Hypefast Dilaporkan Kantongi Pendanaan Tambahan, Masuk ke Jajaran Centaur

Startup grup ritel online Hypefast dilaporkan mengantongi tambahan dana segar sebesar $5,5 juta (lebih dari 78 miliar Rupiah). Menurut sumber DailySocial.id, putaran ini diikuti oleh Monk’s Hill Ventures, Jungle Ventures, Strive, Amand Ventures, dan beberapa lainnya. Jajaran investor tersebut sebelumnya berpartisipasi dalam putaran seri A sebesar $14 juta pada Juli 2021.

Dengan pendanaan ini, mengokohkan Hypefast ke dalam jajaran startup centaur (aspiring unicorn) berikutnya di Indonesia. Centaur adalah sebutan untuk startup yang telah mencapai valuasi lebih dari $100 juta dan di bawah $1 miliar. Valuasi ini salah satunya diukur berdasarkan total pendanaan yang didapat dari investor.

Hypefast belum memberikan konfirmasinya secara resmi terkait dua putaran dana segar ini. Hingga berita ini diturunkan, belum ada respons yang diberikan dari perwakilan perusahaan.

Sebagai perusahaan ritel, fokus Hypefast sedikit berbeda dengan kebanyakan. Mereka berinvestasi dan mengakuisisi startup yang memiliki fokus pada “digital & e-commerce native brands” yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi brand global.

Selain dukungan kapital, Hypefast membantu pemilik merek mendapat dukungan pemasaran, produksi dan operasi, hingga pemanfaatan data untuk membantu analisis bisnis. Dengan demikian, brand dapat tumbuh secara signifikan dalam waktu yang singkat.

Kategori brand yang diakuisisi Hypefast datang dari fesyen, kecantikan, kesehatan, dan gaya hidup -yang diproduksi, dipasarkan, dan dijual langsung ke konsumen melalui berbagai kanal online, seperti website masing-masing brand, media sosial, platform marketplace, dan toko offline Buiboo.

Sejauh ini Hypefast telah mengelola lebih dari 20 brand di dalam jaringannya dengan total tim lebih dari 150 orang di Asia Tenggara. Beberapa brand tersebut adalah BohoPanna, Letter in Pine, Monomom, Soleram, Sabine and Heem, Nona, Wearstatuquo, Motiviga, Nyonya Nursing Wear, Sideline Label, Nona Rara Batik, dan Bonnels

Hypefast sebelumnya menargetkan dapat membawa brand lokal ke pasar global dengan cara yang lebih efektif dan scalable pada akhir 2022 mendatang. “Saat ini fokus kami mempersiapkan infrastruktur dan akses sehingga bisa menjadi solusi jangka panjang,” kata Founder dan CEO Hypefast Achmad Alkatiri dalam keterangan resmi.

Momentum startup new economy di Indonesia

Menurut data CBInsights, secara global performa pendanaan startup D2C mengalami penurunan di tahun 2020. Salah satunya diakibatkan oleh pandemi. Namun di Indonesia tengah mendapatkan momentum, lantaran kehadiran generasi pengusaha muda yang cukup marak.

Kreativitas pemasaran melalui kanal digital, seperti media sosial, membuat para pengembang brand mendapat perhatian dan meraup untung dari pasar lokal. Strateginya bermacam-macam, ada yang berkolaborasi untuk menghadirkan produk limited bersama influencer ternama, membuat strategi pemasaran viral, dan lain-lain.

Faktor penting lainnya adalah tingginya minat konsumen untuk berbelanja di platform online. Menurut e-Conomy 2020, GMV e-commerce Indonesia mencapai $32 miliar, terbesar di regional.

Di samping itu menurut survei yang dilakukan Facebook, ada kecenderungan konsumen di Indonesia untuk membeli produk keluaran brand baru adalah tertinggi secara persentase dibandingkan negara tetangga di Asia Tenggara. Ini menjadikan kompetisi pasar menjadi lebih dinamis, dibanding dengan basis konsumen yang loyal terhadap produk tertentu saja.

East Ventures Pimpin Pendanaan Tahap Awal Startup D2C “mohjo”

East Ventures memimpin pendanaan tahap awal dengan nilai dirahasiakan untuk startup D2C (direct-to-consumer) asal Singapura, mohjo. iSeed Southeast Asia, K3 Ventures, dan sejumlah angel investor ternama turut berpartisipasi dalam putaran tersebut. Mohjo akan memanfaatkan dana segar ini untuk membangun kapasitas perusahaan, meluncurkan lebih banyak produk, memperkuat tim, dan meningkatkan penetrasi pasar.

mohjo didirikan pada Januari 2021 oleh Juhi Dang. Startup ini fokus menyajikan produk makanan dan minuman nabati yang 100% bersih. Perusahaan meluncurkan lini produk pertamanya, yaitu susu almond dan minuman berbahan dasar susu almond di Singapura. Produk ini dibuat dengan bahan-bahan berkualitas tinggi dan bebas dari bahan penstabil, pengental, pemanis buatan, dan bahan kimia lainnya.

Dang menjelaskan, sebagian besar produk alternatif susu yang tersedia secara komersial itu rendah nutrisi dan mengandung zat penstabil. Produk tersebut mengandung 95%-98% air, dicampur dengan zat aditif, dan rasanya kurang enak atau tidak berasa sama sekali.

“mohjo dibuat berdasarkan pengalaman saya sebagai konsumen produk alternatif susu. Sejak kecil, saya minum susu segar, tapi ketika saya mengetahui bahwa saya tidak toleran laktosa, saya tidak dapat menemukan susu nabati yang rasanya enak. Ketika saya pindah ke Singapura, saya pikir saya akan menemukan alternatif susu yang enak dan bersih di sini, tapi ternyata tidak. Yang bisa saya temukan hanyalah cairan yang tampak seperti susu tanpa nutrisi atau rasa,” ucapnya, Senin (16/8).

