Berkat Smart Reply, Hangouts Chat Jadi Sedikit Berbeda dari Slack

Februari lalu, beredar kabar bahwa Google berniat menghadirkan fitur Smart Reply pada semua produknya yang mendukung fungsi pengiriman pesan. Akurasi kabar itu sudah mulai kelihatan; Google baru saja merilis Smart Reply untuk Hangouts Chat, aplikasi komunikasi timnya yang banyak terinspirasi Slack.

Sekadar mengingatkan, Smart Reply memanfaatkan kecerdasan machine learning untuk mengenali pesan-pesan dalam bahasa Inggris, lalu menyuguhkan tiga respon anjuran yang bisa diberikan. Respon anjurannya ini tentu saja disesuaikan dengan konteks pesan yang ada.

Fitur ini pertama hadir di aplikasi Inbox by Gmail tiga tahun silam. Secara perlahan, Smart Reply kemudian diwariskan ke Gmail, sekaligus berevolusi menjadi fitur lain bernama Smart Compose, yang memungkinkan pengguna untuk menulis email dari awal sampai akhir dengan bantuan anjuran yang serupa.

Hangouts Chat Smart Reply

Kehadiran Smart Reply di Hangouts Chat merupakan langkah evolusi yang masuk akal. Tidak seperti di Gmail, di Hangouts Chat beberapa pesan dari orang yang berbeda sekaligus bisa masuk secara bersamaan, dan Smart Reply semestinya bisa membantu pengguna tidak mangkir dari konteks yang dibicarakan ketika ada beberapa pesan yang perlu dibalas.

Perlu diingat juga, respon anjuran yang disajikan Smart Reply tidak bersifat mutlak. Setelah memilih salah satu dari tiga opsi balasan yang tersedia, pengguna masih bisa mengeditnya atau menambahnya jadi lebih panjang lagi jika perlu.

Sumber: Google.

Mengadopsi Teknologi AI, Machine Learning, dan IoT untuk Bisnis

Tidak bisa dipungkiri teknologi artificial intelligence, IoT, dan machine learning sudah mulai banyak digunakan startup dan perusahaan teknologi secara global. Tidak hanya membantu mempermudah pekerjaan, memangkas waktu, hingga memberikan hasil pekerjaan yang akurat, teknologi-teknologi tersebut juga diprediksi akan menggantikan pekerjaan manusia secara umum dan menghapus pekerjaan yang sebelumnya banyak dilakukan.

Menurut Product Marketing Manager Data & AI Microsoft Indonesia Marsya Juwita Aderizal yang menjadi pembicara dalam sesi #SelasaStartup, kekhawatiran tersebut menjadi tidak relevan dilihat dari banyaknya peluang baru yang bisa dihasilkan dari AI, IoT, dan machine learning. Masing-masing memiliki keunikan tersendiri dan bagaimana kreativitas dari individu untuk bisa mengadopsi perubahan tersebut.

“Intinya kita harus berpikir lebih kreatif, dan bagaimana teknologi tersebut bisa membuka lapangan pekerjaan baru untuk Anda dan orang banyak,” kata Marsya.

IoT, machine learning, dan AI

Salah satu keunggulan teknologi IoT adalah dengan hanya menggunakan data bisa memprediksi sebuah proyek. Dalam hal ini yang berkaitan dengan industri otomotif hingga agrikultur. Untuk yang terakhir, yaitu pertanian, sudah mulai banyak ditinggalkan kalangan muda, karena sifatnya yang masih sangat tradisional dan konvensional.

Dengan teknologi IoT, semua pekerjaan tersebut justru bisa lebih menyenangkan sekaligus memberikan hasil yang lebih akurat. Pertanian, perikanan, dan sektor agrikultur lainnya merupakan salah satu sektor yang bisa bertransformasi menjadi lebih baik mengandalkan teknologi IoT.

Sementara itu jika berbicara tentang machine learning, sektor yang paling banyak diuntungkan adalah perbankan dan fintech. Mulai dari melakukan credit scoring hingga risk analytics, semua bisa lebih mudah dilakukan dengan menerapkan machine learning.

