Bagaimana DigiAsia Bios Manfaatkan Embedded Finance untuk Keuangan yang Inklusif

Indonesia memiliki populasi unbanked dan underbanked tertinggi (81%) di Asia Tenggara, menurut laporan e-Conomy 2022 yang disusun Google bersama Temasek, dan Bain & Co.. Kondisi tersebut menempatkan negara ini sebagai tertinggi pertama di ASEAN, yang kemudian disusul oleh Filipina (75%) dan Vietnam (54%).

Bila terjemahkan, angka ini memperlihatkan masih sulitnya masyarakat Indonesia dalam memperoleh akses keuangan. Makanya pekerjaan rumah saat ini bagi seluruh pelaku industri adalah meningkatkan literasi dan inklusi keuangan. Dalam konteks fintech, solusi embedded finance bisa menjadi salah satu cara menuju inklusivitas akses keuangan, seperti yang saat ini dilakukan oleh DigiAsia Bios (Digiasia).

Grup perusahaan fintech ini memiliki empat produk keuangan yang sudah berlisensi, ialah uang elektronik (KasPro), p2p lending (KreditPro), remitansi (RemitPro), dan layanan keuangan digital (Digibos). Seluruh layanan tersebut disajikan untuk memenuhi kebutuhan bisnis alias B2B, maka jadi hal yang wajar karena merek-merek di atas tidak familiar di telinga konsumen B2C.

“Kami bukan untuk B2C, melainkan enabler untuk B2B [dengan empat lisensi]. Sementara ini kami melayani enterprise yang sudah punya audiens tapi ada kebutuhan produk keuangan untuk melayani konsumen mereka,” terang Chief of Digital Ecosystem Integration DigiAsia Bios Joseph Lumban Gaol saat ditemui DailySocial.id.

Menurutnya, potensi korporat yang membutuhkan solusi keuangan jauh lebih besar dan tak kalah pentingnya dalam rangka meningkatkan keuangan yang inklusif. Hanya saja bagi korporat tersebut untuk memiliki solusi keuangan, uang elektronik misalnya, harus mengajukan lisensi ke Bank Indonesia dan memenuhi berbagai persyaratan. Tak hanya makan waktu, tapi juga investasi yang dikeluarkan tak kalah besar.

Seluruh solusi ini sudah berbasis API, dapat dihubungkan dengan sistem API di enterprise sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Perusahaan lebih suka menyebut solusinya tersebut sebagai EFaaS (embedded-finance-as-a-service), sebenarnya tidak berbeda dengan istilah embedded finance yang lebih familiar di industri fintech.

Diklaim perusahaan telah bermitra dengan 97 korporasi besar lintas industri sejak beroperasi di 2017. Mereka datang dari jasa keuangan, teknologi, ritel, telekomunikasi, transportasi, dan F&B.

Dicontohkan, salah satu pengguna KasPro, yakni PT KAI membutuhkan kehadiran solusi dompet digital di aplikasi KAI Access. Memanfaatkan lisensi yang dimiliki KasPro, kini hadir KAIPay sebagai alternatif pembayaran untuk pemesanan tiket, pesanan makanan di kereta api, dan jasa lainnya di aplikasi KAI Access.

Contoh lainnya, Kredivo yang membutuhkan kemudahan transfer dana ke rekening debitur untuk setiap pengajuan pinjaman yang telah disetujui perusahaan. “Jadi solusi yang dibutuhkan para enterprise ini tailored untuk mengatasi masalah masing-masing. Karena Indonesia itu banyak yang unbanked, jadi masalahnya sangat beragam,” tambahnya.

Secara konsep embedded finance, apa yang ditawarkan DigiAsia serupa dengan pemain seperti AyoConnect, Brick, dan Brankas. Namun Joe, panggilan akrab dari Joseph, menuturkan keunggulan dari DigiAsia adalah keempat lisensi yang sudah dikantonginya tersebut.

Walau demikian, pihaknya mengaku tetap menjalin kemitraan dengan pemain sejenis apabila ada teknologi yang dirasa lebih unggul daripada yang dimiliki perusahaan. Menurutnya, di era sekarang kolaborasi lebih baik daripada memonopoli pasar, apalagi pasar Indonesia dinilai too specialized (sangat terspesialisasi).

Turut hadir dalam kesempatan tersebut Chief of Exchange and Gaming DigiAsia Bios Jimmy Tjandra. Ia menambahkan, Stripe adalah tolak ukur terbaik sebagai penyedia solusi embedded finance dalam skala global. Perusahaan banyak memperhatikan geliat perusahaan tersebut dan inovasi-inovasi yang dihadirkan.

Hanya saja, karena pasar Indonesia terlalu terspesialisasi, solusi yang begitu canggih dari perusahaan skala global seringkali tidak tepat sasaran. Alhasil tetap dibutuhkan lokalisasi agar diterima masyarakat. “Karena Indonesia itu populasi unbanked-nya masih tinggi, sehingga solusi yang terlalu canggih itu seringkali belum tentu tepat,” ujarnya.

Sumber: DigiAsia Bios

Pengembangan teknologi

Chief of Technology & Operations Officer DigiAsia Bios Hardi Tanuwijaya menambahkan, dari berbagai contoh kasus lintas industri yang sudah ditangani perusahaan, terkumpullah API-API yang dapat langsung di-plug-and-play sesuai kebutuhan yang dicari. Semuanya tersimpan di dalam komputasi awan yang membuat semua prosesnya efisien, hemat, dan cepat.

Proses kerja tim teknologi di DigiAsia menggunakan microservices architecture. Ini adalah framework yang dipakai sebagai model dalam pembuatan aplikasi komputasi awan yang modern. Di dalam microservices, setiap aplikasi dibangun sebagai sekumpulan services dan setiap layanan berjalanan dalam prosesnya sendiri.

Masing-masing dari aplikasi tersebut saling berkomunikasi melalui API. Alhasil, setiap ada perubahan pada program yang dilakukan oleh developer, tidak akan mengganggu keseluruhan aplikasi. “Dengan microservices architecture kita jadi lebih fleksibel, semua berjalan secara modular menggabungkan empat lisensi yang kita punya tanpa terganggu jika kita bangun program baru di dalam cloud.”

Dampak dari pola kerja demikian membuat struktur karyawan di DigiAsia terbilang ramping, dengan total karyawan sekitar 100 orang dan mayoritas terdiri dari tim teknologi.

Kemudian dari sisi korporasi yang ingin “menjahitkan” API dari DigiAsia ke API internal juga lebih ramah. Tapi itu tergantung kesiapan teknologi masing-masing. Hardi memperkirakan, apabila perusahaan sudah matang dengan teknologi mereka, biasanya proses penjaitan API hanya memakan waktu tiga minggu. Akan tetapi, apabila perusahaan tersebut masih memiliki banyak aspirasi pembangunan teknologi, maksimal proses penjaitannya kurang dari tiga bulan.

“Karena sudah banyak use case sejak 2017 dan sudah API-based, makanya proses penjaitan API dapat berjalan lebih cepat.”

Rencana bisnis

Dalam rangka melanjutkan visi ingin meningkatkan keuangan yang inklusif di Indonesia, perusahaan segera meluncurkan solusi baru berbentuk marketplace berbasis Open API untuk menyasar berbagai skala bisnis mulai dari UKM hingga enterprise.

Joe menjelaskan, solusi tersebut diperuntukkan buat para developer yang membutuhkan solusi keuangan sesuai yang dicari, berdasarkan API-API dengan berbagai use case yang sudah tersedia di platform tersebut. Kemudian, mereka dapat langsung menjaitnya dan mencoba apakah berjalan sukses atau tidak di platform masing-masing.

“Rencananya produk ini akan hadir bulan Juni, platform-nya kami buka khusus untuk para engineer yang ada di seluruh Indonesia. Dengan demikian, keuangan digital semakin inklusif karena masuk ke berbagai aspek hidup masyarakat karena masih banyak industri yang membutuhkan solusi keuangan yang tidak mungkin bila kita sendiri yang terjun langsung ke sana.”

Rencana lainnya, seiring mengikuti perkembangan teknologi adalah mulai mempelajari penerapan teknologi blockchain. Di Indonesia, teknologi ini masih dalam tahap adaptasi dan belum banyak contoh kasus yang bisa dikatakan sukses.

Namun secara tren global, teknologi blockchain telah menunjukkan nilai lebihnya dalam berbagai kasus penggunaan perusahaan, seperti pelacakan sumber, logistik, dan pembayaran lintas batas. Solusi blockchain lebih efisien dan hemat biaya, sekaligus menghemat waktu dan tenaga bagi perusahaan.

“Walaupun begitu, kami terus mengamati tren karena kami tetap ingin menyeimbangkan antara bisnis dan perkembangan teknologi blockchain apabila diterapkan di Indonesia.”

Mengenai rencana perusahaan bersama Mastercard dan Bank Index, Joe menuturkan bahwa saat ini sedang mengajukan izin dari Bank Indonesia untuk menerbitkan kartu debit fisik yang ditenagai Mastercard dan Bank Index sebagai bank penerbit kartu. DigiAsia nantinya sebagai penyedia fitur-fitur yang memberikan nilai tambah bagi pengguna.

Apabila tidak ada aral lintang, kartu debit tersebut nantinya akan dihadirkan untuk masyarakat unbanked namun sudah memanfaatkan berbagai platform digital yang mereka pakai sehari-hari. Ambil contoh, Maxim, yang juga sudah bermitra dengan DigiAsia, dapat membuka kesempatan bagi para pengemudinya -dengan memanfaatkan account linkage– untuk memiliki kartu debit dengan berbagai kemudahan, seperti account management dan transaksi luar negeri.

Sebagai catatan, DigiAsia kini menjadi salah satu pemegang saham (sebesar 3,67%) di Bank Index sejak awal tahun ini. Adapun, startup fintech lainnya Modalku sudah resmi masuk ke bank tersebut sejak April 2022 dengan mencaplok 10% saham. Sementara, Mastercard adalah salah satu pemegang saham di DigiAsia sejak putaran Seri B yang berlangsung pada Maret 2020.

Sebelumnya, Mastercard dan DigiAsia sudah berkolaborasi dengan Bank Rakyat Indonesia untuk menerbitkan kartu kredit virtual dan fisik Merchant on Record (MOR). Kegunaannya untuk memudahkan pengusaha distributor untuk melakukan pembayaran kepada prinsipal dengan cepat tanpa mendisrupsi model bisnis yang telah berjalan. Salah satu pengguna kartu tersebut adalah startup GrosirOne.

