Persaingan Bank Digital, Jenius Catatkan Peningkatan Simpanan dan Pinjaman

Selayaknya bank yang menjalankan fungsinya sebagai intermediasi, Jenius mencatatkan kinerja positif untuk simpanan dana pihak ketiga (DPK) dan pinjaman yang disalurkan hingga Juni 2023.

Tercatat, DPK menunjukkan kenaikan sebesar 43% menjadi Rp24,7 triliun dari Rp17,3 triliun di periode yang sama tahun sebelumnya. Produk pinjaman naik 119% menjadi Rp1,3 triliun dari sebelumnya Rp602,1 miliar. Sementara itu, pertumbuhan pengguna (registered user) naik 19% menjadi 4,8 juta dari 4 juta.

Dalam media gathering yang digelar kemarin (22/8), Digital Banking Head Bank BTPN Irwan Tisnabudi menyampaikan, kinerja tersebut didukung karena sejumlah inisiatif yang dilakukan perusahaan. Untuk meningkatkan DPK, perusahaan memperkuat produk simpanan, yakni Flexi Saver (deposito), Dream Saver, Maxi Saver (deposito berjangka), dan nasabah prioritas.

Produk nasabah prioritas itu sendiri baru hadir dinamai Sinaya Prioritas yang sudah diperkenalkan sejak 2019. Produk ini menyasar segmen affluent yang memiliki total dana simpanan minimal Rp500 juta dapat memanfaatkan berbagai pengalaman perbankan digital.

“Sejak 2019 kami mulai segmentasi nasabah ke mature. Jadi pengguna Jenius tidak cuma anak muda saja. Perkembangannya [nasabah mature] makin terasa sejak pandemi yang pakai Jenius,” ucap Irwan.

Sedangkan untuk mendongkrak kinerja pembiayaan, sejauh ini perusahaan baru menyediakan pinjaman berbasis konsumer. Yakni, Flexi Cash (cash loan), Kartu Kredit Jenius, dan yang terbaru Jenius Paylater. Produk terakhir ini baru diperkenalkan pada Maret 2023, belum semua nasabah Jenius yang bisa menikmati fasilitas tersebut.

Limit yang disediakan pun juga tidak besar, yakni Rp500 ribu per nasabah. Limit ini dapat digunakan untuk mengatur cash flow, terutama saat membayar transaksi di merchant QRIS, baik offline maupun online.

Paylater kita masih sangat kecil [penggunanya] karena untuk undangan dulu buat kita belajar. Kita mau edukasi nasabah dengan produk pinjaman yang baik, ini jadi produk perkenalan sebelum nasabah masuk ke Flexi karena paylater ini jadi bagian dari Flexi.”

Pengembangan fitur

Menurut Irwan, persaingan bank digital pada akhirnya tidak akan jauh berbeda dengan persaingan antara bank konvensional satu dengan yang lainnya. Produk dan layanan itu sangat mudah ditiru, namun pada akhirnya yang jadi pembeda adalah pelayanan dalam meningkatkan pengalaman pengguna.

“Membuat user experience itu yang paling susah. Jenius mau pakai AI untuk membuat experience berbeda. Dari berbagai services kita ada email untuk kontak consumer service, tapi masih banyak konsumen yang pilih telepon. Kita mau pakai chatbot agar service yang lebih baik, cepat dihubungi, dan cepat terselesaikan.”

Jenius telah meluncurkan dan mengembangkan sederet fitur sepanjang paruh tahun pertama 2023 untuk memenuhi kebutuhan masyarakat digital savvy. Di antaranya, akses scan QRIS dari aplikasi Jenius yang lebih mudah, top up dan kelola mandiri e-money dari e-Wallet Center, penukaran Yay Points, perpanjangan jam operasional aktivasi dan tukar mata asing di Jenius, Jenius Paylater, dan program #FlexiRasaMaxi 2.

Keseluruhan fitur di atas merupakan hasil dari kokreasi dan kolaborasi bersama 44.000 kokreator (anggota komunitas Jenius Co.Create) telah tergabung di Jenius Co.Create untuk menyampaikan suara dan masukannya ke Jenius untuk pengembangan solusi life finance.

Proses kokreasi ini juga telah dilakukan melalui lebih dari 1.024 survei daring, diskusi kelompok terpumpun (DKT), wawancara mendalam yang melibatkan lebih dari 116.212 anggota masyarakat digital savvy sebagai responden, dengan rata-rata sebanyak 17 kegiatan wawancara yang dilakukan setiap bulannya.

Hasil dari pengembangan fitur berbuah positif. Dipaparkan volume transaksi QRIS melalui Jenius naik 192%, jual-beli mata uang asing naik 84%, dan penukaran Yay Points yang meningkat karena prosesnya dipermudah tidak perlu menghubungi call center seperti sebelumnya.

Hasil survei

Dalam kesempatan yang sama, perusahaan juga mengungkapkan hasil survei bertajuk Jenius Study: Kebiasaan Finansial Digital Savvy 2023. Dari hasil survei ditemukan bahwa sebanyak 96% responden rutin menabung, meningkat dari 70% pada tahun sebelumnya. Sebanyak 73% responden yang sudah rutin menabung, mengalokasikan dana untuk menabung lebih dari yang disarankan oleh perencana keuangan (10%-20% dari pendapatan).

Kemudian, sebanyak 83% responden sudah menyadari pentingnya mencatat cash flow, naik dari 73% pada tahun sebelumnya. Salah satu cara yang mereka gunakan adalah dengan melakukan cicilan (93%). Pada 2023, 55% responden sudah menggunakan Flexi Cash untuk membantu mengatur cash flow, antara lain untuk modal bisnis, renovasi rumah, beli barang impian, dan lainnya.

Jenius Study juga mengungkapkan bahwa Kartu Debit Jenius Visa (m-Card) telah menemani dan mempermudah teman Jenius untuk bertransaksi selama bepergian ke 188 negara di berbagai benua, antara lain Asia, Australia, Eropa, Afrika, Amerika Utara, dan Amerika Selatan.

Sebagai catatan, survei ini dilangsungkan pada Agustus 2023 dengan melibatkan 156 responden berusia 17-41 tahun.

Application Information Will Show Up Here

Ubah Transaksi Menjadi Cicilan Dengan Fleksibel Menggunakan Split Pay Dari Jenius

Pionir bank digital tanah air, Jenius dari Bank BTPN, terus berkomitmen menghadirkan layanan finansial yang lengkap dan relevan. Salah satunya yaitu dengan memperkenalkan fitur Split Pay yang membantu pengguna merevisi transaksi yang telah dilakukan menjadi cicilan dengan sumber dana yang terhubung dengan produk Flexi Cash (produk pinjaman personal Jenius).

Split Pay memberikan fleksibilitas keuangan bagi seluruh kalangan pengguna Jenius. Secara garis besar, seluruh transaksi mulai dari Rp500 ribu yang dilakukan dalam enam bulan terakhir, kini dapat diubah menjadi cicilan yang dapat disesuaikan dengan preferensi pengguna. Dalam laman resmi Jenius, terjabar daftar transaksi yang dapat diubah menjadi cicilan mulai dari; transfer ke sesama dan antarbank, tarik tunai, pembayaran melalui QR code, transaksi dengan Jenius Pay, top up e-wallet, pembelian saldo mata uang asing, hingga pembayaran tagihan (kecuali zakat dan lainnya).

Lalu bagaimana cara menikmati layanan Split Pay ini? Setelah bertransaksi pengguna dapat langsung memilih opsi cicilan dengan Split Pay melalui widget yang muncul bersamaan dengan notifikasi pembayaran berhasil atau melalui halaman rincian transaksi. Dengan fleksibilitas yang ditawarkan, pengguna dapat menentukan sendiri tenor cicilan sesuai dengan kemampuan pengguna.

Satu hal tambahan, layanan Split Pay ini hanya dapat digunakan oleh pengguna Jenius yang sudah memiliki Flexi Cash, produk pinjaman personal untuk beragam kebutuhan dengan limit hingga Rp200 juta. Setiap menggunakan Split Pay, limit Flexi Cash pengguna akan dipotong sesuai dengan sejumlah transaksi yang dipilih untuk diubah menjadi cicilan. Fitur Split Pay membantu pengguna untuk mengelola jenis transaksi secara fleksibel. Dalam kondisi mendesak misalnya, fitur Split Pay akan sangat membantu pengguna untuk memiliki kebebasan dalam merevisi transaksi yang disesalkan dengan mengubahnya menjadi cicilan.

“Terkadang kita gegabah mengambil keputusan dan bertransaksi tanpa perhitungan matang. Di lain waktu kita menyesal telah mengeluarkan sejumlah uang untuk membeli sebuah barang dan berharap bisa merevisi transaksi yang telah terjadi sehingga cashflow berantakan karena keliru melakukan perhitungan. Fitur Split Pay hadir sebagai solusi dari pain points tersebut sehingga pengguna dapat mengubah transaksi yang telah terjadi menjadi cicilan dan cash flow dapat tetap terjaga,” ujar Waasi B. Sumintardja, Digital Banking Business Product Head Bank BTPN seperti yang dikutip dari siaran pers.

