkan pada pilihan yang cukup berat untuk menutup Bornevia tahun 2017 lalu. Semua upaya telah dilakukan Benny dengan melibatkan pihak terkait.

“Saya jadi percaya bahwa satu-satunya alasan mengapa seorang pendiri menutup startupnya adalah jika dia menyerah dan tidak lagi ingin mengoperasikan / menjalankan perusahaan. Dalam keadaan lain apapun, itu harus menjadi pilihan terakhir. Saya pikir akan menjadi bijaksana bagi pendiri untuk duduk bersama jajaran manajemen dan investor lainnya untuk mempertimbangkan opsi lain untuk mengoptimalkan nilai pemegang saham, seperti perubahan haluan besar, kemungkinan untuk melakukan pivoting dan alternatif strategis lainnya,” ungkap Benny yang kini menjadi Principal Indogen Capital.

Di sisi lain, Benny menambahkan, banyak pihak yang bakal terdampak dari keputusan ini, termasuk investor, pegawai, dan mitra.

“Melihat ke belakang, kami sangat berterima kasih kepada pemegang saham dan para stakeholder kami yang selalu setia dan mendukung kami selama masa-masa sulit,” kata Benny.

Penyelesaian akhir dan dukungan investor

Startup Anda kemungkinan besar memiliki berbagai jenis aset, mulai dari inventaris yang tidak terjual, hingga perabot kantor dan kekayaan intelektual (IP). Menjadi tanggung jawab para pendiri untuk mendapatkan nilai sebanyak mungkin dari beberapa kemungkinan tersebut. Menurut Erika, ada beberapa langkah yang wajib dilakukan pendiri setelah startup tutup.

Langkah pertama adalah memberikan informasi resmi ke semua stakeholder  terkait permodalan, usaha, dan operasional startup. Sampaikan seluruh informasi yang akurat mengenai posisi keuangan startup (kas, aset, kewajiban) dengan pemegang saham. Siapkan langkah-langkah selanjutnya untuk penyelesaian kewajiban-kewajiban dengan skala prioritas yang telah disepakati. Yang terakhir memberikan referensi pegawai ke startup yang masih aktif melakukan perekrutan.

“Walaupun tidak mudah, upayakan yang terbaik untuk meminimalisasi dampak kerugian dari seluruh pihak terkait berhentinya operasional,” kata Erika.

Hal senada diungkapkan Kelvin. Meskipun pertanggungjawaban beragam kondisinya, secara hukum startup harus mematuhi semua peraturan sebelum menghentikan operasi. Oleh karena itu, startup harus mengacu kembali ke perjanjian hukum yang telah ditandatangani. Jika tidak ada yang ditentukan di awal, terlepas dari hubungan dan kewajiban sosial, startup tidak memiliki kewajiban hukum setelah berhenti beroperasi.

“Hal ini sangat tergantung pada syarat pembayaran yang disepakati oleh kedua belah pihak. Jika ada [pilihan] kebutuhan untuk mengembalikan dana atau menganggap dana hangus sebagai kerugian. Juga sangat bergantung pada persyaratan yang disepakati selama putaran investasi,” kata Kelvin.

Terkait dukungan atau upaya terakhir investor untuk terus membantu startup yang mulai mengalami kerugian dan terlihat tanda-tanda untuk penutupan, menurut Kelvin, tidak ada jawaban yang tepat.

Menurutnya hal ini sangat tergantung pada situasi dan bisnis startup serta penilaian investor terhadap kondisi tersebut. Jika kedua belah pihak sepakat bisnis tidak akan dapat bertahan setelah meninjau semua aspek, maka tidak ada gunanya memberi dorongan.

“Proposisi bisnis selalu didasarkan pada faktor bisnis dan situasinya dan tidak boleh didasarkan pada emosi. Hanya setelah penilaian dan tinjauan situasi, sebagian besar investor akan memberikan reaksi dan tanggapan yang sesuai. Tetapi saya berasumsi bahwa itu adalah kewajiban startup untuk memberi tahu investor tentang situasi apa pun yang akan memengaruhi seluruh operasinya,” kata Kelvin.

Hal senada diungkapkan Jefrey. Menurutnya, dalam situasi sulit tersebut, dapat dilihat bagaimana investor memainkan peran besar dalam mempengaruhi hasil akhir.

“Di Alpha JWC Ventures misalnya, kami membantu para pendiri untuk memaksimalkan apa yang mereka miliki. Kami membantu mereka menemukan pembeli untuk aset mereka, mengidentifikasi dan menghargai aset tidak berwujud mereka, seperti merek, tim dan teknologi. Kami bahkan membantu pegawai mereka untuk dipekerjakan kembali di perusahaan lain. Kami mengetahui pasar, sehingga kami benar-benar dapat membantu mereka dan memfasilitasi diskusi lebih lanjut yang diperlukan untuk mendapatkan win-win solution,” kata Jefrey.

Pada akhirnya, investasi yang digelontorkan perusahaan modal ventura menjadi investasi berisiko paling tinggi. Jaga trust yang telah diberikan dan pertanggungjawabkan semua kemungkinan terburuk, jika pendiri startup terpaksa harus menutup bisnis.

