VIDA Luncurkan “Identity Stack”, Bantu Bisnis Cegah Penipuan Identitas Berbasis Deepfake

VIDA, penyedia solusi identitas dan keamanan digital, secara resmi meluncurkan VIDA Identity Stack. Ini adalah layanan komprehensif yang dirancang untuk mengatasi ancaman penipuan identitas digital, terutama yang menggunakan teknologi deepfake dan AI. Peluncuran ini dilakukan dalam acara “VIDA Executive Summit 2024” yang dihadiri oleh berbagai pakar dan pemimpin industri digital, termasuk ahli keamanan siber dunia, Mikko Hyppönen.

Dalam beberapa tahun terakhir, ancaman penipuan digital di Indonesia mengalami peningkatan yang signifikan, terutama serangan yang memanfaatkan deepfake, pengambilalihan akun, dan rekayasa sosial. VIDA Identity Stack hadir sebagai jawaban atas meningkatnya ancaman ini, menawarkan solusi pencegahan penipuan dengan tingkat keberhasilan hingga 99,9%. Solusi ini mencakup berbagai fitur seperti verifikasi identitas, autentikasi pengguna, dan deteksi penipuan digital yang didukung oleh teknologi AI canggih.

Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika Indonesia, Nezar Patria, yang turut hadir dalam acara tersebut, menekankan pentingnya solusi keamanan digital untuk menjaga kepercayaan dalam transaksi online. “Dengan meningkatnya jumlah serangan siber di Indonesia, penggunaan tanda tangan elektronik tersertifikasi seperti yang disediakan oleh VIDA menjadi krusial untuk menjamin identitas dan integritas dalam sistem elektronik,” ujar Nezar.

Fitur utama Identity Stack

VIDA Identity Stack menghadirkan beberapa fitur utama, antara lain:

  • Identity Verification: Mengkonfirmasi keaslian dokumen dan identitas secara real-time, mencegah penipuan melalui gambar atau video palsu.
  • User Authentication: Memastikan keamanan akses melalui otentikasi berbasis ponsel dan pengenalan wajah.
  • Fraud Detection: Menggunakan AI dan machine learning untuk mendeteksi dan mencegah aktivitas penipuan, termasuk deepfake.

Peluncuran VIDA Identity Stack menegaskan komitmen VIDA untuk melindungi bisnis di Indonesia dari ancaman penipuan digital yang semakin kompleks. Dengan teknologi yang terus berkembang, solusi ini diharapkan dapat menjadi benteng pertahanan utama bagi bisnis dalam menjaga keamanan transaksi digital mereka.

Founder & CEO VIDA Group Niki Luhur menyatakan, “Risiko deepfake dan penipuan berbasis AI semakin nyata, menyebabkan kerugian finansial yang besar bagi banyak bisnis. VIDA Identity Stack dirancang untuk melindungi bisnis dari ancaman ini, sehingga mereka dapat menjalankan operasi dengan lebih aman dan lancar.”

Laporan tentang ancaman siber

Selain peluncuran produk, VIDA juga merilis laporan riset bertajuk “Where’s The Fraud: Protecting Indonesian Business from AI-Generated Digital Fraud.” Laporan ini mengungkapkan bahwa 97% bisnis di Indonesia telah menjadi korban serangan rekayasa sosial dalam satu tahun terakhir, dengan phishing dan smishing sebagai metode yang paling sering digunakan. Lebih dari itu, 46% bisnis tersebut belum memiliki pemahaman mendalam tentang teknologi AI untuk mencegah serangan ini, menunjukkan kebutuhan mendesak akan solusi yang lebih komprehensif.

Secara lebih lengkap, berikut temuan utama dalam laporan tersebut:

  • Ancaman Penipuan Berbasis AI Meningkat Pesat: Penipuan digital yang dihasilkan oleh AI, termasuk deepfakes, rekayasa sosial (social engineering), pengambilalihan akun, dan pemalsuan dokumen, terus meningkat. Teknologi tradisional semakin tidak efektif dalam menghadapi ancaman yang kian canggih ini, yang menyebabkan kerugian finansial dan reputasi yang signifikan.
  • 97% Bisnis Indonesia Mengalami Serangan Rekayasa Sosial: Hampir semua bisnis di Indonesia telah menjadi target serangan rekayasa sosial, dengan metode phishing (67%), smishing (51%), dan vishing (47%) sebagai teknik yang paling umum digunakan.
  • 84% Bisnis Mengalami Penipuan Identitas: Sebagian besar bisnis di Indonesia melaporkan telah mengalami penipuan identitas dalam setahun terakhir. Deepfakes dan pemalsuan identitas sintetis menjadi ancaman yang semakin sulit dideteksi.
  • 100% Bisnis Khawatir dengan Deepfake dan Penipuan Berbasis AI, tetapi 46% Tidak Memahami Teknologi Ini: Meskipun seluruh responden bisnis menyatakan kekhawatirannya terhadap ancaman penipuan berbasis AI, hampir separuh dari mereka mengakui tidak memiliki pemahaman mendalam tentang teknologi ini.
  • 96% Bisnis Menghadapi Pemalsuan Dokumen: Bisnis di berbagai sektor, seperti keuangan dan real estat, sering kali menjadi korban pemalsuan dokumen dan tanda tangan, yang berdampak pada kerugian finansial, pelanggaran data, dan kerusakan reputasi.
  • 97% Bisnis Mengalami Upaya Pengambilalihan Akun (Account Takeover): Bisnis di sektor keuangan dan e-commerce sangat rentan terhadap pengambilalihan akun, dengan 76% serangan berhasil menghasilkan transaksi tidak sah atau pencurian data.
  • AI Membantu dalam Pencegahan Penipuan Berbasis AI: Solusi yang didukung AI, seperti verifikasi identitas berbasis biometrik dan deteksi penipuan menggunakan algoritma canggih, sangat penting untuk mengatasi ancaman penipuan yang terus berkembang.
Application Information Will Show Up Here

Disclosure: Artikel ini diproduksi dengan teknologi AI dan supervisi penulis konten

Vida Confirms Series A Funding, Focusing to Ampllify System Security and Technology

Digital signature provider VIDA has confirmed its series A funding. In the release, there was no mention of the company’s fresh funding. However, this news confirms DailySocial.id’s previous reports regarding the funding.