Lebih lanjut, dalam keterangannya dikatakan pada riset yang dilakukan oleh Jenius beberapa waktu lalu terhadap 116 responden dengan rentang usia 21–40 tahun, ada tiga alasan utama masyarakat dalam memutuskan memilih transaksi dengan metode cicilan. Disebutkan, sebanyak 38% responden mengatakan untuk mengatur cash flow dengan baik, 18% untuk mengurangi beban pembayaran, dan 16% mengaku akses produk cicilan mudah dilakukan. Dari hasil survei yang sama, 86% responden memilih metode cicilan ketika melakukan transaksi pada e-commerce dan 14% pada offline store atau merchant.

“Jenius ingin hadir sebagai layanan finansial yang lengkap dan terintegrasi. Setelah beragam fitur revolusioner yang sudah Jenius miliki mulai dari menghadirkan kemudahan dalam bertransaksi, menabung, dan berinvestasi, kami juga menjadi semakin lengkap dengan memperkenalkan Split Pay dan Cicilan Jenius Pay yang terhubung dengan Flexi Cash sebagai sumber dana pembayaran yang dapat dipilih oleh nasabah sesuai preferensi dan keadaan,” imbuh Waasi dikutip dari sumber yang sama.

Tertarik untuk mengenal fitur Split Pay dari Jenius dan mengelola transaksi secara fleksibel? Kunjungi tautan berikut ini untuk informasi selengkapnya.

Advertorial ini didukung oleh Jenius.

Strategi Jenius Bersaing di Tengah Ramainya Digital Banking

Di tanah air, pemain bank digital tumbuh kian subur seiring dengan tren kebutuhan masyarakat yang mendambakan layanan finansial yang praktis. Per Juni 2021 saja Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebutkan sudah ada 14 bank digital yang hadir di Indonesia. Sepuluh di antaranya sudah beroperasi dan sisanya masih dalam proses persiapan.

Jenius dari Bank BTPN menjadi pionir bank digital yang dikenalkan sejak tahun 2016. Pada saat itu, pengembangan aplikasi Jenius ini memakan waktu persiapan 18 bulan dan investasi hingga 500 miliar rupiah.

Selama perjalanan lebih dari lima tahun, Jenius telah menghadirkan beragam inovasi dan berhasil menarik lebih dari 3,7 juta pengguna yang tersebar di 514 kabupaten/kota. DailySocial.id berkesempatan berbincang dengan Waasi B. Sumintardja, Digital Banking Business Product Head Bank BTPN tentang bagaimana Jenius tetap relevan dan bersaing dengan para pemain baru. Seperti apa?

Ramainya pemain baru jadi tantangan sekaligus peluang

Tidak mudah memang bersaing di tengah derasnya arus kompetisi industri perbankan digital. Waasi pun mengamini, munculnya pemain baru menjadi tantangan sekaligus peluang untuk Jenius. Dari sisi kans, semakin banyak pemain maka semakin banyak pula yang akan mengedukasi tentang konsep layanan perbankan digital.

“Dulu, di tahun 2016, kami memulai untuk mengedukasi konsep perbankan digital termasuk fitur-fitur dan cara penggunaannya. Dengan munculnya pemain baru, edukasi mengenai perbankan digital dapat menjangkau lebih banyak masyarakat Indonesia dalam memahami konsep ini. Selain itu, masyarakat Indonesia juga akan diuntungkan karena semakin banyak pilihan dan mereka bisa memilih layanan perbankan digital sesuai preferensi,” ujarnya.

Walaupun memang, tantangan hadir menjadi semangat sekaligus pemicu bagi Jenius untuk terus berinovasi dan menghadirkan layanan yang lebih baik. Untuk mendukung hal ini, dari sisi internal Jenius pun rutin bebenah diri dengan mengimplementasikan tiga faktor agar tetap relevan dengan kebutuhan masyarakat.

Jenius selalu mengedepankan faktor change in mindset, change in ways of working, dan change in culture. Yakni menerapkan pola pikir yang menempatkan pelanggan pada prioritas utama, menerapkan proses pengembangan produk berkelanjutan dengan metode Minimum Valuable Product (MVP) dan feedback dari pengguna, serta menciptakan budaya yang sangat kreatif dan inovatif dengan merekrut beragam talenta dari berbagai industri dan latar belakang dengan pola pikir yang beragam.

Kokreasi, kolaborasi, dan ekspansi jadi strategi Jenius perkuat eksistensi

Selain perihal di atas, produk layanan yang ditawarkan bank digital diyakini menjadi kunci keberhasilan bisnis. Sebagai pimpinan di bagian pengembangan produk, Waasi pun membeberkan bagaimana Jenius masih bisa terus tumbuh dan bersaing meskipun diterjang beragam tantangan.

Ia menceritakan, ada 3 aspek utama yang menjadi fokus saat ini yakni kokreasi, kolaborasi, dan ekspansi. Jenius dikembangkan dari proses kokreasi dan kolaborasi dengan masyarakat digital savvy dan berbagai pihak dari lintas industri untuk membangun ekosistem ekonomi digital yang terintegrasi. Semangat kokreasi dan kolaborasi ini yang terus Jenius usung untuk menghadirkan solusi inovatif yang relevan dengan kebutuhan masyarakat digital savvy di Indonesia.

“Hal ini yang menjadi kekuatan Jenius untuk terus melakukan continuous improvement dan mendengarkan suara, masukan, serta ide dari digital savvy yang kemudian diwujudkan menjadi fitur-fitur revolusioner dan layanan pada aplikasi Jenius,” tambah Waasi kepada DailySocial.id

Proses kokreasi ini dilakukan salah satunya melalui platform Jenius Co.Create, komunitas masyarakat digital savvy dalam bentuk situs (co.create.id), artikel, ruang berbagi, workshop, dan acara tahunan Co.Creation Week. Anggota komunitas Jenius Co.Create dapat langsung memberikan masukan dan juga ide melalui forum Co.Create dan setiap ide bisa di-vote oleh anggota lain sebagai tambahan pertimbangan pihak Jenius untuk mengembangkan fitur dan layanan dari masukan tersebut.

Beragam fitur yang dihasilkan dari proses kokreasi ini juga telah dihadirkan oleh Jenius. Mulai dari mempermudah dalam pembukaan rekening, menabung, mengelola cash flow, hingga berinvestasi.

Tercatat, per Desember 2021, lebih dari 35.000 Co.Creators (anggota komunitas Jenius Co.Create)  terdaftar di cocreate.id. Beragam kegiatan juga turut dilakukan, Jenius Co.Create telah mengadakan 105 offline event dan 110 online event yang dihadiri lebih dari 8.000 peserta bahkan hingga Singapura, New Zealand, Oslo, dan Jepang.

Sementara untuk ekspansi, Waasi menjelaskan Jenius berorientasi untuk memperluas kehadiran booth Jenius dan edukasi perbankan digital. Diketahui, Jenius telah melakukan ekspansi ke berbagai daerah dan kota di Indonesia. Sepanjang kuartal pertama di 2022 ini booth Jenius telah hadir di Cirebon, Tasikmalaya, Magelang, Pekanbaru, dan Batam.

Terus lebarkan sayap dengan bantu mengakselerasi UMKM Indonesia

Proses kokreasi juga terus Jenius lakukan di tengah pandemi Covid-19 yang melanda dunia. Dari hasil kokreasi tersebut, Jenius melakukan studi bertajuk Perilaku Digital Savvy Selama Masa Adaptasi Kebiasaan Baru. Studi ini dilakukan melalui metode survei daring yang melibatkan 307 masyarakat digital savvy, berusia 16–40 tahun, pada April hingga Mei 2020. Dari hasil studi tersebut ditemukan bahwa 44% responden mengalami pengurangan pendapatan sebagai akibat dari pandemi. Lebih lanjut lagi, responden yang pendapatannya berkurang beradaptasi dengan membuka usaha (42%), mencari sumber pendapatan lainnya atau mengambil proyek sebagai pekerja lepas (22%), dan mengurangi pengeluaran (14%).

Dari studi yang sama, Jenius juga menemukan beberapa pain points yang dihadapi oleh responden yang baru memulai usahanya, yaitu tercampurnya keuangan pribadi dan usaha, kesulitan mengelola stock barang, dan juga sistem pembayaran yang masih manual.