Startup Fesyen, Memupuk Potensi dalam Satu Dekade

Menurut Startup Report yang diterbitkan DSResearch, sepanjang tiga tahun terakhir ada beberapa startup fesyen yang terus meningkatkan putaran pendanaan, termasuk Tinkerlust, Zilingo, Pomelo, Sorabel, Berrybenka, dan Style Theory. Di luar itu, masih banyak platform e-commerce lain di segmen terkait yang masih langgeng di tengah dominasi online marketplace yang menyajikan beragam jenis produk.

Tidak hanya berkembang secara kuantitas, model bisnis yang ditawarkan pun makin bervariasi. Sebut saja yang dilakukan Style Theory, Alih-alih menjual, mereka menghadirkan mekanisme penyewaan produk busana bermerek. Kepada DailySocial mereka bercerita, sejak 2017 hadir di Indonesia telah berkembang dan memiliki sekitar 150 ribu pengguna. Padahal mereka baru melayani kota Jakarta, Bandung, dan Surabaya.

Fakta tersebut jelas mengindikasikan segmen bisnis ini memiliki potensi yang bukan main. Mari kita dalami.

Pangsa pasar fesyen di e-commerce

Dalam laporan eCommerce Report 2020 – Fashion disebutkan revenue segmen bisnis tersebut di Indonesia diperkirakan mencapai $6,7 miliar per 2020. Angka ini bakal mencapai $12,6 miliar pada tahun 2024 mendatang. Pangsa pasar Indonesia menempati peringkat ke-11 secara global.

Platform online marketplace dengan beragam produk juga kerap menempatkan produk fesyen, terutama dengan pangsa pasar perempuan, di deretan produk terlaris. Disampaikan dalam laporan belanja online di Tokopedia, sepanjang tahun 2019 lima kategori produk paling populer meliputi fesyen, rumah tangga, ponsel, elektronik, dan kesehatan.

Data lain dari Kredivo menunjukkan tren belanja sepanjang tahun 2019. Baik pengguna pria maupun wanita paling banyak menghabiskan layanan kredit di platform e-commerce untuk memenuhi kebutuhan fesyen berdasarkan jumlah transaksi.

Tren penggunaan layanan kredit di e-commerce sepanjang 2019 / Kredivo
Tren penggunaan layanan kredit di e-commerce sepanjang 2019 / Kredivo

Perjalanan startup fesyen

Pemberitaan DailySocial mencatat hype startup “niche” fesyen sudah dimulai sejak awal dekade. Tahun 2011 beberapa pemain seperti BelowCepek dan LocalBrand mulai memperkenalkan diri ke publik. Kala itu strategi yang dilakukan adalah membuat diferensiasi dari sisi produk, misalnya yang dilakukan BelowCepek dengan menjual berbagai busana dengan harga di bawah 100 ribu Rupiah. Pun demikian LocalBrand yang mengutamakan merek-merek lokal di tengah gempuran mass product yang banyak bertanggar di pusat perbelanjaan.

Tren kehadiran startup fesyen terus bermunculan. Tahun berikutnya Zalora, BerryBenka hadir mengubah stigma di vertikal bisnis ini. Zalora adalah pemain regional yang didukung penuh oleh Rocket Internet – kala itu dikenal sebagai salah satu pencetak bisnis digital disruptif di dunia. Sementara BerryBenka berhasil mencatatkan pendanaan awal dari East Ventures, sekaligus jadi debut pemodal ventura tersebut masuk ke vertikal e-commerce, khususnya fesyen.

Scallope, Laavaa, FimelaShop, Ratimaya, PinkEmma, dan beberapa startup lain makin meramaikan pasar online.

Tahun 2014 Riselo hadir dan menawarkan konsep online marketplace untuk fesyen. Jika sebelumnya kebanyakan modelnya B2C, kini mereka menawarkan model C2C. Mengadopsi dari kesuksesan online marketplace yang mengakomodasi produk secara umum. Di periode ini, sektor e-commerce jadi lokomotif penting bagi bisnis digital, membuat semua orang makin terbiasa dengan transaksi di internet. Persaingan ketat membuat masing-masing pemain berinovasi dalam model bisnis.

Ringkasan satu dekade persjalanan startup fesyen di Indonesia / DailySocial
Ringkasan satu dekade persjalanan startup fesyen di Indonesia / DailySocial

Di tahun 2017-an, konsep online to offline (O2O), pemain seperti BerryBenka, Zalora, Hijub memulai hadirkan toko fisik di pusat perbelanjaan. Namun tidak hanya dilakukan oleh pemain e-commerce, peritel juga menguatkan strategi penjualan melalui kanal digital, seperti Onmezzo (Metrox Group), Matahari, dan MAPemall.

Mendekati akhir dekade 2020, beberapa pemain makin kuat sementara sisanya tidak menampakkan growth. Sorabel (sebelumnya Sale Stock), misalnya, mampu membukukan pendanaan Seri C untuk mendukung akselerasi bisnisnya.

