MDI Ventures Involves in Seed Round for U.S-Based Space Tech Startup Loft Orbital

MDI Ventures, corporate venture capital supported by Telkom Group, has announced its involvement for seed funding in space tech startup Loft Orbital, which is based in San Fransisco, United States. Uncork Capital, v1.vc, Mercuria Investment Co, RESTEC Japan, and a number of top executives in the space industry are participated. The total fund disbursed for this round is $3.2 million (over 43 billion Rupiah). It’s expected that this funding will be followed up by collaboration between Telkom Group and Loft Orbital.

Loft Orbital has rental business model for sensor placement in its sensory satellites. Third party companies can use it to obtain earth’s scenery images for various purposes, including education, maritime, weather, prediction of crops, and others.

Usually, companies have to buy satellites (in full ownership) to obtain accurate data of earth. This service expected to be able to minimize the costs and encourage further research of earth.

Loft Orbital was founded by Antoinne de Chassy, Pierre-Damien Vaujour, and Alex Greenberg. They have 50 years experience altogether in the space industry. Previously, de Chassy was the CEO of Airbus Geo North America, Vaujour was a NASA aerospace engineer, and Greenberg is a Silicon Valley veteran in the space industry.

Loft Orbital’s CEO, Antoinne de Chassy, said, “MDI Ventures was one of the first major investors committed to Loft Orbital. They saw the value our satellite leasing solution could bring to solving some of the most pressing issues in Indonesia as well as the opportunities for business growth in the region. We offer our customers easy access to Space and control of the data collection, and we are excited to serve the needs and demands of commercial and Government customers in Indonesia.”

MDI Ventures’ CEO, Nicko Widjaja, exclusively to DailySocial told, this segment can be considered relatively new, even in the United States. He considered innovation in this sector, for the past three years, has been driven by price of satellite platforms that’s getting more affordable and numbers of countries that has spent (between $10 million and $100 million) on activities in space (called as “space nation”). Many of data and analytics companies are looking for cheaper solutions to launch their sensors into space.

This kind of solutions are said to “democratise” business in the space segment.

Regarding Loft Orbital and Telkom Group’s potential partnership, Nicko replied, “As most of our portfolio is based on immediate synergy value, we’re looking forward to see a collaboration in near future with this type of companies. Loft Orbital is founded by pioneers and consists of people within the circle of space-tech (Lockheed Martin, SpaceX, Airbus, OneWeb) and this sets our foot in the sector strategically.”


Initially written in Indonesian, translated by Kristin Siagian

MDI Ventures Terlibat Pendanaan untuk Startup Teknologi Angkasa Amerika Serikat Loft Orbital

MDI Ventures, perusahaan modal ventura yang didukung Telkom Group, mengumumkan pihaknya terlibat dalam pendanaan awal untuk startup teknologi angkasa (space tech) Loft Orbital, yang berpusat di San Francisco, Amerika Serikat, bersama Uncork Capital (yang memimpin pendanaan), v1.vc, Mercuria Investment Co, RESTEC Jepang, dan sejumlah eksekutif ternama di segmen luar angkasa. Total dana yang digelontorkan di tahap awal ini senilai $3,2 juta (lebih dari 43 miliar Rupiah). Diharapkan kolaborasi ini akan mendukung kemitraan antara Telkom Group dan Loft Orbital.

Loft Orbital memiliki model bisnis penyewaan tempat untuk peletakan sensor di satelit-satelit inderaja yang diluncurkannya. Pihak ketiga bisa memanfaatkannya untuk memperoleh citra bumi untuk berbagai kepentingan, termasuk pendidikan, maritim, cuaca, prediksi hasil bumi, dan lain-lain.

Selama ini perusahaan harus membeli satelit (secara utuh) untuk memperoleh data akurat tentang bumi. Diharapkan layanan ini akan meminimalisir biaya yang dibutuhkan dan mendorong lebih banyak riset tentang kebumian.

Loft Orbital didirikan oleh Antoinne de Chassy, Pierre-Damien Vaujour, dan Alex Greenberg. Secara total pengalaman mereka di industri angkasa mencapai lebih dari 50 tahun. de Chassy sebelumnya pernah menjadi CEO Airbus Geo Amerika Utara, Vaujour adalah engineer luar angkasa NASA, dan Greenberg adalah veteran Silicon Valley di industri angkasa.

CEO Loft Orbital Antoinne de Chassy menyebutkan, “MDI Ventures adalah salah satu investor utama yang di awal memberikan komitmen untuk Loft Orbital. Mereka melihat nilai solusi penyewaan satelit kami bisa membantu menyelesaikan sejumlah isu di Indonesia, termasuk mendorong peluang pertumbuhan bisnis di kawasan. Kami menawarkan akses yang mudah bagi konsumen ke angkasa dan kontrol terhadap koleksi data [yang diperoleh]. Kami sangat senang untuk bisa melayani kebutuhan konsumen komersial dan pemerintahan di Indonesia.”

Menurut CEO MDI Ventures Nicko Widjaja kepada DailySocial, segmen ini bisa dibilang relatif baru, bahkan di Amerika Serikat sendiri. Menurutnya inovasi di sektor ini, dalam tiga tahun belakangan, didorong semakin murahnya biaya platform satelit dan semakin banyaknya negara yang mengeluarkan dana (antara $10 juta hingga $100 juta) untuk kegiatan-kegiatan di angkasa. Banyak perusahaan data dan analytics yang mencari solusi lebih murah untuk meluncurkan sensornya ke angkasa.

