Gurita Bisnis Ralali di Ranah E-Commerce B2B

Riset yang dilakukan Frost & Sullivan mengestimasi potensi pasar e-commerce B2B Indonesia mencapai $56,3 miliar pada 2022. Angka tersebut berjumlah dua kali lebih tinggi dari sektor B2C yang diestimasi sebesar $25,8 miliar. Angka tersebut masih jauh lebih kecil dibandingkan rekan-rekan regionalnya, seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand, tetapi lebih besar dibandingkan dengan Vietnam.

Thailand memiliki pasar B2B terbesar pada 2017 senilai $52,0 miliar dan kemungkinan akan tetap demikian selama periode perkiraan.  E-commerce B2G merupakan kontributor utama transaksi di Singapura, Malaysia, dan Thailand. Di beberapa negara ini, lebih dari 90% pengadaan pemerintah dilakukan melalui saluran online.

Logistik yang belum berkembang menjadi salah satu masalah terbesar di Indonesia. Ini adalah salah satu alasan utama mengapa semua daerah di Indonesia tidak tumbuh dengan kecepatan yang sama seperti Jakarta.

Dalam memainkan peran tersebut, berbondong-bondong pemain e-commerce, yang tadinya hanya di B2C, tancap gas dengan masuk ke B2B demi meramaikan para pemain e-commerce B2B yang sudah beroperasi. Salah satu pemain yang konsisten menyeriusi segmen B2B sejak awal adalah Ralali, yang didirikan Joseph Aditya sejak 2013.

Kepada DailySocial.id, Joseph menuturkan saat ini perusahaan tidak hanya fokus ke marketplace tapi juga membangun ekosistem B2B agar menjadi solusi utama bagi pelaku bisnis. Terhitung saat ini grup telah didukung lima lini bisnis, yakni situs e-commerce (Ralali.com), healthcare (Neoclinic), brand privat (Primero dan Fitmee), social commerce (Ralali Connect), dan on demand business (Ralali Agent).

“Berdasarkan performa, Ralali.com mencatat pertumbuhan secara organik [dan] telah berhasil meningkatkan transaksi hingga 174% di 2021 dari tahun sebelumnya, serta tercatat lebih dari 1,5 juta masyarakat dan pelaku usaha terhubung dan diperbantukan oleh solusi ekosistem digital dari Ralali Group,” kata Joseph.

Dia melanjutkan, masing-masing lini yang dikembangkan perusahaan saling terkoneksi satu sama lain, sehingga membentuk ekosistem B2B yang mampu menjawab kebutuhan di industri. Misalnya, Ralali Connect bertugas untuk bantu UMKM dengan menyediakan layanan digital storefront, pembuka akses jaringan, dan komunitas bisnis.

Dari situ, timbul kebutuhan yang besar akan tersedianya tenaga lapangan untuk penetrasi pasar, baik itu promosi, survei, atau aktivasi usaha. Lahirlah Ralali Agent, on demand business platform, untuk mencari penghasilan tambahan bagi masyarakat, sehingga membantu bisnis tumbuh dengan memberikan kolaborasi antara teknologi digital dan tenaga kerja dalam melakukan proses O2O.

Di tahun ini Ralali Agent ditargetkan dapat memperluas jaringannya hingga mencapai 1,5 juta agen di seluruh Indonesia untuk menyelesaikan 45 juta jenis pekerjaan. “Platform ini telah membantu ratusan ribu masyarakat dan hadir di 25 kota besar di Indonesia untuk mendapatkan penghasilan tambahan di waktu luangnya dengan cara mengerjakan pekerjaan yang tersedia di dalam platform.”

Berikutnya adalah Ralali Solution Center sebagai wadah bagi para pelaku usaha yang masih berjualan secara offline. Mereka dapat bergabung menjadi seller Ralali.com, sehingga dapat memasarkan produknya secara online. Ralali Solution Center menjembatani penjual dengan korporasi atau klien dari Ralali.com. Klien ataupun pembeli dapat membuat permintaan barang melalui RFQ (Request For Quotation), salah satu fitur unggulan Ralali.com.

Inovasi yang baru dirilis berikutnya adalah Ralali Business Collection untuk membuka kesempatan bagi masyarakat yang sedang berencana memulai bisnis dengan tawaran paket usaha dan harga grosir terbaik. Peluang ini terbuka untuk bisnis kopi, sembako, minuman kekinian, dan otomotif.

Masuk brand privat

Salah satu langkah terobosan yang dilakukan Ralali adalah masuk ke brand privat sebagai langkah pengembangan bisnis di luar e-commerce. Ada tiga brand yang sudah dirilis secara resmi oleh perusahaan, yakni Primero (produk masker), Neoclinic (klinik kesehatan berbasis teknologi), dan Fitmee (mi instan sehat).

Joseph tidak menuturkan lebih rinci hipotesis dibalik peluncuran brand privat tersebut. Ia mengatakan, Primero dan Neoclinic (PT Langkah Infinit Fortuna Era) dirintis karena selama pandemi pihaknya melihat peluang besar di sektor kesehatan. Primero terbuat dari bahan hypoallergenic, aman untuk kulit sensitif karena tidak menimbulkan reaksi alergi. Masker ini telah mengantongi izin dari Kementerian Kesehatan Indonesia dan direkomendasikan oleh BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana).

“Primero dapat menjadi solusi masyarakat di tengah kelangkaan masker pada saat itu dan menjadi top 5 sales brand masker yang dapat ditemukan di modern market di seluruh Indonesia.”

Neoclinic memadukan kesehatan dan teknologi untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat, seperti booking dan appointment, pemberian hasil tes, hingga konsultasi dengan dokter. Klinik ini memiliki layanan kesehatan yang lengkap, mulai dari pemeriksaan kesehatan, tindakan medis ringan, pemeriksaan Swab Test, tes laboratorium, serta vaksinasi Covid-19. Lokasinya tersebar di delapan titik di Jakarta, Tangerang, Surabaya dan akan hadir di lima kota besar lainnya.

“Dengan hadirnya lini bisnis terbaru kami (healthcare) tentunya membuat positioning Ralali semakin kuat di berbagai segmen dan keterkaitan antar platform kami sebagai satu entitas dalam group.”

Berikutnya, Fitmee merupakan hasil akuisisi Ralali dari The Fit Company. Tidak disebutkan nominal dalam transaksi tersebut. Hipotesis perusahaan terhadap prospek bisnis di sektor ini adalah selama pandemi masyarakat mulai peduli terhadap masalah kesehatan. Asupan gizi dan gaya hidup sehat mulai menjadi prioritas utama bagi sebagian besar orang.

Atas dasar tersebut, Ralali melihat babak baru dalam industri porang (shirataki) buatan Indonesia dan memutuskan untuk mengakuisisi Fitmee. Fitmee adalah produk mi instan yang menggunakan umbi porang sebagai bahan dasar yang diolah menjadi mi shirataki. Mi jenis ini bebas kolesterol, rendah gula, dan tinggi akan serat.

Joseph menjelaskan, saat ini pangsa pasar dalam produsen mi instan sehat di Indonesia baru 1%, sehingga banyak peluang yang ditawarkan dalam industri F&B ini. Data lainnya juga menyebutkan pasar makanan organik dunia diperkirakan mencapai $272,18 miliar pada 2027 dengan pertumbuhan 12% per tahun.

