Bank Mandiri dan BCA Siapkan QR Code Sebagai Inovasi Fintech Terbaru

Dua bank besar lokal, Bank Mandiri dan BCA, merilis fitur QR code sebagai inovasi terbaru di bidang teknologi finansial. Peluncuran ini dilakukan dalam waktu yang tidak terpaut jauh. Bank Mandiri dengan Mandiri Pay diperkenalkan saat perayaan hari jadi perseroan pada 24 Oktober 2018, sementara BCA merilis QRku pada 5 November 2018.

Group Head Digital Banking Bank Mandiri Sunarto Xie menuturkan, Mandiri Pay adalah fitur pembayaran berbasis QR Code yang bakal terintegrasi dengan dompet elektronik E-Money, kartu debit, dan kartu kredit. Serupa dengan Yap yang diusung BNI dan diharapkan ke depannya bisa menjadi alternatif bertransaksi pengganti EDC. Bakal ada aplikasi tersendiri yang perlu diunduh nasabah dalam menggunakan fitur QR code ini.

Untuk saat ini aplikasi tersebut belum tersedia untuk publik. Menurut Sunarto, perseroan masih menunggu izin dari Bank Indonesia. Secara prinsip, perseroan sudah menyesuaikan teknologi tersebut sesuai dengan standar BI, walaupun BI sendiri belum menetapkan standarisasinya.

“Bank Mandiri melihat solusi pembayaran dengan QR merupakan sesuatu yang menarik untuk melengkapi solusi pembayaran yang ada. Namun kami menyadari untuk mengadopsi ini perlu beberapa pertimbangan, seperti teknologi yang digunakan, strategi akuisisi nasabah, dan merchant,” terang Sunarto kepada DailySocial.

“Seiring dengan rencana Bank Indonesia menerapkan standarisasi QR, Bank Mandiri mulai menyesuaikan dengan standar tersebut, sehingga produk yang akan kami launching telah sejalan dengan standar BI,” tambahnya.

Sunarto menyebut perseroan merilis aplikasi terpisah khusus fitur QR lantaran aplikasi tersebut diperuntukkan untuk pembayaran saja. Nasabah hanya cukup membuka aplikasi Mandiri Pay dan langsung memindai QR code merchant dari smartphone. Kalau digabung dengan aplikasi mobile banking yang sudah ada dinilai cukup memberatkan karena di dalamnya sudah ada banyak fitur.

“Kita antri di kasir, maunya cepat proses pembayarannya. Yang tadinya pakai kartu dan swipe di [mesin] EDC, sekarang cukup pakai aplikasi dan scan QR.”

Secara terpisah, dikutip dari CNN Indonesia, Direktur Utama Bank Mandiri Kartika Wirjoatmodjo mengatakan untuk jangka pendek, fitur ini baru menjangkau pembayaran dengan nominal kecil (small ticket items purchase), seperti pembayaran transportasi dan produk ritel.

Dia membuka kemungkinan membuka fitur tersebut untuk pembayaran dengan transaksi berjumlah besar, asal tingkat keamanan dan kecepatan transaksi sudah disempurnakan. Perseroan berencana merilis aplikasi ini pada Januari 2019, sembari menunggu izin keluar dari BI.

Disebutkan saat ini Bank Mandiri memiliki sekitar dua juta nasabah yang menggunakan aplikasi mobile banking. Sekitar 90% transaksi sudah terjadi secara online.

QRku dari BCA

Sementara itu, BCA menghadirkan QRku untuk dua implementasi. Di dalam aplikasi BCA mobile, QRku dikhususkan untuk transfer dana antar nasabah BCA (peer-to-peer payment), bukan sebagai QR pembayaran. Fungsi QRku lebih komprehensif dalam Sakuku, sebab bisa digunakan untuk pembayaran di merchant, selain transfer dana.

BCA tergabung sebagai salah satu peserta pilot project implementasi secara terbatas standarisasi QR Code BI.

