Neurosensum Soroti Meningkatnya Popularitas Penggunaan ShopeePay

Neurosensum merilis laporan terbaru terkait adopsi uang elektronik selama periode November 2020 hingga Januari 2021. Laporan ini diikuti oleh 1.000 responden dengan rentang usia 19-45 tahun dan kelas ekonomi ABC di delapan kota (Jabodetabek, Jawa non-Jabodetabek, dan luar Pulau Jawa).

Managing Director Neurosensum Indonesia Mahesh Agarwal mengatakan, pandemi Covid-19 telah membawa dampak luar biasa terhadap adopsi uang elektronik di Indonesia dalam setahun terakhir. Ia mengungkap, adopsi uang elektronik hanya 2% (lebih dari 5 tahun lalu), lalu meningkat menjadi 10% (3-5 tahun yang lalu), dan naik signifikan menjadi 45% (1-3 tahun lalu).

“Menariknya, pandemi mendongkrak adopsi dompet digital hingga 44% dalam kurun waktu kurang dari setahun. New adopter berkontribusi besar terhadap penggunaan e-wallet selama pandemi,” ungkap Agarwal.

Selain itu, dampak luar biasa juga terlihat pada aktivitas belanja online ketika uang elektronik menjadi opsi pembayaran terbanyak digunakan (88%), diikuti transfer bank (72%), dan Cash on Delivery (47%) selama pandemi.

Lebih lanjut disoroti bahwa ShopeePay, yang baru hadir belakangan, mulai menggeser dominasi sejumlah pemain existing.

ShopeePay kuasai pasar tiga bulan terakhir

Berdasarkan survei, ShopeePay tercatat menguasai pangsa pasar uang elektronik selama periode November 2020-Januari 2021 dengan persentase sebesar 68%. Posisi kedua dan selanjutnya diikuti OVO (62%), DANA (53%), GoPay (54%), dan LinkAja (23%). Dalam temuan ini, responden tercatat menggunakan multiple e-wallet untuk kebutuhan berbeda.

Dari sisi frekuensi penggunaan, ShopeePay juga berada di posisi teratas dengan total gabungan transaksi sebanyak 14,4 kali per bulan atau 9 kali (online) dan 5,4 kali (offline). OVO menyusul di posisi kedua dengan total 13,5 kali penggunaan per bulan atau 8,1 kali (online) dan 5,4 kali (offline). Di urutan ketiga, GoPay dengan total 13,1 kali per bulan atau 8 kali (online) dan 5,1 kali (offline).

ShopeePay juga mendominasi transaksi di sejumlah kategori produk/jasa, antara lain make up (60%), skincare (58%), personal care (50%), dan perlengkapan rumah tangga (47%). Sementara, OVO unggul pada transaksi untuk kategori pembayaran tagihan (25%) dan elektronik (20%).

Category Make up Skincare Sports &

Outdoor

Household

Equipment

Bill Payment Electronics Personal

Care

ShopeePay 60% 58% 32% 47% 23% 37% 50%
OVO 13% 17% 18% 17% 25% 20% 16%
DANA 10% 9% 13% 13% 23% 14% 11%
GoPay 6% 6% 8% 7% 13% 7% 9%
LinkAJa 2% 3% 2% 3% 9% 4% 3%
Don’t buy the product 9% 8% 27% 13% 7% 19% 11%

Sumber: Neurosensum Indonesia / Diolah kembali oleh DailySocial

Responden juga menilai ShopeePay paling mudah digunakan berbelanja online dengan persentase 54% dengan posisi kedua diisi oleh OVO (20%). Uniknya, DANA berada di posisi ketiga (14%), di atas GoPay (9%) dan Link Aja (4%).

Research Manager Neurosensum Indonesia Tika Widyaningtyas menilai ada sejumlah faktor yang mendorong posisi ShopeePay saat ini. Menurutnya, ShopeePay sangat digemari karena kemudahannya untuk bertransaksi online. Jika dibandingkan pemain lain, ShopeePay sudah terintegrasi di Shopee. Artinya, pengguna tidak perlu bolak-balik mengganti aplikasi

“Shopee gencar menawarkan banyak promosi ShopeePay. Kami sadar semua pemain dompet digital juga melakukan hal yang sama, tetapi promosi ShopeePay lebih banyak terserap konsumen. Tidak cuma banyak, tetapi persyaratan pada promosinya juga tidak terlalu sulit. Misalnya, transaksi minimal masih terjangkau konsumen,” ujar Tika.

Hal ini juga terlihat dari temuan survei di mana ShopeePay unggul dengan persentase 41% sebagai uang elektronik yang memberikan promosi offline dan online serta persyaratan promosi yang memuaskan. Peringkat selanjutnya adalah OVO (25%), GoPay (16%), DANA (14%), dan LinkAja (4%).

LinkAja Perluas Produk Finansial, Kini Hadirkan Layanan dari Pegadaian

Layanan uang elektronik dan dompet digital milik pemerintah LinkAja meresmikan kerja sama dengan Pegadaian untuk memberikan kemudahan akses layanan finansial buat konsumen yang berada di kota lapis dua dan tiga. Baik Pegadaian dan LinkAja sama-sama memiliki kehadiran yang kuat di lokasi tersebut.

Pada tahap awal, layanan finansial dari Pegadaian seperti Tabungan Emas hadir di aplikasi LinkAja untuk pembukaan baru dan top up saldo, Cicilan Mikro seperti pinjaman bermotor dan multiguna, Tabus Gadai, dan Ulang Gadai.

“Kami berusaha tetap terkini dan relevan dengan kebutuhan nasabah yang tren menggunakan aplikasinya sangat besar,” ucap Direktur TI dan Digital Pegadaian Teguh Wahyono dalam konferensi pers virtual, Rabu (24/2).

Diharapkan kehadiran layanan Pegadaian di LinkAja dapat mendongkrak transaksi digital di Pegadaian. Teguh menyebut pada tahun lalu sektor ini mencatatkan ada lebih dari 20 juta transaksi digital atau tumbuh lebih 30% dikontribusikan dari aplikasi Pegadaian Digital dan layanan Tabungan Emas di berbagai rekanan platform e-commerce dan dompet elektronik.

Sumber: LinkAja
Sumber: LinkAja

Direktur Marketing LinkAja Edward Killian menambahkan, dalam membangun inklusi finansial di kota lapis dua dan tiga tidak hanya membutuhkan solusi pembayaran saja seperti yang dimiliki LinkAja saja saat ini, tapi harus masuk ke fase berikutnya yakni memperkenalkan produk-produk finansial yang kredibel.

Oleh karenanya, Pegadaian yang sekaligus salah satu pemegang saham di LinkAja, terus melakukan sinergi bisnis agar semakin banyak orang yang mendapat akses tersebut.

Sebelum diresmikan ke publik, sambungnya, diklaim layanan Pegadaian mampu menarik respons positif dari pengguna LinkAja. Edward yang lebih sering disapa dengan Kiki ini menyebutkan pembayaran cicilan nilainya mencapai miliaran Rupiah sementara pembukaan tabungan per minggunya tumbuh berkali-kali lipat.

“Tabungan emas dengan setoran awal Rp10 ribu dan top up mulai dari Rp5 ribu dari Pegadaian ini relevan untuk kebutuhan pengguna yang berasal dari kelas menengah lapis dua dan tiga. Mereka cukup menggunakan saldo LinkAja untuk melakukan transaksi tersebut,” kata Kiki.

Perluasan produk finansial di LinkAja

Tak hanya Pegadaian, LinkAja bersama jajaran pemegang sahamnya turut aktif mengembangkan berbagai layanan produk finansial di dalam aplikasi. Salah satu contohnya bersama Bank Mandiri menyediakan fitur Rekening Online, memungkinkan pembukaan rekening baru, aktivasi kartu debit, atau aktivasi Mandiri Online.

Bila ditotal, hingga akhir Januari 2021, LinkAja telah memiliki lebih dari 65 juta pengguna terdaftar yang 70% di antaranya datang dari kota lapis dua dan tiga. Selain itu, aplikasi digunakan di lebih dari 1 juta merchant lokal dan lebih dari 349 ribu merchant nasional di seluruh Indonesia, 233 moda transportasi, 674 pasar tradisional, lebih dari 42 ribu mitra donasi digital, 5 ribu online marketplace.