Berangkat dari hal tersebut, Waasi dan tim pun menghadirkan dua solusi untuk pelaku UMKM yaitu Akun Bisnis dan Bisniskit. Akun Bisnis membantu pelaku usaha untuk memisahkan keuangan pribadi dan usaha serta mengelolanya melalui satu aplikasi Jenius. Sementara Bisniskit membantu pelaku usaha untuk operasional usaha, seperti mencatat stock barang, mesin kasir, membuat invoice atau struk, dan pengelolaan data pelanggan.

Platform Jenius Co.Create pun bisa digunakan para pelaku UMKM untuk belajar dan menjalin koneksi. “Jenius juga mengadakan berbagai kelas dan talkshow dengan topik seputar usaha dan bisnis pada platform Jenius Co.Create. Siapa pun bisa ikut kelasnya dan membangun network dengan pelaku usaha lainnya di Jenius Co.Create,” papar Waasi.

Prediksi dan rencana masa depan Jenius

Waasi memprediksi industri perbankan digital di Indonesia akan memiliki semakin banyak pilihan dan calon nasabah pun akan mencari perbankan digital yang sesuai dengan preferensi masing-masing.

Untuk mempersiapkan hal ini, Waasi menyebutkan ada dua hal yang jadi rencana Jenius ke depannya. “Fokus jangka panjang Jenius akan dikerahkan dengan menghadirkan solusi life finance yang terus relevan dan lengkap sehingga masyarakat bisa mengelola seluruh kebutuhan hidup dan finansial melalui Jenius serta terus berkolaborasi dengan lebih banyak like-minded partners dari beragam industri dan juga secara internasional,” tutup Waasi.

Strategi dari Jenius sebagai pionir bank digital ini turut menjadi pertimbangan para pemain lain di luar sana. Terbukti dengan layanan mereka yang masuk dalam jajaran Forbes World’s Best Bank 2022 beberapa waktu lalu.

Semakin Lengkap, Bank Digital Jenius Mudahkan Pengguna Bayar Zakat dan Sedekah Online

Laju ambisi salah satu pionir bank digital tanah air, Jenius, dalam memperkaya solusi finansial bagi masyarakat digital savvy di Indonesia kian pesat. Di momen Ramadan tahun 2022, platform bank digital yang terlahir dari Bank BTPN ini dapat pula dimanfaatkan untuk keperluan pembayaran zakat, sedekah, dan infak. Dengan adanya fitur ini, melengkapi ibadah Anda di bulan Ramadan semakin mudah. Seperti apa?

Ramadan merupakan bulan yang identik dengan kegiatan sosial, seperti berbagi, dan juga sedekah kepada yang membutuhkan. Jenius menyediakan berbagai layanan yang memudahkan nasabahnya untuk bersedekah. Dalam laman keterangannya, fitur Send It sudah dilengkapi dengan layanan untuk pembayaran Zakat & Lainnya.

Sejatinya Jenius berhasil menyediakan layanan pembayaran zakat yang lengkap. Di momen menjelang Idul Fitri, zakat fitrah merupakan jenis zakat yang wajib dibayarkan oleh setiap muslim, sebelum ibadah shalat Idul Fitri dilakukan. Buat Anda yang mungkin tak sempat untuk membayar zakat secara konvensional, Jenius menyediakan layanan zakat digital secara prima dan optimal yang dapat dilakukan dengan mudah langsung dari aplikasi Jenius.

Selain mudah diakses, layanan pembayaran tersebut juga dapat memudahkan pelanggan untuk mengatur jumlah zakat dan nama-nama pemberi zakat, hingga dapat diatur untuk nama anggota satu keluarga, sehingga pengaturan nama pemberi zakat tak perlu dilakukan secara berulang. Oh ya, dan menariknya lagi, di dalam aplikasi Jenius juga terdapat panduan lafal niat untuk membayar zakat.

Anda pun tak perlu khawatir akan kredibilitas lembaga penerima zakat dan sedekah yang tersedia di aplikasi Jenius. Kembali dari laman website resminya dijabarkan, lembaga ternama seperti BAZNAS, Dompet Dhuafa, hingga Rumah Zakat telah dinyatakan sebagai lembaga resmi yang akan menerima dan mengelola dana zakat dari pengguna Jenius, untuk diteruskan kepada penerima zakat.

Seperti yang disampaikan di awal, Jenius juga menyediakan kebutuhan sedekah dan infak online yang juga sama mudahnya seperti Anda melakukan pembayaran zakat. Melalui menu dan fitur yang sama, pengguna cukup memilih lembaga amil yang ingin dituju dari berbagai opsi yang tersedia. Sangat cepat dan mudah.

Nah, tertarik untuk menunaikan ibadah zakat, sedekah, dan infak online langsung dari Jenius? Ada program menarik di bulan Ramadan yang kian menambah berkah ibadah zakat Anda. Sepanjang bulan Ramadan, Jenius menawarkan program “Double Donation” yang berkolaborasi dengan 2 lembaga, yakni Dompet Dhuafa & Rumah Yatim. Sesuai namanya, program ini memungkinkan Anda untuk melipatgandakan nilai donasi dengan cara yang mudah. Sebagai contoh, semisal Anda berdonasi Rp 30 ribu, nantinya yang disalurkan ke lembaga pilihan Anda adalah kelipatannya, yaitu Rp 60 ribu.

Menarik bukan? Tertarik untuk langsung bersedekah online? Silakan kunjungi halaman resmi Jenius dengan Dompet Dhuafa dan Rumah Yatim berikut ini untuk informasi selengkapnya.

Advertorial ini didukung oleh Jenius.

Perkuat Layanan di Indonesia, PPRO Gandeng Kredivo

Setelah meluncur di pasar Indonesia akhir tahun 2020 lalu, platform pembayaran PaaS asal Inggris “PPRO” berencana untuk menjalin kolaborasi lebih luas lagi dengan platform pembayaran digital di Indonesia.

Setelah OVO dan Doku, kini PPRO kembali mengumumkan kerja sama strategis dengan Kredivo. Besarnya penggunaan metode pembayaran Buy Now Pay Later (BNPL) alias paylater di Indonesia menjadi salah satu alasan mengapa kerja sama ini dilancarkan.

“Kami melihat pilihan pembayaran BNPL banyak dipilih oleh pengguna layanan e-commerce secara global bukan hanya di Indonesia. Memanfaatkan sekitar 5 juta pengguna Kredivo, diharapkan kolaborasi ini bisa berguna untuk pasar di Indonesia,” kata VP Partnerships, Head of APAC PPRO Tristan Chiappini.

PPRO mencatat sekitar 55% pengguna layanan e-commerce memilih untuk melakukan pembayaran dengan cara BNPL. Dengan menawarkan metode pembayaran BNPL kepada konsumen saat checkout, merchant dapat meningkatkan tingkat konversi mereka, menghasilkan transaksi rutin dari konsumen yang menggunakan metode pembayaran, dan berpotensi melihat ukuran keranjang yang lebih besar.

“Integrasi kami dengan PPRO memungkinkan lebih banyak merchant untuk menawarkan pelanggan mereka opsi untuk membayar dengan Kredivo. Melalui mereka, kami dapat memperkuat komitmen kami untuk memberikan konsumen kesempatan untuk mengakses lebih banyak pasar e-commerce dunia,” kata VP Business Development Kredivo Krishnadas.

Sebelumnya PPRO juga telah melakukan integrasi dengan Jenius Pay dan LinkAja. PPRO dalam waktu dekat juga berencana untuk mengumumkan kerja sama strategis dengan platform dompet digital terbesar di Indonesia. Disinggung apakah GoPay yang akan menjadi mitra baru PPRO dalam waktu dekat, Tristan enggan untuk memberikan informasi lebih lanjut.

Pandemi dan pertumbuhan layanan e-commerce

Pandemi secara langsung telah mempercepat akselerasi layanan e-commerce di Indonesia. PPRO juga mencatat terdapat 3 negara yang kemudian banyak mendapatkan permintaan dari merchant di Indonesia. Di antaranya adalah Tiongkok, Amerika Serikat, hingga Singapura. Dilihat dari negara Top 3 tersebut menjadi relevan bagi PPRO untuk memperluas kemitraan dengan pemain lokal di Indonesia.

“Kami melihat 23% layanan e-commerce di Indonesia sudah lintas batas. Indonesia menjadi pasar yang menarik bagi kami untuk melakukan konsolidasi pasar. Kita sudah mempunya live traffic dengan payment menthod di Indonesia,” kata Tristan.

Selama 2 tahun terakhir PPRO mengklaim menjadikan Indonesia sebagai pasar prioritas mereka. Namun demikian karena pandemi, PPRO belum memiliki rencana untuk menempatkan tim di Indonesia. Selanjutnya PPRO akan terus fokus di PSP dan memenuhi demand dari para merchant. Selain pasar di Indonesia, PPRO juga memiliki rencana untuk memperluas layanan di negara lain seperti India hingga Malaysia.

