EV Growth “Oversubscribed”, Kumpulkan Dana 2,9 Triliun Rupiah

EV Growth, dana investasi untuk startup tahap lanjut Asia Tenggara, mengumumkan telah mengumpulkan dana Fund 1 sebesar $200 juta (hampir 2,9 triliun Rupiah), lebih besar dari target awal $150 juta. Termasuk dalam jajaran investor untuk dana kali ini adalah SoftBank Group Corp, Pavilion CapitaI, Indies Capital, dan investor regional lainnya.

Didirikan pada awal tahun 2018 lalu, EV Growth dikelola East Ventures, SMDV, dan Yahoo Japan (YJ) Capital untuk membantu startup yang membutuhkan dana tahap Seri B atau lebih lanjut (growth stage). Sejauh ini EV Growth telah menginvestasikan 40% dananya ke 12 startup, 90% di antaranya berasal dari Indonesia, termasuk Sociolla, Ruangguru, IDN Times, Moka, dan Warung Pintar.

Partner EV Growth Willson Cuaca mengatakan, “Kami mendirikan EV Growth untuk membantu para startup terbaik di Indonesia, termasuk namun tidak terbatas pada portofolio East Ventures. Waktu pendirian, besarnya dana investasi, dan kecepatan kami dalam mengeluarkan dana investasi, semuanya tepat, dan kami senang bisa mengundang dana investasi ‘pintar’ [smart money] selama masa penggalangan dana yang singkat ini. Kami percaya bahwa EV Growth akan memberikan pengaruh kepada ekonomi digital di Asia Tenggara dalam waktu yang cepat.”

Masuknya Softbank Group sebagai investor di dana ini menegaskan besarnya potensi startup di pasar Asia Tenggara ini. Sebelumnya Softbank telah berinvestasi di beberapa startup unicorn, seperti Tokopedia dan Grab.

“Bagi SMDV, kolaborasi ini menandai evolusi selanjutnya dari apa yang telah kami lakukan di sektor teknologi Asia Tenggara selama lima tahun terakhir. [..] Kami percaya bahwa kami telah memiliki sistem dan tim yang tepat untuk menghadapi peluang yang terus berkembang dalam pendanaan startup di tahap pertumbuhan (growth stage) di Asia Tenggara,” ujar Partner EV Growth Roderick Purwana.

Gambaran Kondisi Investasi Startup Indonesia Di Mata Pemain Modal Ventura

Startup digital di Indonesia jumlahnya memang terus tumbuh hingga kini, tidak ada data pasti yang menyebut berapa total startup yang beroperasi di Indonesia. Sebagai gambaran, Telkomtelstra pernah menyebut jumlah startup sekitar 2 ribu perusahaan atau tertinggi di Asia Tenggara. Untuk fintech sendiri, OJK mendata ada sekitar 157 perusahaan fintech yang beroperasi, sekitar 80% di antaranya bergerak di bisnis lending.

Lahirnya berbagai startup tersebut menjadi indikasi timbul semangat dari orang Indonesia untuk menjadi wirausahawan dengan membangun usaha sendiri. Bisnis yang mereka jalankan sebagian besar mengklaim bertujuan untuk memberikan pemecahan masalah yang terjadi di tengah masyarakat.

Sebuah diskusi panel yang diadakan Convergence Ventures, kemarin (21/2), menyoal tentang peluang investasi teknologi di Indonesia. Diskusi ini menghadirkan Abraham Hidayat (Skystar Capital), Dirk van Quaquebeke (Beenext), Eddi Danusaputro (Mandiri Capital Indonesia), dan Roderick Purwana (Sinar Mas Digital Ventures), serta dimoderatori Adrian Li (Convergence Ventures).

Mengenai hal-hal yang telah dipelajari para pemain modal ventura semenjak menginvestasikan dananya ke perusahaan startup, ada beberapa poin yang perlu ditekankan. Roderick mengatakan pihaknya mempelajari bahwa kebanyakan dari mereka belum mampu menunjukkan rencana matang untuk proses scaling up.

Padahal scaling up itu merupakan tantangan startup yang sebenarnya. Berapa lama mereka bisa bertahan dalam kondisi ketika harus dihadapkan pada perubahan dinamika pasar, persaingan, hingga berbagai permasalahan internal.

Menurutnya, untuk mendapatkan traksi saat pertama kali baru berdiri memang cukup mudah. Meskipun demikian, ketika dituntut untuk bertumbuh, mereka mengalami kesulitan.

Di sisi lain, Abraham bilang dirinya lebih memerhatikan kualitas founder itu sendiri, bagaimana mereka dapat memimpin diri sendiri, orang lain, dan membangun tim yang solid. Abaraham juga menekankan pada pentingnya komunikasi rutin secara fisik tanpa memanfaatkan fasilitas video chat.

“Sebab pada akhirnya komunikasi tatap muka dan berkumpul secara rutin itu lebih mudah dalam mengelola suatu perusahaan, ketimbang harus video chat karena lokasi tempat tinggal yang berbeda. Mengelola tim yang remote memiliki kelemahan tersendiri,” kata Abraham.

Tak hanya itu, Abraham mengatakan bahwa Indonesia masih mengalami kekurangan talenta yang berkualitas. Inti permasalahan ini sebenarnya karena belum dianggap pentingnya potensi dari ilmu bidang teknologi informasi. Padahal, bidang ilmu ini adalah dasar dari pengembangan kualitas talenta di dunia startup.

Senada dengan Abraham, Quaquebeke menambahkan kurangnya talenta Indonesia membuat negara ini jadi masih tertinggal dari India dan Tiongkok.

“Karakter orang tua di India, mereka selalu mendorong anaknya untuk terus merasa penasaran dan mendorong anaknya untuk menuntut ilmu di luar negeri. Beberapa hal inilah yang membuat India jadi lebih baik dari Indonesia,” katanya.

Sementara bagi Eddi, dia menekankan pada sikap proaktif pemerintah Indonesia dalam membuat suatu regulasi, dalam hal ini adalah OJK dan Bank Indonesia. Menurutnya, regulasi mengenai bisnis fintech di Indonesia saat ini memang belum lengkap, namun sikap yang ditunjukkan regulator memperlihatkan bahwa mereka sangat memerhatikan kondisi terkini.

Dalam proses pembuatan regulasi pun, regulator seringkali mendiskusikan terlebih dahulu dengan para pemain untuk dimintai masukan sebagai bahan dasar pertimbangan. Eddi menyarankan kepada para investor untuk mempelajari dengan betul bagaimana aturan main di Indonesia.

Sektor startup lainnya yang berpotensi akan besar

Eddi melanjutkan, dirinya melihat ada potensi yang besar dari sektor big data dan keamanan data. Dua sektor ini dinilai akan menunjang bisnis layanan keuangan Indonesia. Tak hanya itu, keamanan data juga disebut Quaquebeke bakal dibutuhkan ke depannya, terutama untuk menunjang sektor Internet of Things (IoT) dan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence).

Sementara itu, Roderick memprediksi bahwa sektor startup yang bakal pesat ke depannya adalah machine learning, sebab hal ini dapat membantu startup untuk scale up.

Adapun bagi Abraham, beberapa sektor startup yang bakal menarik adalah fintech, healthtech, dan edutech. Ia menilai sudah ada beberapa startup yang bergerak di sektor tersebut hanya saja, menurutnya, masih ada pasar yang belum dijangkau oleh mereka.

Menyelaraskan Dunia Startup dan Korporat

Ibarat minyak dan air, cara kerja startup sangat berbeda dengan korporat. Akan tetapi, di sisi lain, dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya kedua entitas ini saling membutuhkan satu sama lain. Terlebih perkembangan saat ini yang mulai mengarah ke digitalisasi. Sekarang pertanyaanya adalah mengapa keduanya membutuhkan sinergi dan bagaimana caranya?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Managing Partner SMDV Roderick Purwana menjelaskan sejatinya tidak ada korporat besar yang bisa mahir dalam segala hal. Dengan segala kelebihannya, korporat juga memiliki keterbatasan. Mereka tidak bisa bergerak ‘selincah’ startup, padahal mereka selalu membutuhkan inovasi agar bisnisnya terus berjalan dan sejalan dengan perkembangan zaman.

Akan tetapi, terkadang inovasi itu tidak selalu berasal dari dalam orang dalam perusahaan saja. Makanya korporat butuh para inovator dari pihak luar yang memiliki cara berpikir “out of the box”, tidak seperti karyawan korporat yang sudah terpatri dengan ketatnya aturan.

Sinar Mas Group mendirikan perusahaan modal ventura yang diberi nama SMDV (Sinar Mas Digital Venture). Modal ventura korporat ini memiliki tugas untuk menyinergikan seluruh lini pilar bisnis, yang bergerak di pulp & kertas, agribisnis & makanan, jasa keuangan, telekomunikasi, properti, energi & infrastruktur, media, dan lainnya, untuk mengarah ke digital.

SMDV sifatnya menjadi katalis, bertugas sebagai jembatan antara startup digital yang mereka danai dengan Sinar Mas Group. “Korporat itu ibarat kapal besar dengan navigasi yang rumit dan susah, sementara startup itu seperti speedboat yang fleksibel karena resource-nya tidak butuh banyak. Makanya mereka itu butuh digandeng,” terang Roderick.

Hal yang senada juga diungkapkan oleh Direktur Astra International Paulus Bambang. Dia mengatakan dalam korporat sebesar Astra pun sebenarnya butuh semangat kerja “startup” yang menyebabkan perusahaan bisa maju. Sementara ini, Astra baru membuka kesempatan “pitching” ide untuk kalangan karyawan Astra. Jadi, setiap karyawan yang memiliki ide dipersilahkan untuk menuangkannya dalam sehelai halaman berformat Power Point.

“Kami hanya fokus ke Indonesia saja [untuk ide], sebab kami paham orang Indonesia tahu persis Astra seperti apa. Makanya diharapkan bisa menciptakan inovasi yang tepat untuk Astra. Just one page PPT [format Power Point] berisi data untuk proof concept dan silahkan kirim. Tidak perlu yang kompleks. Bila terpilih, karyawan akan diajak untuk turun langsung [mewujudkan idenya],” kata Paulus.

Untuk mendukung ekosistem startup digital di Indonesia, sementara ini Astra baru menjadi mitra Plug and Play Indonesia. Astra International saat ini belum memiliki rencana mendirikan perusahaan modal ventura yang bergerak khusus menyuntik dana segar ke startup digital.

Astra International sudah memiliki modal ventura sendiri, yakni Astra Mitra Ventura (AMV). Hanya saja, AMV saat ini masih memfokuskan ke pendanaan untuk sektor UKM non digital, beberapa di antaranya merupakan mitra Astra yang bergerak di manufaktur, otomotif, perkebunan, dan lain sebagainya.

“AMV itu baru untuk UKM biasa. Kami belum tahu apakah nantinya mau pakai itu [AMV] atau bentuk khusus [untuk startup digital]. Belum ada pembicaraan. Kami kan sudah ada arm [modal ventura], belum tahu apakah akan digabung ke AMV atau bentuk lagi terpisah.”

Ambil porsi saham minoritas

Hubungan simbiosis mutualisme antara startup dengan korporat harus terus terjalin. Agar jiwa semangat startup tetap hidup, menurut Roderick, sebaiknya korporat harus menyuntik dana dengan penyertaan saham minoritas. Tujuannya agar startup yang didanai tidak terkekang dengan aturan korporat yang menjelimet dan semangat kerja startup tidak luntur.

“Makanya dalam SMDV, kami ambil porsi minoritas agar identitas startup dalam perusahaan yang kami danai tetap hidup. Kami bantu mereka agar inovasi bisa terus berkembang, maintain, dan support apa yang bisa kami berikan kepada mereka agar bisa sama-sama sukses,” sambung Roderick.

Selain itu, antara investor dengan startup harus memiliki batasan fungsi kontrol dan kepemilikan. Model bisnis SMDV sedari awal adalah fungsi kontrol dengan tidak mengambil saham mayoritas, sehingga manajemennya terpisah.

“Kami tidak ikut kontrol perusahaan startup karena kebanyakan setiap pendanaan baru kami tidak masuk sendiri, ada investor lainnya. Keuntungannya bagi startup, mereka masih memiliki identitas sendiri dan secara finansial independen karena manajemennya terpisah.”

Cara startup gaet konsumen korporat

Tak ketinggalan, dalam acara diskusi panel dihadiri oleh Founder dan CEO Bizzy Peter Goldsworthy. Bizzy merupakan salah satu pelopor e-commerce B2B untuk suplai perlengkapan kantor dan layanan bisnis. Meski tergolong perusahaan startup, Goldsworthy mengklaim pihaknya mampu melayani kebutuhan korporat sebagai target konsumen Bizzy.

Menurutnya, kunci utama agar bisa menarik korporat menjadi konsumen, sekaligus investor adalah membuat produk yang sesuai kebutuhan. Selain itu, startup harus bisa merekrut pekerja yang tepat untuk mendukung proses bisnis.

“Startup itu seperti yang dikatakan Roderick adalah speedboat. Oleh karena itu geraknya harus cepat dan tepat agar bisa mendapatkan perhatian dari korporat besar,” ujarnya.

Baru-baru ini, Bizzy mengeluarkan produk terbarunya Bizzy Travel dan Bizzy Guide. Kedua produk ini diklaim dapat membantu korporate untuk mengatur dan memonitor pemesanan hotel domestik, dan panduan pembelian perangkat TI yang tepat untuk UKM.

HappyFresh Peroleh Pendanaan Seri B yang Dipimpin Samena Capital

Layanan online grocery HappyFresh mengumumkan perolehan pendanaan Seri B, dalam jumlah yang tidak disebutkan, yang dipimpin oleh Samena Capital. Turut serta dalam pendanaan ini adalah sejumlah investor terdahulu, seperti Vertex Ventures, SMDV, dan Endeavor Catalyst. Dikonfirmasi juga bahwa Happyfresh akan fokus di 3 pasar utamanya yang berpotensi paling besar memberikan keuntungan secara berkelanjutan, yaitu Indonesia, Malaysia, dan Thailand. HappyFresh disebutkan meninggalkan pasar Filipina dan Taiwan.

Pendanaan ini diperoleh HappyFresh tepat setahun setelah pendanaan Seri A senilai $12 juta yang berasal dari Vertex Ventures dan SMDV. Happyfresh berbasis di Jakarta dan di Indonesia sendiri telah bekerja sama dengan setidaknya 5 jaringan swalayan dan beroperasi di tiga kawasan besar, Jabodetabek, Surabaya, dan Bandung.

Investasi ini bisa dibilang yang pertama dilakukan Samena Capital untuk startup teknologi di kawasan Asia Tenggara. Sebelumnya perusahaan investasi ini banyak berinvestasi untuk perusahaan-perusahaan di India dan Timur Tengah.

Shirish Saraf, Founder & Vice Chairman of Samena Capital, dalam rilisnya mengatakan, “Kami sangat senang dengan peluang yang berasal dari teknologi baru dan kelas konsumen yang sedang berkembang cepat di Asia Tenggara. HappyFresh menyediakan platform teknologi revolusioner untuk konsumen Asia Tenggara untuk melakukan belanja bulanan secara instan, fleksibel, dan nyaman yang memenuhi standar yang diharapkan untuk produk-produk segar.”

Kepada TechCrunch, meskipun menolak mengungkapkan kapan target pencapaiannya, CEO HappyFresh Markus Bihler menyebutkan pendanaan ini akan mendorong mereka untuk mencapai titik keuntungan. Itu salah satu alasan penutupan operasional di Taiwan dan Filipina. HappyFresh sendiri memperoleh pendanaan dalam bentuk 3 cara, yaitu biaya transportasi, pembagian pendapatan dengan retailer, dan bisnis analytics HappyData.

Application Information Will Show Up Here

Dimo Luncurkan “Pay by QR”, Metode Pembayaran dengan QR Code

Bicara mengenai masa depan dari cashless tentunya menjadi hal yang menarik, apalagi saat ini sudah banyak perusahaan komunikasi, startup dan pihak terkait lainnya yang menawarkan layanan payment gateway memanfaatkan sepenuhnya teknologi dan meminimalisir penggunaan uang kertas.

Di Amerika Serikat sendiri kebiasaan ini sudah mulai dilakukan secara rutin, dengan menggunakan sistem pembayaran seperti Apple Pay dan untuk transportasi sepenuhnya menggunakan kartu kredit seperti Uber dan masih banyak lagi. Di Indonesia hingga saat ini pemerintah masih gencar menyusun formula yang tepat mengenai National Payment Gateway, seiring dengan makin banyaknya sistem pembayaran alternatif yang menjadi ‘enabler’ dari teknologi terkini.

Salah satu sistem pembayaran yang memanfaatkan sepenuhnya smartphone dan dihadirkan oleh PT. Dimo Pay Indonesia (dulunya FLASHiZ Indonesia), startup yang bergerak dalam bidang mobile payment, adalah Pay by QR. Dimo didukung SMDV sebagai investor utamanya.

Pay by QR merupakan metode pembayaran baru yang dikembangkan oleh Dimo dan dapat digunakan oleh para pengguna smartphone melalui berbagai sumber (bank, telco, e-wallet) di merchant apa pun yang sudah menjadi mitra dari Pay by QR. Pay by QR sudah bisa diunduh di platform iOS dan Android. Pay by QR sudah mendukung aplikasi Dompetku, Uangku, Simobi, dan Zimplepay.

Pada dasarnya, Pay by QR merampungkan seluruh data pembayaran yang biasa disalurkan dalam berbagai jenis data ke dalam sebuah Quick Response (QR) Code yang dapat “dipahami” dan diproses oleh seluruh pihak yang terlibat secara real time. Pay by QR dapat ditampilkan oleh merchant melalui berbagai cara, baik itu melalui monitor komputer, dicetak melalui mesin EDC, maupun langsung dari screen sebuah smartphone.

“Dengan memindai QR code penagihan tersebut, dana yang berada pada pihak sumber akan dialirkan ke pihak tujuan. Setelah pembayaran berhasil dilakukan, kedua pihak (sumber dan tujuan) akan mendapat notifikasi dari pihak penerbit submber dana mengenai transaksi pembayaran melalui Pay by QR,” ujar CEO Dimo Pay Indonesia Brata Rafly.

Fitur andalan menawarkan kemudahan pembayaran dan penagihan

Fitur utama yang ditawarkan kepada pengguna smartphone yang memiliki aplikasi ini adalah kemudahan dalam melakukan transaksi keuangan, seperti pembayaran maupun penagihan. Untuk melakukan penagihan, pengguna hanya perlu memasukan jumlah dana pada sistem Pay by QR, yang nanti akan diterjemahkan menjadi QR code, sementara pihak lainnya hanya perlu memindai QR code melalui sistem Pay by QR yang tersambung pada mobile banking/aplikasi e-money mereka untuk melakukan pembayaran.

“Cara kerja ini dapat menghemat waktu dan menyederhanakan proses perpindahan dana dari sumber dana satu ke sumber dana lainnya,” kata Brata.

Fitur lain yang terdapat dalam aplikasi ini adalah Loyalty, yaitu setiap transaksi yang dilakukan oleh nasabah tercatat secara otomatis dan nasabah sendiri berhak untuk mendapatkan potongan harga atau promo khusus lainnya (jika tersedia) setelah jumlah transaksi tertentu tercapai. Ada pula fitur Tipping, yaitu nasabah dengan leluasa dapat langsung memberikan dan mengatur jumlah uang tips dari aplikasi.

Kemudahan yang ditawarkan Pay by QR bagi merchant dari sisi bisnis adalah potensi untuk mendapatkan pelanggan baru dari para pengguna layanan uang elektronik dari bank maupun  perusahaan telekomunikasi mana pun. Merchant pun dapat memiliki sistem pembayaran digital yang cepat, efisien, dan aman. Merchant tidak lagi memerlukan banyak mesin EDC karena semua transaksi dapat dilakukan secara digital. Selanjutnya, perihal keamanan, semua masalah yang mungkin mengancam transaksi menggunakan uang kartal (uang sobek, uang palsu, bahkan perampokan) dapat diminimalisasi.

Pay by QR juga dapat mempersingkat waktu yang biasanya dibutuhkan untuk menerima jenis pembayaran lain, yang pada akhirnya bisa memangkas antrian panjang di kasir yang kerap membuat pelanggan frustrasi.

“Dalam hal ini Issuer sendiri tidak perlu lagi berlomba-lomba untuk menghabiskan dana dan waktu yang sangat besar guna mencari participating merchants yang bisa menampung pembayaran dari nasabah mereka. Ini merupakan win-win solution untuk semua pihak,” kata Brata.

Strategi pemasaran dan target Dimo

Saat ini Dimo telah menjalin kemitraan dengan beberapa sumber dana (source of fund) yang memiliki aplikasi digital, diantaranya adalah Uangku (Smartfren), Dompetku (Indosat), Zimplepay (El John Digital Finance) dan Simobi (Bank Sinarmas). Dimo juga telah menjangkau lebih dari 150 merchant atau gerai perbelanjaan.

Fokus utama dari Dimo saat ini adalah memberikan edukasi terhadap partner untuk lebih mengenal Pay by QR sebagai metode pembayaran yang cepat, efisien dan aman, terutama kepada source of fund dan merchant. Pada saat yang bersamaan Dimo juga terus mengembangkan teknologi pembayaran digital lainnya yang saat ini masih dalam tahap pengembangan dan jika siap akan segera diluncurkan pada tahun ini.

“Untuk saat ini, kami masih memfokuskan kegiatan pemasaran untuk terus menjangkau potential partners, baik itu merchant maupun source of fund. Di waktu mendatang yang mungkin cukup dekat, kami baru akan memperluas fokus pemasaran Pay by QR ke publik,” tuntas Brata.

HappyFresh Prepares for Surabaya

Two weeks ago, leading online grocery delivery platform HappyFresh sealed an investment worth $12 million from a number of investors, including Sinar Mas Digital Ventures (SMDV) and Vertex Venture. DailySocial interviewed HappyFresh’s Co-Founder and CEO Markus Bihler about the funding and its effects to the company’s operations in Indonesia. Continue reading HappyFresh Prepares for Surabaya

Mengenal Ruang Komunitas Teknologi D.LAB

Ruang komunitas teknologi D.LAB buatan SMDV / SMDV

Memiliki kantor atau inkubator bagi startup portolionya menjadi tren baru bagi investor di Indonesia. Setelah CyberAgent Ventures dan East Ventures mengembangkan konsep ini di Jakarta, kini giliran Sinar Mas Digital Ventures (SMDV) yang memperkenalkan D.LAB. D.LAB yang berlokasi di pusat kota Jakarta akan menjadi pusat kegiatan SMDV dan perusahaan portofolionya, termasuk yang dikembangkan oleh Ardent Capital.

Continue reading Mengenal Ruang Komunitas Teknologi D.LAB

Sinar Mas Digital Ventures Led an Investment Round for Thailand-Based Omise

Sinar Mas Digital Ventures (SMDV) led an investment round worth up to $2,6 million (around Rp34 billion) intended for Thailand-based Omise. East Ventures, 500 Tuktuks (500 Startups’ special fund for Thailand), and True also joined the round. Omise plans on utilizing the funding for their expansion preparation, including its “big plan” in Indonesia. Continue reading Sinar Mas Digital Ventures Led an Investment Round for Thailand-Based Omise

Sinar Mas Digital Ventures Pimpin Investasi untuk Layanan Pembayaran Online Thailand Omise

SMDV berinvestasi layanan payment gateway Thailand / Shutterstock

Sinar Mas Digital Ventures (SMDV) menjadi pemimpin putaran investasi Seri A senilai $2,6 juta (sekitar Rp 34 miliar) untuk layanan pembayaran online Thailand Omise. Selain SMDV, East Ventures, 500 Tuktuks (dana khusus 500 Startups untuk Thailand), dan operator True ikut berpartisipasi dalam putaran pendanaan kali ini. Omise akan menggunakan pendanaan ini untuk persiapan ekspansi, termasuk “rencana besar” di Indonesia.

Continue reading Sinar Mas Digital Ventures Pimpin Investasi untuk Layanan Pembayaran Online Thailand Omise

GiftCard Indonesia Peroleh Pendanaan Seri A Senilai $2 Juta

Ilustrasi Gift Card / Shutterstock

GiftCard Indonesia (GCI) mengumumkan perolehan pendanaan Seri A senilai $2 juta atau sekitar Rp 24 miliar dari grup investor yang dipimpin oleh Sovereign’s Capital yang berbasis di Amerika Serikat. Selain Sovereign’s Capital, investor yang ikut terlibat dalam putaran pendanaan ini adalah Lippo Digital Ventures, Sinar Mas Digital Ventures (SMDV), dan RMK Ventures. Pendanaan ini akan digunakan mengakselerasi pertumbuhan GiftCard Indonesia, termasuk memasuki pasar B2C.

Continue reading GiftCard Indonesia Peroleh Pendanaan Seri A Senilai $2 Juta