Solusi seperti ini disebutkan akan “mendemokratisasi” bisnis di segmen angkasa karena biayanya akan semakin terjangkau.

Disinggung soal kemitraan Loft Orbital dan Telkom Group, Nicko menjawab, “Karena kebanyakan portofolio kami didasari nilai-nilai sinergi yang bisa dikolaborasi secepatnya, kami menantikan kemitraan dengan tipe perusahaan seperti ini. Loft Orbital didirikan oleh para pionir dan orang-orang yang telah lama berkecimpung di dunia teknologi angkasa (Lockheed Martin, SpaceX, Airbus, dan One Web). Hal ini meletakkan kami di industri angkasa dengan sangat strategis.”

“Indonesia adalah pasar yang sangat menarik bagi perusahaan teknologi angkasa mengingat lokasinya. Tentu saja banyak peningkatan bisa dilakukan berdasarkan data-data teknologi angkasa, misalnya efisiensi biaya di sektor maritim dan infrastruktur,” tutup Nicko.

Untuk Pertama Kalinya Y Combinator Roadshow akan Digelar di Jakarta

Y Combinator dikenal sebagai salah satu program akselerasi asal Silicon Valley yang cukup sukses. Lebih dari 1450 startup pernah masuk dalam program akselerasinya dan mendapatkan benih investasi, termasuk di dalamnya Dropbox, Airbnb, Coinbase, Stripe, Reddit, Zenefits, BuildZoom, Instacart, Twitch.tv, Machine Zone, hingga Weebly.

Lanskap startup Indonesia pun sudah mulai dieksplorasi oleh Y Combinator, diawali dengan ditunjuknya startup fintech PAYFAZZ untuk mengikuti program mereka serta mendapatkan pendanaan. Untuk pertama kalinya juga Y Combinator akan mengadakan roadshow ke Jakarta, menghadirkan salah satu partner mereka Gustaf Alströmer.

Roadshow ini akan terdiri dari dua sesi, yaitu Office Hours dan Host Talks. Office Hours merupakan sesi privat yang akan ditujukan kepada enam startup terpilih. Mereka akan mendapatkan kesempatan untuk berdiskusi langsung dari Gustaf Alströmer. Untuk sesi ini pendaftaran masih dibuka melalui tautan goers.co/yc. Sebelum terpilih, pendaftar akan dikurasi oleh tim penyelenggara.

Sesi kedua ialah Host Talks, yakni diskusi seputar startup digital yang akan mendatangkan tiga pemateri. Selain Gustaf Alströmer, akan ada Irmansyah Putera selaku Head of Accelerator & Incubator MDI Ventures dan Hendra Kwik selaku Co-Founder & CEO PAYFAZZ. Acara ini terbuka untuk umum. Pendaftaran dapat dilakukan melalui goers.co/ycjkt.

Rangkaian acara Y Combinator Roadshow Jakarta akan diselenggarakan di Conclave Simatupang pada 28 Oktober 2017, mulai 15.00 – 18.00 WIB.


Disclosure: DailySocial merupakan media partner acara Y Combinator Roadshow Jakarta

Startup Distribusi Data Synchro Umumkan Perolehan Dana Awal 2,7 Miliar Rupiah

Layanan distribusi data Synchro mengumumkan perolehan dana awal $200 ribu (hampir 2,7 miliar Rupiah) yang dipimpin oleh PT Multidata Rancana Prima. Dana tersebut akan digunakan untuk proses perekrutan, aktivitas operasional, dan membantu target ekspansi global. Synchro adalah jebolan program Indigo Creative Nation.

Didirikan tahun 2014 oleh Sindarta Gemilang, Argon Usman, dan Eko Sukaryanto, Synchro memiliki teknologi data channeling yang diklaim dapat mengkoneksikan berbagai data endpoint di perusahaan untuk membantu workflow data yang lebih cepat dan efisien. Synchro disebutkan telah memiliki beberapa klien korporasi dan pemerintahan, seperti Telkom Group, Bank Permata, dan Kemenpar.

Co-Founder dan Komisaris Synchro Sindarta Gemilang mengatakan, “Synchro telah mengkoneksikan lebih dari setengah juta data endpoint dan terus berkembang dengan cepat. Kami telah menyiapkan batasan baru [yang lebih baik] untuk perangkat Internet of Things [IoT]. Kami senang memiliki PT Multidata sebagai mitra strategis untuk membantu kami menjangkau visi kami: membuat dasar untuk berbagai hal yang membutuhkan konektivitas data.”

Sementara Direktur PT Multidata Rancana Prima Wifiksana Suhendra tentang pendanaan ini menyebutkan, “Synchro memberikan kami kepercayaan diri dan peluang untuk bekerja sama dengan berbagai entitas di berbagai bidang untuk menyelesaikan permasalahan ekosistem mereka yang kompleks dengan berbagai sumber data, basisdata, sistem operasi, data besar, dan proses online-to-offline.”

Produk-produk yang dicakup layanan Synchro misalnya solusi IoT untuk perkebunan, smart parking, logistik, traffic management, dan lainnya. Secara umum, Synchro membangun fondasi konektivitas data untuk membantu perangkat IoT berkomunikasi satu dengan yang lain secara seamless.