Direktur BCA Santoso Liem menjelaskan, QR yang dihasilkan QRku hanya sebagai identitas unik yang menggantikan nomor rekening. Nasabah tidak perlu memasukkan PIN tabungan saat mentransfer dana. Proses pun jadi jadi lebih cepat tanpa harus pencet banyak tombol.

“Biasanya kalau mau transfer cukup repot, harus memasukkan nomor rekening kalau baru pertama kali mau transfer. Belum tentu hafal juga dengan nomor rekeningnya. Kalau sudah rutin transfer memang bisa disimpan rekeningnya ke daftar transfer. Jadi kami mengembangkan QR jadi seperti ID rekening menggantikan nomor,” ujar Santoso kepada DailySocial.

Strategi ini, menurutnya, masih bersifat soft lauching untuk memberikan pendekatan yang berbeda kepada para nasabahnya. Perbedaan fungsi antara BCA mobile dan Sakuku adalah strategi awal perseroan agar lebih mudah dalam menyesuaikan diri dengan standarisasi QR BI yang masih ditunggu kehadirannya. Pasalnya standarisasi QR untuk pembayaran dan transfer itu berbeda.

“Setiap produk yang kami rilis itu sudah ada persetujuan dari BI. Kami siap untuk melakukan penyesuaian standar QR dari BI apabila aturannya sudah terbit. Untuk sementara kami pakai QR private BCA.”

Disebutkan saat ini ada 8 juta nasabah BCA yang bertransaksi lewat aplikasi mobile banking dari total nasabah sekitar 18 juta. Volume transaksi online mendominasi sekitar 97%, sisanya dilakukan lewat kantor cabang.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Bukalapak Sediakan Fitur QR Code di Warung Kelontong Mitra

Bukalapak menyediakan fitur pemindai QR code yang dapat digunakan pengguna saat bertransaksi di warung kelontong. Kehadiran fitur ini diharapkan bisa mendorong gaya hidup nontunai di seluruh aspek kehidupan.

Corporate Communication Manager Bukalapak Evi Andarini menuturkan, fitur ini hanya bisa dinikmati agen Bukalapak (sekarang dinamai Mitra Bukalapak). Mitra yang bisa menerima fitur ini sebelumnya harus terverifikasi data diri dengan kartu identitas, foto diri, dan foto warung atau kiosnya.

Buat pengguna Bukalapak, fitur QR code ini bisa dimanfaatkan langsung dari aplikasi masing-masing dari menu “Mitra Terdekat.” Metode pembayaran yang didukung adalah dengan Buka Dana, Kartu Visa/MasterCard/JCB, dan tunai ke warung itu sendiri.

Sementara ini fitur tersebut baru tersedia di versi Android. Di menu ini, pengguna bisa mencari tahu lokasi Mitra terdekat dari posisi mereka dan petunjuk arahnya untuk sampai ke sana.

“Semua transaksi yang terjadi di platform Mitra Bukalapak dan Bukalapak tercatat di sistem kami,” terang Evi kepada DailySocial.

Agen menjadi “Mitra Bukalapak”

Timeline Mitra Bukalapak
Perjalanan Agen Bukalapak hingga menjadi Mitra Bukalapak / Bukalapak

Terkait pengubahan program, Evi mengatakan Mitra Bukalapak adalah program perluasan yang dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan pengusaha kecil menengah terutama warung dengan teknologi sederhana. Mitra Bukalapak bisa berjualan produk virtual, bayar tagihan, juga belanja grosir untuk stok warung dengan mudah hanya dari smartphone.

Ada komisi yang bakal diterima dari setiap transaksi digital. Misalnya untuk penjualan barang fisik, komisi yang diterima sebesar 5%, voucher game/tiket kereta/tiket pesawat komisi yang didapat 5%, dan komisi lainnya tergantung produk yang berhasil terjual.

Di samping itu, perusahaan melihat jumlah Mitra Bukalapak terus mengalami peningkatan dan tersebar di seluruh Indonesia. Perusahaan tetap selalu ingin dekat dengan para Mitranya dalam upaya pemberdayaan pengusaha warung ini. Atas dasar pertimbangan tersebut, perusahaan memutuskan untuk mengubah program Agen menjadi Mitra Bukalapak.