Dulu sebelum teknologi ini hadir, proses credit scoring masih dilakukan secara manual. Kini, dengan menerapkan proses scrawling di media sosial hingga eksistensi pengguna secara online, proses tersebut sudah bisa dilakukan dengan mudah dan cepat. Machine learning juga bisa membantu perbankan, instansi keuangan hingga fintech untuk meminimalisir fraud.

Yang terakhir yaitu AI, paling banyak dimanfaatkan startup dan perusahaan teknologi. Salah satu fitur yang menjadi favorit adalah chatbot. Bukan hanya layanan e-commerce saja yang banyak memanfaatkan chatbot, namun juga jasa, keuangan dan lainnya. Teknologi AI juga bisa dimanfaatkan untuk pengembangan permainan VR dan AR, dibantu dengan Natural Language Processing (NLP).

“Pada akhirnya semua teknologi tersebut bisa diterapkan oleh semua industri, tentunya dengan pendekatan dan kebutuhan yang berbeda. Microsoft sendiri sebagai perusahaan yang sudah besar, masih memanfaatkan teknologi-teknologi tersebut untuk menghasilkan performance yang lebih baik, mengurangi biaya dan otomasi,” kata Marsya.

Dropbox Kini Dapat Mendeteksi Teks yang Terdapat pada Foto Dokumen

Memotret dokumen lalu mengunggahnya ke Dropbox adalah cara termudah untuk mengamankan dokumen-dokumen penting dari risiko rusak atau hilang. Namun ketika foto dokumen yang diunggah sangat banyak, pencarian bakal sulit dilakukan, kecuali kita ingat betul nama file-nya.

Pada kenyataannya, 10 – 20% dari sekitar 20 miliar gambar dan PDF yang tersimpan di server Dropbox adalah foto dokumen. Foto jelas berbeda dari file PDF atau Word yang dapat dicari berdasarkan teks pada kontennya.

Solusinya, menurut Dropbox, adalah menggunakan teknologi OCR alias Optical Character Recognition. Bukankah OCR hanya bisa diterapkan pada file PDF dengan teks yang bersifat embedded, atau dengan memanfaatkan scanner khusus? Ya, tapi Dropbox berhasil memodifikasinya menggunakan machine learning, sehingga bisa diterapkan pada foto.

Alhasil, sistem yang dimiliki Dropbox mampu mendeteksi teks yang terdapat pada sebuah gambar, baik yang formatnya JPEG, PNG, TIFF maupun GIF statis. Dari situ pengguna dapat mencari foto dokumen yang tersimpan di akunnya berdasarkan isi teksnya.

Dropbox automatic image text recogntion

Dropbox memberikan beberapa contoh penggunaan. Saat kesulitan mencari hasil screenshot tiket pesawat misalnya, pengguna hanya perlu mencari dengan kata kunci nama bandara tujuannya, maka file yang tepat bakal langsung ditemukan.

Saat hendak mencari dokumen kontrak yang di-scan oleh rekan kerja beberapa tahun lalu misalnya, pengguna cukup mencantumkan nama vendor-nya sebagai kata kunci. Ya, fitur ini tak hanya berlaku untuk filefile yang baru diunggah pasca pengumuman ini, semuanya sudah di-scan secara otomatis dan aman oleh Dropbox.

Sayang sekali yang bisa menikmatinya bukanlah seluruh pengguna Dropbox, melainkan para pelanggan Dropbox Professional (dalam beberapa bulan ke depan) dan Dropbox Business Advanced serta Enterprise (early access-nya tersedia sekarang). Untuk sekarang, yang bisa dideteksi hanyalah teks dalam bahasa Inggris saja.

Sumber: Dropbox.

