Northstar Group Bukukan Tahap Pertama “Fund” Kelimanya, Targetkan Dana 12,5 Triliun Rupiah

Perusahaan private equity Northstar Group baru-baru ini mengumumkan telah merampungkan tahap pertama pendanaan Northstar Equity Partner V Limited (Northstar V). Fund kelima ini akan difokuskan untuk berinvestasi di perusahaan tahap early stage dan growth yang berada di Indonesia dan Asia Tenggara.

Tahap pertama pendanaan ini merepresentasikan sekitar sepertiga dari total target Northstar V sebesar US$800 juta atau setara 12,5 triliun Rupiah, serupa dengan dua flagship funds Northstar sebelumnya. Dengan perampungan tahap pertama Northstar V, Northstar Group kini memiliki lebih dari US$2 miliar dana kelolaan.

Beberapa investor yang turut mendukung termasuk dari kalangan sovereign wealth funds, perusahaan asuransi, investor institusional, family offices, serta investor high net worth individual.

“Sebagai perusahaan investasi regional, kami menetapkan tiga tema investasi untuk Northstar V, yakni financial services, consumers, dan digital economy; berdasarkan analisa dari insight data market dan pengalaman kami mendampingi portfolio company,” ujar Head of Corporate Affairs Northstar Group Hiro Whardana kepada DailySocial.

Lebih lanjut Hiro menjelaskan mengenai rencana pengucuran dana tersebut, “Pada tahap perencanaan, kami tidak secara spesifik mendefinisikan persentase untuk masing-masing tema investasi tersebut. Penentuan penggunaan dana  akan didasari oleh analisa kami mengenai keseimbangan potensi return dan risk investasi.”

Seperti diketahui, sebelumnya cakupan portofolio Northstar cukup beragam. Di lanskap digital, mereka berinvestasi kepada beberapa startup termasuk Gojek, Zenius Education, dan tiga startup asal Vietnam yakni UPgen, Tiki.vn, serta  Topica.

“Specific untuk early growth stage startup, saat ini kami masih akan lebih fokus pada portfolio yang ada, tapi tidak menutup kemungkinan untuk tetap melakukan eksplorasi deal yang ada,” lebih lanjut Hiro menjelaskan.

Northstar Group didirikan tahun 2003 oleh Patrick Walujo dan Glenn Sugita. Pada tahun 2006, Northstar Group menghimpun pendanaan pertamanya yaitu Northstar Equity Partners (NEP) Limited sebesar US$110 juta. Diikuti berturut-turut oleh NEP II (US$285 juta) pada 2008, NEP III di 2011 (US$820 juta) dan NEP IV di 2014 (US$810 juta). Perusahaan didukung 27 tim profesional di Singapura dan Indonesia.

“Pasar Indonesia, dan Asia Tenggara pada umumnya, menawarkan peluang investasi jangka menengah dan panjang yang menarik dengan didukung oleh kelanjutan pertumbuhan yang pesat. Pertumbuhan ini akan dipacu oleh faktor demografis yang menguntungkan, peningkatan konsumsi dan standar ekonomi masyarakat, serta kemajuan edukasi dan digitalisasi”, sambut Co-Founder & Managing Partner Northstar Group Patrick Walujo.

Glenn Sugita, Co-Founder & Managing Partner Northstar Group menambahkan, “Dalam situasi yang penuh ketidakpastian ini, kami ingin menjadi penyedia permodalan dan mitra pilihan bagi pemilik bisnis dalam mengelola tantangan serta memaksimalkan kesempatan di masa depan. Kami akan terus menghadirkan tidak hanya kapital untuk perusahaan portofolio kami, melainkan juga keahlian dan pengalaman yang kami dapatkan di berbagai sektor dan siklus bisnis.”

