Bukalapak Berniat Melantai di Bursa AS dengan IPO Lokal sebagai Pendahulu

Tampaknya 2021 akan banyak diramaikan oleh rencana IPO dari sejumlah startup Indonesia. Setelah GoTo dan Tiket.com, baru-baru ini Bukalapak dikabarkan telah mengajukan permohonan untuk melakukan penawaran saham perdananya di Jakarta.

Berita ini sekaligus mengonfirmasi kabar Bukalapak yang sempat mempertimbangkan IPO beberapa waktu lalu. Namun, perwakilan Bukalapak, seperti diberitakan SCMP, menyebut pihaknya belum membuat keputusan apapun terkait hal ini.

Menurutnya, saat ini Bukalapak masih mencari peluang pertumbuhan dan akses permodalan. “Fokus kami adalah menemukan strategi yang tepat untuk menjadi perusahaan sustainable dan menciptakan value bagi mitra dan pengguna dalam jangka panjang,” ungkapnya.

Jika IPO ini terealisasi, aksi korporasi ini akan menjadikan Bukalapak sebagai salah satu startup teknologi besar pertama yang go public di Indonesia. Adapun, DailySocial telah mencoba mengonfirmasi kabar ini ke eksekutif Bukalapak, namun belum ada respons dari pihak terkait hingga berita ini diturunkan.

Jajaran investor Bukalapak

Sebagaimana dirangkum DealStreetAsia, saat ini ada tiga pemegang saham mayoritas yang menguasai sebesar 61,9% kepemilikan di Bukalapak, antara lain PT Kreatif Media Karya (31,9%), API (Hong Kong) Investment Limited (17,4%), dan GIC Singapore melalui Archipelago Investment Pte Ltd (12,6%).

Secara keseluruhan, terdapat total 47 pemegang saham di Bukalapak. Dari jumlah tersebut, sebanyak 13 pemegang saham menggenggam 90,46%. Sementara, 34 lainnya hanya memegang kepemilikan saham dalam jumlah kecil, termasuk Co-founder Bukalapak Achmad Zaky Syaifudin yang menguasai 5,8%, Muhamad Fajrin Rasyid sebesar 3,53%, dan Nugroho Herucahyono 2,78%.

Sekadar informasi, Kreatif Media Karya (KMK) adalah anak usaha bisnis digital dari PT Elang Mahkota Teknologi Tbk (EMTEK), perusahaan konglomerasi media dan teknologi milik Sariaatmadja. Ant Group selaku induk usaha Alibaba menguasai saham Bukalapak melalui API (Hong Kong) Investment Limited.

Baik EMTEK dan API, sama-sama mayoritas saham di platform uang digital DANA. Sebagai tambahan, API memiliki 45% saham DANA lewat anak perusahaan tidak langsung, yakni PT Elang Andalan Nusantara.

Lebih lanjut, beberapa investor menggunakan lebih dari satu kendaraan untuk berinvestasi di Bukalapak. Ambil contoh, Indies Capital Partners berinvestasi lewat dua perusahaan, yaitu Komodo Indigo Investment Ltd (0,51%) dan Komodo Opportunity Venture 1 Ltd (0,51%).

Kemudian, perusahaan ventura berbasis di AS 500 Startups mengalokasikan investasi melalui sejumlah dana kelolaan antara lain 500 Durians II LP, 500Durians LP, 500 Kimchi LP, 500 Startups III, dan 500 Startups IV LP.

Jika dirinci berdasarkan negara asal, tiga pemegang saham teratas Bukalapak terdiri dari Indonesia sebesar 50,96%, diikuti Hong Kong di urutan kedua sebesar 21,62%, dan Singapura 16,58%.

Listing AS lewat pendahulu jalur lokal

Bukalapak juga dilaporkan telah mengajukan listing proposal ke Bursa Efek Indonesia (BEI), dan diperkirakan dapat terealisasi pada awal Agustus. Untuk itu, platform e-commerce ini menunjuk Mandiri Sekuritas dan UBS AG Indonesia sebagai underwriter untuk listing di dalam negeri.

Sementara itu, Bukalapak juga menunjuk Merrill Lynch untuk mengeksplorasi peluang go public di Amerika Serikat (AS). Rencana IPO di Indonesia diyakini sebagai upaya awalan sebelum mendarat di bursa saham AS yang berpotensi terjadi melalui kendaraan Special Purpose Acquisition Company (SPAC).

Selain Bukalapak, startup lainnya juga tengah menjajaki upaya serupa lewat kendaraan perusahaan cek kosong atau SPAC, seperti Traveloka, GoTo, Grab, dan Ticket.com. Bahkan pemerintah telah memberikan lampu hijau dengan menyiapkan sejumlah relaksasi. Salah satunya adalah menerbitkan saham kelas ganda (dual class share).

Dengan upaya IPO sebagai upaya mencari akses permodalan, Bukalapak ingin membidik target pasar yang lebih luas, yaitu ke wilayah-wilayah pedalaman. Hal ini juga dilakukan untuk menghindari head-to-head dengan dua pesaing terbesarnya Tokopedia dan Shopee yang lebih banyak menguasai pasar di kota-kota besar atau metropolitan.

Bukalapak juga melihat peluang di mana sebanyak 70% retailer di Indonesia adalah toko yang dikelola keluarga. Untuk membidik segmen ini, mereka telah bermitra dengan 500 ribu warung di Indonesia.

Terlebih di situasi pandemi Covid-19, tak sedikit pelaku bisnis dan merchant di Indonesia yang terpaksa mengalihkan layanannya ke online demi mempertahankan bisnis. Sejumlah platform e-commerce mendapatkan keuntungan dari akselerasi digitalisasi ini.

Dengan strategi tersebut, Bukalapak ingin mengadaptasi taktik online-to-offline (O2O) yang digunakan raksasa e-commerce Alibaba Group dan Amazon kepada pasar yang lebih matang. Di sini, pelanggan memiliki pilihan untuk menjelajah di toko fisik yang dikombinasikan dengan penawaran dari platform digital.

Application Information Will Show Up Here

Selain Go-Public, Tiket.com Buka Peluang Bergabung dengan Super App

Kabar rencana go-public Tiket.com kembali menguak, kali ini pernyataan dilontarkan langsung oleh George Hendrata selaku CEO. Kepada Bloomberg, ia membenarkan bahwa perusahaan tengah mempertimbangkan untuk melakukan merger dengan perusahaan cek kosong (SPAC). Meski demikian, pihaknya juga tengah mengeksplorasi IPO tradisional.

Hal menarik lain, George mengungkapkan bahwa Tiket.com berpotensi bergabung dengan salah satu super app di Asia Tenggara sebagai salah opsi aksi korporasi yang akan dilakukan. Kendati tidak disebutkan namanya, terminologi tersebut umumnya merujuk pada Gojek atau Grab.