Co-Founder & Managing Partner East Ventures Willson Cuaca mengatakan, seiring dengan pertumbuhan populasi intoleransi laktosa di seluruh dunia, pihaknya melihat peluang besar dari alternatif dari nabati (plant-based alternatives). Pasar ini mendapat momentum dan mengalami peningkatan permintaan karena orang mulai mengevaluasi kembali pola makan mereka.

“Sebagai perusahaan D2C, mohjo didirikan untuk melayani konsumen yang mencari makanan dan minuman yang lebih sehat namun lezat. Kami percaya bahwa mohjo dapat tumbuh dengan membawa inovasi ke pasar,” terangnya.

mohjo adalah digital native brand yang memiliki tim dengan pengalaman yang luas dalam inovasi, branding dan strategy. Dang memiliki latar belakang lebih dari 13 tahun di inovasi produk konsumen langsung. Selain itu, para profesional di bidang branding dan pemasaran digital menduduki kepemimpinan senior perusahaan.

mohjo sedang memperluas dan memperkuat operasi, penjualan dan pemasaran di Singapura. “Kami mencari orang-orang yang bersemangat dan memiliki ambisi serta percaya bahwa kita dapat mengubah planet ini dengan pilihan yang kita buat saat makan. mohjo sedang membangun tempat kerja yang inklusif di mana bisnis dilakukan dengan cara yang benar,” tambahnya.

Alternatif susu memiliki market size secara global senilai sekitar $23 miliar, dan diperkirakan CAGR akan tumbuh sebesar sekitar 12,5% di tahun 2021 hingga 2028. Wilayah Asia Pasifik mendominasi pasar ini dengan market share sebesar 44%, menurut Grand View Research.

Pasar produk alternatif susu sedang booming karena meningkatnya jumlah orang dengan intoleransi laktosa dan flexitarian, kesadaran masyarakat untuk fokus pada pilihan yang lebih sehat, serta perhatian terhadap etika dan lingkungan dalam mengonsumsi produk susu.

Alasan investor tertarik startup D2C

Mohjo menambah jajaran startup D2C yang mengantongi pendanaan dari investor lokal. Dari pantauan DailySocial, modal ventura lokal lain juga mulai mengalokasikan dana untuk startup nondigital. Beberapa di antaranya Alpha JWC Ventures, Intudo Ventures, Teja Ventures, Salt Ventures, dan lain-lain. Startup kecantikan merupakan salah satu vertikal D2C yang kian hari diminati investor.

Head of Investor Relations & Capital Raising MDI Ventures Kenneth Li mengatakan, ada sejumlah faktor mengapa pelaku startup kecantikan menarik bagi VC. Pertama, brand lokal masa kini menggunakan model D2C untuk membidik segmen digital native.

Kedua, konsumen produk kecantikan cenderung memiliki user stickiness dan repeat purchase yang tinggi. Artinya, bisnis ini dapat mengantongi pertumbuhan bisnis dengan cepat. Tentu bagi VC, masuk ke vertikal ini dapat menjadi sebuah diferensiasi bisnis. Akan tetapi, investasi tetap memerlukan scalibility.

Sementara Senior Investment Analyst Kolibra Capital William Auwines menyoroti perspektif lain. Banyak brand kecantikan lokal mengembangkan strategi marketing yang berbeda untuk membangun brand equity-nya. Selain itu, yang cukup menonjol adalah produk kecantikan terbilang memiliki biaya produksi rendah sehingga keputusan untuk membeli produk menjadi lebih mudah dan nature bisnisnya akan selalu membutuhkan constant repurchasing.

Ia menilai kehadiran e-commerce seperti Tokopedia, Shopee, dan Lazada menjadi game changer bagi industri ini karena mereka mampu mengantongi consumer purchasing journey. Alhasil, tak hanya pelaku industri kecantikan saja yang meningkat, tetapi juga bisnis pendukungnya, seperti sales, marketing, dan logistik untuk segmen SME. Dari paparan ini, industri kecantikan menjadi vertikal yang menarik bagi VC karena berhasil menunjukkan pertumbuhan yang mengesankan dalam beberapa tahun terakhir.

“Sebagai VC, biasanya kami mengabaikan perusahaan tradisional, seperti fashion dan retail. Bagi kami, ada banyak perusahaan teknologi baru yang tumbuh eksponensial dengan menjaga biaya tetap rendah, menjangkau pasar lewat pemasaran online, dan meningkatkan layanan logistiknya untuk memperoleh keuntungan. Faktor ini membuat valuasinya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan tradisional,” paparnya.

[Video] Strategi Flash Coffee Berkiprah di Pasar Indonesia

Startup coffee chain berbasis teknologi Flash Coffee turut meramaikan pasar Indonesia dengan menawarkan pilihan kopi harga terjangkau dan kualitas terbaik dengan konsep pembelian secara online.

Di video kali ini, DailySocial bersama David Brunier dari Flash Coffee  membahas mengenai strategi apa yang seharusnya diaplikasikan perusahaan untuk membedakan produk mereka dengan produk lainnya yang serupa yang ada di pasaran.

Untuk video menarik lainnya seputar startup dan teknologi, kunjungi kanal YouTube DailySocialTV.