Teknologi yang semakin menjadi urat nadi kehidupan juga mendorong munculnya merek-merek “indie” yang sedari awal memasarkan dan menjual produknya secara online, beberapa O2O, seperti yang dilakukan merek fesyen Cloth-Inc atau Pomelo.

Model bisnis jadi pembeda

Tahun 2015 Samira Shihab (CEO) dan Aliya Amitra (COO) memulai Tinkerlust sebagai startup fesyen unik yang menjual barang bermerek dan tergolong mewah. Tidak hanya produk baru, mereka juga menjual barang preloved yang masih baik kondisinya. Traksinya bagus, hingga dua tahun kemudian mendapatkan pendanaan awal dari Merah Putih Inc dan angel investor Danny Oei Wirianto. Di samping menjadi platform jual beli fesyen preloved, mereka juga menawarkan penyewaan gaun rancangan desainer.

Yuna & Co punya cara lain, mereka memilih optimalkan kecerdasan buatan hadirkan fitur konten interaktif “fashion matchmaker”. Sederhananya, dengan aplikasi tersebut pengguna dapat memanfaatkan asisten virtual untuk memberikan rekomendasi busana terbaik berdasaran preferensi pribadi. Mereka turut menjadi perantara antara merek fesyen dengan konsumen, melalui rekomendasi produk yang disajikan. Pendekatan ini diambil, mengingat tidak sedikit wanita yang memiliki banyak pertimbangan dan selektif saat melakukan belanja, terlebih secara online.

Kemudian, seperti yang sudah sempat disinggung di awal, ada juga Style Theory yang menawarkan pilihan sewa untuk berbagai produk fesyen bermerek. Mereka tawarkan model berlangganan dan on-demand untuk pelanggannya. Saat ini bisnisnya disokong penuh melalui pendanaan Seri B oleh SoftBank Ventures Asia, The Paradise Group, dan Alpha JWC Ventures.

“Pangsa pasar Style Theory pada dasarnya seluruh wanita Indonesia yang membutuhkan variasi baju cukup tinggi untuk kegiatan sehari-harinya. Di antaranya wanita dalam usia produktif yang bekerja di luar rumah, baik itu pekerja kantoran, freelancer, dan pekerjaan lainnya yang sering bertemu dengan banyak orang. Pangsa pasar ini yang akan paling merasa terbantu dengan adanya layanan kami,” ujar tim Style Theory.

Beragam model bisnis yang diterapkan startup fesyen di Indonesia / DailySocial
Beragam model bisnis yang diterapkan startup fesyen di Indonesia / DailySocial

Model bisnis menjadi kunci kesuksesan startup di vertikal ini. Secara mendasar mereka harus bersaing dengan tatanan ritel tradisional yang sudah bertahun-tahun jadi rujukan masyarakat. Hal-hal terkait kultur juga perlu ditangkap baik oleh konsumen – misalnya kebiasaan melihat atau mencoba dulu barang secara fisik sebelum benar-benar membeli. Sorabel salah satunya yang peka dengan kondisi ini, startup fesyen dengan private label tersebut memiliki opsi yang memungkinkan pelanggannya mencoba dulu produk yang diantar kurir sebelum benar-benar menyelesaikan transaksi dengan pembayaran.

Mereka yang tidak bertahan

Sayangnya fitur unik, bahkan dukungan investor sekalipun tidak menjamin startup fesyen dapat bertahan. Tahun 2018 Lyke mengumumkan tutup layanan. Pasca pendanaan seri A mereka cukup optimis dengan bisnisnya, sampai merekrut pesohor Agnez Mo sebagai co-founder sekaligus ambassador. Lyke juga manfaatkan kecerdasan buatan yang memungkinkan pengguna lakukan pencarian produk berdasarkan unggahan foto. Dari isu yang beredar, inefisiensi bisnis menjadi penghambat hingga mengakibatkan startup tersebut tutup.

Awal tahun 2017 platform Lolalola juga resmi menutup bisnisnya. Mereka secara khusus menjual produk pakaian dalam wanita atau lingerie. Salah satu faktor yang membuatnya menyerah, ramainya tren social commerce dan gempuran online marketplace seperti Tokopedia, yang juga memudahkan konsumen temukan produk terkait. Meskipun mengklaim memiliki produk yang unik dan menarik, jika hal ini tidak dibarengi strategi pemasaran dan akuisisi pelanggan yang cukup masif akan sulit mencapai kondisi berkelanjutan.

Jefrey Joe, Managing Partner & Co-Founder Alpha JWC Ventures memberikan analisisnya. “Fashion commerce adalah sektor yang lucrative, tidak ada one winner takes all, sehingga meskipun ada beberapa raksasa, tetap akan ada tempat bagi pemain niche dan pemain baru. Style Theory, misalnya, awalnya muncul sebagai produk niche di Singapura lalu Indonesia, namun kini berhasil membuat fesyen rental sesuatu yang normal/umum dan bagian dari kehidupan urban sehari-hari.”