Sebelumnya Tiket.com dan Gojek sempat berkolaborasi merilis layanan GoTravel pada tahun 2019. Gojek, yang baru meresmikan GoTo bersama Tokopedia, juga memiliki keterkaitan dengan Djarum Group sebagai pemegang saham. CEO Blibli Kusumo Martanto juga menjabat sebagai salah satu board member di Gojek.

George sendiri menakhodai Tiket.com pasca perusahaan diakuisisi oleh Djarum Group melalui Blibli pada tahun 2017 lalu. Sebelumnya ia menjabat sebagai Direktur Pengembangan/Diversifikasi Bisnis Djarum.

[go-public] pasti akan masuk tahun ini. IPO Tradisional, juga melihat itu, tapi untuk pemulihan [bisnis] perjalanan secara penuh, itu akan memakan waktu satu atau bahkan dua tahun. Opsi SPAC lebih cepat,” ujarnya seperti dikutip Bloomberg.

Kabar yang beredar sebelumnya, Tiket.com tengah berdiskusi dengan COVA Acquisition Corp. untuk kesepakatan merger dengan nilai $2 miliar. Kepada DailySocial pihak Tiket.com juga telah mengonfirmasi, bahwa valuasi perusahaan saat ini sudah di atas $1 miliar.

Dalam wawancara terpisah, perwakilan Tiket.com mengatakan bahwa pihaknya sedang menjajaki sejumlah opsi strategis, IPO jadi salah satunya. “Kami belum dapat memberikan konfirmasi perihal target jadwal,” ujarnya.

Terkait putaran pendanaan baru, pihaknya mengatakan “Kami didukung oleh pemegang saham dan ekosistem yang kuat. Kami terbuka menjajaki kemitraan yang strategis yang dapat bersinergi dengan kami, agar bisa sama-sama menumbuhkan ekosistem dengan lebih kuat.”

Kendati bisnis travel sangat terganggu akibat pembatasan di tengah pandemi, namun pihak Tiket.com cukup optimis bahwa tahun 2021 akan menjadi kebangkitan industri pariwisata Indonesia, didasari oleh hadirnya vaksin, meningkatnya permintaan perjalanan, dan harapan dibukanya kembali travel ban di seluruh dunia pada waktu mendatang.

Berbagai inisiatif produk juga dihadirkan sebagai bentuk penyesuaian di tengah kondisi saat ini. Misalnya meluncurkan tiket HOMES yang memberikan opsi kepada pelanggan untuk akomodasi non-hotel (rumah atau vila) dan tiket Paylater yang memberikan opsi kemudahan dalam metode pembayaran.

Selain itu juga ada tiket FLEXI dan tiket CLEAN, fitur-fitur yang memberikan kemudahan bagi pelanggan untuk menentukan preferensi waktu perjalanan/liburan serta dapat memilih akomodasi atau destinasi wisata yang sudah memenuhi standar protokol kesehatan.

Opsi go-public oleh unicorn lokal terus mengerucut. Selain Tiket.com, startup lain meliputi Travelok, Bukalapak, GoTo, hingga Kredivo dikabarkan juga tengah dalam tahap penjajakan. Beberapa menargetkan bisa segera merealisasikan rencana tersebut tahun ini.

Application Information Will Show Up Here

Kredivo to Consider SPAC; Expecting “Go-Public” Testimony from Indonesian Tech Giants

The fintech paylater company, Kredivo, is reportedly considering an option to go public on the New York stock exchange through SPAC. The company plans to partner with Victory Park Capital’s unit, an investment company that also provided debt funding facilities to Kredivo worth $100 million in November 2020.

This news was first reported by DealStreetAsia. As we continue to follow up, Kredivo executives were reluctant to comment on the rumors.

From the existing funding rounds, Kredivo’s current estimated valuation has reached $500 million. The ranks of investors include Singtel Innov8, Telkomsel Mitra Inovasi, MDI Ventures, Cathay Innovation, DST Partners, and Kejora Intervest.

Meanwhile, the value of the blank check company to be partnered with is estimated at $255 million.

Go-public plans

Recently, Tiket.com’s plan to go-public resurfaced. The company, which has now valued more than $1 billion, is reportedly considering SPAC as its vehicle to go-public on the stock exchange. Rumor has it that they will collaborate with a blank check company COVA Acquisition Corp. (COVA), forming a unity valued at more than $2 billion.

In addition, as quoted by Kumparan, GoTo’s CEO, Andre Soelistyo said the Gojek-Tokopedia joint venture also plans to go-public on the stock exchange before the end of 2021.

In a general note, other unicorns, including Traveloka and Bukalapak have reportedly begun exploring the option of going public with SPAC.

The SPAC popularity arises as the conventional IPO process is considered more complicated, expensive, and time-consuming for technology startups. In the United States, 2020 is a significant momentum for go-public through blank check scheme. There are more than 200 SPACs raising an estimated $799 billion.

However, there has been a decline in SPAC prices and interest in institutional investors to enter the PIPE; it is possible for startups to rethink about going public through this mechanism.

Withersworldwide’s partner, Joel Shen argues, SPAC’s resurgence can be attributed to low interest rates, abundant liquidity in the market due to the stimulus of the US central bank system, and an increase in the number of acquisition targets, especially in technology.

Expecting testimony

The plan remains, even the companies above avoid to openly discuss or admit about the SPAC. Some have already given the signal to immediately conduct an IPO.

If these market-leading startups can succeed with SPAC, it will be both a measure and a good benchmark for the ecosystem. One of them is related to the company’s acceptance on foreign exchanges, even though its business is focused on local [regional] markets.

In his  analysis, Gabriel Li as an expert from Withers KhattarWong Singapore said that the [global] public market has currently showing interest to invest in Southeast Asian technology startups. The success of Sea Group in bringing e-commerce, video games and payments businesses is said to be one of the early triggers. Investments in Southeast Asian or Indonesian companies are seen to be complementary for most investors.

Investors in the capital market, the government, and even the general public are now waiting for concrete steps of the tech-giants to go-public on the stock exchange. It is expected with careful steps, local startups can really give their best performance, therefore, it turns out to be extraordinary examples for innovators following in the same direction.

Indonesian capital market

All the news about unicorns planning to go-public, the Indonesia Stock Exchange (IDX) did not sit still. Various adjustments were made as “inducements” to local technology companies to consider domestic IPOs.

IDX’s Development Director, Hasan Fawzi said some adjustment points compiled through conversations with industry players. It is related to the listing option on the main board, expand the classification of sub-sectors, and to the rights of the founder to do a dual class share.

Dual listing is predicted to be an option for startups, as it is undeniable that investors from the United States stock exchange are connecting companies to embrace a wider circle of investors. On the other hand, an IPO on a local stock exchange will spice up the Indonesian market, while being a manifestation of nationalism.