“Ralali Group (sebagai ekosistem) tentunya memperluas pasar agar produk ini dapat penuhi kebutuhan bagi para kosumen dalam menjalani gaya hidup sehat. Selain itu, melalui kolaborasi antar dua entitas (Ralali dan The Fit Company) memberikan kontribusi yang signifikan untuk penuhi target laba dalam ekosistem Ralali.”

The Fit Company adalah startup wellness yang didirikan Jeff Budiman dengan beberapa lini bisnis di bawahnya, termasuk Kredoaum, 20Fit, Fitstop, Fit Lokal, Fitmee, Slim Gourmet, Wellnez Indonesia, dan FITCO.

Penggalangan dana berikutnya

Ralali di bulan Februari lalu mengumumkan perolehan pendanaan Seri D batch pertama senilai $10,9 juta (lebih dari 155 miliar Rupiah) yang dipimpin oleh SBI Group, investor sebelumnya yang memimpin putaran Seri B, dan Bee Accelerate. Putaran ini diikuti jajaran investor lainnya, seperti Beenos Asia, ICMG Partners, dan Arbor Venture.

Dana segar ini akan digunakan memperkuat solusi integrasi e-commerce B2B bagi pelaku usaha, merealisasikan target penerapan open finance system, dan merilis Ralali Big Data yang dapat memberikan acuan maupun rekomendasi dalam bentuk laporan black journal–sebuah sistem informasi keuangan yang dikelola perusahaan untuk membantu pelaku usaha mendapatkan data bisnis yang valid.

Berikutnya Ralali berencana menghadirkan fitur terbaru bernama Ralali Plus, sebuah solusi pengembangan usaha untuk mendapatkan kemudahan pembayaran dalam penuhi kebutuhan berbisnis. “Fasilitas unggulan yang diberikan, mulai dari permodalan usaha, credit scoring, one bill services untuk keperluan utilitas, penggunaan instan untuk transaksi kebutuhan usaha di dalam platform Ralali, dukungan pemasaran hingga edukasi finansial.”

Untuk rangka mewujudkan ambisi tersebut, perusahaan tengah membuka pendanaan Seri D batch kedua. Ralali juga mengundang mitra strategis yang bergerak di industri potensial, seperti perbankan, logistik, API, platform POS untuk dapat berkolaborasi. Jika usaha-usaha ini lancar, target perusahaan yang membidik enam juta pengguna dan ekspansi ke 50 kota dapat segera terealisasi.

“E-commerce B2B memiliki potensi perkembangan yang pesat di Indonesia. Dapat terlihat dari Laporan EigenRe, bahwa market size B2B di Indonesia diprediksi capai $21,3 miliar pada 2023 mendatang. Pandemi Covid-19 membuat para pemain B2B perlu adaptasi kebiasaan baru Covid-19, dan hal ini dapat menjadi menjadi peluang rebound untuk bisnis B2B,” tutupnya.

Ralali Confirms Series D Funding of 155 Billion Rupiah Led by SBI Group and Bee Accelerate

The B2B marketplace startup, Ralali, confirmed the Series D funding of $10.9 million (over 155 billion Rupiah) led by the previous leading investor in its Series B round, SBI Group, and Bee Accelerate. This round also participated by other investors, such as Beenos Asia, ICMG Partners, and Arbor Venture.

With the additional funds, Ralali has managed to raise a total $33.4 million (more than 476 billion Rupiah) since its establishment. The company announced the series C round in July 2019 worth of $13 million. The leading investors in this round including Arbor Ventures, TNB Aura, and ZIGExN Co., Ltd. founder, Jo Hirao.

Ralali’s Founder and CEO Ralali Joseph confirmed the news to DailySocial. “This [funding] has been finalized a few months ago,” he said.

Ralali’s nine years operation

Ralali started its business as a B2B marketplace in 2013 and is now engaging in various lines outside the marketplace to become a group. Ralali Group aims to be a one stop solution for business ecosystem. Moreover, the company focused on providing for the business players, therefore, all channels are focused on user suppliers and business players.

Along with the growing market demand and business opportunities, Ralali Group develops business solutions to help business people build reputations and develop networks in the digital era. Today’s marketplace platform is equipped with various business solutions, from financial (paylater), logistics, MSME support, and enablers, the result of partner collaborations.

Ralali Connect is one of them, a platform aimed to provide MSME players with digital storefront and to connect with various communities with related business interests. There is also Ralali Agent as an on-demand business platform, a solution to find additional income for the community in order to help businesses grow by providing collaboration between digital technology and the workforce in conducting O2O (offline-to-online) processes.

Next, the Ralali Solution Center as a forum for business players still doing the offline appproach to join as a Ralali.com seller, therefore, they can market the products online. Ralali Solution Center is a bridge between sellers and corporations or clients of Ralali.com. Clients or buyers can make purchases via RFQ (Request For Quotation), one of the superior features of Ralali.com.

The next newly released innovation is the Ralali Business Collection to create opportunities for people who are planning to start a business, offering business packages and wholesale prices. This opportunity is open for all kinds of businesses, including coffee, basic necessities, contemporary drinks, and automotive.

Apart from that, the company has penetrated the health segment by producing Primero masks and presenting a tech-based clinic called Neoclinic. It provides antigen swab services, rapid tests, drive thru or home services, and releases vitamin products. The company has also entered the Indonesian porang (konyaku) processing industry with FITMEE, a low-calorie healthy instant noodle. Ralali acquired FITMEE from The Fit Company and already make an announcement on the company website.

In the latest data, Ralali.com is said to have more than 1.3 million registered users, more than 20,000 vendors, 360 thousand products, and more than 6 million monthly visits from all over Indonesia.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Ralali Konfirmasi Raih Pendanaan Seri D 155 Miliar Rupiah Dipimpin SBI Group dan Bee Accelerate [UPDATED]

Startup B2B marketplace Ralali mengonfirmasi perolehan pendanaan Seri D senilai $10,9 juta (lebih dari 155 miliar Rupiah) yang dipimpin oleh SBI Group, investor sebelumnya yang memimpin putaran Seri B, dan Bee Accelerate. Kemudian diikuti oleh jajaran investor lainnya, seperti Beenos Asia, ICMG Partners, dan Arbor Venture.

Dengan penambahan dana tersebut, sejak Ralali dirintis hingga kini berhasil mengumpulkan perolehan dana lebih dari $33,4 juta (lebih dari 476 miliar Rupiah). Putaran seri C diumumkan oleh perusahaan pada Juli 2019 sebesar $13 juta. Investor yang memimpin dalam putaran tersebut adalah Arbor Ventures, TNB Aura, dan founder ZIGExN Co., Ltd., Jo Hirao.

Kepada DailySocial.id, Founder dan CEO Ralali Joseph memberikan konfirmasi atas kabar tersebut. “[Pendanaan] ini sudah dari beberapa bulan lalu,” ucapnya.

Perkembangan sembilan tahun Ralali

Ralali mengawali bisnisnya sebagai B2B marketplace sejak 2013 dan kini menggurita ke berbagai lini di luar marketplace menjelma menjadi sebuah grup. Ralali Group bertujuan menjadi one stop solution bagi pelaku bisnis. Selain itu mereka berfokus untuk memenuhi kebutuhan usaha para pelaku bisnis, sehingga semua kanal berfokus pada user supplier dan pelaku bisnis.