“Siapapun yang memiliki warung kios, atau tempat usaha dapat mendaftar jadi Mitra Bukalapak dengan mudah dan gratis.”

Evi menyebut sampai saat ini ada lebih dari 400 ribu warung bergabung. Lokasinya tersebar di Jawa dan Palembang. Tahun depat ditargetkan Mitra Bukalapak dapat menjaring hingga 2,5 juta warung.

Application Information Will Show Up Here

Setelah BNI, Bank Lain Siap Terima Pembayaran Alipay dan WeChat Pay

Adopsi pembayaran lewat Alipay dan WeChat Pay di Indonesia akan diperluas, rencananya setelah BNI akan ada bank BUKU IV lainnya yang siap menerima layanan tersebut di merchant-nya. Pasalnya, baik WeChat maupun Alipay tidak diperboleh masuk ke Indonesia secara mandiri, lantaran harus memenuhi beberapa regulasi dari Bank Indonesia.

“Dengan BNI ini tidak eksklusif, jadinya bank BUKU IV yang lainnya bisa ikut masuk. Namun bagi BNI ini bisa menjadi tambahan nilai untuk para merchant kami [Yap!],” ujar Manager Divisi Transactional Banking Services BNI, Auzaiy di sela-sela acara Fintech Talk di Bali, Kamis (25/10).

Dia menerangkan dari ketentuan BI, perusahaan yang ingin bermain di segmen e-money setidaknya mayoritas harus dimiliki oleh lokal sebesar 51%. Terlebih WeChat dan Alipay tidak diperbolehkan menggandeng fintech e-money seperti OVO, melainkan harus terkoneksi langsung ke bank.

Bank yang bisa menerima pun tidak sembarang, minimal sudah berstatus BUKU IV dengan ketentuan modal inti minimal Rp30 triliun. Sehingga mereka harus menggunakan berbagai jasa pembayaran atau jasa transaksional yang disediakan oleh bank BUKU IV tersebut agar terjadi interoperabilitas dan interkonetivitas.

“Kenapa BI maunya bank BUKU IV? Karena kan harus laporan secara rutin, ada banyak hal yang perlu dikontrol. Sementara kalau pakai fintech, itu tidak bisa.”

Adapun bank BUKU IV lain yang sudah menerima yang sudah menerima izin QR Code dari BI di antaranya BRI dan CIMB Niaga.

Disebutkan integrasi antara BNI dengan WeChat dibantu oleh dua pihak lokal, satu di antaranya adalah PT Alto Halo Digital International (AHDI), anak usaha dari perusahaan switching Alto Networks.

Auzaiy melanjutkan, inisiasi awal yang dimulai dari BNI ini tentunya bakal dimanfaatkan penuh oleh perseroan dalam memberikan nilai tambah untuk para merchant yang telah bergabung. Secara perlahan, BNI akan terus menambah QR Code untuk para merchant, dimulai dari Bali dan Manado. Dua destinasi tersebut menjadi tempat favorit wisatawan Tiongkok.

Saat ini merchant BNI yang tergabung dalam Yap! di Bali mencapai angka 11 ribu merchant. Bila digabung dengan NTB dan NTT angkanya melambung sampai 18 ribu merchant. Keseluruhan merchant Yap! mencapai lebih dari 150 ribu di seluruh Indonesia.

“Sekarang masih di-roll out pelan-pelan, mungkin nanti akhir tahun ini pengalaman transaksi lewat WeChat Pay dan Alipay akan lebih terasa maksimal.”

Dia berharap tingginya tingkat kunjungan wisatawan dari Tiongkok, tentunya diharapkan bisa menambah devisa buat negara. Sekaligus tambahan fee based income (pendapatan non bunga) buat perseroan.

Untungnya QR Code Masih Bertahan

Selama saya bekerja di Soundbuzz (awal tahun 2000an), teringat akan QR Code yang selalu tertera pada kartu nama sebagian besar pegawai Nokia yang saya temui. Tidak begitu jelas kemana QR Code itu tertaut, namun pada saat itu QR Code diremehkan. QR Code itu tidak penting, bahkan semakin tidak jelas ketika dibuat menjadi desain. Pengalaman penuh pemindaian QR Code terbilang pelik, memakan waktu, dan acap kali gagal.

