WhatsApp Masih Berunding untuk Luncurkan Fitur Pembayaran di Indonesia

Perwakilan WhatsApp mengonfirmasi mereka segera menghadirkan fitur pembayaran di Indonesia. WhatsApp menekankan pihaknya masih dalam tahap pembicaraan dengan calon mitra penyedia pembayaran elektronik.

“Saya belum bisa kasih detailnya karena saat ini masih dalam tahap perundingan dengan beberapa partner di Indonesia. Tapi menurut saya, membawa fitur payment ke Indonesia, seperti Mark Zuckerberg katakan pada April lalu di Menlo Park, payment adalah fitur yang penting dan Indonesia merupakan negara penting bagi kami,” ujar Director of Commuications WhatsApp Sravanthi.

Rencana WhatsApp menghadirkan fitur pembayaran di Indonesia sudah terdengar ke publik sejak dua bulan lalu dalam laporan Reuters. Gojek, Ovo, Dana, dan Bank Mandiri disebut sebagai calon mitra WhatsApp dalam mewujudkan fitur tersebut.

Sravanthi menuturkan, tantangan dalam sektor pembayaran adalah menciptakan platform yang simpel dan juga mampu beroperasi di tempat-tempat yang infrastruktur komunikasinya belum kuat. Lebih dari itu, ia menolak menjabarkan lebih jauh.

“Tapi untuk Indonesia, payment sangat penting bagi kami dan kami berharap bisa segera meluncur,” imbuh Sravanthi.

WhatsApp sebelumnya sudah melucurkan fitur pembayaran di India. Dalam kurun sekitar setahun melakukan uji coba, mereka mengklaim sudah ada 1 juta pengguna versi beta fitur pembayaran WhatsApp.

Selain pembayaran, WhatsApp berencana segera meluncurkan fitur katalog produk di Indonesia. Fitur baru ini sebenarnya sudah bisa diakses dalam versi beta WhatsApp Business sejak beberapa pekan lalu. Sravanthi mengatakan peluncurannya akan terjadi dalam waktu dekat.

“Sudah diuji coba beta di Indonesia sejak beberapa minggu lalu dan akan dirilis secara global beberapa minggu lagi,” pungkas Sravanthi.

WhatsApp sendiri adalah salah satu aplikasi messenger terpopuler di dunia dengan pengguna 1,5 miliar dan Indonesia jadi salah satu negara terbesar pengguna mereka. Untuk WhatsApp Business sendiri, mereka menyebut Indonesia masuk sebagai lima besar pengguna di seluruh dunia dengan total 5 juta pengguna.

Andhika Mahardika, salah satu pengusaha pengguna WhatsApp Business, menilai fitur pembayaran akan memudahkan orang-orang seperti dirinya dalam bertransaksi dengan pengguna. “Dari sudut pandang konsumen dan pebisnis tentu akan memudahkan dan saya setuju akan fitur tersebut,” tutupnya.

Application Information Will Show Up Here

Hegemoni GoPay-Ovo dan Potensi Duopoli Pembayaran Digital di Indonesia

Kondisi pasar pembayaran digital di Indonesia semakin terlihat bentuknya. Kita bisa lihat dari banyaknya papan promosi dari tiap aplikasi pembayaran digital di pusat-pusat perbelanjaan yang gambarnya sudah itu-itu saja. Hampir bisa dipastikan papan diskon GoPay dan Ovo ada di sana menghiasi wajah gerai tersebut.

Memang kedua entitas itulah yang punya riwayat rajin “bakar uang” dengan menerbitkan diskon-diskon atraktif di berbagai tempat. Di mana ada Ovo, di sana ada GoPay. Meski tak bisa dikesampingkan juga di luar dua jenama itu ada pemain lain seperti Dana atau LinkAja, namun merujuk dari sejumlah riset, keduanya masih sulit menandingi keperkasaan GoPay dan Ovo.