Seiring dengan permintaan pasar dan peluang usaha yang terus berkembang, Ralali Group mengembangkan solusi usaha untuk membantu pelaku bisnis membangun reputasi serta mengembangkan jaringan di era digital. Platform marketplace yang dimiliki kini sudah dilengkapi dengan berbagai solusi bisnis, mulai dari finansial (paylater), logistik, dukungan UMKM, dan enabler, hasil kerja sama dengan para mitra.

Salah satunya Ralali Connect, yaitu berupa platform yang ditujukan kepada para pelaku UMKM untuk dapat memiliki digital storefront serta terhubung dengan berbagai komunitas yang memiliki minat usaha sesuai dengan pengguna. Kemudian, Ralali Agent sebagai on-demand business platform menjadi solusi untuk mencari penghasilan tambahan bagi masyarakat sehingga membantu bisnis tumbuh dengan memberikan kolaborasi antara teknologi digital dan tenaga kerja dalam melakukan proses O2O (offline-to-online).

Berikutnya, Ralali Solution Center sebagai wadah bagi para pelaku usaha yang masih berjualan secara offline dapat bergabung menjadi seller Ralali.com, sehingga dapat memasarkan produknya secara online. Ralali Solution Center menjembatani antara seller dengan korporasi atau klien dari Ralali.com. Klien ataupun pembeli dapat membuat permintaan barang melalui RFQ (Request For Quotation), salah satu fitur unggulan dari Ralali.com.

Inovasi yang baru dirilis berikutnya adalah Ralali Business Collection untuk membuka kesempatan bagi masyarakat yang sedang berencana memulai bisnis dengan tawaran paket usaha dan harga grosir terbaik. Peluang ini terbuka untuk bisnis kopi, sembako, minuman kekinian, dan otomotif.

Di luar itu, perusahaan merambah segmen kesehatan dengan memproduksi masker Primero dan menghadirkan Neoclinic, klinik berbasis teknologi. Klinik tersebut menyediakan layanan swab antigen, rapid test, drive thru, hingga home service, juga merilis produk vitamin. Juga, masuk ke industri pengolahan porang (konyaku) Indonesia dengan perkenalkan FITMEE, mie instan sehat berkalori rendah. FITMEE diakuisisi oleh Ralali dari The Fit Company dan diumumkan dalam situs perusahaan.

Dalam data terakhir, diklaim Ralali.com telah memiliki lebih dari 1,3 juta pengguna terdaftar, lebih dari 20.000 vendor, 360 ribu produk, dan lebih dari 6 juta kunjungan setiap bulannya dari seluruh Indonesia.

*) Kami menambahkan konfirmasi langsung dari manajemen Ralali terkait pendanaan Seri D

Sejumlah Startup Masih Terus Kembangkan Fitur Uang Elektronik “Closed Loop”

Meskipun sempat menjadi polemik, eksistensi uang elektronik berkonsep closed loop tetap berkembang , khususnya di antara startup non-finansial. Dengan konsep closed loop, uang elektronik (biasanya berbentuk kredit) bisa digunakan untuk bertransaksi di dalam platform (internal) saja dan memiliki nominal dana kelolaan dengan limitasi tertentu.

Menurut CEO Dana Vincent Iswara, salah satu platform uang elektronik (open loop) terdepan di Indonesia, perkembangan platform uang elektronik closed loop ini bisa dianggap sebagai hal positif. Salah satunya adalah semakin terbiasanya konsumen berbelanja secara digital.

“Konsep transaksi digital yang makin banyak diadopsi oleh masyarakat ini menjadi pertanda bahwa masyarakat tidak lagi resisten dengan transaksi nontunai. Kecenderungan mereka untuk memiliki lebih dari satu aplikasi dalam ponsel mereka pun harus disambut dengan baik, dengan begitu kita bisa sama-sama melihat kemampuan mereka beradaptasi,” kata Vincent.

Potensi platform berbasis closed loop

Salah satu platform yang mengembangkan konsep closed loop ini adalah Strongbee melalui Strongbee Credit. Menurut Founder Strongbee Farah Suraputra, sejak diluncurkan bulan Juli 2020 lalu, saat ini penggunaan Strongbee Credit komposisinya 50-50% dibandingkan dengan pilihan pembayaran lainnya.

Strongbee mengembangkan fitur Credit untuk mempermudah pengguna bertransaksi di dalam aplikasi. Fitur ini sangat mendukung promosi-promosi perusahaan, misalnya in-app purchase yang lebih murah jika menggunakan Strongbee Credit dibanding metode pembayaran lainnya.

“Sampai saat ini Strongbee Credit hanya bisa digunakan untuk transaksi booking di aplikasi Strongbee. Strongbee Credit itu bukan berupa dompet digital karena Strongbee Credit tidak bisa diuangkan. Bentuknya juga closed loop, hanya bisa untuk pembayaran dari pelanggan ke kita dan bukan untuk pembayaran dari kita ke partner,” kata Farah.

Sementara menurut CEO D-Laundry Ridhwan Basalamah, D-Pay, yang sebelumnya bernama D-Wallet, digunakan untuk mengisi D-Laundry Coin.

“[..] D-Pay yang sudah terhubung ke berbagai bank, fintech, dan instansi layanan masyarakat sehingga pengguna D-Laundry memiliki banyak pilihan untuk melakukan pengisian D-laundry Coin,” kata Ridhwan.

D-Pay disebut dirancang untuk melengkapi ekosistem yang sudah ada. Selain bekerja sama dengan platform pembayaran yang sudah ada, D-Pay berkomitmen merambah kolaborasi ke berbagai instansi untuk memudahkan konsumen menggunakan layanan ini.

Sementara semenjak diluncurkan Oktober 2018 lalu, perkembangan Ralali Wallet diklaim mendapatkan feedback positif. Sampai Q3 2020 terdapat lebih dari 200 ribu pengguna Ralali yang sudah mengaktifkan fitur ini. Kontribusi metode pembayaran melalui wallet ini rata-rata 30,13% dari jumlah transaksi setiap bulannya. Angka ini yang mendorong pihak internal untuk melakukan banyak pembaruan fitur.

“Pada awal peluncuran Wallet, fitur ini [..] sesuai visi untuk memberikan solusi untuk market B2B di Indonesia khususnya di area financial business. Fitur ini bisa memudahkan Ralali users untuk melakukan pembayaran order pesanan mereka secara cepat dan terintegrasi. Akun wallet ini juga bisa menjadi wadah untuk menerima cashback promo untuk loyal user Ralali,” kata CTO Ralali Irwan Suryady.

Ralali melihat aspek finansial adalah salah satu hal fundamental di pasar B2B. Ralali Wallet berencana memperkuat KYC dan KYB pengguna dengan standarisasi yang berlaku. Ralali Wallet akan menjadi wadah disbursement untuk pilihan pembayaran paylater yang terkoneksi dengan beberapa mitra fintech.

Regulasi

Saat ini D-Pay sudah memiliki lisensi dari Bank Indonesia sehingga mempermudah D-Laundry memperluas fungsi uang elektronik closed loop ini untuk

“Ekspansi kami baru dimulai pada awal tahun 2020 ini sejak diluncurkannya fitur pembayaran cashless, yang sebelumnya [..] hanya bisa melakukan pembayaran secara tunai. Tahun ini, kami mendapatkan lisensi dari Bank Indonesia untuk D-Pay dan diterapkan kepada seluruh produk dan layanan kami,” kata Ridhwan.