“Rencananya kartu debit fisik bersama Bank Index ini akan segera hadir dalam tahun ini, sekarang sedang dalam tahap compliance di Bank Indonesia.”

Rencana IPO

Mengenai perkembangan IPO via SPAC di bursa saham Amerika Serikat, diterangkan lebih jauh bahwa sejauh ini masih sesuai dengan rencana perusahaan. Bila proses lancar, diperkirakan akan resmi melantai sekitar kuartal III/IV tahun ini. “Sekarang prosesnya masih berjalan sesuai pipeline, namun saat ini belum ada sesuatu yang pasti sehingga apapun bisa terjadi,” kata Joe.

Sebelumnya, perusahaan merger dengan perusahaan cangkang StoneBridge Acquisition Corporation (StoneBridge). Transaksi tersebut membawa valuasi pra-IPO (pre-money equity) DigiAsia sebesar $500 juta. Sebelum menandatangani perjanjian merger, DigiAsia menutup investasi $14,5 juta dengan valuasi post-money sebesar $450 juta yang dipimpin Reliance Capital Management (RCM).

Bicara mengenai perkembangan bisnis DigiAsia, disebutkan gross merchandise value (GMV) tahunan yang diproses mencapai $3 juta pada tahun lalu, dengan pertumbuhan CAGR lebih dari 200% secara year-on-year. Adapun berdasarkan gross transaction value (GTV) kontributornya terbesar datang dari solusi BaaS (48%), kemudan B2B2M (46%), dan sisanya dari bisnis lainnya.

Joe menuturkan, tahun ini perusahaan menargetkan dapat cetak laba agar dapat tumbuh berkelanjutan ke depannya. “Struktur bisnis kami sudah efisien dan biaya nurture di B2B ini lebih murah dari B2C, makanya kami yakin tahun ini bisa sudah bisa profit,” tutupnya.

Ayoconnect Umumkan Pendanaan Seri B+ 199 Miliar Rupiah Dipimpin SIG Venture Capital

Startup open finance Ayoconnect kembali umumkan pendanaan lanjutan senilai $13 juta atau lebih dari 460 miliar Rupiah dalam putaran seri B+. Investasi ini dipimpin oleh SIG Venture Capital, diikuti oleh Innovation Capital serta beberapa investor sebelumnya, termasuk PayU dan Prosus.

Dengan tambahan pendanaan ini, Ayoconnect telah berhasil mengumpulkan total $28 juta atau setara dengan 420 miliar Rupiah untuk pendanaan ekuitas. Sebelumnya perusahaan telah mengumumkan penutupan putaran seri B di awal tahun 2022 dipimpin oleh Tiger Global.

Dana segar ini akan difokuskan pada pengembangan produk dan teknologi, serta investasi untuk peningkatan kualitas kepemimpinan dan pemberdayaan tim. Dalam hal ini, termasuk solusi baru untuk pembayaran, data dan perbankan serta API baru untuk pembukaan rekening dan penerbitan kartu.

Founder & CEO Ayoconnect Jakob Rost mengungkapkan bahwa kepercayaan investor merupakan hasil dari daya tarik terhadap pesatnya perkembangan solusi yang ditawarkan Ayoconnect di pasar Indonesia. Perusahaan berhasil menjalin kemitraan yang sinergis, meluncurkan berbagai produk yang berdampak besar, serta meningkatkan jangkauan nasabah dari bank yang menggunakan layanannya.

“Pendanaan ini akan mempercepat pencapaian visi kami untuk menghadirkan solusi berbasis API baru kepada klien perbankan dan mitra bisnis kami. Dalam 12 bulan ke depan akan menjadi waktu yang penting bagi kami untuk mengeksekusi inovasi dan meluncurkan solusi baru lebih cepat, serta melakukan investasi dengan cermat,” tambahnya.

Akshay Bajaj dari SIG Venture Capital menyebut Ayoconnect telah menjalankan API volume tinggi selama bertahun-tahun dan berada di posisi yang sangat baik untuk membantu pelanggan meluncurkan kasus penggunaan yang menarik dan menguntungkan dengan cepat dan aman.

Inovasi Ayoconnect

Didirikan pada tahun 2016, Ayoconnect merupakan rebranding dari startup fintech payment agregator Ayopop. Di pertengahan Agustus 2020, perusahaan mengubah fokus bisnis menjadi penyedia jaringan tagihan (open bill network) dengan solusi One API yang memungkinkan perusahaan penyedia tagihan untuk memperluas titik pembayaran mereka.

Ayoconnect meluncurkan Open Finance API pertama yang memungkinkan lembaga keuangan non-perbankan untuk memulai pembayaran direct debit berulang dari rekening tabungan pelanggan. Perusahaan bekerja sama dengan perbankan untuk menyediakan direct debit yang dapat diakses melalui satu API. Di antaranya BRI, Bank Mandiri, CIMB Niaga, BNI, Danamon, Bank Syariah Indonesia, dan Bank Neo Commerce.

Berfokus di Asia Tenggara, API Ayoconnect mempermudah bisnis untuk mengembangkan ragam layanan finansial alih-alih membangun infrastruktur sendiri. Perusahaan sudah bekerja sama dengan regulator dan bank incumbent, dan baru-baru ini dianugerahi lisensi Penyedia Layanan Pembayaran Kategori 1 oleh Bank Indonesia (BI). Selain Ayoconnect, pemain lain yang juga menawarkan solusi serupa termasuk Brick, Brankas dan Finantier.

Belum lama ini, Ayoconnect mengumumkan kemitraan strategis dengan perusahaan konsultan teknologi yang berfokus pada solusi cloud, kecerdasan buatan (Artificial Intelligence) dan analitik data, Searce. Kerja sama ini bertujuan untuk mempercepat akselerasi digitalisasi perbankan di Indonesia dengan memanfaatkan teknologi Application Programming Interface (API).

Penggabungan kedua pengalaman dan keahlian, Searce dan Ayoconnect disebut akan membantu lembaga keuangan, perusahaan rintisan dan bisnis meluncurkan produk layanan digital baru dengan cepat serta membuka lebar akses keuangan untuk pencapaian target 90% inklusi keuangan pada tahun 2024 di Indonesia.

Layanan keuangan lain yang telah diluncurkan oleh klien Ayoconnect termasuk embedded payment bermitra dengan PT Kereta Api Indonesia (KAI), untuk meluncurkan fitur tiket dan produktivitas baru di KAI Access mobile app, yang memungkinkan pengguna untuk membeli pulsa, berlangganan data internet dan token listrik).

Perusahaan juga bermitra dengan Bank Syariah, bank syariah terbesar di Indonesia, untuk menambah kemampuan digital dan seluler baru dengan tujuan inklusi keuangan dan pertumbuhan ekonomi yang lebih besar di antara para nasabahnya.

Hingga saat ini, Ayoconnect telah melayani 200 pelanggan, termasuk bank-bank besar, lembaga keuangan, startup unicorn, dan fintech melalui lebih dari 4.000 produk keuangan tertanam. API-nya mencakup dua kategori: API open banking dan API layanan pembayaran, dengan tujuan membangun ekosistem open finance terlengkap di Asia Tenggara.

OCBC NISP Gandeng DailySocial.id Gelar Kegiatan “Hack@ON”

PT Bank OCBC NISP Tbk (IDX: NISP) berkolaborasi dengan DailySocial.id menggelar program Hack@ON. Kegiatan ini bertujuan untuk mengeksplorasi ide dan talenta baru dalam rangka meningkatkan pengalaman perbankan di Indonesia.

Dalam sesi talkshow peluncuran acara, IT Division Head Bank OCBC NISP Komang Arthayasa mengungkap bahwa banyak peluang untuk mengakselerasi inovasi di era open banking yang tengah berkembang di Indonesia. Kegiatan hackathon ini diyakini dapat menjadi salah satu cara meningkatkan kapabilitas layanan OCBC NISP ke depan.

Sekadar informasi, OCBC NISP telah memulai transformasi digital sejak beberapa tahun terakhir. Salah satu realisasinya adalah bermitra dengan startup lending Indodana untuk menyalurkan pendanaan dengan skema channeling.

“Hack@ON menjadi ajang berdiskusi dengan para inovator untuk menghadirkan solusi kreatif dan alternatif untuk memberikan pengalaman perbankan yang berbeda. Sesuatu yang telah embedded dalam kehidupan sehari-hari. Nah, produk dan sistem kami sudah siap,” ujar Komang.

Open banking dapat didefinisikan sebagai mekanisme penyediaan akses data nasabah yang terbuka dan aman dengan mengimplementasi Open Application Programming  Interface (API). Teknologi ini memungkinkan pihak ketiga mengakses data yang dibutuhkan nasabah dengan sambungan tersedia. Open banking memiliki ruang eksplorasi besar yang dapat dikembangkan sesuai kebutuhan nasabah secara personal.

Founder & CEO DailySocial.id Rama Mamuaya menambahkan, sebelum ekosistem digital Indonesia tumbuh matang seperti sekarang, ia menilai banyak startup kesulitan untuk men-deliver produknya ke pasar. Kini, tren open banking dapat membuka akses luas bagi startup untuk mengakses pasar melalui kolaborasi.

“Bank merupakan industri berbasis integritas dan kepercayaan yang telah berdiri ratusan tahun. Sementara, startup umumnya lebih berfokus mengatasi suatu masalah dengan menciptakan produk. Saat ini, kolaborasi antar startup-korporasi telah terjadi di mana-mana. Startup punya ide, korporasi punya basis pengguna. Mereka bisa berkolaborasi untuk go-to market,” papar Rama.

Ekosistem terbuka

Dalam kesempatan sama, Country Manager IDC Indonesia Mevira Munindra mengatakan bahwa Indonesia baru memasuki fase emerging pada implementasi open banking dalam beberapa tahun terakhir. Pertumbuhan ini tak lepas dari upaya pemerintah mendorong pemanfaatan Open API dengan menerbitkan Standar Nasional Open API Pembayaran (SNAP).

Open banking diharapkan dapat mendorong open ecosystem mengingat perubahan perilaku masyarakat juga mendorong open ecosystem di Indonesia. Akan ada banyak model bisnis berbasis ekosistem di masa depan. Ini akan menjadi enabler terhadap digitalisasi,” ucapnya.

