Mercedes-Benz Pamerkan Beragam Inovasi Digital pada S-Class Generasi Terbaru

Keberadaan touchscreen pada dashboard mobil sudah tidak bisa dibilang barang baru lagi. Kendati demikian, saya kira belum ada pabrikan yang seberani Tesla, yang sejak Model 3 sudah sepenuhnya mengandalkan layar sentuh untuk mengendalikan beragam fungsi mobil.

Arahan yang diambil Tesla mungkin agak kelewat ekstrem. Kalau untuk keperluan seperti mengecek tekanan ban, touchscreen mungkin merupakan medium interaksi yang sangat pas. Namun kalau untuk mengatur arah semburan AC atau membuka jendela mobil, saya rasa reflek manusia akan lebih nyaman dengan kehadiran tuas fisik.

Sayang sepertinya trennya lebih condong ke visi Tesla. Mercedes-Benz baru-baru ini menjabarkan secara detail mengenai pembaruan yang mereka terapkan pada sistem infotainment MBUX-nya, yang siap menjalani debutnya bersama S-Class generasi terbaru. Kalau mau penjelasan sederhananya, versi baru MBUX ini melibatkan touchscreen berukuran besar sebagai panel kontrol utamanya.

Layar sentuh OLED sebesar 12,8 inci dengan orientasi vertikal ini langsung mengingatkan saya pada touchscreen milik Tesla Model S. Menurut Mercy, kehadiran layar sentuh ini membantu mereka mengeliminasi 27 tombol yang biasanya terdapat dalam kabin S-Class. Seketika itu juga saya berpikir: “Apakah ini berarti S-Class generasi terbaru tidak dilengkapi tombol power window?”

Untungnya tidak demikian. Mercy memastikan bahwa tombol power window, tuas wiper dan lampu, serta sejumlah tombol fisik lain yang sudah sangat familier masih ada di tempat aslinya. Namun untuk kenop-kenop pengaturan sistem climate control, Mercy sudah memindahnya ke layar sentuh, meski untungnya Mercy juga merancangnya agar menghuni porsi bawah layar secara permanen.

MBUX

Tepat di balik lingkar kemudinya, tentu saja panel instrumennya juga sudah sepenuhnya digital. Satu hal baru yang Mercy perkenalkan di sini adalah semacam teknologi 3D display yang glasses-free. Pastinya untuk apa fitur ini Mercy buat belum dijelaskan, dan yang menurut saya lebih menarik adalah teknologi AR-HUD alias augmented reality heads-up display.

Penerapan AR di bidang otomotif bukanlah hal baru, akan tetapi Mercy berhasil mengintegrasikan teknologinya dengan HUD, yang berarti konten AR bisa diproyeksikan langsung ke jendela depan mobil. Hasil proyeksinya pun cukup luas, setara layar 77 inci kalau kata Mercy.

Tentu saja implementasi AR di sini bukan sebatas untuk keren-kerenan saja. Salah satu fungsinya adalah sebagai format baru untuk menampilkan panduan navigasi. Dan karena tampilannya sekarang bisa diproyeksikan ke jendela depan, maka pengemudi bisa melihat arah panah petunjuk navigasi yang seakan-akan berada tepat di atas jalanan.

Berhubung S-Class identik dengan mobil para bos yang pasti punya sopir pribadi, tentu saja kabin belakangnya turut dibanjiri layar sentuh. Maksimal hingga tiga buah, satu di konsol pembatas dan dua sisanya di belakang jok depan.

MBUX

Teknologi keamanan biometrik juga menjadi salah satu fitur yang diunggulkan MBUX versi terbaru. Dari yang sederhana seperti memindai kode QR untuk mengaktifkan profil pengemudi (yang menyimpan informasi-informasi seperti posisi jok, pengaturan climate control, dan lain sebagainya), sampai yang lebih kompleks seperti fingerprint scanning dan facial recognition.

Pada S-Class terbaru nanti, facial recognition tak hanya dipakai untuk memantau apakah pengemudi mulai mengantuk, melainkan juga untuk mengaktifkan beragam fungsi-fungsi cerdas, seperti misalnya menyesuaikan posisi kaca spion secara otomatis (dengan memperhatikan posisi kepala dan mata pengemudi relatif terhadap sandaran jok dan parameter-parameter lainnya).