From our sources, VIDA managed to raise fresh funds of $50.5 million or around 691 billion Rupiah. However, his party refused to comment on the nominal funding obtained.

The investors announced were actually less than what we’ve been informed. In an official statement, investors participating are include Alpha JWC Ventures, DST Global Ventures, Breyer Capital, Future Shape, AC Ventures, and Endeavor Catalyst.

Several investors will also hold advisory positions, including Jim Breyer (Breyer Capital) and Tony Fadell (Principal Future Shape LLC, known as the inventor of the iPod and iPhone and Founder & CEO of Nest Labs).

VIDA will use this new capital to deepen its expertise in information security and machine learning. Moreover, continuing the educational process to encourage  public trust in digital interaction and transaction.

“We will use this funding to continue investing in products and talent to provide a seamless verification and authentication experience for all users. In addition, we will continue to encourage acceleration of the company’s vision to deepen our position in various strategic industrial sectors, such as financial services, e-commerce, and also health services,” VIDA’s Founder & Group CEO, Niki Luhur said, yesterday (6/6).

VIDA’s Co-founder CEO Sati Rasuanto also said that this funding marks a new phase for the company’s growth, with the presence of experienced partners in the world-class digital industry. “Not only providing ammunition for VIDA to continue to grow but also strategic direction and support for VIDA’s business can push our position wider in the digital signature industry,” Sati said.

The investor’s representative also provide a statement. One of them is Jim Breyer of Breyer Capital. He said, “VIDA’s founders have demonstrated a solid understanding of the complexities and opportunities of the ever-growing digital signature market, and VIDA has deepened its expertise in artificial intelligence and cybersecurity to be able to produce reliable authentication and verification products. We believe VIDA will continue to disrupt new frontiers in Indonesia and globally, and provide world-class digital signature services and products to the customers.”

Founded in 2018 by Niki Luhur, Sati Rasuanto, and Gajendran Kandasamy, VIDA provides secure digital signature services for businesses and the public. Armed with a full license as an Electronic Certificate Operator (PSrE) under the Ministry of Communication and Informatics and various other global accreditations, VIDA provides world-class services such as certified electronic signatures, and online identity verification services (e-KYC), and other authentication services.

VIDA products have been used by millions of Indonesians through various popular digital services from various industries such as financial services, e-commerce, transportation, telecommunications, and health. Utilizing deep expertise in terms of information security, VIDA plays an important role in assisting business partners in reducing fraud, increasing trust in online transactions, and providing a secure digital environment for users to do business.

In order to make VIDA a world-class cybersecurity company, the management also announced the appointment of Hamilton-Turner as CTO. Turner is an Assistant Professor of Computer Science at Vanderbilt University, USA, with 12 years of experience in cybersecurity, authentication, distributed systems, cryptography, and optimization algorithms.

The development of digital signature industry

VIDA, Privy, TekenAja, and Digisign are currently capturing the huge market potential of digital/electronic signature products. According to Fortune Business Insight, the market size for digital signature services has reached $3 billion by 2021. This year it is expected to increase to $4.05 billion and grow to $35.03 billion by 2029 at a CAGR of 36.1%.

Meanwhile, according to DocuSign’s analysis, the total addressable market in Indonesia is still very wide open. The potential could be as high as $25 trillion. This is due to the use cases are getting wider. Moreover, crucial sectors such as banking have also adopted this service to support its online banking services. In addition, related services have also received attention from regulators, for example, digital signature products penetration in the PSrE at Kominfo and e-KYC’s implementation in the OJK regulatory sandbox.

The innovations carried out by TekenAja, for example, are developing E-Stamp integrated with API and to add up for business transactions process. Both are complementing the existing legal digital signature solutions.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

VIDA Konfirmasi Pendanaan Seri A, Fokus Perkuat Teknologi dan Keamanan Sistem

Startup pengembang layanan tanda tangan digital VIDA mengumumkan perolehan pendanaan seri A. Dalam rilis, tidak disebutkan dana segar yang direngkuh perusahaan. Namun demikian, kabar ini mengonfirmasi pemberitaan DailySocial.id sebelumnya mengenai pendanaan tersebut.

Dari informasi yang kami dapat, VIDA berhasil mengumpulkan dana segar $50,5 juta atau sekitar 691 miliar Rupiah. Kendati demikian pihaknya enggan memberikan komentar terkait nominal perolehan pendanaan.

Nama-nama investor yang diumumkan pun lebih sedikit dari informasi yang kami terima. Dalam keterangan resmi, investor yang berpartisipasi dalam putaran ini di antaranya Alpha JWC Ventures, DST Global Ventures, Breyer Capital, Future Shape, AC Ventures, dan Endeavor Catalyst.

Pasca-pendanaan, beberapa investor akan memegang posisi sebagai advisor, di antaranya Jim Breyer (Breyer Capital) dan Tony Fadell (Principal Future Shape LLC, dikenal sebagai penemu iPod dan iPhone dan Founder & CEO Nest Labs).

VIDA akan memanfaatkan dana segar ini untuk memperdalam keahliannya di bidang keamanan informasi dan machine learning. Serta, melanjutkan proses edukasi untuk mendorong peningkatan kepercayaan masyarakat dalam berinteraksi dan bertransaksi secara digital.

“Kami akan menggunakan hasil pendanaan ini untuk terus berinvestasi pada produk dan talenta demi hadirkan pengalaman verifikasi dan autentikasi yang seamless bagi para seluruh pengguna. Tak hanya itu, kami akan terus mendorong akselerasi dari visi perusahaan untuk perdalam posisi kami di berbagai sektor industri strategis, seperti jasa keuangan, e-commerce, dan juga layanan kesehatan,” terang Founder & Group CEO VIDA Niki Luhur, kemarin (6/6).