Strategi Dapur Terpusat dan Efisiensi Bisnis Dailybox

Pandemi menjadi game changer untuk semua industri agar tetap bertahan, tak terkecuali kuliner. Melesatnya pertumbuhan layanan pesan antar makanan memicu pemain kuliner untuk memanfaatkan tren tersebut untuk tetap menjangkau konsumennya. Dailybox melihat peluang tersebut dengan mengubah struktur model bisnisnya, bahkan sebelum pandemi terjadi.

Sebelum Dailybox hadir, Kelvin Subowo (Co-Founder & CEO) memang memiliki pengalaman yang kuat di bidang kuliner. Sejumlah restoran ia operasikan bersama rekan-rekannya. Namun bisnis ini sarat dengan adu harga properti, yang berarti lokasi bagus menentukan harga properti yang “gila-gilaan”.

Bagi sebuah brand, untuk ekspansi ke satu lokasi saja butuh ongkos yang tidak main-main karena banyak faktor penentu. Kondisi tersebut mulai berubah ketika pemain tren food online delivery mulai menunjukkan taringnya sejak 2015-2016.

“Saya melihat food delivery ini akan game changing. Makanya waktu awal 2018 itu kami buat outlet pertama Dailybox yang menyediakan food delivery,” terangnya kepada DailySocial.

Sejak awal, Dailybox fokus pada masakan rumahan yang dikemas dalam boks (rice box), dijual dengan harga terjangkau dan cocok dengan cita rasa orang Indonesia.

Bisnis model Dailybox di-tweak kembali pada satu tahun berikutnya, dengan pertimbangan ingin lebih terjangkau bagi masyarakat. Terlebih pada saat itu, masih banyak restoran yang menerapkan harga berbeda untuk pembelian di toko yang lebih murah daripada beli online.

“Kami berpikir konsumen itu kan sudah invest waktu mereka untuk beli produk kami, jadi harusnya kita charge lebih murah. Jadinya 2019 itu kami ubah konsep menjadi sepenuhnya online delivery lebih murah daripada dine-in.”

Dailybox pun mulai menerapkan konsep dapur terpusat (centralized kitchen) untuk mengakomodasi proses pre-cook seluruh menu yang dijual Dailybox. Outlet hanya akan menjadi tempat finishing. Dengan demikian, Dailybox mampu memroses satu menu dalam waktu dua menit saja.

Strategi ini mulai dijalankan ketika Dailybox membuka gerai keduanya di food court Grand Indonesia, Jakarta. Saat itu Dailybox sudah mengembangkan 20 pilihan menu comfort food yang disajikan.

“Jadi kami yang kami tawarkan ini bukan junk food, bukan fast food, tapi kami serve the food fast. Karena target konsumen kami saat itu adalah pekerja kantoran yang hanya punya waktu singkat untuk makan siang.”

Dapur terpusat dan DailyPartner

Konsep dapur terpusat ini menjadi game changer buat Dailybox itu sendiri karena pihaknya mampu ekspansi ke outlet lain dalam waktu singkat. Terhitung saat ini sudah hadir di 104 lokasi di 10 kota yang tersebar di berbagai area cloud kitchen yang dioperasikan para penyedia layanan terkait, seperti GrabKitchen dan Dapur Bersama GoFood.

Kelvin menjelaskan, persebaran outlet ini menjadi lokasi akhir untuk finishing setiap pesanan yang dibeli konsumen. Sementara, perusahaan baru memiliki satu dapur terpusat di Legok, Tangerang yang mampu mengakomodasi kebutuhan di seluruh outlet se-Indonesia tersebut dengan luas 2.500 meter persegi.

Menurutnya dengan strategi ini, perusahaan dapat lebih agresif ekspansi ke banyak lokasi dalam waktu singkat, sekaligus tetap menjaga kualitas makanan yang tetap sama mau di mana pun konsumen membelinya. Mengingat seluruh prosesnya terjadi di dalam satu tepat.

Sehingga, meskipun outlet tidak dapat dilihat secara langsung oleh konsumen, mereka tetap dapat menemukan Dailybox dalam radius 2 km dari lokasinya setiap membuka aplikasi online food delivery. “Dapur centralized ini masih bisa mampu menampung kapasitas hingga tiga kali lipat dari penambahan outlet yang sedang kita bidik.”

Selain mengandalkan outlet, perusahaan juga membuat perluasan tersendiri dengan memanfaatkan dapur rumahan, yang disebut DailyPartner. Kelvin menjelaskan dalam produk ini, perusahaan mengajak para pemilik dapur yang tidak dimanfaatkan secara maksimal untuk bergabung dengan Dailybox.

Minimal luas dapur yang dapat didaftarkan seluas 10-15 meter persegi. Tidak ada franchise fee yang ditetapkan, para mitra akan dilatih oleh perusahaan agar kemampuannya menyamai outlet milik Dailybox sendiri. Seluruh suplai juga akan disediakan oleh dapur terpusat.

“Jadi ekspansi kami ini sangat tidak terbatas sebab operasional di lapangan di desain dengan sangat simpel. Saat ini ada 10 lokasi DailyPartner, masih terpusat di Jabodetabek.”

Persaingan ketat di industri

Seperti diketahui, bisnis F&B sangat ketat persaingannya karena low barrrier sehingga mudah ditiru. Oleh karenanya, inovasi secara kontinu adalah satu-satunya jalan agar tetap eksis di mata konsumen.

Dailybox dengan proposisinya sebagai makanan rumahan, membuka kesempatan kepada UMKM untuk berkolaborasi. Perusahaan melakukan kurasi seluruh resep dan menu UMKM untuk setelahnya dikembangkan dan diproduksi secara luas melalui seluruh gerai.

