Optimisme Blibli Masuk Ranah Offline Melalui BlibliMart

Pekan lalu (28/1) Blibli meresmikan toko offline BlibliMart, sebuah upaya untuk mengukuhkan posisinya sebagai online superstore dengan memperkuat strategi omnichannel. Alasan kuat perusahaan untuk terjun ke ranah ini, tak lain untuk memenangkan kompetisi pasar di industri ritel.

Kepada DailySocial, SVP of Trade Partnership Blibli Francisca Krisantia Nugraha menerangkan, konsumen di pasar ritel didominasi oleh kaum milenial yang sudah terbiasa berbelanja dan bertransaksi online secara cashless.

Studi Nielsen menunjukkan, jumlah konsumen yang berbelanja online meningkat 29% pada tahun 2018 dibandingkan dua tahun sebelumnya. Mayoritas konsumen ini didominasi oleh milenial. Menyisakan segmen minoritas yang memilih untuk tidak belanja online.

Kekosongan ini diterjemahkan oleh Blibli dengan merilis toko offline BlibliMart, agar dapat menjangkau semua tipe konsumen. Sekaligus melengkapi strategi omnichannel  Blibli agar lebih komprehensif secara end-to-end, memastikan diri sebagai online superstore bisa memenangkan kompetisi pasar di industri ritel.

“Penerapan strategi omnichannel yang menyinergikan kanal online dan offline menjadi semakin penting untuk diterapkan oleh perusahaan ritel di masa depan, penting untuk menjawab perubahan perilaku konsumen,” tutur Francisca.

“Memiliki kanal penjualan online dan offline penting untuk menyediakan segala keperluan mereka kapan pun dan di mana pun,” sambung dia.

Sebelum terjun ke toko offline, Blibli sejauh ini memperluas kehadiran omnichannel melalui konsep ritel baru, seperti fitur Click & Collect yang sudah dirilis resmi pada tahun lalu.

Toko perdana BlibliMart berlokasi di Jakarta, tepatnya di Gedung Sarana Jaya, Jakarta Pusat dengan jam operasional dari pukul 8 pagi sampai 6 sore. Di sini tidak menerima pembayaran tunai alias cashless dan cashierless.

Didukung sepenuhnya oleh GoPay sebagai metode pembayarannya. Cukup Scan & Go dengan menggunakan aplikasi Blibli untuk memindai barcode harga di kemasan produk. Lalu membayar seluruh keranjang belanjanya dengan GoPay.

BlibliMart sendiri adalah kategori groceries di Blibli yang hadir sejak tahun 2018. Kategori ini terkuat kedua, setelah produk elektronik, dari segi tingkat pesanan dan GMV.

Ada delapan sub kategori yang dijual di dalam aplikasi, mulai dari minuman, makanan ringan, perawatan rumah tangga, perawatan kulit tubuh, kebutuhan ibu dan anak, makanan beku dan makanan segar.

Namun pada toko offline-nya, ada penambahan produk yang disesuaikan dengan kebutuhan pelanggan seperti produk kesehatan dan kecantikan, Galeri Indonesia, mainan anak, otomotif, aksesoris elektronik, dan gadget. Artinya lebih dari separuh kategori di aplikasi Blibli, masuk ke toko offline.

Francisca menegaskan perusahaan tidak akan merilis aplikasi terpisah. Dikarenakan BlibliMart adalah layanan yang terintegrasi ke dalam ekosistem Blibli. Ia memanfaatkan seluruh infrastruktur fisik, sistem TI dan fitur-fitur yang ada di aplikasi, termasuk gudang, fleet Blibli Express Service untuk mendukung pengiriman cepat di hari yang sama.

“Keseluruhan ekosistem ini penting dalam mendukung pengoperasian dan perkembangan BlibliMart.”

Dia belum bersedia memberikan penjelasan lebih jauh lokasi berikutnya yang akan dipilih untuk toko offline-nya tersebut.

Diyakini tingkat pesanan di BlibliMart dapat tumbuh tiga kali lipat dan GMV naik 2,5 kali lipat pada tahun ini. Target ini juga didukung dengan perluasan jumlah produk senilai dua kali lipat. Tahun lalu, BlibliMart mencatat pertumbuhan order sebesar 313% dan GMV 227%. Pertumbuhan didukung oleh kenaikan volume produk senilai 300%.

Pengembangan berikutnya untuk BlibliMart

Toko offline BlibliMart adalah bagian dari strategi BlibliMart untuk tahun ini yang menyinergikan tiga pendekatan utama. Ketiganya yakni memperkuat manajemen rantai pasokan, menyediakan layanan inovatif sesuai kebutuhan pelanggan dan memperluas kehadiran omnichannel dengan konsep ritel baru.

Bila diterjemahkan lebih dalam, ketiganya dijawab dengan tiga langkah bisnis. Pertama, memperkuat manajemen rantai pasokan dengan mempererat hubungan dengan perusahaan FMCG dan mendekatkan produk kepada pelanggan. Francisca menyebut tahun ini Blibli akan menambah gudang menjadi 21 unit, serta hub dan mobile hub menjadi 43 unit untuk mempercepat pengiriman.

Kedua, menghadirkan fitur inovatif yang sesuai kebutuhan pelanggan, misalnya merilis fitur pengiriman otomatis untuk pelanggan. Rencananya pada kuartal pertama ini, seluruh gudang Blibli di Jabodetabek akan menawarkan layanan tersebut. Kemudian, fitur berlangganan produk yang bakal di rilis pada periode yang bersamaan.

Terakhir, memperluas kehadiran omnichannel melalui konsep ritel baru yang sudah dijawab dengan merilis Click & Collect dan toko offline BlibliMart.

Application Information Will Show Up Here

Penerapan Strategi “Omnichannel” di Bukalapak dan Tokopedia untuk Tingkatkan Pengalaman Pengguna

Hingga tahun 2023 mendatang, Market Research Future memprediksi pasar platform ritel omnichannel global tumbuh hingga US$11,1 miliar. Dalam 2-3 tahun ke depan, faktor pendorong utamanya peningkatan adopsi layanan e-commerce dan meningkatnya penggunaan smartphone/tablet untuk transaksi jual-beli.

Menurut Chief Strategy Officer Bukalapak Teddy Oetomo, strategi omnichannel di layanan e-commerce dan marketplace dilakukan untuk membuahkan diversifikasi di berbagai lini produk dan program, baik secara online maupun offline.

“Kami ingin menyebut Bukalapak sebagai technology commerce, di mana seluruh kegiatan dagang di platform dan program yang dijalankan memanfaatkan teknologi inovatif sebagai akselerator bisnis para UKM. Namun yang terpenting adalah, apapun bentuknya, Bukalapak akan terus berkomitmen pada visinya  menjadi perusahaan yang mampu memberdayakan UKM Indonesia dan penggerak perekonomian bangsa,” kata Teddy.

Salah satu contoh program online-to-offline mereka adalah Mitra Bukalapak. Perusahaan mencoba merangkul agen individual dan warung tradisional agar  memanfaatkan teknologi dan fitur yang dimiliki Bukalapak, sehingga mereka mendapatkan nilai tambah.

Hal senada juga diungkapkan Head of Brand Tokopedia Nirmala Rahmawati, sesuai dengan DNA perusahaan yaitu “focus on consumer” diharapkan bisa memberikan pengalaman terbaik bagi lebih dari 90 juta pengguna bulanan aktif.

“Kami terus berupaya memahami masyarakat dalam menggunakan berbagai fitur dan layanan kami. Brand harus bisa menggunakan berbagai alat dan solusi untuk membangun pengalaman pelanggan yang mudah dan berkesan di berbagai platform.”

Strategi konten cross-channel

Seiring masifnya pemanfaatan teknologi, pasar global telah melihat perubahan besar dalam perilaku konsumen, termasuk Indonesia. Akibatnya, sebagian besar industri menghadapi tantangan baru untuk memenuhi tersebut. Kebutuhan masyarakat yang berbeda-beda membutuhkan pendekatan dan perspektif kreatif baru untuk menyelesaikan masalah.

Strategi omnichannel juga sering dikaitkan dengan distribusi konten secara cross-channel demi meningkatkan pengalaman pengguna. Hal tersebut mencakup integrasi dari pesan yang ingin dikomunikasikan melalui medium digital dan non-digital.