Pengembang NLP Bahasa Indonesia Prosa.ai Dapatkan Investasi dari Kaskus

Hari ini (08/10), Kaskus secara resmi mengumumkan investasinya ke Prosa.ai, pengembang platform Natural Language Processors (NLP) untuk Bahasa Indonesia. Tidak disampaikan terkait detail pendanaan yang diberikan. Sejauh ini produk Prosa.ai fokus pada layanan Text & Speech-based Processing Tools yang dibuat kustom sesuai dengan kebutuhan kliennya.

Dalam sambutannya, CEO Kaskus, Edi Taslim menyampaikan bahwa perusahaan melihat Prosa.ai memiliki potensi dan kompetensi yang besar melalui layanannya. Prosa.ai dinilai sebagai perusahaan perangkat lunak pertama yang berhasil menghadirkan NLP komprehensif untuk Bahasa Indonesia. Dalam waktu dekat, Kaskus akan mengaplikasikan layanan Prosa.ai guna menyaring berita hoax maupun negatif di forum, sehingga dapat menghadirkan konten yang lebih positif kepada Kaskuser.

“Kami sangat senang bisa menjadi salah satu partner awal dalam pengembangan Prosa.ai melalui investasi ini. Kami harap investasi ini bisa membantu pengembangan Prosa.ai ke depannya,” ujar Edi.

Prosa.ai diinisiasi pada awal tahun 2018, dipimpin oleh Ayu Purwarianti sebagai NLP Chief Scientist. Produk yang dikembangkan memiliki misi untuk meniru kemampuan manusia dalam menganalisis sebuah teks dan percakapan.

Dalam implementasinya Prosa.ai memiliki dua produk utama. Pertama adalah Prosa Text (nama produk untuk rekognisi teks), menyediakan jasa dalam bentuk API dan juga customized application. Beberapa di antaranya adalah identifikasi berita hoax, hate speech, ekstraksi opini, klasifikasi jenis dokumen, ekstraksi informasi khusus, tools dasar NLP, dan lain-lain.

Sementara Prosa Speech (nama produk untuk rekognisi suara), memungkinkan mesin untuk mengenali ucapan dalam Bahasa Indonesia, mensintesis ucapan, mengenali identitas pengucap, dan mengenali maksud serta emosi dari ucapan. Hal ini memungkinkan mesin untuk menerima masukan dan keluaran dalam bentuk ucapan, seperti pada voice-commands, voice-id biometrics, atau sistem media monitoring.

“Kami sangat senang dan bangga mendapatkan dukungan dari Kaskus untuk semakin mengembangkan layanan Prosa.ai. Dengan memiliki SDM lokal yang kompeten, kami yakin dapat menghadirkan teknologi NLP terdepan yang dapat memberikan solusi terhadap kebutuhan klien dan partner,” sambut CEO Prosa.ai, Teguh Budiarto.

Kebun Indoor dengan Tenaga Kerja Robot Sebagai Solusi Atas Menurunnya Jumlah Pekerja Bidang Agrikultur

Bicara soal pemanfaatan teknologi di industri agrikultur, yang kita ingat mungkin hanya sebatas bertambah banyaknya drone komersial yang dirancang khusus untuk membantu para petani dan pemilik kebun. Namun siapa yang menyangka pembahasan ini sebenarnya bisa berlanjut ke bidang automasi alias tenaga kerja robot.

Visi tersebut tengah diwujudkan oleh sebuah startup asal Amerika bernama Iron Ox. Terus menurunnya jumlah tenaga kerja bidang agrikultur di AS memaksa mereka untuk bereksperimen dengan bidang robotik demi merealisasikan kebun otomatis yang bisa beroperasi sendiri tanpa bantuan tangan manusia.

Meski belum sepenuhnya berhasil, upaya mereka sudah mulai kelihatan hasilnya. Mereka baru saja membuka kebun hidroponik indoor di kota San Carlos. Luas fasilitas itu memang cuma sekitar 750 m², akan tetapi kapasitas produksinya bisa mencapai 26.000 bonggol sayur per tahun, setara kebun outdoor yang luasnya lima kali lebih besar.