Harian Kompas bahkan mencoba untuk menghubungkan offline dan online (bayangkan) dengan menempatkan QR Code di samping artikel, yang menurut saya tidak berjalan mulus karna mereka menghentikan hal itu. Banyak percobaan pemasaran yang menggunakan QR Code berhenti karna tidak bisa memindai kode – seringkali, anda harus memiliki aplikasi khusus memindai. Hal ini terjadi sebelum era ponsel pintar – tidak ada yang benar-benar peduli pada aplikasi ponsel (terkecuali permainan).

Ketika masyarakat mulai menggunakan BlackBerry, mereka bisa menambahkan kontak secara nyata menggunakan QR Code (sesuatu yang menurut saya ditiru oleh aplikasi chat lain) menggunakan aplikasi kamera dalam BBM, tetapi yang tidak diketahui banyak orang adalah, aplikasi itu bisa digunakan untuk memindai jenis QR Code apapun, termasuk yang langsung megarahkan ke situs web – semua tergantung pada konten QR Code-nya. Pada dasarnya, Anda bisa menyandikan teks apa saja dalam QR Code, termasuk alamat situs. Lalu ketika kebanyakan orang menggunakan ponsel pintar, tidak semuanya memiliki alat pemindai QR Code yang terpasang dalam kamera atau aplikasi bawaan.

Bersama semua sindiran yang ditujukan pada QR Code (khususnya dalam pemasaran), manfaatnya jelas – sebagai sarana untuk menyampaikan informasi (atau tautan) secara instan, yang dapat disematkan dalam bentuk cetak atau digital, dan dapat memuat teks lebih panjang dalam ruang yang lebih kecil. Kode akan dibuat atas apa yang tidak bisa dilakukan barcode – yang tidak bisa mencakup informasi terlalu banyak (dimana akan semakin panjang), tidak bisa menggunakan simbol spesial, dan tidak terbaca oleh layar ponsel.

Jadi sekarang QR Code sudah tidak bisa lagi diremehkan

QR Code adalah batu loncatan dari kebanyakan aplikasi pembayaran yang ada saat ini, bahkan pengemis di jalanan diduga menerima donasi menggunakan QR Code. Pemindai genggam yang tidak menggunakan lensa, melainkan laser untuk membaca QR Code telah mengambil alih pengalaman pemindaian lamban yang membuat QR Code tidak diminati. Sementara software untuk memindai QR Code sekarang semakin cepat – beberapa aplikasi bahkan menyertakan tombol untuk menyalakan lampu senter di ponsel demi memastikan pencahayaan optimal untuk pemindaian. Sebagai gambaran tajuk, banyak klien dari Wooz.in yang berpaling menggunakan gelang QR Code yang jauh lebih hemat biaya dibandingkan gelang RFID yang menjadi inti bisnis kami sebelumnya.

Menurut saya, apa yang terjadi ketika QR Code pertama kali muncul, banyak orang mulai menggunakannya untuk berbagai macam hal, dimana saat ini, pengalaman pengguna semakin jauh lebih baik sehingga dalam kegiatan yang menggunakan QR Code, pengalaman yang optimal pada sistem yang kerap tertutup dapat tersampaikan. Sebagai sebuah efisiensi biaya dan ruang, saya pikir kita bisa melihat lebih banyak pengalaman khusus industri, terlebih dalam hal interkoneksi dunia fisik dan digital.


Artikel ini telah dipublikasi ulang dengan suntingan dan izin dari Ario Tamat. Sumber asli dari Medium.

Ario adalah co-founder dari Ohdio dan Wooz.in. Terhubung dengan Ario di Twitter @barijoe.

Thank God The QR Code Refused to Die

During my days at Soundbuzz (in the early 2000’s), I remember that there was always a QR Code printed on the business cards of most Nokia people I met. I don’t really remember what the QR Code linked to, but even at that time, the QR Code was derided. It was ugly, and even uglier when you tried to embed it into a design. The whole experience of scanning QR Codes was arcane, time-consuming, and and many times unsuccessful.

The Kompas newspaper even tried out connecting the offline and the online (imagine that) by placing QR Codes alongside articles, which I guess didn’t pan out because they stopped doing that. Many marketing engagements utilizing QR Codes fell flat because many couldn’t scan the code — most of the time, you had to have a special app to scan. And this was before the smartphone era — nobody really thought about applications for phones (with games being the exception).

When people started using Blackberrys, you could actually add new chat contacts on BBM by scanning the QR Code (something which I think many chat apps have copied) using the camera app within BBM, but what most people didn’t know was that it could be used to scan any QR Code, including those directing to websites — it just depended on the QR Code’s content. You can basically encode any text into a QR Code, which included website addresses. And when people started using smartphones, not all had QR Code readers built-in into the camera or an app preloaded.

With all the derision the QR Code received (especially in the marketing world), the benefits were clear — it was a way to relay information (or a link to information) instantly, which could be embedded into print or digital form, and could accommodate longer text strings within a smaller space. QR Codes would build upon what barcodes couldn’t do — barcodes couldn’t store too much information (lest they become longer and longer), couldn’t use special symbols, and couldn’t be read off a phone screen.

So now QR Codes don’t seem such a pain in the ass, don’t they?

QR Codes are the cornerstone of many payment-related applications today, to the point that beggars on the streets allegedly use QR codes to accept donations. Commercial handheld scanners that use lasers, instead of lenses, to read QR Codes have taken away the notoriously sluggish code reading experience that once made them unwanted. And software for QR Code reading is so much faster now — some apps even include a toggle to turn on the flashlight on the phone to make sure lighting conditions are optimum for scanning. And as in the header picture, a lot of Wooz.in’s clients have moved towards using QR Code wristbands, which are much more budget-efficient compared to RFID wristbands, which were the previous staple of our business.

I think what happened was that when QR first came around, people started to use them for everything, while now, user experience design is so much better so that in the event QR Codes are needed, an optimal, most often closed-system, experience can be delivered. And since they’re so cost-and-space efficient, I think we’ll be seeing more industry-specific uses down the line, especially when it comes to interconnecting the physical world with the digital one.


This article has been republished with editing and permission from Ario Tamat. Original source is from Medium.

Ario is a co-founder of Ohdio and Wooz.in.  Keep up with him on Twitter at @barijoe.

Upaya GO-PAY Membangun Ekosistem

Kemudahan yang ditawarkan GO-PAY untuk melakukan pembayaran menggunakan QR Code makin banyak diterapkan di ibukota. Tidak hanya di supermarket besar saja seperti Ranch Market dan Farmers Market, tapi juga sudah menyebar hingga ke gerai coffee shop dan warung makan kaki lima.

Meskipun jumlah merchant dan gerai UKM yang memanfaatkan pembayaran pembayaran dengan GO-PAY makin banyak, di acara Fintech Financial Inclusion Forum, CEO GO-PAY Aldi Haryopratomo mengungkapkan, belum tercatat berapa besar persentase penggunaan QR Code jika dibandingkan penggunaan di lingkup layanan GO-JEK.

“Dengan kemudahan yang dihadirkan oleh QR Code, harapannya bukan hanya pengguna di kota besar saja yang diuntungkan, tapi juga pengguna di luar kota yang bisa menikmati akses mudah pembayaran memanfaatkan QR Code di GO-PAY,” kata Aldi.

Aldi menambahkan, selama ini GO-PAY berupaya untuk menghadirkan fitur yang sifatnya tepat guna, sehingga bisa langsung memberikan impact ke masyarakat terkait dengan metode pembayaran non tunai.

Menambah kemitraan

CEO GO-PAY Aldi Haryopratomo di acara Fintech Forum
CEO GO-PAY Aldi Haryopratomo di acara Fintech Forum

Bertujuan mendukung UKM di Indonesia, GO-PAY masih memiliki rencana menambah kemitraan dengan bank, industri terkait, dan pelaku UKM.