“Dengan mempelajari perilaku konsumen berdasarkan analisis data menggunakan AI dan machine learningkami dapat mempersonalisasi setiap pesan yang dikirim melalui berbagai kanal untuk memastikan relevansi bagi pengguna Tokopedia. Langkah ini sangat penting dalam menciptakan brand experience yang bermakna. Selain itu, informasi tersebut juga membantu kami menyampaikan berbagai pesan lewat beragam kanal yang sesuai dengan preferensi pengguna kami, sehingga kami dapat mengubah perilaku konsumen untuk melakukan pembelian lewat platform Tokopedia,” kata Nirmala.

Saat ini Tokopedia mengklaim telah memiliki lebih dari 250 juta produk terdaftar dengan harga transparan yang dipasarkan oleh lebih dari 7,2 juta pedagang. Selain itu, mereka juga memiliki 35 produk digital yang melayani berbagai kebutuhan masyarakat Indonesia. Dengan begitu banyak produk dan fitur yang tersedia di Tokopedia untuk memenuhi berbagai jenis kebutuhan konsumen, maka diperlukan pengalaman omnichannel yang semulus mungkin.

Menurut Business Delopment Manager MoEngage Divya Jagwani, brick and mortar telah menjadi pelopor untuk industri ritel sejak dulu, namun dalam beberapa tahun terakhir model pembelian telah bergeser untuk pengguna dan sekarang penjualan online nilainya setara atau bahkan lebih tinggi dibandingkan penjualan secara offline. Salah satu alasannya adalah, makin bertambahnya jumlah konsumen yang mencari kenyamanan sekaligus jaminan yang pasti atas produk yang mereka beli.

“Saya percaya untuk saat ini tidak ada banyak perbedaan di toko offline atau online. Harapan konsumen adalah agar toko offline bisa menjadi perpanjangan dari toko online yang menawarkan pengalaman yang sama kepada mereka di seluruh channel dan sebaliknya,” kata Divya.

Secara khusus pendekatan secara online bisa menargetkan konsumen yang tepat, sesuai dengan segmentasi dan produk yang ditawarkan oleh brand. Contohnya pada penempatan iklan digital seperti display dan video, serta penggunaan homepage banner di berbagai platform digital.

Di sisi lain pendekatan secara offline memungkinkan konsumen untuk melihat dan merasakan secara langsung barang yang menarik minat mereka. Contohnya adalah menggunakan iklan TV, beberapa penempatan billboard dan kegiatan pemasaran out-of-home lainnya seperti , seperti titik spot iklan di MRT Jakarta. Untuk itu dibutuhkan biaya yang cukup besar ketika strategi omnichannel mulai dilakukan.

“Poin yang paling penting untuk bisa dipahami oleh brand adalah, konsumen tidak melihat perbedaan antara situs, smartphone, toko offline, email atau SMS. Bagi mereka, penting bagi brand untuk mengenal mereka, tidak peduli channel apa atau cara komunikasi apa yang dipilih untuk bisa lebih personal. Dengan begitu banyaknya data yang dimiliki brand saat ini, mereka seharusnya tidak lagi memasarkan kepada pelanggan dengan mengirim buletin dan kampanye promosi biasa, tetapi menambah nilai pada kehidupan mereka sehari-hari melalui komunikasi di seluruh channel,” kata Divya.

Personalisasi dan penggunaan data

Personalisasi adalah jantung dan faktor penting dalam dunia digital saat ini. Dikenal sebagai “brand intimacy”, kemampuan untuk menghasilkan emosi positif dengan pelanggan diklaim bisa membantu brand mendorong penjualan dan loyalitas pelanggan.

Pada tahun ini diprediksi makin banyak brand yang mencoba untuk “memanusiakan” titik kontak di seluruh channel yang mereka miliki dengan tujuan membangun hubungan emosional yang kuat. Untuk itu bagi brand yang masih menjalankan bisnis secara konvensional sudah harus mulai mengadopsi teknologi, penjualan langsung ke konsumen dan meningkatkan hiper-personalisasi, analisis perilaku pelanggan, dan kemampuan pembelajaran mesin oleh AI.

“Kami berupaya melakukan personalisasi untuk setiap pengguna Tokopedia berdasarkan berbagai data yang kami kumpulkan saat pengguna berinteraksi dengan platform kami. Seluruh langkah ini kami lakukan dengan tujuan untuk membangun hubungan yang kuat dengan pelanggan kami dan mempermudah masyarakat Indonesia untuk memulai dan menemukan apa pun lewat Tokopedia,” kata Nirmala.

Untuk itu penting bagi brand mulai mengelola dengan baik data yang mereka miliki, untuk mendorong kegiatan pemasaran secara digital. Data ini memungkinkan brand untuk membangun algoritma AI dan machine learning yang secara progresif mempelajari lebih lanjut tentang pengguna, menyajikan analisis yang bermakna dan dapat ditindaklanjuti untuk brand yang pada gilirannya bisa memberikan pengalaman pengguna secara personal.

“Penting untuk memahami data dikumpulkan. Tidak cukup hanya melacak data pengguna, tetapi menyusun dan menemukan wawasan yang bermakna serta dapat ditindaklanjuti. Penting bagi brand untuk kemudian menggunakan data ini untuk mencapai komunikasi dengan pelanggan pada waktu yang tepat, melalui channel yang tepat dengan pesan yang tepat untuk mereka,¨tutup Divya.

Tren Inovasi “Digital Marketing” Berbasis Teknologi

Kemudahan yang ditawarkan teknologi saat ini mempengaruhi bisnis saat melancarkan kegiatan digital marketing (pemasaran digital). Mulai dari menerapkan teknologi artificial intelligence (AI), chatbot, video hingga omnichannel. Tidak hanya membantu memangkas pengeluaran, pemanfaatan teknologi bisa menjadi alat yang lebih efektif untuk mendukung kegiatan pemasaran dan mengakuisisi target pasar.

Artikel berikut ini merangkum tren teknologi yang mendukung kegiatan kegiatan pemasaran digital.

Artificial Intelligence

Saat ini teknologi AI sudah menjadi segmentasi paling besar dalam hal menentukan calon pelanggan yang tepat. Mulai dari retargeting, push notification, click tracking dan lainnya, kombinasi teknologi AI yang tepat bisa membantu bisnis memasarkan produk mereka.

Menurut riset yang dilakukan Blueshift, sekitar 28% kegiatan pemasaran telah menggunakan AI untuk memberikan rekomendasi produk, sementara itu sekitar 26% memanfaatkan AI sebagai optimasi kampanye mereka.

Dalam survei tersebut juga disebutkan, AI secara langsung bisa membantu bisnis untuk meningkatkan layanan pelanggan. Survei yang dilakukan Forrester dalam Global State of Artificial Intelligence menyebutkan, sekitar 57% bisnis memanfaatkan AI untuk meningkatkan pengalaman pelanggan, sementara sekitar 44% memanfaatkan AI untuk meningkatkan performa produk dan layanan yang tersedia.

Personalisasi yang saat ini sudah banyak diterapkan ternyata bisa diciptakan dengan memanfaatkan AI. Menurut survei yang dilakukan IDC dan Criteo, sekitar 67% kegiatan pemasaran akan menjadi lebih personal tampilannya dengan memanfaatkan AI, sementara itu sekitar 66% kegiatan pemasaran yang mengedepankan personalisasi dalam hal rekomendasi iklan dan format yang relevan.

Sementara itu, melihat tren yang ada, diprediksi pada tahun 2020 mendatang, sekitar 64% responden survei menyebutkan personalisasi yang bisa dilakukan secara real time dan penyebaran pesan yang dioptimasi akan menjadi kegiatan pemasaran digital yang paling banyak dilakukan.

Teknologi AI juga bisa membantu bisnis memberikan fitur seperti pencarian gambar yang relevan dan cepat. Konsep ini cocok diterapkan oleh platform e-commerce. Diprediksi di masa mendatang pencarian memanfaatkan keyword akan mulai ditinggalkan dan digantikan dengan mencari rekomendasi melalui gambar ke dalam platform.

Chatbot

Media sosial seperti Twitter, Facebook, dan Instagram saat ini sudah dimanfaatkan berbagai brand untuk menciptakan relasi yang lebih personal dengan pelanggan. Namun cara tersebut dinilai kurang efektif, jika dilakukan secara rutin, dalam hal menjawab pertanyaan mendasar. Untuk mengatasi kondisi tersebut, kehadiran chatbot diklaim mampu mempercepat dan membantu proses interaksi dengan pelanggan secara lebih efektif.