Salah satunya yang sudah terealisasi adalah menu Ayam Geprek Nagih disuplai oleh pengusaha sambal ikan asin Ibu Yanti dari Jakarta. “Sekarang beliau sudah memproduksi 1 ton sambal ikan asin dalam sebulan, ia juga sudah membuka lapangan pekerjaan baru untuk lingkungan rumahnya.”

Alhasil dengan strategi ini, Dailybox jadi lebih versatile sebagai sebuah brand karena dapat mencakup banyak menu makanan rumah, tidak spesifik ke satu hal saja. Namun demikian, di bawah grup The Daily Group, terdapat brand F&B lainnya, seperti menu sushi-to-go, Shirato, dan Anytime.

Kelvin menjelaskan perluasan brand ini adalah langkah untuk menjawab preferensi konsumen yang berbeda-beda. “Kita coba bundling Dailybox dengan beberapa brand tersebut sebagai penunjangnya.”

Selain itu, dalam waktu dekat perusahaan segera ekspansi ke luar Jawa, tepatnya di Pontianak, Kalimantan Barat. Menariknya, karena penetrasi internet dan food delivery yang berbeda dengan Jawa, Dailybox hadir dengan konsep restoran dine-in dengan luas 650 meter persegi.

Food market di Indonesia itu luas sekali, justru di daerah kompetisinya belum separah di Jabodetabek. Di Pontianak itu akan jadi outlet terbesar kami karena memang di sana penetrasi GoFood dan GrabFood belum dalam, jadi perlu dine-in untuk experience di tempat kita.”

Tak hanya Pontianak, dalam tahun ini perusahaan akan ekspansi ke lokasi lainnya di luar Jawa, seperti Makassar, Manado, Gorontalo, hingga Indonesia bagian Timur. Ditargetkan setidaknya Dailybox memiliki 200 outlet.

Pekan lalu perusahaan mengumumkan pendanaan Seri A yang dipimpin Vertex Ventures SEA, serta didukung Kinesys Group dengan nominal dirahasiakan. Dailybox ingin memanfaatkan pertumbuhan online food delivery yang ditaksir oleh laporan e-Conomy 2020 akan mencapai $23 miliar (GMV) pada 2025 di Asia Tenggara. Angka tersebut menunjukkan kuatnya tingkat pertumbuhan rata-rata per tahun (Compound Annual Growth Rate) di industri layanan pesan antar makanan yang mencapai hampir 30%.

Startup F&B On-demand Dailybox Kantongi Pendanaan Seri A Dipimpin Vertex Ventures

Dailybox, startup F&B on-demand, mengumumkan perolehan investasi seri A yang dipimpin Vertex Ventures SEA. Putaran ini turut didukung Kinesys Group. Kendati tidak disebutkan di dalam rilis resmi, sumber DailySocial mengatakan dana yang diperoleh mendekati $3 juta (hampir 43 miliar Rupiah).

Co-Founder dan CEO Dailybox Kelvin Subowo menyampaikan, pihaknya menyambut pendanaan ini dengan sangat antusias. Perusahaan berencana untuk fokus mempercepat ekspansi bisnis ke seluruh Indonesia dan mengembangkan sistem dapur terpusat (central kitchen) agar dapat terus meningkatkan kualitas layanan kepada konsumen.

“Saat ini Dailybox telah hadir di beberapa kota di Pulau Jawa, Sumatera Utara, dan Bali. Pada Agustus mendatang, kami berencana untuk membuka gerai pertama kami di Pontianak. [..] Kami berharap Dailybox dapat menjadi brand F&B lokal terbesar yang dapat memperkenalkan makanan nusantara tidak hanya di Indonesia, tapi juga Asia Tenggara bahkan seluruh dunia,” terangnya, Kamis (22/07).

Senior Executive Director of Vertex Ventures SEA Gary Khoeng menambahkan, “Ketika berinvestasi, kami selalu mencari startup yang berpotensi menjadi calon juara regional. Di tengah berbagai ketidakpastian saat ini, kami melihat Dailybox secara konsisten menunjukkan performa yang baik di industri ini.”

Pertumbuhan bisnis dan dampak pandemi

Kelvin menambahkan, pandemi yang sudah terjadi sejak tahun lalu memang telah membawa dampak yang luar biasa di banyak aspek, tak terkecuali industri F&B. Namun, kondisi tersebut tidak menghalangi pertumbuhan bisnis Dailybox. Pada Maret kemarin, gross revenue (pendapatan kotor) perusahaan secara grup tumbuh hingga 700% secara YOY.

Omzet penjualan Dailybox naik 80% berasal dari layanan pesan antar makanan online. Angka ini sejalan dengan fokus utama perusahaan yang fokus pada layanan pesan antar makanan.

Selain itu, kurang dari satu tahun, peningkatan gerai juga tumbuh drastis hingga 300% menjadi ratusan gerai pada semester I 2021. Pencapaian menobatkan Dailybox sebagai F&B brand yang memiliki jaringan cloud kitchen terbanyak di Indonesia. “Kami akan menggandakan jumlah gerai pada akhir tahun ini.”

Startup yang didirikan pada 2018 ini adalah bagian dari The Daily Group (PT Sendok Garpu Internasioal). Dalam grup ini menaungi beberapa brand F&B lainnya seperti menu sushi-to-go, Shirato, dan minuman segar, Anytime. Dailybox menghadirkan berbagai menu masakan rumahan yang terjangkau dan cocok dengan lidah masyarakat Indonesia.

Perusahaan berkolaborasi dengan chef ternama, seperti Juna Rorimpandey dan Renatta Moeloek, menghadirkan 30 pilihan menu beragam. Dalam menjalankan operasionalnya, Dailybox menerapkan sistem dapur terpusat untuk menjaga kualitas makanannya dan berkolaborasi dengan operator cloud kitchen seperti GrabKitchen, YummyKitchen, dan mitra individu Dailybox, DailyPartner.