PPRO adalah perusahaan fintech yang mengglobalisasikan platform pembayaran untuk bisnis, sehingga memungkinkan bagi mereka untuk menawarkan lebih banyak pilihan pembayaran pada saat checkout di berbagai platform dan meningkatkan penjualan lintas batas.

“Klien kita adalah global mulai dari Asia Tenggara hingga Amerika Serikat, ada potensi melakukan cross border untuk Indonesia.,” kata Tristan.

Digital Bank Remains a “Nice to Have” Alternative

I am Randi (29). I currently work as a private employee and live in one of the tier-3 cities in Central Java – working full time remotely. Although living in a small district, access to public facilities such as banks and modern retail is quite easy. I live at home with my wife [housewife] and a toddler. Using the Socio-Economic Status (SES) category commonly used in the survey, my current condition is fit to “A” at the middle class level.

If you look at the financial records application that I manage with my wife, our average monthly expenses are in the range of IDR 4 million to IDR 6 million [increased by 40% after having children]. Some routine expenses are including bill payments, daily necessities, children’s needs, health including child immunization, and entertainment. Beyond that, there are always sudden or urgent needs issued every month with an indeterminate amount.

In managing financial flows, we have several bank accounts for specific purposes. Permata Bank is my office payroll, Bank Mandiri used as savings, and Bank BRI is to pay various routine bills. These bank options have each fundamental reason. First, the office mandatory; even though the nearest Permata Bank branch is in the next town which is about 45 minutes away by car. The Mandiri account used for savings is actually my wife’s former payroll account when she used to work.

Meanwhile, BRI account is used due to the nearest branch office, across my house along with an ATM. Therefore, it is quite easy if you have to withdraw cash. That’s important, because in order to truly become a cashless society here is still challenging. I remember clearly a few weeks ago, the batagor shop near my house had attached a LinkAja sticker; but when I asked to pay with non-cash option, the merchant refused. The same goes with shopping at department stores in the city, the EDC machine sometimes doesn’t work, forcing me to withdraw cash at the nearest ATM.

Apart from banks, I also use several e-money services. Currently, I actively using OVO, LinkAja, and ShopeePay. Mostly used for transactions in e-commerce and ride-hailing applications. I use a premium financial bookkeeping app on my phone.

Introducing digital bank

This year, digital banks are getting more popular each day. Even though I know  services such as Jenius or Digibank have been available in previous years, however, I was not intrigued to try at that time, it was also directly offered by salesmen at airports and shopping centers.

In the last few months, I have been interested in exploring the latest digital banking applications.

For me, the definition of a digital bank is quite simple. It is completely digital without having to be bothered with complicated procedures at branch offices, especially in terms of opening an account and the administrative process that follows.

In the last three months, I have installed and tried at least 9 digital bank applications on my smartphone, from TMRW ID, Jago, Motion Banking, LINE Bank, Jenius, SeaBank, neo+, Digibank, and blu.

Screenshot of the list of digital bank applications installed on the phone

Apart from Digibank and neo+, I had experienced quite easy registration process. I also received debit cards for all five banks, apart from blu and SeaBank which don’t offer physical card facilities.

For Digibank, the verification process should be done through a biometric service on a smartphone, however, either my device that doesn’t support it or other factors, which require me to do manual verification through an agent. The closest one is in Yogyakarta, at a shopping center or branch office – apart from having to travel 1.5 hours, I couldn’t make it due to the pandemic restriction.

For neo+, i have to wait in line, and it’s a long one. I registered on June 16, 2021 and my queue number is 83,971. After a few weeks, I got a call from the bank to make an appointment to verify via phone the next day. Unfortunately, the phone rang when I was in the bathroom. I have to wait for a new queue number – until now I haven’t gotten another call for verification.

Digital bank experience

The registration process is relatively similar with all applications. We have to fill some personal data on the form, taking selfies with ID card, and uploading other supporting documents [NPWP]. Furthermore, the verification processwas done by video call through the application. In some banks, users have to wait in long queues to verify. Even from my experience, there were times when someone had to repeat 2-3 times with different agents, because their ID cards were not visible during the verification process.

In addition, in the registration process, users will be presented some options in the account: for saving, investing, credit, or others. In this experiment, I chose investment for all apps.

Debit card from several digital bank accounts

As the bank account has been created, some banks also provide the debit card option. In Jenius the minimum balance is Rp500 thousand in order to obtain a VISA Debit – although when the request completed, the money can be spent (it doesn’t have to be deposited). While other banks didn’t require such thing.

Regarding the card variant, I got VISA labeled debit card for Jago bank, LINE Bank, and Jenius, while TMRW and Motion Bank used the GPN logo. As I calculated the time from successfully verified to the debit card delivery process is relatively fast – LINE Bank takes the longest under the pretext of a busy card printing line.

Application Registration Verification Delivery
Blu Easy Relatively fast Card is unavailable
Jago Easy Relatively fast 1-2 weeks
Jenius Easy Medium queue (require scheduling) 1-2 weeks (after top-up)
LINE Bank Easy Medium queue Lebih dari 4 minggu
Motion Banking Easy Relatively fast 1-2 weeks
TMRW ID Easy Relatively fast 1-2 weeks
SeaBank Easy Relatively fast Card is unavilable
Digibank Easy Long queue (require scheduling or manual verification) Registration failed
Neo+ Easy Long queue (require scheduling) Registration failed

In my observation, digital banking really provides a new experience to have a bank account–compared to the process I previously went through when creating an account at a conventional bank.

Regarding the user interface and user experience, it has been relatively easy for me. It’s typical for today’s applications. I tend to be able to adapt immediately to existing features without having to fumble or find out separately through search engines. However, regarding performance, some applications still require improvement. I experienced forced close several times and it was difficult to get into the dashboard. For example, what happened with Bank Jago this morning (9/30).

Impressive yet nonessential features

In general note, each application has basic services such as savings, top-up features to e-money, and transfers. In my experience using each application, there are some impressive features, as follows:

Application Impressive features
Blu (version 1.8.0)
    • bluGether: financial planning with other users (3% interest per year)
    • bluDeposit: creating deposito for minimum amount of Rp1 million (bunga 4% per tahun)
    • Withdraw cash fro app via the nearest BCA ATM
Jago (version 5.7.0)
    • Kantong: separate savings based on financial purposes
    • Kirim & Bayar: sending payment request or split-bill
    • Connected with Gojek and Bibit
Jenius (version 3.1.0)
    • Save It: saving feature with various specification for certain financial purposes
    • Moneytory: for the financial analysis and report
    • Tagih Uang: sending payment request or split-bill
LINE Bank (version 1.1.5)
    • Time Deposit:  short term deposit with minimum amout of Rp1 million
Motion Banking (version 2.1.3)
    • Service management for deposits, KTA or KPR through application
TMRW IDE (version 4.1)
    • City of TMRW: gamification feature for savings with unique visualization and concept
SeaBank (version 2.7.0)
    • Savings with relatively high interest, at 7% per year

By selecting the “investment” option while registering, some services offer a deposit feature. Personally I am not interested in using this instrument as investment option – either for the short or long term. My current financial condition forces me to be more conservative in investing. However, I’m starting to consider stock and mutual fund instruments as suggested by my colleagues.

This feature has actually available on Bank Jago through its integration with Bibit and will soon be available on Jenius. However, it feels less comprehensive compared to creating a direct investment application. Therefore, I’m still comfortable with a separate application regarding this.

In terms of features like bluGether, pocket Jago, or Save it on Jenius, it’s actually interesting for me with partner to manage our financial. However, I currently feel one account with shared access is still sufficient, instead of having to register new accounts. The effort to transfer balances to the existing digital bank services are still considered “a lot” compared to its benefits, it’s not necessary for us right now.

As my wife and I discussed about migration, she also prefer to stick with the current application. There are two reasons, she only has single source of income from me and she is reluctant to create a new bank account – even though it is fully digital and will eventually gain access to a jointly managed savings account.

City of TMRW feature

The unique feature that is quite impressive is the City of TMRW. We are encouraged to save regularly every day, starting from a nominal value of IDR 20,000. Every time we increase the balance, the level of the virtual city displayed will get better. The gamification animation is also very interesting. I thought that later something like this would be fun to use for my children, while teaching them about regular savings.

After exploring and trying some of these features, I came to the conclusion that currently the urgency is still at the “nice to have” level, It is not yet urgent and compelled to replace the previous service. Moreover, the mobile banking application that I currently use on a daily basis is also continuously being developed and actually very easy. For example, through the PermataMobileX application, I can withdraw cash from the nearest Indomaret – it is quite helpful in the absence of a bank branch in my district.

What to expect from financial app?

The financial management that my small family and I use still requires several applications: mobile banking, financial records, e-money, and investments. Therefore, the process is still separate.

The pain points often encountered are sometimes nominal in notes are not the same as those in other applications; and require a separate top-up when you want to use e-money for example for shopping. Every month, I also have to make separate transfers to the account used for savings and transactions.