Dengan makin masifnya pengembangan chatbot saat ini, teknologi tersebut memberikan kemudahan dan kemampuan untuk melakukan percakapan yang mendasar secara cepat dibandingkan jika bisnis menempatkan tim layanan pelanggan. Teknologi ini juga mampu memangkas waktu yang terbuang, meskipun perusahaan telah menyematkan live chat dalam situs mereka. Dengan biaya yang tergolong terjangkau, chatbot menjadi solusi ideal bagi bisnis untuk kegiatan layanan pelanggan.

Dalam survei yang dilakukan Leadpages terungkap, setelah beberapa periode penggunaan chatbot untuk berinteraksi dengan pelanggan bisa meningkatkan jumlah percakapan hingga 36%. Dengan makin berkembangnya teknologi AI, dipastikan kemampuan chatbot bakal mengalami peningkatan.

Omnichannel

Berbagai pilihan channel, mulai dari media sosial, pencarian secara online memanfaatkan mesin pencari, hingga berkunjung langsung ke offline store, menjadi opsi bagi konsumen mengakses layanan sebuah perusahaan.

Melihat potensi yang ada, sudah waktunya brand menerapkan kegiatan omnichannel. Berbeda dengan multichannel yang diklaim efektif meningkatkan jumlah akuisisi pelanggan hingga transaksi, melalui omnichannel brand bisa memberikan pengalaman pengguna yang lebih optimal, seamless, dan konsisten melalui proses komunikasi yang efektif memanfaatkan berbagai channel.

Melalui interaksi langsung dengan pelanggan melalui media sosial, misalnya, terapkan juga kegiatan memanfaatkan SEO dan melalui email. Tujuan kegiatan omnichannel ini adalah melihat rekam jejak pelanggan dan interaksi apa yang paling banyak dimanfaatkan mereka. Harapannya, dengan menerapkan cara ini, pelanggan tersebut bisa lebih nyaman dengan berbagai pilihan channel dan interaksi yang tersedia.

Agar kegiatan ini bisa berjalan dengan baik, tempatkan tim CRM (customer relationship management) dan buatlah program CRM khusus, agar bisa memantau lebih lanjut interaksi pelanggan dalam platform yang berbeda.

Video

Dengan memanfaatkan platform seperti YouTube atau Facebook Live hingga video tools media sosial seperti Instagram dan TikTok, kegiatan pemasaran memanfaatkan video bisa sangat efektif. Dalam survei yang dilakukan oleh Cisco, diprediksi pada tahun 2021 mendatang sekitar 82% traffic internet akan banyak diserap konten video online.

Tidak heran jika diprediksikan tahun ini sekitar $20 miliar dikeluarkan untuk kegiatan pemasaran berbasis video. Jumlah tersebut meningkat dari sekitar $2 miliar pada tahun 2015.

Tren lain yang diprediksi akan banyak muncul adalah pemanfaatan platform Live Video.

Video bisa dimanfaatkan untuk kegiatan peluncuran produk hingga membangun reputasi yang berbeda saat menggelar kegiatan offline dan mempublikasikannya secara online. Penggunaan video juga memungkinkan bisnis untuk menjangkau target pengguna lebih luas lagi secara cepat dan langsung.

Augmented Reality dan Virtual Reality

Meskipun belum terlalu masif pemanfaatannya, augmented reality dan virtual reality terbukti mampu menciptakan positioning yang efektif ke target pengguna. Kegiatan pemasaran memanfaatkan teknologi ini  memberikan pengalaman pelanggan yang berbeda, sehingga kesan hard sell tidak terlalu terasa.

Berdasarkan survei yang dipublikasi eMarketer, sekitar 48,1 juta warga Amerika Serikat telah menikmati augmented reality setiap bulannya sepanjang tahun 2018. Jumlah ini diprediksi akan meningkat tahun ini hingga 54,4 juta orang.

Contoh implementasi augmented reality yang efektif adalah fitur yang diterapkan IKEA. Memanfaatkan smartphone, calon pembeli bisa melihat secara langsung gambaran penempatan furnitur di ruangan dengan menciptakan tampilan secara real time yang memberikan pengalaman pelanggan yang baik.

Sementara itu, teknologi virtual reality (VR) paling banyak dimanfaatkan untuk pengembangan game dan industri ritel.

Blibli Perkuat Konsep O2O Melalui Fitur Click&Collect

Blibli meresmikan fitur Click&Collect, memungkinkan konsumen untuk berbelanja online di Blibli tanpa harus menunggu kurir mengantarkan pesanan ke alamat tujuan. Ini adalah fitur kedua dengan konsep O2O yang diperkenalkan setelah Blibli Instore sejak 2,5 tahun lalu.

SVP Trade Partnership Consumer Electronic Group Blibli Wisnu Iskandar menjelaskan, fitur teranyar ini hadir karena didasari berbedanya cara konsumen saat belanja. Konsumen online menggunakan platform karena untuk membandingkan harga, cari promosi, dan fitur. Di sisi lain, konsumen offline berbelanja karena ingin lihat barang, trial, dan memegang barang yang akan dibeli.

Tren e-commerce saat ini disebut sudah masuk ke titik 4.0. Di era ini, terjadi kolaborasi antara peritel online dan offline untuk mengembangkan strategi omnichannel, di dalamnya mencakup cara penjualan O2O. Alhasil, para konsumen yang menggunakan platform online karena ingin juga merasakan pengalaman saat berbelanja offline.

“Blibli menjawab kebutuhan tersebut melalui fitur Click&Collect. Konsumen bisa belanja di situs Blibli, memanfaatkan sistem pembayaran yang kami sediakan beserta ragam penawaran khusus. Kemudian, mereka mengambil belanjaan di toko offline untuk memastikan kecocokan produk,” terangnya, Rabu (26/6).

Secara konsep, Click&Collect ini diharapkan dapat menguntungkan konsumen dan merchant partner. Konsumen dapat memegang langsung barang yang mereka beli, bertanya langsung untuk solusi lainnya. Di satu sisi, peritel punya kesempatan untuk cross dan upselling, yang pada akhirnya meningkatkan omzet bisnis dan memberikan diferensiasi.

Setelah konsumen berbelanja melalui Click&Collect, merchant akan mempersiapkan pesanan dalam kurun waktu dua jam. Maksimal dalam tujuh hari barang harus diambil konsumen. Kkhusus Click&Collect tidak disediakan layanan retur.

“Di dalam email, konsumen akan terima notifikasi status pesanan. Apabila barang sudah siap diambil, konsumen bisa langsung datang. Dua jam itu adalah waktu normal untuk merchant dalam memproses suatu pesanan.”

Dua merchant yang sudah kerja sama strategis untuk fitur ini adalah Alfamart dan Fujishopid. Sistem backend antara kedua perusahaan ini sudah terintegrasi penuh dengan Blibli, sehingga seluruh stok secara real time bisa dilihat lewat aplikasi.

Pada tahap awal, 2.900 gerai Alfamart di Jabodetabek, Bandung, Semarang, Surabaya, dan Bali terhubung dari total 14 ribu gerai di seluruh Indonesia.

“Kehadiran offline kami cukup kuat di Indonesia, begitupun Blibli di e-commerce. Artinya, dengan fitur ini kami mendapat pasar baru dari online yang bisa digarap secara offline,” tambah Head of Digital Business Alfamart Viendra Primadia.

Bakal tutup Blibli Instore

Pengalaman yang ditawarkan oleh Click&Collect ini sebenarnya mirip dengan Blibli Instore. Konsumen bisa belanja online dari perangkat yang disediakan Blibli di toko offline dan telah menjadi merchant resmi.

Keuntungan yang konsumen terima dari fitur ini adalah fasilitas dari Blibli, seperti cicilan 0%, metode pembayaran yang fleksibel, program loyalitas, dan customer care 24/7.

Long term [Blibli Instore] akan akan dihilangkan saat Click&Collect sudah meluas jangkauannya. Sebab journey-nya itu hampir mirip. Tapi konsumen punya fleksibilitas lebih tinggi [di Click&Collect], tantangannya bagaimana sistem kami bisa terintegrasi dengan partner,” kata Wisnu.

Dia menerangkan fitur ini sudah diperkenalkan sejak 2,5 tahun lalu dan telah ada lima ribu gerai yang memanfaatkannya. Bila digabungkan dengan Click&Connect, transaksi O2O di Blibli diklaim sudah menyumbang 15% secara keseluruhan.

Untuk Click&Collect saja, sejak Januari hingga Juni 2019 disebutkan telah memproses 250 ribu transaksi. Total merchant ada 31 peritel, dengan total lebih dari tiga ribu gerai. Kategori yang diakomodasi masih terbatas, seperti grocery, elektronik, dan gadget.

Tahun ini perusahaan akan memperluas jangkauan Click&Connect ke seluruh Jawa dan Bali. Ditargetkan pihaknya bisa merangkul 12 ribu gerai dan menghasilkan 1,5 juta transaksi.

“Blibli punya 15 kategori, namun ada kategori yang tidak bisa masuk ke Click&Collect seperti travel. Secara konsep semua barang yang punya bentuk fisik akan kami tambahkan ke fitur ini,” pungkasnya.

Application Information Will Show Up Here

Terapkan Strategi Omnichannel, Bhinneka Giat Buka Gerai Offline

Situs e-commerce khusus elektronik Bhinneka bakal terus membuka gerai offline, setidaknya lebih dari lima gerai sampai tahun depan di luar Jakarta, seiring upaya perusahaan dalam mengimplementasikan strategi omnichannel.

“Tahun depan kami akan fokus penambahan gerai di luar kota Jakarta. Ada beberapa kota yang sedang kami persiapkan. Setidaknya nanti bisa lebih dari lima gerai,” terang Chief of Omnichannel Officer Bhinneka Vensia Tjhin kepada DailySocial.

Menurutnya, strategi ini sudah dilakukan Bhinneka sejak 2001, dua tahun setelah mendirikan situs e-commerce. Jumlah gerai Bhinneka pernah tembus sampai 10 unit, mayoritas ada di Jakarta dan satu gerai di Surabaya.

Meskipun demikian, kini Bhinneka hanya memiliki 8 gerai, ada yang ditutup karena pihak mal berganti konsep atau relokasi toko di mal yang sama. Misalnya penggabungan dua gerai di Mangga Dua menjadi satu gerai saja.

Tahun ini, Bhinneka meresmikan kembali tiga gerainya di Cibinong (Kab. Bogor), Mal Ambassador, dan Ratu Plaza (Jakarta). Vensia mengungkapkan, dalam waktu dekat pihaknya akan menambah satu gerai di Surabaya. Hanya saja, dia enggan membeberkan nilai investasi yang disiapkan Bhinneka untuk merealisasikan seluruh rencana tersebut.

Pembeda yang signifikan antara gerai lama dengan gerai yang baru diresmikan terletak dari sisi inovasi teknologinya. Menurutnya, mengingat perkembangan internet yang semakin baik, tim Bhinneka akan terus mengembangkan sistemnya untuk dukung O2O agar semakin real time dan seamless.

Sementara dari sisi harga, produk, dan kemampuan agen menjelaskan tetap sama, tidak berbeda apabila konsumen mengaksesnya lewat channel online.

“Ke depan bakal makin seru dan seamless layanan O2O kami dengan berbagai implementasi teknologi yang lagi dipersiapkan.”

Semakin banyaknya gerai offline dianggap menguntungkan konsumen yang ingin mencari tahu soal produk yang sedang mereka incar dengan langsung dan bertanya soal spesifikasinya ke agen. Mau bagaimanapun, sambungnya, Indonesia sedang berada di era transisi, sehingga ada kebiasaan belanja yang perlu dipenuhi diantara perbedaan generasi.

Secara kontribusi bisnis, mayoritas pendapatan Bhinneka didapat dari segmen B2B, sekitar 70 persen, sisanya datang dari jalur ritel. Diklaim Bhinneka saat ini memiliki sekitar 26 ribu konsumen B2B.

Konsep sudah teruji

Perjalanan Bhinneka.com
Perjalanan Bhinneka.com / Bhinneka

Vensia menuturkan pembukaan gerai dianggap sebagai salah satu cara yang sudah teruji karena memiliki proyeksi bisnis yang kuat. Investasi yang sudah dikucurkan dalam hitungan bulan kesekian sudah menunjukkan hasil yang positif. Cara ini tergolong salah satu bentuk implementasi dari omnichannel yang menerapkan strategi online to offline.

Jalur omnichannel yang tersedia di perusahaan ada online-to-offline dan offline-to-online yang saling cross channel dan memberikan pengalaman yang sama untuk para konsumen.

“Kami memandang strategi omnichannel dari dua sisi. Sebagai multi marketing channel dan multi sales channel. Keduanya dianggap sebagai satu kesatuan, di mana marketing channel merupakan cara dan media menyampaikan pesan ke target pasar. Sementara sales channel adalah cara berinteraksi dengan konsumen.”

Dia mencontohkan strategi omnichannel yang dilakukan Bhinneka bisa dilihat dalam salah satu program cashback senilai Rp1,3 juta yang berlaku untuk semua pembelian dari jalur online (situs, situs mobile, media sosial, dan pemasaran digital), juga jalur offline (chat/call/sms/whatsapp) ke sales consultant Bhinneka.

Di toko, konsumen juga akan mendapat program yang sama. Mereka bisa bertanya soal produk dan semua bantuan yang dibutuhkan. Konsumen bisa belanja online langsung di toko dan mengirimkan ke rumahnya. Kalau tidak mau belanja online, tim di toko akan membuatkan pesanan untuk pelanggan dan mengirimkannya ke rumah atau ambil di toko.

“Jadi enaknya konsumen bisa bebas memilih apa yang mereka inginkan untuk memproses pesanannya. Sebab pada prinsipnya, kami tidak membedakan harga jual di toko itu lebih murah dari online atau sebaliknya karena handling-nya tetap sama, antara via chat/call/ke toko,” tutupnya.

Cara Memanfaatkan Strategi Omni Channel yang Efektif

Pengalaman konsumen yang seamless merupakan salah satu alasan mengapa kegiatan pemasaran omni channel saat ini sangat relevan dilakukan. Proses omni channel mulai dari penawaran iklan produk, proses pencarian informasi pelanggan di channel online dan offline, dan pada akhirnya keputusan pelanggan tersebut untuk membeli.

Skema online-to-offline (O2O) saat ini sudah banyak diterapkan marketplace, layanan e-commerce, atau startup adtech. Mengetahui dengan benar bagaimana perjalanan konsumen mendapatkan informasi hingga mendapatkan produk yang diinginkan menjadi proses yang penting.

Memahami cara kerja omni channel

Dalam definisinya, omni channel bisa diartikan sebagai proses atau pengalaman pelanggan yang bisa menggunakan lebih dari satu channel penjualan seperti toko fisik, e-commerce/internet, mobile (m-commerce), social commerce, dan lainnya untuk melakukan riset, membeli, mendapatkan, dan mengembalikan atau menukar barang yang dibeli. Kegiatan ini semakin banyak dilakukan saat ini, ketika penetrasi internet dan smartphone makin meningkat, ditambah dengan maraknya layanan e-commerce yang memberikan pilihan tersebut.

Menurut AVP O2O Business Bukalapak Rahmat Danu Andika, pemasaran omni channel yang efektif harus bisa memahami perilaku sosial konsumen dan menjawab kebutuhan dengan tepat.

“Banyaknya channel yang digunakan tidak serta merta membuat strategi omni channel efektif. Justru sebaliknya ketika kemudahan seringkali menjadi kunci sukses walaupun channel yang digunakan terbatas.”

Menciptakan pengalaman pelanggan secara efektif dan konsisten menjadi lebih penting dibandingkan memberikan banyak pilihan kepada pelanggan. Proses yang seamless sejak awal hingga transaksi harus selalu diperhatikan.

“Yang tidak kalah penting adalah bagaimana integrasi tersebut juga dibarengi dengan proses yang sangat mulus (seamless). Alih-alih terintegrasi namun justru menjadikannya lebih rumit,” kata Rahmat.

Hal senada diungkapkan CEO & Co-Founder SociaBuzz Rade Tampubolon. Ia menyebutkan, perlu diciptakan integrated & seamless customer experience. Oleh karena itu yang paling penting adalah pemahaman mendalam tentang target konsumen terlebih dahulu. Seperti apa perilaku mereka, ekspektasi dan lainnya. Lalu setelah itu bangun strategi pemasaran yang integrated di atas fondasi pemahaman konsumen tersebut.

Omni channel bukan berarti kita harus menggunakan semua channel pemasaran. Namun menggunakan channel yang relevan dengan consumer journey. Experience yang didapat konsumen harus sama, mulai dari looks, feels, tonality, promises, convenience,” kata Rade.

Rade menambahkan, jika bisnis tersebut mengalami keterbatasan sumber daya, tidak wajib menjalankan semua. Fokus satu channel saja namun dengan eksekusi yang tepat.

“Seperti misalnya banyak online shop saat ini yang fokus hanya menggunakan endorsement dari artis dan selebgram saja, tidak menggunakan channel lain, omsetnya bisa luar biasa. Understanding the customer is key, dan kedua fokus tapi all out.”

Di sisi lain, kunci pemasaran omni channel yang ideal adalah aksesibilitas. Hal tersebut, menurut CEO Pomona Benz Budiman, mengharuskan platform omni channel agar lebih kreatif untuk terus mengembangkan entry point dan berada di mana konsumen berada.

“Seperti saat ini, Pomona membuka akses untuk dapat diakses dari aplikasi, mobile browser, dan desktop browser. Jadi para konsumen yang ingin mendapatkan cashback tidak lagi harus memiliki aplikasi. Bisa juga diakses dari mobile browser langsung.”

Skema online to offline yang ideal

Meskipun saat ini sisi online mendominasi kegiatan pemasaran, penjualan, dan pembayaran namun pada akhirnya sisi online tidak akan menggantikan offline. Semua kegiatan pemasaran akan memberikan hasil yang baik jika bisa menggabungkan kemudahan yang ditawarkan secara online dengan proses direct yang ditawarkan secara offline. Penggabungan ini juga dikenal dengan istilah webrooming (online) dan showrooming (offline).

Menurut Marketeers, kedua skenario tersebut merupakan skenario pembelian di era digital pada umumnya. Keduanya menandakan bahwa customer path di era sekarang tidak lepas dari kanal offline dan online konsumen pindah dari satu kanal ke kanal yang lain, baik online maupun offline.

Online to offline akan memadukan pengalaman belanja offline dengan kemudahan yang dihadirkan teknologi. Sehingga, ya, online to offline akan menjadi sangat relevan dengan kebutuhan konsumen saat ini,” kata Rahmat.

Pemasar sebaiknya tidak terlalu fokus ke berbagai channel yang harus ditawarkan kepada pelanggan. Lakukan pendekatan dengan cara yang berbeda dan mengedepankan demand dari konsumen.

“Skema O2O menjadi sangat relevan ketika konsumen sudah melihat [produk di toko offline], sudah mengetahui produknya seperti apa, bahannya seperti apa, namun belum ada keputusan membeli. Konsumen bisa melakukan pembelian melalui [segmen] online jika enggan kembali ke toko,” kata Head of Business Alfacart Viendra Primadia.

“Sebagai pemasar, kategori channel (offline/online) menurut saya tidak perlu menjadi fokus utama. Mata kita harus tetap tertuju ke konsumen, bukan ke channel. Karena kalau fokus ke channel, dan bukan ke konsumen, kita bisa kehilangan arah,” kata Rade.

Rade melanjutkan, channel pasti akan terus mengalami perubahan. Lakukan terus pendekatan kepada konsumen, cari tahu seperti apa perilaku dan ekspektasi mereka. Apakah mengalami perubahan, channel apa yang mereka suka, kemudian sesuaikan strategi pemasaran.

Cara tepat mengukur pemasaran omni channel

Tidak dapat dipungkiri salah satu kunci kesuksesan kegiatan pemasaran adalah dengan menerapkan strategi omni channel. Namun demikian cara untuk mengukur hasil tersebut harus disesuaikan dengan tujuan kegiatan pemasaran yang dilakukan, apakah untuk meningkatkan penjualan, brand awareness, akuisisi pengguna, dan lainnya.

“Selama masing-masing bisnis sudah menentukan north star metric mereka, hal selanjutnya yang bisa dilakukan, tinggal diukur pemasaran apa yang efektif untuk meningkatkan metric tersebut,” kata Rade.

Dalam hal ini, menurut Benz, measurability dan accessibility menjadi ukuran kesuksesan yang memungkinkan pemasaran apapun yang dilakukan jadi lebih terukur dan bisa dikorelasikan dengan ROI masing-masing perusahaan. Jika tahapannya masih membangun brand, awareness adalah metric yang diusahakan.

“Aksesibilitas juga menjadi konsentrasi utama strategi pemasaran omni channel. Semakin kita mempermudah konsumen untuk mengakses dan memakai produk kita, disanalah definisi sesungguhnya dari teknologi omni channel yang mempermudah hidup manusia.”

Sementara itu, menurut Rahmat, ketika kegiatan pemasaran sudah banyak diadopsi masyarakat, hal tersebut juga bisa menjadi pengukur kesuksesan kegiatan pemasaran memanfaatkan omni channel.

“Secara sederhana pertumbuhan transaksi yang terdigitalisasi Itu menunjukkan kemudahan yang dihadirkan pemasaran omni channel telah diadopsi lebih banyak masyarakat yang merasakan kemudahan dan pengalaman yang baik,” kata Rahmat.

Hal senada juga diungkapkan Viendra yang menyebutkan kesuksesan bisa dilihat dari kepuasan konsumen dalam memperoleh experience yang sama baik online maupun offline dan sebagai bisnis tentunya hal tersebut tercermin dengan peningkatan volume penjualan,

“Dengan omni channel, yang tidak terpenuhi di offline bisa dilakukan melalui online, begitupun sebaliknya. Hal tersebut mampu untuk mengurangi tingkat pembatalan pemesanan,” tutup Viendra.

Konsep “New Retail” Alibaba Jadi Inovasi Unggulan yang Mencoba Ubah Paradigma Pesta Belanja 11.11

Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya yang fokus di pemecahan rekor Gross Merchandise Value (GMV), raksasa e-commerce Alibaba tahun 2017 ini memiliki pendekatan berbeda untuk mengukur keberhasilan pagelaran pesta belanja 24 jam terbesar di dunia 11.11. Hal ini bisa menjadi panduan penggiat e-commerce lokal yang sudah membudayakan tema pesta belanja di tanah air untuk 11.11 dan 12.12.

DailySocial dan sejumlah rekan media mendapatkan kesempatan langsung ikut merasakan euforia 11.11 Alibaba yang tahun ini dipusatkan di Shanghai, Tiongkok. Tmall, platform marketplace B2C, menjadi platform unggulan Alibaba menggelar pesta belanja dengan harapan mendorong tingkat konsumsi masyarakat sekaligus memperkenalkan sejumlah brand yang menjadi mitranya. Disebutkan tahun ini ada 140 ribu brand yang turut berpartisipasi. Tahun lalu total GMV yang dibukukan Alibaba dalam sehari mencapai $17,8 miliar (lebih dari 240 triliun Rupiah).

Kepada media, Co-Founder dan Vice Chairman Alibaba Joe Tsai mengungkapkan, diskon adalah sebuah cara [untuk meningkatkan penjualan]. Meskipun demikian, ia mengungkapkan tahun ini fokus Alibaba untuk 11.11 juga soal ide inovatif dan unsur hiburan. Ide inovatif di sini termasuk pemanfaatan skema “New Retail” yang menjadi unggulan perusahaannya.

Joe melanjutkan, GMV tidak lagi menjadi satu-satunya metrik yang menjadi acuan di pesta 11.11 kali ini. Menurutnya, angka penting lain yang menjadi perhatian adalah berapa jumlah orang yang mengikuti acara 24 jam ini, berapa jumlah pesanan yang bisa dikirim, dan berapa jumlah transaksi yang bisa di-handle setiap detiknya. Faktor terakhir untuk menunjukkan robustness sistem yang dimiliki Alibaba.

Mendefinisikan “New Retail”

Di Tiongkok disebutkan saat ini perbandingan antara skema ritel offline dan online adalah 82% dan 18%. Angka 18% tentu saja besar jika dibandingkan dibanding penetrasi sektor e-commerce di negara-negara lain, tetapi Alibaba melihat potensi yang jauh besar dengan mengombinasikan ritel offline, teknologi, dan infrastruktur.

Hema, yang dalam bahasa Mandarin artinya kuda nil, adalah prototipe ritel offline masa depan yang menjadi pengejawantahan visi Alibaba dalam 2 tahun terakhir.

Supermarket Hema di Shanghai, Tiongkok / DailySocial
Supermarket Hema di Shanghai, Tiongkok / DailySocial

Dari luar Hema tampak seperti pasar swalayan biasa. Pengalaman berbeda baru terasa ketika kita berada di dalamnya. Menggunakan aplikasi Hema, kita bisa merasakan bagaimana kebiasaan offline dan online digabungkan.

Konsumen bisa membeli barang secara langsung, kemudian dibayar secara mandiri menggunakan Alipay, atau memilih barang-barang tersebut dikirimkan menggunakan kurir ke rumah. Yang terakhir ini mirip dengan apa yang sudah diterapkan di Indonesia oleh HappyFresh dan Honestbee.

Disebutkan tidak biaya pengantaran, tidak ada nilai minimum untuk setiap transaksi, dan maksimal radius yang dijangkau adalah 3 km. Diklaim barang bisa dikirim dalam waktu 30 menit.

Perwakilan Alibaba mengemukakan, Hema dikembangkan tidak untuk menyaingi bisnis brick and mortar yang sudah ada. Hema disebutkan menjadi prototipe bagaimana industri ritel offline dikombinasikan dengan infrastruktur dan teknologi. Harapannya konsep ini akan diadopsi para mitra demi menciptakan pengalaman omnichannel yang lebih baik.

Dalam menciptakan Hema, Alibaba “memotong” middle man sehingga nilai barang-barang yang ditawarkan diklaim 10% lebih murah ketimbang pasar tradisional.

Cara membayar di kasir mandiri Hema / DailySocial
Cara membayar di kasir mandiri Hema / DailySocial

Cara pembayarannya pun menarik. Menggunakan kasir mandiri, setelah memindai barcode barang-barang yang diinginkan, ada 2 jenis metode pembayaran. Yang pertama adalah menggunakan QR code yang kemudian dibayar menggunakan platform mobile payment Alipay. Ini cara pembayaran paling umum.

Yang kedua adalah menggunakan teknologi /face recognition/. Metode ini hanya bisa dipakai warga negara Tiongkok. Dengan memasukkan nomor telepon, basisdata Alibaba yang menyimpan data penduduk akan mengecek validitas pembeli menggunakan teknologi pengenalan wajah . Dari situ data dihubungkan dengan akun Alipay.

Selain Hema, di sejumlah pop up store Alibaba memberikan showcase bagaimana teknologi bisa meningkatkan pengalaman orang berbelanja secara online.

Konsep magic mirror, yang mengimplementasikan konsep augmented reality, membantu konsumen mematut diri dengan lipstik tanpa harus menggunakannya secara langsung. Ada pula vending machine yang memiliki menu layar sentuh untuk berbelanja online.

Pemanfaatan teknologi RFID untuk mempermudah pemindaian barang di kasir / DailySocial
Pemanfaatan teknologi RFID untuk mempermudah pemindaian barang di kasir / DailySocial

Yang terakhir adalah pemanfaatan teknologi RFID yang jika diaplikasikan ke barcode sebuah baju akan menampilkan katalog online produk tersebut. Teknologi yang sama juga dikembangkan sehingga barang yang ditaruh di sebuah permukaan yang bisa membaca RFID akan terbaca secara otomatis di POS kasir tanpa perlu secara manual mengecek barcode barang.

Menurut Joe, saat ini bisa dibilang sudah tidak ada perbedaan antara pembelian secara online maupun offline. Kadang orang melakukan browsing barang secara online, kemudian membeli secara offline, atau sebaliknya. Konsep pengalaman omnichannel seperti ini seharusnya menjadi masa depan industri ritel.

Miskonsepsi tentang Omnichannel

Dalam diskusi panel yang diadakan pada hari kedua Internet Retailing Expo (IRX) Indonesia 2017 beberapa hari yang lalu, ada pernyataan yang menarik yang disampaikan oleh CEO aCommerce Hadi Kuncoro dalam diskusi bertemakan kesiapan Indonesia dalam menyambut omnichannel di masa depan.

Hadi mengungkapkan industri e-commerce di Indonesia masih jauh dari layanan omnichannel, meski sudah ada beberapa pemain e-commerce yang menyatakan bahwa mereka fokus ke model bisnis omnichannel.

Menurut dia, model bisnis yang mereka jalani justru termasuk ke dalam pengertian multichannel. Menurut pemahaman Hadi, omnichannel memiliki basis utama kepuasan konsumen sebagai tolak ukurnya.

Dia menitikberatkan perbedaan kepuasan pelanggan saat belanja online tetapi harus mengambil barang secara offline dengan mendatangi toko ritel dari e-commerce bersangkutan. Kemudian membandingkan lagi dengan konsumen yang masuk ke toko ritel untuk berbelanja secara konvensional, setelah transaksi selesai konsumen keluar dari toko dengan menenteng barang belanjaan.

“Misal orang mau beli sepatu di toko, tapi tidak ada stoknya. Lalu, ketika dicek di toko online ada. Ngapain dia ke toko? Ini kan jadinya toko online sebagai alternatif. Baru bisa disebut omnichannel kalau konsumen datang ke toko dan online dapat experience yang sama. Ada miskonsepsi di sini yang harus diperbaiki” terang Hadi.

Hadi melanjutkan, seharusnya omnichannel itu bila diibaratkan ketika konsumen berbelanja di berbagai platform, tingkat kepuasannya harus sama. Baik dari sisi diskon, pengalaman, pembayaran, hingga pengiriman. Menurut dia, perjalanan menuju omnichannel itu berawal dari multichannel.

Pun demikian, Hadi juga tidak bisa memprediksi kapan Indonesia sudah siap memasuki omnichannel. Pasalnya, konsep multichannel saja baru-baru ini masuk Indonesia.

“Menurut saya belum ada [pemain e-commerce yang benar-benar implementasi omnichannel dengan baik di Indonesia]. Secara ekosistemnya saja masih jauh, Indonesia baru masuk tahap multichannel. Tapi apakah dari tahap ini bisa mengarah ke omnichannel? Bisa, tetapi setelah kepuasan pelanggan puas di manapun belanjanya.”

Hadi lebih menyukai untuk menyebut konsep yang saat ini dibilang omnichannel sebagai multichannel. aCommerce pun menyesuaikan diri dengan beberapa perusahaan e-commerce yang menyatakan diri sebagai pemain omnichannel, di mana kebetulan adalah klien perusahaan.

Program loyalitas adalah contoh omnichannel

Menurut pandangan Hadi, saat ini di Indonesia yang baru bisa disebut sebagai omnichannel adalah barang tak beraset. Salah satu contoh terdekatnya adalah program loyalitas.

Konsepnya konsumen belanja dari platform manapun, baik itu online dan offline, mereka akan tetap mendapat keuntungan yang sama saat menukarkan poinnya dalam bentuk online atau offline.

“Non aset itu bisa jadi lebih duluan disebut omnichannel karena kan yang aset itu ada inventory, jadinya lebih susah. Program loyalitas itu tools-nya sama, experience-nya sama, sehingga bisa disebut sebagai omnichannel. Tapi kan yang namanya omnichannel itu experience-nya dalam cakupan yang luas.”

Menelaah omnichannel vs multichannel

Menurut pandangan saya, apa yang dikatakan Hadi mungkin ada benarnya tapi juga mungkin ada tidaknya. Mengacu pada pengertian omnichannel yang disebut TechTarget, adalah pendekatan multichannel yang berusaha menyediakan berbagai layanan kepada pelanggan dengan mengutamakan kepuasan berbelanja, entah mereka berbelanja lewat desktop, perangkat mobile, telepon, atau datang ke toko offline.

Yang membedakan antara kepuasan konsumen omnichannel dengan multichannel adalah ada integrasi yang nyata dari front end sampai back end demi menciptakan kepuasan yang sama.

(Sumber: Kana)
(Sumber: Kana)

Apa yang dituliskan TechTarget, senada dengan pernyataan yang saya temukan dari HubSpot. Mereka bilang, pada intinya omnichannel itu adalah defisini dari pendekatan penjualan multichannel yang menyediakan pengalaman belanja yang terintegrasi.

Konsumen dapat berbelanja online dari desktop, perangkat mobile, telepon, atau toko dengan proses yang mulus. Menurut HubSpot, yang membedakan antara pengalaman omnichannel dengan multichannel terletak di kedalaman integrasi.

Semua pengalaman omnichannel akan menggunakan multiple channel, tapi tidak semua multichannel tergolong omnichannel. Jika Anda memiliki strategi pemasaran mobile yang baik, terlibat kampanye media sosial, dan situs web yang dirancang dengan baik. Namun tidak dapat bekerja sama satu sama lainnya, itu bukan omnichannel.

HubSpot menyampaikan, banyak perusahaan yang sangat terfokus pada peningkatan pengalaman multichannel dengan berinvestasi di situs, blog, atau media sosial. Mereka menggunakan platform tersebut untuk berhubungan dengan pelanggan. Tapi banyak kasus menunjukkan bahwa konsumen masih mengalami pengalaman yang kurang seamless dan konsisten.

Padahal, pendekatan secara omnichannel ini menjadi jalan untuk berinteraksi antara perusahaan dengan konsumen. Semangat yang ingin disampaikan dari omnichannel adalah memberikan pengalaman yang terintegrasi.

Menurut HubSpot, ada beberapa perusahaan yang menghadirkan konsep omnichannel dengan tepat. Misalnya Disney, Virgin Atlantic, Bank of America, Oasis, REI, Starbucks, dan Chipotle.

Dalam praktiknya, Starbucks memberikan kartu reward gratis setiap kali konsumen berbelanja di sana. Bedanya dengan program loyalitas konvensional lainnya, Starbucks memberikan akses kepada konsumen untuk mengakses kartu reward tersebut via handphone, situs, toko, dan dalam aplikasi.

Setiap ada transaksi dengan kartu tersebut, Anda secara otomatis akan mendapat notifikasi secara real time dari berbagai channel.

Ketua Umum Asosiasi E-commerce Indonesia (idEA) Aulia E Marinto menyampaikan pihaknya tidak dalam hal menyanggah apa yang disampaikan oleh Hadi. Sejatinya konsep omnichannel itu adalah hal yang baru di Indonesia sehingga tingkat kesuksesannya belum bisa dibuktikan.

Menurut dia, omnichannel itu adalah kombinasi dari praktik model bisnis online to offline (O2O). Dari yang ada sekarang, sambungnya, praktik omnichannel biasanya dilakukan oleh peritel offline yang sudah memiliki banyak gerai.

“Sah sah saja [berpendapat kontra] karena memang pada kenyataannya praktik omnichannel belum semasif channel biasa. Ini kan bagian dari inovasi yang akan terjadi di masa depan, bagaimana shopping journey bisa lebih seamless dengan menggabungkan pengalaman belanja online dan offline jadi satu, itu tantangannya. Karena muncul tantangan, jadinya timbul inovasi,” ucap Aulia.


Disclosure: DailySocial adalah media partner Internet Retailing Expo Indonesia 2017

Runtuhnya Era Retailer Tradisional

Kuartal lalu, Amazon baru saja membukukan kinerja terbaiknya yang tercatat menghasilkan $29,1 miliar, menandakan pertumbuhan year-on-year sebesar 28%, lebih besar dari proyeksi sebelumnya yaitu $27,99 miliar. Hasil ini menandakan kuartal keempat Amazon berhasil menghasilkan profit secara berturut-turut dan memberikan penghasilan bersih tertinggi di sejarah perusahaan tersebut sebesar $513 juta.

Hasilnya? Harga saham Amazon menembus rekor dengan harga $767,74 per lembar. Selama dua tahun terakhir, saham Amazon berhasil naik lebih dari dua kali lipat, sementara retailer tradisional seperti Macy mengalami stagnansi atau bahkan penurunan. Dan ini hanyalah awal dari keberhasilan Amazon dan runtuhnya model ritel tradisional.

Mengapa ada yang ingin berinvestasi di saham Amazon pada harga yang sedang mahal-mahalnya? Sederhana. Dominasi Amazon dan nilai sahamnya hanya akan terus meningkat dengan adanya pergeseran dari ritel offline menuju e-commerce dalam skala global. Penetrasi e-commerce di Amerika Serikat sendiri saat ini “hanya” 7,7%. Bayangkan berapa kenaikan harga saham Amazon jika jumlah ini menginjak 50%?

Performa saham Amazon selama 10 tahun terakhir dibanding sejumlah retailer besar
Performa saham Amazon selama 10 tahun terakhir dibanding sejumlah retailer besar. Investasi sebesar $1000 di saham Amazon tahun 2006 akan dihargai $26.993 saat ini (tidak disesuaikan dengan inflasi [Google Finance]

Metrik jangka-pendek tradisional menghambat visi strategis jangka panjang bagi retailer tradisional

Ketika berbicara dengan para peritel tradisional di Asia Tenggara tentang melakukan e-commerce, pertanyaan yang selalu muncul adalah “Berapa Biaya Penjualan (Cost of Sales, CoS) untuk berinvestasi dan mengembangkan bisnis e-commerce saya?” Dalam e-commerce dan ruang teknologi, banyak dari kita yang sudah akrab dengan menggunakan metrik seperti biaya akuisisi pelanggan (customer acquisition cost, CAC), nilai pelanggan seumur hidup (customer lifetime value, CLV), dan laba atas investasi (returns of investment, ROI).

Namun, metrik yang paling umum bagi pelaku ritel offline adalah biaya penjualan yang merupakan investasi marketing dibagi dengan pendapatan. Ini adalah persentase dari penghasilan peritel tradisional yang dialokasikan untuk biaya marketing dalam anggaran tahunan mereka.

CoS untuk pengecer tradisional biasanya sekitar 5%, didorong oleh trafik warisan offline dan brand awareness. Bagi e-commerce, terutama untuk beberapa tahun pertama dan tergantung pada seberapa agresif bisnis mengakuisisi pelanggan untuk merebut pangsa pasar, jumlah ini bisa berada di antara 50-150%. Jelas, angka ini jauh lebih tinggi dari yang para peritel tradisional biasa keluarkan dan, sebagai hasilnya, merupakan alasan utama para pelaku bisnis offline batal pindah ke e-commerce.

Untungnya, CoS turun ketika jumlah SKU online mengalami kenaikan online, menghasilkan trafik online yang lebih banyak, ukuran keranjang belanja yang lebih besar, dan pembelian berulang lebih sering. Dalam jangka panjang, saat bisnis ecommerce bisa membangun database pelanggan mereka dan menemukan beberapa cara untuk memonetisasinya (lebih lanjut tentang ini nanti), CoS akan menurun dan berpotensi menjadi sebanding dengan nilai pada channel ritel offline. Data internal aCommerce menunjukkan contoh retailer online multi-kategori di Thailand memulai dengan sekitar 25% CoS dan kemudian turun ke 5-10% pada akhir tahun pertama dan 5-8% pada akhir tahun kedua.

Sayangnya, sebagian besar peritel tradisional di Asia Tenggara gagal untuk mengadopsi visi jangka panjang dan tidak pernah membuat lompatan awal ke ecommerce. Kurangnya bakat di wilayah ini juga memperburuk masalah karena banyaknya pengecer yang tidak punya pilihan selain untuk menempatkan orang ritel offline ke posisi ecommerce yang pola pikirnya tidak lebih dari musim liburan selanjutnya.

Di tahun pertama, Cost of Sales melonjak, tapi kemudian stabil di kisaran 15% saat mencapai akhir tahun kedua [Sumber: data internal aCommerce, Mei 2015]
Di tahun pertama, Cost of Sales melonjak, tapi kemudian stabil di kisaran 15% saat mencapai akhir tahun kedua [Sumber: data internal aCommerce, Mei 2015]

Mengontrol last-mile: Bukan tentang siapa yang menjual produk fisik lebih banyak, namun siapa yang memiliki pelanggan

Pengecer tradisional sering melihat ecommerce hanya sebagai cabang toko lainnya, hanya saja secara online. Pola pikir ini yang mencegah mereka melihat skema besar yang ada di dunia online.

Unilever tidak mengakuisisi Dollar Shave Club (DSC) sebesar $1 miliar untuk pisau cukur yang lebih baik, mereka membeli hubungan langsung yang dimiliki DSC dengan lebih dari tiga juta anggota (didominasi laki-laki) dan potensi untuk menjual kepada mereka produk dan jasa yang berkaitan. Daripada pergi melalui pengecer seperti Walmart, Unilever sekarang bisa menghampiri konsumen secara langsung dengan segala manfaatnya termasuk margin yang lebih tinggi dan wawasan pelanggan yang lebih dalam.

Alibaba tidak membeli Lazada sebagai saluran distribusi untuk produk buatan Cina, mereka membeli hubungan langsung dengan pelanggan dan kekuatan distribusi untuk membawa produk dengan margin yang lebih tinggi dan jasa lainnya seperti pembayaran dan asuransi.

Hanya masalah waktu sebelum Jack Ma membawa kuda trojannya dalam bentuk Ant Finance dan semua produk terkait seperti Alipay (platform pembayaran pihak-ketiga) dan Yu’e Bao (dana bersama online) ke Asia Tenggara. Sepak terjang Alibaba ke dalam asuransi melalui Zhongan dan kerjasama dengan AXA yang baru-baru ini diumumkan menunjukkan masa depan di mana Alibaba bisa meningkatkan pendapatan rata-rata per pengguna melalui menjual produk non-fisik secara online.

Xiaomi sebenernya hampir sama saja dengan memberikan smartphonenya secara gratis dengan menjualnya dengan harga yang sangat murah dan margin yang sangat tipis. Tujuan mereka adalah untuk mengumpulkan basis pengguna yang besar dan memonetisasikannya melalui penjualan produk mereka yang lainnya, mainan mewah, perangkat lunak, serta online dan mobile advertising. Dengan lebih dari 170 juta pengguna pada tahun 2016, Xiaomi memiliki pengguna lebih dari Snapchat (70+ juta) dan hampir menyusul LINE (220 juta).

Peritel internet murni akan membawa permainan mereka ke para peritel tradisional offline

Para peritel tradisional masih percaya bahwa mereka memiliki satu keuntungan yang unik lebih dari para pemain online: toko fisik mereka. Semua hype dan buzz tentang ritel omnichannel menjadi secercah harapan bagi para pemain seperti Macy’s dan Walmart. Bahkan saat Macy’s menutup toko fisiknya, mereka tetap berusaha menunjukkan permainan omnichannelnya dengan mengubah toko-toko yang masih hidup sebagai ruang pameran tempat fulfillment-center mini bagi in-store pickup untuk pesanan online.

Saat ini, perusahaan tidak lagi memisahkan penjualan online dalam pelaporan kepada investor, dengan alasan garisnya telah menjadi kabur antara website dan toko fisik. Walmart, setelah melewatkan perahu ecommerce, telah meningkatkan dua kali lipat usaha omnichannelnya, memperluas layanan beli online dan pick up di toko’ menjadi sekitar 30 pasar di AS.

Sayangnya, bahkan keuntungan tersebut perlahan terkikis oleh para pemain online yang secara cekatan bergerak ke offline, bukan untuk distribusi tetapi lebih sebagai perpanjangan dari merek online mereka.

“Dengan membuka toko fisik, brand meningkatkan kesadaran konsumen dan kemudian trafik situsnya. Para disruptor ini melihat internet sebagai cara untuk membangun bukti dari sebuah konsep dan akses ke modal murah sebelum kemudian melompat ke ritel ” – L2 Inc.

Warby Parker memiliki 12 lokasi ritel di seluruh AS dengan rencana untuk membuka tujuh lainnya. Hal yang sama berlaku untuk Birchbox, penyedia subskripsi online peritel kecantikan yang memiliki toko utama di SoHo, New York dan berencana untuk membuka setidaknya dua lainnya pada akhir 2016. Bahkan Amazon meluncurkan toko fisik pertamanya di Seattle pada akhir tahun 2015 dan toko kedua direncanakan akan dibangun di Southern California.

Bertentangan dengan strategi merchandise ritel tradisional, toko-toko ini biasanya berfokus untuk menampilkan sebanyak mungkin variasi produk mereka, termasuk SKU “long tail” mereka. Tujuannya bukan untuk menjual di toko; namun agar para pelanggan dapat merasakan brand dan produknya sehingga meningkatkan kemungkinan mereka untuk membeli online.

“Toko-toko ini membawa sedikit persediaan fisik dan dirancang untuk membantu pelanggan mencari ukuran yang ideal dan cocok untuk mereka. Pendekatan ini merupakan gema dari website mereka, memberikan setiap satu item kesempatan sendiri untuk bersinar” -Erin Ersenkal, Chief Revenue Officer Bonobos.com

Tidak sulit untuk membayangkan Alibaba dan Lazada membuka toko offline di seluruh Asia Tenggara sebagai channel marketing dan branding mereka. Dengan kurangnya saluran akuisisi pelanggan secara online dan offline dan meningkatkan biaya per klik di pasar negara berkembang di Asia Tenggara seperti Thailand, Indonesia, dan Vietnam, memiliki saluran eksklusif sendiri memberikan keunggulan kompetitif yang kuat lebih dari peritel tradisional maupun pemain online lainnya.

Pemain online yang mendirikan toko offline cenderung lebih sukses dibanding yang sebaliknya
Pemain online yang mendirikan toko offline cenderung lebih sukses dibanding yang sebaliknya [L2]

Peran e-commerce bagi pengecer tradisional

Pengecer offline tradisional tersisa dengan dua pilihan jika berbicara tentang adopsi ecommerce:

1. Ecommerce sebagai cabang toko lainnya
Perlakukan toko online seperti toko fisik lainnya dan ukur performanya dengan metrik penjualan yang sama (contoh: 5%), atau dalam istilah Jack Ma, “Ecommerce sebagai makanan penutup, bukan hidangan utama.” Jangan berharap pertumbuhan yang memuaskan dengan pendekatan ini karena metrik jangka pendek tidak bisa dibandingkan dengan investasi awal yang besar di awal. Ancaman jangka panjang di sini adalah bahwa brand yang dijual oleh peritel akan keluar dan pergi langsung ke konsumen untuk mendapatkan margin yang lebih tinggi, data pelanggan, dan transparansi. Langkah Unilever untuk membeli Dollar Shaving Club contohnya, dan pisau cukur hanya awalnya.

2. Ecommerce sebagai saluran untuk memiliki pelanggan
Gunakan ecommerce sebagai sebuah saluran yang scalable dan hemat biaya dalam jangka panjang untuk mendapatkan dan memiliki hubungan langsung dengan pelanggan sendiri. Kemudian, gunakan hubungan ini untuk menjual lebih banyak produk, baik fisik dan non-fisik, terutama produk ber-margin tinggi seperti jasa keuangan (asuransi, pinjaman) dan iklan. Dengan memiliki lebih banyak pelanggan, pengecer meningkatkan daya tawar brand mereka vis-à-vis yang semakin banyak mengambil pilihan untuk memotong pengecer dan pergi langsung.

Tidak semua pengecer di Asia Tenggara menggunakan e-commerce hanya sebagai sebuah cabang toko lain pada umumnya. MatahariMall milik Lippo Group adalah salah satu contohnya. Dengan dukungan yang kuat dan pandangan jangka panjang dari John Riady, pewaris kerajaan Lippo, MatahariMall.com dengan cepat menjadi pesaing nomor satu Lazada di Indonesia. Tidak saja bergerak di ritel, MatahariMall juga akan memberikan jasa pembayaran dan keuangan melalui kemitraan dengan Grab. Di Thailand, Central Group adalah meningkatkan permainan ecommerce dengan mengakuisisi Zalora Thailand dan Vietnam, dan Cdiscount Vietnam.

Ini adalah bukti bahwa untuk bertahan hidup, pengecer offline tradisional seperti Matahari, Central Group, atau The Mall Grup butuh secara sukses menemukan kembali diri mereka untuk mengantisipasi kedatangan para pemain internet lainnya seperti Lazada yang pindah ke wilayah mereka.

Peritel tradisional juga perlu khawatir tentang brand online yang bisa saja keluar dari rangkaiannya dan mengadopsi model langsung ke konsumen mereka, seperti yang sudah terlihat pada Nike. Namun, taruhan terbaik adalah bagi para peritel pintar yang bisa membangun ekosistem mereka sendiri, hubungan pelanggan sendiri (misalnya asuransi, iklan, jasa) yang sebagian besar semakin digital dan memonetisasinya melalui banyak cara serta tidak lagi menjajakan produk dengan margin yang rendah. Kemudian, dan hanya kemudianlah, baru para peritel tradisional sebagai distributor bisa bertahan dari disintermediasi yang dibawa kepada mereka berkat teknologi.

Jangan sampai bisnis Anda bernasib seperti Circuit City
Jangan sampai bisnis Anda bernasib seperti Circuit City


Disclosure: Tulisan ini dibuat oleh Sheji Ho dan disadur oleh Rara Kinasih setelah melalui penyuntingan. Artikel aslinya bisa diakses di sini.

Artikel ini adalah hasil kerja sama DailySocial dan eCommerceIQ.