Co-founder CEO VIDA Sati Rasuanto menambahkan, pendanaan ini menandai fase pertumbuhan baru bagi perusahaan, dengan kehadiran mitra yang berpengalaman di industri digital kelas dunia. “Tidak hanya menyediakan amunisi bagi VIDA terus tumbuh, tetapi juga arahan dan dukungan strategi bagi bisnis VIDA dapat mendorong posisi kami lebih luas di industri identitas digital,” ujar Sati.

Perwakilan dari investor juga turut memberikan pernyataannya. Salah satunya Jim Breyer dari Breyer Capital. Dia bilang, “Para founders di VIDA telah menunjukkan pemahaman yang kuat mengenai kompleksitas serta peluang yang ada dalam pasar identitas digital yang terus tumbuh, dan VIDA telah memperdalam keahlian mereka dalam artificial intelligence dan keamanan siber untuk dapat menghasilkan produk verifikasi dan autentikasi yang meyakinkan. Kami percaya VIDA akan terus mendisrupsi batas-batas baru di Indonesia dan global, serta menyediakan layanan dan produk identitas digital kelas dunia bagi para pelanggan mereka.”

Didirikan pada tahun 2018 oleh Niki Luhur, Sati Rasuanto, dan Gajendran Kandasamy, VIDA menyediakan layanan identitas digital yang aman bagi bisnis dan masyarakat. Berbekal lisensi penuh sebagai Penyelenggara Sertifikat Elektronik (PSrE) berinduk di bawah Kementerian Kominfo serta beragam akreditasi global lainnya, VIDA hadirkan layanan kelas dunia seperti tanda tangan elektronik tersertifikasi, layanan verifikasi identitas online (e-KYC), dan layanan autentikasi lainnya.

Produk VIDA telah digunakan oleh jutaan masyarakat Indonesia melalui berbagai layanan populer digital dari berbagai industri seperti jasa keuangan, e-commerce, transportasi, telekomunikasi dan juga kesehatan. Memanfaatkan keahlian yang mendalam dari sisi keamanan informasi, VIDA berperan penting membantu para partner bisnis dalam mengurangi tindak penipuan (fraud), meningkatkan rasa percaya (trust) dalam transaksi online, hingga menyediakan digital environment yang aman untuk para penggunanya melakukan bisnis.

Dalam rangka menjadikan VIDA sebagai perusahaan yang memiliki keamanan siber kelas dunia, manajemen sekaligus mengumumkan penunjukan Hamilton Turner sebagai CTO. Turner merupakan Asisten Profesor Ilmu Komputer di Universitas Vanderbilt, AS, dengan pengalaman 12 tahun di dunia keamanan siber, autentikasi, sistem terdistribusi, kriptografi, dan algoritma optimasi.

Perkembangan startup layanan tanda tangan digital

VIDA, Privy, TekenAja, hingga Digisign tengah merebutkan potensi pasar yang besar dari produk tanda tangan digital/elektronik. Menurut Fortune Business Insight, ukuran pasar untuk layanan tanda tangan digital telah mencapai $3 miliar pada 2021. Tahun ini diperkirakan akan meningkat menjadi $4,05 miliar dan bertumbuh hingga $35,03 miliar pada 2029 dengan CAGR 36,1%.

Sementara di Indonesia, menurut analisis DocuSign, total addressable market masih terbuka sangat luas. Potensinya bisa mencapai $25 triliun. Hal ini dikarenakan use case penggunaan yang semakin luas. Terlebih sektor krusial seperti perbankan juga sudah mengadopsi untuk mendukung layanan perbankan online-nya. Selain itu, layanan terkait juga sudah mendapatkan perhatian dari regulator, misalnya untuk produk tanda tangan digital masuk ke PSrE di Kominfo dan e-KYC masuk di regulatory sandbox OJK.

Inovasi yang dilakukan TekenAja misalnya, yang mengembangkan E-Materai yang terintegrasi dengan API dan E-Stamp untuk melengkapi kebutuhan dalam melakukan transaksi bisnis. Keduanya melengkapi solusi tanda tangan digital yang legal yang sudah hadir.

Application Information Will Show Up Here

VIDA Kantongi Pendanaan Pra-Seri A, Fokus Perluas Ekosistem Indentitas Digital

VIDA, platform pengembang solusi verifikasi identitas, tanda tangan elektronik, dan kredensial digital mengumumkan perolehan pendanaan pra-seri A dari investor yang dipimpin oleh Jungle Ventures, Alpha JWC Ventures, dan Monk’s Hill Ventures. Tidak disebutkan nominal dana yang diberikan.

Dengan dana segar ini, perusahaan akan fokus pada perekrutan, pengembangan teknologi, dan pemasaran; serta memperluas kehadirannya di sektor fintech, perbankan, asuransi, dan perawatan kesehatan. Tercatat saat ini teknologi VIDA telah digunakan oleh startup hingga perusahaan teknologi seperti Gojek, Grab, Ajaib, Sicepat, Trevo, LINE, hingga HappyFresh.

“Kami percaya bahwa kemitraan adalah kunci untuk meningkatkan dan memberdayakan ekosistem, serta membangun kolaborasi untuk mendukung pertumbuhan perusahaan dalam dalam ketahanan jaringan terpercaya,” kata Founder & Executive Chairman VIDA Niki Luhur.

Sementara itu Co-Founder & General Partner Alpha JWC Ventures Jefrey Joe mengungkapkan, VIDA menawarkan solusi mutakhir yang akan memainkan peran penting dalam pertumbuhan ekonomi digital Asia Tenggara. “Kami telah melihat bagaimana solusi serupa menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari di pasar Amerika Serikat dan Eropa, tetapi tidak sebanyak di Indonesia di mana tidak ada pemain dominan di sektor ini.”

Terdaftar di otoritas

Didirikan pada tahun 2018 oleh Niki Luhur, Sati Rasuanto, dan Gajendran Kandasamy, VIDA menjadi Penyelenggara Sertifikat Elektronik (PSrE) pertama di Indonesia yang memperoleh sertifikasi WebTrust dan terdaftar dalam Adobe Approved Trust List (AATL). Selain itu mereka telah meraih sertifikasi ISO 27001. Sehingga tanda tangan digital VIDA adalah dapat dikenali di lebih dari 40 negara.