Melihat Minat Investor pada Startup Logistik di Tengah Pandemi Covid-19

Meskipun secara global industri logistik terhambat pertumbuhannya, namun tidak menurunkan demand dari pihak terkait yang membutuhkan layanan tersebut. Sebagai tulang punggung layanan e-commerce, logistik memiliki peranan penting untuk mendukung kegiatan berbagai pihak terkait. Terlebih di tengah pandemi yang terjadi saat ini, terlihat peranan logistik makin krusial, mendukung anjuran work from home dan social distancing.

Di Indonesia sendiri layanan e-commerce seperti JD.ID, Tokopedia, Shopee, hingga Bukalapak menerima permintaan cukup tinggi untuk barang-barang yang paling banyak dibutuhkan saat ini. Mulai dari produk bahan segar hingga obat-obatan dan alat kesehatan. Promo bebas ongkos kirim hingga pemberian voucher dan penawaran menarik lainnya juga diberikan kepada pelanggan.

Fenomena lain yang kemudian terjadi dalam industri logistik adalah, ketika banyak perusahaan hingga startup yang harus merumahkan pegawai mereka akibat dari penyebaran Covid-19, justru startup yang menyasar layanan logistik merekrut banyak pegawai, dengan tujuan untuk membantu mengatasi permintaan meningkat untuk belanja online. Mulai dari Amazon yang harus menambah sekitar 100 ribu pegawai, hingga GudangAda yang membuka lowongan pekerjaan untuk mendukung bisnis mereka selama masa karantina berlangsung.

Sektor logistik tancap gas

Beberapa layanan logistik menerima pendanaan dari investor sepanjang awal tahun 2020 ini. Akhir Maret 2020 tercatat, RaRa Delivery yang merupakan salah satu startup lulusan program akselerator batch 4 GKPnP, mengumumkan pendanaan tahap awal (seed funding) $1,2 juta atau sekitar Rp 19,7 miliar. Investasi tersebut dipimpin oleh 500 Startups. AngelCentral juga terlibat dalam putaran pendanaan ini.

Startup yang menyediakan layanan “same day delivery” ini rencananya akan menggunakan dana segar tersebut untuk mempercepat pertumbuhan bisnis, pengembangan operasi dan teknologi di Indonesia. Didirikan oleh CEO Karan Bhardwaj, RaRa Delivery termasuk dalam daftar startup logistik yang menerima pendanaan saat penyebaran Covid-19 terjadi secara global.

Januari 2020 lalu, platform jasa truk dan pergudangan Waresix, mengumumkan pendanaan tambahan dari EV Growth dan Jungle Ventures. Kurang dari 6 bulan setelah mengumumkan meraih US$14,5 juta pada putaran pendanaan seri A yang dipimpin oleh EV Growth pada Juli 2019, Waresix mendapatkan tambahan modal US$11 juta dalam perpanjangan putaran pendanaan tersebut.

Dalam 18 bulan terakhir, perusahaan berhasil menghimpun modal US$27,1 juta. Perusahaan juga menopang pertumbuhannya menggunakan pinjaman dan fasilitas modal kerja dari bank dan institusi finansial lain yang terkemuka di regional.

“Untuk logistik menurut saya itu adalah enduring business. As soon as the market normalizes, the goods will need to flow. Untuk pendanaan harusnya sekarang dari sisi venture capital dan private equity akan melihat perusahaan yang memiliki solid business model dan sustainability plan. Karena kalau hanya mengandalkan subsidi saja di saat seperti ini cukup sulit ya, karena value proposition tidak jelas,” kata CEO Waresix Andree Susanto kepada DailySocial.

Sementara itu platform manajemen armada logistik yang mencoba untuk membantu pengelola armada mengadopsi teknologi untuk memaksimalkan bisnis mereka, Webtrace, juga telah mengumumkan pendanaan tahapan awal yang dipimpin oleh Prasetia Dwidharma. Turut bergabung dalam pendanaan ini Astra Ventura.