Berikutnya, menyediakan pembayaran pembayaran dan pembelian kebutuhan sehari hari seperti pulsa telekomunikasi, token listrik, tagihan rumah tangga, iuran BPJS, hingga berbagai layanan keuangan lainnya seperti pembelian produk reksa dana, pembelian produk asuransi mikro, transfer ke semua rekening bank dan tarik tunai tanpa kartu.

Selain itu, LinkAja juga dapat digunakan di lebih dari satu juta titik transaksi untuk pengisian dan penarikan saldo, yang meliputi ATM, transfer perbankan, jaringan ritel, hingga layanan keuangan digital.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Perluas Ekosistem Bersama Pemegang Saham, LinkAja Berambisi Teruskan Capaian Positif

LinkAja akan terus memainkan perannya sebagai metode pembayaran untuk sektor esensial di Indonesia, dengan memanfaatkan ekosistem yang sudah dan akan dibangun bersama para pemegang sahamnya. Harapannya, perusahaan dapat mempertahankan capaian positif yang berhasil ditorehkan pada tahun lalu.

Dalam keterangan resmi, diungkapkan LinkAja berhasil mendongkrak angka pengguna hingga lebih dari 61 juta orang atau tumbuh 65% yoy, sebanyak 73% di antaranya adalah pengguna yang berada di area lapis dua dan tiga. Capaian ini juga terefleksi pada peningkatan transaksi dan volume hingga lebih dari empat kali.

Revenue LinkAja secara yoy meningkat lebih dari 250%. Hal ini dipengaruhi oleh peningkatan jumlah merchant lokal menjadi lebih dari 900 ribu atau tumbuh lima kali lipat, dan lebih dari 315 merchant nasional atau tumbuh dua kali lipat.

“Kami sangat berterima kasih terhadap kepercayaan para pengguna dan juta mitra yang percaya terhadap kinerja LinkAja. Pandemi dan berbagai tantangan lainnya tidak akan menyurutkan upaya LinkAja dalam memberikan kemudahan akses keuangan dan ekonomi digital yang merata kepada seluruh masyarakat Indonesia,” kata Direktur Utama LinkAja Haryati Lawidjaja dalam keterangan resmi, kemarin (13/1).

Ia juga menuturkan capaian perusahaan lainnya, di antaranya sebagai alat pembayaran digital terlengkap untuk layanan transportasi publik dan online di 230 moda transportasi, 5500 SPBU Pertamina, lebih dari 32 ribu partner donasi digital, dan lebih dari 5 ribu e-commerce, pembayaran dan pembelian kebutuhan sehari-hari seperti pulsa, token listrik, BPJS, dan layanan keuangan lainnya, yakni transfer ke semua rekening bank dan tarik tunai tanpa kartu.

“LinkAja dapat digunakan di lebih dari 1 juta titik transaksi untuk pengisian dan penarikan saldo, yang meliputi ATM, transfer perbankan, jaringan ritel, hingga layanan keuangan digital.”

Secara terpisah, saat dihubungi DailySocial, Direkur Marketing LinkAja Edward Killian Suwignyo menambahkan, LinkAja juga telah memperluas kehadirannya sebagai metode pembayaran di GrabFood, setelah sebelumnya baru bisa digunakan untuk transportasi saja di Grab. Kehadiran tersebut cukup berpengaruh terhadap eksistensi LinkAja, apalagi kini Grab masuk sebagai jajaran pemegang sahamnya.

“LinkAja juga sudah masuk ke layanan keuangan lain seperti pembayaran asuransi, pengembangan paylater, hingga investasi. Semua ekosistem ini juga bisa diakses lewat Layanan Syariah LinkAja yang tersertifikasi DSN MUI,” katanya.

Terkait strategi LinkAja tahun ini, Edward enggan membeberkan lebih jauh. Ia hanya memastikan bahwa perluasan ekosistem menjadi kunci perusahaan dapat menorehkan kinerja positif pada tahun lalu. Oleh karenanya, fokus tersebut akan dilanjutkan pada tahun ini.

Adapun jajaran pemegang saham di LinkAja ada Himbara, Jasa Marga, Telkomsel, Taspen, KAI, Danareksa, Jiwasraya, dan Grab. “Selain itu, peningkatan user experience di dalam aplikasi LinkAja juga menjadi perhatian utama kami, untuk dapat memberikan customer experience yang terbaik. Harapan kami, LinkAja akan menjadi alat pembayaran utama untuk kebutuhan harian masyarakat Indonesia.”

Persaingan platform e-money

Awal tahun ini menjadi momen yang cukup seru di tengah gencarnya manuver raksasa teknologi di Indonesia, mulai dari Grab, Gojek, Tokopedia, dan Shopee. Semuanya sama-sama memiliki platform e-money yang melekat di dalamnya. Posisi LinkAja cukup menarik karena hadir di seluruh platform besar tersebut, kecuali Shopee, untuk perluas akseptasinya sebagai e-money.

Segmen ini berpotensi akan tumbuh lebih kencang pada tahun ini. Menengok dari catatan Statistik Bank Indonesia, dari awal tahun hingga Oktober 2020, terjadi 3,8 juta transaksi dengan uang elektronik atau senilai Rp163,4 triliun. Angka tersebut tumbuh melesat dibandingkan pencapaian di 2019 sebesar 5,2 juta transaksi senilai Rp145 triliun.

Application Information Will Show Up Here

LinkAja Announces 1.4 Trillion Rupiah Series B Funding Led by Grab

E-money platform LinkAja announced the Series B funding worth around $100 million (1.4 trillion Rupiah) led by Grab. Also participated in this round the previous investors, Telkomsel, BRI Ventures, and Mandiri Capital. There is no mention of LinkAja’s current valuation. This funding is the first funding for LinkAja from a company outside the BUMN.

This funding will be fully utilized to accelerate LinkAja‘s growth to become a national financial technology leader that focuses on middle-class consumers and SMEs in Indonesia.

Grab’s strategic investment includes a wide range of synergies and potential collaborations for both parties. This synergy and collaboration in terms of ecosystem access and technology will accelerate financial inclusion for the Indonesian people.

In an official statement, LinkAja President Director Haryati Lawidjaja said that his team is very enthusiastic on Grab’s involvement as a shareholder in the company. He believes this strategic partnership supported by investment and the power of Grab’s technology will strengthen LinkAja’s services in presenting effective solutions to provide financial and economic access for the Indonesian people.

“We are very grateful for the trust and support of all shareholders and the Ministry of BUMN. The Series B investment from Grab, Telkomsel, BRI Ventures, and Mandiri Capital is a form of trust in the business model and initial achievements that LinkAja has achieved in one fell swoop since its establishment,” he said, Tuesday (10/11).

Grab Indonesia’s Managing Director, Neneng Goenadi also said that the company decided to invest in LinkAja because the two companies could accelerate the goal of accelerating financial inclusion in Indonesia.

“The strategic collaboration between LinkAja and our digital ecosystem, including OVO and Tokopedia, allows us to provide a variety of cashless services for all levels of Indonesian society safely, comfortably and easily accessible,” said Neneng.

Previously, in November last year LinkAja was available as a payment option in the Grab application and also its competitor Gojek.

LinkAja achivements in 2020

Haryati continued that the success of raising investment in the midst of this pandemic has proven the investor’s trust in the LinkAja business with many of leading supports.

In terms of shareholders from state-owned boards; a unique business model resulting from strategic partnerships with state-owned enterprises, local, central and private governments, which come from multi-industry; hyperlocal knowledge base and distribution network with extensive coverage in second and third tier cities, plus more than 1 million cash in/cash out receiving points.

“An innovative product with a strong brand that is rapidly developing into an iconic local fintech platform, and a provider of daily necessities with payment methods that can be accepted across thousands of merchants, with a variety of e-commerce, and various means of transportation.”

LinkAja is claimed to be able to increase the gross transaction value (GTV) and the number of transactions in the third quarter of this year by 3 times compared to the same period in the previous year.