Salah satu kemitraan strategis yang telah dilancarkan adalah kolaborasi strategis antara BNI dan dua entitas GO-JEK (GO-PAY dan GO-FOOD). Langkah awal kerja sama strategis ini fokus ke merchant GO-FOOD, kemudian merambah ke merchant di ekosistem GO-JEK lainnya.

What’s next untuk GO-PAY? kita masih fokus untuk menambah kolaborasi dengan bank hingga industri besar. Seperti yang telah kita jalankan bersama BNI yaitu memberikan Kredit Usaha Rakyat (KUR) untuk merchant GO-FOOD,” kata Aldi.

Saat ini melalui GO-FOOD, banyak merchant kaki lima dan restoran besar yang bergabung menjadi mitra GO-FOOD. Selain mendapatkan kesempatan untuk menjual di aplikasi, mitra GO-FOOD juga memiliki kesempatan untuk mendapatkan modal tambahan dari BNI.

“Prinsip kita dari GO-PAY adalah membangun ekosistem, di mana kuenya nanti semua bisa terbagi sehingga membesarkan ekosistem bersama,” tutup Aldi.

Application Information Will Show Up Here

TCASH to be an “Agnostic Platform” in Early June 2018

TCASH is finalizing the last stage to become an agnostic platform (available for users with any operator). The plan is to be announced in early June 2018. TCASH is planned to have 40 million total users this year.

“We want the ‘TCASH semua bisa’ (TCASH all-in-one) tagline to happen. Using any kinds of providers. The license has been issued by Bank Indonesia (BI), we’re now preparing the product, promos, and the communication,” Danu Wicaksana, TCASH’s CEO, said (5/24).

He said, the license has been issued, but the company want to make sure that TCASH is focused on consumer’s protection to be fair in case of complaints.

Therefore, after TCASH platform is officially agnostic, Grapari will be too. They can serve TCASH complaints from non-Telkomsel users. Complaints via call will also be in service.

Regarding operators, they are open for initiatives. Thus, TCASH can be the new distribution channel. They can sell something in TCASH.

In addition, TCASH will have a broader area for the company can be partnered up with local government to deliver new initiative. For example, the issues faced by Solo Government in raising garbage retribution funds worth of Rp10 thousand per months.

“They want it to be digitalized. If TCASH is limited for Telkomsel only, it’ll be hard politically. If it has been opened, they can easily collaborate with TCASH.”

Currently, TCASH has more than 24 million registered customers in all over 34 provinces in Indonesia. TCASH provides services using NFC-based Sticker Tap and e-wallet with QR Code feature to ease the daily transactions.

TCASH has added a new feature. It can be used for life insurance and donation using QR Code, after partner up with Rumah Zakat donation institution. TCASH distributes Rumah Zakat QR Code in various locations, such as billboards, Rumah Zakat branches, digital posters, and some mosques in Pekanbaru.

They also invite Blue Bird for transportation modes. TCASH platform has been planted in My Blue Bird app and available as one of the payment methods besides cash and credit card. In terms of payment, users can scan the QR code attached in the car. Previously, TCASH can also be used for Medan and Jakarta Railink, also Trans Semarang.

Pilot project for single QR code

In QR Code single implementation’s pilot project initiated by Bank Indonesia, TCASH joins the group that also includes Artajasa and BNI.

The three companies represent each financial industries. TCASH as an e-money platform, BNI as banking, and Artajasa from the switching company.

Theu will implement QR Code single implementation through the pilot project in selected merchants. The QR Code is no longer bear logo of each company, but with an eagle logo as the representation of GPN (National Payment Gateway).

Later, each merchant will have one QR Code standarization. The counting system of MDR (Merchant Discount Rate) will be looked like the one in debit card, there will be a distinction between acquirer and issuer.

For example, when there’s a transaction in merchant acquired by TCASH but users are making the transaction via PayPro, there will be revenue sharing between two companies.

“We are still processing. It will be launched after Lebaran. Therefore, before national roll-out, it needs a pilot. Don’t let the settlement ruin the backhand process.”