Kepada DailySocial CEO Webtrace Erwin Subroto menyebutkan, di Indonesia saat ini pengeluaran untuk logistik darat diperkirakan mencapai US$290 miliar pada tahun 2020. Selain dari pasar yang besar, jumlah populasi kendaraan komersial (9,6 juta unit pada 2019) telah menciptakan persaingan harga yang ketat.

Webtrace mencoba menjadi platform yang bisa dimanfaatkan oleh pengelola armada untuk memberikan solusi teknologi agar usaha logistik bisa berjalan lebih efisien serta meningkatkan produktivitas dan keamanan. Caranya dengan menerapkan sensor dan solusi IoT yang akan menghasilkan berbagai data dan analisis real time.

“Dengan atau tanpa adanya penyebaran Covid-19, logistik akan selalu menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia. Terutama setelah penyebaran virus Covid-19 mulai mereda, nantinya akan ada perubahan pola ekonomi dan konsumsi yang makin berpusat kepada layanan logistik itu sendiri,” kata CEO & Co-Founder Webtrace Erwin Subroto.

Pertumbuhan positif bisnis logistik

Kondisi yang berbentuk negara kepulauan membuat biaya logistik di Indonesia menjadi salah satu yang tertinggi di Asia, bahkan berkontribusi terhadap seperempat dari produk domestik bruto Indonesia yang mencapai $1 triliun. Posisi Indonesia dalam Indeks Daya Saing Logistik 2018 yang dirilis Bank Dunia memang terus membaik.

Sejak bulan Maret 2019, layanan logistik di Indonesia termasuk industri yang paling banyak dilirik oleh investor. DailySocial mencatat sekitar 7 startup mendapatkan pendanaan tahapan awal hingga tahapan lanjutan dari para investor. Mulai dari Kargo, Triplog, Ritase, Waresix, Logisly, Shipper, dan Finfleet. Investor yang terlibat di antaranya adalah EV Growth, Golden Gate Ventures, East Ventures hingga Kejora Ventures. Besarnya jumlah pendanaan yang diberikan berkisar antara $3,5 juta hingga $14,5 juta.

Tercatat di tanah air, pengeluaran untuk logistik darat diperkirakan mencapai $290 miliar pada tahun 2020. Selain dari pasar yang besar, jumlah populasi kendaraan komersial (9,6 juta unit pada 2019) telah menciptakan persaingan harga yang ketat.

Namun, rasio biaya logistik terhadap PDB Indonesia masih mencapai 24%, tertinggal dari Thailand dan Malaysia. Kondisi tersebut menciptakan potensi senilai $240 miliar dalam sektor logistik di Indonesia. Biaya logistik yang tinggi tidak hanya melemahkan daya saing industri, tetapi juga meningkatkan cost of doing business bagi pelaku UKM di Indonesia. Diharapkan layanan logistik saat ini, bisa mengatasi persoalan tersebut dengan menghadirkan layanan yang mendukung pertumbuhan UKM dan layanan e-commerce di Indonesia.

Intudo Ventures Berbicara tentang Startup Tahap Awal, Kesenjangan, dan Antisipasi Perlambatan Ekonomi

Intudo Ventures merupakan salah satu pemodal ventura yang fokus mendanai startup di Indonesia. Jika melihat porsi pendanaannya, cukup menjangkau seluruh skala, mulai dari tahap awal (early stage) hingga tahap berkembang (later stage). Kami berkesempatan berbincang dengan Founding Partner Eddy Chan, mendiskusikan tren dan isu seputar investasi.

Mengawali perbincangan Eddy kembali menegaskan posisi Intudo, “Kami fokus pada pendanaan tahap awal, khususnya untuk seri A (50%), namun tetap memberikan kesempatan dalam investasi pra-seri A (25%) dan seri B (25%).”

Di pra-seri A tujuannya lebih ke arah eksperimental, mendukung ide dan konsep bisnis baru agar dapat lepas landas. Sementara di seri B dialokasikan kepada startup yang telah berhasil memberikan dampak besar pada masyarakat Indonesia melalui vertikal bisnis tertentu.