Didorong platform food delivery

Hadirnya food startup didorong pertumbuhan pesat bisnis food delivery yang menjadi infrastruktur distribusi mereka — termasuk juga di sisi pembayaran karena layanan food delivery yang menguasai pasar berbentuk super app.

Menurut data yang dihimpun Momentum Works, per tahun 2020 pertumbuhan bisnis pesan-antar makanan di Asia Tenggara mencapai 183%. Peningkatan ini didukung layanan pengantaran instan ala Grab, Gojek, Foodpanda, Deliveroo, dll. Bisnis ini telah membukukan GMV mencapai $11,9 miliar dengan tren yang terus bertumbuh.

Pertumbuhan bisnis food delivery di Asia Tenggara / Momentum Works

Spesifik untuk pasar Indonesia, pada tahun 2020 GMV yang dibukukan layanan pesan antar mencapai $3,7 miliar dengan dominasi layanan GrabFood (53%) dan GoFood (47%).

East Ventures Dikabarkan Kembali Pimpin Pendanaan Greenly

Greenly, startup new retail yang fokus pada makanan dan minuman sehat, dikabarkan mengantongi pendanaan baru sebesar $800 ribu (lebih dari Rp11 miliar) yang dipimpin East Ventures. Menurut informasi yang DailySocial dapatkan, putaran lanjutan ini juga diikuti oleh Sage Capital.

Belum ada konfirmasi yang diberikan pihak East Ventures dan Greenly sampai berita ini diturunkan.

Sebelumnya, East Ventures memimpin pendanaan tahap awal Greenly dengan nilai dirahasiakan pada Februari 2020. Dana segar ini digunakan perusahaan untuk inovasi produk, pengembangan teknologi, serta memperluas jaringannya di Surabaya dan kota-kota lainnya.

Dalam wawancara bersama DailySocial, Co-Founder Greenly Edrick Joe Soetanto menyampaikan, semangat perusahaannya adalah mendemokratisasikan makanan sehat yang mudah dicari dengan harga terjangkau, sama seperti kondisi saat ini yang sangat mudah menemukan makanan cepat saji.

Menurutnya, mengonsumsi makanan sehat harus dilakukan secara rutin bukan sesekali saat berkunjung ke mal saja, tapi di mana saja konsumen berada. Untuk membentuk kebiasaan tersebut, Greenly membentuk operasional cloud kitchen, baik bekerja sama dengan Grab Kitchen, maupun mengoperasikan sendiri di berbagai titik agar mudah dijangkau konsumen.

Tak hanya makanan, kini Greenly membentuk sub-brand baru khusus untuk minuman sehat (plant based) dengan ragam menu kekinian bernama Freshful.

Semua proses bisnis Greenly dilakukan dengan pendekatan O2O, mengadopsi penjualan multikanal melalui gerai fisik dan pesan-antar. Perusahaan kini mengoperasikan tiga outlet flagship di Surabaya, dan cabang lainnya untuk pemesanan online yang tersebar di Surabaya, Malang, dan Bali dengan total sembilan outlet.

Konsep Greenly diyakini diterima masyarakat Indonesia. Menurut data FAO, rata-rata masyarakat Indonesia mengonsumsi 122 gram sayur dan 92 gram buah setiap hari. Tingkat konsumsi tersebut lebih rendah dari tingkat asupan harian yang direkomendasikan yaitu 300-400 gram sayur dan 100-150 gram buah.

Warung Pintar Umumkan Kehadiran sebagai “Holding Supply Chain”

Warung Pintar mengumumkan posisinya sebagai grup yang khusus menaungi solusi rantai pasok untuk ekosistem warung, mulai dari pemilik warung, toko kelontong, pengusaha grosir, distributor, hingga brand. Kabar ini diumumkan selang empat bulan setelah aksi akuisisinya terhadap Bizzy.

Saat ini Warung Pintar Group memiliki empat solusi digital yang masing-masing bertugas untuk membantu penguatan rantai pasok warung dari hulu ke hilir.

Pertama, aplikasi Warung Pintar yang ditujukan untuk para pemilik warung dan toko kelontong untuk memenuhi stok warung. Fitur lain yang tersedia adalah fitur Catatan Pintar (pencatatan utang), Komunitas Pintar (program pengembangan bisnis warung), dan Iklan Pintar (pemasukan iklan brand untuk pemasukan tambahan warung).

Kedua, aplikasi Grosir Pintar yang digunakan oleh toko grosir agar dapat terhubung langsung dengan ratusan pemilik warung dalam jarak 5-10 km. Selain itu, tersedia fitur Bisnis Pintar untuk pengadaan inventaris. Sejauh ini perusahaan telah menggandeng lebih dari 600 mitra pengusaha grosir ang masing-masing melayani sekitar 200-300 pemilik warung yang masuk dalam aplikasi tersebut.

Ketiga, Warung Pintar Distribusi yang telah hadir sejak awal perusahaan berdiri. Layanan ketiga ini sekarang semakin solid karena memiliki lebih dari 50 gudang dan depo di seluruh Indonesia. Terdapat sistem manajemen gudang dan solusi inventaris di dalamnya.

Terakhir, Bizzy Connect yang merupakan produk terbaru, menghubungkan brand dan distributor langsung ke pemilik warung. Sistem distribusi digital yang terintegrasi ini didukung dengan aplikasi untuk manajemen salesman hingga sistem pelacakan pengiriman yang efektif. Bagi brand, dilengkapi dasbor untuk memantau distribusi barang secara langsung.