Before it was divided into two pilot projects, BI has formed a team consist of 11 bankings, four switching companies, and e-money companies, such as TCASH, OVO, and Go-Pay. The result is, all companies confirm on what kind of standardization to use. The details will be showed in form of PBI (Bank Indonesia’s Regulation).


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

TCASH Menuju “Platform Agnostik”di Awal Juni 2018

TCASH tengah memfinalisasi tahap akhir menuju platform agnostik (bisa digunakan oleh pelanggan semua operator). Rencananya pada awal Juni 2018 hal tersebut resmi diumumkan. Ditargetkan TCASH tahun ini bisa memiliki 40 juta total pengguna.

“Kita ingin tagline ‘TCASH semua bisa’ itu benar-benar terjadi. Pakai operator apapun bisa. Izinnya dari Bank Indonesia (BI) sudah keluar, sekarang kami persiapkan produknya, promo, dan komunikasinya,” ucap CEO TCASH Danu Wicaksana, kemarin (24/5).

Danu menuturkan, izin BI memang sudah dikeluarkan untuk TCASH, akan tetapi mereka ingin memastikan bahwa perhatian TCASH untuk perlindungan konsumen harus diperlakukan sama ketika terjadi pengaduan.

Oleh karena itu, setelah platform TCASH resmi jadi agnostik, demikian pula untuk gerai Grapari. Di sana bisa melayani pengaduan TCASH dari pengguna non Telkomsel. Aduan via telepon pun dipastikan bisa dilakukan.

Pihak operator pun, menurutnya, cukup terbuka dengan inisiatif tersebut. Pasalnya kehadiran TCASH dapat menjadi channel distribusi yang baru. Mereka bisa berjualan sesuatu lewat TCASH.

Tak hanya itu, ruang gerak TCASH akan semakin luas karena perusahaan bisa berkolaborasi dengan pemerintah daerah untuk mengeluarkan inisiasi baru. Contohnya, kesulitan yang dihadapi Pemerintah Kota Solo dalam mengumpulkan dana retribusi sampah yang besaran nominalnya Rp10 ribu per bulan.

“Mereka mau digitalkan itu. Kalau TCASH masih tertutup untuk Telkomsel saja, secara politis itu susah dilakukan. Tapi kalau sudah terbuka, mereka bisa dengan mudah berkolaborasi dengan TCASH.”

Saat ini TCASH memiliki lebih dari 24 juta pelanggan terdaftar yang tersebar di 34 provinsi di seluruh Indonesia. TCASH memberikan layanan melalui Sticker Tap berteknologi NFC dan e-wallet dengan fitur QR COde untuk mempermudah transaksi sehari-hari.

Kini TCASH menambah fitur baru. Dapat dipakai untuk membeli asuransi jiwa, dan berdonasi dengan memanfaatkan QR code berkat kerja sama dengan lembaga donasi Rumah Zakat. TCASH menyebar QR code Rumah Zakat di berbagai lokasi, seperti di papan billboard, cabang Rumah Zakat, poster digital, dan beberapa masjid di Pekanbaru.

Mereka juga menambah kehadiran di moda transportasi taksi Blue Bird. Platform TCASH telah ditanamkan dalam aplikasi My Blue Bird dan bisa dipilih sebagai salah satu metode pembayaran selain tunai. Untuk pembayarannya, pengguna bisa scan QR code di dalam taksi. Sebelumnya, TCASH juga bisa dipakai untuk pembayaran tiket Railink di Medan dan Jakarta, dan Trans Semarang.

Pilot project single QR code

Danu juga menuturkan soal keikutsertaan TCASH ke dalam pilot project implementasi single QR code yang diinisiasikan Bank Indonesia yang terbagi ke dalam dua kelompok. TCASH tergabung sebagai kelompok pertama, yang di dalamnya juga berisi Artajasa dan BNI.

Ketiganya mempresentasikan perwakilan masing-masing industri keuangan. TCASH sebagai platform e-money, BNI sebagai perbankan, dan Artajasa dari perusahaan switching.