“Untuk seri A, inilah ‘bread and butter’ kami, di mana kami menerapkan secara penuh metodologi Intudo, menawarkan tiga pilar utama meliputi in-market distribution, follow-on capital dan talent sourcing.”

Tidak melihat adanya funding gap

Secara kuantitas, pendanaan seed hingga seri A di Indonesia selalu mendomnasi dari tahun ke tahun. Namun kepercayaan investor pada ide-ide baru tak jarang berujung pada kegagalan bisnis memacu sampai ke tahap selanjutnya – sebagian ambruk, lainnya menutup dengan pivot.

Lantas, apakah ini disebabkan karena adanya funding gap atau kesenjangan yang membuat para startup kesulitan untuk menemukan investor later stage?

“Kami tidak melihat adanya gap di pasar ini. Meski dapat diperdebatkan, kenyataannya sekarang ada lebih banyak modal yang tersedia untuk pendiri dibanding waktu-waktu sebelumnya. Di masa awal, semua orang selalu berbicara tentang series A-gap, series B-gap dan seterusnya. Ketika pasar sudah matang seperti sekarang ini, celah-celah ini terisi dengan sendirinya.”

Data terbaru DSResearch mengemukakan, tren pendanaan tahap seri A ke atas terus meningkat dalam tiga tahun terakhir. Menelisik lebih dalam, metrik pertumbuhan dan potensi vertikal bisnis yang digarap menjadi ukuran kunci.

Di luar itu Eddy memaparkan, saat ini makin banyak pendanaan global yang melirik ekosistem di tanah air. Penawaran yang dilakukan oleh dana baru ini mencakup seluruh “kue ventura”, mulai dari investasi awal hingga putaran pra-IPO. Banyak di antaranya bahkan memotong cek yang lebih kecil dan cepat untuk sekadar menguji efektivitasnya, atau sekadar memberikan eksposur pasar baru untuk mitra pendukung.

Menemukan startup tahap awal

Dana kedua Intudo Ventures telah diluncurkan pada Februari 2018, nilainya mencapai US$50 juta dan dipastikan akan fokus untuk mendanai startup di Indonesia. Setiap tahunnya, mereka optimis bisa menutup 4-6 investasi setiap tahun.

“Hampir semua transaksi kami bersumber melalui hubungan langsung (dengan founder) setelah mengenalnya selama bertahun-tahun, atau melalui perkenalan hangat melalui kontak kami yang sangat tepercaya. Inilah sebabnya mengapa dana yang beroperasi di Indonesia harus memiliki akar lokal yang kuat. Pendanaan tahap awal didasarkan pada rasa saling percaya, hubungan pribadi dan reputasi,” ujar Eddy.

Belum ada rencana untuk menggalang dana baru, sementara dana tersebut di atas masih terus diupayakan terserap startup yang tepat. Terbaru Intudo memimpin pendanaan untuk perusahaan film Visinema untuk merealiasikan visinya meningkatkan cakupan bisnis dan ekspansi internasional.

Selain Visinema, beberapa portofolio lainnya termasuk Populix, Ride Jakarta, TaniHub, Kargo, CoHive, dan BeliMobilGue.

Mengenai pilar Intudo Ventures

Poin pertama in-market distribution, adalah soal menghubungkan startup dengan mitra lokal. Pihaknya mengatakan memiliki hubungan baik dengan para konglomerat hingga eksekutif unicorn di Indonesia, termasuk di bidang keuangan, kesehatan, konsumen, pendidikan hingga teknologi. Fokusnya untuk membantu portofolio menangani pengembangan dan strategi bisnis yang fokus pada distribusi, lokalisasi produk dan hubungan dengan pemerintah.

Berikutnya follow-on capital, mengenai upaya membantu startup tahap awal yang sudah didanai untuk mendapatkan putaran lanjutan melalui jaringan global yang dimiliki. Kurang lebih ada 25 venture capital/private equity/hedge funds yang telah bermitra, salah satunya Founders Fund yang berbasis di San Francisco. Kemudian yang ketiga tentang talent sourcing, berupaya membantu startup untuk terhubung dengan alumni dari universitas ternama di Amerika Serikat dalam mengisi posisi kunci di startup.

Perlambatan iklim investasi

Banyak analis yang mengatakan potensi perlambatan iklim investasi di Asia Tenggara. Penyebabnya beragam, dari isu ekonomi global sampai yang spesifik seperti beberapa kasus over-valuation. Eddy tidak menapik adanya potensi tersebut.

“Kami sudah mulai mengantisipasi dan melihat adanya dana yang ditarik kembali; dan investor yang membimbing perusahaan portofolio untuk memprioritaskan profitabilitas – yang mana pendekatan ini yang secara konsisten telah kami anjurkan untuk portofolio kami selama beberapa dekade terakhir.”

Dalam kasus perlambatan, yang kami terus lakukan adalah fokus mempertahankan disiplin kami. Di luar itu sebenarnya ada dampak baik yang secara tidak langsung terasa akibat sulitnya mencairkan dana investasi. Misalnya alih-alih mendirikan startup baru, para calon founder memilih bergabung ke startup yang sudah ada; artinya dapat sedikit menyelesaikan kesenjangan talenta.

“Tim pendiri kami telah berinvestasi di banyak startup Indonesia, Silicon Valley dan Asia Utara sejak 1990-an. Hal ini memungkinkan kami untuk mengumpulkan pengalaman yang sangat berharga melalui berbagai siklus investasi, termasuk crash dot-com di tahun 2000 dan krisis keuangan global di tahun 2008. Melalui proses ini, kami telah menemukan bahwa sentimen investor sebagian besar didorong oleh keserakahan dan ketakutan, kemudian menghasilkan pendulum konstan yang fokus berlebihan pada pertumbuhan atau profitabilitas,” terang Eddy.

Inisiatif “Growth Fund” untuk Ekosistem Startup Indonesia

Ada perkembangan luar biasa yang terjadi pada ekosistem startup di Asia Tenggara beberapa tahun terakhir. Salah satu takarannya adalah popularitas growth fund – baik dari sisi startup yang telah mencapai tahapan tersebut dan/atau investor yang mengalokasikan investasi untuk tahapan tersebut.

Menurut catatan Cento Ventures, sepanjang tahun 2019 ada beberapa startup yang mulai masuk ke kelompok centaur (memiliki valuasi antara US$100-900an juta), di antaranya Payfazz (fintech), Moka (SaaS), HappyFresh, Xendit, dan Alodokter.

Startup di atas mengokohkan diri dengan valuasi tersebut pada tahun 2019 melalui pendanaan di tahap lanjutan (growth). Ruangguru mengumumkan pendanaan Seri C US$150 juta menjelang akhir tahun. Atau Halodoc yang menggalang pendanaan Seri B mulai awal tahun, termasuk merangkul yayasan ternama Bill & Melinda Gates Foundation sebagai salah satu investornya.

Startup Asia tenggara 2020

Growth fund

Kebalikan dari early stage, later stage adalah tahapan startup yang telah mencapai kematangan dalam bisnis. Variabel yang dihitung cukup beragam, mulai dari kualitas produk, cakupan area, traksi pengguna, jajaran tim hingga nilai investasi yang didapatkan.

Untuk berinvestasi ke startup later stage, ada dua pendekatan yang selama ini dijalankan. Pertama, venture capital (VC) atau corporate venture capital (CVC) menyediakan dana besar –yang didapat dari LP atau modal yang disuntikkan perusahaan induk—untuk diinvestasikan ke startup. Skema kedua, VC berkolaborasi membentuk inisiatif dana gabungan.