Saat ini VIDA juga terdaftar sebagai penyelenggara Inovasi Keuangan Digital (IKD) OJK di klaster e-KYC.  Selain itu, kini mereka telah terdaftar dan berinduk di bawah Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia sebagai PSrE atau Certification Authority (CA).

“Verifikasi identitas mendasari setiap transaksi digital. Kami memanfaatkan keahlian kami dalam keamanan siber untuk membangun produk yang secara mendasar mengubah pengalaman pengguna di berbagai platform dan produk digital. Sebagai penyedia kepercayaan digital, kami memberikan solusi untuk menjawab tantangan yang dihadapi oleh keamanan siber saat ini,” kata Niki.

Industri tanda tangan digital

Urgensi penerapan tanda tangan digital atau sistem verifikasi pendukung makin krusial di tengah lahirnya layanan digital yang membutuhkan keamanan ekstra — seperti layanan finansial. Perannya juga makin dominan kala pandemi memaksa setiap aktivitas untuk bertransformasi secara digital, proses persetujuan untuk mengesahkan sebuah dokumen legal pun kini dituntut untuk bisa dilakukan secara daring.

Melihat potensi tersebut, beberapa startup kemudian menggarap layanan sebagai pendukung. Di klaster e-KYC IKD OJK sendiri saat ini tercatat ada empat pemain terdaftar, termasuk PrivyID, Digisign, dan ASLI RI.

Daftar penyelenggara e-KYC yang tercatat di klaster IKD OJK

Platform e-KYC membantu sebuah layanan digital untuk memverifikasi keabsahan identitas calon pengguna. Biasanya mereka juga menghubungkan sistem verifikasi dengan data yang dimiliki Dukcapil.

Sementara itu untuk penyelenggara sertifikasi elektronik atau digital signature, regulasinya melalui Kementerian Kominfo. Setiap pemain yang mendaftarkan diri akan mendapat peringkat mulai dari terdaftar, tersertifikasi, dan yang tertinggi berinduk. Untuk mencapai berinduk, platform harus memenuhi banyak persyaratan teknis, sistem, dan keamanan.

Selain harus lolos audit yang cukup ketat dari Kementerian Kominfo, status tersebut turut didapat perusahaan berkat infrastruktur yang tersertifikasi. Misalnya, mereka sudah mendapatkan ISO 27001 untuk keamanan sistem. Perusahaan juga telah memiliki fasilitas pusat data tier-3 dan pusat pemulihan data tier-4 untuk melakukan proses bisnis.

Daftar penyelenggara sertifikasi elektronik dari Kominfo

Survei AFTECH: Pandemi Berdampak Besar pada Perubahan Strategi Bisnis Fintech

Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH) mengungkapkan sebanyak 69% anggotanya terkena dampak akibat pandemi Covid-19 yang masih berlangsung hingga kini. Dalam survei yang diselenggarakan secara tahunan ini, responden menyatakan setidaknya ada lima dampak yang begitu terasa.

Mulai dari penurunan jumlah pengguna di beberapa model bisnis fintech; penurunan penjualan untuk beberapa model bisnis; tantangan operasional, termasuk produktivitas dan efisiensi yang lebih rendah; kesulitan dalam penggalangan dana; dan penundaan ekspansi bisnis.

Kemudian sebanyak 9% responden, termasuk beberapa perusahaan pinjaman online dan pembayaran digital, mengaku mendapatkan pengguna dan peluang bisnis baru selama pandemi. Sisanya, sebanyak 22% responden menyatakan saat ini bisnis tidak beroperasi penuh.

Survei ini diikuti oleh 52 responden yang merupakan anggota AFTECH yang diselenggarakan pada akhir Maret (awal PSBB diberlakukan) dan Juni (di tengah periode pandemi). Adapun, survei ini merupakan bagian dari Annual Member Survey 2019/2020 yang dilakukan secara rutin oleh AFTECH dan diikuti oleh 154 responden.

Lebih jauh hasil survei dipaparkan oleh Ketua Umum AFTECH Niki Luhur dalam konferensi pers secara virtual, dijabarkan bahwa untuk perluasan model bisnis, responden menyatakan sebelum pandemi terjadi telah merencanakan untuk perluas model bisnis (87%). Akan tetapi, pada pandemi memutuskan untuk menundanya (59%) dan ada yang menjawab tetap melanjutkan (41%).

Berikutnya, untuk penurunan bisnis dikatakan ada gap yang tinggi. Sebanyak 33% responden mengaku memiliki total nilai transaksi lebih dari Rp80 miliar, sedangkan 24% sisanya memiliki total transaksi di bawah Rp500 juta. “Selama pandemi, total nilai transaksi telah menurun dikarenakan adanya penurunan jumlah pengguna di beberapa model bisnis tekfin dan berkurangnya aktivitas ekonomi,” kata dia, Kamis (10/9).

Rencana penggalangan investasi juga terjadi penundaan. Dalam survei dikatakan sebelum pandemi, 46% responden mencoba meningkatkan investasi, sedangkan 25% telah meningkatkan investasi sebanyak yang dibutuhkan, dan 2% telah menghimpun lebih dari yang dibutuhkan.

Sumber dana investasi yang mereka incar adalah PE (28%), bootstrapping (23%), angel investor (19%), venture capital (13%), dan sisanya menjawab teman & keluarga, pemerintah, dan IPO. Adapun rata-rata total investasi yang dihimpun oleh para startup ini berkisar antara Rp500 juta hingga Rp35 miliar. “Oleh karenanya, mayoritas responden tekfin tergolong series A dan kategori di atasnya.”

Dalam menyikapi perubahan strategi di atas, para responden ini telah melakukan sejumlah langkah mitigasi. Jawaban yang paling banyak dipilih adalah penguatan pengelolaan kas (43%); perubahan model bisnis (9%); pemutusan hubungan kerja (9%); penundaan ekspansi bisnis dan pemberlakuan cuti yang tidak dibayar dan pemotongan gaji (masing-masing 2%).