Cerita dari sejumlah kawan yang bekerja di berbagai daerah jadi sekelumit contoh hegemoni GoPay dan Ovo di Indonesia. Seorang kawan di Pekanbaru, Riau, misalnya, bercerita bagaimana popularitas GoFood di sana mendorong orang-orang menggunakan GoPay, sementara Ovo jadi pilihan warga ketika mereka berbelanja di gerai Matahari.

Seorang kolega yang bermukim di Rembang, Jawa Tengah, menuturkan keberadaan Grab sebagai satu-satunya layanan ride hailing di sana efektif mendorong Ovo sebagai digital payment, baik untuk transportasi maupun pengantaran makanan, GrabFood. Sementara penerimaan GoPay masih terbatas di gerai-gerai Alfamart.

Riset Alvara yang dipublikasikan pada 9 Juli 2019 memvalidasi cerita-cerita di atas. GoPay dipilih mayoritas responden dengan skor 67,9 persen, disusul oleh Ovo sebesar 33,8 persen. Sementara temuan DSResearch dalam Fintech Report 2018 menunjukkan GoPay dipakai oleh 79,3 persen responden, disusul oleh Ovo yang dipilih 58,42 persen responden. Teranyar, dalam survei lembaga riset berbasis aplikasi Snapcart yang dipublikasikan pada 15 Juli 2019, giliran Ovo yang disebut menguasai pasar. Perusahaan pembayaran digital milik Lippo itu dipakai 58 persen total responden, disusul oleh GoPay  sebanyak 23 persen.

Ketiga riset ini menjustifikasi bahwa saat ini GoPay dan Ovo merupakan pemain paling dominan dalam pasar pembayaran digital. Paduan antara ekosistem layanan yang dibangun kedua pihak, diskon yang menggiurkan, hingga agresivitas menggandeng mitra merchant, membuat GoPay dan Ovo merajai bisnis ini. Jika kondisi demikian terus berlanjut, maka pasar pembayaran digital di Indonesia akan mengalami sistem duopoli.

Lalu apakah keperkasaan Gopay dan Ovo sebagai alat pembayaran digital tak akan terbendung di masa depan? Jawabannya belum tentu.

Duopoli di Tiongkok

Kita bisa sedikit menyingkap potensi duopoli GoPay-Ovo ini dengan menengok riwayat persaingan pembayaran digital di Tiongkok antara AliPay milik Alibaba dan WeChat Pay milik Tencent. Pada 2004, Alibaba menciptakan Alipay untuk memecahkan isu kepercayaan antara penjual dan pembeli di Taobao. Tak hanya alat pembayaran di marketplace, Alibaba kemudian mengadopsi kesuksesan AliPay ini ke jenis transaksi lain di luar Taobao sehingga menjadi alat pembayaran terpopuler di Tiongkok seperti sekarang.

Selama bertahun-tahun, Alipay otomatis nyaris tak memiliki pesaing, sampai akhirnya WeChat memperkenalkan fitur pembayaran WeChat Pay. Kondisinya saat itu WeChat merupakan aplikasi messenger terpopuler di Tiongkok. Integrasi sistem pembayaran itu sukses menjadikan WeChat sebagai super app, memudahkan pengguna melakukan hampir segala jenis transaksi lewat satu aplikasi. Terobosan teknologi  dan didukung basis pengguna yang masif mengantar WeChat ke peta persaingan teratas di Tiongkok.

Meski WeChat muncul jauh belakangan, pasar yang mereka kuasai langsung menempel ketat AliPay. Pada laporan keuangan Q4 2018, pangsa pasar AliPay sebesar 53,8 persen, sementara Wechat memiliki 38,9 persen. Besaran ini juga menasbihkan bahwa pasar pembayaran digital di Tiongkok bersifat duopoli.

Meski secara teknis ada lebih dari dua perusahaan pembayaran digital di Tiongkok, tak berlebihan mengatakan bahwa hanya AliPay dan WeChat Pay yang mengendalikan pasar di sana. Meski sulit, kondisi ini memaksa pemain lain memutar otak dalam berinovasi seperti halnya WeChat Pay saat berhasil merusak hegemoni tunggal AliPay.