Living in a tier-3 city also forces me to keep my debit card for cash withdrawal to be used at various EDC machines and ATM Bersama. The blu feature might be interesting as it can withdraw cash through the application, unfortunately, BCA ATMs is still very limited in here — the closest one is require travel for 12 km.

Actually, if you look at the existing digital bank vision, they are trying to accommodate the pain points that I experience, adapting to the lifestyle of today’s young people, for example the pocket feature to separate the budget or integration into consumer services, therefore, it’s no longer necessary to top-up e-money. It’s probably because it’s still in the early stages, the user experience is not enough to ensure me to change direction, switching from conventional banks.

However, it is possible, when the integration is wider and the performance is more reliable, the “nice to have” level will change to “mandatory”.

I imagine, for my younger siblings who are still in college and starting to work (first jobber), this digital bank option could be interesting opportunity – especially when they are yet to have a personal account. When it is configurated for financial management from the beginning, these banks offer attractive capabilities with modern designs, and I don’t hesitate to suggest one of the applications I have tried to my colleagues.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Bank Digital Masih Sekadar “Nice to Have”

Nama saya Randi (29). Saat ini saya bekerja sebagai pegawai swasta dan tinggal di salah satu kota tier-3 di Jawa Tengah – bekerja penuh waktu secara remote. Kendati di kabupaten kecil, akses ke fasilitas umum seperti bank dan ritel modern cukup mudah. Di rumah, saya tinggal bertiga bersama istri [ibu rumah tangga] dan seorang anak batita. Menggunakan kategori Sosial Ekonomi Status (SES) yang umum digunakan dalam survei, abjad yang mencerminkan kondisi saya saat ini “A” di level kelas menengah.

Jika melihat aplikasi catatan keuangan yang saya kelola bersama istri, rata-rata pengeluaran bulanan kami di kisaran Rp4 juta s/d Rp6 juta [meningkat sekitar 40% setelah punya anak]. Beberapa pengeluaran rutin yang sudah dianggarkan seperti pembayaran tagihan, belanja kebutuhan harian, belanja kebutuhan anak, kesehatan termasuk imunisasi anak, dan hiburan. Di luar itu tentu ada beberapa kebutuhan mendadak atau mendesak yang hampir dikeluarkan setiap bulan dengan nominal tak tentu.

Dalam mengelola arus keuangan, kami memiliki beberapa rekening bank untuk tujuan spesifik. Bank Permata untuk payroll gaji dari kantor, Bank Mandiri digunakan sebagai tabungan, dan Bank BRI untuk membayar berbagai tagihan rutin. Pemilihan bank-bank tersebut juga punya alasan mendasar. Yang pertama, tentu kewajiban dari kantor; padahal cabang Bank Permata terdekat ada di kota sebelah yang jaraknya sekitar 45 menit perjalanan dengan mobil. Rekening Mandiri yang digunakan untuk tabungan sebenarnya bekas rekening payroll istri saat dulu bekerja.

Sementara rekening Bank BRI saya pilih karena kantor cabang terdekat ada di seberang rumah saya, lengkap dengan mesin ATM. Sehingga cukup memudahkan jika harus mengambil uang tunai. Itu penting, karena di sini untuk benar-benar menjadi cashless society masih sangat susah. Saya ingat betul, beberapa minggu lalu di tukang batagor dekat rumah sudah memasang stiker LinkAja; namun ketika saya bertanya dan berniat untuk membayar secara nontunai, pedagangnya menolak. Bahkan ketika belanja di toserba di kota, mesin EDC-nya kadang-kadang tidak bisa dipakai, membuat saya harus terlebih dulu ambil uang tunai di ATM terdekat.

Selain bank, saya juga menggunakan beberapa layanan e-money. Untuk saat ini, yang selalu terisi saldo adalah OVO, LinkAja, dan ShopeePay. Sebagian besar digunakan untuk transaksi di e-commerce dan aplikasi ride-hailing. Saya menggunakan aplikasi pencatatan keuangan premium di ponsel.

Berkenalan dengan bank digital

Tahun ini kabar mengenai bank digital cukup nyaring terdengar di telinga. Kendati saya tahu, di tahun-tahun sebelumnya layanan seperti Jenius atau Digibank sudah bisa digunakan, tapi waktu itu belum tergelitik untuk mencoba, meskipun beberapa kali disodorkan langsung oleh salesman di bandara dan pusat perbelanjaan.

Di beberapa bulan belakangan, saya justru tertarik mengeksplorasi tentang aplikasi-aplikasi bank digital yang terus bermunculan.

Bagi saya, definisi bank digital cukup sederhana. Sepenuhnya digital dan tidak harus ribet dengan urusan di kantor cabang, khususnya dalam hal membuka akun dan proses administrasi yang mengikuti.

Dalam tiga bulan terakhir, setidaknya 9 aplikasi bank digital sudah saya pasang dan coba di ponsel, mulai dari TMRW ID, Jago, Motion Banking, LINE Bank, Jenius, SeaBank, neo+, Digibank, dan blu.

Tangkapan layar daftar aplikasi bank digital yang dipasang di ponsel

Selain Digibank dan neo+, proses registrasi berhasil dilakukan secara mudah. Bahkan saya sudah mendapatkan kartu debit untuk kelima bank, selain blu dan SeaBank yang tidak menawarkan fasilitas kartu fisik.

Untuk Digibank, harusnya proses verifikasi sudah bisa dilakukan melalui layanan biometrik di ponsel, namun ntah perangkat saya yang tidak mendukung atau faktor lain, yang mengharuskan saya melakukan verifikasi manual lewat agen. Terdekat di Yogyakarta, di pusat perbelanjaan atau kantor cabang di sana – selain harus menempuh jarak perjalanan 1,5 jam, saya urung karena masih PPKM.

Untuk neo+, antreannya masih panjang. Saat saya mendaftar di tanggal 16 Juni 2021, mendapatkan nomor 83.971. Selang beberapa minggu, saya sempat mendapatkan telepon dari bank untuk membuat janji melakukan verifikasi via telepon di hari esoknya. Sayang sekali saat telepon masuk, saya sedang di kamar mandi. Dan harus menunggu antrean baru lagi – sampai saat ini tak kunjung mendapatkan telepon lagi untuk verifikasi.

Pengalaman mencoba bank digital

Proses pendaftaran di semua aplikasi relatif sama. Dimulai dari pengisian data diri pada formulir yang disediakan, melakukan swafoto dengan identitas, dan mengunggah dokumen pendukung lainnya [NPWP]. Selanjutnya, proses verifikasi dilakukan secara video call melalui aplikasi. Di beberapa bank, pengguna harus menunggu antrean yang cukup panjang untuk melakukan verifikasi. Bahkan dari pengalaman saya, sempat ada yang harus mengulang 2-3x dengan agen berbeda, karena dari sisi mereka KTP tidak terlihat saat proses verifikasi.

Selain itu dalam proses pendaftaran, pengguna akan disuguhkan opsi rencana penggunaan akun tersebut: untuk menabung, investasi, kredit, atau lainnya. Dalam percobaan ini, saya memilih opsi investasi di semua aplikasi.

Kartu debit yang didapat dari pendaftaran akun aplikasi bank digital

Ketika akun bank sudah didapat, selanjutnya beberapa bank juga menyediakan opsi untuk mencetak kartu debit. Untuk layanan Jenius, saya harus mengisi saldo dulu minimal Rp500 ribu agar bisa mencetak Debit VISA – kendati setelah selesai melakukan permintaan, uang tersebut dapat digunakan atau dihabiskan (tidak harus mengendap). Sementara lainnya tidak membutuhkan pengisian saldo terlebih dulu.

Mengenai varian kartu, untuk bank Jago, LINE Bank, dan Jenius saya mendapatkan kartu debit berlabel VISA, sementara di TMRW dan Motion Bank mendapatkan kartu debit berlogo GPN. Dihitung dari sesaat setelah selesai berhasil terverifikasi, proses pengiriman kartu debit ke rumah relatif cepat – paling lama LINE Bank dengan dalih antrean cetak kartu yang padat.

Aplikasi Proses Pendaftaran Proses Verifikasi Pengiriman Kartu
Blu Mudah Relatif Cepat Tidak menyediakan kartu
Jago Mudah Relatif Cepat 1-2 minggu
Jenius Mudah Antrean Sedang (perlu penjadwalan) 1-2 minggu (setelah mengisi saldo)
LINE Bank Mudah Antrean Sedang Lebih dari 4 minggu
Motion Banking Mudah Relatif Cepat 1-2 minggu
TMRW ID Mudah Relatif Cepat 1-2 minggu
SeaBank Mudah Relatif Cepat Tidak menyediakan kartu
Digibank Mudah Antrean Panjang (perlu penjadwalan atau verifikasi manual) Pendaftaran tidak berhasil
Neo+ Mudah Antrean Panjang (perlu penjadwalan) Pendaftaran tidak berhasil

Dari sini saya menyimpulkan, bank digital benar-benar memberikan pengalaman baru untuk memiliki sebuah akun bank–dibandingkan proses yang sebelumnya saya lalui ketika membuat akun di bank konvensional.