Ia melanjutkan, “Prinsip sustainability para startup fesyen adalah pertanyaan yang harus ditanyakan ke masing-masing startup. Untuk Style Theory, sejak awal mereka mengusung konsep circular economy untuk mengurangi konsumsi dan sampah fesyen, sekaligus menjawab masalah besar wanita yang cenderung terus-terusan membeli pakaian tapi tak terpakai. Sorabel pun menggunakan machine learning untuk mempelajari tren pembelian, sehingga mereka hanya membuat pakaian yang kemungkinan besar terjual; mereka juga mengontrol proses manufaktur, sehingga bisa meminimalisir waste dari berbagai tahap produksi dan distribusi.”

Alpha JWC Ventures Bags 1.7 Trillion Rupiah Through Its Second Fundraising

Alpha JWC Ventures has announced to close its second fundraising round at $123 million or around 1.7 trillion Rupiah. Since starting the second round in mid-2018, Fund 2 had been closed by “oversubscribed” – the number of investors who have a keen interest to join is exceeding the available slots. In addition, almost all investors in Fund 1 are rejoined this round.

The money collected from Fund 2 has been invested since the end of 2018 to 14 startups. One of the biggest investments has been Kopi Kenangan in November 2018 at $8 million or around 121 billion Rupiah. To date, they already listed 33 startups in their portfolio.

“To date, our team’s support in the journey and its development has been an important factor of our startup portfolio’s succession, and our focus lays on the business fundamentals of each company. We always remind all founders and startup teams the importance of proper unit economics calculations and financial accountability from the first day they joined Alpha JWC. We believe this approach is essential for the long-term sustainability of startups,” Alpha JWC Ventures’ Co-Founder & Managing Partner, Chandra Tjan explained.

In portfolio management, the company managed to use a hands-on approach in various business lines, from recruitment, marketing, and legal support.

“We also avoid investing in similar companies or any competitors to our previous portfolios. Our principle is to support our startups directly and intensively which means we have to choose the right founders and continue to help them throughout the startup journey,” Alpha JWC Ventures’ Co-Founder & Managing Partner, Jefrey Joe added.

To date, Alpha JWC has 20 team members. This year they added three new partners, namely Alan Hellawell (former CSO of SEA Group), Erika Go (former Principal of Alpha JWC), and Eko Kurniadi (former VP of Investment Creador). In addition, they have now launched a permanent office in Singapore to be able to reach more startups in Southeast Asia.

“We’re actively eyeing Vietnam’s digital industry for funding opportunities. As one of the fastest growing economies in the world, we believe Vietnam is the next largest market in Southeast Asia. Furthermore, we’ve invested in three companies in Vietnam and currently exploring some other startups,” Chandra added.

In its debut in 2016, Alpha JWC Ventures has launched Fund 1 worth $50 million or around 700 billion Rupiah. The funds were channeled to 23 startups in Southeast Asia, mostly in Indonesia. In less than 4 years, Fund 1 is claimed to have grown to 3.2x in Net Asset Value (NAV). Alpha JWC has also successfully made two exits, the Spacemob coworking space network (acquisition by WeWork in 2017) and the DealStreetAsia business media (acquisition by Nikkei in 2019).


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Alpha JWC Ventures Bukukan 1,7 Triliun Rupiah dalam Penggalangan Dana Keduanya

Alpha JWC Ventures mengumumkan telah menutup pengumpulan dana investasi keduanya senilai $123 juta atau setara 1,7 triliun Rupiah. Sejak dibuka pada pertengahan tahun 2018, Fund 2 ini ditutup “oversubscribed” — jumlah investor yang ingin bergabung lebih banyak dari slot yang tersedia. Selain itu hampir seluruh investor di Fund 1 turut bergabung pada putaran ini.

Dana yang dikumpulkan dalam Fund 2 telah diinvestasikan sejak akhir 2018 ke 14 startup. Salah satu yang mendapatkan investasi terbesar adalah Kopi Kenangan pada November 2018 dengan perolehan $8 juta atau sekitar 121 miliar Rupiah. Hingga saat ini sudah ada 33 startup dalam portofolio mereka.

“Salah satu faktor penting dari kesuksesan startup portofolio kami selama ini adalah dukungan dari tim kami dalam perjalanan dan perkembangan para startup tersebut; serta fokus kami pada fundamental bisnis tiap-tiap perusahaan. Kami selalu menekankan pada pendiri dan tim startup mengenai pentingnya perhitungan unit economics yang tepat serta akuntabilitas finansial sejak hari pertama mereka bergabung dengan Alpha JWC. Kami percaya pendekatan tersebut esensial bagi keberlangsungan startup secara jangka panjang,” jelas Co-Founder & Managing Partner Alpha JWC Ventures Chandra Tjan.

Dalam manajemen portofolio, pihaknya memakai pendekatan hands-on dalam berbagai lini bisnis terkait, mulai dari dukungan rekrutmen, pemasaran, dan legal.