Sementara Strongbee belum berniat mendaftarkan fitur miliknya ke regulator.

“Fungsi dari dompet itu sendiri untuk setiap dana yang diisikan hanya bisa dipakai untuk booking atau pemesanan saja. Sehingga setiap transaksi akan jadi lebih mudah, lebih ringkas, dan instan dibandingkan pembayaran menggunakan payment method lainnya. Pengguna pun bisa menikmati tambahan dana, senilai 40% dari nilai yang dibayarkan,” kata Farah.

Pandangan Bukalapak, Warung Pintar, dan Ralali tentang Konsep “Full Remote Working” Permanen

Sejak Juni lalu, perusahaan di Indonesia memulai adaptasi terhadap situasi new normal. Sejumlah perusahaan sudah mulai membuka kembali kantornya dengan mematuhi protokol kesehatan, namun masih banyak perusahaan yang tetap menerapkan kebijakan Work From Home (WFH).

Bagi sejumlah perusahaan, penerapan WFH menjadi tantangan besar untuk mengelola sumber daya dan produktivitas yang sama seperti bekerja di kantor. Padahal situasi ini kemungkinan bakal terus berlanjut, bahkan menjadi permanen.

Muncul konsep baru, yang sedikit berbeda dengan WFH, yang disebut Full Remote Working (FRW). Laporan Gartner per Maret 2020 yang menyurvei 317 senior finance leader menyebutkan sebanyak 74 persen responden berencana shifting untuk menerapkan FRW secara permanen selama dan pasca pandemi Covid-19.

Apakah FRW menjadi jawaban bagi tren bekerja ke depan?

FRW vs WFH

Secara umum, baik FRW maupun WFH memampukan para pekerja profesional untuk bekerja di luar lingkungan perkantoran. Kedua term ini seringkali dianggap sebagai konsep kerja yang sama. Sesungguhnya keduanya memiliki perbedaan mendasar, yakni lokasi dan jam kerja.

WFH secara harafiah dapat berarti bekerja dari tempat tinggal mereka, baik itu rumah, apartemen, atau residensi lain. Model kerja ini kian familiar pasca-pemerintah menetapkan kebijakan kerja dari rumah dan pembatasan sosial empat bulan lalu.

Sebaliknya, FRW banyak diadopsi full time freelancer yang jam kerjanya tidak terikat waktu dan dapat dilakukan di mana saja. FRW juga populer di kalangan industri startup sebagai salah satu cara mereka untuk mendorong agility pada pengembangan produk/inovasi.

Seiring berkembangnya teknologi digital, pandangan terhadap konsep FRW dan WFH semakin kabur. Hal ini karena semakin banyak kehadiran platform digital yang mendukung produktivitas bekerja WFH dan FRW, misalnya Google Meet, Zoom, Slack, dan Asana.

Di sesi “Life After COVID-19: Indonesian Startup Adapts to Full Remote Work Permanently”, CEO Campaign.com William Gondokusumo menilai perbedaan kedua model kerja ini tidak sebatas pada lokasi dan jam kerja. Misalnya jam kerja WFH terikat jam kantor, kegiatan meeting WFH umumnya dilakukan secara lisan melalui video call, dan pengenalan tim/proyek juga memakan waktu lalu karena perlu ada briefing.

Sementara FRW fokus pada kualitas kerja dengan jam kerja yang disesuaikan dengan waktu masing-masing sesuai kebijakan kantor (termasuk apabila jika ada perbedaan zona waktu). Proses rekrutmen pun dilakukan sepenuhnya secara remote.

Perbedaan mencolok lainnya adalah kegiatan meeting dapat dilakukan secara tertulis menggunakan Slack atau Google Docs. Bahkan meeting dapat diikuti semua orang secara online meskipun berada di tempat yang sama.

Kendati FRW menawarkan banyak nilai tambah, William menilai bahwa penerapan FRW membutuhkan komitmen kuat dan kesiapan infrastruktur yang matang. FRW juga dinilai tidak bisa diaplikasikan begitu saja bagi sejumlah sektor bisnis.

We should not bring office to home. Ketika bekerja, kita sudah mengganti pola pikir. FRW itu orientasinya sudah sepenuhnya kerja berbasis online. Makanya, FRW menjadi sebuah komitmen besar,” ungkapnya.

Pada kesempatan sama, HR Podcaster askHRlah Monica Anggar menilai WFH menawarkan nilai tambah karena karyawan karena mengurangi biaya transportasi dan menekan stres akibat macet di perjalanan.

Namun, WFH memiliki kekurangan karena perusahaan belum siap mengeluarkan aset (komputer, kamera, dan lain0lain) ke luar kantor dalam jangka waktu lama, adanya pengeluaran biaya lebih (pulsa telepon dan paket data), dan kesulitan menghasilkan output kerja yang sama dengan bekerja di kantor.

Komunikasi paling utama

Sejumlah perusahaan, baik korporasi maupun startup, sama-sama menerapkan WFH atau FRW sebagai bentuk penyesuaian terhadap situasi pembatasan sosial. Bagaimana startup Indonesia merefleksi penerapan WFH?

CEO Bukalapak Rachmat Kaimuddin mengatakan, saat ini pihaknya masih menerapkan kebijakan WFH/FRW dan bekerja dari kantor dengan ketentuan protokol new-normal. Sebelum pandemi, operasional Bukalapak dijalankan melalui kantor. Kebijakan bekerja dari kantor saat itu dinilai  dapat menambah efektivitas kinerja dan efisiensi komunikasi, mengingat kantor Bukalapak sempat berada di 28 titik berbeda.

Selama WFH/FRW, pihaknya fokus membantu lebih banyak lagi UMKM untuk onboard, dan melengkapi SKU–baik itu barang maupun jasa. Kehadiran platform/aplikasi digital sangat bermanfaat untuk berkomunikasi saat WFH/FRW maupun membuat perencanaan dan evaluasi rutin meski tidak bertemu tatap muka dalam bekerja.

“Kami menyadari bahwa melakukan komunikasi secara intensif dan optimistis baik kepada para pelapak, mitra maupun karyawan Bukalapak merupakan salah satu upaya kami dalam menjaga performa bisnis,” ujarnya kepada DailySocial.

Pada pengalaman Warung Pintar, perusahaan telah menerapkan kebijakan remote working pada level senior di divisi Engineering dan Product sejak lama. Dengan catatan, karyawan harus tetap berkoordinasi selama Work From Anywhere (WFA) dan remote working. Sekitar 10 persen dari total 109 karyawan di Engineering dan Product telah menjalankan remote working sebelum pandemi karena infrastruktur pendukung sudah siap.

Selama periode tersebut, CEO & Co-Founder Warung Pintar Agung Bezharie Hadinegoro juga menyoroti pentingnya komunikasi terhadap keberlangsungan WFH/FRW. Ia menilai terlalu banyak komunikasi lebih baik daripada tidak ada sama sekali.

Pada awal penerapan WFH/FRW di divisi non-operasional, tantangannya lebih banyak terasa karena ada penyesuaian terhadap pola kerja karyawan. Contoh paling banyak ditemui adalah ruang kerja dan koneksi yang kurang mumpuni, menghambat komunikasi. Ada juga masalah pendekatan ke user bagi tim yang tidak biasa turun ke lapangan.