IDX’ Commissioner, Pandu Sjahrir’s also said, as quoted by Tempo, currently three unicorns have registered to the local stock exchange, although no further details have been identified.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
Gambar Header: Depositphotos.com

 

Giliran Kredivo Dikabarkan Jajaki SPAC; Menanti Pembuktian “Go-Public” Raksasa Teknologi Indonesia

Perusahaan fintech paylater Kredivo dikabarkan sedang mempertimbangkan opsi go-public di bursa New York melalui SPAC. Rencananya perusahaan akan menggandeng salah satu unit Victory Park Capital, perusahaan investasi yang juga memberikan fasilitas debt funding kepada Kredivo senilai $100 juta pada November 2020 lalu.

Kabar ini pertama kali diberitakan oleh DealStreetAsia. Ketika kami hubungi, eksekutif Kredivo enggan memberikan komentar terkait rumor tersebut.

Dari putaran pendanaan yang ada, saat ini estimasi valuasi Kredivo menyentuh angka $500 juta. Investor Kredivo termasuk Singtel Innov8, Telkomsel Mitra Inovasi, MDI Ventures, Cathay Innovation, DST Partners, dan Kejora Intervest.

Sementara perusahaan cek kosong yang akan digandeng ditaksirkan memiliki nilai hingga $255 juta.

Rencana go-public terus bergulir

Belum lama berselang, rencana go-public Tiket.com kembali mengemuka. Perusahaan yang kini telah bervaluasi lebih dari $1 miliar tersebut dikabarkan juga mempertimbangkan SPAC untuk menjadi kendaraannya melantai ke bursa saham. Rumornya mereka akan menggandeng perusahaan cek kosong COVA Acquisition Corp. (COVA), membentuk gabungan perusahaan bernilai lebih dari $2 miliar.

Selain itu, dalam sebuah keterangan yang dikutip Kumparan, CEO GoTo Andre Soelistyo mengatakan perusahaan gabungan Gojek-Tokopedia juga ditargetkan bisa melantai ke bursa sebelum akhir tahun 2021.

Dan seperti diketahui sebelumnya, unicorn lain Traveloka dan Bukalapak juga sudah dikabarkan mulai menjajaki opsi go-public dengan kendaraan SPAC.

Popularitas SPAC muncul akibat proses IPO konvensional dinilai lebih rumit, mahal, dan memakan waktu lebih banyak bagi startup teknologi. Di Amerika Serikat, tahun 2020 menjadi momentum pertumbuhan signifikan go-public lewat kendaraan cek kosong. Ada lebih dari 200 SPAC mengumpulkan sekitar $799 miliar.

Kendati demikian, saat ini terlihat adanya penurunan harga SPAC dan minat investor institusi untuk masuk ke PIPE; berkemungkinan para startup berpikir ulang untuk go-public lewat mekanisme ini.

Partner Withersworldwide Joel Shen berpendapat, kebangkitan popularitas SPAC dapat dikaitkan dengan suku bunga rendah, likuiditas yang melimpah di pasar karena stimulus dari sistem bank sentral AS, dan peningkatan jumlah target akuisisi, terutama di bidang teknologi.

Menanti pembuktian

Rencana masih sekadar rencana, bahkan perusahaan-perusahaan di atas belum mau secara terang-terangan membicarakan atau mengakui tentang SPAC tersebut. Beberapa memang sudah memberikan sinyal untuk segera melakukan IPO.

Jika para startup pemimpin pasar tersebut bisa berhasil dengan SPAC, ini akan menjadi barometer sekaligus tolok ukur yang baik untuk ekosistem. Salah satunya terkait penerimaan perusahaan di bursa asing, kendati bisnisnya fokus di pasar lokal [regional].

Dalam analisisnya, Gabriel Li selaku pakar dari Withers KhattarWong Singapura mengatakan, saat ini pasar publik [global] telah memperlihatkan keinginan untuk berinvestasi di startup teknologi Asia Tenggara. Kesuksesan Sea Group membawa bisnis e-commerce, video game, dan pembayaran dikatakan menjadi salah satu pemicu awal. Investasi di perusahaan Asia Tenggara atau Indonesia dipandang akan menjadi pelengkap bagi sebagian besar investor.

Investor di pasar modal, pemerintah, bahkan masyarakat secara umum kini menantikan langkah konkret para raksasa teknologi dalam melantai ke bursa. Harapannya, melangkah dengan kehati-hatian, para startup lokal dapat benar-benar memberikan performa terbaik sehingga dapat dijadikan percontohan yang luar biasa bagi inovator-inovator yang tengah merangkak ke arah yang sama.

Pasar modal di Indonesia

Mendengar kabar bahwa para unicorn berencana melangsungkan penawaran publik, Bursa Efek Indonesia (BEI) tidak tinggal diam. Berbagai penyesuaian dilakukan sebagai “bujukan” agar para perusahaan teknologi lokal turut mempertimbangkan IPO di dalam negeri.

Direktur Pengembangan BEI Hasan Fawzi sempat mengatakan beberapa poin penyesuaian yang dihimpun dari perbincangan dengan para pemain industri. Di antaranya terkait opsi masuk ke papan utama, perluasan klasifikasi sub-sektor, dan terkait hak founder melakukan dual class share.

Dual listing juga digadang-gadang dapat menjadi opsi bagi para startup, karena tidak dimungkiri bahwa investor dari bursa Amerika Serikat menghubungkan perusahaan untuk merangkul kalangan investor yang lebih luas. Di sisi lain, IPO di bursa lokal akan membuat pasar di Indonesia bergairah, sembari sebagai perwujudan nasionalisme.

Menurut keterangan Komisaris BEI Pandu Sjahrir, seperti dikutip Tempo, saat ini sudah ada tiga unicorn yang mendaftar ke bursa lokal, kendati tidak disebut detail nama-namanya.

Gambar Header: Depositphotos.com

Tiket.com Confirms the Unicorn Status, Considering IPO through SPAC on the NYSE

Tiket.com is exploring the potential to go public on the New York stock exchange through SPAC. According to a Bloomberg report, the company is in discussions with COVA Acquisition Corp. (COVA), with an estimated of $2 billion combined value of the companies. The company is also said to consider raising an additional $200 million through the PIPE scheme.

The representative of Tiket.com has confirmed the unicorn status. He ensured that the company is exploring the potential to go public.

“Regarding that, we can now confirm that Tiket.com is now a unicorn, and Tiket.com plans for an IPO in the future,” a spokesperson for Tiket.com said.

Tiket.com was founded in 2011 and acquired by the Djarum Group through Blibli in 2017. Currently, both are operating as separate legal entities (PT), therefore, it is possible whether Tiket.com run for an IPO first.

Tiket.com founders are Mikhael Gaery Undarsa (CMO), Wenas Agusetiawan, Dimas Surya Yaputra (CCO), and Natali Ardianto (CTO – already exited). George Hendrata currently serves as Tiket.com’s CEO.

In April 2021, Tiket.com’s Co-Founder & CMO Gaery Undarsa stated at the media gathering that airline ticket sales has increased by 331%, while hotel reservations increased by 321%.

The positive result was obtained amidst various restrictions due to the pandemic.