“Kami juga menghindari investasi di perusahaan sejenis atau yang berkompetisi langsung dengan startup yang telah kami danai sebelumnya. Prinsip kami untuk mendukung startup kami secara langsung dan intensif berarti kami harus benar-benar memilih founder yang tepat dan terus membantu mereka sepanjang perjalanan startup tersebut,” imbuh Co-Founder & Managing Partner Alpha JWC Ventures Jefrey Joe.

Saat ini Alpha JWC telah memiliki 20 orang anggota tim. Tahun ini mereka menambah tiga partner baru, yakni Alan Hellawell (mantan CSO SEA Group), Erika Go (sebelumnya Principal Alpha JWC), dan Eko Kurniadi (mantan VP of Investment Creador). Selain itu kini mereka telah membuka kantor permanen di Singapura untuk bisa menjangkau lebih banyak startup di Asia Tenggara.

“Kami terus memperhatikan industri digital Vietnam secara aktif untuk kesempatan pendanaan. Sebagai salah satu ekonomi dengan pertumbuhan tercepat di dunia, kami yakin Vietnam adalah pasar terbesar selanjutnya di Asia Tenggara. Sejauh ini, kami telah memiliki tiga investasi di Vietnam dan sedang mendalami beberapa startup lainnya,” tambah Chandra.

Dalam debut awalnya di tahun 2016, Alpha JWC Ventures meluncurkan Fund 1 senilai $50 juta atau sekitar 700 miliar Rupiah. Dana tersebut disalurkan kepada 23 startup di Asia Tenggara, mayoritas dari Indonesia. Kurang dari 4 tahun, Fund 1 diklaim telah berkembang hingga 3,2x dalam Net Asset Value (NAV). Alpha JWC juga telah berhasil melakukan dua exit, yaitu jaringan coworking space Spacemob (akuisisi oleh WeWork di 2017) dan media bisnis DealStreetAsia (akuisisi oleh Nikkei di 2019).

Sinergi Kopi dan Teknologi, Tak Sekadar Pengejawantahan Konsep “New Retail”

Industri coffee chain mulai tumbuh di Indonesia. Tak hanya merk internasional yang membanjiri kota-kota besar di Indonesia, nama-nama lokal pun mulai tumbuh. Beberapa menawarkan kopi dengan berbagai macam pilihan, sementara yang lain mulai menambahkan teknologi untuk memberikan pengalaman lebih dalam berinteraksi dengan kedai kopi.

Tanda-tanda teknologi mulai akan disematkan sudah mulai terlihat di tahun 2018 kedia dua nama pemain coffee chain berhasil mengamankan pendanaan dari venture capital dengan nafas teknologi. Fore Coffee mendapatkan suntikan dari East Ventures dan Kopi Kenangan mendapat suntikan dana dari Alpha JWC Ventures.

Ada juga Anomali Coffee yang sudah mulai menerapkan sistem pemesanan menggunakan aplikasi. Jalan terang menuju kedai kopi bernafaskan teknologi yang mulai dikenal sebagai konsep new retail.

“Semenjak investasi kami di Kopi Kenangan, mulai banyak pelaku bisnis F&B, termasuk kopi, yang mendekati VC [Venture Capital] untuk modal usaha, nampaknya kami telah membuka tren dan kesempatan baru untuk berkembang bagi pelaku bisnis serupa,” terang Co-Founder dan Manager Alpha JWC Ventures Jefrey Joe.

Alpha JWC Ventures Oktober silam menyuntikkan dana tak kurang dari Rp121 miliar untuk Kopi Kenangan. Tak hanya membantu mengenai finansial perusahaan modal ventura itu juga menjanjikan dukungan teknologi dan akselerasi bisnis untuk bisa memenuhi kebutuhan masyarakat dan tentunya meningkatkan pengalaman pengguna.

Kondisi tidak jauh beda juga dilakukan oleh East Ventures. Mereka berinvestasi ke Fore Coffee, coffee chain yang didukung oleh Otten Coffee ini menjanjikan pelayanan pembelian kopi yang lebih baik, tentunya dengan pendekatan teknologi. Terbaru, Fore Coffee baru saja mengantongi pendanaan senilai 118 miliar Rupiah dari sejumlah investor, termasuk East Ventures dan SMDV. Setelah pendanaan ini, Fore Coffee juga berusaha menerapkan sejumlah inovasi teknologi dalam bisnisnya.

“Kami memilih artisan kopi karena pentingnya menumbuhkan demand dan mendidik pasar untuk konsumsi kopi jenis Arabica, dibanding kopi Robusta. Karena dengan begitu, Indonesia akan mampu meningkatkan kesejahterahan petani kopi lokal berlipat- lipat dengan effort yang sama,” ujar Partner East Ventures Melisa Irene.

Ia melanjutkan, “Tujuan utama pendekatan new retail adalah agar mempermudah customer untuk mendapatkan produk atau jasa yang mereka inginkan. Sekian tahun perusahaan- perusahaan berbasis platform digital sudah membangun dasar yang kuat hingga kami rasa infrastuktur digital Indonesia sudah cukup kokoh untuk kita mulai menyusun kategori pokok di atasnya. Kategori kopi, kami rasa strategis, karena ini adalah produk dengan nilai tinggi yang berpotensi untuk dikonsumsi setiap hari oleh kalangan middle class.