Sementara CEO Ralali Josep Aditya juga menyoroti bagaimana mengatur ekspektasi bersama selama masa pandemi. Ekspektasi ini untuk memaksimalkan KPI dengan tolok ukur yang lebih result-driven. Artinya, perusahaan tidak lagi berkutat pada aspek kehadiran sehingga kegiatan meeting menjadi lebih efisien.

Selain itu, Joseph juga melihat bagaimana kegiatan bisnis belum terbiasa dengan distance culture. Pada aktivitas yang berkaitan dengan legal, seperti tanda tangan nota kesepakatan, interaksi tatap muka sangat diutamakan.

“Demikian halnya dengan investor. Untuk mencapai decision making, biasanya beberapa investor dari negara Asia masih mengutamakan tatap muka. Dengan kondisi pandemi, kami harus lakukan penyesuaian,” ungkap Joseph.

Ralali telah menerapkan remote working untuk divisi Tech. Namun, kebijakan ini baru diberlakukan untuk divisi lain selama periode Maret-Mei. Sekarang, semua karyawan bekerja di kantor dengan protokol kesehatan.

Tren FRW bagi pelaku startup

Menurut Bukalapak, tren FRW bisa saja diterapkan asalkan menggunakan metode parsial. Artinya, perusahaan memberikan opsi untuk bekerja di rumah atau kantor apabila dibutuhkan. Rachmat mengungkap, metode ini dapat menjadi satu solusi untuk mengombinasikan model kerja terbaik, terutama di situasi semacam ini.

Menurutnya, model ini sangat memungkinkan bagi perusahaan mengingat Bukalapak kini telah memiliki kurang lebih 2.000 karyawan. Dengan kata lain, karyawan memiliki kesempatan bekerja remote secara terbatas.

“Selama empat bulan terakhir ini kami telah beradaptasi dan melakukan pembelajaran dalam melakukan remote working. Ada dampak positif terhadap  karyawan. Tapi kami sadar mereka juga butuh interaksi sosial. Jadi kami memberikan kesempatan face to face meeting, dengan memperhatikan protokol kesehatan dan kebersihan di kantor,” jelas Rachmat.

Bagi Warung Pintar, Agung mengaku tak menutup kemungkinan tren bekerja bakal bergeser ke depannya. Menurutnya, tren ini dapat dirangkul selama perubahan tersebut bisa  berdampak positif bagi perusahaan, kesejahteraan Juragan, dan produktivitas karyawan. Itupun dengan catatan adaptasinya tidak berdasar pada satu skenario saja, tetapi juga beragam skenario yang tidak dapat dikontrol.

Menurutnya, perusahaan perlu adaptif, relevan, dan efisien demi menunjang produktivitas dan pertumbuhan bisnis. “Bagi kami, komunikasi lisan maupun tertulis, masih menjadi kunci utama terciptanya kondisi kerja yang ideal, terlepas WFH/FRW atau tidak. Dengan sistem squad dan tribe yang telah kami miliki, koordinasi proyek menjadi lebih cepat tanpa perlu ada centralized order,” pungkasnya.

Joseph menilai bahwa penerapan FRW membutuhkan komitmen besar dari setiap divisi/departemen untuk mempersiapkan infrastruktur dan proses bisnis. Meskipun demikian, konsep FRW berpotensi untuk dijalankan mengingat penyesuaian sangat diperlukan sesuai kondisi pekerjaan dan tuntutan zaman.

“Dalam satu hingga dua tahun ke depan, kami masih menggali dan belajar apakah sistem [remote working] ini relevan dengan berbagai role dan fungsi pekerjaan terkait,” papar Joseph.

Ralali Targetkan Balik Modal dalam Satu Tahun ke Depan

Kondisi pandemi memaksa platform marketplace B2B Ralali memilih jalan yang lebih konservatif. Founder dan CEO Ralali Joseph Aditya menegaskan bahwa untuk saat ini tak akan ada ekspansi atau pengeluaran yang gila-gilaan dari perusahaan di masa tak menentu seperti ini.

Patut diingat e-commerce B2B seperti Ralali ini merupakan salah satu yang paling terdampak dari lesunya ekonomi selama wabah Covid-19 melanda dunia. Lemahnya daya beli masyarakat dan rusaknya rantai pasokan bisnis memaksa Ralali untuk lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan. Masih segar di ingatan bagaimana startup marketplace B2B Stoqo gulung tikar pada April lalu.

Kehati-hatian dalam menghadapi potensi krisis tercermin dari ucapan Aditya. Dalam konferensi pers virtual siang tadi, Aditya menekankan bahwa selain tak akan ada pengeluaran besar-besaran, keputusan mereka harus berorientasi untung.

“Intinya yang kami lakukan itu membuahkan revenue atau return. Artinya semua cost yang berubah seperti variable cost harus bisa diukur menjadi revenue. Sementara untuk yang menjadi operasional harus dioptimalkan bertahan tidak naik drastis,” jelas Aditya.

Dengan kerangka berpikir demikian, Aditya berani memasang target Ralali memperoleh break even point sebelum ulang tahun perusahaan berikutnya. “Kami inginnya bukan jadi e-commerce yang bakar-bakar duit, tapi menjadi e-commerce yang profitable,” imbuh Aditya.

Sumber keyakinan Aditya berasal dari kenaikan e-commerce B2B yang selama ini selalu didominasi oleh e-commerce B2C. Edukasi produk dan teknologi yang cukup lama dari para pelaku B2C menurutnya membantu Ralali dikenal lebih cepat oleh target pengguna.

Strategi bisnis ke depan

Ralali yang baru berusia 7 tahun sekarang punya sejumlah strategi untuk bertahan dari kencangnya guncangan ekonomi akibat pandemi. Salah satu di antaranya adalah dengan merancang hyperlocal business. Konsep ini memungkinkan satu titik bisa menyuplai kebutuhan bisnis di radius 15-20 kilometer.

Strategi lain yang diutamakan oleh Ralali adalah pendanaan UKM. Bedanya pendanaan yang disediakan oleh Ralali berbentuk barang. Menurut Aditya, pendanaan jenis ini dibutuhkan oleh para UKM yang kesulitan beroperasi kembali.

“Kita punya tim di lapangan untuk profiling yang nanti kita bisa beri bantuan dana dalam bentuk supply chain financing atau dengan kata lain pendanaan dalam bentuk barang. Jadi nanti dikasih barangnya dulu, lalu ketika produknya sudah terjual baru mereka bisa bayar ke kami,” terang Aditya.

Guna melewati masa-masa sulit saat ini, Ralali juga meluncurkan kampanye untuk mendukung dan menggandeng UMKM kembali bangkit. Kampanye tersebut meliputi promo, diskon, ongkir gratis, yang bisa dinikmati pembeli di platform Ralali.

Selama 7 tahun beroperasi, Ralali tercatat digunakan lebih dari 11.000 pemasok dan 160.000 UMKM. Angka-angka tersebut menjadikan Ralali sebagai salah satu e-commerce B2B terbesar di Indonesia.

Application Information Will Show Up Here

Marketplace E-Procurement Bisa Jadi Vertikal Bisnis Menjanjikan

Digitalisasi menghampiri berbagai macam aspek bisnis, termasuk sistem pengadaan atau procurement. Kini perkembangan teknologi sudah sangat memungkinkan rantai ekosistem terkait untuk melakukan pengadaan secara online atau digital. Istilah umumnya adalah e-procurement. 