Previously, several unicorn startups had planned to go public through SPAC, including Traveloka, which is Tiket.com’s closest competitor. Other unicorns also  rumored to conduct an IPO, including GoTo (Gojek and Tokopedia) and Bukalapak. In addition, the MNC conglomerate’s OTT business unit has chosen a similar step.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Tiket.com Konfirmasi Sandang Status Unicorn, Jajaki Potensi Melantai di Bursa New York (UPDATED)

Menurut pemberitaan Bloomberg, Tiket.com dikabarkan menjajaki potensi go public di bursa saham New York melalui SPAC. Perusahaan tengah berdiskusi dengan COVA Acquisition Corp. (COVA), dengan estimasi nilai gabungan perusahaan mencapai $2 miliar. Perusahaan disebut juga berpotensi meraih dana tambahan $200 juta melalui skema PIPE.

Kepada DailySocial, pihak Tiket.com mengonfirmasi status unicorn ini. Mereka juga memastikan perusahaan sedang menjajaki potensi go public. Meskipun demikian, perusahan tidak menyebutkan apakah akan menggunakan kendaraan SPAC.

“Sehubungan dengan itu, saat ini kami dapat memastikan bahwa Tiket.com telah berstatus unicorn, dan Tiket.com memiliki rencana IPO ke depan,” ujar juru bicara Tiket.com.

Tiket.com didirikan tahun 2011 dan diakuisisi Djarum Group melalui Blibli pada tahun 2017. Saat ini keduanya tetap berjalan dengan entitas legal (PT) terpisah, sehingga memungkinkan jika Tiket.com melangsungkan IPO terlebih dulu.

Para pendiri Tiket.com adalah Mikhael Gaery Undarsa (CMO), Wenas Agusetiawan, Dimas Surya Yaputra (CCO), dan Natali Ardianto (CTO – sudah exit). George Hendrata saat ini menjadi CEO perusahaan.

Di sebuah kesempatan temu media pada April 2021 lalu, Co-Founder & CMO Tiket.com Gaery Undarsa menyampaikan penjualan tiket pesawat naik sebesar 331%, sementara reservasi hotel naik di angka 321%.

Capaian positif ini didapat di tengah berbagai pembatasan akibat pandemi.

Sebelumnya beberapa startup unicorn telah merencanakan go public via SPAC, termasuk Traveloka yang merupakan kompetitor terdekat Tiket.com. Unicorn lain yang dikabarkan hendak menjajaki IPO adalah GoTo (Gojek dan Tokopedia) dan Bukalapak. Di samping itu unit bisnis OTT konglomerasi MNC juga memilih langkah serupa.

Application Information Will Show Up Here

Grab Resmi Umumkan Rencana “Go Public” Melalui SPAC

Kemarin Grab mengumumkan kepastian go public di bursa saham Amerika Serikat menggunakan Special Purpose Acquisition Company (SPAC) bermitra dengan perusahaan cek kosong (blank check company) Altimeter Growth Corp ($AGC). Tidak disebutkan kapan pastinya proses ini selesai, tapi diperkirakan perusahaan resmi menggunakan ticker $GRAB di pertengahan tahun ini.

Grab menjadi perusahaan Asia Tenggara kedua yang memastikan melantai menggunakan SPAC. Sebelumnya Vision+, anak perusahaan MNC, telah menggandeng Malacca Straits Acquisition Company ($MLAC) untuk go public di kuartal ketiga tahun ini.

Grab membidik valuasi $39,6 miliar (sekitar Rp580 triliun) dan perolehan dana segar $500 juta dari $AGC dan melalui PIPE (Private Investment in Public Equity) senilai $4 miliar. $750 juta di antaranya merupakan komitmen Altimeter.

“Altimeter berkomitmen untuk memegang saham yang dimiliki oleh sponsornya selama tiga tahun dan juga akan melakukan kontribusi yang besar dari sahamnya untuk dana abadi GrabForGood. Altimeter bersama dengan para investor dan lembaga pengelola investasi ternama lainnya akan bersama kami dalam jangka panjang,” ujar Group CEO dan Co-Founder Grab Anthony Tan.

Angka valuasi Grab ini setara dengan valuasi yang diharapkan hasil merger Gojek dan Tokopedia. Sepanjang tahun 2020, Grab mencatatkan penjualan (Gross Merchandise Value / GMV) $12,5 miliar, dengan pilar bisnis terdiri atas Delivery (pengantaran), Mobility (pergerakan orang), dan Finance (kegiatan finansial). Indonesia adalah pasar terbesar Grab.

Anthony mengatakan, “Merupakan suatu kebanggaan bagi kami untuk dapat mewakili Asia Tenggara di pasar terbuka global. Langkah ini merupakan pencapaian dari perjalanan kami dalam memberikan akses kepada setiap orang untuk dapat menikmati kemajuan ekonomi digital. [..] Ketika Asia Tenggara sukses, maka Grab juga sukses.”

Brad Gerstner, Founder & CEO, Altimeter menambahkan, “Sebagai salah satu perusahaan internet terbesar di dunia dengan pertumbuhan terpesat, Grab membuka jalan digital bagi 670 juta masyarakat Asia Tenggara. Kami sangat senang bahwa Grab memilih Altimeter Capital Markets sebagai mitra IPO mereka dan sangat bersemangat untuk bergabung menjadi pemilik-pemilik jangka panjang dari perusahaan yang inovatif dan bermisi besar ini.”

Hati-hati dengan SPAC

Makin menjamurnya perusahaan yang go public menggunakan SPAC menjadi perhatian tersendiri dari regulator. Regulator Amerika Serikat, SEC, menghimbau agar keputusan berinvestasi di suatu SPAC tidak semata-mata karena didukung selebritas industri dan mewajibkan investor tetap melakukan pengecekan dan riset sendiri.

Data pertumbuhan dana yang diperoleh dari publik melalui SPAC dalam 8 tahun terakhir / Dealogic dan Goldman Sachs Global Investment Research
Data pertumbuhan dana yang diperoleh dari publik melalui SPAC dalam 8 tahun terakhir / Dealogic dan Goldman Sachs Global Investment Research

Menurut data yang dikompilasi Dealogic dan Goldman Sachs, pertumbuhan perolehan dana publik melalui SPAC melonjak pesat di tahun 2020 dan mencapai puncaknya di kuartal pertama 2021. ZeroHedge melaporkan angka ini turun drastis di permulaan kuartal kedua. SEC disinyalir memperketat proses pendaftaran dan go public SPAC ini demi melindungi dana publik.

Secara umum, SPAC mempermudah dan mempercepat proses go public perusahaan karena tidak banyak paperwork dan persyaratan yang harus dipenuhi perusahaan. Meskipun demikian, kasus Nikola, yang menyebabkan pendirinya harus mengundurkan diri, merupakan contoh bahwa perusahaan yang go public melalui SPAC ternyata belum pasti bebas dari masalah.