Hal menarik lain dalam perkembangan growth fund adalah beberapa diinisiasi investor yang sebelumnya fokus pada early stage. Dana yang lebih besar diguyurkan untuk membantu portofolionya mencapai ekspansi pasar yang lebih luas.

Berikut ini beberapa inisiatif growth fund di Asia Tenggara yang sudah diresmikan atau sudah beroperasi:

Growth Fund in SEA

Desember lalu, Telkom dan KB Financial Group meresmikan dana kelolaan baru Centauri Fund. Fokusnya untuk pendanaan Pra-Seri A hingga Seri B. Sebelumnya CVC milik mereka MDI Ventures juga memberikan porsi pendanaannya di tahap tersebut.

Di bulan yang sama, EV Growth mengumumkan telah membukukan US$250 juta (hard cap) setara 3,4 triliun Rupiah dalam pengumpulan dana pertamanya. Perusahaan mengklaim, saat ini mereka telah menyalurkan lebih dari 50% total dana yang dikumpulkan ke dalam 20 kesepakatan pendanaan. Sebanyak 80% startup yang mendapatkan kucuran dana dari Indonesia. Turut diinformasikan internal rate of return pendanaan berkisar 36%.

Peluang investasi

Dalam sebuah kesempatan, Direktur Lippo John Riady berujar, ia cukup optimis ketika pertama kali membuat proposal untuk berinvestasi di bidang teknologi.  John memproyeksi bahwa dalam 10 tahun pasar tersebut tumbuh bernilai US$20-100 miliar. Tahun 2017 ia mulai membangun OVO dan kini perusahaan digital tersebut sudah mencapai status unicorn dengan valuasi terakhir yang diketahui mencapai US$2,9 miliar.

“Teknologi adalah salah satu aset paling menarik yang dimiliki perusahaan. Teknologi memungkinkan perubahan luar biasa dalam perilaku konsumen. Ini mempengaruhi mata pencaharian hingga tidak dapat dibalik. Saya benar-benar yakin dengan semua perubahan mendasar yang terjadi ini,” kata John.

Kini setidaknya ada 11 startup unicorn di Asia Tenggara. Hipotesis mengenai prakiraan pertumbuhan yang pesar di masa mendatang tampaknya juga dimiliki oleh para investor lain, melihat pertumbuhan startup di Indonesia. Beberapa model bisnis telah tervalidasi dengan baik, lainnya lagi tengah memastikan penerimaan pasar atas solusi yang ditawarkan.

Berikut ini daftar vertikal startup yang telah berhasil memvalidasi model bisnisnya dengan baik – ditandai dengan besarnya investasi yang masuk ke beberapa startup pendominasi pasar:

Vertikal Keterangan
E-commerce Saat ini Indonesia telah memiliki 2 unicorn dari kategori bisnis ini, sementara beberapa pemainnya memiliki sokongan besar dari raksasa teknologi Singapura (Sea) dan Tiongkok (Alibaba, JD.com).
On-Demand Didominasi dua pemain utama, kendati tidak menutup kemungkinan hadirnya beberapa platform baru yang menyasar model layanan spesifik. Seperti Anterin yang tengah dalam proses perampungan akuisisi oleh salah satu unit usaha grup MNC.
Travel & Hospitality Pariwisata menjadi sektor prioritas pemerintah yang terus dioptimalkan, mengharap perputaran ekonomi yang besar –baik dari wisatawan domestik maupun mancanegara—terjadi di sini. Bisnis di bidang OTA dan pemesanan hunian menjadi bagian penting untuk menopang strategi tersebut.
Fintech, Insurtech Menurut laporan Fintech Report 2019, tahun lalu sekurangnya ada 144 perusahaan p2p lending yang telah mendapatkan status terdaftar dan berizin di OJK, sementara ada 39 pemain di bidang pembayaran yang telah kantongi lisensi dari Bank Indonesia. Pergeseran gaya hidup masyarakat Indonesia menjadikan layanan berbasis finansial digital mudah diterima masyarakat.
Online-to-Offline Konsep O2O direpresentasikan dalam berbagai model bisnis, beberapa di antaranya memberdayakan masyarakat/pedagang kecil untuk mitra distribusi, beberapa lainnya menyajikan pengalaman campuran antara melakukan transaksi secara langsung dan melalui aplikasi. Bisnis-bisnis dengan pendekatan ini mendapatkan pertumbuhan signifikan beberapa waktu terakhir.
Healthtech Dengan perolehan pendanaan seri B+, Halodoc mantap masuk ke jajaran startup centaur. Sementara sejak dua tahun terakhir, sektor ini terus dieksplorasi para pemain digital lokal. Termasuk menghadirkan ragam inovasi untuk mendukung gaya hidup sehat dalam layanan wellness.
Edtech Tahun 2019 ada tiga startup yang membukukan pendanaan lanjut, meliputi Ruangguru, HarukaEdu dan Zenius. Ketiganya berambisi untuk merangkul pelajar dengan jumlah yang besar melalui pendekatan baru dalam kegiatan belajar.
SaaS Pada dasarnya produk vertikal ini mendukung proses bisnis digital dari startup lain, misalnya berbentuk layanan POS, kecerdasan buatan, analisis data, sistem perekrutan dan lain-lain.