Sejumlah decision maker di perusahaan mungkin berpikir akan sulit bagi organisasinya mempelajari bagaimana e-procurement bekerja. Kendati demikian, tak sedikit juga perusahaan yang beralih ke sistem ini karena sejumlah keunggulannya, seperti efisien waktu hingga transparansi yang tinggi.

Di Indonesia, pemanfaatan e-procurement belum umum mengingat belum banyak perusahaan yang aware terhadap konsep ini. Meskipun demikian, sejumlah perusahaan digital berupaya mengenalkan sistem ini dengan konsep yang mudah diadopsi.

Isu usang korporasi dan penyesuaian B2B

Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah startup di Indonesia mulai melirik e-procurement sebagai vertikal bisnis yang menjanjikan. Layanan e-procurement dinilai layak dijajal karena model bisnis B2B mudah terukur.

Untuk memudahkan penetrasinya di pasar, startup ini menggabungkan konsep veteran di industri digital, yakni e-commerce/marketplace dengan layanan B2B. Secara global, layanan semacam ini telah mengantongi kesuksesan dari pemain besar, seperti Amazon Business dan Alibaba Business.

Menurut radar kami, sejumlah startup Indonesia yang masuk ke bisnis marketplace B2B antara lain Mbiz, Bizzy, Bhinneka, Ralali, Bukalapak, dan ProcurA.

Mbiz, Bizzy, dan Ralali sejak awal menjadikan marketplace B2B sebagai bisnis utamanya. Meskipun demikian, sejak pertengahan 2019, Bizzy mulai pivot dari lini bisnis markeplace e-procurement demi memperkuat ekosistem bisnis dari hulu ke hilir dan terpusat pada B2B saja.

Sementara itu, Bhinneka dan Bukalapak sejak awal merupakan marketplace B2C dan C2C yang mulai mengembangkan vertikal baru ke B2B. Berbeda dengan yang lainnya, ProcurA tidak memiliki marketplace dan fokus ke pengembangan solusi e-procurement untuk perusahaan.

Bisnis marketplace B2B dianggap menjadi konsep yang tepat untuk menuntaskan beragam masalah usang yang terjadi pada korporasi, yakni rendahnya efisiensi dan transparansi.

Dalam wawancara dengan DailySocial, CEO Mbiz Rizal Paramarta menyebutkan rendahnya efisiensi dan transparansi dapat menimbulkan permasalahan baru, yakni proses procurement yang bertele-tele dan terlalu administratif. Ia mencontohkan bagaimana instansi pemerintah membutuhkan berbulan-bulan untuk melakukan pengadaan laptop.

Proses yang bertele-tele ini, ungkap Rizal, sebetulnya berasal dari deretan kegiatan yang panjang, mulai dari perbandingan harga, perbandingan terbuka dan tertutup, pembukaan surat penawaran bersama-sama, belum lagi pengumuman harganya.

“Kami melihat problem transparansi dan proses yang panjang ini dapat diselesaikan dengan solusi digital karena seluruh aktivitas terekam. Jadi tidak ada ruang manipulasi data. Memang proses bertele-tele ini sebetulnya berkaitan dengan hal administratif. Nah, ini cocoknya diotomasi dengan digital,” paparnya.

Sementara Direktur BukaPengadaan Hita Supranjaya menyebutkan, inovasi e-commerce, pembayaran digital, dan logistik mengubah pola perilaku konsumsi secara signifikan. Nah, perubahan ini akhirnya mendorong untuk melakukan penyesuaian dalam hal meningkatkan daya saing dan meningkatkan kecepatan dalam melayani kebutuhan pelanggan.

“Di satu sisi, tantangan perusahaan B2B di sini dalam menghadapi kompetisi pasar global adalah dibutuhkan pengembangan teknologi yang membutuhkan waktu lama dan biaya yang tidak sedikit,” ujarnya beberapa waktu lalu.

Wajah baru industri pengadaan

Secara umum, e-procurement mencakup berbagai rangkaian kegiatan, seperti e-tendering, e-auctioning, manajemen vendor, hingga manajemen kontrak. Di sejumlah model bisnis yang menggabungkan marketplace dan e-procurement, alur pemesanannya tidak serupa dengan layanan e-commerce pada umumnya.

Sebagai gambaran, layanan Mbiz terdapat sejumlah fitur terkait, seperti modul tendering dan contract management yang terintegrasi ke sistem finance accounting. Artinya, tetap ada proses procurement hingga negosiasi yang berlanjut ke tahapan purchase order.

Marketplace B2B menawarkan banyak hal yang dipermudah dengan dukungan teknologi. Dengan “memindahkan” kegiatan pengadaan ke ruang digital, marketplace B2B memudahkan ekosistem terkait untuk dapat bertemu secara seamless, mulai dari klien perusahaan atau pemerintah, prinsipal, vendor, dan logistik.

Selain itu, marketplace B2B dianggap menjadi solusi tepat untuk melakukan kegiatan pengadaan karena efisien secara proses dan lebih transparan. Solusi e-procurement tidak dapat memberikan ruang manipulasi karena seluruh prosesnya berbasis digital. Hal ini dapat menghindari adanya peluang korupsi.

Tak hanya itu, efisiensi dan transparansi akan mendorong efek positif lainnya, seperti meningkatkan produktivitas dengan mengalihkan SDM kepada pekerjaan lain, mempercepat proses transaksi, hingga mengeleminasi kegiatan paperwork berlapis-lapis.

Ekosistem menjadi kunci

Secara model bisnis, marketplace untuk e-procurement dinilai menjanjikan karena umumnya bisnis B2B dapat menjamin pertumbuhan pendapatan dan keuntungan secara terukur. Namun, keberhasilannya tergantung dari bagaimana startup menyiapkan strategi.

Salah satu strategi yang dilakukan Mbiz adalah berkolaborasi dengan Investree sebagai jalan pembuka akses terhadap pembayaran dan pinjaman digital. Masuknya Investree ke dalam lingkaran ekosistem marketplace Mbiz dapat menarik calon pengguna layanan baru tanpa perlu melakukan bakar uang.

Menurut Rizal, startup tidak perlu repot menghabiskan dana untuk mengakuisisi satu pelanggan. Berbeda dengan segmen ritel, nature bisnis B2B tidak bergantung pada adu kuat diskon atau promo harga, namun pada rasionalitas kebutuhan.

Kendati demikian, ia menilai sulit untuk mendorong awareness pasar terhadap layanan marketplace B2B maupun e-procurement. Ia menganggap sektor korporasi belum sadar terhadap pentingnya digitasi proses bisnis. Ini dapat berarti bahwa belum ada komitmen penuh dari para C-Level.

Awareness rendah sehingga adopsi juga rendah. Apalagi, kompetitor kami setop beroperasi. Semakin banyak pemain di sini, justru semakin bagus. It’s an obvious business practice. Lagipula, tidak relevan untuk meningkatkan awareness dengan strategi bakar uang. Target pasar kami rasional dan awareness ini harus di-create dengan cara yang sensible dan smart,” ujarnya.

Salah satu kunci keberhasilan bisnis ini adalah penguatan rantai ekosistem. Sama halnya dengan konsep marketplace B2C yang selama ini kita lihat. “Jika hanya menyediakan solusi e-procurement atau modul saja tanpa marketplace, tidak ada ekosistemnya,” tambah Rizal.