Tandai Era Baru, Bisnis OTT MNC Group Segera “Go Public” di Bursa Amerika Serikat Melalui SPAC

MNC Vision Networks, (IDX: IPTV) melalui anak usahanya Asia Vision Network (AVN) atau dikenal dengan produk aplikasinya Vision+, mengumumkan telah resmi menandatangani perjanjian penggabungan usaha dengan Malacca Straits Acquisition Company (NASDAQ: MLAC), sebuah SPAC (Special Purpose Acquisition Company).

Rumor ini sudah beredar sejak Februari 2021 lalu. Melalui surat tanggapan yang dipublikasikan melalui IDX, pihak IPTV mengonfirmasi soal rencana tersebut. Hanya saja disampaikan bahwa proses filling belum dilakukan, sehingga belum bisa menginformasikan lebih lanjut ke otoritas.

Berdasarkan informasi terbaru yang disebarkan ke media, proses merger ditargetkan tuntas pada akhir Q2 2021. Proses penandatanganan Business Combination Agreement sudah dilakukan per 22 Maret 2021 oleh kedua pihak. Proyeksi valuasi perusahaan adalah senilai $573 juta atau setara 8 triliun Rupiah — mencerminkan rasio EV/EBITDA di 5,8 kali dari nilai tersebut. Kombinasi bisnis juga diperkirakan akan menambah modal segar sekitar $135 juta — jika tidak ada penebusan pemegang saham publik MLAC.

Selain mengoperasikan OTT (over the top) lewat aplikasi streaming video, AVN juga membawahi MNC Play sebagai operator TV berbayar dan layanan broadband.

Merger ini bakal menandai perjanjian perdana antara startup teknologi Indonesia dan SPAC untuk melantai di bursa saham Amerika Serikat. Sebelumnya sejumlah startup unicorn telah ramai dirumorkan mengambil langkah serupa, tetapi sejauh ini belum ada konfirmasi realisasi.

Gambaran kompetisi pasar

Berdasarkan data yang dihimpun di Statista Digital Market Outlook 2020revenue layanan video-on-demand (VOD) di Indonesia diprediksikan mencapai $411 juta atau setara 5,9 triliun Rupiah pada 2021 dengan penetrasi pengguna mencapai 16,5% dengan rata-rata revenue per pengguna (ARPU) $9.02. Sub-segmen yang menyumbangkan nilai terbesar adalah video streaming (SVoD), dengan kisaran $237 miliar.

Vision+ menjadi bagian dari ekosistem ini, berkompetisi sengit dengan para pemain lainnya. Dari pemetaan pemain SVOD yang dirangum dalam Startup Report 2020, setidaknya saat ini ada 21 varian layanan dengan berbagai spesialisasi konten. Ditinjau dari statistik penggunaan layanan lokal, aplikasi Vidio, RCTI+, dan Maxstream masih memimpin tiga besar yang paling banyak dipakai.

Kuat di siaran TV (baik gratis maupun berbayar) tidak menghentikan Vision+ untuk meningkatkan value propsition-nya. Karena ini mereka juga mulai banyak merilis seri orisinal film, dan beberapa tayangan eksklusif lainnya. Saat ini aplikasi sudah diunduh lebih dari 5 juta pengguna di Google Play dengan rating  4.4/5.0.

Sementara jika membandingkan dengan pemain global, ada beberapa pesaing berat yang saat ini terus menggencarkan penetrasinya di Indonesia. Dari Tencent, mereka punya dua amunisi, yakni WeTV dan iflix, dengan diversifikasi konten seri orisinal produksi Tiongkok. Kemudian ada Netflix sebagai pemimpin pasar SVOD global, juga Disney+ Hotstar yang mulai debut tahun 2020 lalu dengan konten khasnya.

Peta persaingan VOD di Indonesia

Pembatasan sosial akibat pandemi juga banyak mendatangkan pengguna baru, sebagai alternatif hiburan selama di rumah saja. Salah satunya divalidasi oleh survei McKinsey pada Maret s/d April 2020, sebanyak 45% responden mengaku mengeluarkan lebih banyak uang untuk hiburan di rumah dan berdampak pada pertumbuhan konsumsi konten video sebesar 53% dari sebelumnya.

Menurut data Media Partners Asia, hingga awal tahun ini Disney+ Hotstar sudah memiliki 2,5 juta pelanggan di Indonesia, Viu memiliki 1,5 juta pelanggan, dan Vidio 1,1 juta pelanggan (premium). Sementara Netflix memiliki 800 ribu. Disney+ Hotstar gencar memberikan paket akses premium gratis, di-bundling dengan paket internet dari Telkomsel (mitra peluncurannya di Indonesia). Menurut keterangan MNC, Vision+ saat ini memiliki 5,6 juta pelanggan, dan 1,6 juta di antaranya adalah pelanggan berbayar.

DNA bisnis MNC Group sebagai korporasi media tentu menjadi nilai plus jika mengharapkan Vision+ dapat menjadi pemimpin pasar di Indonesia. Setidaknya mereka telah membuktikan lewat kanal siaran televisi dengan menguasai 48% market share nasional. Namun pelanggan SVOD (dalam konteks pengguna premium) dengan pemirsa televisi bisa saja memiliki irisan demografi dan karakteristik yang berbeda, sehingga memang harus divalidasi lebih lanjut.

Fixed broadband dan TV kabel

Terkait fixed-broadband atau jaringan internet rumahan, menurut data yang dihimpun Techinasia per Juni 2020, setidaknya ada 11 pemain yang saat ini menyuguhkan layanannya termasuk MNC Play. Kebanyakan layanan TV kabel juga disuguhkan bersanding dengan paket internet yang diberikan.

Fixed Broadband Layanan Hiburan Penawaran Kecepatan Biaya Langganan Dasar Cakupan
MNC Play TV Kabel, VOD 10Mbps s/d 70Mbps Rp290ribu s/d Rp1juta Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, Malang
Indosat Ooredoo GIG TV Kabel, VOD 20Mbps s/d 100Mbps Rp280ribu s/d Rp1juta DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, DI Yogyakarta, Banten
Biznet Networks TV Kabel, VOD 75Mbps s/d 150Mbps Rp325ribu s/d Rp725ribu Wilayah Pulau Jawa, Batam, dan Bali
First Media TV Kabel, VOD 15Mbps s/d 300Mbps Rp361ribu s/d Rp3,1juta Jabodetabek, Bandung, Cirebon, Purwakarta, Semarang, Solo, Surabaya, Kediri, Malang, Gresik, Sidoarjo, Surabaya, Bali, Medan, Batam
CBN Fiber TV Kabel, VOD 30Mbps s/d 200Mbps Rp299ribu s/d Rp1,3juta Jabodetabek, Bandung, Cirebon, Denpasar, Medan, Palembang, Surabaya, Jember Kediri, Madiun, Malang, Sidoarjo, Semarang
Indihome TV Kabel, VOD 10Mbps s/d 50Mbps Rp169ribu s/d Rp625ribu Sumatra, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua
Groovy TV Kabel 10Mbps s/d 80Mbps Rp269ribu s/d Rp568ribu Jabodetabek, Bandung
MyRepublic TV Kabel, VOD 30Mbps s/d 300Mbps Rp329ribu s/d Rp1,2juta Jabodetabek, Bandung, Malang, Medan, Palembang, Semarang, Surabaya
Oxygen.ID TV Kabel, VOD 25Mbps s/d 100Mbps Rp273ribu s/d Rp493ribu Jabodetabek, Bandung, Pekalongan
XL Home TV Kabel, VOD 100Mbps s/d 1Gbps Rp349ribu s/d Rp999ribu Jabodetabek, Bandung, Banjar Baru, Banjarmasin, Bekasi, Balikpapan, Bantul, Denpasar, Makassar, Sleman
Transvision TV Kabel, VOD 30Mbps s/d 1Gbps Rp269ribu s/d – Jabodetabek

Bersumber dari Key Market Indicators Statista, data statistik berikut menunjukkan perkiraan jumlah rumah tangga dan penetrasi penggunaan TV internet berlangganan (iptv) di Indonesia hingga tahun 2025 mendatang. Konsep iptv menggunakan internet sebagai transmisi layanan.