Meski bisnis mereka menurun, namun dikatakan pandemi ini telah mendorong adopsi layanan fintech di beberapa model bisnis, termasuk pembayaran digital dan pinjaman online. Menurut data BI, jumlah instrumen e-money yang digunakan mengalami peningkatan.

Pada April 2020, jumlahnya mencapai 412 juta transaksi atau tertinggi sepanjang masa. Sementara jumlah pinjaman online yang disalurkan pada Juni 2020 mencapai Rp113,46 triliun, naik 152,23% dibandingkan bulan yang sama tahun lalu.

Survei AFTECH mencatat ada 55 inisiatif untuk pemulihan ekonomi nasional. Untuk UKM, inisiatif tersebut difokuskan pada pengurangan biaya operasional, melalui penerapan suku bunga lebih rendah, penyediaan fasilitas transfer gratis, tanda tangan digital gratis, diskon tagihan bulanan, dan merchant discount rate 0%. Berikutnya, program konsultasi keuangan gratis, relaksasi pinjaman, dan bebas biaya layanan untuk berbagai proyek (terutama di sektor kesehatan).

Sementara untuk masyarakat umum inisiatif tersebut, di antaranya fleksibilitas pada penyediaan jasa keuangan, pemberian dukungan APD, dan pemberian nasihat keuangan pribadi secara cuma-cuma.

Survei lanjutan

Dalam paparannya, Niki mengatakan sejak AFTECH diresmikan pada 2016 hingga sekarang jumlah anggotanya tumbuh drastis. Menjadi 362 perusahaan pada kuartal dua tahun ini dari awalnya 24 perusahaan di 2016. Anggota ini mayoritas diisi oleh pinjaman online (44%), IKD (24%), pembayaran digital (17%), dan layanan urun dana (1%).

Terdapat lebih dari 23 jenis solusi fintech yang tersedia di pasar, dari awalnya hanya pembayaran digital dan pinjaman online kini mencakup agregator, innovative credit scoring, perencana keuangan, layanan urun dana, dan project financing. AFTECH sendiri kini sekaligus menaungi IKD, data OJK teranyar mengatakan ada 86 IKD yang berstatus terdaftar dan terbagi menjadi 18 klaster regulatory sandbox.

Niki juga menuturkan bahwa pembayaran digital telah mencapai tahap “mature” dibandingkan jenis bisnis lainnya. Sementara pinjaman online baru memasuki tahap “mature” pada 2019. Sisanya, layanan fintech yang masuk ke dalam klaster IKD dan ECF (layanan urun dana) masih dalam tahap “growth”.

Menurut survei, fintech paling banyak melayani segmen masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Sebanyak 32% responden menyebutkan penggunanya adalah individu dengan pendapatan bulanan berkisar Rp5 juta-Rp15 juta (32%) dan di bawah Rp5 juta (22%). Kalangan usianya adalah 25-34 tahun (39%), 35-50 tahun (30%), dan 18-24 tahun (20%).

Wilayah operasional Jabodetabek tetap menjadi pangsa pasar utama para pemain tekfin (41%), kemudian diikuti oleh Bandung, Surabaya, dan Medan. Meski masih terkonsentrasi di kota besar, pasar telah menjangkau di wilayah luar Jawa (23%).

Salah satu hasil survei yang cukup menarik untuk disimak adalah terkait infrastruktur dan teknologi. Dikatakan bahwa ada lima infrastruktur terbesar di sektor fintech, yakni e-KYC (20,26%), infrastruktur cloud (17,37%), open banking API (16,05%), payment gateway (14,21%), dan fraud database (11,84%).

Akan tetapi, responden menyatakan dalam pengadaan infrastruktur tersebut masih terdapat tantangan. Tiga tantangan utamanya adalah biaya yang mahal (31%), hambatan regulasi (27%), dan infrastruktur dasar yang belum memadai (15%).

Berikutnya, dari sisi kesenjangan talenta yang sesuai kebutuhan, terutama untuk pekerjaan bidang data and analytics (23%), pemrograman (20%), dan manajemen risiko (15%). Terlepas dari kesenjangan tersebut, 67% responden menyatakan tidak memperkerjakan talenta asing.

Mereka justru menjawab tantangan tersebut dengan melakukan in-house training (27%), merekrut talenta dari lembaga keuangan (19%), dan merekrut dari perusahaan serupa (18%).

Petinggi Dana, GoPay, LinkAja, dan Ovo Tanggapi Strategi Bakar Uang

Strategi ‘bakar uang’ lumrah dipakai oleh perusahaan baru dalam mengakuisisi konsumen dalam waktu yang singkat. Ada pro kontra bila ini dilakukan dalam waktu lama. Selain tidak sehat untuk industri, juga konsumen akan didorong untuk hidup konsumtif.

Bagaimana para pemain fintech pembayaran menanggapi strategi ini? Pertanyaan ini diangkat dalam salah satu sesi di Indonesia Fintech Summit & Expo 2019 hari kedua, kemarin (24/9). Mengundang Aldi Haryopratomo (GoPay), Harianto Gunawan (Ovo), Vincent Iswara (Dana), Danu Wicaksana (LinkAja), dimoderatori oleh Ketua Aftech Niki Luhur.

Seluruh pemain sepakat bahwa promosi dilakukan untuk mengedukasi masyarakat yang sehari-harinya masih menggunakan transaksi tunai dalam kesehariannya. Harianto mengelaborasi lebih dalam. Dia menjelaskan ada dua hal yang membuat konsumen mau beralih dan menggunakan aplikasi pembayaran, yakni kepercayaan dan kenyamanan.

“Proses bank dalam bangun kepercayaan di pasar sampai bertahun-tahun, kita [perusahaan teknologi] tidak bisa melakukan seperti itu. Cara tercepat dalam meraih kepercayaan, siapa itu kita, perlu dengan insentif. Ini adalah investasi terbesar yang perlu dilakukan untuk bangun kepercayaan,” katanya.