“Karena kami dapat menyinergikan teknologi kami di perusahaan apapun, kemungkinan [hasil produknya] tidak terbatas. Siapapun bisa menggunakan Synchro,” tutup Sindarta.

MDI Ventures Kembali Terlibat Pendanaan untuk Red Dot Payment

Red Dot Payment (RDP), sebuah layanan pembayaran asal Singapura, mengumumkan perolehan pendanaan Seri B senilai total $5,2 juta atau sekitar 68 miliar Rupiah. MDI Ventures kembali terlibat dalam putaran pendanaan kali ini, bersama sejumlah investor terdahulu, dengan DORR Group menjadi investor baru. Fokus pendanaan kali ini adalah memperkuat dan meningkatkan infrastruktur teknis dan menambah tenaga ahli untuk mengurus bisnis yang sedang berkembang di kawasan Asia Tenggara.

Sekitar setahun yang lalu, MDI Ventures memimpin pendanaan Seri A untuk RDP termasuk membantu ekspansi RDP ke Indonesia. CEO MDI Ventures Nicko Widjaja kepada DailySocial menyebutkan RDP kini memiliki basis operasi di Jakarta dan Bali. Karena fokusnya adalah klien-klien hospitality (khususnya perhotelan), Bali disebutkan memberikan kontribusi solid bagi perkembangan perusahaan.

Tentang keterlibatan kembali MDI di putaran kali ini, Nicko berkomentar bahwa RDP memerlukan dana baru untuk membantu meningkatkan performa, karena mereka sedang mengeksplorasi kemungkinan ekspansi ke kawasan Tiongkok dan bisnis e-commerce yang lain. RDP juga diharapkan bisa melakukan diversifikasi layanan di luar vertikal hotel yang menjadi spesialisasi mereka dan memberikan nilai tambah baru.

Terhadap sinergi RDP dengan Telkom Group sebagai induk MDI, Nicko mengatakan RDP saat ini sudah berkolaborasi dengan Finnet dan mereka berencana untuk meningkatkan sinergi dengan perusahaan-perusahaan lain di dalam grup.

RDP didirikan pada tahun 2011 oleh Randy Tan yang memiliki latar belakang karier sebagai mantan eksekutif Visa dan Herman Santoso (CTO) yang sebelumnya pernah berkarier di First Data.

Kata.ai Umumkan Perolehan Pendanaan Seri A Sebesar 46,5 Miliar Rupiah

Kata.ai, layanan lokal yang fokus di penggunaan teknologi artificial intelligence untuk interaksi brand dan penggunanya, mengumumkan perolehan pendanaan $3,5 juta (atau sekitar 46,5 miliar Rupiah) yang dipimpin Trans-Pacific Techology Fund (TPTF) Taiwan. Juga turut berpartisipasi dalam putaran pendanaan kali ini MDI Ventures, Access Ventures Korea Selatan, Convergence Ventures, VPG Asia, Red Sails Investment, dan Eddy Chan.

Pasca pendanaan ini, pimpinan TPTF Barry Lee akan masuk ke dewan direksi Kata.ai. Dana yang diperoleh akan digunakan untuk R&D, peningkatan layanan untuk menjadi yang terdepan di Indonesia, dan perluasan layanan ke Asia Tenggara dan Taiwan.

“Kami sangat terkesan dengan manajemen tim Kata.ai. Mereka menunjukkan semangat dan kecakapan teknis yang luar biasa dalam industri AI. Kemampuan mereka untuk memonetisasi platform sembari menangani beberapa jenis industri telah membawa mereka ke posisi strategis untuk pertumbuhan eksponensial. Meskipun tergolong startup muda, kami percaya Kata.ai sudah menjadi pemimpin industri NLP Indonesia,” ungkap Barry tentang pendanaan ini.

Kata.ai adalah pivot perusahaan yang sebelumnya mengusung brand YesBoss. Jika sebelumnya YesBoss menyasar pasar ritel, Kata.ai lebih ditujukan ke klien korporasi (B2B). Perusahaan mengklaim pihaknya, setelah pivot, telah meningkatkan pendapatan hingga 30 kali lipat dalam waktu setahun.

Kepada DailySocial, Co-Founder dan CEO Kata.ai Irzan Raditya menyebutkan, “Salah satu hal yang kami pelajari adalah pada dasarnya suatu startup harus bisa mencari cara untuk tetap bertahan dengan membangun fundamental bisnis secara kuat, terlepas dari kondisi fundraising di suatu pasar.”

“Melihat kondisi pasar saat ini, ketika misi kami ingin mendemokrasikan teknologi chatbot (AI/NLP) kepada masyarakat luas, edukasi pasar adalah hal yang sangat krusial. Salah satu bentuk pendekatan pasar yang paling efektif menurut kami adalah dengan meluncurkan solusi chatbot untuk merek-merek/perusahaan-perusahaan ternama bagi pelanggan mereka demi menjawab beberapa permasalah yang dialami dan meningkatkan kualitas layanan,” lanjutnya.

Dimulai dengan Veronika dan Jemma

Kata.ai telah mengembangkan Veronika, bersama Accenture, untuk Telkomsel dan Jemma untuk Unilever Indonesia. Veronika tersedia di platform Facebook Messenger, LINE, dan Telegram; sementara Jemma tersedia di LINE.

Irzan menyebutkan hingga saat ini total percakapan di kedua platform tersebut sudah mencapai 170 juta buah, sementara jumlah keseluruhan pengguna yang berinteraksi dengan chatbot Kata.ai telah mencapai 6 juta orang.