Urgensi untuk memiliki layanan internet rumahan dapat menjadi pendorong utama peningkatan penetrasi layanan ini – terlebih pandemi memang banyak mendorong konsumsi internet di tengah masyarakat Indonesia, baik untuk menunjang kebutuhan work from home (WFH), learning/school from home (LFH), atau untuk hiburan.

Penetrasi IPTV di Indonesia

Sementara itu, menurut data International Telecommunication Union pelanggan layanan internet rumahan (fixed broadband) di Indonesia hingga tahun 2019 sudah melebihi angka 10 juta. Jika menghubungkan pada tabel sebaran penyedia layanan di atas, masih banyak daerah yang belum diakomodasi oleh layanan tersebut. Artinya angka ini juga masih terus berpotensi bertumbuh seiring peningkatan adopsi dan ekspansi dari penyedia bisnis itu sendiri.

Fixed Broadband Subscription in Indonesia

Dari hasil survei yang dilakukan oleh Nusaresearch periode April 2020 melibatkan 2.792 responden, diungkapkan beberapa penyedia layanan broadband (mencakup mobile dan fixed) di Indonesia. Dengan cakupan yang masih cukup terbatas, MNC Play masih menempati posisi 10 besar dan menjadi 1 dari 4 layanan fixed yang paling banyak digunakan. Dari rilis yang diedarkan, MNC Play saat ini juga telah memiliki sekitar 300 ribu pelanggan.

Internet provider Indonesia 2020

Penguatan lini bisnis

Dalam keterbukaannya juga disampaikan, bahwa saat ini AVN sedang menyelesaikan akuisisi 100% saham K-Vision. Transaksi ditargetkan rampung pada akhir bulan ini. K-Vision sendiri adalah perusahaan penyedia layanan TV kabel yang berinduk pada perusahaan yang sama. Diharapkan pasca akuisisi bisa menambahkan pilihan konten di layanan SVOD Vision+, termasuk sinaran populer dari RCTI, GTV, MNCTV, iNews, dan 13 saluran lokal ainnya. Saat ini K-Vision telah memiliki sekitar 6 juta pelanggan.

Secara struktur bisnis, AVN akan membawahi tiga unit perusahaan, termasuk Playbox sebagai pengembang OTT BOX Android untuk penyiaran televisi berbayar.

Struktur MNC Media Group

Di luar grup bisnis media, MNC juga terus memperkuat ekosistem digitalnya. Beberapa waktu lalu kami sempat mewawancara Direktur MNC Kapital Jessica Tanoesoedibjo, dalam pemaparannya saat ini perusahaan tengah memperkuat penetrasi aplikasi pembayaran SPIN, termasuk dengan mengintegrasikan ke berbagai lini bisnis lainnya, termasuk Vision+, MNC Play, dan lain-lain.

Application Information Will Show Up Here

Bukalapak Reportedly Aims for IPO, Enhancing Business Diversification

The news about a local unicorn planning for an IPO has spread, it’s coming to Bukalapak. According to a Bloomberg source, it started to explore the potential to go public on the IDX (at low shares), then continue to take it on the US stock exchange through the SPAC scheme. The company is said to be in discussion with several blank check companies and has started working with investment banks to explore.

Through SPAC, Bukalapak’s valuation is to reach $4-5 billion from the current value at $3.5 billion. Apart from Ant Group, GIC, and EMTEK Group, Bukalapak is supported by a number of investors and corporations including GIC, Naver Corp, Microsoft, and Standard Chartered. In Indonesia itself, according to research findings, Bukalapak is in third place after Shopee and Tokopedia – with an online marketplace high-tension competition with fast business dynamics.

In order to confirm, DailySocial is in contact with Bukapalak’s President, Teddy Oetomo. However, he avoids commenting on this matter. Meanwhile, the company representative said that after 11 years of operation, they are now focused on building a sustainable business to create a long-term impact on MSMEs and the Indonesian people through reliable online and online-to-offline platforms.

The news surfaced after Bukalapak’s CEO, Rachmat Kaimuddin said on an occasion, “We still want to be independent and run Bukalapak as a standalone company. IPO is an option to be able to obtain funds and technology companies will eventually want to IPO. We are open to that option and are now preparing the infrastructure.”

In his writing, Bukapak’s founder and former President Fajrin Rasyid signaled his support for Indonesian startups for an IPO. One thing he emphasized was that the net benefit for this country would be better if the IPO was conducted domestically, or at least a dual listing at home and abroad.

Business Diversification

Bukalapak is still on track to pursue profitability by exploring various sectors outside its core business as an e-commerce service. For example, through a subsidiary called Buka Investasi Bersama, it’s to deepen the mutual fund investment business, especially targeting the underserved. On a general note, this investment instrument is getting its momentum along with the increase in financial literacy of various circles of society.

Through the LinkedIn post, Bukalapak’s COO, Willix Halim published that his team was recruiting various strategic positions for a new business unit. He wrote that the ability to speak Tagalog (the native language of the Philippines) will be prioritized. Rumor has it that Bukalapak is trying to explore the Philippine market with a new business. We tried to confirm with Bukalapak regarding this issue, however, they avoid making further comments.

Business diversification is an important strategy in Bukalapak. Related to e-commerce supporting businesses, the stall partnership program “Mitra Bukalapak” has found quite strong performance – it is considered to be one of the most significant innovations. Throughout 2020, Rachmat said, the growth of this line will reach 50%. The business unit under the legal name “Buka Mitra Indonesia” has its own CEO, Howard Gani. Currently, Bukalapak has 100 million users with 7 million partners.