Untuk bisa mendorong orang pindah dari transaksi tunai ke nontunai, butuh proses. Terlebih, menurutnya mayoritas penduduk di Asia Tenggara masih menggunakan tunai. Di Indonesia saja, layanan pembayaran digital masih di bawah 10%.

Sepakat dengan Harianto, Aldi menambahkan insentif itu dibutuhkan untuk mengalihkan orang dari tunai ke non tunai. Namun dia menekankan, insentif yang diberikan harus kepada orang yang tepat dan waktu yang tepat pula. Pun, insentif tidak hanya diberikan ke pembeli saja, tapi juga ke mitra penjual.

“Mitra kami mayoritas adalah UKM, ketika kami beri insentif, mereka bisa merasakan langsung dampaknya. Penjualan mereka naik double. Dari sini, mereka akan merasa perlu untuk geser ke non tunai.”

Sementara itu, Vincent juga menekankan bahwa promosi itu bukan satu-satunya hal yang mendorong masyarakat untuk beralih ke digital. Menurutnya yang terpenting adalah akses, bagaimana mereka bisa memanfaatkan layanan ini untuk top up dan cash out semudah bertransaksi tunai.

Pasalnya, bertransaksi digital ini tidak mengurangi nominal saldo yang ada di ATM. Makanya Dana fokus perbanyak kerja sama untuk keagenannya, beberapa nama di antaranya Ramayana, Bukalapak, dan Alfa Group.

“Pada akhirnya ini mengenai edukasi, burning money untuk mengubah gaya hidup digital itu tidak murah, butuh effort, waktu, dan mindset.”

Vincent mencontohkan, kejadian nyata ini dialami sendiri oleh Dana saat menggelar acara offline. Konsumen tidak perlu bayar apapun asalkan mengunduh aplikasi Dana untuk bertransaksi di dalamnya. Menariknya dari total pengunjung, hanya 20% yang mau untuk pakai Dana.

“Kejadian ini mindblowing. Saya tanya ke mereka kenapa tidak mau pakai? Mereka bilang kurang nyaman sehingga lebih baik pakai tunai saja. Ini memperlihatkan butuh effort ekstra untuk mengubah mindset.”

Terakhir, Danu mengaku pihaknya lebih memilih untuk bakar uang secara tepat guna. Dengan menggabungkan pengalaman dari tiga bank pemegang saham di balik Dana dengan semangat agility dari startup, menghasilkan insight penting agar perusahaan lebih cerdas dalam bakar uang.

“Ada dua metrik yang kita ukur sebelum bakar uang, dari persentase orang yang datang dari tunai dan nasabah bank ke LinkAja. Itu terlihat seberapa tinggi yang butuh e-money. Lalu peta distribusinya, apakah dari 2nd atau 3rd tier. Ini penting buat tahu investasi yang kita tempatkan benar-benar sentuh mereka.”

Kesediaan untuk menerapkan ekosistem terbuka

Pertanyaan lain yang diajukan moderator kepada para panelis adalah apakah keempat pemain ini bersedia untuk merelakan infrastruktur yang sudah dibangun untuk dipakai bersama pemain sejenis yang tak lain adalah kompetitor langsungnya.

Menanggapi ini, Harianto menegaskan Ovo bukan kompetitor dengan GoPay, LinkAja, dan Dana. Justru kompetitor keempatnya adalah uang tunai. Untuk itu pihaknya sangat terbuka dengan kolaborasi, terutama dengan perbankan.

Dia juga mengapresiasi penerapan QRIS oleh BI, yang dinilai sangat brilian dalam mendukung integrasi antar pemain dan interoperabilitas satu sama lain. Imbas akhirnya adalah pemain dapat menekan ongkos yang harus mereka keluarkan untuk mengakuisisi merchant.

“Kita sangat terbuka, makanya menganut open ecosystem. Jika kita bisa bersatu maka bisa mengalahkan dominasi cash.”

Aldi menanggapi pertanyaan ini dengan mengumbar info terbaru bahwa saat ini mesin EDC dari GoPay sudah bisa menerima pembayaran dari LinkAja, dalam mendukung ekosistem terbuka. Dari sisi LinkAja, tentunya hal ini bisa mengurangi ongkos perusahaan dalam investasi mesin EDC baru dan menempatkannya di merchant mereka.

“Ekosistem terbuka itu adalah gol kita, infrastruktur yang kita bangun bisa dipakai oleh partner. QRIS juga sangat menguntungkan kita untuk mencapai gol kita,” tutupnya.

OJK Tunjuk Aftech Sebagai “Asosiasi Penyelenggara Inovasi Keuangan Digital”

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjuk Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) sebagai Asosiasi Penyelenggara Inovasi Keuangan Digital (IKD) sesuai dengan amanat POJK No.13 Tahun 2018 mengenai IKD di sektor jasa keuangan. Penunjukan bertujuan untuk membangun sistem pengawasan penyelenggara IKD yang efektif.

IKD di sini terkait segmen fintech yang selama ini belum diregulasi oleh OJK. Ini adalah istilah dari OJK yang menyebutnya sebagai inovasi, bukan sebagai industri. Sejauh ini baru dua industri fintech yang sudah diregulasi, yakni P2P lending dan equity crowdfunding.

Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK Nurhaida menjelaskan, IKD punya banyak manfaat positif, seperti meningkatkan inklusi dan literasi keuangan, dan memenuhi kesenjangan pembiayaan untuk UMKM.

Di sisi lain risikonya juga banyak. Untuk itu perlu diterapkan balanced regulatory framework agar hubungan dengan lembaga jasa keuangan dapat bersinergi secara optimal. Perlindungan konsumen pun tetap terjaga.

Menurutnya, penunjukan asosiasi ini akan mempermudah mekanisme koordinasi dan pengawasan IKD, serta diharapkan akan meningkatkan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang ada dan membangun sinergi antar penyelenggara IKD.

“Melalui pembentukan asosiasi, para penyelenggara IKD akan mudah membentuk ekosistem keuangan digital karena terdiri dari anggota dengan berbagai model bisnis. Mereka bisa saling berinteraksi dan mendukung dalam menciptakan sektor keuangan digital yang sehat,” terangnya, Jumat (9/8).