Kelompok pertama tersebut akan lebih dahulu melakukan implementasi single QR code lewat pilot project di merchant tertentu. QR code tersebut tidak lagi berlambang masing-masing perusahaan pemilik e-money, tetapi sudah berlambang burung Garuda sebagai representasi Gerbang Pembayaran Nasional (GPN).

Nantinya di setiap merchant hanya ada satu QR code. Sistem penghitungan merchant discount rate (MDR) akan mirip dengan yang sudah berlaku di kartu debit, ada pembagian antara acquirer dengan issuer.

Contohnya ketika terjadi transaksi di merchant yang sudah diakusisi TCASH, namun pengguna menggunakan pembayaran lewat Pay Pro, bakal ada pembagian komisi antara kedua perusahaan tersebut.

“Sekarang masih kami godok prosesnya. Nanti setelah Lebaran akan diluncurkan. Jadi sebelum di-roll out secara nasional, perlu di pilot-in dulu. Jangan sampai proses settlement di belakangnya enggak beres.”

Sebelum membagi ke dalam dua kelompok pilot project, BI sudah membentuk tim perumus yang didalamnya terdiri atas 11 perbankan, empat perusahaan switching, dan perusahaan e-money seperti TCASH, OVO, dan Go-Pay. Hasil dari perumusan ini setiap perusahaan menyetujui standarisasi apa saja yang akan dipakai. Detailnya akan hadir dalam bentuk Peraturan Bank Indonesia (PBI).

Application Information Will Show Up Here

Bank Indonesia to Issue Standardization for QR Code-Based Electronic Payment

BI (Bank Indonesia) will issue the standardization of QR (Quick Response) code for electronic payment system this month. The implementation will be restricted to 12 licensed companies. The issuance has been delayed since April 2018.

Onny Wijanarko, Head of Payment System Policy and Oversight Department, said that BI will choose ASPI (Payment System Association of Indonesia) as the standard institution. They will be in charge to create the standardization.

“The restricted implementation may be going until September or October this year,” he said, as quoted in Katadata.

Some of the licensed companies are Go-Pay, TCash, OVO, BNI Yap!, and BRI. While finishing the implementation, other companies that already filed for QR code license have to re-register and complete the requirements.

“To issue the specifications [QR Code] is risky.”

ASPI is an institution created by BI involving all representations of Indonesia’s payment system industry players. It has given the authority in technical and micro extent for the standardization in payment system industry according to the terms and conditions.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Bank Indonesia Segera Terbitkan Standarisasi Pembayaran Elektronik Menggunakan QR Code Bulan Ini

Bank Indonesia (BI) akan menerbitkan standarisasi kode respon cepat (Quick Response/QR Code) untuk sistem pembayaran uang elektronik pada bulan ini. Hanya saja, implementasinya akan dilakukan secara terbatas diikuti 12 perusahaan yang sudah mendapat izin menggunakan QR Code. Penerbitan standarisasi ini molor dari target semula BI, pada awal April 2018.

Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran BI Onny Wijanarko mengatakan BI akan menunjuk Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI) sebagai lembaga standar. ASPI akan menjadi lembaga yang membuat standarisasi ini.

“Implementasi terbatas itu mungkin sampai September sampai Oktober tahun ini,” kata Onny seperti dikutip dari Katadata.

Di antara perusahaan yang sudah mendapat izin menggunakan QR Code adalah Go-Pay, TCash, OVO, BNI Yap!, dan BRI. Sembari menyelesaikan implementasi terbatas, perusahaan yang sudah mengajukan izin pakai QR Code juga wajib mendaftar kembali dan memenuhi standar.

“Kalau menerbitkan spesifikasi [QR Code] sendiri, itu malah bahaya.”

ASPI adalah lembaga yang dibentuk BI dengan melibatkan representasi seluruh pelaku industri sistem pembayaran di Indonesia. Lembaga tersebut diberi kewenangan dalam lingkup mikro dan teknis untuk membuat aturan main dalam industri sistem pembayaran dengan tetap memperhatikan ketentuan dan kebijakan.