Potensi terhadap vertikal tersebut di atas senada dengan target investasi yang sudah dicanangkan oleh investor. Salah satunya Telkom Group melalui Centauri.

“Sekarang kami sedang evaluasi lima startup di bidang fintech, insurtech, big data dan artificial intelligence. Sejauh ini semua [dari Indonesia]. Target kami mungkin bisa investasi ke lima sampai sepuluh [startup] di 2020,” ungkap Manaing Partner MDI Ventures Kenneth Li.

Tahun 2020 prospek investasi melambat?

Banyak analis yang menerangkan, tahun ini akan ada perlambatan dalam iklim investasi untuk startup digital. Ada beberapa faktor penyebab, dua di antaranya karena perlambatan ekonomi global di tengah isu-isu internasional yang memanas dan kejadian seperti “WeWork apocalypse” yang berdampak pada kepercayaan investor.

Menelisik lebih dalam kondisi di Indonesia, yang terjadi justru sebaliknya. Startup later stage terus meningkatkan laju bisnis untuk menjadi profitable, beberapa telah menyampaikan rencana IPO. Di tahap early-stage, founder baru mulai realistis. Saat mereka merasa tidak mungkin lagi bersaing dengan model bisnis yang telah diusung pemain besar lainnya, jalan yang ditempuh adalah menghasilkan solusi mendukung model bisnis yang ada – atau satu hal yang benar-benar unik dan menyasar ceruk pengguna yang sangat spesifik.

Faktanya VC masih memiliki ambisi kuat dengan prospek Indonesia. Tahun ini bank OCBC NISP melalui OCBC NISP Ventura debut dengan 400 miliar Rupiah untuk berinvestasi ke startup digital. Tidak hanya menyasar fintech, namun juga proptech hingga edtech. Kinesys Group sebagai “binaan” Northstar Group juga hadir untuk mendampingi segmen early stage dengan menyiapkan dana senilai 280 miliar Rupiah.

Penggalangan dana dari sisi investor juga masih berjalan mengesankan. Salah satu pemain teraktif di Indonesia, Alpha JWC Ventures, akhir tahun lalu mengumumkan penutupan Fund 2-nya dengan status “oversubscribed”, artinya jumlah yang diterima dari LP yang masuk lebih besar dari nilai yang ditargetkan di awal. Mereka mengumpulkan dana 1,7 triliun Rupiah dan masih akan terus disalurkan untuk startup-startup yang sebagian besar beroperasi di Indonesia.

Laporan Bain & Company: Indonesia dan Vietnam Makin Diminati Investor Startup

Dalam laporan yang dirilis Bain & Company tercatat pertumbuhan investasi startup di Asia Tenggara yang cukup masif. Di tahun 2017, investasi yang digelontorkan kepada startup sebanyak 524 transaksi. Sementara itu di tahun yang sama private equity (dana ekuitas swasta) nilainya mengalami peningkatan 75% hingga $15 miliar.

Salah satu alasan mengapa banyak investor asing dan lokal yang mulai aktif memberikan dana segar kepada startup di Asia Tenggara adalah stabilitas dan kelancaran dari venture capital dan private equity.

Banyak investor baru yang tertarik dengan fundamental ekonomi makro yang kuat. Selain itu mulai banyak kesempatan untuk berinvestasi di negara-negara berkembang dan pendalaman pasar sekunder untuk transaksi di semua ukuran bisnis.

Laporan riset juga mengemukakan bahwa ekosistem investasi di Asia Tenggara telah melewati masa kritis dan memasuki fase pertumbuhan. Diprediksikan nilai transaksi selama lima tahun ke depan akan mencapai $70 miliar, dua kali lipat dari lima tahun sebelumnya. Diharapkan bisa menghasilkan sedikitnya 10 unicorn baru pada tahun 2024.

Perusahaan teknologi hingga layanan kesehatan

Perusahaan rintisan yang berbasis teknologi memiliki daya tarik tersendiri bagi venture capital asing dan lokal. Jumlah investasi meningkat banyak sekitar 40% di tahun 2017, dibandingkan tahun 2014 yang hanya sekitar 20% saja. Asia Tenggara juga menjadi kawasan yang mampu melahirkan startup unicorn, yang telah menghasilkan valuasi startup hingga $1 miliar atau lebih.

Sejak tahun 2012, 10 unicorn termasuk Grab, Go-Jek, dan Traveloka telah menciptakan nilai pasar gabungan sebesar $34 miliar, peringkat Asia Tenggara saat ini berada di posisi ketiga di kawasan Asia-Pasifik, setelah Tiongkok dan India.

Salah satu kategori yang saat ini mulai marak hadir dan telah menjadi favorit adalah layanan kesehatan berbasis teknologi (healthtech). Fullerton Health, misalnya, sekarang telah mengoperasikan lebih dari 500 klinik di delapan negara Asia-Pasifik, setelah didirikan pada tahun 2011 dengan mengakuisisi dua perusahaan penyedia layanan kesehatan di Singapura.

BookDoc, anak perusahaan Malaysia berumur tiga tahun dengan pendanaan venture capital, menghubungkan pasien dengan penyedia layanan kesehatan dan telah membangun platform online yang mencakup di lima negara. Kelompok rumah sakit Indonesia, Siloam, adalah salah satu mitra strategisnya.

Kebangkitan startup Indonesia

Meskipun Singapura tetap menjadi pusat investasi di Asia Tenggara, ekosistem startup yang dinamis mulai bermunculan di seluruh wilayah. Jumlah perusahaan di Indonesia yang meningkatkan pendanaan tahap pertama pada tahun 2017 meningkat lebih dari 300% dari tahun 2012.

Indonesia dan Vietnam telah menghasilkan 20% dari nilai kesepakatan private equity dalam waktu lima tahun terakhir dan persentase tersebut kemungkinan akan mengalami pertumbuhan. Laporan juga mencatat, hampir 90% dari investor menyebutkan pasar Asia Tenggara menjadi yang ‘terpanas’ di luar Singapura. Dan di tahun 2019 mendatang, Indonesia dan Vietnam akan menjadi pilihan.

Meskipun saat ini Investasi di Asia Tenggara mulai menunjukkan peningkatan, di sisi lain tantangan baru mewajibkan para investor untuk melakukan navigasi dan melancarkan strategi dengan cerdas. Bagi bisnis regional, mengamankan talenta terbaik, meningkatkan keunggulan komersial, dan memanfaatkan teknologi digital akan menjadi strategi terbaik untuk menghasilkan keuntungan yang solid yang ingin dicapai.