Berdesain Elegan, Razer Opus Unggulkan Active Noise Cancelling dan Sertifikasi THX

Jujur saya agak kaget melihat nama Razer terpampang pada perangkat di atas. Pasalnya, sebagian besar produk produsen periferal tersebut biasanya berdesain agak norak dan selalu dihiasi pencahayaan warna-warni alias RGB.

Namun headphone ini tidak demikian. Andai tak ada label Razer di headband-nya, mungkin saya bakal mengiranya sebagai headphone noise cancelling bikinan Sony. Dan kebetulan active noise cancelling (ANC) memang merupakan salah satu keunggulan utama perangkat bernama Razer Opus ini.

Kemampuannya mengeliminasi suara di sekitar pengguna itu diwujudkan oleh total empat buah mikrofon. Seperti halnya mayoritas headphone ANC lain yang ada di pasaran, Razer Opus turut dibekali mode transparan atau ambient, yang bekerja berlawanan dengan fitur noise cancelling, mengamplifikasi suara-suara di sekitar supaya pengguna tak harus melepas headphone saat perlu mendengarkan pengumuman atau ada yang mengajak berbicara.

Razer Opus

Mode transparan ini dapat diaktifkan dengan satu klik tombol pada perangkat. Tidak ada kontrol sentuh pada headphone seberat 260 gram ini, semua pengoperasiannya mengandalkan tombol fisik. Fitur auto-pause dan auto-play akan aktif dengan sendirinya saat pengguna melepas dan mengenakan headphone.

Kinerja audionya ditunjang oleh sepasang driver berdiameter 40 mm, lengkap dengan dukungan codec AAC maupun aptX, baik via Bluetooth 4.2 atau via kabel audio standar. Sertifikasi audio THX tidak lupa dijadikan suguhan ekstra, apalagi mengingat THX memang sudah diakuisisi Razer sejak 2016.

Dalam sekali pengisian via USB-C, Opus diestimasikan dapat beroperasi sampai 25 jam pemakaian. Kelemahannya sejauh ini cuma satu: ia hanya tersedia di Tiongkok saja, sama seperti true wireless earphone Pikachu yang Razer rilis belum lama ini. Di sana, Opus dijajakan seharga 1.799 yuan (± Rp 3,9 juta).

Sumber: Engadget.

 

Razer Blade Stealth 13 Kini Hadir dengan GPU GTX 1650 Ti dan Layar 120 Hz

September lalu, Razer menyematkan upgrade terbesar pada ultrabook-nya, Blade Stealth 13. Mereka menanamkan GPU Nvidia GeForce GTX 1650 pada perangkat bertubuh tipis itu, mendongkrak performa gaming-nya secara sangat drastis.

Tahun ini, Blade Stealth 13 kembali menerima penyegaran yang tak kalah signifikan. GPU yang menjadi pilihan kali ini lebih bertenaga lagi, yakni GeForce GTX 1650 Ti. Prosesornya pun juga demikian; meski sepintas terdengar sama – Intel Core i7-1065G7 – yang dipakai kali ini adalah varian yang memiliki TDP 25 W, yang dapat mempertahankan kecepatan maksimumnya lebih lama ketimbang varian yang dipakai sebelumnya (15 W).

Melengkapi spesifikasinya adalah RAM LPDDR4X berkapasitas 16 GB, serta SSD tipe PCIe NVMe 512 GB. Baterainya mempunyai kapasitas 53,1 Wh, dan Razer tak lupa membekali Blade Stealth dengan teknologi Nvidia Optimus, yang memungkinkan perangkat untuk menggunakan GPU bawaan prosesor (yang lebih irit daya) saat tidak sedang dipakai bermain game.

Razer Blade Stealth 13

Layar 13,3 incinya juga ikut menerima pembaruan. Konsumen dapat memilih antara panel 1080p dengan refresh rate 120 Hz, atau touchscreen beresolusi 4K. Kedua jenis panel sama-sama mendukung 100% spektrum warna sRGB.

Satu hal yang saya suka adalah, bezel atasnya masih menyisakan ruang untuk sebuah webcam beresolusi 720p, serta yang dilengkapi sensor infra-merah dan kompatibel dengan Windows Hello. Kalau boleh jujur, saya lebih memilih bezel yang sedikit tebal seperti ini (4,9 mm), tapi posisi webcam-nya tetap ideal, alias bukan di bawah.

Razer Blade Stealth 13

Semua ini dikemas dalam sasis aluminium yang tebalnya cuma sekitar 15,3 cm dan bobotnya kurang dari 1,5 kg. Istimewanya, Razer masih bisa membenamkan empat buah speaker plus sebuah amplifier, dan perangkat juga masih mengemas sepasang port USB standar sekaligus sepasang port USB-C (salah satunya Thunderbolt 3).

Di Amerika Serikat, Razer Blade Stealth 13 generasi terbaru ini sudah dijual seharga $1.800, atau $2.000 untuk varian yang mengemas layar 4K. Harganya sama persis seperti model sebelumnya yang dirilis belum setahun lalu.

Sumber: Razer.

Razer Luncurkan True Wireless Earphone dengan Charging Case Berbentuk Poke Ball

Charging case merupakan bagian yang tak terpisahkan dari true wireless earphone. Tidak jarang charging case menjadi salah satu nilai jual utama yang ditawarkan, seperti ketika Apple merilis AirPods generasi kedua yang charging case-nya sudah mendukung wireless charging.