It is said that LinkAja now has 58 million registered users, with more than 80% of them coming from second and third tier cities. Last April, the company launched its sharia services and has received a Sharia Conformity certification license from DSN MUI and Bank Indonesia. This Sharia service is claimed to have more than one million users, within its six months operation.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

LinkAja Umumkan Perolehan Pendanaan Seri B 1,4 Triliun Rupiah yang Dipimpin Grab

Platform uang elektronik LinkAja mengumumkan perolehan pendanaan Seri B dengan nilai sekitar $100 juta (1,4 triliun Rupiah) yang dipimpin oleh Grab. Di putaran juga berpartisipasi investor terdahulu, yaitu Telkomsel, BRI Ventures, dan Mandiri Capital. Tidak disebutkan berapa valuasi LinkAja saat ini. Pendanaan ini adalah yang pertama untuk LinkAja dari perusahaan di luar BUMN.

Pendanaan ini sepenuhnya akan dimanfaatkan untuk mengakselerasi pertumbuhan LinkAja menjadi pemimpin teknologi finansial nasional yang berfokus pada konsumen kelas menengah dan UMKM di Indonesia.

Investasi strategis dari Grab meliputi berbagai sinergi dan potensi kolaborasi yang luas bagi kedua belah pihak. Sinergi dan kolaborasi baik dalam hal akses ekosistem maupun teknologi ini akan mempercepat inklusi keuangan bagi masyarakat Indonesia.

Dalam keterangan resmi, Direktur Utama LinkAja Haryati Lawidjaja menuturkan pihaknya antusias atas bergabungnya Grab sebagai salah satu pemegang saham di perusahaan. Ia yakin kerja sama strategis yang didukung oleh investasi dan kekuatan teknologi Grab ini akan memperkuat layanan LinkAja dalam menghadirkan solusi yang efektif untuk memberikan akses keuangan dan ekonomi bagi masyarakat Indonesia.

“Kami juga sangat berterima kasih atas kepercayaan dan dukungan dari seluruh pemegang saham dan Kementerian BUMN. Investasi tahapan Seri B dari Grab, Telkomsel, BRI Ventures, dan Mandiri Capital ini merupakan wujud kepercayaan atas model bisnis dan pencapaian awal yang telah diraih LinkAja dalam satu sejak berdirinya,” ujarnya, Selasa (10/11).

Managing Director of Grab Indonesia Neneng Goenadi menambahkan perusahaan memilih untuk berinvestasi di LinkAja karena secara bersama kedua perusahaan dapat mengakselerasi tujuan dalam mempercepat inklusi finansial di Indonesia.

“Kolaborasi strategis antara LinkAja dan ekosistem digital kami di dalamnya termasuk OVO dan Tokopedia memungkinkan kami untuk menyediakan beragam layanan cashless bagi semua lapisan masyarakat Indonesia dengan aman, nyaman, dan mudah diakses,” kata Neneng.

Sebelumnya, pada November tahun lalu LinkAja telah tersedia sebagai salah satu opsi pembayaran di aplikasi Grab dan juga kompetitornya Gojek.

Capaian LinkAja sepanjang 2020

Haryati melanjutkan keberhasilan penggalangan investasi di tengah pandemi ini merupakan bukti kepercayaan investor terhadap bisnis LinkAja yang ditopang oleh banyak keunggulan.

Dari sisi pemegang saham dari jajaran BUMN; model bisnis unik hasil kemitraan strategis dengan BUMN, pemerintah lokal, pusat, maupun swasta, yang datang dari multi industri; basis pengetahuan hiperlokal dan jaringan distribusi dengan cakupan luas di kota-kota lapis dua dan tiga, ditambah lebih dari 1 juta titik penerimaan cash in/cash out.

“Produk inovatif dengan merek kuat yang dengan cepat berkembang menjadi platform fintech lokal yang ikonik, dan penyedia kebutuhan sehari-hari dengan metode pembayaran yang dapat diterima di ribuan mrechant, dengan beragam e-commerce, dan berbagai alat transportasi.”

LinkAja diklaim mampu meningkatkan nilai transaksi bruto (GTV) dan jumlah transaksi di kuartal tiga tahun ini sebesar 3 kali lipat dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya.

Disebutkan LinkAja kini memiliki 58 juta pengguna terdaftar dengan lebih dari 80% di antaranya berasal dari kota lapis dua dan tiga. Pada April kemarin, perusahaan meresmikan layanan syariah dan telah mendapat izin sertifikasi Kesesuaian Syariah dari DSN MUI dan Bank Indonesia. Layanan Syariah ini diklaim memiliki lebih dari satu juta pengguna, sejak enam bulan diluncurkan.

Application Information Will Show Up Here

Survei Ipsos Soroti Tingkat Kepuasan Pengguna Terhadap Layanan Dompet Digital di E-commerce

ShopeePay, uang elektronik milik Shopee, disebut sebagai e-wallet dengan penetrasi terbesar selama tiga bulan terakhir. Sebuah survei menyebutkan bahwa ShopeePay memiliki pengguna dengan tingkat kepuasan tertinggi.

Survei berjudul “Kepuasan, Persepsi, dan Loyalitas Pengguna Dompet Digital di Indonesia” ini dilakukan oleh Ipsos in Indonesia. Dalam survei ini, Ipsos mengukur beberapa hal mengenai penggunaan dompet elektronik di Indonesia mulai dari penetrasi, frekuensi penggunaan, kepuasan, serta pengalaman pengguna.

Ipsos melakukan survei secara daring sejak 16 Oktober sampai 23 Oktober 2020. Sampel yang mereka gunakan mencapai seribu responden dari seluruh Indonesia dengan batasan menggunakan layanan dompet elektronik dan belanja di e-commerce dalam dua tahun terakhir.

Managing Director Ipsos in Indonesia Soeprapto Tan mengatakan, pihaknya melihat ada peningkatan penggunaan dompet elektronik secara signifikan di Indonesia sejak dua tahun terakhir. Peningkatan itu makin tinggi ketika pandemi Covid-19 melanda sehingga mengharuskan banyak orang beralih ke pembayaran non-tunai agar terhindar dari penularan virus. Ia menyebut setidaknya 44% penduduk Indonesia lebih sering memakai dompet elektronik selama pandemi.

“Berdasarkan hal tersebut, Ipsos in Indonesia berinisiatif untuk mengadakan survei lebih lanjut, untuk mengetahui merek dompet digital apa yang memiliki kepuasan, loyalitas, dan persepsi pengguna yang paling unggul,” jelas Soeprapto.

ShopeePay mendominasi

Survei Ipsos menemukan lima besar layanan e-wallet di Indonesia, yakni GoPay, Ovo, Dana, LinkAja, dan ShopeePay. Meski belum terlalu lama muncul, survei mendapati ShopeePay justru mendominasi di setiap aspek penggunaan dompet elektronik. Associate Project Director Ipsos in Indonesia Indah Tanip menjelaskan, dari aspek kepuasan terhadap merek e-wallet. ShopeePay menempati peringkat satu untuk kepuasan ini dengan skor 82%. Angka itu jauh melebihi pemain lain seperti Ovo (77%), Gopay (71%), Dana (69%), dan LinkAja (67%).

Menurut Indah ada beberapa faktor yang menyebabkan kepuasan pengguna ShopeePay lebih tinggi dari yang lain. Sejumlah faktor itu di antaranya adalah layanan yang mudah digunakan, mudah top up, waktu top up real time, dan banyaknya tawaran promosi saat menggunakannya.

“Terakhir ShopeePay ini selain bisa digunakan di toko online, mulai digunakan di banyak toko offline,” imbuh Indah.

Ipsos juga menyoroti aspek loyalitas pengguna dalam penggunaan dompet elektronik ini. Ipsos mengukur kesetiaan pelanggan ini memakai Net Promotor Score (NPS) guna memahami bagaimana loyalitas pengguna terhadap suatu merek dompet elektronik.

Country Service Line Leader Customer Experience, Channel Performance, and Observer Ipsos in Indonesia Andi Sukma, menjelaskan NPS ini bisa mengukur reaksi pengguna atas penggunaan layanan. Semakin puas dan setia pengguna, semakin besar kemungkinan mereka merekomendasikan produk tersebut ke orang lain. Sebaliknya, jika produk itu tidak memuaskan pengguna dan menimbulkan sentimen negatif, kecil kemungkinan produk itu akan direkomendasikan.

“Bayangkan ini terjadi di seorang yang tergolong influencer,” ucap Andi.

Dalam aspek ini, ShopeePay lagi-lagi unggul dibanding yang lain. Skor NPS ShopeePay berada di angka +42% dari 598 responden, Ovo +34% dari 684 responden, Gopay +28% dari 580 responden. Dana dan LinkAja menyusul di belakang.

“Semua pengguna sebenarnya setia dengan layanannya masing-masing. Akan tetapi ShopeePay punya skor NPS paling setia,” ujar Indah menambahkan.

Berkat pertumbuhan pesat Shopee

Melejitnya kepopuleran ShopeePay tentu saja tak lepas dari performa Shopee sebagai e-commerce. Bertahun-tahun bersaing ketat dengan pemain besar lain seperti Tokopedia dan Bukalapak, Shopee saat ini berhasil mengungguli kompetitornya itu.

Indah menjelaskan bahwa hal itu pula yang berhasil mengangkat ShopeePay dalam waktu singkat. Shopee memperoleh lisensi uang elektronik dari Bank Indonesia di akhir 2018. Layanan itu baru benar-benar optimal berjalan sepanjang tahun lalu.

Menurut Indah Shopee berhasil menggaet banyak pengguna karena bertebarnya harga promo yang hanya bisa digunakan dengan pembayaran ShopeePay. Contoh paling umum adalah gratis ongkir dengan ShopeePay. Selain itu Shopee juga dianggap cukup agresif dalam menggaet merchant offline agar memakai dompet elektronik mereka.

“Hal itu bisa meningkatkan trial rate, dari yang cuma coba-coba lalu malah ketagihan. Itu juga yang membuat mereka menjadi promoter,” terang Indah.

Survei Ipsos ini juga menyimpulkan bahwa ShopeePay adalah merek dompet elektronik dengan penetrasi penggunaan tertinggi selama tiga bulan terakhir dan paling sering digunakan pada Oktober lalu.

Application Information Will Show Up Here

Mengulik Medium Pembayaran: Menuju Babak baru Sektor Fintech di Indonesia

Dua dompet digital besar di Indonesia, Ovo dan Dana, dilaporkan tengah dalam proses finalisasi merger, yang telah berlangsung sejak September 2019 dan mungkin memberi mereka kesempatan untuk bersaing dengan kompetitor utama Ovo, GoPay oleh Gojek.

Konsolidasi ini masuk akal. Mengingat Ovo, yang didukung oleh Lippo Group dan Grab, telah bersaing ketat dengan GoPay. Berbagai laporan menunjukkan bahwa kedua platform ini mendominasi lanskap pembayaran digital Indonesia dalam hal jumlah pengguna, sementara Dana dan LinkAja milik BUMN masing-masing menempati peringkat ketiga dan keempat. Maka, ketika Ovo dan Dana menggabungkan basis pengguna mereka, bisa jadi entitas baru ini akan membentuk pangsa pasar yang jauh lebih besar.

Michael Hijanto, analis riset senior dari perusahaan konsultan M2Insights yang berbasis di Singapura, percaya bahwa melalui merger, Ovo dan Dana dapat mengarahkan sumber daya mereka dan mengembangkan strategi bisnis bersama untuk bersaing dengan GoPay. “Dalam hal pangsa pasar, Ovo adalah e-wallet pilihan Grab dan Tokopedia, dan Dana adalah e-wallet pilihan Lazada dan Bukalapak. Baik Ovo dan Dana memiliki basis konsumen yang signifikan yang tidak mungkin untuk segera beralih ke GoPay atau Shopee Pay,“ katanya kepada KrASIA.

Tentang Ovo

Ovo didirikan pada tahun 2017 oleh konglomerat Indonesia Lippo Group, yang bisnisnya meliputi pengembangan real estat, media dan komunikasi, perawatan kesehatan, dan pendidikan. Sebagai bagian dari Lippo Group, Ovo memiliki keunggulan akses langsung ke bisnis ritel yang berafiliasi dengan Lippo, yang kemudian menghasilkan traksi instan di tahun pertama operasinya. Pada rapor tahun 2018, Ovo mengklaim telah melakukan 1 miliar transaksi.

Ovo tidak pernah blak-blakan mengenai pendanaan. Satu-satunya putaran pendanaan yang dibagikan kepada publik adalah investasi 116 juta dolar AS dari Tokyo Century Corporation pada Desember 2017, ketika investor Jepang mengakuisisi 20% saham. Pada bulan November berikutnya, super-app Asia Tenggara, Grab, dilaporkan berinvestasi di Ovo serta membuka jalan menuju babak baru fintech yang tengah berkembang di Indonesia.

Awalnya, Grab berencana untuk membawa GrabPay ke Indonesia, tetapi mereka gagal mendapatkan lisensi dari bank sentral, Bank Indonesia. Kemitraan antara Ovo dan Grab ini merupakan jalan keluar bagi perusahaan yang berbasis di Singapura ini untuk mengatasi hambatan itu, dengan menunjuk mantan kepala GrabPay, Jason Thompson, sebagai CEO Ovo pada bulan April 2018. Sebelum memulai peran ini, tugas utama Thompson di GrabPay adalah untuk “Mengawasi perkembangan teknologi pembayaran baru dan meningkatkan akses ke layanan pembayaran seluler di seluruh wilayah.”

Berkolaborasi dengan Ovo juga menjadi solusi untuk platform besar lainnya. Ketika TokoCash, e-wallet dari platform e-commerce terbesar di Indonesia Tokopedia, ditangguhkan oleh Bank Indonesia pada tahun 2017, Tokopedia tidak memiliki pilihan selain mencari kemitraan dengan penyedia pembayaran eksternal. Perusahaan ini dilaporkan melakukan investasi yang dirahasiakan di Ovo pada Maret 2019, lalu kedua perusahaan mengumumkan kemitraan resmi beberapa bulan kemudian.

Berhasil menyandang gelar unicorn tahun lalu, Ovo menunjukkan pertumbuhan yang cepat dan perkembangan positif dalam dua tahun beroperasi. Dalam sebuah wawancara dengan KrASIA, CEO Ovo Jason Thompson mengatakan pengguna aktif bulanan perusahaan tumbuh 400% per tahun pada tahun 2019.

Namun, ada tanda-tanda bahwa tidak semuanya berjalan lancar di Ovo. Pada bulan November, pendiri Lippo Group Mochtar Riady mengatakan perusahaannya menjual 70% sahamnya di Ovo karena pengeluaran yang cukup besar.

Bakar uang menjadi strategi yang umum bagi startup teknologi untuk memperoleh sebanyak mungkin pelanggan. Dalam beberapa kasus, hal ini bahkan diperlukan. Namun, jika rapor perusahaan tetap merah, strategi ini bisa menjadi beban berat bagi investor. Tech in Asia melaporkan bahwa Lippo Group menghabiskan USD 50 juta setiap bulan untuk mempertahankan Ovo, meskipun klaim itu kemudian dibantah oleh perusahaan.

Menurut data perusahaan yang diperoleh M2Insights pada bulan Desember 2019, Grab memegang saham terbanyak di Ovo, diikuti oleh Tokopedia, Tokyo Century Corporation, dan kemudian Lippo Group. Sementara itu, Dana didukung oleh unit investasi Alibaba, Ant Financial, dan konglomerat Indonesia Emtek. Ovo dan Dana telah lama berbagi DNA; Alibaba juga berinvestasi di Tokopedia, sementara Grab, Tokopedia, serta Alibaba didukung oleh SoftBank.

Designed by Shermin Shu

Laporan Bloomberg mengatakan syarat dan waktu merger antara Ovo dan Dana mungkin berubah, dan kesepakatan bisa saja gagal. Hal ini adalah konsekuensi dari kerumitan konsolidasi.

”Ovo saat ini memiliki pangsa pasar yang lebih besar daripada Dana di Indonesia, tetapi sulit untuk mengatakan siapa yang akan menjadi pemegang saham mayoritas. Pemegang saham mayoritas yang baru mungkin juga bergantung pada siapa yang akan menginvestasikan lebih banyak uang ke dalam entitas gabungan. Kami percaya bahwa merger antara kedua e-wallet ini tidak akan sederhana,” pungkas Hijanto dari M2Insights.

Karena kedua perusahaan memproses pembayaran untuk raksasa e-commerce negara, merger ini akan berdampak pada mitra mereka. Sementara Ovo memiliki hubungan dekat dengan Tokopedia, Dana adalah e-wallet yang terintegrasi ke dalam sistem Bukalapak dan Lazada, dan sebagian besar nilai transaksi bruto Dana berasal dari dua platform ini.

“Kami tidak tahu apakah Bukalapak dan Lazada akan merasa nyaman bekerja dengan Ovo-Dana yang baru digabung jika pesaing terbesar mereka, Tokopedia, adalah pemegang saham utama dari e-wallet,” kata Hijanto.

Bisnis e-commerce kini telah, dan mungkin akan terus menyumbang, sebagian besar dari ekonomi digital Indonesia. Oleh karena itu, masuk akal untuk berharap bahwa baik Ovo dan Dana ingin mempertahankan kemitraan erat di arena ini.

Babak panjang

Indonesia memiliki populasi lebih dari 270 juta, tetapi lebih dari separuh penduduk negara ini tidak memiliki rekening bank. Sementara itu, ada sekitar 175,4 juta pengguna internet di Indonesia per Januari 2020, yang menunjukkan 64% penetrasi internet, menurut sebuah laporan oleh perusahaan pemasaran media sosial global, We Are Social and Hootsuite. Meskipun orang Indonesia suka menghabiskan waktu online, laporan itu menunjukkan bahwa hanya 3,1% dari populasi negara itu menggunakan dompet digital, yang berarti ada potensi pertumbuhan besar-besaran di segmen ini.

Sumber: laporan Digital in 2020 oleh We Are Social dan Hootsuite

Mudah untuk menyarankan Ovo dan Dana untuk bergabung dan menantang GoPay, tetapi melihat dompet digital yang masih memiliki jejak terbatas di Indonesia, industri ini masih punya banyak ruang untuk pemain baru. Namun, pasar ini cukup sulit untuk ditembus; semua bergantung pada kemitraan yang tepat dan mengembangkan model bisnis berkelanjutan.

Mantan menteri IT Rudiantara mengamini pandangan itu. Dia percaya bahwa merger adalah langkah yang tepat, mengingat bagaimana platform pembayaran fintech perlu memiliki “skala ekonomi” untuk mengimbangi pasar konsumen negara.

“Pesaing [Ovo dan Dana] tidak hanya platform pembayaran lokal, tetapi juga platform pesan singkat dengan adopsi massal seperti WhatsApp yang memiliki basis pengguna yang sangat besar di sini,” katanya kepada KrASIA. WhatsApp telah meluncurkan fitur pembayaran di India dan Brasil. Rumor mengatakan bahwa raksasa teknologi juga akan membawa fitur ke Indonesia segera. “Jumlah pengguna WhatsApp di Indonesia jauh lebih besar dari jumlah pengguna dompet seluler yang digabungkan. WhatsApp Pay bisa menjadi ancaman bagi platform pembayaran digital lokal, terutama karena pengguna WhatsApp dapat memilih untuk membayar menggunakan aplikasi pesan untuk kenyamanan,” tambah Rudiantara.

Tampilan aplikasi Ovo dari website

Untuk berkembang, platform pembayaran harus memberikan layanan yang komprehensif, memberi pelanggan lebih banyak alasan untuk menghabiskan waktu di aplikasi. Itu berarti dompet digital perlu melakukan lebih dari sekadar memfasilitasi transaksi, dan Ovo sepenuhnya menyadari hal itu. Sejak awal 2019, perusahaan telah membawa layanan keuangan tambahan ke aplikasinya.

Pada bulan Maret tahun lalu, platform meluncurkan fitur investasi reksa dana bekerja sama dengan Bareksa, pelopor dalam sektornya di Indonesia. Kemudian, Ovo memperkenalkan fitur paylater di bulan Mei, dijalankan oleh kredit online dan layanan pinjaman Taralite, yang diakuisisi Ovo di awal tahun. Menurut Fintech Report 2019 yang dirilis DailySocial, pay-later adalah produk fintech paling populer ketiga di Indonesia, dan Ovo adalah aplikasi yang paling banyak digunakan untuk layanan pay-later.

Belum lama, Ovo meluncurkan asuransi kecelakaan kematian dan COVID-19 bersama Prudential. Perusahaan akan terus fokus pada pinjaman, investasi elektronik, dan produk asuransi digital tahun ini, CEO Ovo mengatakan dalam sebuah wawancara beberapa waktu lalu.

Sementara itu, Dana baru saja meresmikan kemitraan dengan startup Polri insurtech Pasar Polis untuk menawarkan layanan asuransi mikro melalui e-wallet. Tahun lalu, Dana juga dikabarkan sedang mengerjakan produk paylater bekerja sama dengan Akulaku, walaupun fitur tersebut belum resmi beroperasi. Semua mengacu pada saat Ovo dan Dana akhirnya bergabung, entitas yang baru akan dapat memperluas penawaran mereka dan menyediakan paket beragam produk keuangan. Ini akan memberikan kesempatan yang lebih baik untuk terus maju sebagai dompet digital pilihan dalam jangka panjang.

Seperti Ovo, GoPay juga memiliki daftar mitra dan investor yang tak kalah menjulang, meliputi Google, JD.com, Djarum, Facebook, dan PayPal. Dengan investasi dari Djarum dan JD, GoPay terintegrasi dengan Blibli dan JD.id, yang merupakan platform e-commerce paling populer kelima dan keenam di Indonesia pada kuartal pertama tahun 2020, menurut data yang dikumpulkan oleh iPrice.

Kemitraan dengan Facebook dan PayPal akan memungkinkan Gojek dan GoPay untuk memasuki basis pengguna perusahaan-perusahaan Amerika di Indonesia bersama dengan jaringan pedagang mereka. Namun, para analis meragukan bahwa GoPay akan menjadi mitra eksklusif untuk Facebook di Indonesia, karena jejaring sosial tersebut dilaporkan dalam pembicaraan dengan tiga perusahaan fintech lokal untuk persetujuan pembayaran mobile di negara ini. Reuters melaporkan bahwa perusahaan yang dimaksud adalah GoPay, Ovo, dan LinkAja, meskipun belum ada konfirmasi resmi.

“Memang benar bahwa Gojek telah mendapatkan dana dari Facebook dan PayPal, yang akan menambah amunisi GoPay. Namun, pada dasarnya, sebagian besar dari nilai transaksi bruto Ovo berasal dari Grab dan Tokopedia, yang keduanya tidak mungkin menerima GoPay sebagai opsi pembayaran,” bantah Hijanto.

Pemain lainnya

Ovo, Dana, dan GoPay adalah perusahaan terkemuka pada sektornya, tetapi ada platform lain yang juga mengumpulkan pengikut, seperti LinkAja dan ShopeePay.

LinkAja berafiliasi dengan setidaknya sepuluh perusahaan milik pemerintah, termasuk operator terbesar Telkomsel di negara itu, pemberi pinjaman Bank Mandiri, BRI, BNI, serta perusahaan minyak dan gas Pertamina. Kemitraan ini memberi LinkAja banyak pelanggan potensial.

LinkAja mengklaim memiliki setidaknya 40 juta pengguna terdaftar pada tahun 2019, dan platform ini telah mengembangkan kolaborasi baru dengan berbagai perusahaan. Secara khusus, ini adalah penyedia dompet ponsel besar pertama yang menawarkan layanan yang sesuai dengan syariah. Sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, fintech syariah memiliki daya tarik tersendiri di Indonesia selama dua tahun terakhir, ditandai dengan munculnya pemain baru di segmen ini, seperti pemberi pinjaman P2P Alami Shariah dan Investree. Sejauh ini, hal tersebut menjadi keunggulan tersendiri bagi LinkAja, terutama jika pihaknya mwmutuskan untuk menawarkan pinjaman, fitur paylater, atau produk investasi yang dirancang khusus untuk pengguna Muslim.

Dibandingkan dengan operator besar lainnya, LinkAja memiliki pendekatan asimetris untuk beroperasi di fintech. Alih-alih bersaing secara langsung dengan pemain seperti Ovo dan GoPay, LinkAja telah bernegosiasi untuk menjadi bagian dari kedua ekosistem mereka melalui Grab dan Gojek. November lalu, LinkAja menjadi opsi pembayaran untuk Gojek dan Grab. Dan itu adalah satu-satunya dompet digital yang dapat digunakan di Tokopedia dan Bukalapak.

Aplikasi LinkAja Sharia / LinkAja

Dalam sebuah wawancara dengan KrASIA tahun lalu, CEO LinkAja saat itu Danu Wicaksana mengatakan platform tersebut memiliki target pasar yang biasanya tidak diperhitungkan oleh platform fintech. Tidak hanya menargetkan kelas menengah; namun juga melayani kelompok berpenghasilan menengah ke bawah yang belum menikmati layanan keuangan digital. Perusahaan melakukan ini dengan menghubungkan bank-bank dan perusahaan-perusahaan milik negara. Pengguna LinkAja dapat menarik uang dari ATM BTN, BNI, BRI, dan Mandiri, dan memiliki basis pengguna yang cukup besar di kota-kota tingkat ketiga. Ini juga bekerja dengan transportasi umum dan operator jalan tol. Selain itu, pekerja Indonesia di Singapura dapat mengirimkan uang ke akun LinkAja di negara asal mereka hanya dengan SGD 2,50 dari Singtel Dash. Dengan ceruk pasarnya, akan lebih baik bagi Ovo dan GoPay untuk mempertahankan hubungan dekat dengan LinkAja milik negara daripada bersaing melawannya.

Sementara itu, sebagai pemain yang lebih baru, ShopeePay telah mengejar ketinggalan setelah mendapatkan lisensi BI pada November 2018. Awalnya, layanan ini hanya bisa digunakan pada platform e-commerce Shopee, yang telah berhasil melampaui Tokopedia sebagai platform e-commerce dengan sebagian besar orang Indonesia. pengguna bulanan aktif pada kuartal pertama 2020.

Menurut laporan triwulan Sea Group, Shopee Indonesia mendaftarkan lebih dari 185 juta pesanan dalam tiga bulan pertama tahun ini, atau rata-rata harian lebih dari 2 juta pesanan, dan lebih dari 40% pesanan kotor Shopee di Indonesia dibayar melalui ShopeePay . Itu berarti ShopeePay telah mendapatkan traksi tinggi melalui transaksi e-commerce saja.

Namun, seperti semua platform lainnya, ShopeePay juga bertujuan untuk memperluas rangkaian kasus penggunaan dan kemitraan pihak ketiga secara online dan offline. Hari ini, Anda dapat dengan mudah menemukan spanduk promosi ShopeePay di pusat perbelanjaan di seluruh Jakarta, berdampingan dengan bahan GoPay dan Ovo sendiri. Baru-baru ini juga dipasangkan dengan platform fintech “merchant-centric” yang disebut Youtap. ShopeePay mengatakan Youtap telah melipatgandakan transaksinya dengan memberinya akses ke jaringan mitra dagang yang luas, termasuk McDonalds.

Hijanto dari M2Insights percaya bahwa ShopeePay akan terus tumbuh, terutama dengan QRIS (standar kode QR Indonesia), yang dirancang untuk meningkatkan konektivitas dalam sistem pembayaran dengan menerbitkan kode tunggal ke pedagang untuk semua platform e-wallet. ShopeePay sekarang dapat digunakan untuk membayar pedagang batu bata dan mortir yang sebelumnya hanya menggunakan Ovo atau GoPay. ShopeePay juga memiliki layanan paylater yang telah terdaftar dalam tiga produk paling populer dari jenisnya pada tahun 2019, menurut Fintech Report 2019 dari DailySocial.

Masa depan fintech pembayaran di Indonesia

Pandemi COVID-19 berperan penting dalam mendorong adopsi pembayaran tanpa uang tunai tahun ini. Ovo melihat jumlah pengguna barunya tumbuh 267% setelah PSBB berlaku. Sementara itu, Gojek dan GoPay telah mengamati pertumbuhan dua digit dalam transaksi digital, termasuk untuk fitur pay-later mereka, hanya dalam sebulan setelah dimulainya wabah. Pandemi telah menjadi anugerah tak disengaja bagi startup fintech Indonesia, terutama yang memfasilitasi pembayaran mobile.

Layanan pembayaran Facebook juga dapat mengguncang lanskap bisnis fintech di Indonesia dan menjadi game-changer bagi konsumen Indonesia. Lantaran Facebook memiliki 136 juta pengguna di negara ini, sementara WhatsApp ada di lebih dari 180 juta ponsel, produk pembayaran mereka akan memacu perdagangan sosial dan penetrasi pembayaran digital.

Berbicara kepada media lokal Katadata, CEO BRI Ventures, Nicko Widjaja percaya bahwa ekosistem fintech Indonesia memiliki potensi untuk meniru lanskap pembayaran fintech di China, yang dipimpin oleh dua pemain, WeChat Pay dan Alipay. Perusahaan yang memiliki pangsa pasar yang lebih kecil akan memilih untuk bekerja dengan mitra khusus atau bergabung dengan platform yang lebih besar. Konsolidasi dua pemain kuat adalah cara yang baik untuk memperkuat ekosistem fintech dan mempercepat pertumbuhan inklusi keuangan.

Salah satu contoh yang baik adalah platform mPOS Moka, yang baru saja diakuisisi oleh Gojek. Akuisisi ini mengintegrasikan 40.000 mitra bisnis Moka dan 500.000 pedagang Gojek. Kesepakatan ini diharapkan dapat mempercepat digitalisasi usaha kecil di Indonesia.

Dompet elektronik menghasilkan uang dalam beberapa cara — komisi dari transaksi, biaya dari pedagang dan penyedia layanan, serta biaya pengguna. Tetapi dengan tingkat adopsi yang relatif sederhana, platform dompet ponsel masih berusaha meningkatkan sebelum berfokus pada profitabilitas. Itu berarti merayu pelanggan dengan menawarkan cash back dan promosi lainnya, serta berintegrasi dengan platform e-commerce dan ride-hailing yang paling banyak.

Platform ini juga perlu memastikan pelanggan tetap setia. Mereka melakukan ini dengan membangun kemitraan yang relevan bagi pengguna mereka, atau mengakuisisi perusahaan fintech lainnya secara langsung untuk menambahkan layanan baru seperti pinjaman modal dan kendaraan investasi. Kolaborasi dengan bank konvensional dan perusahaan besar juga sangat penting, terutama di kota dan daerah non-metro.

Bank Indonesia telah mengeluarkan lisensi pembayaran kepada 50 operator e-money pada Mei 2020. Mengingat banyaknya pemegang lisensi e-money dan semakin ketatnya persaingan di antara mereka, kemungkinan kita akan melihat lebih banyak lagi dompet digital yang muncul menjadi penantang.


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial

Haryati Lawidjaja: LinkAja to Focus on Daily Essential Demand

Based on the Shareholder Decree dated April 29, 2020, Haryati Lawidjaja is officially appointed as LinkAja’s President Director (CEO). Since her involvement in June 2019, she previously served as COO and Acting Officer. The current CEO replaces Danu Wicaksono who has sailed to Good Doctor Indonesia.

The task is certainly not easy amid the fierce competition in the digital e-money platform in Indonesia. In her interview with DailySocial, Haryati conveyed his vision and strategy for the company.

“I, along with the best talents of LinkAja, are to focus on encouraging financial and economic inclusion through the development of a digital financial ecosystem that serves the needs of the community & SMEs in Indonesia […] We are optimistic that in 2024 LinkAja as one of the catalysts of the Non-Cash National Movement can help the government achieved 90 percent national financial inclusion,” she said.

Tighten Collaboration

The strategy she brought to strengthen LinkAja’s position is through strategic collaboration with various parties, both banking and non-banking institutions while continuing to pursue product innovation. The collaboration involves various aspects of the national economic chain, including the government.

“We collaborate with local governments through various programs, including digitalization of 451 traditional markets throughout Indonesia, retribution in 34 cities, more than 200 thousand local merchants (UKM) development, and simple payment in 94 local transportation,” Haryati added.

She added, since the launch, the service focused on providing digital financial services for the middle class/aspirants and SMEs. This is what is claimed to distinguish LinkAja with similar platforms.

“LinkAja focuses on meeting people’s essential needs, from e-commerce, communication, travel, health, insurance, investment, donations, entertainment, fuel purchases, bill payments, to various government programs such as social rock distribution and ultra micro credit; to traditional markets,” Haryati explained.

Haryati Lawidjaja to focus on collaboration and education as business strategy / LinkAja
Haryati Lawidjaja: Collaboration and education as the main strategy / LinkAja

Business growth

Public education regarding digital financial platforms is still the homework of every fintech player in Indonesia. LinkAja is quite aware. The existence of cross-sector cooperation is expected to have a significant impact to help companies educate users.

Succesful user education, according to Haryati, has a direct impact on increasing business traction, “This has proven by a 5-fold increase in the number of transactions from operation in February 2019 to the end of 2019. As many as 83% of LinkAja users are spread outside Jakarta, with 40 % of users are outside of Java, such as cities in Sumatra and Sulawesi. ”

“To date, we have more than 45 million users spread all over Indonesia, with a predominance of ages 25-35 years (as of Q1 2020),” Haryati explained.

Previously, in December 2019, LinkAja appointed Ikhsan Ramdan as CFO. One of its focus is to raise Series B in 2020. When we tried to confirm the plan, Haryati was reluctant to comment.

Related to the cooperation plan with Facebook to bring Facebook Pay in Indonesia, he also could not convey the details. As previously known, Facebook Pay is to have maneuver in Indonesia by launching the funds transfer feature through Facebook, Messenger, and WhatsApp platforms. Facebook is said to be in the middle of negotiating with regulators, while GoPay, LinkAja, and Ovo are said to be engaged as strategic partners.

Expansion plan

This year, LinkAja is still focused on the domestic market by continuing to open opportunities for strategic cooperation with regional and global players to expand its products.

“One of the obstacles in the electronic money platform, including LinkAja, is the limited access to financial services, especially for people in remote areas. Therefore, we are currently focused on continuing to educate continuously and provide easy access to electronic payments, especially for the ultra micro-segment and mass market in remote areas. ”

On a regional scale, he continued, LinkAja is the only electronic money in Indonesia that serves remittances from Indonesian Migrant Workers (PMI) in Singapore who want to send money to families in the country.

Recently, the Sharia feature was launched and is expected to be able to acquire 1 million users. The thing that distinguishes this sharia feature from conventional services is the fund deposit institution (floating fund) using sharia bank services.

 

LinkAja sharia is launched in app: in collaboration with sharia financial institution / LinkAja
LinkAja sharia is launched in app: in collaboration with sharia financial institution / LinkAja

Future trends

After this pandemic, Haryati was confident that digital services would be well impacted on user increase. The new normal resulted in changes in people’s behavior which in turn accelerated digitalization in various industrial sectors. Thus, this will expand and accelerate the need for digital financial education and access to digital finance in the community.

“For example the digitalization of traditional markets, which is a challenge for LinkAja to continue to innovate products, as well as education as soon as possible so that they can adapt and provide meaningful solutions to these new normal conditions.”

Haryati also said that people will be increasingly accustomed to digital transactions. With the inclusion level and also the increasing public financial literacy, the need for various transactions will increase. “We are optimistic that LinkAja, which is majorly-owned by SOEs, is operated by the best national workforce, and infrastructure located in Indonesia will soon become a national champion in the field of digital financial services.”

“By delivering the best talents in the digital industry, we will continue to improve the quality of services, innovate to build and develop services and ecosystems that are relevant to the Indonesian people. Increasing the relevance of LinkAja, especially the middle class/aspirants, mass and ultra micro,” she concluded.

Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Haryati Lawidjaja: LinkAja Fokus pada Pemenuhan Kebutuhan Esensial

Berdasarkan Surat Keputusan Pemegang Saham tertanggal 29 April 2020, Haryati Lawidjaja resmi ditunjuk sebagai Direktur Utama (CEO) LinkAja. Bergabung sejak Juni 2019, ia sebelumnya menjabat sebagai COO dan Plt. CEO menggantikan Danu Wicaksono yang kini berlabuh di Good Doctor Indonesia.

Tugas ini tentu tidak mudah di tengah persaingan ketat platform digital e-money di Indonesia. Dalam wawancaranya dengan DailySocial, Haryati menyampaikan visi dan strateginya untuk perusahaan.

“Saya bersama talenta terbaik LinkAja fokus untuk mendorong inklusi keuangan dan ekonomi melalui pembangunan ekosistem keuangan digital yang melayani kebutuhan masyarakat & UKM di Indonesia […] Kami optimistis di tahun 2024 LinkAja sebagai salah satu katalis Gerakan Nasional Non-Tunai dapat turut serta membantu pemerintah mencapai inklusi keuangan nasional sebesar 90 persen,” ujarnya.

Kuatkan kolaborasi

Strategi yang digalakkannya untuk memperkuat posisi adalah melalui kerja sama strategis dengan berbagai pihak, baik dengan lembaga perbankan maupun non-perbankan, dengan tetap terus mengupayakan inovasi produk. Kerja sama yang dijalin melibatkan berbagai aspek dalam roda perekonomian nasional, termasuk pemerintahan.

“Kami berkolaborasi dengan pemerintah daerah melalui berbagai program, di antaranya digitalisasi 451 pasar tradisional di seluruh Indonesia, layanan retribusi di 34 kota, pengembangan lebih dari 200 ribu merchant lokal (UKM), hingga kemudahan pembayaran di 94 transportasi lokal,” imbuh Haryati.

Ia menambahkan, sejak awal diluncurkan layanannya fokus pada penyediaan layanan keuangan digital untuk kelas menengah/aspiran dan para pelaku UKM. Inilah yang diklaim membedakan LinkAja dengan platform sejenis.

“LinkAja fokus pada pemenuhan kebutuhan esensial masyarakat, mulai e-commerce, komunikasi, perjalanan, kesehatan, asuransi, investasi, donasi, hiburan, pembelian BBM, pembayaran tagihan, hingga berbagai program pemerintah seperti penyaluran batuan sosial dan kredit ultra mikro; hingga pasar tradisional,” terang Haryati.

Haryati Lawidjaja masih fokuskan kolaborasi dan edukasi pengguna jadi strategi bisnisnya / LinkAja
Haryati Lawidjaja: kolaborasi dan edukasi pengguna jadi strategi utama / LinkAja

Perkembangan bisnis

Edukasi masyarakat terkait platform keuangan digital masih menjadi pekerjaan rumah setiap pemain fintech di Indonesia. Hal yang sama dirasakan LinkAja. Adanya kerja sama lintas sektor diharapkan dapat memberikan dampak signifikan untuk membantu perusahaan dalam mengedukasi pengguna.

Keberhasilan edukasi pengguna ini, menurut Haryati, berdampak langsung pada peningkatan traksi bisnis, “Hal ini terbukti dengan meningkatnya jumlah transaksi sebanyak 5 kali lipat sejak beroperasi pada bulan Februari 2019 hingga akhir tahun 2019. Sebanyak 83% pengguna LinkAja tersebar di luar Jakarta, dengan 40% pengguna di antaranya berada di luar pulau Jawa seperti kota-kota di Sumatra dan Sulawesi.”

“Saat ini, kami telah memiliki lebih dari 45 juta pengguna yang tersebar di seluruh Indonesia, dengan dominasi usia berusia 25 – 35 tahun (per Q1 2020),” terang Haryati.

Sebelumnya, pada Desember 2019 lalu, LinkAja menunjuk Ikhsan Ramdan sebagai CFO. Salah satu fokusnya untuk melakukan fundraising Seri B di tahun 2020. Ketika kami menanyakan perkembangan rencana tersebut, Haryati enggan memberikan komentar.

Kemudian terkait rencana kerja samanya dengan Facebook untuk membawa Facebook Pay di Indonesia, ia juga belum bisa menyampaikan detail. Seperti diketahui sebelumnya, Facebook Pay ingin bermanuver di Indonesia dengan menghadirkan fitur kirim dana melalui platform Facebook, Messenger, hingga WhatsApp. Pihak Facebook disebut tengah bernegosiasi dengan regulator, sedangkan GoPay, LinkAja, dan Ovo disebut digandeng jadi mitra strategis.

Rencana ekspansi

Untuk tahun ini, LinkAja masih fokus pada pasar domestik dengan tetap membuka kesempatan kerja sama strategis dengan pemain regional dan global untuk mengekspansikan produknya.

“Salah satu kendala platform uang elektronik, termasuk LinkAja, adalah akses terhadap layanan keuangan yang masih terbatas, terutama bagi masyarakat yang berada di daerah dan pelosok. Untuk itu, saat ini kami fokus untuk terus melakukan edukasi berkesinambungan dan menyediakan kemudahan akses terhadap pembayaran elektronik, terutama untuk segmen ultra mikro dan mass market di pelosok.”

Di skala regional, sambungnya, LinkAja merupakan satu-satunya uang elektronik di Indonesia yang melayani remitansi dari Pekerja Migran Indonesia (PMI) di Singapura yang ingin mengirimkan uang ke keluarga di tanah air.

Belum lama ini, fitur Syariah juga diresmikan perusahaan dan diharapkan bisa merangkul 1 juta pengguna.Hal yang membedakan fitur syariah ini dengan layanan konvensional adalah institusi penyimpanan dana (floating fund) memakai jasa bank syariah.

LinkAja syariah sudah digulirkan di aplikasi; jalin kerja sama dengan institusi keuangan syariah / LinkAja
LinkAja syariah sudah digulirkan di aplikasi; jalin kerja sama dengan institusi keuangan syariah / LinkAja

Tren ke depan

Pasca pandemi ini, Haryati cukup percaya diri bahwa layanan digital akan terdampak baik pada peningkatan penggunaan layanan. Kondisi new normal mengakibatkan perubahan perilaku masyarakat yang pada akhirnya mempercepat digitalisasi di berbagai sektor industri. Dengan demikian, hal ini akan memperluas dan mempercepat kebutuhan edukasi keuangan digital dan akses keuangan digital di tengah masyarakat.

“Contohnya digitalisasi pasar tradisional, yang menjadi tantangan bagi LinkAja untuk terus melakukan inovasi produk, maupun edukasi secepat mungkin agar bisa beradaptasi dan memberi solusi berarti pada kondisi new normal ini.”

Haryati juga menyampaikan, masyarakat akan semakin terbiasa dengan transaksi digital. Dengan tingkat inklusi dan juga literasi keuangan masyarakat yang makin meningkat, kebutuhan terhadap beragam transaksi akan meningkat. “Kami optimistis bahwa LinkAja, yang dimiliki secara mayoritas oleh BUMN, dioperasikan oleh tenaga kerja nasional terbaik, serta infrastruktur yang berlokasi di Indonesia akan segera menjadi national champion di bidang layanan keuangan digital.”

“Dengan melahirkan talenta-talenta terbaik di industri digital, kami akan terus meningkatkan  kualitas pelayanan, berinovasi untuk membangun dan mengembangkan layanan dan ekosistem yang relevan bagi masyarakat Indonesia. Meningkatkan relevansi LinkAja terhadap masyarakat Indonesia terutama kalangan menengah/aspirant, massal dan ultra mikro,” tutupnya.

Application Information Will Show Up Here

Menimbang Rencana Kolaborasi Facebook dan Pemain Fintech Lokal untuk Sistem Pembayaran

Berdasarkan data yang dirangkum oleh WeAreSocial per awal tahun 2020 ini, Indonesia memiliki sekitar 160 juta pengguna media sosial aktif. Sebanyak 84% dari total tersebut menggunakan WhatsApp, 82% menggunakan Facebook, 79% menggunakan Instagram, dan 50% menggunakan Messenger.

Pada November 2019, Facebook Pay diluncurkan diperkenalkan sebagai layanan pembayaran yang memungkinkan pengguna untuk mengirim dan menerima uang melalui empat aplikasi di atas. Di versi awalnya untuk penggunaan di negara asalnya, pengguna dapat memanfaatkan kartu kredit untuk diintegrasikan ke dalamnya.

Sebenarnya inisiatif ini bukan hal baru, beberapa raksasa digital lain juga meluncurkan inisiatif serupa, misalnya Google Wallet dan Apple Pay. Yang membuat jadi menarik, santer terdengar rumor bahwa layanan pembayaran perusahaan yang diinisiasi Mark Zuckerburg tersebut akan dibawa ke Indonesia. Alih-alih bekerja sama dengan bank untuk transaksi via kartu kredit, mereka menggandeng pemain fintech lokal yang bergerak di bidang pembayaran.

Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran Bank Indonesia Filianingsih Hendarta kepada Reuters mengatakan, tiga pemain fintech lokal telah mulai membincangkan rencana tersebut kepada BI sekaligus memohon persetujuan. Belakangan diketahui, perusahaan yang dirangkul Facebook adalah tiga platform terbesar saat ini, yaitu GoPay, LinkAja, dan Ovo.

Ditegaskan kembali hal ini masih dalam diskusi. Belum ada proses pengajuan resmi yang dilakukan perusahaan tersebut.

Facebook Pay
Layanan Facebook Pay yang diluncurkan pada November 2019 lalu / Facebook

Konsolidasi dengan pemain fintech lebih masuk akal

Pagi ini kami mencoba menghubungi tim Facebook di Indonesia. Mereka masih enggan untuk memberikan keterangan terkait rencana tersebut. Pun demikian dengan pihak fintech lokal.

Namun demikian, menurut sumber lain yang dikutip Reuters, Facebook Inc sedang bersiap untuk mengajukan diri sebagai mobile payment yang beroperasi di Indonesia, bermitra strategis dengan tiga perusahaan fintech di atas.

Berdasarkan data Bank Indonesia, jumlah kartu kredit beredar per Februari 2020 tercatat 17,61 juta. Rasionya masih sangat kecil dibandingkan dengan total penduduk atau bahkan populasi pengguna internet di Indonesia. Sementara penetrasi digital wallet jauh melampaui pertumbuhan pengguna kartu kredit. Ambil contoh pada Desember 2019, LinkAja catatkan lebih dari 40 juta pengguna. Cukup masuk akal jika di Indonesia Facebook lebih memilih pemain fintech ketimbang bank untuk debutnya.

Jika integrasi ini berhasil dilakukan, nantinya pengguna Facebook, Instagram, Messenger, dan WhatsApp bisa berkirim uang menggunakan nominal saldo yang tersimpan di akun GoPay, LinkAja, atau Ovo yang dihubungkan dengan layanan Facebook Pay.

Apa jadi ancaman?

Sebanyak 59% dari total penduduk di Indonesia adalah pengguna media sosial. Jika diakumulasi, pengguna aplikasi dari “keluarga Facebook” akan mendominasi. Jelas ini bukan angka yang kecil untuk sebuah statistik pengguna platform digital – bahkan bisa dibilang yang terbesar, bagaikan sebuah ekosistem tersendiri yang dapat dikembangkan potensi bisnisnya.

Bagi pemain fintech lokal yang menjadi mitra, jelas ini kesempatan baik untuk meningkatkan sebaran pengguna layanan mereka. Facebook sendiri memiliki beberapa layanan bisnis yang berpotensi dapat turut melibatkan sistem pembayaran, misalnya untuk mendukung sistem marketplace, kegiatan donasi, atau pembayaran iklan.