Berkaitan dengan user internace dan user experience yang ditawarkan, bagi saya sudah sangat memudahkan. Khas aplikasi masa kini. Saya cenderung langsung bisa beradaptasi dengan fitur-fitur yang ada tanpa harus meraba-raba atau mencari tahu terpisah melalui mesin pencari. Namun terkait performa, beberapa aplikasi masih perlu disempurnakan. Beberapa kali saya mengalami forced close dan sulit untuk masuk ke dasbor. Misalnya yang terjadi bersama Bank Jago pagi ini (30/9).

Fitur menarik, tapi belum jadi urgensi

Secara umum, setiap aplikasi memiliki layanan mendasar seperti tabungan, fitur top-up ke e-money, dan transfer. Dari percobaan menggunakan masing-masing aplikasi, saya menemukan fitur yang menarik, sebagai berikut:

Aplikasi Fitur Menarik
Blu (versi 1.8.0)
    • bluGether: merencanakan keuangan bersama pengguna lain (bunga 3% per tahun)
    • bluDeposit: membuka layanan deposito berjangka min. Rp1 juta (bunga 4% per tahun)
    • Tarik tunai dari aplikasi melalui ATM BCA terdekat
Jago (versi 5.7.0)
    • Kantong: memisahkan tabungan sesuai penggunaan atau tujuan finansial yang ingin dicapai
    • Kirim & Bayar: mengirimkan permintaan pembayaran atau split-bill
    • Terkoneksi ke Gojek dan Bibit
Jenius (versi 3.1.0)
    • Save It: fitur tabungan dengan berbagai spesifikasi untuk tujuan finansial tertentu
    • Moneytory: untuk layanan pelaporan dan analisis finansial
    • Tagih Uang: mengirimkan permintaan pembayaran atau split-bill
LINE Bank (versi 1.1.5)
    • Time Deposit: layanan deposito jangka pendek min. Rp1 juta
Motion Banking (versi 2.1.3)
    • Pengelolaan layanan Deposito, KTA, KPR melalui aplikasi
TMRW IDE (versi 4.1)
    • City of TMRW: fitur gamimfikasi untuk menabung, dengan visualisasi dan konsep unik
SeaBank (versi 2.7.0)
    • Tabungan dengan bunga yang relatif tinggi, di kisaran 7% per tahun

Dengan memilih preferensi “investasi” saat mendaftar, sebagian layanan menyuguhkan fitur deposito. Secara personal saya kurang tertarik untuk menggunakan instrumen ini dalam berinvestasi – baik untuk jangka pendek atau panjang. Kondisi finansial saya saat ini memaksa untuk lebih konservatif dalam berinvestasi. Kendati demikian, saran dari rekan-rekan untuk mencoba instrumen saham dan reksa dana juga mulai dipikirkan untuk menjadi opsi.

Fitur ini sebenarnya sudah mulai ada di Bank Jago melalui integrasinya dengan Bibit dan akan segera ada di Jenius. Tapi rasanya kurang komprehensif jika dibanding dengan membuka aplikasi investasi langsung. Sehingga untuk kebutuhan ini, saya masih nyaman dengan aplikasi terpisah.

Untuk fitur seperti bluGether, kantong Jago, atau Save it di Jenius, sebenarnya menarik bagi saya yang melakukan pengelolaan keuangan berdua bersama pasangan. Namun sejauh ini satu akun dengan akses bersama masih mencukupi, alih-alih harus mendaftar akun baru lagi satu per satu. Upaya memindahkan saldo ke layanan bank digital tersebut yang ada juga masih dipandang “banyak effort” dibanding benefit yang didapat, sehingga urung melakukan untuk saat ini.

Ketika berdiskusi dengan istri untuk migrasi, ia pun juga memberikan konsiderasi untuk bertahan dulu dengan aplikasi yang saat ini digunakan. Ada dua alasan, sumber pendapatannya hanya dari saya saja dan dia enggan untuk membuat akun bank baru – walaupun sepenuhnya digital dan nantinya mendapat akses ke tabungan yang dikelola bersama.

Tampilan fitur City of TMRW

Fitur unik yang cukup menggugah justru City of TMRW. Kita didorong untuk menabung secara rutin setiap hari, mulai dari nominal Rp20 ribu. Setiap kali kita menambah saldo, maka level kota virtual yang ditampilkan akan menjadi lebih baik. Animasi dari gamifikasi yang diberikan juga sangat menarik. Saya berpikir, nantinya yang seperti ini akan seru digunakan untuk anak saya, sembari mengajarkan mereka tentang menabung rutin.

Setelah mengeksplorasi dan mencoba beberapa fitur tersebut, saya pun berkesimpulan bahwa saat ini urgensinya masih di tingkat “nice to have” saja, belum mendesak dan terdorong untuk menggantikan layanan sebelumnya. Terlebih, aplikasi mobile banking yang saat ini saya gunakan sehari-hari juga terus dikembangkan dan sangat memudahkan. Misalnya lewat aplikasi PermataMobileX, saya bisa tarik tunai melalui Indomaret terdekat – jadi cukup menolong di tengah ketiadaan cabang bank di kabupaten saya.

Yang diharapkan dari sebuah layanan finansial

Pengelolaan finansial yang saya dan keluarga kecil saya gunakan masih membutuhkan beberapa aplikasi: mobile banking, pencatatan keuangan, e-money, dan investasi. Sehingga prosesnya masih terpisah-pisah.

Pain points yang ditemui kadang nominal di catatan tidak sama dengan yang ada di aplikasi lain; dan harus melakukan top-up terpisah ketika ingin menggunakan e-money misalnya untuk belanja. Setiap bulan juga saya harus melakukan transfer terpisah-pisah di rekening yang digunakan untuk menabung dan transaksi.

Kondisi tinggal di kota tier-3 juga masih memaksa saya untuk tetap memiliki kartu debit untuk kebutuhan tarik tunai yang bisa digunakan di beragam mesin EDC dan ATM Bersama. Fitur blu mungkin menarik karena bisa tarik tunai lewat aplikasi, sayangnya sebaran ATM BCA di sekitar saya masih sangat terbatas — paling dekat harus melakukan perjalanan 12 km.

Sebenarnya kalau melihat visi layanan bank digital yang ada, mereka berusaha mengakomodasi pain points yang saya rasakan tersebut, menyesuaikan dengan gaya hidup masyarakat muda masa kini, misalnya fitur kantong untuk memisahkan anggaran atau integrasi ke layanan konsumer agar tidak perlu lagi top-up ke e-money. Mungkin karena masih di tahap awal, pengalaman pengguna yang disajikan masih kurang bisa memaksa saya beralih haluan, berpindah dari bank konvensional.

Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan, saat integrasinya sudah semakin luas dan performanya semakin andal, level “nice to have” tadi akan berubah menjadi “mandatory”.

Saya membayangkan, untuk adik-adik saya yang masih kuliah dan mulai bekerja (first jobber), opsi bank digital ini bisa menjadi menarik – terlebih saat sebelumnya mereka belum memiliki rekening pribadi. Jika dikonfigurasi untuk pengelolaan finansial dari awal, bank-bank tersebut menawarkan kapabilitas yang menarik dengan desain kekinian, sehingga saya tidak segan untuk menyarankan salah satu aplikasi yang sudah saya coba tersebut ke kolega nantinya.

Bank Jago Aims for Ecosystem Collaboration to Accelerate Growth

The public is currently waiting for the commercialization of mobile banking PT Bank Jago Tbk (ARTO) to be launched in late March. Quoting Bloomberg, this application will offer some financial services, including loans. This service will be available in the Gojek application, therefore, millions of users can open accounts and manage their finances automatically.

When announcing Gojek’s arrival as a shareholder, Bank Jago emphasized its vision to connect financial and lifestyle solutions into one platform. Gradually, this vision has begun to be reflected in Bank Jago’s efforts to embrace digital platforms from various business verticals to enter its ecosystem.

Prior to Gojek, Bank Jago had collaborated with Akulaku to launch digital-based financing in November 2020. Another partnership followed, such as Smart Credit and Akseleran. This number will continue to grow from other business verticals, including e-commerce retailers, travel, entertainment, and insurance.

By embracing ecosystem partners, Bank Jago is showing a full picture in building a digital bank. This is also reinforced by the statement of senior banker and founder of Bank Jago, Jerry Ng, who highlighted collaboration as one of the keys to the development of a digital bank.