Iron Ox automated farm

Dua jenis robot yang diperkerjakan di antaranya adalah robot besar yang bertugas memindah bak demi bak berisi tanaman, serta robot yang bertugas untuk memindah bonggol demi bonggol sayur ke bak yang baru sesuai dengan usia perkembangannya.

Agar robot-robot tersebut bisa saling membantu satu sama lain, dibutuhkan software yang mengatur semuanya. Iron Ox mengembangkannya sendiri dan menjulukinya “The Brain”. Beberapa tugasnya antara lain adalah memonitor kadar nitrogen, suhu, serta lokasi tiap-tiap robot.

Hampir semua pekerjaan di kebun Iron Ox ini ditangani oleh robot. Untuk sekarang, yang belum adalah tahap pembibitan dan pengolahan hasil panen. Ke depannya, Iron Ox berharap tahap-tahap ini juga bisa diautomasi dengan robot.

Iron Ox automated farm

Hasil panen dari kebun Iron Ox juga belum dijual selagi mereka masih bernegosiasi dengan restoran dan pedagang setempat. Puluhan ribu bonggol selada yang dihasilkan untuk sementara baru disimpan di gudang makanan setempat, sekaligus dijadikan santapan di kantin karyawan Iron Ox sendiri.

Apa yang dilakukan Iron Ox ini sejatinya bisa menjadi contoh bahwa tidak selamanya robot atau AI harus menjadi momok buat tenaga kerja manusia. Permintaan akan sayuran terus naik, sedangkan jumlah pekerjanya turun; peran automasi dan robot di sini tidak lain dari membantu mengatasi masalah.

Di samping itu, Iron Ox juga ingin mempersingkat waktu perjalanan sayuran dari kebun ke konsumen, sehingga yang mereka dapat adalah sayuran yang lebih segar. Berhubung yang diperkerjakan adalah robot, Iron Ox pun tidak harus memusingkan masalah standar gaji kawasan perkotaan yang lebih tinggi daripada daerah pinggiran.

Sumber: MIT Technology Review.

Semua Pengguna Android Kini Bisa Nikmati Fitur Penebak Lagu ala Pixel 2

Saat Google memperkenalkan Pixel 2 dan Pixel 2 XL tahun lalu, ada satu fitur sepele yang cukup mencuri perhatian. Namanya Now Playing, dan fungsinya untuk mengenali lagu yang sedang diputar di sekitarnya. Yang istimewa, Now Playing bisa aktif dengan sendirinya dan tidak memerlukan koneksi internet.

Fitur ini dimungkinkan berkat kapabilitas machine learning bawaan perangkat. Meski demikian, ini juga berarti kapabilitas Now Playing cukup terbatas karena tidak dibantu jaringan cloud, sehingga jumlah lagu yang dapat dikenalinya hanya berkisar puluhan ribu saja.

Google pun memutuskan untuk memadukan kebaikan keduanya: kemampuan jaringan cloud menampung database lagu dalam jumlah masif (Sound Search, hingga puluhan juta lagu), dengan kemampuan machine learning mengenali lagu secara cepat dan efisien (Now Playing). Hasilnya sudah bisa dinikmati semua pengguna perangkat Android via Google Assistant, bukan cuma di seri Pixel saja.

Google Sound Search

Jadi ketika ada lagu yang sedang diputar di sekitar, kita hanya perlu mengaktifkan fitur voice search di aplikasi Google Search maupun Google Assistant, lalu pilih rekomendasi pertanyaan “What’s this song?” yang otomatis muncul. Cara lain bisa dengan langsung menanyakan “Hey Google, what’s this song?”, atau dengan menambahkan shortcut Sound Search ke home screen.

Google bilang bahwa hasilnya bakal muncul lebih cepat dari biasanya sekaligus lebih akurat. Itu dikarenakan Google telah memperbesar neural network yang digunakan hingga empat kali lipat, plus menyempurnakan teknik “audio fingerprinting” yang digunakannya. Ke depan, Google berniat menyempurnakan kinerja fitur ini di lokasi yang cukup berisik.

Sumber: VentureBeat dan Google.

Aplikasi HomeCourt Bantu Pebasket Berlatih dengan Memanfaatkan AR dan Machine Learning

Seperti biasa di event peluncuran iPhone baru, Apple mengundang sejumlah developer untuk mendemonstrasikan performa produk barunya melalui aplikasi buatan mereka. Peluncuran iPhone XS, XS Max dan XR kemarin tidak luput dari tradisi ini, dan salah satu yang paling menarik adalah aplikasi bernama HomeCourt.

Dikembangkan oleh NEX Team, HomeCourt pada dasarnya merupakan aplikasi untuk membantu pengguna berlatih basket, spesifiknya teknik shooting. Caranya adalah dengan menganalisis secara mendalam sesi latihan shooting yang direkam menggunakan kamera iPhone – cukup letakkan iPhone di atas tripod, arahkan kameranya ke ring, dan mulai berlatih.

HomeCourt app

Memanfaatkan platform ARKit dan kapabilitas machine learning dari chip Apple A12 yang terdapat pada trio iPhone baru tersebut, HomeCourt mampu mendeteksi pergerakan pemain, pergerakan bola, maupun posisi ring basket secara presisi. Hebatnya, sang pengguna yang tengah dievaluasi performanya sama sekali tidak perlu mengenakan sensor apa-apa di badannya.

Semuanya berlangsung secara real-time. Dari setiap lemparan bola, HomeCourt mampu mengukur sudut lemparan, kecepatan bola, tinggi lompatan, maupun durasi singkat ketika bola lepas dari tangan pemain (release time). Data-data semacam ini jelas sangat sulit dilihat menggunakan mata kepala sendiri, sehingga diyakini dapat membantu pemain mengasah skill-nya, baik secara individu maupun dalam konteks tim didampingi pelatih.

HomeCourt app

HomeCourt sejatinya bisa menjadi bukti besarnya potensi AR dan machine learning di ekosistem smartphone ke depannya. HomeCourt sendiri sempat memperoleh pendanaan sebesar $4 juta pada bulan Juli lalu, dan salah satu investornya merupakan seorang legenda hidup NBA, yakni sang raja assist Steve Nash. Di Amerika Serikat, beberapa tim basket universitas juga sudah memakai HomeCourt dalam program latihannya.

Sumber: GeekWire.

Gandeng Botika, Angkasa Pura II Hadirkan Chatbot Bernama “Tasya”

Sejak awal tahun 2017 startup pengembang chatbot Botika menegaskan keseriusan mereka untuk melayani segmen pasar B2B. Terkini Botika didapuk oleh Angkasa Pura II untuk mengembangkan chatbot official mereka bernama Tasya (Travel Assitance System Angkasa Pura II).

Tasya akan hadir di platform Facebook Messenger Angkasa Pura II, LINE akun @angkasapura2, dan Telegram akun @angksapura2Bot. Selain itu, Tasya juga akan dipasang pada aplikasi mobile resmi bandara, website resmi Angkasa Pura II, dan kiosk yang ada di bandara Soekarno Hatta.

Founder Botika, Ditto Anindita, menceritakan ke depannya Tasya akan terus ditambahkan fitur dan akan hadir di platform yang lebih luas, termasuk WhatsApp.

“Secara berkala Botika akan menambahkan fasilitas-fasilitas baru yang berkaitan dengan layanan langsung bandara, seperti customer service, jadwal penerbangan, dan layanan pihak ketiga seperti tiket pesawat, hotel, tour dan lainnya,” terang Ditto.

Tasya juga menjadi kanal informasi bagi pengguna yang bisa memberikan informasi seperti proses check-in, lokasi tenant, prayer room, free charging spot, informasi keberangkatan dan kedatangan pesawat.

Dari segi fitur dan teknologi, Tasya didukung dengan machine learning dan NLP (Natural Language Processing), sehingga memudahkan pengguna dalam berinteraksi karena mampu mengerti bahasa yang digunakan sehari-hari.  

“Penggunaan machine learning dan NLP membuat chatbot mudah digunakan, juga merupakan salah satu kunci penting karena pengguna bandara berasal dari berbagai latar belakang  yang pastinya tidak semua familiar dengan teknologi,” imbuh Ditto.

Tasya juga dibekali dengan kemampuan untuk meneruskan pembicaraan bila chatbot tidak bisa menjawab pertanyaan dari pengunjung. Sehingga pengunjung bisa tetap mendapatkan informasi yang akurat.

“Khusus untuk customer service, Botika memiliki fasilitas tandem dengan human operator. Bila chatbot tidak bisa menjawab pertanyaan dari pengunjung, maka chatbot akan mengalihkan pembicaraan kepada human operator. Pengunjung tidak akan merasakan perpindahan ini, karena chat mereka akan dijawab langsung melalui channel yang saat itu mereka gunakan,” terang Ditto.

Ambil Kesempatanmu untuk Jadi Data Scientist!

Big data saat ini merupakan bagian tak terpisahkan dari bisnis berbasis teknologi. Apalagi bagi perusahaan-perusahaan besar di bidang perbankan, telekomunikasi, marketplace, dan sebagainya yang memiliki lalu lintas data sangat tinggi. Besarnya jumlah dan ukuran data yang masuk dalam sistem jaringan ini tentu membutuhkan penanganan khusus. Di sinilah dibutuhkannya peran penting para tenaga ahli di bidang data science.

Data scientist sedang marak diperbincangkan sebagai profesi yang menjanjikan dengan besaran penghasilan sangat tinggi. Bahkan, dalam majalah Harvard Business Review edisi Oktober 2012, Thomas H. Davenport dan DJ Patil mengatakan bahwa profesi data scientist merupakan “The Sexiest Job of the 21st Century” alias pekerjaan paling seksi di abad ke-21.

Peran data scientist memang sangat penting. Para data scientist harus mengolah, mengorganisir, serta menganalisis data dalam jumlah dan ukuran yang sangat besar tersebut dengan cermat. Mereka juga perlu memvisualisasikan hasil analisisnya dalam bentuk grafik agar lebih mudah dimengerti.

Lebih dari itu, lewat kesimpulan analisis yang dihasilkan, para data scientist diharapkan dapat memberikan saran terbaik mengenai langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam meningkatkan kinerja dan keuntungan perusahaan.

Gelaran Finhacks 2018 #DataChallenge

Namun dengan kebutuhan yang tinggi tersebut, jumlah data scientist di Indonesia masih belum mencukupi. Hal inilah yang mendorong PT Bank Central Asia Tbk. (BCA) untuk menggelar Finhacks 2018 #DataChallenge, didukung oleh DailySocial.id dan Algoritma dalam penyelenggaraannya.

Gelaran ini sekaligus memperlihatkan komitmen BCA untuk meningkatkan perkembangan data science sekaligus juga pertumbuhan data scientist di Indonesia. Hal tersebut dimungkinkan mengingat Finhacks 2018 #DataChallenge menjadi sebuah ajang kompetisi yang memberikan kesempatan bagi para talenta muda di bidang data science untuk membuktikan diri dengan menciptakan terobosan di bidang machine learning data. Dampak positif lainnya, gelaran ini sekaligus juga mendorong peningkatan kualitas ekosistem data science di Indonesia.

Para peserta Finhacks 2018 #DataChallenge akan ditantang untuk mengembangkan model dari dataset yang diberikan. Model tersebut harus mampu memberikan solusi inovatif bagi tiga permasalahan dunia perbankan yang diangkat, yaitu Credit Scoring, Fraud Detection, dan ATM Cash Optimization. Semua tantangan dapat diikuti dan dikerjakan secara online lewat website resmi https://finhacks.id/.

Raih Hadiah Senilai Total Rp 480 Juta

Penyelenggara akan memilih 15 finalis dengan model terbaik yang akan mempresentasikan hasil karyanya dalam babak Demo Day di Jakarta. Terdapat hadiah uang tunai yang disediakan bagi para pemenang Finhacks 2018 #DataChallenge senilai total Rp 480 juta. Jadi, tunggu apa lagi? Bagi kamu yang berminat mengikuti ajang ini langsung saja mendaftar secara online lewat website resmi https://finhacks.id/.