Mengacu laporan Kementerian Komunikasi dan Informatika, sektor informasi dan komunikasi di 2021 tumbuh positif berturut-turut sebesar 8,72%, 6,87%, dan 5,51% (Year-on-Year). Pertumbuhan ini dipicu oleh akselerasi digital yang mendorong perubahan perilaku masyarakat dari offline ke online selama pandemi.

Adapun, pendaftaran program Hack@ON telah dibuka pada 12 Juli hingga 4 September 2022. Untuk menjaring para inovator berbakat, Hack@ON akan mengadakan roadshow di empat kota, yakni Bandung, Yogyakarta, Jakarta, dan Surabaya.

Dari total peserta, Hack@ON akan menjaring sebanyak 20 peserta untuk mengikuti kompetisi Hack Day pada 24-25 September 2022 di ON Space, BSD City.

Ajang kompetisi Hack@ON juga sudah semakin dekat, dengan sisa waktu kurang lebih dua bulan, panitia Hack@ON akan menutup registrasi dan pengumpulan ide pada 4 September 2022. Agar tidak terlewat, langsung daftarkan diri kamu di sini sekarang!

Dampak Layanan Fintech untuk Masyarakat dan Pelaku UMKM di Indonesia

Dalam dua tahun terakhir layanan fintech berkembang secara cepat menawarkan pilihan yang saat ini sudah banyak digunakan secara rutin oleh masyarakat. Mulai dari dompet digital, fintech lending, wealth management, paylater, insurtech, hingga fintech enabler. Dalam sesi #SelasaStartup bersama Editor in Chief DailySocial.id Amir Karimuddin, dibahas seperti apa tren dan perkembangan layanan fintech di Indonesia.

Pertumbuhan platform fintech enabler

Secara khusus saat ini sebagian besar masyarakat Indonesia makin terbiasa dengan penggunaan dompet digital hingga paylater untuk pembayaran. Namun dalam waktu dua tahun terakhir layanan fintech juga mulai diramaikan dengan platform baru yang juga dikenal sebagai fintech enabler. Istilah baru pun bermunculan, ada open banking, open finance, hingga banking as a service (BaaS) yang seluruhnya ini sebenarnya memanfaatkan keberadaan Open API dengan sasaran target yang berbeda.

“Khusus untuk enabler, emebded finance atau open finance semua fokus kepada segmen B2B. Ada bisnis baru yang memberikan warna, yang juga menjadi keyword di Fintech Report 2021. Platform fintech ini dengan layanan yang bervariasi, nantinya apakah ada ada di satu rumah atau antar platform bisa saling berkomunikasi lebih baik dengan menggunakan API. Ke depannya open finance, embeded finance akan lebih banyak lagi diaplikasikan di berbagai macam platform,” kata Amir.

Ditambahkan olehnya untuk bisa memberikan layanan yang seamless, pada umumnya produk tersebut dibungkus layaknya produk keuangan seperti investasi dan lainnya masuk dalam opsi di marketplace, yang menjalin kerja sama strategis dengan fintech enabler tersebut. Di Indonesia pemain yang menyasar industri tersebut di antaranya adalah Brankas, Finantier, dan AyoConnect.

Edukasi dan keamanan

Satu hal yang juga menjadi perhatian semua pihak terkait dengan layanan fintech adalah menjawab pertanyaan: apa layanan fintech dibutuhkan dan sesuai untuk kebutuhan mereka? Sehingga akan terhindar dari penyalahgunaan platform hingga penawaran yang disebar secara bebas memanfaatkan media sosial. Pemahaman atau literasi keuangan digital perlu disampaikan banyak pihak, baik stakeholder yang terlibat langsung, media, hingga masyarakat pada umumnya.

“Untuk platform biasanya sudah masuk dalam asosiasi, misalnya AFPI yang secara bersama melakukan edukasi. Dala hal ini saya melihat bukan hanya literasi produk, tapi juga literasi digital yang memang harus terus digalakkan, jika kita melihat begitu banyak orang meneruskan pesan di WhatsApp tanpa verifikasi kebenarannya untuk layanan pinjol dan lainnya, termasuk di media sosial,” kata Amir.

Dari sisi keamanan, hingga saat ini belum ada kasus yang cukup besar yang merugikan nasabah hingga platform. Semua platform sudah bekerja dengan baik melindungi pengguna/nasabah mereka dari ancaman hacker dan lainnya. Namun demikian untuk terus bisa menjaga keamanan, semua platform terkait wajib untuk terus mengikuti aturan yang diberlakukan oleh regulator. Apakah itu menjaga keamanan data pengguna hingga akun pengguna.

Manfaat untuk UMKM

Layanan fintech secara langsung sangat menguntungkan para pelaku UMKM. mereka yang masuk dalam kategori mikro, selama ini tidak memiliki catatan keuangan atau pembukuan yang lengkap dan kebanyakan masih dilakukan secara konvensional. Sehingga menyulitkan mereka ketika ingin melakukan pengembangan usaha untuk mendapatkan pinjaman modal dari bank.

Sebagai penyedia layanan keuangan konvensional, perbankan memiliki aturan dan batasan, sehingga mereka kesulitan untuk menjangkau pelaku UMKM yang masih belum bisa memiliki data keuangan dan usaha yang akurat. Dalam hal ini layanan fintech dengan proses KYC dan proses lainnya yang lebih fleksibel, bisa menjembatani pihak perbankan dengan mereka.

Misalnya melalui marketplace yang menyimpan data para pelaku UMKM, atau komunitas tertentu yang sudah dijangkau oleh para institusi finansial untuk pembiayaan. Memanfaatkan proses tersebut, nantinya bank bisa mendukung pelaku UMKM melalui kerja sama strategis dengan layanan fintech.

Fintech memiliki cara untuk melakukan analisis KYC atau screening yang lebih baik untuk memastikan bahwa usaha yang susah diakses dan dihindari oleh perbankan, kemudian bisa dijangkau memanfaatkan layanan fintech,” kata Amir.

Bank Mandiri Siapkan Ekosistem “Super App” Livin’ by Mandiri di Q4 2021

PT Bank Mandiri Tbk (IDX:BMRI) menyiapkan sejumlah strategi dan rencana besar untuk memperkuat posisinya di segmen perbankan ritel dan wholesale. Ini menjadi strategi perusahaan untuk bertransformasi digital secara penuh tanpa perlu mengonversi menjadi neobank sebagaimana dilakukan pemain lainnya.

Salah satunya, perusahaan melakukan rebranding pada platform Mandiri Online menjadi Livin ‘by Mandiri. Wajah baru ini sebetulnya sudah dirilis beberapa waktu lalu. Namun, Mandiri akan menambah sejumlah fitur dan ekosistem layanan demi menyempurnakan konsep “super app” yang diusungnya.

Kepada DailySocial, Direktur Utama Bank Mandiri Darmawan Junaidi mengatakan, pihaknya berupaya mengakomodasi kebutuhan pengelolaan finansial yang lebih luas dengan identitas baru mobile banking ini. Salah satu contoh layanan keuangan yang akan hadir adalah investasi.

“Ada tiga keunggulan yang kami tawarkan, yakni pengalaman perbankan yang komprehensif seolah memiliki cabang dalam genggaman, layanan keuangan yang lengkap lewat integrasi layanan keuangan dalam satu aplikasi, dan solusi ekosistem terbuka untuk mengintegrasikannya dengan ekosistem digital favorit nasabah,” papar Darmawan.

Darmawan menilai Bank Mandiri telah diperkuat dengan permodalan yang besar dan ekosistem perbankan yang mapan. Maka itu, pihaknya merasa tidak perlu bertransformasi menjadi bank digital, dan lebih memilih untuk fokus mengembangkan inovasi digital.

Livin’ by Mandiri diperkenalkan kembali dengan identitas baru pada kuartal pertama 2021. Awalnya, platform ini bernama Mandiri Online yang meluncur ke publik sejak 2017. “Rencananya, aplikasi ini akan semakin dilengkapi berbagai fitur terkini di kuartal keempat 2021,” kata Darmawan.

Berdasarkan data kinerja semester I 2021, pertumbuhan transaksi digital Bank Mandiri berkontribusi besar terhadap perolehan margin bisnis perusahaan. Pengguna Livin’ by Mandiri tercatat tumbuh pesat menjadi 7,8 juta nasabah dengan nilai transaksi mencapai Rp728,9 triliun.

Selain ritel, Bank Mandiri juga akan meluncurkan Wholesale Digital Super Platform yang akan menjadi pusat ekosistem layanan keuangan bagi nasabah korporasi. Perusahaan enggan mengelaborasi rencana pengembangan dan target peluncurannya.

Wholesale Digital Super Platform akan hadir dalam platform berbasis website, API, maupun kemitraan dengan berbagai kategori nasabah yang mencakup ekosistem bisnis untuk berbagai layanan, seperti cash management, value chain, hingga trade.

“Sektor pasar yang dibidik oleh Mandiri API adalah mitra pebisnis berbentuk badan usaha yang membutuhkan integrasi yang mudah dan cepat dengan layanan perbankan yang lengkap dan terbaik untuk efisiensi operasional,” tambahnya.

Beberapa digitalisasi layanan yang telah dikembangkan Bank Mandiri antara lain Mandiri e-Money, Mandiri Intelligent Assistant (MITA), pembukaan rekening online, Mandiri Cash Management (MCM), Mandiri Internet Bisnis (MIB), Mandiri Global Trade, Mandiri Financial Supply Chain Management (FSCM), dan Mandiri Application Programming Interface (API).

Geliat digitalisasi perbankan

Di tengah maraknya kemunculan bank digital baru, sejumlah bank inkumben menyiapkan strategi untuk semakin memperkuat posisinya. Bagi bank konvensional, tidak lah mudah untuk bertransformasi menjadi bank digital, terlebih perusahaan yang punya legacy besar. Bukanlah hal mudah untuk menutup ratusan kantor cabang sekaligus.

Pada kasus Bank Mandiri, anak usaha BUMN ini memilih memperkuat posisinya di segmen ritel dan wholesale dengan rebranding produk digital yang sudah ada dan mengembangkan platform baru. Kendati begitu, strategi ini tentu berbeda dengan yang dilakukan BCA. Bank terbesar di Asia Tenggara ini memilih opsi akuisisi bank dan menggantinya dengan identitas baru.

Bagi bank-bank kecil, ini menjadi peluang besar kendati mereka tidak punya legacy besar sejak awal. Ambil contoh, Bank Jago dan Bank Neo Commerce sama-sama berawal dari bank kecil yang kemudian berganti identitas dengan nama baru.

Terlepas dari itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebelumnya telah menegaskan bahwa tidak ada dikotomi antara bank umum dan bank digital melalui aturan baru yang tertuang dalam POJK Nomor 12/POJK.03/2021.

Planning Stage Subsidiaries BRI Agro
Alobank
Bank-as-a-Service Standard Chartered <> Bukalapak
Unannounced Bank Capital
Aladin Bank
Established Fully Digital Bank Jago
Bank Neo Commerce
Seabank
Subsidiary BCA Digital
Permatabank <> Moxa
Digital Unit/Online Product Digibank
Jenius
Linebank
Livin’ by Mandiri
MNC Bank
Nyala by OCBC NISP
PermataME
TMRW by UOB

Bank digital dan produknya di Indonesia / Diolah kembali oleh DailySocial

Mengutip Bisnis.com, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Heru Kristiyana mengatakan, regulasi baru ini diharapkan dapat memberi kepastian kepada investor yang ingin mendirikan bank digital di Indonesia.

Regulasi ini memberikan dua opsi, yakni mendirikan bank baru dan mengakuisisi bank kecil yang kemudian dikonversi menjadi bank digital. Adapun, OJK mewajibkan investor pengendali untuk menyediakan modal inti minimum sebesar Rp10 triliun untuk mendirikan bank baru.

SNAP Tandai Dimulainya Standardisasi “Open Banking” Indonesia

Indonesia mulai menyusul negara global lainnya untuk mulai mengimplementasikan standar nasional Open API. Bertepatan dengan HUT Kemerdekaan RI ke-76, Bank Indonesia meresmikan Standar Nasional Open API Pembayaran (SNAP). Sekaligus uji coba sandbox QRIS dengan Thailand (Thai QR Payment) yang disebut QRIS Antarnegara.

SNAP merupakan standar nasional yang ditetapkan BI atas seperangkat protokol dan instruksi yang memfasilitasi interkoneksi antaraplikasi secara terbuka dalam pemrosesan transaksi pembayaran. Oleh karenanya, SNAP menyatukan berbagai layanan transaksi di Indonesia ke dalam satu sistem.

Standardisasi Open API Pembayaran ini, menurut Gubernur BI Perry Warjiyo, dapat menciptakan industri sistem pembayaran yang sehat, kompetitif, dan inovatif, sehingga dapat menyediakan layanan sistem pembayaran kepada masyarakat yang efisien, aman, dan andal.

SNAP mencakup standar teknis keamanan, standar data, spesifikasi teknis, dan dokumen pedoman tata kelola sistem pembayaran nasional. Ada dua hal yang distandarkan oleh SNAP.

Pertama, dokumen standar teknis dan keamanan, standar data, dan spesifikasi teknis SNAP menstandarkan, antara lain: protokol komunikasi, tipe arsitektur API, struktur dan format data, metode autentikasi, metode otorisasi, metode enkripsi, persyaratan pengelolaan akses API, struktur data request, hingga struktur data response.

Kedua, dokumen pedoman tata kelola SNAP menstandarkan pedoman perlindungan konsumen, perlindungan data, persyaratan kehati-hatian bagi penyedia layanan dan pengguna layanan, serta kontak.

Pengimplementasian SNAP merupakan salah satu tahapan penting dalam rangka mengakselerasi open banking di area sistem pembayaran. Inisiatif ini adalah tindak lanjut dari visi Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia (BSPI) 2025.

Menuju Sistem Pembayaran Indonesia (SPI) 2025 / Bank Indonesia

Penyusunan SNAP dilakukan bersama oleh Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI) dengan membentuk Working Group (WG) Nasional. Sebelum WG nasional dibentuk, BI terlebih dulu menerbitkan Consultative Paper Standar Open API Pembayaran oleh Bank Indonesia pada kuartal I 2020.

Jauh sebelum bank sentral menetapkan standarisasi Open API ini, industri sudah ambil langkah terlebih dulu dengan membuat Open API versi masing-masing. Salah satunya adalah BCA yang meluncurkan API BCA pada 2017. Disebutkan volume transaksi API BCA tumbuh 4,8 kali dalam dua tahun terakhir. Transaksinya tembus lebih dari 1 miliar aktivitas transaksi dan telah digunakan oleh lebih dari 2.500 nasabah bisnis.

Pengembangan fiturnya telah mencapai ratusan untuk memenuhi berbagai kebutuhan bisnis, seperti informasi saldo, mutasi rekening, transfer, BCA Virtual Account, dan lainnya. Bagi nasabah bisnis, implementasi API BCA mempermudah mereka saat rekonsiliasi transaksi penerimaan pembayaran, automasi dan simplifikasi proses transaksi bisnis.

QRIS Antarnegara

Sementara itu, terkait QRIS Antarnegara yang masuk ke dalam bagian SNAP, sebagai permulaannya bekerja sama dengan Bank of Thailand (BOT). Bagi konsumen atau wisatawan yang berasal dari Indonesia dan Thailand bisa melakukan pembayaran dengan memindai kode QR di masing-masing negara.

Perry mengatakan, pengembangan QRIS Antarnegara dengan Thailand dapat menjadi tonggak baru dalam memfasilitasi aktivitas masyarakat antar kedua negara, khususnya bagi wisatawan.

Secara teknis, penyelesaian transaksi QRIS Antarnegara ini menggunakan mata uang lokal masing-masing negara atau local currency settlement (LCS) melalui bank yang sudah dipilih atau appointed cross currency dealers (ACCD).

Interkoneksi switching to switching dibangun antar switching kedua negara yaitu Rintis, Artajasa, Jalin dan Alto dari Indonesia dengan National ITMX (NITMX) dari Thailand. Adapun bank ACCD di Indonesia yang terpilih adalah BCA, BNI, dan BRI. Sementara, bank ACCD di Thailand ada Bangkok Bank (BBL), Bank of Ayudhya (Krungsri), dan CIMB Thai Bank (CIMBT).

Proyek ini juga turut melibatkan 13 provider QRIS. Mereka adalah Bank Sinarmas, Bank Mega, Bank Permata, Bank BSI, Telkom Indonesia, Maybank, ShopeePay, LinkAja, DANA, Bank Mandiri, CIMB Niaga, dan Otto Cash.

Fase komersial penuh dengan Thailand akan dilakukan pada kuartal I 2022. Setelah Thailand, bank sentral tengah menanti uji coba dengan Malaysia. “Setelah Thailand kita dengan Malaysia dan setelahnya sudah ada beberapa negara ASEAN lain yang berminat dan sudah menyetujui,” terang Asisten Gubernur Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran BI Filianingsih Hendarta mengutip dari Katadata.

Setelah skala ASEAN, pada fase berikutnya QRIS Antarnegara bakal disiapkan untuk lintas negara di luar ASEAN. Salah satunya, dengan Arab Saudi.

Open banking di Singapura

Sumber: The Edge Markets

Tentunya kehadiran SNAP mempermudah industri jasa keuangan untuk terhubung secara digital dengan pemain non-bank. Contoh terdekat yang bisa ditengok adalah Singapura yang menjadi salah satu kiblat negara maju di Asia.

Pada dasarnya, semangat open banking adalah memberi manfaat kepada konsumen melalui peningkatan pengalaman konsumen, akses ke produk yang mendukung perbankan terbuka, dan pengambilan keputusan keuangan yang lebih baik dengan menggabungkan informasi keuangan mereka dalam satu platform.

Monetary Authority of Singapore (MAS) adalah pendorong utama perkembangan open banking yang masif di Singapura. Salah satu inisiatif utama yang mereka ambil adalah memperkenalkan API Exchange (APIX), sebuah platform kolaborasi yang menjadi dasar kuat bagi pertumbuhan open banking.

APIX adalah platform arsitektur terbuka lintas batas pertama di dunia dan bertujuan untuk mendukung inovasi dan inklusi keuangan di ASEAN dan di seluruh dunia. Platform yang diluncurkan pada November 2018 ini menjadi tempat lembaga keuangan dan perusahaan fintech dapat terhubung dengan mudah dan berkolaborasi dalam pengalaman desain melalui API.

Menurut Founder & CEO MatchMove Shailesh Naik, dia telah melihat kemajuan dalam kolaborasi antara bank dan perusahaan fintech di bidang ini selama dua tahun terakhir. Bank sekarang lebih bersedia untuk bekerja sama dan mulai menjangkau untuk tetap kompetitif karena proses di perusahaan fintech menjadi lebih menarik dan hemat biaya untuk sektor keuangan konvensional.

Tonggak penting lainnya lewat MAS adalah inisiatif Financial Planning Digital Services, yang bertujuan untuk memfasilitasi portabilitas data dengan kerangka kerja API yang aman. Pada 7 Desember 2020, MAS meluncurkan Singapore Financial Data Exchange (SGFinDex), yang melibatkan konsolidasi data keuangan dari bank dan lembaga pemerintah di satu tempat, bukan di beberapa lokasi.

Hal ini difasilitasi melalui identitas digital nasional Singapura, Singapore Personal Access (SingPass), yang merupakan layanan single sign-on yang digunakan oleh warga Singapura untuk bertransaksi dengan lebih dari 60 instansi pemerintah secara online. Konsumen memiliki pilihan untuk memberikan akses ke lembaga keuangan yang mereka pilih untuk berbagi informasi mereka.

Infrastruktur ini dikembangkan oleh sektor publik bekerja sama dengan ABS dan tujuh bank yang berpartisipasi, menjadikan SGFinDex menjadi infrastruktur digital publik pertama di dunia yang menggunakan identitas digital nasional dan sistem persetujuan online yang dikelola secara terpusat.

Managing Director MAS Ravi Menon menyampaikan pentingnya penguatan kepercayaan di sektor keuangan. Nilai lebih yang ditawarkan open banking harus diimbangi dengan risiko yang ditimbulkan oleh berbagi data nasabah antara berbagai pihak.

Dalam Global Financial Services Consumer Study 2019 yang diterbitkan Accenture, sebanyak 75% konsumen menyatakan bahwa mereka sangat berhati-hati tentang privasi data mereka, pelanggaran keamanan data menjadi perhatian terbesar kedua bagi konsumen. Oleh karena itu, agar open banking Singapura benar-benar dapat diterima, pelanggan harus sepenuhnya yakin bahwa data mereka aman.

Meskipun data perbankan di Singapura diatur oleh Undang-Undang Perbankan dan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi yang disempurnakan, bank juga harus memainkan peran mereka dan terus waspada dalam melindungi data pelanggan mereka untuk menguntungkan konsumen dan industri, dan memastikan keberhasilan open banking di Singapura.

Berkaitan dengan itu, penanganan kebocoran data harus ditangani dengan benar-benar serius oleh pemerintah dan instansi terkait. Direktur CELIOS (Center of Economic and Law Studies) Bhima Yudhistira menyampaikan isu ini belakangan semakin sensitif, di tengah geliatnya perkembangan ekonomi digital.

“Apabila isu ini terus terjadi, tentunya akan mengganggu pertumbuhan bank digital atau yang berkaitan dengannya. Sebab konsumen akan sulit untuk percaya datanya aman terproteksi,” ujar dia dalam suatu diskusi panel yang diadakan Infobank.

Kurangnya rasa percaya dari masyarakat terhadap layanan keuangan digital, tercermin dari survei yang diadakan  Digital 2021 Report. Disebutkan penetrasi aplikasi banking and financial services d Indonesia masih rendah hanya 39,2% dari responden. Angka ini lebih rendah dari Thailand 68,1%, Malaysia 55,7%, dan Filipina 42,1%.

Sementara, mobile payment juga rendah yakni 29,2% dibanding rata-rata dunia, yakni 30,9%. jauh dibanding Thailand, Filipina, dan Vietnam. Adapun, untuk penggunaan kode QR code di Indonesia baru sebesar 42% dari penduduk dewasa. Kalah dari Malaysia 77% dan Singapura 79%.

Bank Mandiri Integrasikan Solusi “Autobilling API” Ayoconnect untuk Dorong Kinerja Kartu Kredit

PT Bank Mandiri Tbk mengintegrasikan layanan Mandiri Power Bill dengan solusi Autobilling API dari Ayoconnect. Solusi ini memungkinkan pengguna kartu kredit Mandiri untuk melakukan pembayaran berbagai transaksi tagihan secara otomatis di lebih dari 200 merchant dari 8 kategori produk.

Dalam keterangan resminya, VP Bank Mandiri Noorman Andrianto mengatakan, kerja sama ini menjadi strategi perusahaan untuk meningkatkan kembali pertumbuhan bisnis kartu kredit.

Pasalnya, mengutip Data Asosiasi Kartu Kredit Indonesia (AKKI), penjualan kartu kredit turun hingga 30%. Jumlah transaksinya juga turun 28,98% juta menjadi 29,98% dari Januari 2020 (year-on-year). Adapun, pertumbuhan penjualan dan transaksi kartu kredit anjlok dikarenakan banyak berbagai gerai ritel tutup dan masyarakat cenderung mengurangi pengeluaran di masa pandemi Covid-19.

Noorman mengaku, integrasi solusi Autobilling API telah membawa kinerja positif terhadap volume penjualan kartu kredit Mandiri yang tercatat naik sebesar 19%. Sementara, pertumbuhan transaksinya mencapai 23% per akhir 2020 (year-on-year).

“Solusi ini berhasil mendorong kepuasan dan loyalitas nasabah kartu kredit Mandiri. Bahkan Autobilling API juga memperluas cakupan layanan Mandiri Power Bill yang kini dapat menjangkau pembayaran PDAM ke lebih dari 60 kota dan 100 kabupaten di Indonesia. Jumlah merchant kami pun bertambah dari sebelumnya 20 menjadi lebih dari 200,” ungkap Noorman.

Per Q1 2021, jumlah kartu kredit Bank Mandiri yang beredar tercatat sebanyak 1,5 juta kartu dengan volume penjualan sebesar Rp7 triliun. Jumlah kredit yang disalurkan lewat kartu kredit Bank Mandiri berkontribusi sebesar 15% terhadap total kredit konsumen.

Sementara, Co-Founder & COO Ayoconnect Chiragh Kirpalani menambahkan, solusi Autobilling dirancang untuk membantu industri keuangan dalam mengelola dan meningkatkan pendapatan dari transaksi berulang yang komprehensif bagi penerbit kartu kredit, serta aman dan mudah bagi pelanggan.

Menurutnya, pihaknya tengah menjajaki peluang kerja sama untuk membuka akses Autobilling API dengan lebih banyak pelaku di industri keuangan, baik bank dan fintech, dalam waktu dekat.

Sekadar informasi, Ayoconnect merupakan startup marketplace API yang fokus pada pengembangan API di industri keuangan Indonesia. Layanan mereka memungkinkan developer memilih berbagai produk white-label finansial di platform dan meluncurkan dengan cepat ke pengguna.

Dalam lima tahun terakhir, solusi Ayoconnect telah diadopsi di lebih dari 1000 perusahaan Indonesia dan memproses lebih dari 500 juta klik API per tahunnya. Perusahaan kini telah mengantongi pendanaan Rp142 miliar dari sejumlah investor lokal dan internasional, termasuk BRI Ventures, AC Ventures Indonesia, dan Finch Capital.

Layanan keuangan inklusif lewat API

Di era open banking, keterhubungan bank dengan ekosistem keuangan digital menjadi aspek krusial dalam menghadirkan layanan keuangan yang inklusif. Perbankan di Indonesia pun sudah lama mulai merangkul tren tersebut dengan mengimplementasikan Open API.

API atau program aplikasi yang memungkinkan perusahaan terintegrasi antar-sistem dapat membantu mentransformasikan industri keuangan di era digital. Pandemi Covid-19 mungkin dapat dikatakan sebagai faktor yang memecut industri keuangan dan turunannya untuk memudahkan transaksi keuangan.

Bahkan Bank Indonesia (BI) akan segera merilis standar Open API yang ditargetkan terbit tahun ini. Tak cuma inklusi keuangan, BI menilai standar Open API akan meningkatkan efisiensi dalam transaksi pembayaran, meningkatkan inovasi dan persaingan, serta mengurangi risiko.

Di Indonesia, pelaku startup yang menawarkan layanan API bagi perusahaan masih dapat dihitung dengan jari. Misalnya, Brick dan Finanter yang menyediakan layanan API Open Finance, atau Instamoney yang membantu perusahaan mengembangkan layanan fintech remitansi. Ayoconnect sebetulnya juga tak cuma menawarkan solusi Autobilling, tetapi juga solusi seperti Digital Products API dan Payment Point API.

Mendorong Implementasi “Open API” Perbankan di Indonesia

Dengan semakin maraknya saluran dan aplikasi digital di sektor finansial, generasi modern sekarang sudah jarang mengunjungi cabang bank lokal untuk memenuhi kebutuhan finansial mereka. Masyarakat ingin mengakses layanan perbankan bukan di mana bank berada, tetapi di mana mereka berada. Perbankan kini berinovasi dengan customer journey dan multi-channel yang semakin modern.

Kemunculan permintaan baru ini, dikombinasikan dengan kemunculan teknologi perangkat lunak yang semakin inovatif, menciptakan bentuk keuangan baru yang disematkan melalui application programming interfaces (API) yang memungkinkan layanan bank dan data konsumen terintegrasi pada aplikasi pihak ketiga.

Pengamat ekonomi INDEF Nailul Huda menyampaikan bahwa open API sebenarnya bukan barang baru dalam ekosistem keuangan global namun masih baru di ekosistem keuangan di Indonesia. Lalu, mengapa open API menjadi penting dalam evolusi sektor perbankan?

Implementasi open API perbankan

Pada tahun 2010, pembuat kebijakan Inggris dan Eropa membuat peraturan yang mewajibkan bank untuk membuka data dan layanan kepada pihak ketiga secara aman untuk mendorong inovasi yang akan mengubah dan menciptakan produk keuangan yang lebih baik bagi konsumen. Hal ini menghasilkan investasi yang lebih besar di ekosistem fintech, karena banyak pengusaha dan investor mengambil kesempatan untuk melakukan revolusi perbankan dengan dukungan infrastruktur yang ada.

Inisiatif ini juga disebut open banking atau perbankan terbuka, yang dikeluarkan di Inggris dengan peraturan Perbankan Terbuka Inggris dan di benua Eropa dengan Petunjuk Layanan Pembayaran 2 (PSD2). Beberapa pemimpin industri memahami potensi bisnis yang menarik, tetapi tidak sedikit yang memilih untuk mempertahankan status quo.

Source: BLUEPRINT SISTEM PEMBAYARAN INDONESIA 2025
Source: Blueprint sistem pembayaran Indonesia 2025

Di Indonesia sendiri, pengembangan open banking melalui API telah diimplementasi oleh beberapa bank, termasuk BCA, BRI, Permata Bank, BNI, CIMB Niaga, dan Mandiri.

Tahun 2016 menjadi momen awal perbankan membuka diri ke ekosistem dalam bentuk API. Saat itu, BCA, melalui Finhacks 2016, sebuah upaya percepatan inovasi digital Indonesia di bidang financial technology (fintech). Hal ini bertujuan untuk memperkenalkan ketersediaan API ke komunitas pengembang di Indonesia.

Selanjutnya, BRIAPI memungkinkan konsumen bisnis melakukan transaksi dan mengakses informasi mengenai produk-produk BRI langsung dari aplikasi, mulai dari fitur pembayaran lewat virtual account dan Direct Debit, fitur isi ulang saldo BRIZZI, hingga fitur pengecekan lokasi Kantor Cabang dan lokasi E-Channel BRI. Di sisi internal perusahaan, open API BRI juga memudahkan proses pengecekan saldo dan mutasi rekening bisnis, hingga melakukan transfer baik menuju rekening BRI maupun bank lainnya.

Salah satu BUMN yaitu Bank Mandiri belum lama ini juga mengenalkan layanan Mandiri Application Programming Interface (API) yang menyasar pasar pelaku bisnis digital, seperti financial technology (fintech) dan e-commerce, yang sedang tumbuh di Indonesia. Mandiri API memiliki 13 fitur sandboxing serta 3 fitur by call untuk top up e-money, direct debit, dan seller financing. Platform ini dapat diakses oleh pelaku bisnis digital untuk mencari informasi produk, melakukan pengembangan dan uji coba, serta integrasi produk dan layanan perbankan Bank Mandiri langsung melalui situs ataupun aplikasi mereka.

Selain itu, open API juga bisa mempecepat proses interlink antar perbankan dan layanan jasa keuangan lainnya seperti fintech pembayaran, fintech p2p lending, ataupun jenis fintech lainnya.

Sejumlah bank juga secara progresif menjalin kolaborasi dengan fintech. Sejak tahun 2018, BRI sudah memulai kerjasama dengan menyalurkan pendanaan melalui platform fintech Investree dan Modal Rakyat. Startup fintech Modalku juga telah bekerja sama dengan Bank Sinarmas sebagai bank kustodian yang akan berwenang untuk menampung dana pemberi pinjaman untuk bisa meningkatkan keamanan dan transparansi dana.

Pada dasarnya, implementasi open API di Indonesia bertujuan sama. Menyongsong era ekonomi digital dan inklusi finansial. Diharapkan dengan tersedianya berbagai fitur ini akan mendorong terjadinya perubahan besar di ekosistem perbankan nasional.

Pandemi picu akselerasi digital dan keterbukaan

Menurut survei yang diadakan Comscore bertajuk “COVID-19 and its impact on Digital Media Consumption in Indonesia”, tertera data-data tentang jumlah pengguna internet yang semakin meningkat di masa pandemi. Masyarakat mulai mengurangi interaksi dan transaksi langsung, serta lebih memilih untuk mencukupi segala kebutuhan secara daring.

Semakin berkembangnya sektor e-commerce yang menjadi lokomotif industri digital di Indonesia telah memicu perbankan untuk mendorong adopsi Open API yang lebih masif.

Dengan adanya API, nantinya konsumen yang melakukan pembelian produk di market place dapat memilih opsi kanal pembayaran dari transfer virtual account. Market place yang bekerja sama dengan payment gateway menyediakan opsi pembayaran, yang nantinya akan terjadi pertukaran data dari kedua belah pihak dan terhubung ke bank sebagai penyedia uang elektronik.

Dengan masa depan indah yang diproyeksikan melalui implementasi open API, kenyataannya masih banyak perbankan yang belum berbenah menghadapi era digitalisasi dan adanya disrupsi yang ditimbulkan oleh pelaku layanan jasa keuangan innovative seperti fintech. Akibatnya proses perkembangan open API masih terhambat.

Tantangan yang dihadapi

Dalam pengembangannya, teknologi open banking di Indonesia kerap mendapat pandangan pesimis dari beberapa pihak. Pasalnya teknologi ini memungkinkan terjadinya tindakan moral hazard yang bisa mengancam aspek perlindungan konsumen. Aspek ini merupakan pedoman yang harus diutamakan bagi industri jasa keuangan dalam berbisnis.

Sudah sewajarnya perbankan sangat berhati-hati dalam masalah tata kelola data, hal ini kerap menjadi alasan mereka belum siap untuk menghadapi perbankan era digital dan keterbukaan informasi. Salah satu alasannya memang sistem keamanan data yang dimiliki perbankan [terutama bank kecil dan bank daerah] yang belum memadai. Ada rasa khawatir yang besar akan terjadinya penyalahgunaan data.

Dalam hal ini, regulator memiliki peran kunci yang harus segera dipentaskan –  standardisasi API kemungkinan akan menjadi syarat utama kesuksesan. Sebaliknya, kurangnya standar umum akan menghambat kemajuan dan menambah beban.

Anton Himawan, Head of Digital Business Development Bank CIMB Niaga, mengatakan, “Di antara tantangan yang dihadapi perbankan yaitu belum adanya aturan baku tentang implementasi Open Banking, sehingga membuat Bank wajib mengacu pada aturan-aturan yang sudah diterapkan sebelumnya yang mungkin tidak lagi cocok.”

Maka diperlukan sebuah peraturan yang setara undang-undang yang mengatur perlindungan data pribadi. Hingga saat ini Indonesia belum mempunyai UU Perlindungan Data Pribadi yang bisa menjadi pedoman.

“Apabila UU Perlindungan Data Pribadi disahkan maka saya yakin perbankan nasional akan menuju sebuah era baru keterbukaan informasi. Saya rasa peluang penerapan open banking akan semakin kajadian apabila UU Perlindungan Data Pribadi disahkan,” tambah Nailul.

Masa depan open API

Pada akhir bulan Juli lalu, Bank Indonesia (BI) mengumumkan akan mengeluarkan standar Open Application Programming Interface (API) untuk mendorong kolaborasi perbankan, dan perusahaan teknologi finansial (fintech). Kolaborasi perbankan dan fintech melalui standar Open API diharapkan dapat mewujudkan ekosistem layanan keuangan yang inklusif.

Standar Open API dibutuhkan untuk mendorong adopsi open banking yang mendukung tercapainya layanan pembayaran yang efisien, aman, dan handal;  meningkatkan inovasi dan kompetisi; mendorong inklusi keuangan termasuk pembiayaan kepada UMKM; mengurangi risiko shadow banking; serta mendorong terciptanya ekosistem Open API yang berintegritas.

Penerapan standar open API ini akan dilakukan secara bertahap mempertimbangkan keberagaman dalam industri sistem pembayaran di Indonesia. Tahapan tersebut disebutkan akan dilakukan baik dari sisi pelaku maupun waktu implementasi, dengan mempertimbangkan aspek ukuran dan kompleksitas bisnis.

“Kami melihat pada akhirnya Open Banking akan menjadi sebuah keharusan bagi industri perbankan. Ke depan, kompetisi terkait Open Banking tidak hanya terkait fitur dan ketersediaan teknologi, yang lebih penting adalah bagaimana pihak-pihak yang berkolaborasi dapat memanfaatkan Open Banking secara maksimal baik dari sisi layanan maupun model bisnis yang tepat bagi masyarakat,” ujar Anton.

 

Discovering Various Concepts of “Open Finance” in The Digital World

Innovation and problems are two related things. As in the world of fintech, especially in developing countries like Indonesia with low bank account ownership, is a firm land to innovate various financial products.

There are new terms emerged, such as open banking, open finance, or banking as a service (BaaS), all of which actually take advantage of the open APIs targeting various sectors. In clarifying this term, DailySocial asks industry players involved in this sector to interpret the views of the two terms. There are Brankas, Finantier, and AyoConnect.

In terms of Finantier, open banking becomes one of the building blocks, but not the only one in the world of open finance. Meanwhile, open finance has a bigger aspect than open banking. On the other hand, open banking is likely centered around bank accounts. Despite this fact, there are still many underbanked people in Indonesia.

“Some companies have tried to do open banking but this only serves 30% of Indonesians who have access to a bank account. What about the other 70%? Although open banking can function in other countries, here [Indonesia] is different,” Finantier‘s Co-Founder and CEO Diego Rojas said.

Meanwhile, AyoConnect says open API is similar to open banking because it allows interlink and interconnection between multiple options via one API. This condition has the potential to significantly accelerate the integration process between parties, therefore, to reach customers faster.

“The difference is that open banking is initiated by the bank for its third party, while our API is initiated by ourselves which allows interconnection between billing providers and channel partners,” AyoConnect’s Co-Founder and COO Chiragh Kirpalani said.

Also, Brankas sees the easiest way to differentiate is to place open banking as a model or philosophy that supports the movement of people and companies to get more access to payments and account information, with the owner’s consent. Meanwhile, open API is a necessary tool to activate this philosophy.

“Where the company can connect with it, to make things possible, for instance, top-up on the e-wallet [platform] using your bank credentials in real-time,” Brankas’ Co-Founder and CEO Todd Schweitzer said.

Finantier, AyoConnect, and Brankas are taking advantage of the API’s remarkable works in carrying out their respective missions. In fact, they want to simulate existing financial services with APIs, therefore, end consumers can experience the benefits.

Various innovations

AyoConnect positioned itself as an open bill network, connecting billing companies, consumer platforms, and aggregators through one open network accessible via centralized API, the AyoConnect API. As a result, billing companies – such as telecommunications companies, apartment managers, educational institutions, insurance, and others – can expand their payment points quickly and easily.

On the other hand, companies with direct contact with customers, such as e-commerce, banks, retail stores, to other fintech applications, can provide their customers with access to 3 thousand billing products from 25 categories for their customers.

Chiragh explains that all these solutions exist because the company sees itself as a provider. Bill payment has become a mandatory feature offered by consumer-related platforms to maintain retention. If you build this all yourself, the margin that comes from the transaction is actually very small, and even tends to be unprofitable.

AyoConnect Co-founders / AyoConnect
AyoConnect Co-founders / AyoConnect

“Our value proposition to partners is to run bill payments and digital goods as an end-to-end profitable category. Our technology provides the infrastructure that helps clients grow faster while focusing on the core business at the same time. ”

Meanwhile, Brankas saw the wide range of opportunities offered by open finance in Indonesia and Southeast Asia. Schweitzer and his partner, Kenneth Shaw, founded Brankas in 2016 with the vision of making modern financial services available to everyone.

“By helping banks prepare new technologies, helping online businesses connect easily to banks, we can create new product categories in the financial services industry.”

Brankas solutions include providing open finance for financial service providers (banks, lenders, e-wallets) who want to offer API-based products and online businesses or fintech companies who want to connect with banks.

Next, partner with banks to build and manage their open finance infrastructure, produce APIs for real-time payments, identity, account opening, and more; provides an aggregation API that allows online businesses to connect in real-time to multiple banks and embed financial services into their own products. There are several API aggregation products, account mutations, direct transfers, payment links, and disbursements.

Schweitzer calls all of these product initiatives based on the results of identifying problems faced by customers and creating products to solve problems with better financial infrastructure. He provides an example, one of the creative innovations is about opening an online account.

Online account opening by companies is actually in great demand during a pandemic due to the reduced activity of people visiting branch offices. The company partnered with a campus organization to streamline the process of creating accounts with Brankas’ bank partners and accelerate the process from weeks to less than 48 hours.

Sumber: depositphotos.com
Sumber: depositphotos.com

Meanwhile, Finantier focuses on developing open finance services for consumers and businesses to get financial services in improving their financial well-being. They do this by providing valuable financial information about consumers and businesses to financial institutions and fintech in the form of e-KYC, enriched financial data, and others.

Using the information, financial institutions and fintechs can identify customers, assess their financial capabilities, and the form it takes, to offer a variety of financial products, not limited to loans and insurance. Companies can also speed up time-to-market and cut costs in developing custom-designed digital solutions.

“Companies can have a good overview of their customers’ financial health, and offer tailored services for each user. For example, with the information we provide, fintech lending can provide more competitive loan interest to customers,” Diego explained.

The open finance ecosystem is important because the raw data collected by each institution is different. However, when the data processed, it will be very useful, but the investment in this area is quite large and takes time.

“The problem is that financial information is difficult to access. Even if someone has access, how do you make sense of the data? The first problem is that there is actually a lot of financial information available, but it takes a lot of effort to get it. This is a difficult problem that we are determined to solve.”

Solid B2B

The presence of API players, like the three companies above, fully targets companies as users, not retail consumers. Chiragh says the company charges partners a fair fee because they trust AyoConnect to handle bill payment features to keep partners seamless, overhead cost minimal, and save their money overall.

Some of these partners, including DANA, JD.id, Bukalapak, Pegadaian, Indomaret, Home Credit, telco, Indosat GIG, Bank Mandiri, and many more. “We, first of all, make sure that our partners’ businesses grow and our incentives align with each other.”

In terms of Brankas, all users are companies from financial institutions and third-party service providers. Brankas operates two business models by looking from the supply and demand side.

Schweitzer explained that on the supply side, the company is building an open banking infrastructure, partnering with financial institutions to open their financial products and services in the form of APIs. The API can connect with third parties from partners.

Since all financial institutions have different infrastructure and different implementations for each bank, this business is monetized per project. “We usually work with banks to understand their requirements, technical infrastructure, and requirements to deliver contracts that make sense to consumers.”

Brankas's duo Co-founder
Brankas’s duo Co-founder

In terms of demand, Brankas provides services for startups, e-commerce companies, fintech, and others by providing aggregate APIs for payment-related and all data-related uses. For example, Brankas customers in the Philippines can make fund transfers using the open banking concept through end-user approval and make peer-to-peer funds transfers on third-party applications.

The API aggregate helps partners no longer have to connect to several banks through several open APIs using a bit of a standard. “Through Brankas, they can connect to a single API giving access to all financial services, which means less overhead in maintaining these connections. Therefore, in this model, we charge our customers based on successful transactions, for example paying for services per its function.”

Finantier is quite similar. They partner with fintech companies and financial institutions. Diego designs win-win solutions for consumers and businesses, therefore, they can get access to financial services. Partners only have to pay-per-use for each API call they make.

Moreover, partners will benefit from Finantier’s API that provides them valuable financial information, therefore, partners can improve their performance. “When our partners work better, so do we. We are currently working with 40+ partners and are rapidly scaling up our team to meet the increasing demand. ”

Finantier’s COO Edwin Kusuma added that the majority of corporate partners come from banking, p2p lending, multi-finance, and wealth management, and others. Creating an API is not an easy job, especially for financial companies with experts in their respective fields. As a result, in-house API development is expensive.

Even for fintech lending companies. Even though they are tech companies, they need help from companies like Finantier to solve the problem. “For lending companies, their main business is lending, therefore, to invest in technology and build a good technology team, it doesn’t make sense to them. Also, AFPI itself as an association encourages cooperation between p2p companies and other companies,” Edwin said.

Finantier' Co-founders / Finantier
Finantier’ Co-founders / Finantier

The future of open banking and open finance

Schweitzer believes Indonesia is in the process of entering a new era of open banking as banks are now competing to launch products and partner with fintech companies. For Brankas, this momentum was very beneficial because the more lenders who came, the more financial insights that could be obtained to be channeled back.

“The pandemic has forced many banks to look for alternative business models, to switch to digital solutions that help MSMEs. Bank Indonesia recently announced new regulations and permits that will take effect in July 2021 which will help support businesses that wish to provide open banking solutions, whether related to bank account data or payment initiation.”

The implication will be more of real uses for open banking and will make the API more familiar, widely available, and widely accessible. In the end, people can manage bank accounts faster, pay smoothly, and share financial data to get access to credit, which was quite difficult.

In response to that, Brankas plans to launch new products in the coming months for fintech and other startups looking to partner with banking services via APIs to empower their users. Then, work with more banks to open their core systems through open APIs, therefore, more companies can connect directly with banks and facilitate the transfer of funds and data.

“Eventually, looking for ways to connect Indonesia to the regional fintech ecosystem through open banking. Part of this will require Brankas to slide into new markets, something we’ll see further in 2021.”

Diego’s view was not much different. He sees API usage increasing exponentially in Indonesia, along with the number of technology companies. This momentum is getting to its peak as more valuable information about consumers and businesses cannot be used before.

“With our API, we help create new business models that didn’t exist before. More companies will use our solutions and enter the financial ecosystem, providing new and innovative products. Ultimately, this is good because consumers and businesses are benefiting from improved access to finance and better ways to improve their financial well-being.”

Last, AyoConnect will continue to expand its open bill network ecosystem with larger and highly fragmented bill payment companies. “That’s where we will direct our focus for now. Therefore, we will remain dedicated to expanding our network and developing solutions for our partners,” Chiragh concluded.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Mengenal Ragam Konsep “Open Finance” di Dunia Digital

Inovasi dan masalah merupakan dua hal yang selalu muncul berdampingan. Begitupun dalam dunia fintech, apalagi di negara berkembang seperti Indonesia dengan kepemilikan rekening bank yang rendah, adalah tempat empuk untuk berinovasi berbagai produk keuangan.

Istilah baru pun bermunculan, ada open banking, open finance, atau banking as a service (BaaS) yang seluruhnya ini sebenarnya memanfaatkan keberadaan open API dengan sasaran target yang berbeda. Untuk meluruskan terkait istilah ini, DailySocial meminta interpretasi dari pelaku industri yang berkecimpung di sektor ini mengenai pandangan dari kedua istilah tersebut. Ada Brankas, Finantier, dan AyoConnect.

Bagi Finantier, open banking adalah salah satu blok bangunan, tetapi bukan satu-satunya di dunia open finance. Sementara open finance itu lebih besar aspeknya dari open banking. Di sisi lain, open banking itu lebih terpusat di sekitar rekening bank. Padahal kenyataan di lapangan, masih banyak orang Indonesia yang menjalani hidup mereka tanpa berinteraksi dengan rekening bank.

“Beberapa perusahaan telah mencoba melakukan open banking tapi ini hanya melayani 30% orang Indonesia yang memiliki akses ke rekening bank. Bagaimana dengan 70% lainnya? Meskipun open banking dapat berfungsi di negara lain, tapi di sini [Indonesia] berbeda,” ujar Co-Founder dan CEO Finantier Diego Rojas.

Sementara itu, AyoConnect memandang open API dengan open banking adalah hal yang serupa karena memungkinkan interlink dan interkoneksi antara banyak pilihan melalui satu API. Kondisi ini berpotensi mempercepat proses integrasi antarpihak secara signifikan, sehingga dapat menjangkau pelanggan dengan lebih cepat.

“Perbedaannya adalah open banking itu diprakarsai oleh bank untuk pihak ketiganya, sementara API kami diprakarsai oleh kami sendiri yang memungkinkan interkoneksi antara penyedia tagihan dan mitra saluran,” ujar Co-Founder dan COO AyoConnect Chiragh Kirpalani.

Terakhir, Brankas melihat cara paling mudah membedakannya adalah menempatkan open banking sebagai model atau filosofi yang mendukung pergerakan orang dan perusahaan untuk mendapatkan lebih banyak akses pembayaran dan informasi akun, dengan persetujuan pemilik. Sedangkan open API adalah alat yang diperlukan untuk mengaktifkan filosofi tersebut.

“Di mana perusahaan dapat terhubung dengannya untuk melakukan, misalnya top up di [platform] e-wallet menggunakan kredensial bank Anda secara langsung,” terang Co-Founder dan CEO Brankas Todd Schweitzer.

Finantier, AyoConnect, dan Brankas sama-sama memanfaatkan kecanggihan API dalam membawa misinya masing-masing. Pada intinya, mereka ingin simplikasi layanan keuangan yang ada saat ini dengan API, sehingga konsumen akhir bisa merasakan manfaatnya.

Beragam inovasi

AyoConnect menempatkan dirinya sebagai open bill network, menghubungkan perusahaan penyedia tagihan, platform konsumen, dan aggregator melalui satu jaringan terbuka yang bisa diakses melalui API tersentralisasi, API AyoConnect. Alhasil, perusahaan penyedia tagihan -seperti perusahaan telekomunikasi, pengelola apartemen, institusi pendidikan, asuransi, dan sebagainya- dapat memperluas titik pembayaran mereka dengan cepat dan mudah.

Di sisi lain, perusahaan yang banyak bersinggungan langsung dengan pelanggan, seperti e-commerce, bank, toko ritel, hingga aplikasi fintech lainnya, dapat menghadirkan akses ke 3 ribu produk tagihan dari 25 kategori bagi pelanggannya secara instan.

Chiragh menerangkan seluruh solusi ini hadir karena perusahaan melihat dirinya sendiri sebagai penyedia. Pembayaran tagihan telah menjadi fitur wajib yang ditawarkan oleh platform yang berhubungan dengan konsumen untuk menjaga retensi. Bila bangun ini semua sendiri, sebenarnya margin yang datang dari transaksi tersebut sebenarnya sangat kecil, bahkan cenderung tidak menguntungkan.

Para co-founder AyoConnect / AyoConnect
Para co-founder AyoConnect / AyoConnect

“Proposisi nilai kami kepada mitra adalah menjalankan pembayaran tagihan dan barang digital sebagai kategori yang menguntungkan dari ujung ke ujung. Teknologi kami menyediakan infrastruktur yang membantu klien tumbuh lebih cepat, sekaligus fokus pada bisnis inti pada saat bersamaan.”

Sementara Brankas melihat kesempatan yang ditawarkan open finance di Indonesia dan Asia Tenggara masih begitu luas. Schweitzer dan rekannya, Kenneth Shaw, merintis Brankas pada 2016 dengan visi membuat layanan keuangan modern tersedia untuk semua orang.

“Dengan membantu bank menyiapkan teknologi baru, membantu bisnis online terhubung dengan mudah ke bank, kami dapat membuat kategori produk baru dalam industri layanan keuangan.”

Solusi Brankas di antaranya menyediakan open finance untuk penyedia jasa keuangan (bank, pemberi pinjaman, e-wallet) yang ingin menawarkan produk berbasis API dan bisnis online atau perusahaan fintech yang ingin terhubung dengan bank.

Kemudian bermitra dengan bank untuk membangun dan mengelola infrastruktur open finance mereka, memproduksi API untuk pembayaran real-time, identitas, pembukaan rekening, dan lainnya; menyediakan agregasi API yang memungkinkan bisnis online terhubung secara real-time ke beberapa bank dan menanamkan layanan keuangan ke dalam produk mereka sendiri. Ada beberapa produk agregasi API, yakni mutasi rekening, direct transfer, tautan pembayaran, dan disburse.

Schweitzer menyebut seluruh inisiatif produk ini berdasarkan hasil identifikasi masalah yang dihadapi pelanggan, dan membuat produk untuk menyelesaikan masalah dengan infrastruktur keuangan yang lebih baik. Ia mencontohkan, salah satu inovasi kreatif yang ditemukan adalah mengenai pembukaan rekening online.

Produk pembukaan rekening online yang dimiliki perusahaan sangat diminati selama pandemi karena berkurangnya aktivitas orang untuk datang ke kantor cabang. Perusahaan bermitra dengan organisasi kampus untuk merampingkan proses pembuatan rekening bersama mitra bank dari Brankas, lalu mengubah proses dari awalnya perlu berminggu-minggu kini jadi kurang dari 48 jam.

Sumber: depositphotos.com
Sumber: depositphotos.com

Sementara Finantier fokus mengembangkan layanan open finance agar konsumen dan bisnis mendapatkan layanan keuangan yang bisa meningkatkan kesejahteraan finansial mereka. Caranya dengan memberikan informasi keuangan yang berharga tentang konsumen dan bisnis kepada lembaga keuangan dan fintech dalam bentuk e-KYC, data keuangan yang diperkaya, dan lainnya.

Dengan informasi tersebut, lembaga keuangan dan fintech dapat mengidentifikasi pelanggan, menilai kemampuan keuangan mereka, dan seperti apa mereka nantinya, untuk menawarkan berbagai produk keuangan, tidak terbatas pada pinjaman dan asuransi. Perusahaan pun dapat mempercepat time-to-market dan memangkas biaya dalam pengembangan solusi digital yang didesain khusus.

“Perusahaan dapat memiliki gambaran yang baik mengenai kesehatan keuangan pelanggan, bahkan dapat menawarkan layanan “tailored” untuk setiap pengguna. Misalnya, dengan informasi yang kami berikan, fintech lending dapat memberikan bunga pinjaman yang lebih kompetitif kepada pelanggan,” terang Diego.

Ekosistem open finance itu penting karena data mentah yang dikumpulkan tiap lembaga itu berbeda-beda. Namun saat data tersebut diolah akan sangat berguna, namun investasi di bidang ini sangat besar dan butuh waktu.

“Masalahnya adalah informasi keuangan sulit diakses. Bahkan jika seseorang mendapatkan akses, bagaimana Anda memahami data tersebut? Masalah pertama adalah bahwa sebenarnya ada banyak informasi keuangan yang tersedia, tetapi dibutuhkan banyak usaha untuk mendapatkannya. Ini adalah masalah sulit yang bertekad untuk kami selesaikan.”

Sepenuhnya B2B

Kehadiran pemain API, seperti ketiga perusahaan di atas, sepenuhnya menargetkan perusahaan sebagai penggunanya, bukan konsumen ritel. Chiragh menuturkan perusahaan mengenakan biaya yang wajar kepada mitra karena telah memercayai AyoConnect menangani fitur pembayaran tagihan agar mitra tetap ramping, menjaga biaya overhead tetap minim, dan menghemat uang mereka secara keseluruhan.

Beberapa mitra tersebut, di antaranya DANA, JD.id, Bukalapak, Pegadaian, Indomaret, Home Credit, perusahaan telko, Indosat GIG, Bank Mandiri, dan masih banyak lagi. “Kami pertama-tama memastikan bahwa bisnis mitra kami berkembang dan insentif kami selaras satu sama lain.”

Untuk Brankas, seluruh penggunanya adalah perusahaan yang berasal dari lembaga keuangan dan penyedia layanan pihak ketiga. Ada dua bisnis model yang dimiliki Brankas dengan melihat dari sisi supply dan demand.

Schweitzer menjelaskan untuk sisi supply, perusahaan membangun infrastruktur open banking, bermitra dengan lembaga keuangan untuk membuka produk dan layanan keuangan mereka dalam bentuk API. API tersebut dapat terhubung dengan pihak ketiga dari para mitra.

Karena semua lembaga keuangan memiliki infrastruktur dan jalur implementasi yang diambil tiap bank berbeda, maka bisnis ini dimonetisasi per proyek. “Kami biasanya bekerja sama dengan bank dengan memahami persyaratan, infrastruktur teknis, dan persyaratan mereka untuk memberikan kontrak yang masuk akal bagi konsumen.”

Dua co-founder Brankas / Brankas
Dua co-founder Brankas / Brankas

Dari sisi demand, layanan Brankas untuk startup, perusahaan e-commerce, fintech, dan lainnya dengan menyediakan API agregat untuk penggunaan terkait pembayaran dan semua yang terkait data. Misalnya, pelanggan Brankas di Filipina dapat melakukan transfer dana menggunakan konsep open banking melalui persetujuan end-user dan melakukan transfer dana peer-to-peer di aplikasi pihak ketiga.

API agregat ini membantu para mitra tidak perlu lagi terhubung ke beberapa bank melalui beberapa open API menggunakan sekelumit standar. “Melalui Brankas, mereka dapat terhubung ke satu API yang memberi akses ke semua layanan keuangan, yang berarti lebih sedikit overhead dalam memelihara koneksi ini. Oleh karena itu, dalam model ini, kami menagih pelanggan kami berdasarkan transaksi yang berhasil, misalnya membayar layanan saat berfungsi.”

Finantier juga demikian. Mereka bermitra dengan perusahaan fintech dan lembaga keuangan. Diego merancang solusi win-win untuk konsumen dan bisnis agar mereka bisa mendapat akses ke layanan keuangan. Mitra hanya membayar sesuai sesuai penggunaan (pay-per-use) setiap panggilan API yang mereka buat.

Dari sini mitra akan mendapat keuntungan karena API Finantier memberi mereka informasi keuangan yang berharga, sehingga mitra dapat meningkatkan kinerjanya jauh lebih baik. “Saat mitra kami bekerja lebih baik, kami pun demikian. Saat ini kami bekerja dengan 40+ mitra dan dengan cepat meningkatkan tim kami untuk memenuhi permintaan yang meningkat.”

COO Finantier Edwin Kusuma menambahkan mitra perusahaan mayoritas datang dari perbankan, p2p lending, multifinance, dan wealth management, dan lainnya. Membuat API bukanlah pekerjaan yang mudah, apalagi buat perusahaan keuangan dengan ekspertise di bidangnya masing-masing. Alhasil, pengembangan API bila dilakukan inhouse memakan ongkos yang mahal.

Pun bagi perusahaan fintech lending. Meski mereka jati dirinya adalah perusahaan teknologi, perlu bantuan dari perusahaan seperti Finantier untuk menyelesaikan masalahnya. “Bagi perusahaan lending, bisnis utama mereka adalah lending, jadi bagi mereka untuk berinvestasi dalam teknologi dan membangun tim teknologi yang baik, itu tidak masuk akal bagi mereka. Maka dari itu, AFPI sendiri sebagai asosiasi mendorong kerja sama antar perusahaan p2p dengan perusahaan lain,” papar Edwin.

Para co-founder Finantier / Finantier
Para co-founder Finantier / Finantier

Masa depan open banking dan open finance

Schweitzer berpendapat Indonesia sedang dalam proses memasuki era baru open banking karena perbankan kini berlomba-lomba meluncurkan produk dan bermitra dengan perusahaan fintech. Bagi Brankas, momentum ini sangat menguntungkan karena semakin banyak pemberi pinjaman yang datang, semakin banyak insight keuangan yang bisa didapat untuk disalurkan kembali.

“Pandemi telah memaksa banyak bank mencari model bisnis alternatif, beralih ke solusi digital yang membantu UMKM. Bank Indonesia baru-baru ini mengumumkan peraturan dan izin baru yang mulai berlaku pada Juli 2021 yang akan membantu mendukung bisnis yang ingin memberikan solusi open banking, baik yang terkait dengan data rekening bank atau inisiasi pembayaran.”

Implikasi dari sana, akan semakin banyak pemanfaatan nyata untuk open banking, dan akan membuat API jadi lebih familiar, banyak tersedia, dan banyak diakses. Masyarakat pun pada akhirnya dapat mengatur rekening bank lebih cepat, pembayaran lebih lancar, dan berbagi data keuangan untuk mendapatkan akses kredit, yang sebelumnya secara historis sulit.

Menyikapi itu, Brankas berencana untuk meluncurkan produk baru dalam beberapa bulan mendatang untuk fintech dan startup lain yang ingin bermitra dengan layanan bank melalui API untuk memberdayakan penggunanya. Lalu, bekerja sama dengan lebih banyak bank untuk membuka sistem inti mereka melalui open API, agar lebih banyak perusahaan terhubung langsung dengan bank dan memudahkan transfer dana dan data.

“Terakhir, mencari cara untuk menghubungkan Indonesia ke ekosistem fintech regional melalui open banking. Sebagian dari ini mengharuskan Brankas untuk meluncur di pasar baru, sesuatu yang akan kita lihat lebih lanjut di tahun 2021.”

Pandangan Diego juga tak jauh berbeda. Ia melihat penggunaan API meningkat secara eksponensial di Indonesia, beriringan dengan jumlah perusahaan teknologi yang beroperasi. Momentum ini semakin berharga karena semakin banyak informasi berharga tentang konsumen dan bisnis yang sebelumnya tidak bisa dimanfaatkan.

“Dengan API kami, kami membantu membuat model bisnis baru yang sebelumnya tidak ada. Lebih banyak perusahaan akan menggunakan solusi kami dan memasuki ekosistem keuangan, menyediakan produk baru dan inovatif. Pada akhirnya, ini bagus karena konsumen dan bisnis mendapat manfaat dari peningkatan akses keuangan dan cara yang lebih baik untuk meningkatkan kesejahteraan finansial mereka.”

Terakhir, AyoConnect akan terus perluas ekosistem open bill network-nya terhubung dengan lebih banyak perusahaan pembayaran tagihan yang sangat besar dan sangat terfragmentasi. “Di situlah kami akan mengarahkan fokus kami untuk saat ini. Karena itu, kami akan tetap berdedikasi untuk memperluas jaringan kami dan mengembangkan solusi untuk mitra kami,” tutup Chiragh.