Untuk true wireless earphone terbaru Razer berikut ini, charging case-nya malah bisa dibilang merupakan daya tarik utamanya, terutama buat para penggemar Pokemon. Ya, sesuai tebakan, replika Poke Ball tersebut adalah charging case-nya.

Wujud earphone-nya sendiri mirip Razer Hammerhead True Wireless, tapi tentu saja dengan balutan tema Pokemon, spesifiknya Pikachu. Di dalamnya tersimpan driver berdiameter 13 mm, dan secara keseluruhan unitnya tahan cipratan air dengan sertifikasi IPX4.

Razer Pokemon Pikachu True Wireless

Pengoperasiannya mengandalkan panel sentuh di sisi luar masing-masing earpiece, sedangkan konektivitasnya sudah menggunakan Bluetooth 5.0. Sayang daya tahan baterainya jauh dari kata istimewa: 3 jam per charge, sedangkan charging case-nya sanggup menyuplai 12 jam daya baterai ekstra (total 15 jam).

Seperti yang saya bilang, charging case berbentuk Poke Ball itulah yang bakal memikat para konsumen, bukan spesifikasi maupun performa earphone itu sendiri. Satu hal lagi yang sangat disayangkan, belum ada informasi mengenai ketersediaannya di luar Tiongkok. Di Tiongkok, Razer bakal segera menjualnya seharga 999 yuan (± Rp 2,2 juta).

Sumber: Zing Gadget via Gizmodo.

Razer Blade 15 Versi Anyar Andalkan Prosesor 8-Core Terbaru Intel dan GPU RTX 2080 Super

Razer Blade terus mengukuhkan statusnya sebagai MacBook-nya para gamer. Hal ini kembali dibuktikan lewat generasi terbaru Razer Blade 15, yang hadir membawa prosesor generasi ke-10 Intel dan GPU Nvidia RTX Super.

Spesifiknya, Blade 15 mengemas prosesor Intel Core i7-10875H yang berinti delapan dan memiliki kecepatan maksimum 5,1 GHz pada varian termahalnya. GPU yang digunakan adalah GeForce RTX 2080 Super tipe Max-Q yang ditujukan untuk laptop berbodi tipis, dan yang performanya diklaim 25% lebih kencang ketimbang model non-Super.

Setipis apa memangnya? 17,8 mm, dengan bobot sekitar 2,2 kg. Melengkapi spesifikasinya adalah RAM 16 GB dan SSD tipe NVMe PCIe berkapasitas 1 TB. Baterainya punya kapasitas 80 Wh, dan dapat di-charge via USB-C ketika sedang tidak dipakai bermain game.

Razer Blade 15

Layar 15,6 incinya hadir dalam dua varian yang berbeda: touchscreen OLED beresolusi 4K yang mendukung 100% spektrum warna DCI-P3, atau LCD beresolusi 1080p yang dilengkapi refresh rate setinggi 300 Hz. Bezel-nya sama tipisnya (4,9 mm) pada kedua varian.

Versi baru Blade 15 ini juga membawa perubahan yang sepele namun sebenarnya cukup penting, yaitu penyempurnaan layout keyboard. Pada versi-versi Blade sebelumnya, Razer selalu menempatkan tombol panah atas di antara tombol “?” dan “Shift”. Di versi terbarunya, Blade 15 sudah memakai layout yang lebih standar dengan tombol panah atas dan panah bawah yang terbagi dua.

Razer Blade 15

Satu hal yang Blade 15 miliki tapi absen bahkan pada MacBook Pro 16 adalah SD card reader, lebih tepatnya yang mendukung model UHS-III. Selebihnya, konektivitasnya mencakup port HDMI, sepasang port USB-C (salah satunya merupakan port Thunderbolt 3), dan sepasang port USB biasa.

Generasi terbaru Razer Blade 15 kabarnya bakal dipasarkan mulai bulan Mei. Razer belum merincikan harga untuk varian termahalnya, tapi mereka mematok $1.600 untuk varian termurahnya yang mengemas prosesor 6-core i7-10750H, GPU GTX 1660 Ti, SSD 256 GB, layar 144 Hz, dan baterai yang lebih kecil (65 Wh).

Sumber: Razer.

Pada 2019, Razer Mendapatkan Pendapatan Sebesar US$821 Juta

Razer baru saja mengumumkan laporan keuangan mereka untuk tahun 2019. Mereka menyebutkan, jumlah pemasukan mereka naik 15,2 persen dari US$712 juta (sekitar Rp11,3 triliun) pada 2018 menjadi US$821 juta (sekitar Rp13,1 triliun) pada 2019. Meskipun begitu, mereka masih mengalami kerugian sebesar US$83,47 juta (sekitar Rp1,3 triliun). Kabar baiknya, jumlah kerugian yang mereka derita menurun sebesar US$13,5 juta (sekitar Rp215 miliar) jika dibandingkan dengan pada tahun 2018.