Apa yang terjadi di Tiongkok itu berpotensi terulang di Indonesia. GoPay dapat dikatakan sukses memfasilitasi ekosistem layanan Gojek yang besar dengan pembayaran digital yang andal. GoRide dan GoFood adalah pendorong utama lakunya GoPay. Hasilnya, transaksi menggunakan GoPay sepanjang 2018 diklaim mencapai $6,3 miliar, penyumbang terbesar dari total transaksi Gojek senilai $9 miliar.

Modal serupa juga dikantongi Ovo yang dapat diakses melalui layanan Grab dan jaringan komersial Lippo Group. Dengan 60 juta pengguna saat ini, angka tersebut masih bisa bertambah signifikan setelah Ovo menjalin kerja sama dengan Tokopedia yang mempunyai hampir 80 juta pengguna aktif dan 4 juta penjual.

Namun, GoPay dan Ovo belum tentu tidak tersentuh sama sekali.

Belum tentu duopoli

Ada kemungkinan situasi persaingan di Tiongkok antara AliPay-WeChat Pay tak akan terulang di Indonesia. Menilik pemain lain seperti Dana dan LinkAja, modal dan strategi yang mereka miliki saat ini sama sekali tidak buruk. Dana bisa jadi contoh. Kerja sama strategis dengan Bukalapak mendekatkan mereka langsung ke 50 juta pengguna aktif bulanan dan 4 juta pelapak di sana. Untuk saat ini, Dana menyebut jumlah pengguna layanannya sudah mencapai 15 juta orang dengan 1,5 juta transaksi per hari. Mereka juga rajin menebar promo untuk merebut pengguna baru.

Sementara LinkAja sudah memiliki basis pengguna yang cukup besar sejak masih berwujud TCash. Fintech Report 2018 yang dipublikasi DSResearch mencatat TCash menjadi pilihan 55 persen dari 825 pengguna fintech e-money, hanya kalah dari GoPay dan Ovo. LinkAja mengklaim sudah mengantongi 26 juta pengguna sejak diperkenalkan ke publik pada 30 Juni lalu.

Menjadi alat pembayaran di moda transportasi umum seperti MRT, LRT, dan Commuter Line, serta opsi pembayaran di platform Gojek jadi dua rencana yang cukup strategis untuk mendongkrak jumlah pengguna LinkAja.

GoPay dan Ovo saat ini boleh berstatus sebagai dua kuda pacuan tercepat di arena. Diskon besar-besaran, kecepatan penetrasi ke daerah-daerah, serta ekosistem layanan yang luas merupakan atribut utama mereka dalam mendominasi pasar.

Namun, hal ini tak berarti dominasi GoPay dan Ovo akan bersifat absolut. Modal serta manuver dari Dana dan LinkAja cukup membuktikan bahwa persaingan masih jauh dari usai. Perlu diingat ruang persaingan dalam pasar pembayaran digital di Indonesia masih terbuka lebar. Laporan Morgan Stanley memprediksi jumlah transaksi pembayaran digital di Indonesia akan mencapai $50 miliar atau sekitar Rp700 triliun pada 2027 nanti. Sementara data Bank Indonesia menunjukkan jumlah transaksi yang terjadi sepanjang 2018 masih di kisaran Rp47 triliun.

Konsumen sesungguhnya menjadi pihak paling diuntungkan dalam kondisi pasar seperti ini. Kehadiran Dana, LinkAja, dan platform pembayaran digital lain akan memaksa GoPay dan Ovo sebagai pemimpin pasar untuk tetap berinovasi dan memberikan penawaran yang terbaik. Selama mereka dapat menawarkan layanan yang berkualitas ke konsumen, akan selalu ada kesempatan bagi platform lain untuk merusak duopoli GoPay dan Ovo.

Tcash Jadi LinkAja Per 21 Februari Mendatang

Tcash secara resmi mengumumkan perubahan nama menjadi LinkAja, yang efektif bakal berlaku mulai 21 Februari mendatang. LinkAja, sebuah BUMN fintech yang tidak lagi sekadar platform pembayaran milik Telkom Group, menjadi ujung tombak untuk bersaing di sektor pembayaran digital yang makin kompetitif.