Mekanisme pembentukan asosiasi ini, menganut prinsip pengaturan. Artinya OJK hanya membuat garis besar pengaturan, sementara teknis dari pengaturan ini dibuat oleh para pelaku industri.

Aftech akan mengambil peranan penting untuk merumuskan standar industri dan mengembangkan operasional Asosiasi Penyelenggara IKD, termasuk pedoman perilaku model bisnis (market conduct) masing-masing anggota.

“Pengawasan fintech itu beda dengan bank dan non bank karena model bisnisnya beda, risikonya juga beda. Makanya perlu tempuh dengan market conduct, artinya kita harus membuat industri ini bisa bertanggung jawab dalam menjalankan inovasinya, tidak hanya bermanfaat bagi masyarakat tapi juga melindungi kepentingan konsumen,” tambah Deputi Komisioner OJK Institute dan Keuangan Digital Sukarela Batunanggar.

Lebih lanjut, tugas dan wewenang Aftech sebagai Asosiasi Penyelenggara IKD diatur dalam SEOJK Penunjukan Asosiasi Penyelenggara IKD yang akan diterbitkan dan disampaikan ke publik dalam waktu dekat.

Tunggu SEOJK terbit

Ketua Aftech Niki Luhur menjelaskan, pihaknya akan membentuk market conduct dan komite etik pasca ditunjukkan sebagai Asosiasi Penyelenggara IKD, setelah mendapatkan arahan dan batasan-batasan yang jelas dari OJK (SEOJK).

“Kita akan memulai ini sesuai dengan arahan OJK. Dari sana kita bentuk komite etik yang independen berisikan para pengacara yang akan mengkaji bila ada isu-isu ke depannya,” ujar Niki.

Dia melanjutkan, “Bila standar dari OJK sudah jelas, baru sanksi dan bagaimana implementasinya akan kita rumuskan. Apakah melibatkan satgas waspada investigasi atau lainnya. Kita perlu koordinasi lebih jauh terkait ini.”

Hingga Juli 2019, OJK telah memberikan status tercatat kepada 48 penyelenggara IKD. Keseluruhannya akan diawasi secara market conduct oleh Aftech. Dari total ini, 34 penyelenggara di antaranya terpilih menjadi prototype regulatory sandbox.

OJK membagi 34 penyelenggara ini ke dalam 15 klaster berdasarkan segmen bisnisnya. Yang terbanyak di antaranya aggregator (15), credit scoring (4), financial planner (6), financial agent (4), dan project financing (5).

Setelah masuk regulatory sandbox, OJK akan memantau mereka selama setahun atau enam bulan apabila ada tambahan setelahnya. Nanti akan ada hasil akhir sebagai landasan untuk menyusun regulasi, setelah sebelumnya mempertimbangkan dampaknya secara ekonomi dan masyarakat.

Keseluruhan IKD ini sebelumnya harus sudah terdaftar sebagai anggota dari salah satu asosiasi fintech di Indonesia, bisa ke Aftech, AFSI, atau AFPI. Aftech sendiri punya 250 anggota, namun hanya 231 perusahaan yang sudah masuk dalam daftar OJK. Sementara dalam daftar OJK, sudah ada 113 penyelenggara P2P lending yang terdaftar dan tujuh sudah menerima izin usaha.

Co-working Fintech Space Officially Launches, UnionSpace Marked Its Presence in Indonesia

Co-working space operator UnionSpace (previously known as Cre8) officially introduce its service in Indonesia by launching co-working Fintech Space in Jakarta specifically for fintech. The new office is targeted to officially operate in June 2018.

In its presence, UnionSpace partners with locals such as Indonesia’s Fintech Association (Aftech), Kejora Ventures and Gan Konsulindo. Through the strategic alliance, UnionSpace will develop partnership network includes GK-Plug and Play Indonesia and Founder Institute. Soon to be launched, a few international level startup accelerate programs.

“We are excited to be a part of business economic growth in Indonesia. One of which is in fintech. We believe that Indonesia will be a promotor for Southeast Asia’s market growth. Through Fintech Space, we support a rapid growth of fintech and an enormous wave of entrepreneurial revivals in fintech segment.” said UnionSpace’s CEO Albert Goh in the official statement.

For him, Fintech Space is expected to be a platform for collaboration among fintech stakeholders, including members of associations, regulators, finance companies, venture capital firms and the startup itself.

Besides, this venue will hold the number of fintech activities in the form of educational and sharing knowledge sessions to support capacity building of business players.

Aftech’s Chairman, Niki Luhur, added that Fintech Space could be a place for collaboration, exchange ideas and solutions as a means to create new innovations, and become the center of network development to accelerate fintech industry growth in Indonesia.

“Such public places are necessary to help accelerating fintech players work, in order to fulfill the priority of the national financial inclusion agenda for opening access to the financial services to at least 75% Indonesia’s population.” he said.

The registered members in Aftech has reached 137 people, bring together 114 fintech startup companies and 23 financial institutions.

UnionSpace itself first came up with the name Cre8 Community + Workspace. In October 2017, it receives invvestment from Kejora Ventures and Gan Konsulindo with undisclosed value. After the new investor, Cre8 in Indonesia with several other brands in Southeast Asia are fully transformed into UnionSpace.

Currently, UnionSpace is available in five locations around Jakarta, three locations in Manila and one located in Malaysia. In addition, it also has an online community platform “Enterprenity” which holds about 24 thousand users throughout the world.

Related to UnionSpace expansion, Albert Goh is targeting this year to add more than 20 locations in major Southeast Asia’s cities to be managed independently.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Resmikan Co-working Fintech Space, UnionSpace Tandai Kehadiran di Indonesia

Operator co-working space UnionSpace (sebelumnya bernama Cre8) meresmikan kehadirannya di Indonesia dengan meluncurkan co-working space Fintech Space di Jakarta khusus menaungi fintech. Kantor baru ini ditargetkan dapat beroperasi resmi pada Juni 2018.

Dalam kehadirannya, UnionSpace menggandeng mitra lokal seperti Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech), Kejora Ventures, dan Gan Konsulindo. Melalui aliansi strategis ini, UnionSpace akan mengembangkan jejaring kerja sama yang mengikut sertakan GK-Plug and Play Indonesia dan Founder Institute. Juga segera meluncurkan beberapa program akselasi startup bertaraf internasional.

“Kami antusias untuk menjadi bagian dari pertumbuhan ekosistem bisnis di Indonesia. Salah satunya di industri fintech. Kami percaya Indonesia akan menjadi salah satu motor bagi pertumbuhan pasar Asia Tenggara. Melalui Fintech Space, kami mendukung kemajuan fintech yang begitu pesat dan gelombang kebangkitan wirausaha di bidang fintech yang begitu besar,” ujar CEO UnionSpace Albert Goh dalam keterangan resmi.

Menurut Albert, Fintech Space diharapkan dapat menjadi wadah kolaborasi antara para pemangku kepentingan bidang fintech, meliputi para anggota asosiasi, regulator, perusahaan keuangan, perusahaan modal ventura, dan startup itu sendiri.

Di samping itu, tempat ini akan menjadi kegiatan diselenggarakannya sejumlah aktivitas fintech dalam bentuk sesi edukasi dan berbagi pengetahuan untuk mendukung peningkatan kapasitas para pelaku usaha.

Ketua Umum Aftech Niki Luhur menambahkan, Fintech Space dapat menjadi tempat kolaborasi, bertukar gagasan dan solusi sebagai sarana untuk melahirkan inovasi baru, serta menjadi pusat pengembangan jejaring untuk mempercepat pertumbuhan industri fintech di Indonesia.

“Ruang publik semacam ini dibutuhkan untuk membantu mengakselerasi kerja para pelaku fintech, agar dapat memenuhi prioritas agenda inklusi keuangan nasional yaitu membuka akses layanan keuangan kepada sedikitnya 75% penduduk Indonesia,” kata Niki.

Adapun anggota terdaftar dalam Aftech saat ini menghimpun 137 anggota, terdiri atas 114 perusahaan startup fintech dan 23 lembaga keuangan.

UnionSpace sendiri pertama kali hadir dengan nama Cre8 Community + Workspace. Pada Oktober 2017 lalu, menerima investasi dari Kejora Ventures dan Gan Konsulindo dengan nilai yang tidak disebutkan. Pasca investor baru masuk, Cre8 di Indonesia dan sejumlah merek lainnya di Asia Tenggara bertransformasi penuh menjadi UnionSpace.

Sejauh ini, UnionSpace beroperasi di lima lokasi di Jakarta, tiga lokasi di Manila, dan satu lokasi di Malaysia. Selain itu, juga memiliki platform komunitas online “Enterprenity” yang menampung sekitar 24 ribu pengguna dari seluruh dunia.

Terkait ekspansi UnionSpace, Albert menargetkan pada tahun ini dapat menambah lebih dari 20 lokasi di kota besar Asia Tenggara yang akan dikelola secara mandiri.

Tiga Poin Utama Persoalan Industri Fintech Indonesia

Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech Indonesia) mengungkapkan bahwa pemain fintech saat ini masih terganjal tiga persoalan dalam bisnis operasionalnya. Tiga hal tersebut adalah infrastruktur, regulasi, dan kolaborasi.

Ketua Umum Aftech Indonesia Niki Luhur mengatakan saat ini infrastruktur pendukung bisnis fintech belum cukup memadai. Pasalnya untuk mendapatkan layanan fintech, masyarakat harus menempuh proses tatap muka dengan pihak penyelenggara jasa keuangan, sebagai salah satu rangkaian dari tahap know your consumer (KYC).

Keberadaan fintech bisa menjadi jurus ampuh untuk memotong rantai KYC jadi lebih efisien, misalnya dengan menghadirkan tanda tangan digital. Dengan demikian, masyarakat Indonesia di manapun mereka berada bisa terlayani. Target inklusi keuangan yang dicanangkan pemerintah pun juga bisa segera terealisasi.

“Kami [pemain fintech] tidak memiliki kemampuan untuk menghadirkan perwakilan kami di berbagai daerah demi melakukan proses KYC tersebut,” kata Niki, dalam diskusi panel yang diadakan Sesparlu, Rabu (29/3).

Niki menilai, konsep tanda tangan digital yang ada saat ini masih belum jelas standar dan legalitas hukumnya. Ia pun mendorong pemerintah untuk segera mengimplementasikan bagaimana aturan main yang jelas untuk KYC.

Berdasarkan hasil evaluasinya mempelajari strategi regulator dari negara lain, Niki memberi masukan kepada pemerintah untuk membuat aturan KYC dengan standar yang berbeda untuk tiap segmen bisnis fintech. Niki juga menekankan proses KYC yang harus efisien, mengingat masih banyak daerah yang memiliki akses internet minim.

Sedangkan dari sisi regulasi, menurut Niki, sebaiknya tidak melulu berkaitan dengan mitigasi risiko. Dia menyarankan agar regulasi yang umumnya berisi upaya menggaet lebih banyak pengguna. Salah satu contoh yang mungkin bisa dilakukan berupa pajak insentif untuk konsumen yang memanfaatkan sistem pembayaran elektronik.

Mengedepankan kolaborasi

Niki melanjutkan kolaborasi antar pelaku jasa keuangan dan penyedia layanan fintech dapat menjadi senjata ampuh untuk membesarkan industri jasa keuangan skala nasional, sebab keduanya tidak bisa berjalan sendiri-sendiri.

Perusahaan fintech memiliki kapabilitas dalam perangkat lunak, peningkatan consumer experience, atau lainnya. Sementara mereka tidak cukup mumpuni dalam sisi manajemen risiko, credit scoring, dan collection. Ketiga hal tersebut adalah kekuatan perbankan yang sudah berdiri selama puluhan tahun dan paham dengan karakteristik orang Indonesia.

“Dengan adanya kekurangan dan kelebihan masing-masing bisa menjadi kolaborasi yang baik untuk kedua belah pihak. Kue masih banyak yang belum digarap,” tutupnya.