Dalam pengembangan layanan ini, mereka mencari cara yang scalable untuk mendistribusikan teknologinya melalui kemitraan dengan konsultan teknologi, system integrator, dan software house untuk mengimplementasikan solusi chatbot menggunakan teknologi dan platform yang perusahaan kembangkan.

Secara jangka panjang, Irzan berharap banyak pemain lokal yang dapat memanfaatkan teknologi tersebut demi memberikan kemudahan dan efisiensi di berbagai macam layanan dan sektor indsutri, dari telekomunikasi, healthcare, layanan finansial dan perbankan, smart city, dan lainnya.

“Era ini mengingatkan kami 10 tahun yang lalu, ketika iPhone baru pertama kali rilis. [Ketika itu] aplikasi merupakan hal yang sangat baru di pasaran. Kami sendiri memiliki optimisme yang kuat dengan perkembangan bot ke depannya,” ujar Irzan.

Ia melanjutkan, “Dasar alasan kami adalah sebagai berikut: untuk perbandingan dalam 1 tahun App Store rilis hanya tersedia 50.000 aplikasi di pasaran, namun dalam 1 tahun Facebook Messenger merilis teknologi chatbot, angka tersebut mencapai 2 kali lipat. 100.000 bots dalam setahun sudah tersedia di pasaran.”

“Era aplikasi selama 10 tahun terakhir telah melahirkan perusahaan-perusahaan teknologi berbasis aplikasi dengan valuasi miliaran dollar dan dampak besar di masyarakat. Kami percaya 10 tahun ke depan adalah eranya AI dan bot. Kami ingin melahirkan the next generation of entrepreneurs melalui teknologi yang kami bangun.”

Ekspansi

Tentang rencana ekspansinya di Asia Tenggara dan Taiwan, Irzan menyebutkan Jakarta akan tetap menjadi kantor pusat, tetapi pihaknya sudah memiliki beberapa rencana ke depan. Kata.ai akan mengembangkan teknologi Pengolahan Bahasa Alami (NLP) dengan tujuan dapat memahami dan meningkatkan kemampuannya beroperasi dalam beberapa bahasa Asia Tenggara, di luar Bahasa Indonesia yang digunakan sekarang.

“Kami sudah memiliki rencana dengan beberapa mitra strategis untuk support pengembangan bahasa lokal di masing-masing negara. Begitu halnya dari segi pemasaran kami memiliki relasi yang sangat baik dengan mitra kami seperti Microsoft dan Accenture untuk solusi go-to-market.”

Dengan bantuan TPTF, Kata.ai akan mendirikan anak perusahaan yang sepenuhnya berdiri di Taiwan dan berkolaborasi dengan startup teknologi untuk melayani pasar lokal. Kini, mereka sedang menjalani proses diskusi dengan mitra potensial dalam seluruh wilayah jangkauannya.

“Fleksibilitas teknologi Kata.ai untuk mengadopsi bahasa baru juga memungkinkan perluasan secara cepat ke berbagai negara. Dengan memanfaatkan jaringan internasional dan kemampuan teknologi TPTF, kami ingin memperluas bisnis Kata.ai di luar Indonesia,” ungkap Barry.

Bot Studio Platform

Pengembangan teknologi Kata.ai ke depannya adalah pengembangan platform bagi pengembang yang ingin membangun chatbot sendiri dengan teknologi bot dan NLP dari Kata.ai. Disebut sebagai “Bot Studio Platform”, platform ini ditujukan untuk memenuhi permintaan dari perusahaan regional dan pemerintah. Saat ini versi betanya sudah tersedia untuk beberapa mitra terpilih, seperti Accenture. Meskipun demikian, Bot Studio Platform akan melayani suatu cita-cita yang lebih besar.

“Bot Studio Platform akan tersedia juga versi gratisnya. Misi kami adalah memberikan akses ‘teknologi masa depan’ yang kami garap seluas mungkin tidak hanya ke sektor enterprise namun juga startup, software developers, pelajar dan komunitas. Bot Studio Platform ini dijadwalkan akan siap di pasar dalam waktu dekat,” tutup Irzan.

Kebutuhan “Scaling-Up” Lebih Mendesak untuk Ekosistem Startup Indonesia

Bersamaan penyusunan artikel menyambut Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Indonesia ke-72 beberapa waktu lalu, kami mewawancara beberapa pihak, termasuk dari kalangan investor startup Indonesia. Salah satu narasumber kami adalah Nicko Widjaja, CEO MDI Ventures. Dari review seputar perjalanan startup Indonesia yang dipaparkan Nicko, ada satu hal yang menjadi garis besar sekaligus sebuah penegasan: we need more scale-ups, not startups. Menarik menjadi perhatian, pasalnya banyak pihak masih menggemborkan tentang penumbuhan startup digital dari sisi kuantitas.

“Series A Crunch”, startup terpaku pada pendanaan awal

“Saya memulai bisnis venture capital sejak tahun 2010, saat itu industri startup mulai terlihat arahnya, seperti Koprol diakuisisi oleh Yahoo! pada bulan Mei 2010, Kaskus oleh Djarum di tahun berikutnya, dan beberapa akuisisi kecil berdatangan setelahnya. Dari pandangan pemodal ventura, tentunya hal ini menjadi perhatian karena terlihat jalan exit, meskipun pasar modal di Indonesia sampai saat ini belum mempersiapkan platform untuk IPO bagi startup,” terang Nicko menceritakan pengalamannya.