Sebelumnya kami telah memberitakan bahwa LinkAja merupakan joint venture enam BUMN besar, yaitu Telkom, Pertamina, Bank Mandiri, BRI, BNI, dan BTN. BUMN Fintech ini akan menggunakan skema QR Code terstandar sebagai landasan platform pembayaran digital. Digadang-gadang mereka juga akan bermitra dengan raksasa pembayaran Tiongkok WeChat Pay dan Alipay.

Menurut Fintech Report 2018, Tcash adalah platform uang elektronik berbasis server terpopuler ketiga
Menurut Fintech Report 2018, Tcash adalah platform uang elektronik berbasis server terpopuler ketiga

Menurut Fintech Report 2018, Tcash adalah platform uang elektronik terpopuler ketiga di Indonesia setelah Go-Pay dan OVO. Dikabarkan CEO Tcash saat ini, Danu Wicaksana, bakal memimpin inisiatif LinkAja.

Di laman resmi yang dihadirkan Tcash, disebutkan tidak ada perubahan fitur berarti antara Tcash dan LinkAja. Pengguna existing Tcash tinggal memperbarui aplikasinya mulai tanggal 21 Februari dan secara otomatis akan dikonversi menjadi konsumen LinkAja. Saldo yang ada di dompet Tcash juga bakal secara utuh dipindahkan ke dompet LinkAja.

Sebelumnya di keterbukaan ke BEI, Telkom Group juga mengumumkan pendirian anak perusahaan yang khusus mengurusi fintech, PT Fintek Karya Nusantara (Finarya). Belum ada informasi lebih lanjut bagaimana kaitan antara Finarya dan LinkAja.

Tcash saat ini tidak lagi eksklusif untuk pengguna Telkomsel dan bisa digunakan oleh pengguna operator seluler apapun mulai pertengahan tahun lalu.

Application Information Will Show Up Here

Pos Indonesia Umumkan Produk-Produk Hasil Kemitraan dengan Kioson

PT POS Indonesia (Pos Indonesia) mengumumkan realisasi kerja sama dengan Kioson, salah satu perusahaan teknologi yang sudah go public di lantai bursa. Pos Indonesia meluncurkan beberapa layanan digital baru, yakni M-Agenpos, Agenpos B2B Kurir, Agenpos B2B Layanan Jasa Keuangan, dan juga Contact Center Oranger.

Menurut Direktur Komersial Pos Indonesia Charles Sitorus, M-Agenpos merupakan aplikasi mobile berbasis Android yang bisa digunakan untuk layanan pembayaran listrik, telekomunikasi, air bersih, tiket pesawat dan kereta, premi asuransi, hingga Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Aplikasi ini nantinya bisa membantu pengguna yang biasanya tidak perlu datang ke kantor pos untuk membayar.

Layanan baru lainnya yang disediakan Pos Indonesia adalah Agenpos B2B layanan Jasa Keuangan. Sebuah layanan yang merupakan pengembangan layanan hasil kemitraan dengan Channel Pospay sejak 2002. Dengan layanan ini nantinya pembayaran produk milik mitra Pos Indonesia dengan konsumen B2B bisa dibayarkan secara non tunai melalui aplikasi ponsel pintar, SMS banking, hingga melalui ATM.

Pos Indonesia juga menghadirkan Contact Center Oranger, sebuah layanan pengambilan barang gratis dengan nomor kontak 1500261. Layanan ini diklaim akan mempermudah pengiriman barang masyarakat, penjual online hingga UMKM karena mereka tak perlu mengantar kiriman ke gerai pos. Sedangkan layanan Agenpos B2B Layanan Kurir adalah layanan hasil pengembangan agen pos dengan kerja sama dengan mitra badan usaha secara online.

Mitra usaha harus menyediakan koneksi jaringan virtual antara host-nya dengan host Pos Indonesia. Sementara Pos Indonesia menyediakan layanan jasa kurir denga sistem yang terhubung.