Organic vs Collaboration

In the 2021 Indonesia Data and Economic Conference session by Katadata, Jerry said that it would be difficult for banks to grow if they did not have a unique business model. Especially in the digital era, all services will eventually collaborate with other lines. One of the goals is to accommodate the emergence of a new digital literate generation. Unlike the situation 5-10 years ago, there was no digital service ecosystem such as Gojek, Tokopedia, and Traveloka.

Jerry said this collaboration can be a key strategy to accelerate the growth of the digital bank business. For instance, digital banks in China and South Korea are oriented towards ecosystem collaboration, therefore, they can pursue growth through products with a wider spectrum.

This has proven Bank Jago’s various strategic partnership actions of several verticals since 2020. Also, he said this model is different from digital banks in Europe and the United States which focus on developing life-centric services.

“We have to create a unique value proposition. What we are doing is combining the two as they both have advantages. The bank is no longer the center of the ecosystem, but it is part of the ecosystem made by consumers, in the end it is all about payment,” Jerry said.

This strategy is different from Jenius, he said, which is oriented towards organic development. Therefore, he rejects the notion that Bank Jago is a continuation of Jenius development. This assumption is often carried away as he used to be the President Director of BTPN, and also the brains behind Jenius development.

Looking at the competitive map, it seems that Bank Jago is the one which aggressively expanding its collaboration partners. However, this strategy is up for other banks that have transformed digitally. For example, the Bank Neo Commerce (BNC). In addition to Akulaku’s entry as a shareholder, BNC also collaborates with the fintech platform Crowdo for SME financing.

Challenges of tech-based bank

In terms of technology, Bank Jago claims that all of its service infrastructures is digital-based. Even Jerry dared to claim to be the first tech-based bank in the region. In becoming a digital bank, Jerry admitted to have several criteria in selecting a bank.

Bank Artos (before Bank Jago) was considered to meet the criteria as it did not have a legacy and only had few human resources. Based on the condition, his team can develop technology from scratch. This criteria indeed will fail if they use bank with big legacy. For example, a bank with thousands of branch offices.

“We consider Bank Artos fit as it is yet to develop the technology with only few human resources. In the case of Covid-19, all banks considered digitalization. We [Artos Bank] have no problem because the balance sheet is small. This makes it easier for us to make strategic decisions and the Bank Artos fit the criteria,” he explained.

He considered post-pandemic conditions could make the banking industry in Indonesia aware, banks have built too many branch offices. “Branches is not really necessary. I closed 600 branches once and it was not easy. Hence, changing the existing technology will be more difficult,” he added.

The above hypothesis is relevant as its competitor used the same strategy, acquiring BUKU I and II as Sea Group, the parent company of Shopee did with Bank Kesejahteraan Ekonomi and Akulaku towards BNC (formerly Bank Yudha Bhakti).

With a collaboration-based business model, Jerry said that the challenges are quite difficult in harmonizing visions. Moreover, the collaboration partners are digital platforms from various business verticals that bring their respective technologies or innovations.

“Banks are synonymous with slow processes, strong bureaucracy, and always refer to risk management or compliance. Meanwhile, startups innovate quickly and as in a hurry. However, we learn a lot to solve problems and get the latest technology. It has to be at the expense of carelessness, we can achieve both. To date, we feel pretty good doing it at Jago Bank.”


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Bank Jago Berkiblat pada Kolaborasi Ekosistem untuk Akselerasi Pertumbuhan

Saat ini, publik tengah menanti komersialisasi mobile banking PT Bank Jago Tbk (ARTO) yang ditargetkan meluncur akhir Maret ini. Mengutip Bloomberg, aplikasi ini akan menawarkan sejumlah layanan keuangan, termasuk pinjaman. Layanan ini juga akan hadir di aplikasi Gojek, sehingga puluhan juta pengguna bisa otomatis membuka rekening dan mengelola keuangannya.

Saat mengumumkan masuknya Gojek sebagai pemegang saham, Bank Jago sempat menekankan visinya untuk menghubungkan solusi keuangan dan gaya hidup ke dalam satu platform. Secara bertahap, visi ini mulai tercermin dari upaya Bank Jago merangkul platform digital dari berbagai vertikal bisnis agar masuk ke dalam ekosistemnya.

Sebelum Gojek, Bank Jago telah berkolaborasi dengan Akulaku untuk menghadirkan pembiayaan berbasis digital pada November 2020. Kemudian menyusul kemitraan strategis lainnya, seperti Kredit Pintar dan Akseleran. Jumlah ini tentu akan terus bertambah dari vertikal bisnis lainnya, antara lain e-commerce retailer, travel, entertainment, hingga asuransi.

Dengan merangkul mitra ekosistem satu demi satu, Bank Jago semakin memperlihatkan full picture dalam membangun bank digital. Hal ini turut diperkuat dari pernyataan bankir senior sekaligus pendiri Bank Jago Jerry Ng yang menyoroti kolaborasi sebagai salah satu kunci pengembangan bank digital.

Organik versus kolaborasi

Dalam sesi Indonesia Data and Economic Conference 2021 oleh Katadata, Jerry menilai perbankan akan sulit bertumbuh apabila tidak memiliki model bisnis yang unik. Apalagi di era digital, semua layanan pada akhirnya saling berkolaborasi. Salah satu tujuannya adalah mengakomodasi kemunculan generasi baru yang melek digital. Berbeda dengan situasi di 5-10 tahun lalu, saat itu belum ada ekosistem layanan digital seperti Gojek, Tokopedia, dan Traveloka.

Menurut Jerry, kolaborasi tersebut dapat menjadi strategi kunci untuk mengakselerasi pertumbuhan bisnis bank digital. Ia mencontohkan, bank digital di Tiongkok dan Korea Selatan berkiblat pada kolaborasi ekosistem sehingga dapat mengejar pertumbuhan melalui produk dengan spektrum yang lebih luas.

Ini turut menjawab berbagai aksi kemitraan strategis dari berbagai vertikal yang dilakukan Bank Jago sejak 2020. Di sisi lain, model ini menurutnya berbeda dengan bank digital di Eropa dan Amerika Serikat yang fokus pada pengembangan layanan bersifat life centric.

We have to create unique value proposition. Yang kami lakukan adalah mengombinasikan keduanya karena sama-sama punya keunggulan. Bank is no longer the centre of ecosystem, tetapi bagian dari ekosistem. Jika menempatkan diri dengan tepat, kita akan punya peranan strategis karena apapun yang dilakukan konsumen, ujung-ujungnya adalah pembayaran,” ungkap Jerry.

Strategi ini menurutnya berbeda dengan Jenius yang berkiblat pada pengembangan organik. Maka itu, ia menampik anggapan bahwa Bank Jago adalah kelanjutan pengembangan dari Jenius. Anggapan ini kerap terbawa mengingat Jerry sebelumnya merupakan Presiden Direktur BTPN, yang juga merupakan otak di balik pengembangan Jenius.

Jika melihat peta persaingannya, saat ini tampaknya baru Bank Jago yang agresif memperbanyak mitra kolaborasi. Namun, strategi ini juga dapat dilakukan oleh bank-bank lain yang baru bertransformasi digital. Misalnya, Bank Neo Commerce (BNC). Selain masuknya Akulaku sebagai pemegang saham, BNC juga berkolaborasi dengan platform fintech Crowdo untuk pembiayaan UKM.

Tantangan menjadi tech-based bank

Dari sisi teknologi, Bank Jago mengklaim bahwa seluruh infrastruktur layanannya berbasis digital. Bahkan Jerry berani mengklaim sebagai tech-based bank pertama di regional. Untuk menjadi bank digital, Jerry mengaku menggunakan beberapa kriteria dalam pemilihan bank.

Bank Artos (sebelum berganti nama menjadi Bank Jago) dinilai memenuhi kriteria saat itu karena tidak memiliki legacy dan SDM-nya sedikit. Dengan kondisi itu, pihaknya dapat leluasa mengembangkan teknologi dari scratch. Tentu kriteria ini akan patah apabila yang dicaplok adalah bank-bank besar dengan legacy lama. Misalnya, bank yang sudah memiliki ribuan kantor cabang.

“Kami lihat Bank Artos belum memiliki teknologi dan SDM-nya sedikit. Kalau kasusnya saat Covid-19, semua bank bicara digitalisasi. Kami [Bank Artos] tidak ada masalah karena balance sheet-nya kecil. Ini memudahkan kami untuk membuat strategic decision dan Bank Artos memenuhi kriteria yang kami cari,” paparnya.

Ia menilai, kondisi pasca-pandemi nanti dapat membuka mata industri perbankan di Indonesia bahwa selama ini bank terlalu banyak membangun kantor cabang. “Kebutuhan cabang itu tidak perlu. Saya pernah tutup 600 cabang dan itu tidak mudah. Makanya, mengubah teknologi yang sudah ada itu akan lebih sulit,” tambahnya.