Hal yang sama diungkapkan CEO Bhinneka Hendrik Tio. Menurutnya, pasar Indonesia masih membutuhkan market education terhadap marketplace B2B. Maka itu, membangun ekosistem sesuai karakter dan target pasar menjadi penting untuk dapat meng-enablee supplier dan demand. Adapun, Bhinneka kini telah melayani lebih dari 20.000 korporasi.

“Bisnis ini punya karateristik yang berbeda dengan marketplace biasa, di mana B2B punya tingkat stickiness yang lebih baik dan basket size belanja yang lebih besar. Katakan platform yang lebih mengerti mereka, ekosistem yang lebih menyeluruh hingga value, seperti fulfilment dan after sales pasti membuat pelanggan semakin sticky,” ujarnya.

Peluang terhadap ekonomi digital

Dalam sebuah kesempatan, Institute For Development of Economics and Finance (INDEF) mengungkapkan bahwa solusi e-procurement dapat menjadi salah satu cara untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi digital. Caranya adalah membidik sektor pemerintahan dan korporasi di Indonesia yang selama ini masih rendah dalam mengadopsi solusi digital.

Menurut ekonom INDEF Bhima Yudhistira Adinegara, peluang bisnis ini dapat mendorong realisasi belanja pemerintah lebih cepat terserap tanpa adanya kegiatan administratif yang tidak berujung. Demikian juga, sektor industri yang selama ini belum menganggap pentingnya adopsi digital.

“Dari temuan INDEF dan Google, efek paling besar dapat terasa di sektor manufaktur. Peluang kebutuhan e-procurement besar karena didukung dengan sistem transparan dan efisien. Manfaat ini sebetulnya dapat menstimulus sektor manufaktur untuk mau menggunakan e-procurement,” ujar Bhima beberapa waktu lalu.

Benang merah dari solusi e-procurement adalah biaya yang bisa semakin murah sejalan dengan semakin banyak pemerintahan atau pebisnis yang memakai. Sektor logistik adalah salah satu contoh sektor dengan biaya operasional mahal yang dapat diefisiensikan.

Ralali dan Futuready Sasar Pasar Asuransi B2B untuk UMKM

Ralali resmi mengumumkan kerja samanya dengan Futuready pada Selasa ini. Lewat kerja sama tersebut, Ralali dan Futuready mematok target 1 juta usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), sebagai nasabah asuransi B2B, hingga akhir tahun depan.

“Itu target akhir. Target awalnya 10.000-20.000 dari jumlah UMKM yang ada sudah bisa merasakan asuransi tersebut, tapi tetap target akhirnya 1 juta,” ujar SVP of Financial Business Ralali, Alvin Aulia Akbar.

Penyediaan produk asuransi untuk UMKM menjadi fokus Ralali dalam kerja sama ini. Pertama-tama hal ini tak lepas dari jumlah pengusaha UMKM yang berkisar 60 juta lebih. Sebagian kecil atau tepatnya 8 persen dari jumlah itu belum memanfaatkan layanan digital.

Alvin melanjutkan dalam produk ini UMKM mana pun bisa bergabung dengan membeli produk asuransi mulai dari harga Rp5.000 per bulan. Namun dari sekian banyak UMKM yang ada, mereka mengaku masih berfokus ke UMKM seperti warung, restoran, kafe, hingga toko elektronik.

“Dua segmen ini yang paling potensial di Indonesia, paling tidak ada 5 juta untuk kedua segmen ini,” imbuhnya.

Selain jenis-jenis usaha tersebut COO Ralali Alexander Lukman mengatakan pihaknya juga mempersilakan bagi para pelaku UMKM yang beroperasi mengandalkan gerobak. Dengan asuransi dari Futuready ini, Alex meyakini UMKM dapat terlindungi dari risiko-risiko tak terduga seperti huru-hara, banjir, hingga pemadaman listrik.

“Mungkin tidak semuanya, tapi setidaknya sekitar 70-80 persen bisa ter-cover,” ungkap Alex.

Ada sejumlah faktor yang membuat Ralali dan Futuready yakin produk asuransi mereka dapat dilirik oleh pelaku UMKM. Selain harga yang terjangkau, mereka mengandalkan Big Agent milik Ralali.

Big Agent yang merupakan agen lepas dengan sistem komisi yang melaksanakan tugas promosi, akuisisi, dan survei pasar. Sebanyak 300.000 agen yang biasanya terdiri dari mahasiswa, karyawan, hingga pengemudi ojek online, di seluruh Indonesia inilah yang nantinya memberi pengertian kepada pemilik UMKM untuk melindungi usahanya yang mayoritas merupakan single-income business.

“Mungkin sudah ada rumah toko yang bisa diasuransi. Tapi ini gerobak dan saya kira ini belum ada sebelumnya padahal kita tahu sendiri banyak sekali gerobak UMKM di Indonesia. Makanya untuk aksesibilitas kita mengandalkan Big Agent,” aku Head of Corporate Business Futuready, Gretel Griselda.

Setidaknya ada tiga jenis asuransi yang ditawarkan oleh Ralali dan Futuready ini. Mereka adalah Asuransi Fire yang ditujukan pemilik properti usaha bergerak seperti gerobak, Asuransi Pendidikan untuk melindungi pendidikan anak pemilik usaha, dan Asuransi Perlindungan Bisnis yang dapat membantu pemilik bisnis tetappunya pemasukan meski usaha sedang tidak beroperasi.

Rencana Tahun Depan

Produk asuransi baru ini memantapkan upaya Ralali membangun ekosistem pengembangan bisnis UMKM di platform mereka yang terdiri dari pembayaran, pinjaman, investasi, dan asuransi.

Alex tak menutup kemungkinan tahun depan akan ada perluasan keempat hal tadi dengan menyediakan infrastruktur logistik B2B di platform mereka. Hal ini memungkinkan bagi mereka dengan kembali menggandeng sejumlah penyedia jasa logistik pihak ketiga maupun pengiriman kargo bisnis.

Di samping itu, Ralali juga membuka kemungkinan membuka layanan gudang di platform mereka. Caranya dengan menggandeng mitra startup yang sudah bermain di sektor tersebut

“Saat ini kami sudah ekspansi di 35 kota, per akhir tahun ini akan di 55 kota. Di sana kami akan bangun fulfilment center. Lagi-lagi ini kan industri 4.0, ngakunya punya gudang tapi bukan punya kita. Kita kerja sama dengan mitra di kota tersebut agar bisa melayani lebih cepat dan lebih murah,” pungkas Alex.

Application Information Will Show Up Here

Ralali Tambah Fitur Baru Dukung Kemudahan Transaksi dan Pengembangan Bisnis Mitra

Platform marketplace B2B Ralali merilis tiga fitur baru untuk dukung kemudahan transaksi di dalam platformnya. Perusahaan berambisi menjadi super app yang memiliki berbagai layanan untuk permudah transaksi.

Founder dan CEO Ralali Joseph Aditya menjelaskan, tiga fitur ini hadir dalam situs dan aplikasi Ralali. Pertama adalah Radar (Ralali Darat Air Udara), fitur baru yang akan membantu peran logistik Ralali Kargo untuk terhubung dengan berbagai vendor logistik pengiriman barang di berbagai pelosok, sehingga pengiriman barang pesanan tidak terpusat di satu kota saja.