Terkait dengan proposisi investor, Nicko memberikan pandangan bahwa yang ada di Indonesia saat ini semakin banyak pemodal yang siap untuk bertaruh. Tidak hanya dari kalangan venture capital –kendati saat ini porsi investasi startup digital masih didominasi VC—tetapi juga pihak permodalan lain, baik private equity maupun konglomerat pun, ingin ikut ke dalam rancah startup digital di Indonesia.

“Sayangnya para pemodal tersebut tidak siap untuk bermain di pendanaan berikutnya. Selain pemodal ventura, tidak banyak yang mengerti industri startup. Industri startup bukan UKM yang hanya sekali dua tiga kali diinvestasi lalu akan menghasilkan dividen. Yang terjadi saat ini yaitu ‘Series A Crunch’ di mana startup yang laku saat pendanaan awal, tidak laku ketika menawarkan growth runway berikutnya,” ujar Nicko menerangkan fenomena pendanaan startup saat ini.

Menurut Nicko, fenomena Series A Crunch terjadi karena overvaluation. Disebabkan karena banyak pemodal ventura yang ingin menggoreng valuasi bagi keuntungan mereka. Pada akhirnya tidak banyak venture capital yang siap Seri A percaya dengan valuasi sebelumnya. Series A Crunch bukan terjadi karena tidak ada modal, tetapi tidak ada startup yang valid dengan valuasi yang diinginkan.

“Jika anda berbicara dengan top-tier investor di luar sana, mereka akan berkomentar sama, bahwa Indonesia memiliki demand (dana) yang besar tetapi tidak dipenuhi dengan supply (startup) yang mencukupi. Sekali lagi saya tekankan, bukan berarti tidak memiliki banyak startup, tetapi tidak memiliki startup yang mampu berkompetisi dan melakukan scaling-up dengan cepat,” terang Nicko.

Akses menuju “growth” mutlak dibutuhkan startup Indonesia

Pada kenyataannya dari ekosistem startup mulai terlihat signifikan –kurang lebih tahun 2010 sampai sekarang, banyak pemodal yang akhirnya menyerah dengan startup, hanya segelintir yang bertahan. MDI Ventures menjadi salah satu yang bertahan. Walau pada akhirnya pihaknya memilih bergabung dengan Telkom dalam menginkubasi dan mengakselerasi startup binaannya.

“Kami belajar banyak sebelum akhirnya bergabung dengan Telkom, dan kami percaya bahwa ekosistem startup di Indonesia hanya unik di Indonesia. Mereka yang berpikir dapat copy-paste model dari luar dibawa ke sini sudah belajar mahal, lihat saja Rocket Internet,” ujar Nicko.

Nicko lanjut memaparkan, bahwa mereka (VC) yang melakukan ‘spray model‘ akan terimbas lebih mahal lagi, karena terlihat dari spraying seperti itu hanya kurang dari setengah persen yang menjadi unicorn dan yang berbahaya lagi path to liquidity-nya belum jelas terlihat.

“Setelah sekian tahun, akhirnya model yang saya lihat adalah ‘synergy model’. Inilah yang menjadi fondasi tesis kami ‘bits by bricks’. Tanpa adanya fondasi bisnis brick-and-mortar, tidak mungkin bisnis digital (bit) ini dapat scale-up, karena model pasar di Indonesia ini hybrid, tidak seperti di Amerika Serikat, bahkan India.”

Akses terhadap growth yang penting dalam membangun sebuah ekosistem. Menurut Nicko, tanpa adanya bentuk korporasi yang mendukung, bisnis startup dan modal ventura pada akhirnya akan bubble and burst. Investor akan hilang kepercayaan kepada industri dan industri akan hilang dengan sendirinya.

MDI Ventures: Kolaborasi dengan Perusahaan Besar adalah Strategi Terbaik Membesarkan Startup di Indonesia

Dalam sebuah tulisannya, Head of Rider Growth Uber Andrew Chen menyebutkan kini startup semakin “murah” untuk dimulai, tetapi semakin “mahal” untuk dikembangkan. Seribu startup bisa dibuat dalam waktu setahun-dua tahun, tapi mengembangkan 10% di antaranya hingga sebesar Go-Jek, Tokopedia, atau Traveloka adalah pekerjaan yang jauh lebih sulit.

MDI Ventures, sebuah corporate venture capital yang berada di bawah naungan Grup Telkom, dalam laporannya melihat hal ini karena ekosistem startup di Indonesia berbeda dengan yang terjadi di Silicon Valley.

Di Silicon Valley sana, arah membesarkan startup melalui “model VC” lebih mudah karena strategi exit-nya lebih jelas, antara diakuisisi perusahaan teknologi raksasa (atau perusahaan investasi besar) atau go public di bursa saham. Yang disebut “model VC” adalah VC memompa dana sebesar-sebesarnya untuk pertumbuhan eksponensial. Hal yang sama dinilai tidak berlaku di tanah air.

Kolaborasi adalah kunci

Hipotesis MDI adalah untuk berkembang, startup harus berkolaborasi dengan perusahaan besar yang bisa mendukung pertumbuhan bisnis startup tersebut. Meskipun sejatinya adalah VC, sebagai CVC, CEO MDI Nicko Widjaja kepada DailySocial mengaku pihaknya kini bertindak sebagai “katalis inovasi”.