Selain itu, bagi kamu yang tertarik untuk memperluas wawasan mengenai data science, akan dilaksanakan pula roadshow dan workshop Finhacks 2018 #DataChallenge di Jakarta, Yogyakarta, dan Bandung. Pendaftaran untuk acara ini juga dapat dilakukan secara online lewat website resmi https://finhacks.id/.

Disclosure: Artikel ini adalah advertorial untuk rangkaian acara Finhacks 2018 #DataChallenge yang didukung oleh BCA.

Berbekal Machine Learning, Windows 10 Dilatih Agar Lebih Pintar Dalam Menerapkan Update

Bayangkan: suatu ketika di sore yang indah saat pekerjaan kantor hampir selesai, Anda memutuskan untuk rehat sejenak dari layar komputer, merebus kopi sembari meluruskan punggung. Namun begitu Anda kembali buat menyelesaikan pekerjaan, layar PC malah menampilkan status update Windows, padahal Anda belum sempat menyimpan progresnya.

Kisah serupa mungkin sempat Anda alami, dan sejujurnya, ini terjadi pada saya. Setelah itu, saya segera mengoprek setting Windows Update, mengubah waktu aktif hingga mematikan opsi-opsi ‘otomatis’ dengan harapan kejadian tersebut tak terulang lagi. Microsoft sepertinya telah mendengar banyak keluhan seperti ini. Meski kita harus merima kenyataan bahwa auto-update sudah jadi bagian dari Windows 10, sang developer kabarnya mencoba mengimplementasikan sistem yang lebih pintar.

Caranya? Microsoft mengusung teknik machine learning buat melatih Windows 10 agar tidak melakukan pembaruan di saat yang tak tepat. Fitur baru ini sedang diuji dalam Preview Build bagi peserta Windows Insiders – versi 17723 untuk pengguna Fast Ring dan 18204 buat yang memilih Skip Ahead. Kedua build tersebut dibekali sebuah fungsi prediksi yang bisa menebak secara akurat waktu sempurna untuk meluncurkan update.

Skip Ahead.

“Kami telah memperbarui logika reboot [Windows 10] dengan sistem baru yang lebih adaptif dan proaktif. Kami melatih model prakiraan di sana sehingga ia dapat mengestimasi secara presisi kapan momen sempurna buat me-restart sistem,” kata Microsoft. “Itu berarti, Windows tak cuma mengecek apakah Anda sedang menggunakan perangkat sebelum restart dilakukan, tapi ia juga akan memperkirakan apakah Anda hanya sekadar pergi sebentar untuk mengambil secangkir kopi.”

Dalam uji coba internal yang Microsoft lakukan, kemampuan machine learning di sistem operasinya membuahkan hasil yang menjanjikan. Berkat arsitektur cloud-nya, Windows sukses menerapkan update secara ‘tepat waktu’ berbasis dari kebiasaan pengguna. Di Preview Build tersebut, kapabilitas machine learning masih terus disempurnakan dan Microsoft menyarankan peserta Windows Insider buat melaporkan segala jenis bug yang ditemui.

Waktu update Windows 10 yang sulit diprediksi adalah salah satu keluhan terbesar pengguna. Selain kejadian di atas, sering juga kita harus menunggu instalasi update begitu PC ingin digunakan (misalnya saat mau bekerja). Sejauh ini, Microsoft telah memberikan kita kemampuan buat menunda update Windows, namun penyajiannya masih terasa agresif: tiba-tiba OS menampilkan overlay dan menanyakan kapan Anda mau update.

Kapabilitas pintar ini rencananya akan hadir untuk semua user melalui update besar selanjutnya buat Windows 10 yang Microsoft beri codename Redstone 5. Anda bisa menyimak beragam pembaruan lain yang dibawa oleh Redstone 5 di tautan ini.

Via PC Gamer.