“Tahun 2019 adalah tahun yang baik untuk Razer. Pemasukan kami memecahkan rekor, mencapai US$820,8 juta (sekitar Rp13,1 triliun),” kata pendiri dan CEO Razer, Min-Liang Tan dalam pernyataan resmi, seperti yang dilaporkan oleh The Esports Observer. Dia juga mengatakan, jika tak menghitung bisnis smartphone, perusahaannya telah kembali modal pada semester 2 dari 2019.

“Bisnis utama kami di ekosistem gaming mengalami pertumbuhan pesat dalam semua bidang, baik hardware, software, maupun layanan. Sementara itu, kami juga terus menumbuhkan proyek baru kami,” ujar Tan lebih lanjut. Di masa depan, mobile esports menjadi salah satu fokus Razer. Mereka akan memfokuskan investasi mereka ke pengembangan mobile gaming, termasuk untuk membuat platform mobile esports serta turnamen dan tim mobile esports.

Menurut data dari Business Wire, pendapatan Razer dari hardware naik 16 persen pada 2019 menjadi US$714 juta (sekitar Rp11,4 triliun). Sementara pendapatan dari segi layanan naik 55,2 persen jika dibandingkan dengan tahun 2018 menjadi US$77 juta (sekitar Rp1,2 triliun). Bisnis layanan memberikan kontribusi hampir 20 persen dari total keuntungan bersih perusahaan. Untuk masalah software, Razer mengungkap bahwa total pengguna mereka kini mencapai 80 juta orang di seluruh dunia, naik 44,6 persen dari tahun sebelumnya.

pendapatan razer 2019
Bisnis hardware Razer mengalami kenaikan sebesar 16 persen. | Sumber: Razer

Tan juga mengungkap, Razer tidak memiliki utang dan justru memiliki kelebihan kas. Ini memungkinkan mereka untuk bertahan di tengah krisis global yang muncul akibat pandemik virus Corona. Per Desember 2019, Razer memiliki uang kas sebesar US$528,3 juta (sekitar Rp8,4 triliun).

Untuk menekan penyebaran virus Corona, banyak negara di dunia yang menghimbau masyarakatnya untuk tidak keluar rumah atau bahkan melakukan lockdown. Ini menyebabkan banyak pertandingan olahraga yang dibatalkan. Namun, pertandingan esports masih bisa dijalankan secara online. Dan ini bisa membuka peluang bagi para pelaku industri esports. Namun, jika hal ini terus berlanjut, para pelaku esports juga akan terkena dampaknya, seperti yang terjadi pada organisasi esports asal Kanada, Reciprocity.

Dalam laporan keuangannya, Razer juga membahas tentang dampak dari virus Corona. Dalam Q1 2020, mereka melihat bahwa permintaan dari para konsumen masih tetap tinggi. Mereka sempat mengalami kekurangan suplai perangkat, tapi masalah itu telah diselesaikan pada pertengahan Maret. Dan jika masyarakat masih harus melakukan karantina, ini justru dilihat sebagai kesempatan oleh Razer. Memang, sejak masyarakat dihimbau untuk tidak keluar rumah, semakin banyak orang yang bermain game.

Mengintip Bisnis Perusahaan Voucher Game Digital di Indonesia

Dalam 10 tahun belakangan, industri game telah banyak berubah. Tidak hanya dari segi teknologi, tapi juga model bisnis. Jika dulu Anda harus membeli game dalam bentuk fisik — cartridge atau kepingan CD — sekarang, Anda bisa membeli game di toko digital, seperti Steam. Setelah game dibeli, Anda cukup mengunduhnya ke komputer atau konsol.

Sementara itu, dari segi model bisnis, kreator game sekarang tidak hanya mendapatkan pemasukan dari penjualan game. Terkadang, game bisa dimainkan secara gratis, tapi ada microtransaction dalam game. Item yang dijual dalam game memiliki fungsi yang berbeda. Ada yang memang berfungsi sebagai powerup, ada juga yang hanya menjadi item kosmetik. Dota 2 dan PUBG Mobile adalah contoh game yang bisa dimainkan gratis tapi menawarkan pembelian dalam game. Selain itu, publisher game sekarang juga bisa menggunakan sistem berlangganan, sehingga sebuah game masih bisa terus menghasilkan pendapatan walau telah diluncurkan beberapa tahun lalu.

Segala sesuatu yang serba digital memang memudahkan gamer untuk membeli game atau item dalam game. Masalahnya, kartu kredit adalah salah satu metode pembayaran utama. Sementara, di Indonesia, pengguna kartu kredit masih sangat sedikit. Menurut Asosiasi Kartu Kredit Indonesia, per 2019, jumlah pengguna kartu kredit Indonesia hanya mencapai 17,48 juta orang. Sementara populasi di Indonesia mencapai 267 juta orang. Itu artinya, jumlah pengguna kartu kredit di Indonesia hanya mencapai 6,55 persen dari total populasi. Untungnya, seiring dengan berkembangnya teknologi, opsi pembayaran untuk membeli game atau item game di Indonesia juga bertambah.

Pada awalnya…

Pada awal tahun 2000-an, ketika game-game MMORPG sedang populer, voucher game masih berupa voucher fisik. Anda bisa membelinya langsung di warnet tempat Anda bermain. Setelah itu, mulai muncul berbagai situs yang menjual voucher game, seperti GudangVoucher, Indomog, dan UniPin. Kemudian, perusahaan telekomunikasi mulai menawarkan metode pembayaran dengan potong pulsa. Sekarang, metode pembayaran untuk membeli game atau item dalam game sudah semakin beragam, mulai dari voucher fisik (ya, ini masih ada), pembayaran di Indomaret/Alfamart, internet/SMS banking, sampai berbagai layanan pembayaran digital, seperti GoPay dan OVO.

Kali ini, kami akan mengintip dari 3 pelaku industri payment gateway yang menjual voucher game sebagai produk layanan mereka.

Pada awalnya, UniPin hanya menjual voucher fisik untuk game. Sekarang, bisnis utama UniPin masih tetap menjual voucher game, hanya saja, dalam bentuk digital. Dengan kata lain, UniPin adalah salah satu tempat untuk top up game. Saat mengobrol dengan Poeti Fatima Arsyad, Senior VP Marketing, UniPin di kantor tempatnya bekerja, dia menjelaskan, UniPin adalah agregator, mempertemukan para publisher game dengan payment channel. Ini memudahkan para gamer untuk membeli item dalam game menggunakan metode pembayaran apapun mereka mau. Selain top up game, Anda juga bisa melakukan pembayaran untuk berlangganan produk digital lain di UniPin, seperti Netflix dan Spotify.

UniPin menjadi situs aggregator. | Sumber: UniPin
UniPin menjadi situs aggregator. | Sumber: UniPin

Perempuan yang akrab dengan panggilan Poeti ini menjelaskan, untuk dapat menjadi agregator, UniPin harus menggandeng berbagai perusahaan penyedia layanan pembayaran. Namun, mereka tidak mau sembarangan menerima metode pembayaran baru yang ada. “Ngomongin soal payment channel, kita nggak serta merta semua dimasukin. Kalau misalnya, ada yang tidak lulus OJK (Otoritas Jasa Keuangan), kita nggak mau. Kita nggak sembarangan,” katanya. Walau sudah pilih-pilih sekalipun, dia mengaku, metode pembayaran di Indonesia memang sangat banyak, lebih dari lima puluh metode pembayaran. “Kita kan negara dengan populasi terbesar ke-4 di dunia, jadi sangat normal kalau metode pembayarannya banyak.”

Selain pengakuan OJK, ada beberapa hal lain yang UniPin perhatikan sebelum mereka menerima metode pembayaran. Dua di antaranya adalah traction dan model bisnis dari sebuah payment channel yang hendak bekerja sama. Meskipun begitu, Poeti mengatakan bahwa mereka tidak memiliki persyaratan tertentu terkait jumlah transaksi atau jumlah pengguna sebuah ewallet.

“Kita nggak punya persyaratan jumlah pengguna. Itu tergantung dari proses negosiasi untuk commercial term-nya bagaimana. Karena, bagi kami, mereka adalah strategic partner kami. Tanpa mereka, kami juga tidak bisa jalan,” katanya.

GoPay mengumumkan ketersediaan sebagai opsi pembayaran terbaru di Google Play Store
GoPay mengumumkan ketersediaan sebagai opsi pembayaran terbaru di Google Play Store.

Dari semua metode pembayaran yang ada di Indonesia, Poeti bercerita bahwa OVO dan GoPay adalah metode pembayaran yang paling sering dipakai. Alasannya karena dua metode pembayaran sangat simpel. Anda bisa melakukan pembayaran via smartphone Anda. Sementara untuk bank, BCA adalah bank yang paling sering digunakan di kalangan pengguna UniPin. Dia menjelaskan, “Di sini, bank paling besar itu apa? BCA. Ya itu juga paling sering dipakai.” Rata-rata jumlah top up pengguna UniPin adalah Rp50 ribu sampai Rp100 ribu. Sementara umur pengguna UniPin biasanya ada di rentang 18 tahun sampai 40 tahun.

Poeti juga mengungkap, jika ada sebuah publisher asing hendak masuk ke Indonesia, maka mereka akan harus menjalin kerja sama dengan semua payment channel yang ada, mulai dari bank, convenient store, ecommerce, dan ewallet. “Sementara fokus mereka itu ya mengembangkan dan merilis game,” katanya. Dengan bekerja sama dengan UniPin, pihak publisher tak lagi perlu repot-repot untuk menghubungi setiap payment channel.”Kami ingin mempertemukan publisher dengan payment channel,” ujarnya.

UniPin dan Bisnis Esports

Setelah sukses menjadi aggregator, UniPin mulai masuk ke dunia esports. Awalnya, Poeti bercerita, UniPin hanya mengadakan turnamen skala kecil dan menengah. “Sebelum esports diakui di Asian Games dan SEA Games, kami sudah membuat turnamen esports yang kecil-kecil,” ungkap Poeti. Menurutnya, UniPin beruntung karena bekerja sama dengan Indomaret. “Mereka kan bisnisnya sudah seperti real estate. Di mana ada perumahan atau gedung baru, di sana ada Indomaret,” katanya. Tak hanya Indomaret, UniPin juga bekerja sama dengan sejumlah warung internet seperti High Ground dan juga restoran seperti Upnormal. Selain mengadakan turnamen, UniPin juga mulai melakukan roadshow secara gerilya dengan tujuan untuk memperkuat komunitas esports.