New retail tak hanya soal teknologi

Konsep new retail tidak hanya berkaitan dengan teknologi. New retail adalah sebuah konsep yang menyeimbangkan antara pelayanan dan pengalaman pembeli. Tak hanya soal memesan atau membayar melalui aplikasi, tetapi juga menyediakan kebutuhan pengguna.

Hal ini diamini Founder Kopi Kenangan Edward Tirtanata. Ia menyampaikan bahwa konsep new retail setidaknya harus memiliki skala distribusi yang sesuai. Karena akan sangat sulit membuat ekosistem new retail di Jakarta tanpa distribusi yang sesuai.

Jefrey kepada DailySocial lebih jauh juga menjelaskan bahwa menerapkan sistem new retail tidak semudah menciptakan sistem jual beli. Ada aspek-aspek lain yang juga harus dipenuhi seperti penerimaan masyarakat dan ketersediaan gerai yang mumpuni.

“Tidak seperti kebanyakan orang pikir, untuk mewujudkan konsep ‘new retail’ itu tidak semudah menciptakan aplikasi jual beli, ada banyak hal yang harus diperhatikan, seperti jumlah toko yang memadai, produk yang dapat diterima berbagai lapisan masyarakat, serta sistem dan tim yang memadai untuk melayani puluhan ribu pelanggan setiap harinya. Apakah semua pelaku F&B (termasuk kopi) bisa melakukannya? Tidak. Inilah mengapa kami memutuskan untuk mendukung Kopi Kenangan: visi besar mereka didukung oleh kapabilitas yang memadai,” imbuh Jefrey.

Kopi Kenangan dan Fore Coffee yang berencana menuju moderanisasi untuk coffee chain tengah mencoba memperbanyak ketersediaan mereka. Hingga kini Kopi Kenangan sudah memiliki 29 gerai dari 100 gerai yang ditargetkan di tahun ini. Demikian juga Fore Coffee yang saat ini sudah memiliki 12 gerai dan berusaha untuk terus menambahkannya.

“Fokus inovasi Fore Coffee adalah memberikan online to offline customer experience yang berkualitas tinggi dan seamless– kopi enak, mudah ditemukan, layanan cepat, dan harga bersahabat. Inovasi minuman akan jalan terus, ekspansi outlet sudah mencapai lebih dari 12 outlet dan terus bertambah,” terang Melisa.

Tahun ini setidaknya bisa menjadi awal baru bagi industri coffee chain. Dengan apa yang sudah dilakukan oleh Anomali Coffee dan rencana-rencana inovatif dari Fore Coffee dan Kopi Kenangan yang dipaparkan investor mereka.

Pihak Alpha JWC Ventures bahkan dengan terbuka sudah menyebutkan bahwa berusaha mendukung Kopi Kenangan dari segala aspek, demi ekspansi yang lebih baik. Edward menyampaikan, saat ini menambah gerai menjadi fokus utama. Ketika semua itu terpenuhi kemungkinan besar konsep new retail akan benar-benar optimal diterapkan oleh Kopi Kenangan.

“Untuk tahun depan, kami akan terus mendukung Kopi Kenangan dalam ekspansi mereka. Seperti pada portofolio kami lainnya, Alpha JWC selalu siap memberikan dukungan dalam hal strategi bisnis dan operation, manajemen sumber daya manusia, dan tentu saja, dukungan finansial,” terang Jefrey.

Sedangkan pihak East Ventures menjelaskan, bahwa Fore Coffee akan memadukan aplikasi dengan ketersediaan gerai atau outlet sehingga memudahkan mereka menjangkau konsumen.

Key enabler Fore adalah perpaduan teknologi dalam bentuk aplikasi dan retail presence. Fore membuka outlet- outlet khusus delivery, sehingga customer dari berbagai tempat yang pesan lewat aplikasi Fore atau platform pengantaran lainnya bisa mendapatkan minumannya dengan lebih cepat. Dengan adanya aplikasi pula, customer akan bisa mendapatkan offer yang sesuai dengan preference masing- masing,” terang Melisa.

Aplikasi Anomali Coffee terinspirasi antrean

Anomali Coffee adalah salah satu merk coffee chain yang sudah menyediakan aplikasi untuk penggunanya. Mereka berangkat dari perasaan tidak nyaman melihat pelanggan mereka mengantre cukup panjang untuk mendapatkan beberapa gelas kopi.

Disampaikan oleh Head of Sales and Marketing Anomali Coffee Ryo Limijaya, pihaknya mengamati bahwa dari proses memesan sampai selesai proses pembayaran satu pelanggan mereka membutuhkan rata-rata 3 hingga lima menit.

Dari sana kemudian mereka mengembangkan aplikasi untuk memudahkan pelanggan mereka memesan kopi, dan datang hanya untuk mendapatkan kopi yang mereka pesan.