Hipotesis di atas menjadi relevan karena dilakukan oleh kompetitor, yakni mencaplok bank BUKU I dan II sebagaimana dilakukan Sea Group, induk usaha Shopee, terhadap Bank Kesejahteraan Ekonomi dan Akulaku terhadap BNC (sebelumnya Bank Yudha Bhakti).

Dengan memilih model bisnis berbasis kolaborasi, Jerry mengungkapkan bahwa tantangannya cukup sulit dalam menyamakan visi. Apalagi, mitra kolaborasinya merupakan platform digital dari berbagai vertikal bisnis yang membawa teknologi atau inovasi masing-masing.

“Bank itu identik dengan proses lambat, birokrasi kuat, dan selalu mengacu pada risk management atau compliance. Sementara, startup itu berinovasi dengan cepat dan seperti tergesa-gesa. Tapi, kami banyak belajar solve problem dan mendapat teknologi baru mereka. Inovasi dan speed tidak harus di expense of ceroboh, we can achieve both. Sejauh ini, kami merasa cukup baik melakukannya di Bank Jago.”

Collaboration of Startup and Digital Bank to Ramp up Innovation and Financial Inclusion

There was a time when corporations saw startups as a challenge. However, as years passed by, this assumption is getting hazier when the two parties are now collaborating with each other, to complete each other out in winning the market.

In the banking sector, a new phenomenon has occurred, that large startups have started to invest and become majority shareholders in banks that have just transformed into digital banks. For example, Akulaku joined Bank Neo Commerce (BNC), then Gojek invested in Bank Jago, and Sea Group, Shopee’s holding company, which reportedly entered the Bank Kesejahteraan Ekonomi (BKE).

Currently, Akulaku, through PT Akulaku Silvrr Indonesia, is trying to extend ownership in BNC through the rights issue scheme. Therefore, Akulaku’s ownership is to increase from 24.98% to 27.25%. Akulaku has been a shareholder of BNC since 2019.

Moreover, in mid-December 2020, Gojek Group through its subsidiary GoPay (PT Dompet Anak Karya Bangsa) has invested into Bank Jago in the form of  22% equity at the end of 2020.

Meanwhile, there has not been any confirmation regarding the involvement of Sea Group in BKE. However, there is already strong evidence based on information from the recruitment website which says there is a new placement at “Sea Money-Bank BKE”.

Overseas, the dynamics of digital banks are escalated quickly. For instance, the Monetary Authority of Singapore (MAS) has issued digital bank operating licenses to four corporate groups. The four companies receiving these licenses are (1) Ant Group, a subsidiary of Alibaba Group, (2) the Grab-Singapore Telecommunication Limited (Singtel) consortium, (3) the parent Sea Group of Shopee, and (4) a consortium consisting of companies from China, including Greenland Financial Holdings.

Thus, what is the meaning of this synergy between startups and digital banks? How can the synergy between the two be mutually beneficial without breaking the existing rules? The banking sector is a highly regulated sector with high-risk management when it comes to product and service development.

Strong capital and innovation development

Although the terminology for digital banking and the supporting regulations is still unclear, the sign for digital banks has occurred when BTPN launched Jenius. This step was followed by DBS through Digibank. It’s just that Jenius and Digibank are not quite legitimate as digital banks as their business processes are still under the owner’s company.

Therefore, digital banks such as Bank Jago and BNC are experiencing a massive transformation by changing faces and new branding in order to strengthen their position as a digital bank. Bank Jago is a new identity (previously Bank Artos), while BNC was previously named Bank Yudha Bhakti (BYB).

Bank Jago changed the name in June 2020 following its acquisition by a group of investors led by Jerry Ng and Patrick Waluyo through PT Metamorfosis Indonesia (MEI) and Wealth Track Technology (WTT). Jerry Ng is the former President Director of BTPN for a decade and also the person behind the development of Jenius, while Patrick Waluyo is the Co-Founder of Northstar Group, one of the former BTPN owners.

Next, Akulaku became a shareholder in BNC for the first time in March 2019 with 8.9% ownership of the current controlling shareholder, PT Gozco Capital. This fintech platform continues to increase its share ownership to become the controlling shareholder.

In previous reports, Bank Yudha Bhakti’s President Director, Tjandra Gunawan emphasized that his team is transferring the entire work process and business model from a conventional bank to digital, including the existence of branch offices with limited numbers.

In developing internal human resources, BNC recruited many talents in the technology sector, assisted by the collaboration of two giant technology companies, namely Huawei and Sunline.

In recent contact with DailySocial, Gunawan highlighted that BNC is trying to come up with a different positioning through its collaboration with Akulaku. It will target the retail and MSME segments through a number of digital banking products.

“Akulaku as one of the shareholders in BNC is a fintech company that focuses on e-commerce, B2B financing, and other digital financings, therefore, BNC and Akulaku is to combine market segments in the future,” said Tjandra.

Meanwhile, it is still unclear why Sea Group entered through BKE. If it is true, it is possible that BKE will have the same fate as the two banks mentioned above, coming with a new identity. It seems difficult to move forward without a new identity for legacy companies looking to undertake a major transformation.

Product development and integration to the ecosystem

The involvement of Gojek, Akulaku, and Shopee (Sea Group) has the same common thread, namely efforts to integrate innovation into a digital service ecosystem for people who are yet to be exposed to banking services.

Banks are a business of trust, while digital platforms have the strength in technological innovation. In this case, banks can push financial services into a broader platform services ecosystem with a large customer base.

Gojek already has an A to Z service ecosystem. Likewise, Shopee, according to iPrice data, is the e-commerce with the largest monthly visitors in Indonesia in the first quarter of 2020. Meanwhile, Akulaku is targeting a comprehensive financial ecosystem, from marketplaces, P2P lending, to financing.

Quoting KrAsia, Akulaku’s CEO, William Li said that the potential of digital banking in Southeast Asia is enormous. “There are 400 million workers, but only 5% -10% are using digital banking services. That means, we have 300 million potential customers,” Li said. He thought, if Akulaku can work on around 5% -10% of the market share, the company could potentially reap greater achievements.

In terms of technology, Tjandra also said that his team would optimize technology development and digitization of the loan origination system and online financing related to granting approval and lending. In the future, this coordination and integration can become a pilot ecosystem that can be replicated to other marketplaces.

In addition, BNC will develop open banking in the payment system through the formulation of Open API Standards, therefore, the transaction and identification process will be more seamless. “This is a piloting project of the digital product on Akulaku platform as well as the use of the BNC Virtual Account to make it easier for customers to make payments,” Gunawan added.

Platform Category Service Ecosystem User/Visitor
Gojek Ride-hailing
  • Food Delivery & Shopping

(GoFood, GoShop, GoMart, GoMall

  • News and Entertainment

(GoTix, GoPlay, GoGames)

  • Payments

(GoPay, GoInvestasi, GoPulsa)

  • Transport & Logistics

(GoCar, GoRide, GoSend, GoBox)

29,2 million (Nov 2019)
Shopee E-commerce
  • Shopping

(Shopee Mall, Shopee Mart)

  • Payments

(Shopee Pay, Shopee PayLate)

  • Logistics

 (Dikelola Shopee)

71,5 million (Q1 2020)
Akulaku Fintech
  • Marketplace
  • P2P Lending
  • Multifinance
6 million (2020)

Meanwhile, Gojek’s Chief Corporate Affairs, Nila Marita revealed that Gojek and Bank Jago are currently preparing a synergy for digital banking services. This is in line with the company’s efforts to increase financial inclusion at all levels of society.

Based on reports from Google, Temasek, and Bain & Company, as many as 52% or around 95 million adults in Indonesia do not have bank accounts and more than 47 million adults do not have adequate access to credit, investment, and insurance. On the other hand, smartphone penetration in Indonesia has reached up to 70% -80%. This indicates that the Indonesian people are ready to accept digital banking services.

“The number is quite large of people who do not have a bank account in Indonesia. Therefore, Gojek and Bank Jago will provide digital banking services on the Gojek platform to facilitate access to financial services,” she told DailySocial.

Referring to this, collaboration between startups and digital banks can encourage penetration of financial inclusion. One use case is that the digital platform can be a front-end channel for opening an online account. This is what Gojek and Bank Jago are currently preparing as their initial synergy plan. A number of banks in Indonesia have implemented a similar concept, such as opening a BRI online account on the Grab platform.

By utilizing the platform as an entry point, the public can be exposed to the integrated platform service ecosystem. Bank Jago can take advantage of the Gojek service ecosystem to increase its service penetration, as well as BNC-Akulaku and Sea Group-BKE. This means that the government’s efforts to encourage financial inclusion at all levels of society can be realized more quickly.

The next step is technology transfer. This is an expensive price to pay to leverage the technological innovations that have been built by Gojek, Shopee, and Akulaku. It will be free to develop innovations than to work together without investment commitments.

However, considering the current regulations have not accommodated digital banks, financial innovation players are still waiting and wondering about the limitations and potentials for future business development.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian