ASEAN LegalTech Officially Introduced in Indonesia, an Association for Legal Tech Startups

ASEAN LegalTech officially introduced in Indonesia. It is the first association in Southeast Asia to connect legaltech ecosystem or legal-based digital startups in the region.

Justika‘s CEO, Melvin Sumapung is one of the ASEAN LegalTech representatives for Indonesia. He explained the purpose of introducing this association to the public as the voice of communities, further the ecosystem and the bridge for Southeast Asia’s stakeholders.

“This advocacy emphasized more on promotion to various kinds of stakeholders. For legaltech happened not only from startup or law firm but the combination of various parties. Therefore, on the side of the founding board, there are law firms, legaltech startups, and others,” he told DailySocial

ASEAN LegalTech was founded by 6 people from different countries. Those are Eric Chin from Alpha Creates, Hanim Hamzah from ZICO Law, Cherilyn Tan from Interstellar Group, Thomas Thoppil from Hewlett Packard Enterprise, Michael Law from Rajah & Tann Technologies, and Andrew Stoutley from Tilleke & Gibbins.

The association has representatives in almost all Southeast Asia;s countries. Along with Melvin, there is also Hukumonline’s CTO, Arkka Dhiratara who is also appointed as ASEAN LegalTech representative for Indonesia.

LegalTech potential in Southeast Asia

Legaltech market in Southeast Asia still leaves great space to develop further. ASEAN LegalTech research has found 88 registered legaltech in Southeast Asia. Dominated by Singapore and Indonesia for 25 and 21 startups.

It is bigger than the number mentioned on Codex Techindex on legaltech startup worldwide. It is said in the index, only 16 startup listed in Southeast Asia.

However, the market share available in the region consists of 645 million population, 3,825 registered company on the exchange and 650 million SMEs. While the lawyer population in Southeast Asia just reached 248 thousand.

“ASEAN LegalTech aims to connect Indonesia, Singapore, Malaysia, Vietnam with other countries, and it’s not only 16 but 88 players unnoticed by the whole universe while they exist,” Sumapung added.

He also said to target 21 legaltech in Indonesia joined the association. Other institutions, such as law firms and regulators might be a member of this network.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

ASEAN LegalTech Diperkenalkan di Indonesia, Asosiasi yang Menaungi Startup di Bidang Hukum

ASEAN LegalTech resmi memperkenalkan keberadaannya di Indonesia. Mereka adalah asosiasi pertama di Asia Tenggara yang menghubungkan ekosistem legaltech atau startup digital yang bergerak di bidang hukum di seluruh kawasan.

Melvin Sumapung, CEO Justika, merupakan salah satu duta ASEAN LegalTech untuk Indonesia. Melvin menjelaskan bahwa asosiasi yang ia perkenalkan ke publik hari ini bertujuan menjadi suara komunitas, membangun ekosistem, dan menghubungkan para pemangku kepentingan dalam di Asia Tenggara.

“Advokasi ini lebih ke promosi ke berbagai macam stakeholder. Karena legaltech ini tidak bisa hanya dari startup atau law firm saja, harus ada penggabungan dari berbagai pihak. Makanya kalau dilihat dari founding board-nya itu ada law firm, legaltech startup, dan lain-lain,” ujar Melvin kepada Dailysocial.

ASEAN LegalTech digagas oleh 6 orang dari berbagai negara. Mereka adalah Eric Chin dari Alpha Creates, Hanim Hamzah dari ZICO Law, Cherilyn Tan dari Interstellar Group, Thomas Thoppil dari Hewlett Packard Enterprise, Michael Law dari Rajah & Tann Technologies, dan Andrew Stoutley dari Tilleke & Gibbins.

Asosiasi juga memiliki duta di hampir semua negara di Asia Tenggara. Selain Melvin, ada CTO Hukumonline Arkka Dhiratara yang juga ditunjuk sebagai duta ASEAN LegalTech di Indonesia.

Potensi LegalTech di Asia Tenggara

Potensi pasar legaltech di Asia Tenggara saat ini dinilai punya ruang yang begitu luas untuk berkembang. Riset dari ASEAN LegalTech menemukan ada 88 startup legaltech di seluruh Asia Tenggara. Singapura dan Indonesia merupakan paling dominan di kawasan dengan masing-masing 25 dan 21 startup.

Angka itu terbilang jauh lebih besar ketimbang indeks dari Codex Techindex yang memetakan pasar legaltech di seluruh dunia. Dalam indeks tersebut, Asia Tenggara tercatat hanya memiliki 16 startup.

Adapun pasar yang dapat digarap di seluruh kawasan terdiri dari 645 juta orang, 3.825 perusahaan yang terdaftar di bursa efek, 650 juta UKM. Sementara jumlah pengacara di Asia Tenggara saat ini sekitar 248 ribu.

“ASEAN LegalTech mencoba menghubungkan Indonesia, Singapura, Malaysia, Vietnam, dan lainnya, dan ini bukan hanya 16 tapi ada 88 pemain yang tidak pernah terdengar di dunia sedangkan di seluruh dunia sudah ada (asosiasi),” imbuh Melvin.

Melvin mengatakan pihaknya menargetkan 21 legaltech di Indonesia turut bergabung ke dalam asosiasi tersebut. Ia pun mempersilakan institusi lain seperti firma hukum hingga regulator untuk turut bergabung ke dalam jejaring tersebut.

AI dan Blockchain Siap Hadir di Platform Penyedia Jasa Legal “Kontrak Hukum”

Usai mendapat suntikan investasi dari Kaskus, Kontrak Hukum berencana menanamkan dua teknologi terkini ke dalam platform-nya pada tahun ini, yakni artificial intelligence (AI) dan blockchain. Kedua teknologi ini dinilai dapat memberikan pengalaman terhadap penyediaan jasa hukum lebih baik di masa depan.

Menurut Chief Operating Officer KontrakHukum Jimmy Karisma R, pihaknya saat ini tengah melakukan riset sembari melakukan pengembangan untuk mengimplementasi kedua teknologi tersebut. Harapannya, teknologi ini dapat memberikan layanan berkualitas dari sisi kecepatan dan kredibilitas.

“Kami tidak ingin sekadar memindahkan [layanan jasa hukum] dari offline ke online. Kami ingin ada teknologi di belakangnya. Dan kami lihat kiblat di Amerika Serikat, di mana kedua teknologi ini sering digunakan untuk kebutuhan legal,” ungkapnya ditemui DailySocial di GDP Power Lunch di Jakarta.

Jimmy mencontohkan, dengan AI proses review kontrak bisa lebih efisien waktu hingga 50-60 persen. Teknologi ini dapat memampukan sistem untuk membaca dan menghasilkan summary dari isi kontrak. Para lawyer tidak perlu membaca kontrak lagi.

Sementara contoh use case untuk teknologi blockchain adalah menghindari potensi manipulasi kontrak atau materi legal apapun di dalam sistem. Hal ini karena blockchain memiliki sifat transparan dan terdistribusi dalam konsep kerjanya.

“Rencananya [teknologi ini] sudah bisa di-roll out kuartal ketiga tahun ini karena sekarang masih riset dan pengembangan,” ucap Jimmy.

Kontrak Hukum saat ini memiliki tiga bisnis utama, yaitu penyedia layanan jasa hukum, ada tiga jasa pembuatan kontrak, pembuatan badan usaha, dan pendaftaran merek.

Perusahaan membidik target pasar UMKM dan pelaku usaha startup. Saat ini, Kontrak Hukum telah memiliki 2.000 klien dan 100 mitra yang telah dikurasi sesuai dengan spesialisasinya.

CEO dan Founder Kontrak Hukum Rieke Caroline menambahkan, tahun ini pihaknya akan bersinergi dengan Kaskus untuk mengedukasi pasar tentang pentingnya kebutuhan legal.

“Kami ingin mengubah wajah hukum agar lebih dekat dengan kehidupan masyarakat. Selama  ini kan hukum anggapannya jauh padahal penting sekali. Nah, kami bersama Kaskus akan buat konten berseri untuk mendorong tujuan itu,” kata Rieke.

Pentingnya urusan legal untuk startup

CEO dan Founder Layaria Dennis Adhiswara turut membagikan pandangannya seputar kebutuhan legal bagi pelaku usaha startup. Dennis menyoroti tentang bagaimana pentingnya membuat perjanjian antar-founder saat membangun startup.

“Selain pendaftaran merek, agreement antar founder atau shareholder itu cukup sering dikeluhkan. Kalau tidak ada perjanjian, itu bahaya, due diligence bisa tertunda. Apalagi kalau tidak ada kelengkapan dokumen, investor bisa mundur,” tuturnya di ajang GDP Power Lunch.

Sepakat dengan hal tersebut, Deputi Infrastruktur Badan Ekonomi Kreatif (BEKRAF), Hari Sungkari mengungkap kebanyakan startup tutup bukan dikarenakan minimnya investasi, melainkan tidak adanya perjanjian dengan founder.

“Bukan hanya karena urusan legal tidak kelar, tapi ada clash antar founder, startup bisa tutup. Waktu di awal belum ada revenue, nanti kalau sudah ada bagaimana pembagiannya? Makanya perlu ada perjanjian supaya mendisiplinkan hak dan kewajiban mereka,” ujar Hari.

Memahami Kesiapan Investor Masuki Industri Fintech

Fintech merupakan salah satu contoh primadona dibandingkan industri lainnya karena terus bertransformasi. Fintech tidak melulu berbicara soal sistem pembayaran dan lending, tapi ada juga vertikal bisnis lainnya seperti insurtech, remitansi, regtech, blockchain, kripto, data analytics, dan lain sebagainya.

Besarnya peluang di industri fintech perlu dibarengi kesiapan investor, termasuk VC, untuk mempelajari pergerakan trennya. Terlebih investor harus memiliki pola pikir ke depan dibandingkan yang lainnya. Wawancara singkat DailySocial dengan Principal Cento Ventures Mark Suckling memberikan sejumlah pandangannya tentang isu ini.

Cento Ventures adalah VC yang berbasis di Singapura sejak 2011, memfokuskan diri pada investasi seri A untuk berbagai industri di negara berkembang. Di Indonesia beberapa portofolionya adalah Kalibrr, Jirnexu, Migme, Ctrl/Shift, CodaPay, dan 2C2P.

Perkembangan industri fintech

Suckling menjabarkan, seiring matangnya perusahaan teknologi di ASEAN, semakin banyak solusi yang ditawarkan di tiap sektornya, termasuk fintech. Setidaknya ada 1000 perusahaan yang telah membangun teknologi baru untuk mengatasi masalah di industri fintech selama beberapa tahun belakangan.

Dari hasil riset Cento Ventures untuk fintech, vertikal fintech yang bergerak di pembayaran online dan kredit adalah dua sub fintech yang paling awal didirikan. Dua vertikal tersebut telah menarik sebagian besar anggaran tahunan investasi VC, sekitar US$200 juta.

Vertikal berikutnya yang kini mulai bermunculan adalah asuransi dan investasi, diikuti startup fintech dengan fokus B2B untuk bidang keamanan dan analitik data. Menurut laporan EY ASEAN Fintech Census 2018, jumlah perusahaan fintech di regional ASEAN terbanyak ada di Singapura sebanyak 490 perusahaan.

Kemudian disusul Indonesia dengan total 262 perusahaan, Malaysia (196), Thailand (128), Filipina (115), dan Vietnam (77). Sektor pembayaran mendominasi dengan total 269 perusahaan, lalu investasi (189), insurtech (86), consumer finance (83), dan alternative lending (75).

Menurut Suckling, meski Indonesia masih kalah jauh dari segi jumlah perusahaan dengan Singapura, namun apabila dilihat dari pertumbuhannya lebih drastis dibandingkan negara lainnya. Salah satu faktornya bisa dilihat dari kemajuan yang cepat dalam hal inklusi keuangan yang diukur dari meluasnya akses terhadap layanan keuangan digital.

Kendati akses ini tidak menyiratkan penerimaan berbagai jasa keuangan baik digital maupun tidak, namun jadi pertanda bahwa hambatan industri keuangan tradisional terhadap ekonomi digital akhirnya berkurang.

“Ini menjadi keputusan buat pemain fintech untuk merancang produk keuangan digital yang menarik dan relevan bagi orang Indonesia, apakah mereka pengguna baru layanan keuangan digital ataupun tidak,” terangnya.

Peluang baru

Platform digital merupakan tools terbaik untuk berinovasi layanan keuangan. Terlebih, ada nilai tambah yang ditawarkan yakni memberikan cara baru bagi orang untuk bertukar nilai, menawarkan pengalaman yang lebih baik, ada kepercayaan baru, dan menangkap volume data yang besar.

Salah satu contoh terdekat yang bisa dirasakan adalah layanan keuangan yang dihadirkan Gojek dan Grab. Keduanya sudah menawarkan layanan keuangan buat para penggunanya baik dari sistem pembayarannya, pinjaman online, dan asuransi, entah berbentuk kerja sama dengan mitra atau membentuk sendiri.

Di luar itu, sambung Suckling, masih banyak peluang lainnya yang bermunculan untuk melayani sektor industri utama yang belum tersentuh secara langsung oleh internet. Juga menawarkan layanan keuangan yang terkait dengan industri tersebut.

“Contoh lainnya, platform perangkat lunak yang bisa diadopsi secara luas oleh ritel demi menciptakan peluang untuk distribusi lending atau asuransi, mungkin tidak dianggap fintech namun sebagai sisi enabler-nya.”

Kesiapan investor

Semakin terdiversifikasinya aktivitas fintech ini menunjukkan waktu yang tepat untuk menambah modal, selain yang tersedia dari VC yang ada. Investor pun butuh tim yang bertugas untuk memonitor seluruh tren tersebut. Caranya dengan membuat tim khusus untuk tiap sektor niche dengan tahapan nilai investasi yang beragam.

Suckling mencontohkan Start Today Ventures adalah sebuah contoh fund yang sengaja dibuat dan didedikasikan khusus untuk industri fesyen. Dalam fund ini, tim dapat mendalami lebih jauh proses manufaktur dan distribusi industri fesyen digital. Kemudian melakukan investasi untuk seluruh rantai proses di dalamnya.

“Kami percaya bahwa pada waktunya yang tepat pendekatan ini akan terjadi di sektor fintech yang dengan cepat telah berubah jadi industri yang kompleks.”

Dari tiga portofolio perusahaan fintech di Cento, ketiganya disebutkan telah memberikan masukan yang menarik tentang bagaimana setiap aspek yang berbeda di layanan keuangan digital bekerja dan bisa memberikan pembelajaran yang bagus untuk diterapkan kepada startup fintech generasi baru.

Sebuah tim yang berdedikasi dapat berkonsentrasi pada pemahaman peluang yang muncul, serta memberikan founder dukungan yang sangat relevan. Entah itu mengidentifikasi talenta yang tepat, terhubung dengan mitra, atau menarik lebih banyak investasi saat perusahaan mereka tumbuh.

Hasil survei terhadap lebih dari 125 investor di ASEAN menyebut secara rerata ada enam vertikal dari total 14 vertikal fintech yang telah difokuskan dengan membentuk tim khusus. Keenam vertikal tersebut adalah analitik data, blockchain, financing, payment solutions, regtech, dan insurtech.

Hal ini memperlihatkan tumbuhnya vertikal industri fintech perlu didukung pemahaman investor yang mendalam agar tidak selalu terpaku dengan definisi tradisional.

Rencana berikutnya di Indonesia

Tahun 2019 akan menjadi kelanjutan perusahaan untuk terus berinvestasi di ASEAN, seperti yang sudah dilakukan selama delapan tahun terakhir. Suckling enggan menjelaskan sektor apa yang menjadi incaran Cento, namun pihaknya memastikan akan tetap berhati memilih startup, mendukung visi misi founder, dan meniru kesuksesan dari portofolio perusahaan.

“Pendekatan industri demi industri akan kami jalankan dengan hati-hati, memastikan kami mengembangkan keterampilan dan wawasan yang dibutuhkan untuk membuat pemenang di kategori baru, seperti fintech dan sektor lainnya.”

Suckling juga menuturkan saat ini pihaknya sedang dalam proses pengumpulan fund terbaru dari investor yang sudah ada dan mitra strategis baru. Fund tersebut memungkinkan Cento untuk meningkatkan fokus di industri fintech. Saat ini Cento masih aktif mengelola fund dengan total US$60 juta.

Permudah Masyarakat Pahami Istilah Hukum, Aplikasi LawblePedia Diluncurkan

Setelah meresmikan kehadirannya akhir tahun 2017 lalu, startup yang menyasar regulatory technology (regtech) Lawble, meluncurkan aplikasi yang memuat informasi dan peraturan umum bernama LawblePedia. Masih rendahnya pengetahuan dari masyarakat saat ini terkait dengan peraturan dan undang-undang yang ada, merupakan salah satu alasan mengapa Lawble meluncurkan aplikasi ini.

“Bukan hanya persoalan hukum untuk perbankan saja masih banyak istilah atau peraturan yang kurang saya pahami. Dengan adanya aplikasi ini diharapkan bisa memberikan informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat,” kata Executive Chairman Lawble Terrence Teong Chee Hooi.

Menargetkan korporasi hingga kalangan mahasiswa, diharapkan LawblePedia bisa menjembatani kebutuhan tersebut terkait dengan peraturan dan undang-undang saat ini, agar lebih mudah dipahami terutama soal istilah hukum secara valid yang ingin diketahui.

Fitur khusus Lawblepedia

Saat ini aplikasi Lawblepedia bisa diunduh secara gratis di Play Store dan Apps Store. Ada beberapa fitur unggulan yang dimiliki oleh LawblePedia, di antaranya adalah Open Search, Know More dan Bookmark. Untuk fitur Know More terkoneksi langsung dengan situs Lawble, bertujuan memberikan pemahaman hukum secara holistik bagi pengguna.

LawblePedia juga memiliki fitur Directory berdasarkan alphabetical order dan juga word of the day guna memastikan pengguna belajar hal baru setiap harinya. Sementara itu untuk memastikan undang-undang dan peraturan yang ada selalu relevan, LawblePedia juga akan selalu memperbarui definisi beserta dasar hukum yang disajikannya.

“LawblePedia juga dilengkapi dengan definisi yang selalu didukung oleh dasar hukum yang berlaku sehingga keabsahannya dapat dipertanggungjawabkan,” kata CEO Lawble Charya Rabindra Lukman.

Saat ini Lawblepedia telah memiliki sekitar 10 ribu peraturan yang beragam. Jumlah tersebut masih akan ditambah secara berkala, termasuk di dalamnya peraturan daerah hingga kabupaten.

“Lawble memahami pentingnya hukum untuk dimengerti oleh masyarakat secara luas. Melalui sosialisasi #IndonesiaMelekHukum, kami bertujuan untuk mengedukasi masyarakat secara umum untuk mengerti hukum, karena hukum adalah segala sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dan dihindari dari kehidupan sehari-hari”, pungkas Charya.

Application Information Will Show Up Here

Layanan “Regtech” Lawble Resmikan Kehadirannya

Setelah sempat melakukan sosialisasi, startup yang menyasar regulatory technology (regtech) Lawble, akhirnya meresmikan kehadirannya di Jakarta (28/09). Startup yang dipimpin oleh Charya Rabindra Lukman selaku CEO, berada di bawah naungan PT Karya Digital Nusantara, memiliki visi untuk membantu firma hukum, bisnis hingga masyarakat umum mencari dan memahami masalah hukum dan regulasi lebih mendalam.

“Lawble sebagai situs regtech pertama di Indonesia, menyadari masih banyak bisnis hingga masyarakat umum yang kesulitan menemukan peraturan atau undang-undang yang dikeluarkan oleh pemerintah. Dalam satu situs semua informasi tersebut dengan mudah bisa ditemukan,” kata Charya.

Regtech sendiri hingga kini belum maksimal keberadaannya di Indonesia, lemahnya kesadaran dari masyarakat Indonesia memahami dan mengerti hukum menjadi salah satu alasan masih minimnya layanan tersebut. Dibandingkan dengan Malaysia dan Singapura, Indonesia termasuk yang tertinggal menghadirkan layanan regtech kepada publik.

“Setelah kehadiran GO-JEK, Traveloka dan Tokopedia, kami melihat peranan regtech memberikan wadah baru bagi pelaku bisnis hingga pelaku startup memahami lebih detailpersoalan hukum,” kata Charya.

Dilanjutkan oleh Charya, setelah mendengar pertanyaan dari rekannya yang hendak mendirikan startup dan memiliki partner tenaga kerja asing, merasa kesulitan untuk menemukan cara atau bagaimana menentukan peraturan yang tepat.

Dilengkapi tools yang berguna untuk praktisi hukum dan publik

Hadirnya Lawble tidak akan menggantikan peran praktisi hukum, sebaliknya Lawble justru memfasilitasi dan mendukung pekerjaan mereka lebih efektif dan efisien serta mengemat waktu lebih dari 70% dari biasanya.

“Dengan berbagai fitur yang kami miliki mulai dari pencarian (search) hingga bookmark terkait dengan pasal yang dicari, pencarian peraturan menjadi lebih mudah dan cepat,” kata Charya.

Lawble juga menggantikan kebiasaan publik hingga praktisi hukum menggunakan kertas untuk mencetak peraturan yang ada, dengan fitur penanda hingga sticky notes dalam situs dan mobile browser.

“Selain itu dengan Lawble Collaboration Tool, para praktisi bisa menikmati fitur komunikasi saat melakukan pekerjaan atau proyek, Tidak perlu lagi menggunakan aplikasi chat terpisah,” kata Charya.

Lawble juga dilengkapi dengan Lawble Journal, yang sarat dengan informasi hingga berita-berita terbaru terkait dengan peraturan hingga regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah, wawancara dengan pakar hingga praktisi hukum.

“Lawble juga terkoneksi langsung dengan asosiasi khusus industri hukum dinamai Asosiasi Regtech dan Legaltech Indonesia (Indonesian Regtech and Legaltech Association / IRLA), Privy.id, LegalGo, PopLegal, Startup Legal Clinic, dan eClis.id,” kata Charya.

Strategi monetisasi Lawble

Saat ini Lawble secara khusus menargetkan firma hukum dan perguruan tinggi. Lawble mengklaim telah memiliki sekitar 700 firma hukum yang terdaftar dalam platfromnya. Pada tahun pertama Lawble menargetkan 10 pengguna untuk satu Law Firm, dengan penetrasi 50%. Sehingga sekitar 3500 hingga 4000 rencananya akan diakuisisi lagi menjadi pelanggan.

Lawble memiliki dua kategori layanan, yaitu untuk praktisi hukum dan masyarakat umum. Untuk praktisi hukum dapat mengakses berbagai kolaborasi berbayar dan berlangganan dengan Lawble. Sementara untuk masyarakat bisa mengakses semua produk hukum yang bersinggungan dengan aktivitas sehari-hari dalam Journal Lawble. Ke depannya Lawble menargetkan bakal mengumpulkan sekitar 500 peraturan pemerintah yang bisa diakses oleh masyarakat dan praktisi hukum.

“Ke depannya kami berharap dengan akses hukum yang mumpuni, hukum tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang rumit, tetapi akan menjadi partner dalam aktivitas sehari-hari,” kata Charya.