Sumber: Warung Pintar Group

Kini, terdapat lebih dari 500 brand dan distributor yang bergabung, termasuk nama besar seperti Reckitt Benckiser dan Coca Cola. “Pada 2021 ini kami berhasil melengkapi solusi digital untuk channel tradisional, kehadiran Bizzy buat kami semakin kaya solusinya,” ucap CEO Warung Pintar Group Agung Bezharie Hadinegoro dalam konferensi pers virtual, Rabu (7/7).

Solusi dari Warung Pintar Group diklaim mampu mendorong peningkatan efisiensi warung karena pemilik warung dapat efisien hingga 40% baik itu dari sisi harga yang bersaing dan mendapat pendapatan tambahan. Pun, bagi pemilik brand dan distributor kini dapat terhubung langsung dengan warung, tanpa ada lagi pihak penengah. Pemilik warung memiliki lebih banyak sumber produk dengan harga bersaing, hampir 20%-25% lebih murah.

Agung menyadari di tengah pandemi ini warung termasuk sektor yang paling terdampak. Berdasarkan hasil survei internal perusahaan, pada awal pandemi, sebanyak 93% pemilik warung mengalami penurunan penjualan hingga 28%.

Di satu sisi, sebesar 74% (sekitar $267 miliar) bisnis ritel Indonesia terjadi di channel tradisional dan jumlah warung adalah 60% dari angka tersebut. Warung juga menjadi channel distribusi utama dengan kontribusi terhadap PDB sebesar empat kali lebih tinggi dari e-commerce.

Pangkal masalah pada warung adalah sistem distribusinya yang berlapis yang menurunkan efisiensi antara 20%-25%. Informasi yang terfragmentasi dan asimetris menyebabkan alpanya visibilitas data yang menghambat pertumbuhan semua pihak, sayangnya banyak pemain yang berusaha membawa solusi hanya pada satu pihak. Hal tersebut mendisrupsi pasar yang akhirnya meningkatkan terjadi skeptisisme adopsi digital pada ekosistem warung.

“Solusi digital Warung Pintar Group dirancang sebagai kekuatan fundamental yang sangat dibutuhkan untuk mengangkat pertumbuhan ekonomi yang lebih signifikan di dalam salah satu channel distribusi terbesar di Indonesia,” tambah Agung.

Konferensi pers virtual Warung Pintar Group / DailySocial

Langkah berikutnya

Dengan posisi baru sebagai grup, Agung menjelaskan fokus perusahaan akan kembali ke akar bahwa warung harus lebih kuat dari sebelumnya. Oleh karenanya, perusahaan akan membawa lebih banyak fitur baru yang segera dirilis pada tahun ini. Sayangnya, ia enggan membeberkan lebih lanjut.

Menurutnya, meski ada banyak minimarket hingga supermarket, warung tetap memegang peranan penting. Lantaran tidak hanya menjadi tempat transaksional, tapi sebagai suatu komunitas untuk berkumpul dan mengobrol. Terlebih, di Indonesia ruang untuk tumbuhnya layanan e-commerce masih begitu besar.

“Warung digital itu adalah kendaraan yang bisa membawa menuju pintu gerbang yang bisa menjangkau lebih banyak orang Indonesia masuk ke platform digital.”

Sebagai bagian dari transformasi, kini Warung Pintar tidak lagi menyediakan warung gerobak kuning. Terhitung saat ini Warung Pintar Group tumbuh 100 kali lipat sejak awal pandemi untuk jumlah warung yang dilayani -dari 5 ribu menjadi 500 ribu warung. Artinya, 1 dari 7 warung yang ada di Indonesia berada dalam jaringan Warung Pintar Group.

Adapun pengguna aktifnya mencapai 106 ribu warung yang bertransaksi setiap bulannya. Disebutkan juga perusahaan telah memroses jutaan transaksi pada tahun ini. Agung menargetkan Warung Pintar dapat menggaet hingga 1 juta warung sampai tahun depan.

Terkait pemberitaan soal penggalangan dana, ia menyampaikan bahwa $6 juta tersebut adalah bagian dari aksi akuisisi perusahaan terhadap Bizzy, sehingga bukan putaran khusus. Namun demikian, ia bilang saat ini perusahaan sedang aktif berdiskusi dengan investor soal kemungkinan putaran baru.

“Kita aktif ngobrol dengan investor, yang mana yang bisa memberikan semangat gotong royong, yang bisa kasi tambahan value dan kapabilitas kepada kami agar lebih banyak warung yang terdigitalisasi,” pungkasnya.

Application Information Will Show Up Here

KULO Group Rilis Aplikasi Mobile, Optimalkan Platform Pemesanan dan Loyalitas

Perusahaan F&B KULO Group merilis aplikasi untuk permudah konsumen mengakses sembilan brand di bawah grup secara lebih mudah dari lokasi terdekat. Aplikasi secara resmi dirilis ke publik pada 17 Maret 2021 mendatang, tersedia di Android dan iOS.

Saat ini KULO memiliki 1500 outlet yang tersebar di seluruh Indonesia dengan sembilan brand terdiri dari Kopi Kulo, Pochajjang Korean BBQ, Kitamura Shabu-Shabu, Oseng Mie Jontor, Mazeru, Xiji Street Snack, MoTahuAja, Bu Eva Spesial Sambal, dan Xi Bo Ba.

CMO KULO Group Michelle Sulistyo menuturkan, kehadiran aplikasi ini merupakan bentuk penawaran perusahaan agar konsumen dapat mengakses seluruh brand dari lokasi terdekat dengan harga yang lebih terjangkau. Sebelumnya, KULO memanfaatkan kehadiran outlet untuk menerima dine-in, takeway, dan online food delivery bekerja sama dengan platform seperti GrabFood dan GoFood.

“Yang membedakan dari aplikasi dengan order online adalah kami ingin berikan promo eksklusif yang hanya bisa ditemukan di aplikasi, bisa tukar poin dan redeem, dan special privilege mencoba produk baru yang akan kami luncurkan lebih dulu di aplikasi,” terang Michelle, Senin (15/3).

Aplikasi juga dilengkapi dengan berbagai macam fitur seperti pilihan untuk delivery atau pick up dengan menentukan jadwal sesuai pilihan konsumen, akses menu yang lebih lengkap dan beragam, dan fitur refer to friend untuk mendapatkan poin ekstra apabila teman mengunduh dan melakukan pembelian lewat aplikasi.

Ke depannya akan ada lebih banyak fitur yang akan disiapkan perusahaan untuk memanjakan konsumen, salah satunya adalah reservasi online apabila konsumen ingin makan langsung di restoran.

Secara model bisnis, KULO belum memanfaatkan cloud kitchen dalam operasionalnya, sehingga pemesanan dari aplikasi baru memungkinkan untuk satu outlet dari satu brand saja. Kendati demikian, Michelle menegaskan setiap outlet memungkinkan konsumen untuk memilih lebih banyak variasi pilihan entah itu menambah es, gula, saus, dan sebagainya yang tidak ditemukan saat memesan lewat aplikasi food delivery.

Selama pandemi, sambungnya, perusahaan juga turut terdampak dari sisi kunjungan konsumen untuk dine-in. Misalnya, untuk menu santapan yang lebih nikmat dinikmati langsung di lokasi, akhirnya harus take away untuk di makan di rumah. Alhasil, meski tidak dirinci lebih jauh, secara keseluruhan bisnis perusahaan cukup terbantu dengan kinerja dari brand minuman daripada makanan.

“[Saat awal pandemi] sempat turun, tapi sekarang sudah stabil naik. So far hampir semua brand kita ramai [pembeli], tapi untuk yang paling ramai brand minuman daripada makanan,” pungkasnya.

Green Butcher dan Misinya Populerkan Makanan Vegan Daging Nabati

Founder Burgreens Helga Angelina Tjahjadi dan Max Mandias menyadari, adanya pandemi yang dimulai oleh virus yang ditransmisi melalui hewan, membawa suatu dorongan untuk beralih ke protein nabati karena memiliki keamanan makanan yang tinggi dan lebih ramah terhadap lingkungan. Oleh karenanya, pola makan harus segera diubah.

Akan tetapi, Burgreens yang merupakan restoran makanan sehat berbasis nabati, tidak bisa melakukan misi tersebut sendirian karena mereka belum bisa mengakomodasi kebutuhan protein untuk masak di rumah. Sehingga dibutuhkan brand baru yang khusus menangani segmen tersebut.

Dorongan tersebut juga datang dari eksternal, ia mengaku pihaknya mendapat banyak permintaan dari konsumen loyal Burgreen dan rekan bisnis restoran untuk bisa membeli alternatif daging sapi dan ayam yang selama ini baru bisa dinikmati saat berkunjung ke restoran Burgreens.

“Kami pun akhirnya meluncurkan Green Butcher di tengah pandemi, tepatnya di September 2020. Target konsumen kami adalah semua orang yang peduli kesehatan diri dan lingkungan, namun menyukai rasa daging,” ucap Helga dalam wawancara bersama DailySocial.

“Daging nabati” ini sebenarnya terbuat dari jamur, kedelai non-GMO, buncis, dan seitan (gluten gandum). Bahan-bahan lainnya diambil dari petani lokal di Indonesia, misalnya garam laut yang berasal dari Bali, rempah-rempah (i.e. kunyit, lengkuas, dan serai) dari Jawa, dan minyak kelapanya bersumber dari pohon kelapa yang tumbuh secara berkelanjutan di Riau.

Dari segi rasa, Green Butcher mengambil pendekatan seperti Burgreens yang mengambil cita rasa dari kuliner Indonesia dan Asia, seperti Beefless Rendang, Chick’n Satay Taichan, dan Chink’n Karage. Tak hanya itu, mereka juga meluncurkan Vegan Boba yang mendapat respons baik dari konsumen.

Seluruh menu ini adalah makanan kemasan (Consumer Packaged Goods/CPG) yang siap masak (ready-to-cook) oleh konsumen di dapurnya masing-masing. Ada dua jenis bisnis yang dijalankan oleh Green Butcher, yakni B2C dan B2B. Untuk B2C, perusahaan bekerja sama dengan jaringan supermarket di berbagai kota dan melalui kanal digital untuk distribusi ke konsumen.

“Kami memiliki Production Facility yang berfungsi sebagai distribution center. Dari sinilah semua produk Burgreens dan Green Butcher didistribusikan.”

Sementara dengan B2B, perusahaan bekerja sama dengan pemain restoran menjadi penyuplai untuk menu daging nabati. Salah satu yang sudah terealisasi adalah bersama Starbucks yang meluncurkan meatless pastry line menggunakan Beefless Chucks milik Green Butcher.

“Kami juga sedang menyiapkan peluncuran produk plant-based dengan dua grup F&B ternama di Indonesia yang sangat terkenal dengan meat selection dan japanese food mereka.”

Helga berharap para brand F&B ini ke depannya semakin banyak yang terlibat dalam gerakan menghadirkan menu plant-based untuk mengakomodasi lebih banyak konsumen yang ingin makan protein dengan sehat dan aman.

Co-Founder Burgreens Max Mandias & Helga Angelina / Burgreens
Co-Founder Burgreens Max Mandias & Helga Angelina / Burgreens

Terima pendanaan tahap awal

Menariknya, meski usia Green Butcher belum menginjak satu tahun, sudah mengantongi pendanaan tahap awal sebesar $2 juta (lebih dari 28 miliar Rupiah) yang dipimpin Unovis Asset Management, Teja Ventures, diikuti oleh SavEarth Fund yang berorientasi pada dampak lingkungan dari James dan Suzie Cameron, Phi Trust, C4D, dan investor individu Elisa Khong, Michal Klar, dan Simon Newstead.

Teja Ventures merupakan salah satu investor Burgreens yang turut masuk dalam sejumlah putaran investasi yang digelar.

Dalam keterangan resmi, Managing Director Unovis Asset Management Kim Odhner mengungkapkan rasa terhormatnya karena bisa mendukung pekerjaan penting yang sedang dilakukan Green Butcher.

“Helga Angelina dan seluruh tim telah membuat kemajuan yang mengesankan selama setahun terakhir, dan Unovis bertujuan untuk memanfaatkan pengalaman unik dan posisi industrinya untuk membantu meluncurkan pembangkit tenaga listrik nabati yang inovatif ini kepada khalayak global,” terang Odhner.

Helga menyebut, dana segar akan dimanfaatkan perusahaan untuk mengembangkan tim R&D, meningkatkan produksi, dan masuk ke jaringan pengecer utama pada Q2 2021.

Secara terpisah, Helga mengatakan Unovis adalah investor global terdepan khusus di industri alternatif protein. Nantinya mereka akan membantu proses peluncuran Green Butcher sebagai brand global. “Kami sangat bersyukur bisa bekerja dengan highly experienced investor seperti Unovis,” tutupnya.

Gencarkan Strategi Omnichannel, Hangry Targetkan Miliki 150 Gerai Tahun Ini

Hangry, startup multi-brand virtual restaurant, mengambil langkah agresif untuk dapat membuka 150 gerai offline hingga akhir 2021 (posisi saat ini 41 gerai). Diharapkan ekspansi ini dapat mendongkrak brand awarenss dari lima brand restoran milik Hangry, sekaligus kinerja perusahaan.

Co-Founder & CEO Hangry Abraham Viktor menjelaskan, meski bisnisnya baru berumur setahun, namun pandemi berhasil memberikan banyak pelajaran. Pada awal pandemi, perusahaan sebenarnya ikut terdampak hingga penurunan penjualan hingga 30%. Akan tetapi, angka tersebut belum seberapa dibandingkan pemain F&B lainnya yang bermain di layanan dine-in.

Seiring berjalannya waktu, salah satunya didorong percepatan konsumsi aplikasi digital yang masif, berdampak pada kinerja perusahaan yang dapat tumbuh lebih cepat dibandingkan sebelumnya dari sebelum PSBB tahap pertama.

Momentum tersebut dimanfaatkan dengan terus ekspansi meluncurkan brand-brand F&B baru di bawahnya, hingga akhirnya memutuskan untuk buka gerai khusus dine-in, dari sebelumnya hanya berkonsep cloud kitchen untuk pesan antar memanfaatkan jasa GoFood dan GrabFood.

“Tahun ini kita mau lebih banyak effort ke branding supaya lebih banyak orang kenal Hangry. Makanya kita pakai strategi omnichannel buka gerai dine-in dan delivery, tapi rencananya kita mau lebih banyak dine-in biar semakin engage dengan konsumen,” terang Viktor dalam konferensi pers virtual, Kamis (25/2).

Saat ini Hangry memiliki 40 gerai yang tersebar di Jabodetabek dan 1 gerai di Bandung. Adapun pada awal tahun ini, perusahaan meresmikan satu gerai dine-in dinamai Hangry the Alley berlokasi di Puri Pesanggrahan, Jakarta Barat. Gerai ini akan menjadi flagship dari seluruh brand Hangry agar semakin dikenal masyarakat luas.

Viktor sendiri merencanakan, dalam target 150 gerai pada akhir tahun ini. Setidaknya di tiap kota besar akan hadir satu gerai flagship tersebut untuk memperkenalkan brand Hangry. Lalu sisanya akan difokuskan untuk perbanyak gerai stand alone buat Moon Chicken dan San Gyu. Keduanya merupakan brand dengan penjualan tertinggi dan memiliki banyak konsumen.

Adapun Hangry kini memiliki tiga brand F&B lainnya, yakni Dari Pada, Nasi Ayam Bude Sari, dan Ayam Koplo. Masing-masing brand jadi cari perusahaan untuk menangkap semua masyarakat yang memiliki favorit makanan yang berbeda-beda.

Mengenai kinerja perusahaan terjadi tren kenaikan hingga 2000% yang ditunjukkan lewat penjualan produk di bawah naungan Hangry mencapai 22 kali lipat dari Januari 2020 ke Desember 2020.

Pada tiap kuartal sepanjang 2020, perusahaan mampu menjual mulai dari 135 ribu porsi dalam sebulan, tembus ke angka 525 ribu porsi sebulan di kuartal terakhir. Bahkan disebutkan pula pada Desember 2020, dalam sehari pernah tembus 17 ribu porsi.

“Oleh karena itu, kami melihat bahwa minat masyarakat terhadap produk Hangry cukup tinggi dan menjadi salah satu alasan kami untuk berinovasi melakukan ekspansi dengan membuat restoran dine-in,” tutupnya.

Ekspansi perusahaan yang agresif ini juga didukung oleh perolehan pendanaan tahap awal senilai $3 juta dari Sequoia dan Alpha JWC Ventures yang diumumkan pada Juni tahun lalu.

Application Information Will Show Up Here