MDI berusaha mendorong sinergi portofolio startupnya dengan bisnis Grup Telkom yang fokus di bidang Telekomunikasi, Informasi, Media & Edutaintment, dan Services (TIMES). Contohnya PrivyID yang mengembangkan teknologi tandatangan digital bagi perusahaan-perusahaan Grup Telkom atau Kata.ai yang mengembangkan sistem chatbot untuk layanan pelanggan Telkomsel.

Kondisi di Indonesia

mdi_report_graphic_1

Di tanah air, menurut data yang dikompilasi MDI, disebutkan dari 53 startup yang mendapatkan pendanaan awal di tahun 2015, hanya ada 17 pengumuman perolehan dana Seri A di tahun 2016 dan sejauh ini baru 9 buah selama tahun 2017. Hal ini menunjukkan mayoritas tidak dapat memperoleh pendanaan lanjutan untuk mendukung bisnisnya.

Fakta lain yang disebutkan dalam laporan ini adalah bagaimana proses exit dalam 8 tahun terakhir, sejak Koprol diakuisisi Yahoo!, hanyalah melalui proses akuisisi. Ada 37 proses M&A (merger dan akuisisi) dan belum ada cara lain yang mendukung proses exit, meskipun Bursa Efek Indonesia sendiri bercita-cita untuk mendorong startup teknologi IPO di bursa saham dengan menawarkan berbagai insentif.

Hal-hal diyakini MDI sebagai bukti bahwa “model VC” tidak cocok dengan pasar Indonesia. Tidak adanya kesetiaan konsumen, kesulitan kesempatan pertumbuhan, dan ketiadaan ekosistem yang mendukung proses exit yang solid membuat aktivitas investasi di sektor ini menjadi rapuh.

mdi_report_graphic_2

MDI menyatakan sangat sulit bagi firma modal ventura independen di Indonesia untuk mengumpulkan dana lebih besar dari $50 juta (sekitar 650 miliar Rupiah) dan memperoleh kesuksesan di dalam waktu dekat. Disebutkan “model VC” baru dianggap sukses jika dana yang dikelola memberikan keuntungan 3-5 kali lipat dalam jangka waktu 5-8 tahun.

Penawaran MDI

MDI melihat bahwa meskipun pasarnya sangat potensial, membesarkan startup di Indonesia sangatlah menantang. Untuk itu MDI menawarkan dua pendekatan untuk memenangkan ekosistem startup di Indonesia.

Yang pertama adalah “akses ke pertumbuhan”. Akses di sini tidak cuma soal dana tapi juga kanal pengembangan bisnis. MDI menyugestikan startup untuk memanfaatkan potensi besarnya berbagai unit bisnis korporasi di Indonesia, mengubahnya “from bricks to bits” atau dengan bahasa mudahnya mendigitalkan proses bisnis konvensional yang sudah ada.

Menurut Nicko, kredo “bricks to bits” ini menjadi manifesto MDI, seperti halnya “spray and pray” dari 500 Startups atau “sprinkle and reflect” dari Wavemaker Partners.

Yang kedua adalah mengemulasi model Alibaba dalam mengembangkan ekosistem dari ujung ke ujung, dengan menciptakan perusahaan enabler di sektor logistik, finansial, dan operator e-commerce.

mdi_report_graphic_3

MDI percaya bahwa startup di Indonesia akan sukses jika mampu menciptakan ekosistem dari ujung ke ujung seperti ini, di vertikal manapun.

MDI mengakui bahwa penawaran ini tidak serta merta menjawab permasalahan di ekosistem startup Indonesia saat ini. Meskipun demikian, mereka percaya bahwa kemitraan strategis antara bisnis yang sudah ada/matang (legacy) dan startup teknologi terbukti memberikan nilai yang substansial untuk semua pihak yang terlibat.

Dua Hal yang Perlu Disiapkan Founder sebelum Bertemu Calon Investor

Bagi founder startup, mencari investor bisa menjadi alternatif yang dapat ditempuh saat dana bootstrapping mulai menipis. Namun hal-hal apa saja yang perlu disiapkan para founder sebelum bertemu mereka?

Edisi #SelasaStartup pekan kedua Agustus 2017 yang diselenggarakan DailySocial menghadirkan angel investor dari ANGIN Stephanie Hermawan dan Analyst MDI Ventures Gani Lie. Menurut mereka, setidaknya ada dua hal yang perlu disiapkan para founder. Berikut rangkumannya:

1. Tunjukkan traksi untuk membuktikan model bisnis itu sukses

Stephanie mengungkapkan, pada dasarnya angel investor itu lebih menyukai investasi startup saat masih berada dalam tahap early stage. Setiap angel investor pun memiliki selera startup yang berbeda satu sama lainnya, terlebih lagi di ANGIN.

Secara pribadi, Stephanie menyukai startup digital maupun non-digital yang berorientasi pada dampak sosial. Salah satu startup yang pernah dia investasikan adalah Kitabisa.

Saat bertemu Kitabisa ataupun startup lainnya, Stephanie selalu menekankan bahwa founder startup harus mampu menghasilkan traksi saat perusahaannya baru berdiri. Menciptakan traksi sama artinya dengan membuktikan bahwa bisnis yang dijalani jelas terbukti dapat menghasilkan uang, tanpa harus didorong dari subsidi atau dana dari investor.

Dirinya mengaku selalu melihat startup digital atau bukan, sama halnya dengan bisnis tradisional. Makanya orientasi yang selalu dia tekankan adalah menciptakan traksi.

“Waktu saya investasi ke Kitabisa, saya lihat mereka sudah ada traksi meski baru tiga bulan berdiri. Artinya model bisnis mereka itu proven, terlihat dari traksinya. Meski mereka itu startup yang memiliki social impact, namun harus memiliki unsur bisnis agar perusahaannya bisa berlangsung lama,” ucapnya.

Ia menambahkan dengan memiliki traksi, startup tersebut dapat berdiri sendiri tanpa harus disokong bantuan dari investor. Hanya saja, pertumbuhannya tidak gencar. Hadirnya investor sekadar menjadi batu loncatan bagi startup tersebut untuk melangkah lebih cepat.

“Sebab banyak founder yang dirikan startup karena ingin mendirikan startup, banyak yang tidak paham apa tujuannya. Malah ada yang sekadar cari funding saja, tanpa memerhatikan startupnya sudah menciptakan traksi atau belum.”

2. Persiapan mental dari founder startup itu sendiri

Senada dengan Stephanie, Gani menambahkan bahwa dirinya selalu meminta founder startup untuk bertemu tatap muka sebelum pihaknya berinvestasi di tempat mereka. Menurut Gani, dengan tatap muka dia dapat melihat sendiri bagaimana ambisi founder dalam mengembangkan perusahaan mereka sendiri.

“Founder harus open minded. Idealism is good, but too much is hell. Sebab pada akhirnya founder itu harus mikirin revenue,” kata Gani.

Untuk mendapat investasi tahap awal, sambungnya, startup minimal sudah harus memiliki produk dan market. Dari situ akan terlihat apakah founder bisa mengeksekusi model bisnis yang dia percaya dengan menjual produknya atau tidak.

Bantuan dari investor, sambungnya, tidak hanya berbentuk finansial saja melainkan mentoring. Investor dapat mengarahkan arah bisnis seperti apa yang perlu diubah, produk seperti apa yang dibutuhkan pengguna, dan lainnya.

Untuk peserta startup yang tergabung dalam program inkubasi di Telkom, bila mereka memiliki bisnis yang cocok, bakal diintegrasikan dengan ekosistem yang dibutuhkan perusahaan.

“Akan kami lihat bagaimana sinerginya dengan Grup Telkom bila startup punya model bisnis yang bagus.”

MDI sendiri memiliki preferensi segmen sendiri untuk startup yang dibidiknya, yakni bergerak di produk telekomunikasi, business to business (B2B), big data, analytics, dan asuransi.

Payfazz dan Strategi Keagenan untuk Menyasar “Unbanked Society” di Indonesia

Payfazz merupakan sebuah layanan keuangan berbasis keagenan yang ditujukan untuk unbanked society. Saat ini telah diterbitkan dalam paltform Android, untuk merangkum berbagai jenis layanan yang dapat diakses oleh masyarakat melalui agen. Payfazz berkoordinasi dengan bank untuk membangun jaringan distribusi bank melalui para agen Payfazz yang dapat beroperasi di berbagai tempat. Dengan kata lain, para Agen Payfazz atau disebut sebagai “Agen Keuangan Nusantara” ini akan menjadi representatif bank dan Payfazz secara bersamaan.

Untuk produk yang bisa diakses saat ini berupa pembayaran Pulsa, PPOB (Payment Point Online Bank), Game Voucher, Multifinance, Kredit, dan Transfer Dana. Selain itu, Payfazz sedang mengembangkan kerja sama dengan salah satu bank terbesar di Indonesia untuk  menghadirkan layanan Lakupandai di aplikasi Payfazz. Sedangkan untuk fitur, Payfazz menyediakan sistem pencatatan transaksi, fasilitas top-up saldo, fitur Print Bluetooth untuk mencetak bukti transaksi pelanggan, hingga pinjaman modal usaha bagi agen yang membutuhkannya.

“Ide dasar pengembangan Payfazz datang dari fenomena Indonesia, berdasarkan data Bank Dunia hanya 36% masyarakat Indonesia yang mempunyai rekening bank, dan hanya 4% masyarakat Indonesia yang mengenal dan menggunakan kartu kredit. Terdapat lebih dari 170 juta masyarakat Indonesia yang pengetahuannya mengenai teknologi keuangan sangat minim,” ujar Hendra Kwik, Co-Founder & CEO Payfazz.

Dalam keterangannya, Hendra menambahkan minimnya banked-society disebabkan oleh 3 variabel faktor, yaitu (1) kurangnya literasi finansial di kalangan masyarakat Indonesia, (2) Sektor perbankan yang menganggap sebagian besar masyarakat Indonesia masih tergolong status unbankable, (3) distribusi akses ATM, KC atau KCP Bank yang belum menyeluruh ke seluruh Indonesia.

Payfazz spesifik jangkau unbanked-society / Payfazz
Payfazz spesifik jangkau unbanked-society / Payfazz

Di lain sisi, masyarakat Indonesia mengenal dan sangat akrab dengan teknologi informasi berupa smartphone dan internet. Hasil riset Payfazz menunjukkan bahwa sekitar 132,7 juta masyarakat Indonesia aktif menggunakan internet setiap harinya. Melihat peluang tersebut, Payfazz mencoba mengarahkan fungsi smartphone dan koneksi internet tersebut untuk memfasilitasi transaksi online yang sering dilakukan masyarakat Indonesia dan menjadi kebutuhan rutin mereka seperti pulsa, transaksi PPOB dan transfer uang.

Fase awal diperkuat pendanaan Y Combinator dan MDI Ventures

Untuk operasionalnya, saat ini Payfazz telah menerima dukungan pendanaan dari Y Combinator dan MDI Venture. Y Combinator merupakan inkubator dan venture capital global yang berpusat di Silicon Valley yang turut membesarkan startup yang sudah mendunia seperti Airbnb, Dropbox, Stripe dan Twitch. Sedangkan MDI Venture merupakan venture capital milik Telkom. Payfazz terhubung dengan MDI melalui inkubasi dalam program Indigo Startup Nation.

Dengan proses bisnis yang ada saat ini, Payfazz sangat yakin akan berhasil, melihat beberapa pembuktian dari startup sejenis di berbagai negara berkembang lain seperti M-Pesa di Kenya, paytm di India dan Alipay di Tiongkok. Bisnis model dinilai membawa kebaikan bagi masyarakat luas. Para Agen Keuangan Nusantara dapat menambah penghasilan dan para masyarakat unbanked menjadi teredukasi dan terbantu untuk mengakses layanan keuangan.

“Saat ini Payfazz sudah memiliki puluhan ribu Agen yang berasal dari berbagai latar belakang demografi. Agen Payfazz kebanyakan telah memiliki usaha rumahan seperti toko kelontong dan konter pulsa di pelbagai wilayah di Indonesia. Puluhan ribu Agen Keuangan Nusantara ini melayani ratusan ribu masyarakat unbanked dan memproses jutaan layanan perbankan setiap bulannya,” imbuh Hendra.

Diakui pula saat ini sudah banyak layanan sejenis, mencoba memberdayakan unbanked-society di Indonesia. Dari situ Payfazz mencoba untuk spesifik menyasar masyarakat yang masih awam terhadap layanan bank dan teknologi keuangan. Payfazz menggunakan sistem keagenan dan menitikberatkan pada masyarakat unbanked sebagai end user. Agen Payfazz berperan mengedukasi dan memfasilitasi layanan perbankan bagi para masyarakat unbanked.

Tiga pendiri asal Jambi yang berpengalaman di startup besar

Co-Founder Payfazz: Ricky, Hendra, Jefriyanto / Payfazz
Co-Founder Payfazz: Ricky, Hendra, Jefriyanto / Payfazz

Payfazz didirikan oleh 3 orang yang berasal dari Jambi dan merupakan rekan sejawat sejak kecil. Ketiganya pula memiliki pengalaman bekerja di startup yang telah membuktikan keberhasilannya dan menjadi panutan startup lokal. Pertama ialah Hendra Kwik, lulusan S1 Teknik Kimia ITB, sebelumnya ia bekerja di Kudo. Kemudian Jefriyanto Guang, lulusan S1 Ilmu Komputer Binus, ia sebelumnya bekerja di Tiket.com. Dan yang ketiga ialah Ricky Winata, lulusan S1 Ilmu Komputer Binus, ia sebelumnya pernah bekerja di Traveloka.

Di tahun ini, fokus Payfazz berupaya membenahi fitur-fitur yang sudah ada untuk meningkatkan kualitas produk dan pelayanan. Selain itu, Payfazz juga menargetkan untuk memperluas jaringan Agen Keuangan Nusantara demi menjangkau lebih banyak unbanked-society di seluruh Indonesia. Dengan semakin banyak Agen Payfazz, pihaknya berharap semakin banyak unbanked society yang terbantu untuk mengakses layanan perbankan seperti pembayaran, pulsa, PPOB, transfer dana dan kredit/pinjaman dengan mudah.

Hasil bimbingan inkubator Indigo

DailySocial juga menghubungi Ery Punta Hendraswara, Managing Director Indigo Creative Nation, yang juga menjadi mentor Payfazz. Tentang Payfazz, Ery berpendapat, “Gerakan digital untuk kemajuan bangsa tidak dapat ditawar, termasuk melakukan transaksi elektronik. Payfazz menjadi salah satu solusi yang efektif untuk mengakomodasi kebutuhan transaksi elektronik bagi seluruh masyarakat khususnya unbanked society.”

“Selain melayani solusi keagenan yang dapat melayani transaksi elektronik yang efisien bagi seluruh masyarakat, Payfazz dapat mengembangkan solusi keuangan yang lebih luas lagi terutama melalui kolaborasi dengan berbagai pihak, termasuk perbankan, operator telekomunikasi, koperasi, bahkan perusahaan-perusahaan untuk mengelola investasi masyarakat, seperti investasi reksadana,” lanjut Ery.

Dalam program inkubatornya, Payfazz mendapatkan bimbingan baik mentoring intensif hingga pendanaan untuk tumbuh lebih besar lagi melalui program akselerasi startup, serta channeling kepada pasar yang relevan melalui kanal-kanal pemasaran di Telkom yang telah berkembang. Channeling ini lah yang kemudian menjadi percepatan bagi Payfazz untuk tumbuh dan memberikan sumbangsih lebih banyak terhadap pertumbuhan ekonomi masyarakat Indonesia.

Application Information Will Show Up Here