Pada 2018, UniPin mulai membuat turnamen dalam skala yang lebih besar. Di tahun itu, mereka menyelenggarakan SEACA (South East Asia Cyber Arena), dengan hadiah mencapai Rp1,4 miliar. Pada tahun 2019, UniPin kembali mengadakan SEACA. Kali ini, total hadiah dari turnamen tersebut naik menjadi Rp2,4 miliar. Ketika ditanya tentang alasan UniPin masuk ke esports, Poeti menjelaskan bahwa mereka mengadakan turnamen esports sebagai cara untuk mendukung ekosistem game dan esports.

Sumber: Hybrid - Akbar Priono
SEACA 2019. Sumber: Hybrid – Akbar Priono

“Kenapa kita adain turnamen esports? Karena kalau kita dukung ekosistem, kalau ekosistem terbentuk dengan baik dan stabil, bisnis kita jalan,” jawab Poeti saat ditanya alasan UniPin untuk ikut masuk ke dunia esports. Dia mengaku, mengadakan turnamen esports memberikan dampak langsung pada bisnis mereka sebagai aggregator. “Impact dari esports ke bisnis, aku bisa bilang lebih dari 100 persen, lebih dari dua kali lipat jika dibandingkan dengan ketika tidak ada event,” ujarnya.

Poeti menjelaskan, jika ekosistem esports tumbuh, ini akan mendorong orang untuk semakin sering bermain atau bermain dengan lebih kompetitif, yang pada akhirnya akan meningkatkan jumlah uang yang dihabiskan oleh para gamer dalam game. “Esports mengajarkan para penontonnya untuk berkompetisi dengan sehat. Karena ada perlombaan, jadi para gamer mau mengasah skill mereka. Dengan adanya esports, spending juga jadi lebih besar,” aku Poeti.

GoPay

Walau pada awalnya GoPay tersedia hanya untuk melakukan pembayaran dari berbagai layanan GoJek, sekarang GoPay bisa digunakan untuk membeli berbagai hal, termasuk top up game. Senior Marketing Manager GoPay, Reza Putranta menjelaskan, industri game memiliki potensi besar di Indonesia. Tidak heran, mengingat jumlah gamer di Tanah Air yang memang tidak sedikit. “Jumlah gamers di Indonesia diperkirakan mencapai 60 juta pada 2019, meningkat menjadi 100 juta gamer pada tahun 2020 ini,” kata Reza dalam pernyataan resmi pada Hybrid. “Angka ini menempatkan Indonesia di peringkat satu di Asia Tenggara dan peringkat enam di Asia.”

GoGames jadi fitur terbaru GoJek. | Sumber: YouTube Gojek
GoJek targetkan gamer dengan GoGames. | Sumber: YouTube Gojek

Selain UniPin, GoPay juga berkolaborasi dengan sejumlah pihak dalam rencananya untuk menyasar gamer, seperti Codashop, GOC, dan, uPoint. “Sejak Agustus 2019 lalu, pengguna juga sudah bisa top up game dan membayar beragam aplikasi pakai GoPay di Google Play,” ujar Reza. “Ke depan, kami terbuka untuk berkolaborasi dengan semua pihak yang memiliki kesamaan visi.” Reza mengatakan, sejak itu, transaksi GoPay terkait game terus naik. “Jumlah transaksi GoPay di Google Play naik hingga tiga kali lipat dari Agustus hingga Desember 2019. Sebanyak 60 persen transaksi didominasi oleh game, 40 persen sisanya untuk pembayaran aplikasi streaming dan webtoon,” dia mengaku.

Sementara itu, game yang paling populer di kalangan pengguna GoPay adalah Free Fire, Mobile Legends, PUBG Mobile, Game of Sultan, Gardenscape, Homescape, dan Hago. Selain menjadi channel pembayaran, Reza mengatakan, GoPay juga tertarik untuk mendukung industri esports. Salah satu caranya dengan menjadi title sponsor dari GoPay Mobile Legend Campus Championship 2020. Tahun lalu, GoPay juga mensponsori salah satu tim esports terbesar Indonesia, RRQ.

Razer

Sejak awal, UniPin memang perusahaan yang menjual voucher game dan GoPay adalah payment channel yang kemudian memutuskan untuk melayani para gamer. Sementara itu, Razer adalah perusahaan peripheral gaming yang kemudian mencoba untuk menyediakan layanan finansial, salah satunya metode pembayaran. Razer pertama kali meluncurkan zGold dan zSilver pada 2017. Ketika itu, Razer zGold adalah mata uang digital yang dapat digunakan untuk membeli item dalam game, sementara zSilver adalah platform untuk reward ssytem. Pada Desember 2018, Razer mengubah nama kedua produknya menjadi Razer Gold dan Razer Silver, walau fungsi keduanya masih sama.

Selain itu, Razer juga menyediakan Razer Pay, sebuah ewallet. Razer pay pertama kali diluncurkan di Malaysia pada 2018. Menurut laporan The Drum, per 30 Juni 2019, jumlah pengguna Razer Pay telah mencapai satu juta orang. Sayangnya, saat ini, Razer Pay hanya tersedia di Malaysia dan Singapura.

Razer Gold merupakan mata uang digital untuk membeli item dalam game. | Sumber: Razer
Razer Gold merupakan mata uang digital untuk membeli item dalam game. | Sumber: Razer

“Beberapa tahun belakangan, kami terus menciptakan produk baru untuk menjadi bagian dari generasi muda dan milenial di dunia. Ini memberikan kami kesempatan untuk mencoba masuk ke berbagai industri baru,” kata Lee Li Meng, Chief Strategic Officer Razer dan CEO Razer Fintech, dikutip dari The Drum. Salah satu industri baru yang diminati Razer adalah finansial. Sekarang, mereka bahkan memiliki Razer Fintech, divisi yang khusus mengembangkan layanan finansial.

Pada awal tahun ini, Razer mengungkap rencananya untuk membuat bank digital. Di bawah Razer Fintech, mereka meminta lisensi bank digital pada Monetary Authority of Singapore (MAS). Tujuannya adalah untuk menyediakan produk finansial yang transparan untuk generasi muda. Selain itu, dengan menyediakan berbagai layanan finansial, Razer juga berharap, generasi muda akan semakin melek akan literasi keuangan. Memang, Razer mengklaim bahwa 80 persen dari total pengguna mereka — yang mencapai 80 juta orang di dunia — berumur kurang dari 35 tahun.

“Razer Fintech akan fokus pada segmen generasi muda dan milenial yang masih kesulitan mendapatkan layanan finansial. Kami percaya, membuat Razer Youth Bank adalah keputusan yang masuk akal untuk memperluas bisnis pembayaran digital kami,” kata Lee Li Meng.

Kesimpulan

Seiring dengan perkembangan teknologi, maka model bisnis developer game juga terus berubah. Kini, semakin banyak game yang menggunakan model berlangganan atau free-to-play dengan microtransaction di dalamnya. Ada pihak yang diuntungkan dengan model ini, walau tentu saja, juga ada pihak dirugikan (tapi topik itu akan dibahas dalam artikel lain).

Kartu kredit menjadi metode pembayaran utama yang disediakan oleh publisher game. Sayangnya, di Indonesia, tak banyak orang yang punya kartu kredit. Jadi, mulai bermunculan alternatif metode pembayaran mulai dari mobile banking, ewallet, sampai penjualan voucher di convenient store. Ada banyak perusahaan yang tertarik untuk menyediakan payment channel adalah kabar baik bagi konsumen. Ini memberikan Anda kebebasan untuk memilih metode yang memang paling nyaman untuk Anda.

Sumber header: Flickr/Hloom Template

Razer Luncurkan Mouse Gaming Teramping dan Teringan

Dengan begitu banyaknya pilihan, menentukan gaming gear yang tepat kadang bisa jadi membingungkan. Saat ini masing-masing brand punya penawaran menarik. Dan itu artinya ada banyak hal perlu dipertimbangkan sebelum membeli: anggaran, genre permainan favorit, hingga kebiasaan kita menggunakan periferal gaming. Setelah menemukan sejumlah kandidat, Anda disarankan untuk pergi ke toko dan mencobanya langsung.

Khusus bagi mereka yang memiliki ukuran tangan tak terlalu besar dan membutuhkan mouse gaming berbobot ringan, Razer sudah menyiapkan solusinya. Perusahaan asal Irvine, Kalifornia itu baru saja meluncurkan versi mungil dari Razer Viper. Mereka menamainya Viper Mini. Produsen mendeskripsikannya sebagai mouse paling enteng dan paling ramping yang pernah mereka produksi. Desainnya dimaksudkan agar tiap tombol bisa mudah dijangkau jari.

Dibanding tipe standar, Viper Mini memiliki tubuh yang lebih pendek dan langsing sehingga mudah digenggam. Razer bilang, Viper Mini cocok bagi mereka yang biasa memakai mouse dengan postur claw dan fingertip grip. Perangkat punya panjang 118,3mm, lebar 53,5mm dan tinggi 38,3mm. Desainnya terlihat simetris seperti mouse ambidextrous, namun karena thumb button hanya ada di sisi kiri, Viper Mini baru betul-betul optimal jika digunakan di tangan kanan.

IMG_05032020_105745_(1000_x_650_pixel)

Kabarnya dalam merancang Viper Mini, Razer berkolaborasi bersama sejumlah atlet esports dan gamer hardcore. Konstruksi tubuhnya terbuat dari plastik, memungkinkan produsen memangkas berat mouse – hanya 61-gram tanpa menghitung kabel USB Speenflex braided-nya. Di aspek estetika, Razer tak lupa menghias Viper Mini dengan LED RGB pada logo di bagian punggung dan ‘underglow‘ di bawah.

Razer membekali Viper Mini dengan sensor optik 8.500DPI, kabarnya juga mampu membaca gerakan di kecepatan hingga 300-inci per detik. Fungsi keenam tombol di sana bisa diprogram ulang via software Razer Synapse 3 dan hasil konfigurasinya akan disimpan di memori on-board dan dapat diakses kapan pun Anda butuhkan.

IMG_05032020_105716_(1000_x_650_pixel)

Selain desain, aspek paling unik dari Viper Mini terletak di tombolnya. Mouse  kembali mengusung switch optik, memanfaatkan cahaya inframerah dalam meregistrasi tiap tekanan pada tombol. Dengan menggunakan inframerah, mouse tidak memerlukan kontak fisik dalam menyampaikan input. Itu artinya, Viper Mini mempunyai komponen bergerak lebih sedikit, membuatnya lebih awet sekaligus mampu merespons input secara sangat singkat – di kecepatan 0,2-milidetik.

IMG_05032020_110305_(1000_x_650_pixel)

Saat ini Viper Mini sudah mulai dipasarkan. Razer membanderolnya di harga yang cukup kompetitif, yaitu US$ 40. Selain Viper dan Viper Mini, tersedia pula varian Viper Ultimate yang dilengkapi konektivitas wireless serta sensor lebih canggih.

Google Stadia Akan Tersedia di Smartphone Samsung, Asus ROG dan Razer

Pelepasan status beta GeForce Now ialah sebuah isyarat jelas bagi Google untuk meningkatkan kualitas penyajian Stadia. Walaupun kedua layanan cloud gaming ini disuguhkan secara berbeda, khalayak tampak lebih menyukai GeForce Now karena integrasinya ke sejumlah platform distribusi – seperti Steam dan Epic Games Store. Dengan begini, pengguna tidak perlu membeli game lebih dari sekali agar bisa mengaksesnya via cloud.

Sementara itu, belum lama pelanggan Stadia mengeluhkan minimnya pilihan game dan belum adanya dukungan fitur-fitur esensial. Merespons hal tersebut (dan demi menepati janji ketersediaan 120 permainan di tahun 2020), Google mengumumkan agenda peluncuran lima game baru, dan tiga dari mereka merupakan judul eksklusif. Dan setelah hanya ditunjang smartphone Pixel, minggu ini Stadia akhirnya dapat dinikmati dari lebih banyak perangkat.

Di tanggal 20 Februari besok, layanan gaming on demand Google tersebut dapat diakses dari 18 varian smartphone, terutama yang bermerek Samsung, Asus ROG dan Razer. Mayoritas dari mereka adalah model flagship, dengan usia paling tua tiga tahun. Dan karena sejauh ini baru tersedia dua tipe Asus ROG dan Razer, Samsung memang terlihat mendominasi. Daftar lengkapnya bisa dilihat di bawah.

  • ASUS ROG Phone
  • ASUS ROG Phone II
  • Razer Phone
  • Razer Phone 2
  • Samsung Galaxy S8
  • Samsung Galaxy S8+
  • Samsung Galaxy S8 Active
  • Samsung Galaxy Note8
  • Samsung Galaxy S9
  • Samsung Galaxy S9+
  • Samsung Galaxy Note9
  • Samsung Galaxy S10
  • Samsung Galaxy S10+
  • Samsung Galaxy Note10
  • Samsung Galaxy Note10+
  • Samsung Galaxy S20
  • Samsung Galaxy S20+
  • Samsung Galaxy S20 Ultra

Itu berarti, Galaxy S8 merupakan smartphone non-Google tertua yang siap menghidangkan Stadia. Di momen peluncurannya, hanya Pixel 2, Pixel 3, Pixel 3a, dan Pixel 4 yang kompatibel dengan platform cloud gaming tersebut. Di luar smartphone, Stadia disediakan pula untuk PC serta TV dengan Chromecast Ultra. Sayangnya, hingga kini Google belum mengabarkan kapan pengguna iPhone dan iPad dapat menggunakannya.

Terkait janji 120 game di tahun ini, Google menargetkan buat melepas lebih dari 10 judul di paruh pertama 2020. Buat sekarang, Stadia sudah menyuguhkan sekitar 20 permainan. Rencananya, game-game besar seperti Cyberpunk 2077, Baldur’s Gate III, Doom Eternal, Marvel’s Avengers, Watch Dogs: Legion, Gods & Monsters, hingga Orcs Must Die! 3 akan hadir di sana. Namun saya berasumsi penundaan perilisan beberapa judul tersebut memengaruhi pendaratan mereka di Stadia.

Google Stadia meluncur di bulan November 2019, tetapi layanan ini baru dapat diakses dari 14 negara saja. Belum diketahui pasti kapan Stadia akan tiba di tanah air, namun laman store berbahasa Indonesia mengindikasikan agenda Google untuk turut merilisnya di sini. Anda bisa mendaftarkan email buat mendapatkan notifikasi langsung dari Google.

Via Eurogamer.

Razer DeathAdder V2 dan Basilisk V2 Unggulkan Switch Optis Beserta Sensor Focus+ yang Sangat Mumpuni

Razer Viper Ultimate yang dirilis Oktober lalu boleh dibilang merupakan gaming mouse paling inovatif yang pernah Razer buat. Di samping konektivitas wireless generasi baru, mouse tersebut turut mengunggulkan switch tombol bertipe optis dan sensor Razer Focus+ yang sangat mumpuni.

Dua fitur terakhir itu bakal menjadi standar untuk portofolio gaming mouse Razer ke depannya. Sebagai bukti, Razer baru saja menyingkap DeathAdder V2 dan Basilisk V2, dan keduanya sama-sama mengusung pembaruan dalam wujud switch optis beserta sensor Razer Focus+ itu tadi.

Razer Optical Switch / Razer
Razer Optical Switch / Razer

Dibanding switch mekanis, switch optis unggul dalam hal akurasi dan responsivitas karena mengandalkan sinar infra-merah untuk menerjemahkan klik pada tombol menjadi sinyal input. Penjelasan lengkapnya sempat saya bahas ketika Razer pertama menerapkannya pada Viper versi standar.

Mengenai sensor Focus+, Razer dengan bangga menyebutnya sebagai sensor yang paling gesit sekaligus paling presisi yang pernah mereka ciptakan. Secara teknis, sensor ini memiliki sensitivitas maksimum 20.000 DPI, sedangkan kecepatan tracking-nya mencapai angka 650 IPS.

Razer Focus+ Optical Sensor / Razer
Razer Focus+ Optical Sensor / Razer

Terakhir, DeathAdder V2 dan Basilisk V2 turut mengemas kabel Speedflex yang sangat fleksibel. Material khusus yang membalut kabelnya dirancang supaya pergeserannya di atas meja lebih mulus dan tidak menghambat kelincahan tangan pengguna.

Selebihnya, masing-masing mouse masih mempertahankan sekaligus sedikit menyempurnakan fitur khas pendahulunya. DeathAdder V2 misalnya, menawarkan ergonomi yang lebih baik lagi berkat lapisan tahan keringat beserta lapisan karet pada bagian sisinya.

Razer Basilisk V2 / Razer
Razer Basilisk V2 / Razer

Basilisk V2 di sisi lain menawarkan 11 tombol yang bisa diprogram (naik dari 8). Fitur andalan generasi sebelumnya, yakni tombol clutch di sisi kiri dan scroll wheel dengan tingkat resistensi yang adjustable, tentu masih tersedia di sini.

Kedua mouse saat ini sudah dipasarkan secara luas. Razer DeathAdder V2 dihargai $70, sedangkan Basilisk V2 dibanderol $80.


Sumber: Razer.

Razer Mau Buat Razer Youth Bank untuk Generasi Muda

Razer berencana untuk membuat bank digital Razer Youth Bank. Untuk itu, divisi teknologi finansial mereka, Razer Fintech, meminta lisensi bank digital pada Monetary Authority of Singapore (MAS). Razer tidak sendiri dalam usahanya untuk mendirikan bank digital. Mereka membuat konsorsium bersama perusahaan investasi Sheng Siong Holdings, perusahaan asuransi FWD, marketplace mobil Carro, perusahaan internet mobile LinkSure global, dan perusahaan venture capital Insignia Ventures Partners. Razer Fintech akan menguasai 60 persen saham Razer Youth Bank sementara 40 persen sisanya akan dikuasai oleh anggota konsorsium lain.

Dalam pernyataan resmi, Razer mengatakan bank Razer Youth Bank dibuat dengan tujuan untuk meningkatkan literasi keuangan dan menyediakan produk finansial yang transparan bagi generasi muda. Selain itu, mereka juga ingin menyesuaikan layanan mereka dengan kebutuhan nasabah. “Razer Youth Bank juga akan menyediakan layanan yang ditujukan untuk para penguasaha muda dan bisnis mikro dan kecil yang selama ini kesulitan dalam mendapatkan modal untuk mengembangkan bisnis mereka dan melakukan transformasi digital,” ungkap Razer, menurut laporan Channel News Asia. “Kami akan melakukan itu dengan metodologi dan struktur credit scoring yang inovatif.”

CEO Razer, Min-Liang Tan.
CEO Razer, Min-Liang Tan.

“Ada banyak orang yang belum mendapatkan layanan finansial secara maksimal. Menyediakan solusi untuk mereka melalui platform perbankan digital adalah langkah berikutnya bagi kami setelah kami menyediakan solusi pembayaran,” kata Lee Li Meng, Chief Strategy Officer Razer dan CEO Razer Fintech, seperti dikutip dari The Esports Observer. “Sebagai startup unicorn asal Singapura, kami harap kami bisa memberikan kontribusi untuk menjadikan Singapura sebagai pusat finansial global dan membuka era baru di dunia perbankan dan menyediakan layanan finansial yang unik pada generasi muda di Singapura dan di dunia.”

Selain rekan strategis yang menjadi bagian dari konsorsium, Razer Fintech juga bekerja sama dengan sejumlah perusahaan untuk menyediakan layanan di Razer Youth Bank. Beberapa perusahaan yang digandeng oleh Razer Fintech antara lain travel booking platform Skyscanner, penyedia solusi pembayaran Visa, startup fintech SoCash, perusahaan co-working space JustCo, platform media edukasi finansial Real Vision, dan beberapa perusahaan lain. Menurut laporan Today Online, konsorsium yang dipimpin oleh Razer Fintech ini berencana untuk menambah jumlah rekan mereka di masa depan. Dengan begitu, perusahaan yang menjadi rekan mereka juga bisa mengakses pasar milenial.

MAS memperkenalkan konsep lisensi bank digital pada Juni 2019. Tujuan mereka ketika itu adala untuk memastikan sektor perbankan di Singapura tetap kompetitif dan relevan di pasar yang terus berubah dengan melakukan digitalisasi. Pihak yang tertarik harus memberikan proposal mereka pada 31 Desember 2019. MAS akan mengumumkan pihak yang mendapatkan lisensi pada pertengahan 2020. Pihak yang mendapatkan lisensi akan dapat mulai beroperasi pada pertengahan 2021.

Sumber header: Today Online