Laporan KrASIA: Perkembangan Industri Vaksin di Tiongkok

Dengan berbagai kekacauan yang disebabkan karena Covid-19, harapan baru mulai muncul dengan mulai didistribusikannya vaksin ke berbagai negara, termasuk di Indonesia. Sejauh ini beberapa negara sudah meneliti dan mengambangkan vaksin yang didistribusikan tersebut, salah satunya Tiongkok dengan produknya seperti Sinovac dan Sinopharm.

Untuk memberikan gambaran tentang kondisi industri vaksin di Tiongkok, KrASIA merilis sebuah laporan bertajuk “The Vaccine Industry”. Di dalamnya berisi lima bahasan utama, sebagai berikut:

  • Pasokan dan permintaan industri vaksin.
  • Kesenjangan antara pengembangan industri vaksin di Tiongkok dan seluruh dunia.
  • Tantangan di Tiongkok.
  • Startup vaksin yang muncul dan sub-vertikal yang menjanjikan di Tiongkok pasca-pandemi.
  • Prospek makro untuk tren yang membentuk masa depan bisnis vaksin global.

Hasil riset ini menjadi menarik untuk disimak, karena berdasarkan tren yang ditangkap, industri vaksin di Tiongkok akan melalui periode perkembangan pesat dalam waktu dekat. Ada beberapa faktor yang mendukung, di antaranya kebijakan domestik dan investasi.

Untuk ulasan selengkapnya, unduh laporannya melalui tautan berikut ini: The Vaccine Industry in China.

Disclosure: KrASIA bekerja sama dengan DS/innovate untuk mendistribusikan laporan ini.

Laporan KrASIA: Mendalami Peran Startup Unicorn di Pasar Tiongkok

Tidak dimungkiri, unicorn menjadi salah satu pendorong utama bisnis digital di banyak negara. Dampaknya mampu menggerakkan banyak sektor riil, melibatkan pengguna atau mitra dari berbagai kalangan.

Berbicara tentang bisnis digital global, perkembangan di Tiongkok sering dijadikan salah satu kiblat oleh pelaku industri. Pendekatan bisnis dan inovasi yang digulirkan banyak dijadikan percontohan oleh berbagai startup di negara lain.

Guna melihat sejauh mana perkembangan ekosistem digital yang terbentuk, KrASIA merilis sebuah laporan bertajuk “China Market Intel: A deep dive into China’s Top 100 Unicorns”. Menurut data yang dirangkum, saat ini sekurangnya ada 586 unicorn yang tersebar di 29 negara, kemudian 34,8% di antaranya dari Tiongkok.

Laporan tersebut secara spesifik mengulas tentang beberapa studi kasus unicorn yang paling signifikan, masuk ke dalam top 100 unicorn global, meliputi:

  1. ByteDance
  2. DiDi Chuxing
  3. Yuanfudao
  4. SenseTime
  5. Perfect Diary

Di dalamnya turut dibahas tentang aspek-aspek kekuatan bisnis, perjalanan bisnis, model bisnis, investor, hingga pemimpin bisnis yang terlibat mendukung. Selengkapnya, unduh laporan tersebut melalui tautan berikut ini: China Market Intel.

Disclosure: KrASIA bekerja sama dengan DS/innovate untuk mendistribusikan laporan ini.

Laporan DSResearch: Fintech Report 2020

Sektor teknologi finansial (fintech) di Indonesia masih layak mendapatkan perhatian, terlebih tahun ini ekosistem bisnis secara umum dihadapkan tantangan akibat pandemi. Dinamika industri menjadi lebih kencang, di tengah perubahan kebiasaan pengguna dan resesi ekonomi. Tentu membuat para founder dan pemimpin bisnis harus memikirkan ulang strategi mereka. Namun, menariknya berbagai hasil riset dan pakar banyak menyampaikan, adanya pembatasan fisik dan sosial justru menjadi pendorong adopsi layanan digital.

Beberapa jenis layanan fintech sifatnya mendukung bisnis digital lain – misalnya memfasilitasi layanan pembayaran di aplikasi food delivery lewat dompet digital, memberikan opsi kredit di situs online marketplace melalui paylater, sampai mendukung UMKM melalui pembiayaan bahan baku via supply chain financing dari fintech lending. Artinya, ketika dikatakan layanan digital menjadi semakin masif digunakan, secara tidak langsung juga mempengaruhi penggunaan berbagai layanan fintech tersebut.

Untuk memvalidasinya, DSResearch bersama Bank CIMB Niaga merilis “Fintech Report 2020”. Kegiatan riset ini turut didukung Ayoconnect dan Investree. Di dalamnya mengulas mengenai kondisi dan perkembangan industri fintech di Indonesia dalam setahun terakhir. Adapun cakupan bahasan yang disajikan terdiri dari lima bahasan utama, meliputi:

  1. Fintech Overview; membahas tentang perkembangan model bisnis dan teknologi yang banyak diaplikasikan oleh startup fintech. Terkait model bisnis, dipetakan berdasarkan regulasi terkait yang dirilis oleh Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan.
  2. Fintech Ecosystem in Indonesia; membahas tentang perkembangan berbagai bisnis fintech di Indonesia. Termasuk beberapa sub-sektor potensial yang dinilai akan memiliki peminat yang besar di tahun-tahun mendatang. Di dalamnya juga memasukkan perspektif dari regulator.
  3. Business Perspective of Fintech; mewawancara founder startup fintech di berbagai kategori, investor, dan perbankan untuk mendapatkan perspektifnya tentang kondisi industri. Termasuk hal-hal strategis dan inovatif yang dilakukan dalam menghadapi Covid-19.
  4. Consumer Perspective of Fintech; mewawancara konsumen untuk mendapatkan persepsi publik tentang fintech dan berbagai layanan yang saat ini ada di Indonesia. Di dalamnya turut menyajikan berbagai aplikasi favorit dari setiap sub-segmen bisnis.
  5. Strategic Collaboration; membahas tentang berbagai inisiatif dan kolaborasi yang dilakukan antarstakehoder, mulai dari regulator, startup, dan korporasi.

Tema besar Fintech Report di tahun ini adalah “Maintaining Growth during Pandemic”, menggambarkan bisnis yang secara umum bisa bertahan bahkan tetap dalam lajur pertumbuhan melalui berbagai inovasi produk dan layanan yang digulirkan.

Laporan tersebut dapat diunduh secara gratis di sini: Fintech Report 2020.


Disclosure: DSResearch bekerja sama dengan Bank CIMB Niaga dalam riset ini. Sebuah perbankan nasional dengan berbagai produk inovatif, termasuk layanan API yang bisa dimanfaatkan oleh bisnis digital untuk menunjang  berbagai kebutuhan transaksi. Ayoconnect dan Investree turut mendukung pengembangan laporan ini.

Indonesia’s Digital Economy Growth in 2020

Google, Temasek, and Bain & Company released their annual report “e-Conomy SEA 2020” to review the development of digital or internet business in Southeast Asia. The headline for this is “At full velocity: Resilient and racing ahead” – indicating how the ambitions of digital players survive and try to maintain growth amid the global economic downturn.

There are 7 highlighted digital sectors. Apart from the existing ones, e-commerce, transport & food, online travel, online media, and financial services; This year the research added two new business landscapes, healthtech and edtech – because both are experiencing significant growth amid the Covid-19 pandemic.

The pandemic has drove internet penetration in the region, with an estimated 40 million new users in 2020. Therefore, there are around 400 million internet users in total in Southeast Asia – equivalent to 70% of the total population. The existence of social restrictions forms a new culture, such as work/school activities from home, resulting in a drastic increase in consumption of digital services.

One quite interesting issue is that in Indonesia has 56% of total digital service consumers this year come from outside the metro area, while the remaining 44% are still from around the urban area. It is said, digital development is currently still Jabodetabek-centric; and this cannot be denied because there is a significant gap between metro and non-metro areas in terms of accessibility to infrastructure.

Gross Merchandise Value (GMV) is the matrix used to measure economic units in this report; that is, indicating the value of transactions/sales that occur within a certain period of time by the user. The GMV for the internet economy in Southeast Asia (accumulating value from the 7 highlighted sectors) is projected to exceed $100 billion. Indonesia will contribute $44 billion or the equivalent of 621 trillion Rupiah.

In Indonesia, most of  our GMV comes from e-commerce services, amounting to $32 billion, followed by transportation & food platforms worth $5 billion, online media $4.4 billion, and online travel $3 billion.

Validation for digital economy direction

Recently, APJII has released the latest report regarding internet user statistics in Indonesia. Specifically in 2020, there are approximately 25 million new internet users in the country (increasing by 8.9% compared to last year). Indonesia’s domination in many of the Google-Temasek-Bain & Company reports has also validated that Indonesia is on the right track in building its digital economy.

Although quite a few also say that Indonesia’s digital economy phase is still in “early stage”, at least the foundations are well formed. Looking back over the past decade, e-commerce and ride-hailing businesses have been able to become good industrial engines, they have expanded the scope of digital savvy in Indonesia – both from consumers and SMEs. The implication is that new (digital) business models are getting quickly accepted.

Covid-19 has also had a very visible impact. Some business sectors have been hit hard, for example online travel, but from there we can see how digital service providers are able to adapt quickly. Take, for example, the fast action of OTA to save businesses by aggressively promoting domestic transportation services or the “staycation” vacation model. So it is not surprising that in the statistics of the e-Conomy, the OTA platform still has a significant position.

On the other hand, the pandemic is actually ripening the level of digital adoption in society. The benefits for digital players may be seen at a later time. When the community lockdown starts to get used to shopping, studying, consulting health online, this will become new permanent habits. Especially when the platform is able to accommodate these needs, therefore, it brings a more pleasant impression.

In our internal records, funding to digital startups have also continued to pour during this pandemic. This indicates a good trend regarding investor trust in Indonesia’s  business players – amidst a recession and increased risk of failure due to economic dynamics. This momentum certainly needs to be maintained to ensure that the Indonesian startup ecosystem continues to grow, and realize the nation’s vision to lead the Asian digital economy.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
Gambar Header: Depositphotos.com

Perkembangan Ekonomi Digital Indonesia Tahun 2020

Google, Temasek, dan Bain & Company kembali merilis laporan tahunan mereka “e-Conomy SEA 2020” yang mengulas tentang perkembangan bisnis digital atau internet di Asia Tenggara. Kali ini, judul yang diambil adalah “At full velocity: Resilient and racing ahead” — mengindikasikan bagaimana ambisi pemain digital bertahan dan mencoba menjaga pertumbuhan di tengah keterpurukan ekonomi global.

Ada 7 sektor digital yang disorot. Selain yang sudah ada sebelumnya, yakni e-commerce, transport & food, online travel, online media, dan financial services; tahun ini riset menambahkan dua lanskap bisnis baru yakni healthtech dan edtech — karena keduanya mengalami pertumbuhan signifikan di tengah pandemi Covid-19.

Pandemi juga mendorong penetrasi pengguna internet di regional, tercatat ada sekitar 40 juta pengguna baru di tahun 2020. Sehingga secara total di Asia Tenggara ada sekitar 400 juta pengguna internet — setara dengan 70% dari total populasi. Adanya pembatasan sosial membentuk kultur baru seperti kegiatan bekerja/sekolah dari rumah, memberikan dampak pada konsumsi layanan digital meningkat derastis.

Satu hal yang cukup menarik, di Indonesia 56% dari total konsumen layanan digital tahun ini datang dari luar area metro, sementara sisanya yakni 44% masih dari seputaran area metro. Sehingga bisa dikatakan, sampai saat ini perkembangan digital memang masih Jabodetabek-sentris; dan itu tidak dimungkiri karena ditinjau dari aksesibilitas sampai infrastruktur memang ada jenjang yang cukup signifikan antara area metro dan non-metro.

Gross Merchandise Value (GMV) jadi matriks yang digunakan untuk mengukur unit ekonomi dalam laporan ini; yakni mengisyaratkan pada nilai transaksi/penjualan yang terjadi dalam kurun waktu tertentu oleh pengguna. GMV untuk ekonomi internet di Asia Tenggara (mengakumulasi dari nilai yang didapat dari 7 sektor yang disorot) diproyeksikan akan melebihi $100 miliar. Indonesia akan memberikan sumbangsih $44 miliar atau setara 621 triliun Rupiah.

Di Indonesia, mayoritas GMV masih disokong oleh layanan e-commerce, yakni sebesar $32 miliar, disusul platform trasport & food senilai $5 miliar, online media $4,4 miliar, dan online travel $3 miliar.

Validasi baik untuk arah pertumbuhan ekonomi digital

Belum lama ini, APJII juga baru merilis laporan terbarunya terkait statistik pengguna internet di Indonesia. Spesifik di tahun 2020, kurang lebih ada 25 juta pengguna internet baru di tanah air (naik 8,9% dibanding tahun lalu). Berbagai dominasi Indonesia di banyak bahasan laporan Google-Temasek-Bain & Company turut memvalidasi Indonesia sudah berada di jalur yang benar dalam membangun ekonomi digitalnya.

Kendati tidak sedikit juga yang mengatakan bahwa fase ekonomi digital Indonesia masih “early stage”, setidaknya fondasinya sudah terbentuk dengan baik. Mengamati kembali pada satu dekade ke belakang, bisnis e-commerce dan ride-hailing mampu menjadi lokomotif industri yang baik, mereka memperluas cakupan digital savvy di Indonesia – baik dari kalangan konsumer maupun UKM. Implikasinya berbagai model bisnis (digital) baru lebih cepat diterima.

Covid-19 juga memberikan dampak yang sangat kasat mata. Beberapa sektor bisnis memang sangat terpukul, misalnya online travel, namun dari sana pula kita bisa melihat bagaimana penyelenggara layanan digital mampu beradaptasi cepat. Ambil contoh, gerak cepat OTA menyelamatkan bisnis dengan gencar mempromosikan layanan transportasi domestik atau model liburan “staycation”. Sehingga tidak mengherankan dalam statistik e-Conomy platform OTA masih punya posisi signifikan.

Di sisi lain, pandemi sebenarnya tengah mematangkan tingkat adopsi digital masyarakat. Keuntungannya bagi pemain digital mungkin bisa terlihat di kemudian hari. Saat lockdown masyarakat mulai membiasakan berbelanja, belajar, berkonsultasi kesehatan secara online, bisa jadi ini akan menjadi kebiasaan-kebiasaan baru yang bersifat seterusnya. Apalagi jika platform mampu mengakomodasi kebutuhan tersebut dengan baik, sehingga membawakan kesan yang lebih menyenangkan.

Dalam catatan internal kami, sepanjang pandemi ini transaksi pendanaan ke startup digital juga masih terus mengalir tanpa adanya perlambatan. Mengindikasikan tren baik terkait kepercayaan investor terhadap pelaku bisnis di Indonesia – di tengah resesi dan risiko kegagalan yang meningkat akibat dinamika ekonomi. Momentum ini tentu perlu dijaga untuk memastikan ekosistem startup Indonesia terus bertumbuh, dan merealisasikan visi bangsa untuk memimpin ekonomi digital Asia.

Gambar Header: Depositphotos.com

Laporan DSResearch: Kolaborasi Pemberdayaan UKM 2020

Usaha Kecil, dan Menengah (UKM) menjadi komponen penting dalam perekonomian di banyak negara, tak terkecuali di Indonesia. Menurut data Kementerian Koperasi dan UKM, per tahun 2018 tercatat ada lebih dari 64 juta UKM yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. Mereka berhasil menyerap 95% dari total tenaga kerja nasional.

Melihat dampak yang diberikan, maka terlihat jelas bahwa UKM memiliki peranan yang krusial, sehingga layak untuk dijaga penetrasinya. Namun pada kenyataannya bisnis di skala tersebut banyak yang masih rentan, disebabkan oleh banyak faktor. Misalnya dari sisi internal, operasional bisnis yang belum tangkas sehingga menyulitkan untuk melakukan ekspansi. Kemudian faktor eksternal, contohnya terkait disrupsi teknologi.

Beberapa inisiatif lantas digulirkan oleh berbagai pihak, dengan menghadirkan inovasi untuk pecahkan masalah spesifik UKM, khususnya menggunakan pendekatan berbasis teknologi. Guna melihat sejauh mana upaya pemberdayaan tersebut, DSResearch berkolaborasi dengan Mandiri Capital Indonesia melakukan sebuah riset bertajuk “Small-Medium Enterprise Empowerment”.

Adapun pembahasan yang dirangkum dalam laporan mencakup:

  1. Lanskap UKM Global; membahas tren pertumbuhan UKM di dunia, termasuk inovasi dan adopsi teknologi yang dilakukan untuk optimalkan laju bisnis.
  2. Lanskap UKM di Indonesia; membahas perkembangan UKM di Indonesia, mengenai sektor populer, distribusi & klasifikasi bisnis, hingga adopsi teknologi sejauh ini.
  3. Tantangan UKM di Indonesia; membahas berbagai tantangan umum yang ditemui pelaku UKM di Indonesia, beberapa yang diutarakan terkait isu finansial, operasional, dan ekspansi.
  4. Solusi Strategis untuk UKM; mendalami solusi yang telah dihadirkan untuk UKM di Indonesia, dengan memetakan startup, produk, dan layanan digital yang sudah mulai diaplikasikan.

Studi kasus turut dibubuhkan ke dalam laporan, untuk memberikan perspektif langsung dari para pelaku UKM.

Untuk pembahasan selengkapnya, silakan unduh laporan tersebut melalui tautan berikut ini: “SME Empowerment Report”.


Disclosure: Dalam penyusunan white paper ini, DSResearch bermitra dengan Mandiri Capital Indonesia (MCI) yang merupakan corporate venture capital milik Bank Mandiri. MCI aktif berinvestasi ke startup digital di sektor fintech dan pengembang solusi-solusi untuk UKM di Indonesia.

Laporan Startup Genome: Jakarta Peringkat Kedua dalam “Emerging Startup Ecosystem”

Jakarta menempati urutan kedua dari 100 kota di seluruh dunia dalam daftar “emerging startup ecosystem” menurut laporan tahunan Global Startup Ecosystem Report (GSER) yang dipublikasi Startup Genome.

Peringkat teratas ditempati oleh Mumbai. Setelah Jakarta, ada Zurich, Helsinki, dan Guangzhou. Peringkat Jakarta tertinggi dibandingkan negara tetangga lainnya di Asia Tenggara, seperti Kuala Lumpur (11), Manila (urutan 31-40), Bangkok (51-60), dan Ho Chi Minh City (71-80).

Startup Genome merilis daftar ekosistem kota-kota ini untuk pertama kalinya sebagai bagian dari laporan GSER dalam rangka menyoroti area metropolitan yang mendapatkan relevansi dan berdampak pada ekonomi dengan cara yang bermakna.

Dalam tiap laporannya, Startup Genome umumnya menampilkan posisi kota yang masuk dalam daftar global startup ecosystem. Nama-nama kota yang masuk dalam posisi teratas relatif masih sama. Misalnya, Silicon Valley, New York, London, Beijing, dan Boston masuk dalam urutan lima besar secara berurutan.

Startup Genome mencatat hampir dua kali lipat jumlah ekosistem yang dipelajari sejak 2019, menilai lebih dari 270 ekosistem di lebih dari 100 negara untuk peringkat 30 teratas secara global dan runner up.

Dalam menyusun peringkat, Startup Genome menggunakan metodologi yang fokus pada faktor-faktor yang lebih relevan dengan wilayah yang mulai mencapai investasi dan inovasi tingkat tinggi.

Secara keseluruhan, laporan ini menggabungkan sejumlah sumber data untuk menentukan peringkat ekosistem, termasuk data dari Crunchbase, Orb Intelligence, PitchBook, Dealroom, dan mitra lokal dari tiap wilayah.

Mereka juga mencampur data dari internal yang diambil dari wawancara bersama lebih dari 100 pakar, ditambah data dua tahun hasil survei yang mengambil lebih dari 10 ribu responden tiap tahun.

Sumber: Unsplash
Sumber: Unsplash

Startup Genome menggabungkan data untuk menghasilkan empat skor utama yang memeringkat kinerja, pendanaan, jangkauan pasar, dan talenta dari tiap kota dalam skala satu hingga 10.

Mumbai yang masuk ke peringkat pertama dari urutan ini, mencetak skor 10 pada masing-masing faktor tersebut. Sementara Jakarta, hanya talenta yang menempati skor 9 dibandingkan skor metrik lainnya yang menempati skor 10.

Bersamaan dengan peringkat ekosistem yang muncul, Startup Genome juga membagi peringkat dari tiap kota berdasarkan nilai total ekosistem dan pendanaan tahap awal. Jakarta masuk dalam posisi teratas dengan nilai ekosistem $26,3 miliar, disusul Guangzhou ($19,2 miliar), dan Kuala Lumpur ($15,3 miliar).

Pun untuk metrik pendanaan tahap awal, Jakarta menempati posisi teratas dengan sekitar $845,9 juta diinvestasikan untuk startup tahap awal berdasarkan estimasi dari 2017-2018. Posisi kedua ditempati oleh Barcelona dengan nilai investasi $472,7 juta.

Laporan Startup Genome hanya melihat ekosistem dari tiap kota yang menjadi ibu kota suatu negara. Jika merujuk pada laporan lainnya, seperti StartupBlink menyebutkan peringkat Indonesia merosot ke-54 dari tahun sebelumnya ke-41.

Jakarta masuk ke dalam urutan ke-41 dari seluruh kota di dunia yang peringkatnya merosot pula sebanyak dua peringkat. Wajar jika Jakarta masih menjadi kota terdepan dalam mendukung ekosistem startup, kota-kota lainnya masih mengejar karena butuh faktor pendukung.

Laporan lain yang disusun oleh East Ventures – Digital Competitiveness Index bisa menjadi acuan lain untuk mendorong ekosistem ekonomi digital masing-masing wilayah di Indonesia jadi lebih bersaing. Di sana juga menyebutkan Jakarta menjadi provinsi dengan indeks tertinggi (79,7), sementara Papua menempati urutan terakhir (17,7).

Pendukung ekosistem

Ketika ekosistem dari kota ini berkembang, semua perusahaan tahap awal saling bersaing secara global. Maka, dibutuhkan peranan penting dari ekosistem pendukung untuk memuluskan rencana ke depan.

Seluruh informasi tersebut bisa meniru dari para pemimpin ekosistem global agar masing-masing ekosistem bisa memperkuat di mana letak kekuatan mereka. Startup Genome merekomendasikan lima hal.

Mulai dari founder teknologi untuk penggerak pertama dan awal secara global atau regional. Contoh terdekatnya adalah Silicon Valley, Boston, dan Seattle. Kedua, hub bisnis global yang menjadi penggerak bisnis dan pusat keuangan global, contohnya adalah London, New York, dan Singapura.

Ketiga, pusat talenta R&D untuk produksi teknologi, contohnya adalah Tel Aviv dan Stockholm. Keempat, pasar besar yang dilindungi, misalnya Beijing, Shanghai, dan Jakarta. Terakhir, tempat kreatif kosmopolitan yang mengedepankan keterbukaan dan kualitas hidup, seperti di Berlin dan Melbourne.

Rekomendasi lainnya

Sumber: Unsplash
Sumber: Unsplash

Laporan Startup Genome dapat diarahkan untuk semua stakeholder dalam ekosistem startup, baik dari startup itu sendiri, para investor, dan pemerintah sebagai pengambil kebijakan. Kondisi pandemi global tentunya menghantam perekonomian yang menjalar ke berbagai lini bisnis, termasuk startup.

Perusahaan teknologi global dengan ketersediaan banyak dana, bisa sukses untuk pivot saat pandemi, di sisi lain banyak startup lain yang sedang kesusahan. Pendanaan global dikatakan turun hingga 20% sejak Desember 2019.

Dari hasil surveinya, pada pertengahan tahun ini lebih dari 40% startup global berada dalam kondisi “zona merah” ketika berbicara soal ketersediaan dana segar. Artinya, mereka hanya ada beberapa bulan untuk bertahan hidup atau runway yang pendek.

Jika mereka tidak berhasil membalikkan kondisi, mereka terpaksa harus tutup. Begitupun untuk startup yang sudah mendapat pendanaan minimal Seri A atau ke atas, sepertiganya hanya punya runway sampai enam bulan. Kondisi untuk melakukan penggalangan pendanaan jadi jauh menantang.

Oleh karenanya, Startup Genome merekomendasikan perlunya kehadiran pemerintah untuk menginjeksi startup tersebut agar dapat beroperasi. Bahwasanya, startup diyakini dapat membantu proses pemulihan ekonomi, punya andil banyak untuk melipatgandakan nilai ekonomi di tiap industrinya, dan mampu menggiring ekonomi pasca krisis tetap kompetitif.

“Tanpa startup, teknologi, finansial, kesehatan, dan industri lainnya akan tetap stagnan. Siapa yang ingin hidup di dunia yang di mana sistem perbankan didominasi oleh beberapa pemain, sehingga bisnis dan konsumen tidak punya alternatif lain untuk mengelola uangnya,” tulis dalam laporan tersebut.

“Ketika startup berkembang dan menjadi pemain penting di industrinya, akan membawa nilai lebih dan martabat di dalam ekosistem kota di mana mereka beroperasi,” sambungnya.

Rekomendasi yang bisa diambil pemerintah, menurut Startup Genome adalah merancang pendanaan yang efektif. Pola ini sudah diterapkan di Inggris yang membuat Coronavirus Future Fund. Pendanaan ini spesifik menargetkan startup yang masih pra-revenue dan pra-profit yang mengandalkan penyertaan saham dan surat utang dari pemerintah dengan kisaran kebutuhan $150 ribu sampai $6 juta.

Atau melindungi talenta berbakat, misalnya yang dilakukan pemerintah Uni Emirat Arab yang memperpanjang visa untuk warga asing yang menetap tanpa tambahan biaya.

Laporan DSResearch: Tren Inovasi dan Transformasi Digital di Korporasi 2020

Korporasi selalu dihadapkan dengan tantangan bisnis yang dinamis yang disebabkan oleh banyak faktor. Mulai dari kebiasaan konsumen yang berubah, relevansi produk/layanan, hingga disrupsi teknologi dari pemain baru. Kondisi tersebut membuat perusahaan harus gesit menyusun langkah-langkah transformatif kaitannya dengan strategi, model bisnis, tatanan organisasi, hingga digitalisasi.

Kondisi tersebut tentu juga dialami para korporasi di Indonesia. Untuk melihat bagaimana para perusahaan di Indonesia mengagendakan transformasi, DSResearch menyusun laporan bertajuk Laporan Transformasi Digital Korporasi 2020. Di dalamnya peneliti melakukan wawancara lebih dari 20 narasumber dari perusahaan berskala besar, baik di posisi C-Level maupun Mid-Level.

Adapun perusahaan yang disurvei dipilih lima sektor berbeda meliputi perbankan, keuangan non-perbankan, telekomunikasi, transportasi dan pariwisata, serta FMCG. Beberapa perusahaan tersebut termasuk BCA, Bank Mandiri, Zurich Insurance, Telkom, XL Axiata, Blue Bird, Garuda Indonesia, HM Sampoerna dll.

Selain membahas mengenai tren transformasi bisnis terkini, laporan ini banyak menampilkan studi kasus proses transformasi dari perusahaan-perusahaan yang menjadi narasumber. Peneliti menggunakan tiga komponen identifikasi untuk menemukan pola-pola transformasi yang dilakukan, meliputi komitmen pemangku kebijakan, perjalanan inovasi, dan produk inovasi; dibungkus dengan kerangka kerja yang relevan untuk pengukuran.

Berikut ini beberapa poin menarik yang dirangkum dalam laporan:

  • Di tingkat korporasi, penempatan transformasi bisnis difokuskan untuk dua hal, yakni peningkatan pangsa pasar atau pelayanan konsumen; dan pengembangan produk atau aset bisnis. Dimulai dari meningkatkan sumber daya yang sudah dimiliki, dilanjutkan dengan eksplorasi dan membuka peluang-peluang baru.
  • Covid-19 memberikan pukulan untuk beberapa jenis bisnis, utamanya di sektor transportasi dan pariwisata. Namun beberapa celah masih bisa dioptimalkan dengan baik, misalnya untuk bisnis logistik. Sementara untuk sektor lain seperti perbankan, pandemi menjadi momentum untuk adaptif dengan implementasi teknologi.
  • Di sektor perbankan, beberapa tahun terakhir kegiatan transformasi mengarah pada realisasi “open banking platform”. Pendekatan digital juga terus dimaksimalkan untuk meningkatkan pengalaman pengguna yang lebih baik. Kolaborasi dengan fintech juga makin dioptimalkan – misalnya dengan membuka layanan API untuk diintegrasikan oleh para pengembang aplikasi.
  • Perusahaan telekomunikasi di Indonesia tidak lagi hanya terpaku pada bisnis utama mereka, tapi juga mulai banyak mengeksplorasi peluang lain khususnya terkait layanan OTT. Namun tidak sedikit yang gagal. Pendekatan kolaboratif akhirnya dipilih dengan membentuk CVC, lab inovasi, atau program akselerasi.
  • Perusahaan FMCG sudah merasakan adanya disrupsi, namun kebanyakan belum memiliki komitmen yang serius untuk melakukan transformasi digital. Ditandai dengan tidak adanya roadmap digital atau sumber daya khusus yang disiapkan untuk mengarah ke sana. Mereka merasa masih cukup mengandalkan kanal-kanal distribusi yang sifatnya “terbuka”, seperti dengan menghadirkan lapak di platform online marketplace.

Selain itu, dalam laporan turut dirangkum tentang kultur organisasi, perjalanan inovasi, hingga inovasi teknologi dari tiap perusahaan yang menjadi narasumber, dilengkapi dengan contoh-contoh yang relevan. Selengkapnya, unduh laporan: Laporan Transformasi Digital Korporasi 2020 (versi Bahasa Indonesia) dan Corporate Digital Transformation Report 2020 (English version).


Disclosure: Dalam penyusunan white paper ini, DSResearch bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kemkominfo)

Laporan DSResearch: Inovasi Strategis dalam Teknologi Asuransi

Kendati penetrasinya belum besar, bisnis asuransi diproyeksikan akan memiliki nilai fantastis di waktu mendatang. Banyak faktor pendorongnya, misalnya kesadaran pengguna yang semakin meningkat untuk memiliki jaminan hidup yang lebih baik. Terlebih, produk-produk asuransi juga mulai menyasar segmen yang lebih terjangkau, contohnya saat ini mulai marak produk asuransi perlindungan gadget, asuransi perjalanan, dan lain sebagainya; dijajakan dengan harga yang relatif murah.

Dalam rangka mengakselerasi proses penetrasi tersebut, berbagai strategi dilakukan tak terkecuali melalui inovasi teknologi. Terminologi “insurtech (insurance technology)” menjadi ramai akhir-akhir ini, dibarengi dengan banyak pemain startup yang terjun menggarap sektor tersebut. Catatan menariknya, alih-alih mengganggu legasi bisnis yang sudah ada, insurtech berpeluang besar bersinergi dengan perusahaan asuransi untuk menjangkau pangsa pasar yang lebih luas.

Guna melihat tren dan peluang sinergi tersebut, DSResearch berkolaborasi dengan Mandiri Capital Indonesia (MCI) merilis sebuah white paper bertajuk “Insurtech Strategic Innovation”. Di dalamnya merangkum banyak hal, berikut gambaran singkat untuk masing-masing dari tujuh bab yang menjadi pembahasan utamanya:

  1. Mendalami konsep dasar insurtech; menggali tentang apa saja yang dilakukan insurtech dalam upayanya mendemokratisasi bisnis asuransi melalui sentuhan digital. Termasuk melihat peranan berbagai stakeholder dalam perkembangan ekosistem insurtech secara global.
  2. Lanskap bisnis insurtech global; mencatat perkembangan produk teknologi asuransi di dunia dan tren produk terkini yang banyak dikembangkan. Secara spesifik menyusuri pasar di Amerika Serikat, Eropa, Tiongkok, dan Asia Tenggara.
  3. Lanskap bisnis insurtech di Indonesia; perkembangan insurtech di Indonesia, termasuk mendalami pemahaman dan ketertarikan masyarakat terkait penggunaan teknologi untuk memenuhi kebutuhan asuransinya. Turut dipetakan juga beberapa startup teknologi di bidang asuransi yang sudah beroperasi di Indonesia dan model bisnis yang diaplikasikan.
  4. Modernisasi bisnis asuransi dengan teknologi; mengungkap urgensi transformasi digital dalam bisnis asuransi, termasuk menampilkan studi kasus mengenai kolaborasi yang mungkin dilakukan oleh perusahaan asuransi dan startup teknologi di Indonesia.
  5. Tantangan inovasi insurtech; berisi perspektif dari pemain industri mengenai tantangan yang mereka temui dalam mentransformasikan bisnis asuransi perusahaannya ke ranah digital.
  6. Gambaran inovasi terkini di bidan asuransi; memetakan inovasi teknologi asuransi yang ada di Indonesia untuk mengakomodasi berbagai proses bisnis; beserta bentuk-bentuk platformnya.
  7. Studi kasus sinergi perusahaan dengan startup; membahas berbagai kerja sama strategis yang berhasil dilakukan perusahaan asuransi dan startup teknologi di berbagai negara.

Untuk bahasan selengkapnya, silakan unduh laporan tersebut melalui tautan berikut ini: Insurtech Strategic Innovation 2020.

Disclosure: Dalam penyusunan white paper ini, DSResearch bermitra dengan Mandiri Capital Indonesia (MCI) yang merupakan corporate venture capital milik Bank Mandiri. MCI aktif berinvestasi ke startup digital di sektor fintech dan turunannya, termasuk insurtech.

Laporan DSResearch: Startup Report 2019

Startup digital saat ini menjadi elemen penting perekonomian bangsa. Dampaknya dirasakan oleh berbagai kalangan. Mulai dari UKM yang diakselerasi dengan online marketplace, akses pendidikan yang makin terjangkau lewat edutech, hingga sistem keuangan yang lebih luas berkat fintech. Selain itu, masih banyak sektor lain yang berhasil terbantu melalui demokratisasi teknologi produk startup.

Pun ditinjau dari sisi bisnis, berbagai peluang yang ada seperti pangsa pasar yang besar dan keterbukaan regulator terhadap investasi, membuat para founder mantap memulai bisnis digitalnya. Terbukti hingga tahun 2019 Indonesia telah miliki ribuan startup dengan 1 decacorn, 6 unicorn, dan 27 centaur.

Untuk meninjau mengenai perkembangan startup digital sepanjang tahun lalu, DSResearch mempersembahkan laporan riset bertajuk “Startup Report 2019: Scaling Through Technology Democratization”. Laporan ini berisi banyak empat bagian utama terkait pangsa pasar, tren startup, aksi korporasi, dan isu serta peluang yang masih terbuka lebar.

Beberapa pembahasan yang terangkup dalam laporan meliputi:

  1. Tahun 2019 tercatat ada 113 pendanaan startup yang disampaikan ke publik. Dari 59 transaksi yang diumumkan nominalnya, total yang berhasil dibukukan mencapai $2,9 miliar.
  2. Startup di sektor finansial mendominasi pendanaan startup sepanjang tahun 2019, disusul produk berbasis SaaS dan layanan e-commerce.
  3. East Ventures jadi investor yang paling banyak memberikan pendanaan, totalnya ada 19 transaksi sepanjang tahun 2019. Sementara MDI Ventures yang paling banyak menoreh exit, 4 melalui akuisisi dan 1 IPO.
  4. Sektor “New Retail” mendapatkan peluang besar untuk bertumbuh. Beberapa startup seperti GrabKios, Warung Pintar, Kopi Kenangan dan Fore Coffee berhasil merangkul jajaran investor yang kuat untuk membantu bisnisnya berkembang.

Selain empat poin di atas, masih banyak pembahasan lain yang ada di laporan. Termasuk daftar lengkap pendanaan startup, gambaran vertikal bisnis yang paling bertumbuh sepanjang tahun, hingga isu-isu yang masih banyak dihadapi ekosistem. Selengkapnya, unduh gratis Startup Report 2019.


Disclosure: DSResearch bermitra dengan Bank Mandiri dan Vidio dalam penerbitan laporan ini.