Mercy juga tak mau melupakan sistem voice recognition. Pada MBUX versi terbaru, perintah suara dapat diberikan tanpa harus menyebutkan “Hey Mercedes” setiap kali. Mercy mengklaim sistemnya telah mendukung 27 bahasa yang berbeda, serta mampu memahami instruksi-instruksi yang implisit seperti misalnya “Saya kepanasan” daripada yang terang-terangan seperti “Turunkan suhu AC ke 20 derajat”.

Sejauh ini penawaran Mercy terdengar lebih menarik daripada Tesla kalau buat saya. Digitalisasi itu penting, dan kita tentu ingin bisa mengakses beragam fitur mobil semudah menavigasikan smartphone. Kendati demikian, beberapa hal tetap lebih mudah dikendalikan via tombol atau tuas fisik. Anda tentunya bakal keberatan kalau tombol volume pada ponsel Anda dihilangkan, bukan?

Sumber: CNET dan Daimler.

BMW Ungkap Visinya Menjadikan Mobil Sebagai Platform Digital

Belum lama ini, Tesla sempat mendapat kritik keras setelah menonaktifkan fitur Autopilot pada Model S bekas. Fitur opsional seharga $8.000 itu tiba-tiba tidak bisa digunakan oleh si pembeli Model S bekas, dan saat ditanyakan ke Tesla, pihak Tesla hanya menjelaskan bahwa si pembeli tidak berhak mengakses fitur yang tidak dibayar olehnya, sehingga mereka memutuskan untuk menonaktifkannya dari pusat.

Untuk bisa menikmati fitur Autopilot, si pembeli diharuskan membayar lagi $8.000 langsung kepada Tesla. Kedengarannya tidak masuk akal memang, sebab salah satu alasan si pembeli tertarik dengan unit Model S bekas tersebut bisa jadi adalah ketersediaan fitur Autopilot itu sendiri.

Poin yang ingin saya angkat dari kasus ini adalah, tren digitalisasi di industri otomotif terus bertumbuh dengan pesat, dan terkadang hasilnya belum tentu menguntungkan buat konsumen. Fakta bahwa Tesla bisa menonaktifkan fitur Autopilot dari pusat berarti hardware yang terdapat pada mobil tersebut sebenarnya kapabel, tinggal kita sebagai konsumen mau menebusnya atau tidak.

Di titik ini, mobil pun bisa kita anggap sebagai platform tempat pabrikan menawarkan beragam layanannya. Fitur-fitur opsional mobil yang tadinya harus kita bayar di muka sekarang bisa kita tebus layaknya in-app purchase dalam suatu aplikasi atau game. Dalam kasus Tesla tadi, mengaktifkan fitur Autopilot ibarat membeli diamond di game Mobile Legends.

BMW modern kini juga mendukung software upgrade ala Tesla / BMW
BMW modern kini juga mendukung software upgrade ala Tesla / BMW

Selain Tesla, BMW juga mulai menunjukkan ketertarikannya pada konsep mobil sebagai platform digital itu tadi. Melalui sebuah sesi presentasi VR, BMW membeberkan banyak rencananya perihal digitalisasi mobil-mobilnya. Namun bagian yang paling menarik adalah rencananya untuk menjadikan berbagai fitur opsional mobil sebagai layanan digital yang dapat ditebus sewaktu-waktu.

Fitur seperti Active Cruise Control misalnya; sebelumnya fitur semacam ini merupakan opsi yang harus konsumen centang saat melakukan pemesanan mobil. Namun ke depannya, ketimbang harus membayar di depan, konsumen dapat memesannya secara digital langsung melalui dashboard mobil, atau lewat aplikasi My BMW di smartphone. Kedengaran praktis? Tentu saja, tapi ini juga berarti beberapa fiturnya tidak bersifat permanen dan bisa dinonaktifkan dari pusat oleh BMW seperti kasus Tesla tadi.

Sepintas konsep seperti ini terdengar seperti akal-akalan pabrikan untuk mengeruk untung lebih banyak dari konsumen. Namun kalau dilihat dari perspektif lain, tentu juga ada keuntungan yang bisa didapat oleh konsumen. Utamanya, mobil yang dibeli benar-benar bisa dikonfigurasikan sesuai kebutuhan.