“Kami melihat hal ini sebagai salah satu jalan keluar atau hal yang dapat kami lakukan untuk membuat customer kami merasa nyaman dan aman untuk melakukan transaksi di Anomali Coffee karena seluruh data transaksi sudah terekam di dalam sistem. Misalnya jika muncul komplain dari customer, dari segi kami pun lebih mudah untuk mencari tahu kronologi serta langkah apa yang harus kami lakukan,” ujar Ryo mengomentari konsep new retail pada bisnis coffee chain.

Sejauh ini Anomali Coffee tercatat sudah memiliki 12 outlet yang tersebar di Jakarta, Bali, Makassar, dan Surabaya. Tahun ini rencananya selain menambah beberapa outlet baru Anomali Coffee juga berencana untuk memperbaiki kualitas sambil menjajaki teknologi apa yang bisa diterapkan untuk meningkatkan kualitas pelayanan.

“Menurut kami, trend membeli kopi melalui aplikasi mungkin akan semakin meningkat. Namun semua itu kembali lagi kepada fokus perusahaan dalam memposisikan fungsi aplikasi berdasarkan kebutuhan konsumennya. Karena masing-masing perusahaan, walaupun dalam bidang bisnis yang sama, belum tentu kebutuhan konsumennya juga akan sama untuk diwujudkan ke dalam fitur aplikasi.”

“Mungkin ini adalah tantangan utama dalam trend itu sendiri, supaya jangan sampai aplikasi yang dirancang oleh perusahaan tidak menjawab kebutuhan customer sehingga pada akhirnya menjadi aplikasi yang gagal,” tutup Ryo.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Tips Menggalang Dana untuk Startup Pemula

Saat startup baru didirikan, hal yang menjadi perhatian pendiri startup adalah bagaimana caranya mendapatkan tambahan modal. Modal awal bisa dari kocek sendiri, teman, atau keluarga, tetapi ada masanya ketika perusahaan membutuhkan kapital yang lebih besar dan para pendiri mulai membidik dana dari investor. Investor yang biasanya terlibat di proses pendanaan awal bertipe venture capital (VC).

Tidak mudah bagi sebuah startup untuk bisa langsung mendapatkan tambahan modal. Di sisi lain, pihak investor juga tidak mau sembarangan memilih startup untuk diinvestasi. Ada beberapa poin yang mereka tentukan dan wajib untuk diperhatikan.

Traksi dan pertumbuhan

Salah satu cara mengetahui apakah startup sudah waktunya melakukan penggalangan dana tahapan awal adalah berdasarkan traksi dan pertumbuhan positifnya. Untuk itu pastikan startup telah memiliki traksi, telah memiliki jumlah pengguna yang cukup besar, dan tervalidasi model bisnisnya.

“Menurut kami, saat yang tepat untuk melakukan fundraising adalah pada saat startup itu terbukti menghasilkan traksi yang signifikan pertumbuhannya. Memang jika dilihat dari data permintaan yang masuk ke RenovAsik cukup lumayan yaitu bisa sekitar 5-8 permintaan yang ingin mengajukan renovasi setiap harinya, namun banyak kendala dari klien yang masih menjadi pekerjaan rumah besar kami untuk bisa disolusikan sampai tuntas, sehingga akan lebih banyak project deal yang bisa kami dapatkan,” kata Founder & Chief Strategy Officer RenovAsik Indra Setiawan.

Ketika traksi sudah mulai diperoleh, hindari memberikan informasi yang kurang akurat kepada calon investor. Jangan ditambahkan secara sengaja guna menarik perhatian mereka. Berikan informasi yang benar, sesuai dengan traksi yang memang sudah didapatkan.

Hal ini, menurut Analyst East Ventures Devina Zhang, bisa diketahui secara langsung oleh investor saat proses due diligence, ketika semua data akan dipelajari. Jadi hindari mengembangkan angka-angka karena investor pada akhirnya akan mengetahuinya.

“Jangan pernah memberikan informasi yang tidak benar soal pertumbuhan dan traksi startup. Ceritakan prestasi dan pencapaian yang telah diraih oleh startup. Informasikan juga kegagalan yang telah terjadi, dengan demikian investor mengetahui dengan benar kondisi startup,” kata CMO KoinWorks Jonathan Bryan.

Tentukan dana yang dibutuhkan

Hal lain yang wajib diperhatikan adalah menentukan sejak awal berapa jumlah dana yang dibutuhkan startup untuk mulai menjalankan bisnis. Meskipun banyak startup memulai usaha secara bootstrap, ketika produk mulai berkembang dan traksi sudah cukup besar, tambahan kapital dengan nominal yang besar mungkin diperlukan oleh startup. Untuk itu tentukan berapa jumlah uang yang diperlukan, untuk apa saja dana tersebut digunakan, dan berapa lama dana tersebut bisa disimpan.