“Solusi ini menjawab masalah yang sering dikeluhkan pelaku usaha mengenai biaya logistik yang sangat besar,” terangnya, kemarin (30/8).

Fitur kedua adalah Octopus untuk mitra brand dari Ralali. Ini berfungsi memudahkan brand monitor performa produk dan tingkat kebutuhan berbagai daerah terhadap kebutuhan produknya melalui aplikasi keagenan Ralali, bernama Big Agent. Octopus memberikan dampak yang signifikan bagi mitra untuk mengontrol pasar dan distribusi sesuai dengan karakter pembeli di berbagai daerah.

Terakhir, adalah fitur fintech yang di dalamnya ada payment, financing (akses pendanaan), asuransi, dan investasi. Keempatnya difokuskan untuk bantu pengembangan dan perkuat bisnis UKM itu sendiri.

Joseph menjelaskan fitur fintech adalah hasil kolaborasi dengan para mitra penyedia jasa keuangan. Ke depannya perusahaan akan menambahkan digital goods di dalam fitur ini, seperti pembelian pulsa, paket data, PLN, PDAM, BPJS, dan uang elektronik.

“Fitur fintech sudah resmi tersedia, namun baru menyediakan financing dan insurance. Sisanya akan segera menyusul. Demikian pula untuk Radar dan Octopus, keduanya kami rencanakan meluncur sebelum akhir tahun ini.”

COO Ralali Alexander Lukman menambahkan, fitur fintech ini telah dipasarkan oleh para agen ke lebih dari 1.500 pelaku UKM. Total pendanaan yang tersalurkan mencapai Rp18 miliar.

“Pasar yang sebelumnya belum pernah tergarap pun sekarang bisa mendapatkan akses untuk perluasan dan pengembangan,” kata Alexander.

Agen adalah motor pertumbuhan Ralali

Joseph menerangkan jalur keagenan adalah salah satu motor pertumbuhan bisnis di Ralali. Makanya, aplikasi Big Agent diperkuat dengan berbagai fitur untuk dukung produktivitas agen. Dalam pemasaran produk B2B, memang tidak bisa disamakan dengan apa yang dilakukan oleh e-commerce B2C seperti kebanyakan.

Dia melihat, cara paling ampuh untuk mendekati konsumen B2B, terutama UKM yakni dengan menemui langsung di lapangan karena mayoritas dari mereka belum tersentuh oleh teknologi. Secara potensi, e-commerce B2B itu dinilai lebih besar dari B2C, terlebih dari berbagai data menyebut 60% dari total PDB Indonesia ditopang oleh UKM.

“Memang sekarang di Indonesia itu yang lebih besar saat ini adalah B2C. Namun di Tiongkok itu, bisnis B2B itu dua kali lebih besar dari B2C. Artinya, tugas kita masih banyak untuk edukasi ke pasar. Setelah enam tahun berdiri, kami lihat potensi B2B di luar Jawa itu besar, banyak permintaan mau gabung sebagai agen.”

Joseph melanjutkan, “Kehadiran Big Agent membedakan kami dengan e-commerce lainnya, kami mendefinisikan cara baru melakukan bisnis.”

Aplikasi Big Agent ini sebenarnya sudah dirilis sejak tahun lalu. Data terkini menyebut, ada 300 ribu agen tergabung, dengan dominasi di Jabodetabek, Bandung, Surabaya, Malang, Semarang, Padang, dan Palembang.

Mereka tidak hanya pekerja lepas, tapi ada juga dari karyawan, mahasiswa, pelajar, dan pengemudi ojek online. Rentang usianya antara 21-25 tahun. Pekerjaan yang bisa dilakukan para agen melalui aplikasi Big Agent diklaim ada ratusan ribu jenis.

Namun ada tiga layanan pekerjaan untuk pelaku bisnis, yakni survei pasar (14,29%), promosi (74,52%), dan akuisisi (4,25%). Sistem kerjanya fleksibel dan ada komisi yang diberikan tergantung pekerjaan yang diselesaikan.

CTO Ralali Irwan Suryadi menjelaskan, seluruh pekerjaan yang diselesaikan ini akan menjadi data yang diolah sebagai salah satu mesin utama big data untuk mengenali konsumen lebih baik dan memetakan pola transaksi pembeli. Harapannya, dari pengolahan data ini bisa menjadi rujukan tepat sasaran bagi perusahaan untuk memahami berbagai kebutuhan dalam satu ekosistem digital.

Sejauh ini perusahaan telah memiliki 20 layanan dalam ekosistemnya, termasuk di antaranya ketiga fitur baru di atas, dan aplikasi Big Agent. Joseph mengklaim rata-rata jumlah transaksi perusahaan tumbuh hingga empat kali lipat. Bahkan pada tahun lalu, jumlah transaksi secara nominal tembus sekitar Rp10 triliun.

Dia optimis tahun ini pencapaian bisnis bisa naik hingga lima kali lipat dari pencapaian setahun sebelumnya. Perusahaan telah menjangkau lebih dari 750 ribu UKM di 25 provinsi sebagai pembeli. Juga, telah rambah Singapura dan Thailand. Dalam pipeline, perusahaan berencana untuk perluas ke Vietnam dan Filipina.

“Mungkin tahun depan. Ada beberapa negara lain juga, mirip-mirip dengan Indonesia. Di mana negara tersebut banyak penduduknya, butuh pekerjaan juga,” tandasnya.

Selama 6 tahun, Ralali melayani lebih dari 13.000 pemasok (sellers), lebih dari 160.000 pembeli (UKM) dan menangani hampir 300.000 produk (SKU) di dalam platformnya, dengan setengah juta pengguna terdaftar dan lebih dari 5 juta pengunjung bulanan.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Ralali Receives Series C Funding Worth Over 181 Billion Rupiah

The B2B marketplace, Ralali announced Series C funding worth of $13 million (equivalent to 181.9 billion Rupiah) led by Arbor Ventures, TNB Aura, and ZIFExN Co., Ltd., founder, Jo Hirao. As previous investors, AddVentures and Qualgro also participate in this round.

Ralali‘s CEO, Joseph Aditya explained the fresh funding is to be used for technology development and team building to accelerate market penetration. Also to make innovation for SMEs to get better in the business assessment.

The thing is, business players in this segment have no access to the distribution of assessment, finance, logistics, and others. It’s because they have no information regarding technology and economic scale for data management and reporting. While we have more than 60% SMEs, only 8% of those aware of digital technology.

“This funding is to support us in building better technology and team to assist millions of Indonesian SMEs for business assessment through Ralali. With us being the ‘super app’, buyers in segmented business can have curated and related solutions for assessment, finance, and logistics,” he stated officially.

There are 12 thousand suppliers have been connected through the company, including big brands as Unilever, Food Solutions, PaperOne, Asus, and many more. More than 160 thousand entrepreneurs have been using Ralali, maintaining almost 300 SKU products in the platform.

Around 500 thousand SMEs registered into the platform with more than 5 million visitors per month.

Innovation has made to reach out to entrepreneurs by presenting BIG Agent, on-demand freelancers to work on the survey and market education to “go digital”. There are currently 120 thousand agents around Jakarta, Java, Sumatra, and Kalimantan.

Ralali was created as a one-stop solution for SMEs to book, look for a business assessment, micro-lending product, and term of payment. There are 1,500 SMEs have been using the financial solution.

Ralali is said to have significant GMV as 5 times over the last year and up for 3-4 times this year.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here