Pos Indonesia sebagai perusahaan logistik dalam dua tahun terakhir cukup aktif dalam implementasi teknologi, baik melalui peluncuran layanan baru hingga kerja sama dengan sejumlah pihak, seperti yang dilakukan dengan Kioson dan MCASH.

Di beberapa daerah, seperti Semarang dan Solo, Pos Indonesia juga mulai memperkenalkan FastPOS, sebuah layanan on demand yang mencoba memberdayakan kurir Pos Indonesia dengan lebih optimal.

Makin Serius di Bidang Fintech, Razer Akuisisi MOL

Razer belum lama ini memulai debutnya di ranah e-commerce dengan membuka toko game digitalnya sendiri. Selain bertujuan untuk mendongkrak bisnis utama Razer di bidang penjualan hardware, Razer Game Store pada dasarnya juga menjadi medium yang pas untuk sistem pembayaran digital Razer yang bernama zVault.

Razer tampaknya melihat bidang payment ini sebagai industri yang berprospek cerah. Pasalnya, mereka baru-baru ini mengumumkan rencananya untuk mengakuisisi MOL. MOL, bagi yang tidak tahu, adalah salah satu perusahaan fintech terbesar di Asia Tenggara – meski beberapa orang mungkin lebih mengenalnya sebagai perusahaan yang mengakuisisi Friendster.

Sebelum ini, Razer sebenarnya sudah mengucurkan dana nyaris $20 juta untuk menjadi salah satu investor MOL, tepatnya pada bulan Juni tahun lalu ketika MOL ditunjuk menjadi distributor utama zGold (mata uang dalam sistem zVault). Kerja sama tersebut berujung pada penggantian branding MOLPoints menjadi zGold-MOLPoints.

Kalau semuanya berjalan sesuai rencana, Razer berniat untuk menyatukan platform pembayaran digital MOL dengan zVault, yang semestinya berarti MOLPoints akan digantikan sepenuhnya oleh zGold. Ini merupakan berita baik bagi Razer yang memang tengah mencoba peruntungannya di industri e-commerce dan payment di Asia Tenggara, seperti bisa dilihat dari keputusannya menggandeng Lazada sebagai channel resmi toko game digitalnya tidak lama setelah meresmikan Razer Game Store.

CEO Razer, Min-Liang Tan juga bilang bahwa akuisisi ini dapat membantu memuluskan realisasi sistem pembayaran RazerPay untuk negara Singapura yang sempat ia cetuskan tahun lalu. Dengan mengakuisisi MOL, Razer tak hanya bisa membuktikan skala besarnya, tapi juga meyakinkan regulator bahwa mereka memang punya teknologi yang tepat.

Sumber: TechCrunch.

Google Luncurkan Layanan Pembayaran Mobile, “Tez” di India

Google kembali memperluas cakupan bisnisnya dengan meluncurkan satu layanan pembayaran mobile bernama Tez di India. Mendukung 55 bank lokal India, Tez menggunakan interface UPI yang terhubung ke akun bank pengguna untuk melakukan berbagai transaksi keuangan. Aplikasinya sendiri sudah tersedia di Play Store sejak beberapa jam sebelum diresmikan. Begitu juga versi iOS-nya.

Menghadapi dua layanan serupa seperti Paytm dan BHI yang sudah lebih dulu populer, Google Tez menawarkan sejumlah fitur baru termasuk transaksi “proximity” yang memungkinkan pengguna untuk melakukan transaksi tunai tanpa harus mengekspos nomor ponsel atau akun bank mereka.

Layanan ini menawarkan tiga pilihan pembayaran yang dapat dipilih sesuai keinginan penggunanya. Pertama, menggunakan UPI ID yang merupakan bagian dari interface UPI pemerintah India. Selama pengguna mengetahui ID penerima, mereka bisa dengan mudah melakukan pembayaran. Kedua, menggunakan QR code, di mana pengguna cukup memindari kode barcode tertentu untuk melakukan pembayaran secara instan. Terakhir, menggunakan nomor ponsel.