VC seperti East Ventures tidak memiliki formula yang pasti untuk kalkulasi pemberian dana dan pembagian saham startup. Semua tergantung dari beberapa faktor, seperti jumlah dana yang diinginkan startup, performa startup, dan proyeksi masa depan. Saham yang kemudian didapatkan perusahaan akan diklaim tergantung kesepakatan dengan startup terkait.

Sementara bagi Venturra Discovery, normal dilution untuk putaran pendanaan awal biasanya akan diambil sekitar 20-25% untuk setiap startup.

“Semuanya memiliki harga, hanya saja berapa harga yang menjadi masalah. Penting untuk memahami harapan [baik dari Anda dan investor]. Jumlahnya harus masuk akal dan menunjukkan nilai pendiri, gagasan, bagaimana Anda dapat menghasilkan uang bagi investor,” kata Co-Founder & Managing Partner Alpha JWC Ventures Jefrey Joe.

Tentukan investor yang tepat

Kehadiran berbagai VC lokal dan asing yang makin bertambah membuat proses penggalangan dana seharusnya lebih mudah. Namun demikian, demi sinergi masa depan yang lebih lancar, pilih investor seperti apa yang memang relevan dengan model bisnis dan tentunya cocok dengan Anda sebagai pendiri startup. Sangat penting untuk melakukan riset, mengumpulkan informasi, hingga melakukan pertemuan secara informal dengan investor yang relevan.

“Pelajari perbedaan-perbedaan dari investor dan coba pahami apa yang mereka inginkan dalam portofolio / investasi mereka. Pahami juga profil individual dari VC yang disasar, terutama GP (General Partners). Temukan kesamaan atau kepentingan bersama antara Anda (dan perusahaan Anda) dan investor yang Anda tuju,” kata Jefrey.

Buatlah daftar investor yang akan ditemui, termasuk rincian sebanyak mungkin tentang investor tertentu (perusahaan, lokasi, dan jumlah investasi). Nantinya akan terlihat investor yang relevan berdasarkan investment size, investment stage, pengalaman di industri perusahaan, begitu juga lingkup geografi mereka.

“Ada banyak cara untuk menjangkau investor, cara terbaik adalah melalui perkenalan dengan seseorang yang diketahui investor. Jika tidak, Anda selalu dapat menjangkau investor melalui situs mereka, atau bahkan Linkedin,” kata Partner Venturra Discovery Raditya Pramana.

Menurut Jefrey, cobalah menjalin perkenalan di awal dengan baik secara langsung. Hindari penggunaan email atau langsung menghubungi melalui telepon.

“VC menerima ratusan proposal / pitch deck setiap bulannya dan salah satu cara terbaik untuk unggul [stand out] di antara tumpukan tersebut adalah dengan cara diperkenalkan oleh orang yang kenal dengan GP atau tim dari VC tersebut. Referral is always a good way to be prioritized.”

Presentasi dan “elevator pitch”

Saat pertemuan sudah dijadwalkan, proses selanjutnya adalah presentasi atau yang biasa disebut dengan “pitching“. Secara umum, Anda akan diminta mempresentasikan materi yang berisi gambaran umum dasar perusahaan (produk, tinjauan industri, ukuran pasar, dan lainnya).

Deck ini akan menjadi buku panduan pendiri startup untuk memandu investor melalui pertemuan pertama, jadi buatlah dek tersebut secara terstruktur, sederhana namun kaya akan detail penting yang ingin Anda tonjolkan.

“Kami sangat percaya akan motto ‘founder first’, yang berarti bahwa pendiri startup yang baik tentunya akan menghasilkan produk yang baik, juga mempertimbangkan potensi pasar. Dengan demikian, pendiri yang memiliki latar belakang dan keahlian yang tepat memiliki poin bonus,” kata Devina.

Penting bagi startup menyiapkan bahan, proposal, hingga materi presentasi saat pitching berlangsung. Menurut Chairman dan Pendiri Gorry Holdings William Susilo, pastikan mempersiapkan pitch deck yang mudah dibaca, termasuk masalah apa yang sedang diselesaikan. Hal-hal utama harus mencakup seberapa mendesak masalah tersebut, ukuran pasar, model bisnis, model pendapatan, produk, alokasi dana, daya tarik dan profil pendiri.

“Persiapkan dengan lengkap traksi bisnis. Pastikan hal tersebut sejalan dengan persyaratan setiap tahap investasi. Misalnya MVP tidak cukup untuk pendanaan Seri A, sementara itu mungkin cukup untuk putaran seed,” kata William.

Menurut Raditya,saat pitching berlangsung sebaiknya pendiri startup tidak bersikap defensif ketika investor mengajukan pertanyaan sulit. Jangan ragu untuk memperlakukan sesi pitching seperti percakapan kasual. Semua pertanyaan yang diajukan investor mengenai perusahaan Anda seharusnya bisa dijawab.

“Walaupun startup Anda baru jalan tiga bulan misalnya, dengan data kami bisa melihat apakah founder mempunyai kemampuan eksekusi bisnis yang mumpuni. Banyak juga hal lain juga yang harus diperhatikan, seperti kemampuan founder, market size, product building capability, executional capability, dan lainnya,” kata Raditya.