Kalau memang tidak butuh Active Cruise Control karena jarang melakukan perjalanan luar kota, maka fiturnya tak perlu dipesan dan pengeluaran pun bisa dihemat. Barulah ketika musim liburan tiba dan konsumen hendak pergi ke luar kota menggunakan mobilnya, fitur Active Cruise Control bisa ia pesan dengan durasi selama sebulan misalnya.

Dalam konteks jual-beli mobil bekas, konsep seperti ini juga berarti pembeli bisa mendapatkan mobil yang berfitur lebih lengkap daripada saat masih di tangan pemilik aslinya. Namun sebaliknya, penjual mobil jadi tidak bisa menentukan harga mobil berdasarkan fitur-fitur ekstra yang sebelumnya tersedia.

Apakah tren seperti ini juga akan ikut diadopsi pabrikan-pabrikan lain ke depannya? Belum ada yang bisa memastikan. Ini juga bukan pertama kalinya BMW menerapkan konsep serupa. Di tahun 2018, mereka sempat menawarkan kompatibilitas CarPlay sebagai layanan berlangganan seharga $80 per tahun, namun reaksi negatif konsumen pada akhirnya mendorong BMW untuk membatalkan program tersebut.

Sumber: CNET.

Tinggalkan Bisnis Smartphone, Light Alihkan Teknologi Multi-Kameranya ke Ranah Otomotif

Tiga tahun lalu, sebuah perusahaan bernama Light sempat mencuri perhatian ketika merilis kamera saku yang dibekali 16 lensa yang berbeda. Lalu pada pertengahan tahun 2018, Light kembali menjadi buah bibir saat mengumumkan rencananya untuk membawa teknologi multi-kamera rancangannya ke ranah smartphone.

Lanjut ke ajang Mobile World Congress 2019, visi besar Light itu akhirnya terwujud. HMD Global menjadi perusahaan pertama yang mengimplementasikan teknologi multi-kamera Light pada produk bikinannya, spesifiknya Nokia 9 PureView yang mengemas lima kamera sekaligus. Sayangnya, ulasan demi ulasan yang beredar mengenai Nokia 9 Pureview menyimpulkan bahwa tidak ada yang terlalu istimewa dari kamera milik smartphone tersebut.

Nokia 9 PureView / HMD Global
Nokia 9 PureView / HMD Global

Apa yang kelima kameranya lakukan pada dasarnya tidak lebih dari teknik image stacking, dan seperti yang Ars Technica jelaskan secara mendetail, ini sebenarnya sudah bisa dicapai via software. Bedanya tentu saja adalah kelengkapan datanya; kalau mengandalkan software, data depth map yang ditangkap tidak akan bisa selengkap yang diambil oleh kelima kamera Nokia 9 PureView.

Dalam fotografi smartphone, informasi kedalaman (depth) sendiri paling sering digunakan untuk memberikan efek bokeh buatan. Google, lewat seri Pixel-nya, telah membuktikan kalau efek bokeh buatan ini bisa tetap bagus walaupun cuma mengandalkan software. Lalu yang jadi pertanyaan, apakah teknologi multi-kamera rancangan Light ini punya tempat di industri smartphone?

Berhubung biaya produksi yang dibutuhkan cukup tinggi dan berujung pada harga jual perangkat yang mahal — Nokia 9 PureView dihargai $700, padahal spesifikasinya setara ponsel flagship keluaran setahun sebelumnya – saya kira jawabannya jelas tidak. Teknologi ini mungkin akan lebih cocok diterapkan di bidang yang betul-betul membutuhkan informasi depth yang amat presisi, bidang otomotif misalnya.

Konsep teknologi multi-kamera pada perangkat dash cam / Light
Konsep teknologi multi-kamera pada perangkat dash cam / Light

Benar saja, kepada Android Authority, Light menyampaikan bahwa mereka tak lagi terlibat dalam industri smartphone. Halaman utama situs Light kini menunjukkan bahwa mereka sedang membangun platform 3D depth perception untuk industri otomotif, lebih tepatnya untuk dimanfaatkan dalam sistem kemudi otomatis (self-driving).

Ini sebenarnya bukan pertama kali Light menyampaikan ketertarikannya untuk terjun ke ranah otomotif. Saat prototipe smartphone multi-kameranya menjadi bahan pembicaraan di tahun 2018 lalu, Light juga sempat menyinggung soal potensi pengaplikasian teknologi rancangannya di bidang otomotif, spesifiknya untuk menjadi ‘indera penglihatan’ mobil tanpa harus mengandalkan bantuan sensor-sensor khusus.

Singkat cerita, Light pada akhirnya memutuskan untuk pivot. Nokia 9 PureView tampaknya bakal menjadi smartphone pertama sekaligus terakhir yang dibekali teknologi multi-kamera besutan Light, sebab sejauh ini tidak ada informasi lebih lanjut terkait kemitraan antara Light dan Xiaomi yang diumumkan tahun lalu.

Pivot masih jauh lebih bagus daripada harus benar-benar gulung tikar, dan ini sejatinya sudah bisa dibilang cukup umum buat perusahaan yang mengembangkan teknologi kamera. Lihat saja Lytro, salah satu pelopor teknologi kamera light-field yang pada akhirnya harus tutup meski teknologinya terdengar menjanjikan.

Sumber: Android Authority.

Baterai Mobil Elektrik Generasi Baru Punya Masa Hidup Lebih Lama

Seperti di smartphone, baterai lithium mobil elektrik juga punya umur atau masa hidup. Kalau di smartphone hitungannya adalah beberapa ratus charge cycle, di mobil elektrik hitungannya adalah sekitar 150.000 kilometer atau 8 tahun. Lewat masa hidupnya tersebut, maka kapasitas baterai bakal menurun drastis dibanding saat baterai baru saja diproduksi.

Mengganti baterai bukanlah perkara besar di ranah smartphone, tapi di bidang otomotif, baterai merupakan salah satu komponen termahal dari suatu mobil elektrik. Bayangkan Anda hendak menjual mobil elektrik Anda yang sudah menempuh lebih dari 150.000 km, harganya otomatis bakal sangat anjlok karena baterainya sudah tidak lagi ter-cover garansi dan harus diganti dengan yang baru supaya performa mobil tetap efisien.

Masalah umur baterai inilah yang pada akhirnya menjadi salah satu alasan utama mengapa konsumen masih enggan melirik mobil elektrik. Bagi sebagian orang, mobil ibarat sebuah investasi jangka panjang, dan saya yakin 8 tahun bakal terasa sangat kurang.

Belum diketahui kapan Tesla bakal mengadopsi baterai generasi baru ini / Tesla
Belum diketahui kapan Tesla bakal mengadopsi baterai generasi baru ini / Tesla

Kabar baiknya, baterai mobil elektrik generasi baru sudah siap untuk diproduksi secara massal. Baterai generasi baru ini diklaim punya masa hidup sampai 16 tahun, atau sampai mobil menempuh jarak total sejauh 2 juta kilometer.

Perlu dicatat bahwa angka 2 juta kilometer ini bukanlah jarak tempuh per charge, melainkan jarak tempuh total yang bisa dicatatkan sampai akhirnya efisiensi baterai jadi berkurang drastis.

Baterai generasi baru ini dikembangkan oleh Contemporary Amperex Technology (CATL), produsen baterai asal Tiongkok yang belum lama ini berhasil mengikat kontrak dengan Tesla, mengungguli Panasonic maupun LG Chem (supplier Tesla sebelumnya). Kepada Bloomberg, Zeng Yuqun selaku founder CATL bilang bahwa tahap produksinya siap dilangsungkan begitu ada pabrikan yang memesan.

Terkait ongkos produksinya, Zeng mengklaim ongkosnya hanya sekitar 10% lebih mahal daripada yang dibutuhkan untuk memproduksi baterai generasi sekarang. Sejauh ini belum ada informasi apakah sudah ada pabrikan mobil yang memesan baterai generasi baru ini.

Sumber: Bloomberg.

Pangsa Pasar Hyundai Kini Lebih Besar di Segmen Mobil Elektrik daripada Mobil Konvensional

Hyundai bukanlah nama pertama yang muncul di benak saya saat membicarakan tentang mobil elektrik. Namun siapa yang menyangka kalau pabrikan asal Korea Selatan itu sekarang berhasil menempatkan dirinya sebagai produsen mobil elektrik terbesar nomor empat setelah Tesla, Nissan, dan Volkswagen.

Lebih menarik lagi, Hyundai (plus anak perusahaannya, Kia) kini punya pangsa pasar yang lebih besar di segmen mobil elektrik ketimbang mobil konvensional. Lembaga riset industri otomotif MarkLines (via Business Korea) melaporkan penjualan mobil elektrik secara global sebanyak 290.436 unit selama periode kuartal pertama 2020, dan 9,9 persennya (28.796 unit) berasal dari Hyundai-Kia.

Dalam periode yang sama, Hyundai-Kia mencatatkan pangsa pasar sebesar 8,9% di segmen mobil konvensional. Kemungkinan besar penjualannya memang menurun selama pandemi, akan tetapi kita juga harus ingat bahwa situasinya juga sama tidak mendukungnya buat segmen mobil elektrik.

Dilihat dari perspektif lain, pertumbuhan penjualan mobil elektrik Hyundai-Kia memang sangat pesat. Di saat penjualan mobil elektrik secara global naik sebesar 4,28 kali lipat dibanding empat tahun lalu, penjualan Hyundai-Kia justru naik 20 kali lipat lebih. Yang tadinya duduk di posisi belasan dalam ranking produsen mobil elektrik terbesar dunia kini sudah melompat ke posisi keempat.

Tahun depan, penjualan mobil elektrik Hyundai-Kia diprediksi bakal menembus angka 30.000 unit. Hyundai kabarnya juga tengah bersiap untuk meluncurkan mobil elektrik generasi baru yang dibangun menggunakan platform anyar khusus mobil elektrik. Penggunaan platform baru ini dipercaya bisa meningkatkan kapasitas baterai sekaligus jarak tempuh mobil ketimbang sebatas menukar mesin bensin dengan motor elektrik dan baterai seperti sekarang.

Sumber: Electrek.

Dyson Ungkap Prototipe Mobil Elektriknya yang Batal Diproduksi

Industri otomotif sempat dibuat geger di tahun 2017 saat Dyson mengumumkan bahwa mereka sedang mengembangkan mobil elektrik. Selang dua tahun kemudian, produsen perangkat elektronik asal Inggris itu kembali menjadi bahan pembicaraan setelah mengumumkan pembatalan proyek mobil elektriknya.

Sekarang akhirnya kita tahu kenapa Dyson batal merealisasikan calon pesaing Tesla-nya. Kepada The Times, James Dyson selaku pendiri perusahaan membeberkan semua detail mengenai mobil elektriknya yang tidak jadi diproduksi itu.

Alasan utamanya adalah, proyek mobil elektrik ini terlalu berisiko. Mereka sudah siap dengan teknologinya, bahkan pabrik manufakturnya pun juga sudah disiapkan. Namun dari sudut pandang finansial, prospek proyek ini terbilang suram bagi Dyson yang belum begitu berpengalaman di bidang otomotif.

James Dyson menjelaskan bahwa satu unit mobil elektrik bikinannya harus dihargai minimal £150.000 hanya untuk mengembalikan modal, belum menghasilkan laba. Harga ini saja sudah jauh lebih tinggi ketimbang harga jual mobil elektrik dari pabrikan-pabrikan ternama seperti Mercedes-Benz atau Audi.

Pada akhirnya, James dengan berat hati harus menyetop pengembangannya, meski proyeknya sudah menghabiskan sekitar £500 juta dari kekayaan pribadi sang inventor. Sungguh sayang mengingat prototipenya terlihat dan terdengar sangat mengesankan.

Dyson electric car

Secara internal, prototipe mobil elektrik ini dikenal dengan nama N526. Ia merupakan sebuah SUV tujuh penumpang berpenampilan sporty yang cukup bongsor dengan panjang sekitar 5 meter dan bobot 2,6 ton meski bodinya terbuat dari bahan aluminium.

Interiornya kelihatan begitu minimalis sekaligus futuristis, khas produk-produk Dyson selama ini. N526 bahkan mengemas semacam sistem hologram guna menampilkan info-info penting seperti kecepatan dan petunjuk navigasi tanpa harus mengalihkan perhatian pengemudi dari jalanan.

Namun yang paling mengesankan adalah jarak tempuhnya: sampai 965 kilometer dalam sekali pengisian. Rahasianya adalah teknologi baterai solid-state yang diinisiasi oleh anak perusahaan Dyson, Sakti3. Dibanding baterai lithium-ion tradisional, baterai solid-state dipercaya jauh lebih efisien meski secara fisik lebih kecil sekaligus lebih ringan.

Kabar baiknya, Dyson cukup optimis dengan prospek baterai solid-state. James melihat potensi Dyson untuk menjadi pemasok baterai solid-state bagi sejumlah pabrikan mobil elektrik di masa yang akan datang. James juga tidak menutup kemungkinan bagi Dyson untuk kembali menggarap mobil elektrik seandainya prospeknya sudah berubah.

Sumber: The Times via Electrek.

Mobil Bisa Menyetir Sendiri Bukan Berarti Kita Boleh Lepas Tangan (Untuk Sekarang)

Tahun demi tahun, industri otomotif semakin dekat dengan realisasi sistem kemudi otomatis. Namun sebelum teknologinya benar-benar matang – dan sebelum regulasi setempat mengizinkan – kita masih akan terus melihat (dan memegang) setir di dashboard.

Sistem-sistem yang sudah ada sekarang, macam Tesla Autopilot atau Cadillac Super Cruise, pada dasarnya sudah cukup canggih untuk bisa mengemudikan mobil dengan sendirinya. Namun itu bukan berarti pengemudi boleh tidur begitu saja di sepanjang perjalanan; mereka tetap harus siaga dan siap mengambil alih kemudi kapan saja diperlukan.

Pasalnya, seperti yang saya bilang tadi, teknologinya belum sepenuhnya matang, dan sebenarnya cuma ditujukan untuk membantu meringankan tugas mengemudi – itulah mengapa pabrikan memakai istilah ADAS, singkatan dari advanced driver-assistance systems. Namun namanya manusia, pasti ada saja yang bandel dan terlalu percaya diri dengan kinerja ADAS mobilnya masing-masing.

2021 Mercedes-Benz E-Class

Maka dari itu, pabrikan menilai dibutuhkan semacam sistem untuk mencegah para pengemudi tak bertanggung jawab itu melukai dirinya sendiri (dan orang lain). Seandainya mereka mengaktifkan ADAS lalu melepas tangannya dari setir, maka mobil akan menepi dengan sendirinya dan menolak untuk berjalan sebelum pengemudi meletakkan kembali tangannya ke lingkar kemudi.

Bagaimana cara mobil tahu pengemudi melepaskan tangannya dari setir? Dengan bantuan panel kapasitif yang tertanam di setir, seperti yang didemonstrasikan oleh Mercedes Benz E-Class terbaru. Mercy sebenarnya bukan yang pertama menerapkan teknologi ini, Cadillac sudah lebih dulu mengimplementasikan mekanisme yang sama pada sistem Super Cruise-nya.

Yang diterapkan Cadillac malah lebih menyeluruh karena selain memantau keberadaan tangan di setir, ada kamera yang memantau ke mana mata pengemudi memandang / Cadillac
Yang diterapkan Cadillac malah lebih menyeluruh karena selain memantau keberadaan tangan di setir, ada kamera yang memantau ke mana mata pengemudi memandang / Cadillac

Apa yang diterapkan Cadillac malah sebenarnya lebih advanced karena turut mencakup sistem eye tracking. Satu tangan menggenggam setir tapi tangan lainnya sibuk menggeser profil demi profil di Tinder jelas terdengar percuma, sebab pengemudi tak akan bisa bertindak dengan sigap kalau matanya tidak tertuju ke jalanan.

Terlepas dari itu, setir berpanel kapasitif masih lebih baik ketimbang sistem yang diterapkan Mercy sebelumnya, yakni mengukur pergerakan setir. Pengemudi yang nakal tentu masih akan menemukan cara untuk mengibuli sistem kapasitif ini, tapi setidaknya ini menunjukkan bahwa pabrikan mobil sudah berada di jalur yang tepat dalam memikirkan cara untuk menyikapi pengemudi-pengemudi tak bertanggung jawab.

Sumber: The Verge.

Mobil Konsep Renault Morphoz Bisa Memanjang untuk Menampung Baterai Ekstra Saat Dibutuhkan

Sasis mobil elektrik pada umumnya berbentuk seperti sebuah skateboard, dengan sederet modul baterai yang tertanam di tengah-tengahnya, di antara roda depan dan belakang. Semakin panjang sasisnya, semakin besar pula kapasitas baterai suatu mobil elektrik.

Namun tidak semua orang mau memiliki mobil yang kelewat panjang, bukan? Di perjalanan jauh boleh saja, tapi di dalam kota pasti akan terasa menyusahkan. Solusinya, kalau menurut Renault, adalah sasis yang bisa memanjang ketika dibutuhkan, sehingga bisa dipasangi baterai ekstra.

Ide gila ini mereka persembahkan lewat sebuah konsep bernama Renault Morphoz. Ibarat Transformers, Morphoz dapat berubah bentuk, meski jauh dari kata ekstrem – sasisnya bisa memanjang, diikuti oleh bagian pilar A-nya. Dalam posisi ini, sasisnya punya ruang ekstra sepanjang 20 cm untuk dijejali baterai tambahan berdaya 50 kWh, dan proses pemasangannya hanya memerlukan waktu beberapa detik di charging station khusus yang sudah disiapkan.

Secara total, Morphoz punya kapasitas baterai sebesar 90 kWh ketika dalam posisi memanjang ini – mode “Travel” kalau kata Renault – dan itu cukup untuk membawanya menempuh jarak 700 km. Sebaliknya, dalam posisi aslinya – mode “City” – Morphoz hanya mengemas baterai 40 kWh, dan cuma bisa menempuh jarak 400 km.

Selain ruang ekstra untuk baterai, mode Travel tentunya juga menghadirkan ruang ekstra pada kabin. Kebetulan kabinnya juga dirancang supaya bisa beradaptasi dengan kebutuhan; kursi penumpang depannya bisa dihadapkan ke belakang jika perlu, tapi tidak untuk kursi pengemudi, mengingat Morphoz hanya mendukung sistem kemudi otomatis Level 3 (paling tinggi Level 5).

Nuansa interiornya mungkin terasa kelewat futuristis, tapi wajar mengingat Morphoz merupakan mobil konsep. Kepada Autocar, perwakilan Renault bilang bahwa faktor keselamatan bakal menjadi tantangan tersulit untuk memproduksi mobil ini. Renault pada dasarnya harus melakukan uji tabrak dua kali pada Morphoz mengingat wujudnya memang ada dua.

Sumber: 1, 2, 3.

Nissan Luncurkan Car Subscription yang Sangat ‘Royal’

Tahun demi tahun, semakin banyak pabrikan mobil yang menawarkan layanan car subscription. Seperti halnya bermacam digital subscription yang kita punya, mulai dari Spotify sampai Netflix, car subscription terdengar menarik karena para pelanggannya tidak akan dihantui oleh kontrak jangka panjang.

Salah satu pabrikan terbaru yang menawarkan layanan semacam ini adalah Nissan. Dinamai Nissan Switch, layanan ini pada dasarnya menawarkan fasilitas yang sama seperti car subscription dari BMW, Volvo, Porsche, dan lain sebagainya. Namun yang membuatnya sangat istimewa adalah, pelanggan dipersilakan berganti mobil tanpa batas setiap bulannya.

Kalau mau, pelanggan bisa saja berganti mobil setiap harinya; hari ini sedan, besok crossover, besoknya lagi SUV, dan seterusnya sampai mobil sport di akhir pekan. Semua itu tanpa membayar biaya ekstra di luar tarif bulanan sebesar $699 atau $899 per bulan – well, kecuali jika pelanggan memilih Nissan GT-R, yang akan dikenai tambahan $100 per harinya.

Perbedaan dua tarif bulanannya itu terletak pada pilihan mobil yang tersedia; yang lebih mahal tentu menawarkan lebih banyak opsi. Tarifnya juga sudah mencakup biaya asuransi, pengiriman mobil, dan maintenance rutin – alasan utama mengapa car subscription lebih menarik ketimbang membeli atau menyewa mobil secara tradisional.

Namun seperti halnya mayoritas layanan car subscription lain, Nissan Switch baru akan ditawarkan ke konsumen di Amerika Serikat. Terlepas dari itu, keberanian Nissan memberi kebebasan kepada pelanggan untuk berganti mobil tanpa batas menunjukkan bahwa pabrikan tidak segan bereksperimen meski car subscription belum terbukti menguntungkan bagi mereka.

Sumber: CNET dan Nissan.

Polestar Terus Sempurnakan Sistem Infotainment Berbasis Android pada Mobil Elektriknya

Diumumkan setahun lalu, Polestar 2 terdengar menarik bukan hanya karena ia berpotensi menjadi salah satu pesaing terkuat Tesla Model 3, melainkan juga karena ia merupakan mobil pertama yang mengemas Android Automotive OS; evolusi Android Auto yang sudah terintegrasi langsung pada sistem infotainment bawaan mobil.

Dalam pengembangannya, Polestar bekerja sama langsung dengan Google. Google yang merancang semua fungsionalitas Android Automotive OS, kemudian Polestar yang memoles user interface-nya hingga tampak minimalis dan senada dengan nuansa kabin Polestar 2 itu sendiri. Menariknya, kolaborasi ini tidak terhenti begitu saja pasca peluncuran Polestar 2.

Baru-baru ini, Polestar membeberkan rencananya untuk semakin menyempurnakan sistem infotainment milik mobil elektrik perdananya tersebut. Android Automotive OS memang sudah jauh lebih canggih ketimbang mayoritas sistem infotainment lain, akan tetapi Polestar yakin sistem ini masih bisa disempurnakan lagi lewat aspek personalisasi yang lebih komprehensif.

Polestar 2 Android Automotive OS

Sekadar mengingatkan, Polestar 2 menerapkan teknologi digital key sebagai standar; yang menjadi kunci mobil adalah smartphone masing-masing pemilik mobil. Kunci digital ini krusial dalam aspek personalisasi, memungkinkan Polestar 2 untuk mendeteksi pengemudi yang berbeda (yang sudah diverifikasi oleh pemilik mobilnya tentu saja), lalu menyesuaikan posisi jok, spion, suhu kabin dan pengaturan sistem hiburan berdasarkan preferensi masing-masing pengemudi.

Ke depannya, selain mengevaluasi preferensi, sistem juga akan melihat aplikasi-aplikasi yang terakhir digunakan sebagai salah satu faktor. Kalau pengemudi mengizinkan, sistem dapat menampilkan informasi-informasi yang relevan dan kontekstual secara proaktif.

Saat mobil sedang diparkir di titik charging misalnya, sistem bakal menampilkan sejumlah aplikasi streaming video sehingga pengemudi tidak bosan menunggu selagi baterai mobilnya diisi ulang. Ya, Polestar dan Google memang bukan yang pertama menerapkannya, sebelum ini Tesla juga sudah menghadirkan fitur serupa.

Polestar 2 Android Automotive OS

Sifat proaktif ini turut didukung oleh pembaruan pada Google Assistant. Polestar bilang bahwa ke depannya Assistant bakal bisa diajak bercakap-cakap secara lebih alami sehingga tidak menimbulkan kesan bahwa pengemudi hanya sebatas melontarkan instruksi demi instruksi.

Terakhir dan yang tidak kalah menarik adalah penerapan sistem eye-tracking di dashboard. Jadi saat pengemudi terdeteksi lebih banyak melihat layar ketimbang jalanan, sistem akan langsung memberikan peringatan. Eye-tracking juga berpengaruh pada bagaimana informasi ditampilkan di layar; kalau pengemudi sedang fokus ke jalanan, layarnya akan meredup dengan sendirinya.

Lebih jelasnya, Polestar berencana mendemonstrasikan penyempurnaan sistem infotainment milik Polestar 2 ini melalui live stream di YouTube pada tanggal 25 Februari mendatang.

Sumber: Car and Driver dan Polestar.