Google_Tez_1_1505741241449

Selain ketiga cara di atas, Google juga mempersiapkan metode lain yang menjadi ciri khas Tez. Metode ini disebut dengan mode “cash” dengan memanfaatkan kedekatan perangkat dalam melakukan transaksi keuangan. Dijelaskan lebih jauh, bahwa dua orang pengguna Tez dapat dengan mudah melakukan transaksi dengan cara mendekatkan ponsel mereka satu sama lain. Pernahkah Anda mengirimkan berkas ke teman melalui Bluetooth? Nah, seperti itulah cara kerja yang dipakai oleh fitur Cash di Tez.

Google_Tez_1505719071915

“Mengirim uang ke keluarga, memisahkan tagihan dan teman, atau membayar pembelian barang. Lakukan transaksi dalam jumlah kecil atau besar langsung dari akun bank Anda melalui Tez, aplikasi pembayaran digital untuk India,” Tulis Google, menerangkan aplikasinya.

Selain Tez yang diperuntukkan untuk pengguna biasa, Google juga menghadirkan versi khusus untuk pengguna kalangan bisnis dengan nama Tez for Business.

Sumber berita Techcrunch.

Di Tiongkok, Anda Bisa Membayar di Restoran dengan Tersenyum ke Kamera

Di Tiongkok, Anda bisa bertahan hidup selama sehari penuh tanpa perlu membawa dompet sama sekali. Asalkan Anda membawa smartphone, platform pembayaran digital seperti Alipay dan WeChat Pay dapat sepenuhnya menggantikan peran uang tunai dan kartu kredit, bahkan ketika Anda sekadar membeli jajan dari pedagang kaki lima sekalipun.

Revolusi pembayaran ini dimungkinkan berkat pesatnya perkembangan teknologi biometrik. Belum lama ini, Alibaba malah menunjukkan bagaimana konsumen dapat melakukan pembayaran hanya dengan tersenyum di depan kamera. Fitur bertajuk “Smile to Pay” ini sekarang sedang diuji bersama KFC di kota Hangzhou, tempat markas besar Alibaba berdiri.

Cara kerja Smile to Pay melibatkan sebuah mesin point-of-sale (POS) yang dilengkapi kamera 3D untuk mengidentifikasi wajah konsumen secara akurat, bahkan ketika konsumen sedang mengenakan make-up yang cukup tebal atau datang berkelompok. Prosesnya juga berlangsung cepat, dimana wajah bisa dikenali dengan benar hanya dalam waktu satu atau dua detik saja.

Kamera 3D tersebut turut dibantu oleh algoritma canggih guna memastikan konsumen tidak mencoba berbuat curang dengan menggunakan foto atau video wajah orang lain. Sebagai bentuk pengamanan ekstra, verifikasi kedua dilakukan melalui smartphone usai wajah konsumen diidentifikasi.

Alibaba pertama kali mendemonstrasikan cikal bakal Smile to Pay dua tahun silam. Fitur ini memanfaatkan teknologi Face++ dari startup bernama Megvii, yang ternyata juga dipakai oleh penyedia jasa transportasi online Didi Chuxing untuk memverifikasi identitas 1,35 juta mitra pengemudinya.

Lalu mengapa KFC yang dijadikan kelinci percobaan? Jawabannya simpel: Alibaba merupakan salah satu investor Yum China, perusahaan yang mengoperasikan sejumlah franchise makanan cepat saji macam KFC, Pizza Hut dan Taco Bell di Negeri Tirai Bambu.

Sumber: TechCrunch dan SCMP.

5 Tren Teknologi Pembentuk Kota Modern

Semakin ke sini, perkembangan teknologi semakin cepat dibanding tahun-tahun sebelumnya. Augmented reality (AR) dan virtual reality (VR) jadi perbincangan di sana-sini, sedangkan Internet of Things (IoT) menjadi panutan dari setiap pabrikan perangkat elektronik, termasuk halnya vendorvendor perabot rumah. Continue reading 5 Tren Teknologi Pembentuk Kota Modern