Bukalapak is the fourth unicorn that is reportedly taking the floor on the stock exchange. Previously, Gojek, Tokopedia, and Traveloka had been widely discussed regarding their plans for an IPO through SPAC. In addition to the rapidly growing business, currently, it is considered to be the right momentum to take this corporate action – considering market conditions and readiness.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Kompetisi “Go Public” Raksasa Teknologi Asia Tenggara

Analis dan laporan media memproyeksikan bahwa 2021 akan menjadi tahun yang bersemangat bagi ekosistem teknologi Asia Tenggara karena raksasa teknologi di kawasan itu sedang giat mengincar penawaran umum perdana (IPO). Gebrakan itu muncul pada tahun 2020, ketika e-commerce unicorn Tokopedia dilaporkan sedang menjajaki opsi untuk listing melalui perusahaan akuisisi bertujuan khusus (SPAC) pada bulan Desember dan menunjuk Morgan Stanley dan Citigroup sebagai penasihatnya.

Tak lama kemudian, tersiar kabar bahwa Traveloka, unicorn lain yang berbasis di Indonesia, sedang mempertimbangkan IPO melalui skema yang sama. Perusahaan harus melewati turbulensi pada tahun lalu, ketika industri perjalanan dan perhotelan terhenti di seluruh dunia. Namun, di bulan Januari, CEO Traveloka, Fery Unardi, mengatakan kepada Bloomberg bahwa bisnis telah pulih dan perusahaan sedang mempertimbangkan jalur yang harus ditempuh, seperti merger SPAC untuk IPO tahun ini. Traveloka dikabarkan telah mengadakan diskusi dengan beberapa perusahaan cek kosong, termasuk perusahaan yang baru dibentuk seperti Bridgetown Holdings, yang didukung oleh Peter Thiel dan Richard Li.

Ada perkembangan yang bahkan lebih mencekam. Setelah berbulan-bulan berspekulasi, diskusi merger Grab dan Gojek — percobaan pertandingan yang dilakukan oleh Masayoshi Son dari SoftBank — gagal pada bulan Januari, dan kedua perusahaan tersebut menempuh jalur yang berbeda. Gojek dilaporkan sedang dalam pembicaraan lanjutan dengan Tokopedia untuk megamerger lain sebelum go public, sementara Grab mungkin meluncurkan IPO-nya sendiri di AS tahun ini.

Investor sering mengharapkan perusahaan portofolio untuk go public dalam jangka waktu tertentu, sehingga mereka dapat menguangkan sahamnya. Jika perusahaan portofolio tidak melakukan ini, mungkin akan dikenakan pembayaran kontraktual yang cukup besar. Misalnya, Grab akan berutang kepada Uber $2 miliar jika perusahaan yang berbasis di Singapura tersebut tidak memiliki saham yang diperdagangkan secara publik pada Maret 2023. Sementara itu, IPO yang berhasil dapat memberikan imbal hasil yang menarik bagi investor awal — dan memberikan preseden yang berarti ketika mereka mengumpulkan uang untuk fund baru. dana. Ini adalah siklus yang melahirkan dana investasi yang lebih besar dan lebih beragam yang dapat memotong cek yang lebih besar untuk para startup.

Keempat perusahaan ini — Grab, Gojek, Tokopedia, dan Traveloka — mungkin akan memperdagangkan sahamnya di New York, di mana Sea Group dari Forrest Li memimpin jalan bagi perusahaan teknologi yang berkembang pesat di Asia Tenggara. Mereka mendapat pengakuan nama di wilayah asalnya, tetapi apakah mereka dapat meyakinkan investor di AS untuk mempertahankan saham mereka?

Berlomba-lomba IPO

Para pendiri Grab, Gojek, Tokopedia, dan Traveloka semuanya telah menyatakan niatnya untuk mencapai profitabilitas sejak 2019. Tekanan meningkat tahun lalu karena pandemi — para investor mereka mengharapkan hasil. Go public memberi investor jalan keluar yang alami; Jika semua berjalan sesuai rencana, empat perusahaan teknologi Asia Tenggara akan membuka jalur uang tunai dari AS untuk mengalir ke pundi-pundi para modal ventura.

“Pasar publik telah mencerminkan keinginan yang luar biasa untuk berinvestasi di kancah teknologi Asia Tenggara, dan orang tidak perlu melihat lebih jauh dari Sea Group untuk melihat sejauh mana minat pasar dalam opsi untuk berinvestasi ke perusahaan teknologi di kawasan itu,” ujar Gabriel Li, seorang rekan dari firma hukum Singapura Withers KhattarWong.

Sebagai perusahaan teknologi yang mencakup e-commerce, video game, dan pembayaran, Sea Group adalah anak emas Asia Tenggara untuk pasar publik. Meskipun harga sahamnya datar selama lebih dari dua tahun, pemegang saham meraup 400% keuntungan di kertas di tahun 2020 saja.

Itu menambah kapitalisasi pasar sebesar $6 miliar ke Sea. Ini beberapa kali lebih banyak dari pertumbuhan Indeks Komposit NYSE pada periode yang sama, sebut Gabriel, dan dapat mendorong perusahaan teknologi lain untuk membuka garda depan persaingan baru, kali ini di pasar modal. “Perlombaan untuk tercatat kemungkinan merupakan bagian dari persaingan abadi untuk mendapatkan pangsa pasar. Ini hanyalah salah satu manifestasi terbaru mengingat, sekarang, sebagian besar akan merasa bahwa daftar akan jadi sangat bermanfaat. Dan sebagian besar akan mencoba meniru pengalaman Sea Group,” ujar Gabriel.

Saat ini, hanya ada sedikit pilihan bagi investor yang ingin memasukkan uangnya ke sektor teknologi kawasan. Menjadi salah satu firma pertama yang memperoleh simbol ticker di New York sama saja dengan memanfaatkan kesempatan yang ada. “Kelangkaan opsi kemungkinan akan mengarah pada penilaian yang lebih baik,” kata Gabriel, terutama karena perusahaan Asia Tenggara berada di radar investor Tiongkok dan Amerika sebagai opsi yang layak untuk mendiversifikasi portofolio. “Investor ini tidak hanya mencari peluang pertumbuhan investasi yang lebih tinggi di Asia Tenggara, tetapi juga mencari teknologi dan solusi yang lebih baru sebagai area pertumbuhan yang dapat meningkatkan portofolio yang ada.”

Sementara itu, Masana Takahashi, pendiri firma penasihat akuntansi dan keuangan perusahaan yang berbasis di Singapura, Jidobox, percaya bahwa minat investor pada perusahaan bergantung pada fundamental ekonomi tempat mereka beroperasi.

“Ada dua jenis investor utama — ritel dan institusional. Investor ritel boleh membeli ‘pasar Indonesia’ daripada Gojek atau Tokopedia,” kata Masana. “Mereka tahu Indonesia memiliki populasi yang besar dan ekonomi yang berkembang, yang membuat mereka tertarik untuk membeli saham teknologi Indonesia. Investor institusional membangun portofolio untuk melindungi nilai risiko, sehingga mereka akan memilih perusahaan yang memainkan peran penting dalam perekonomian negara mereka. ”

Takahashi berpendapat bahwa investasi di Indonesia atau perusahaan Asia Tenggara akan menjadi pelengkap bagi sebagian besar investor. “Investor tidak membutuhkan banyak unicorn di Asia Tenggara. Mereka hanya perlu merasakan sebagian dari pertumbuhan ekonomi kawasan. Misalnya, menurut saya orang Amerika tidak akan berinvestasi di Grab sebanyak yang mereka investasikan di Apple, karena mereka tidak familiar dengan perusahaannya.”

Seperti Gabriel Li, Masana setuju bahwa perusahaan yang melakukan IPO pertama di antara keempatnya akan dinilai dengan valuasi yang lebih tinggi.

Mampukah perusahaan teknologi Asia Tenggara mencapai bursa Tiongkok?

Banyak investor institusional menikmati keuntungan luar biasa melalui kesuksesan perusahaan Tiongkok di pasar saham AS. Namun, kebuntuan geopolitik antara AS dan Tiongkok telah meninggalkan tanda tanya atas masa depan perusahaan Tiongkok yang terdaftar di New York. Ketegangan ini bahkan mungkin menghalangi perusahaan baru untuk mendaftar di bursa saham Amerika, menurut GlobalData, sebuah perusahaan analitik. Faktanya, sejumlah perusahaan Tiongkok sedang mempertimbangkan secondary listings yang lebih lokal di Hong Kong.

Itulah mengapa perusahaan-perusahaan dari Asia Tenggara mungkin menarik bagi investor di AS. Wilayah ini diakui sebagai ekonomi terbesar keempat di dunia. Ini adalah rumah bagi populasi muda yang merasa nyaman dengan alat teknologi baru yang menyatu dengan kehidupan sehari-hari. Secara keseluruhan, Asia Tenggara memiliki 400 juta orang yang bergerak online, dan jumlah itu akan terus meningkat di tahun-tahun mendatang. Ini berarti potensi pertumbuhan yang luar biasa mungkin diambil oleh investor asing, menurut Gabriel. “Masuknya dana ke Asia Tenggara mungkin terus meningkat karena semakin mendapat pengakuan sebagai pasar berkembang.”

Bagaimanapun, fragmentasi pasar di Asia Tenggara dapat menimbulkan tantangan, dan fundamental ekonomi regional tidak sekokoh Tiongkok, sehingga tidak mungkin perusahaan teknologi Asia Tenggara melihat keriuhan yang sama di pasar saham layaknya beberapa perusahaan Tiongkok, ujar Masana. “Tiongkok sudah memiliki sekitar 300 juta masyarakat kelas menengah ke atas, sehingga memiliki daya beli negara maju. Ini perbedaan yang signifikan dari Asia Tenggara,” ujarnya.

Meskipun raksasa teknologi Asia Tenggara mungkin memiliki rencana bisnis jangka panjang yang menjanjikan, harga saham mereka mungkin akan tetap stagnan atau bahkan turun setelah debut mereka, seperti halnya Sea Group.

“Jika keuangan mereka tidak menarik, mereka tidak akan bisa menarik investor. Mayoritas investor di pasar saham AS tidak mengenal Asia Tenggara dan Anda mungkin tidak ingin berinvestasi di aset yang tidak Anda ketahui,” sebut Masana. “Kecuali raksasa teknologi ini dapat membuktikan bahwa mereka akan tumbuh pesat seperti Sea Group, tidak ada yang akan memperhatikan perusahaan yang merugi di negara yang asing dan jauh.”

The US Stock Exchange- Photo by Aditya Vyas on Unsplash
Bursa Efek AS mungkin akan segera menjadi rumah bagi simbol ticker dari lebih banyak raksasa teknologi di Asia Tenggara. Foto oleh Aditya Vyas dari Unsplash

Kapten yang gigih

Salah satu investor besar telah menjadi pendorong konstan dalam perjalanan membawa perusahaan teknologi Asia Tenggara dari swasta ke publik. Masayoshi Son dari SoftBank berusaha mengatur monopoli dengan menggabungkan Grab dan Gojek, dan dia dilaporkan telah memberikan restunya kepada potensi merger Gojek dan Tokopedia.

Mungkin tahun 2020 — dengan pandemi, perjalanan liar di pasar saham, dan pergeseran signifikan dalam cara kita berinteraksi satu sama lain — telah memberi SoftBank dosis chutzpah. Hal itu berubah dari menderita kerugian besar pada awal tahun 2020 menjadi meraup keuntungan kertas yang sangat besar menjelang akhir tahun. Banyak valuasi perusahaan portofolionya yang telah melonjak.

“Banyak kesuksesan SoftBank di kuartal terakhir bermuara pada Visinya — pun intended. Kemampuan Masayoshi Son untuk berinvestasi secara agresif dalam teknologi yang akan mengubah pasar telah terbayar dengan baik, dan saya pikir kenaikan mereka akan terus berlanjut karena lebih banyak perusahaan portofolio SoftBank memutuskan untuk tercatat,” kata Gabriel.

Secara ambisius, SoftBank dilaporkan sedang mempersiapkan setidaknya enam lagi dari perusahaan portofolionya untuk go public tahun ini. Salah satunya adalah Tokopedia. Analis memproyeksikan IPO ini akan memberikan SoftBank lebih banyak putaran kemenangan setelah penawaran DoorDash dan KE Holdings (Beike) tahun lalu. Selain itu, gerakan Son sulit dibaca oleh orang luar.

“SoftBank secara tradisional dan teratur mengejutkan seluruh pasar dan analis dengan gerakan yang sangat kontroversial dan terbukti sukses. Karena itu, kami tau faktanya bahwa menimbun uang tidak ada dalam DNA Softbank dan ini akan menjadi berita yang menarik untuk diikuti,” tambah Gabriel.

Salah satu perusahaan cek kosong Softbank, SVF Investment Corp, mengumpulkan USD525 juta di bulan Januari. Bulan lalu, konglomerat Jepang mengajukan dua SPAC lagi, yang diberi nama SVF Investment Corp 2 dan SVF Investment Corp 3, yang bertujuan untuk mengumpulkan lebih dari USD 632 juta setelah penjatahan berlebih. Target merger mereka berada di sektor yang mendukung teknologi seperti teknologi komunikasi seluler, kecerdasan buatan, robotika, dan teknologi cloud, menurut laporannya. Itu cukup untuk menjelaskan perusahaan teknologi mana pun di planet ini, tetapi akan adil untuk menunjuk ke perusahaan yang telah menerima cek dari Dana Visi SoftBank.

Untuk saat ini, belum jelas kapan Grab, Gojek, Tokopedia, dan Traveloka akan meraih simbol ticker — atau bahkan yang lebih dulu. Tetapi satu kepastian adalah bahwa go public berarti perusahaan-perusahaan ini akan menghadapi pengawasan dari regulator serta publik, jadi mereka harus menunjukkan nilai mereka dan mempertahankan bisnis yang menguntungkan dan berkelanjutan. IPO mereka akan menjadi terobosan besar bagi kancah teknologi Asia Tenggara. Pertanyaannya adalah: Setelah Sea Group, siapa yang akan menjadi peruntungan baru unicorn ini?


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis dalam bahasa Indonesia sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial