Grab Perluas Inklusivitas Layanan Lewat Program “Grab for Good”

Grab mengumumkan program terbaru “Grab for Good” di Indonesia. Program sosial ini berisi komitmen mereka untuk membuka pelatihan keterampilan bagi mitra pengemudi dan memperluas kesempatan warga penyandang disabilitas ke dalam ekosistem aplikasi.

“Pada intinya, program Grab for Good ini menciptakan akses ekonomi, akses digital dan kesetaraan untuk semua orang di Asia Tenggara,” ujar Founder & CEO Grab Anthony Tan.

Inklusivitas menjadi perhatian Grab dalam program ini. Sepanjang tahun ini saja mereka mengklaim sudah memiliki 800 mitra pengemudi yang menyandang berbagai jenis disabilitas di seluruh Asia Tenggara. Khusus untuk penyandang tuli, mereka menargetkan bertambah jadi 1000 mitra yang bergabung pada tahun depan.

Ihwal keterampilan, Grab menggandeng Microsoft untuk memberikan pelatihan digital. Pelatihan ini menjadi penting untuk meningkatkan kapabilitas dan literasi digital mitra. Kerja sama ini bersifat regional dan diharapkan membuka jalan bagi kelas pekerja di Asia Tenggara yang memiliki keterbatasan terhadap informasi teknologi.

“Grab dan Microsoft akan bekerja sama untuk meningkatkan kemampuan mitra pengemudi Grab dan menempatkan mereka ke karier teknologi dengan dukungan dari Generation: You Employed, sebuah organisasi nirlaba global,” imbuh Anthony.

Kontribusi ekonomi

Dalam forum yang sama, Anthony mengumumkan bahwa mereka sudah berkontribusi sekitar US$5,8 miliar atau Rp81,5 triliun untuk ekonomi Asia Tenggara per Maret 2019 selama setahun sebelumnya. Managing Director Grab Indonesi, Neneng Goenadi menambahkan, sekitar Rp48,9 triliun di antaranya terjadi di Indonesia.

Mereka menyebut ada 9 juta orang di Asia Tenggara yang menerima pendapatan sebagai wirausahawan mikro yang terhubung di ekosistem Grab. Itu artinya 1 dari 70 orang di seluruh kawasan mendapat dampak ekonomi dari Grab.

“Lebih dari 20 persen mitra pengemudi Grab sebelumnya tidak bekerja, sementara di Indonesia lebih dari 30 persen agen tidak punya pemasukan sebelum bergabung di jaringan Kudo,” pungkas Anthony.

Menteri Keuangan Sri Mulyani yang turut hadir dalam acara tersebut mengapresiasi langkah Grab dalam aspek sosial-ekonomi masyarakat. Namun sang menteri mengaku berharap lebih kepada Grab agar dampak itu bisa lebih besar di daerah-daerah lain selain Jakarta.

“Kami berekspektasi akan ada cerita Rudi yang lain di luar Jakarta. Kisah itu dapat terjadi karena di Jakarta semuanya relatif sudah well established,” tutur Sri Mulyani.

Maka dari itu sebagai bagian dari pemerintah, Sri Mulyani berkata pihaknya berkomitmen mendukung ekonomi digital dengan membangun infrastruktur yang diperlukan seperti ketersambungan listrik, koneksi internet, hingga jalan penghubung antardesa.

Application Information Will Show Up Here

Tokopedia Tambah Fitur “Penerimaan Negara”, Layani Pembayaran Pajak, Cukai dan PNBP

Tokopedia menjalin kerja sama dengan Dirjen Perbendaharaan Kementerian Keuangan Republik Indonesia mengumumkan peluncuran fitur pembayaran “Penerimaan Negara”. Fitur ini memungkinkan Tokopedia bisa digunakan untuk melakukan pembayaran lebih dari 900 jenis pernerimaan negara.

Untuk saat ini di fitur pembayaran Penerimaan Negara terdiri dari tiga jenis kategori, yakni Pajak Online yang meliputi pembayaran pajak yang ada di bawah naungan Direktorat Jendral Pajak seperti PPh, PPh 21, PPh 22, PPh 23, PPh 25, PPh 26, PPh 29, dan PPh Final; kategori Bea Cukai yang bisa dimanfaatkan untuk pembayaran pajak di bawah naungan Dirjen Bea Cukai; dan bayar PNBP yang mencakup pembayaran di bawah Direktorat Jendral Anggaran seperti biaya perpanjangan paspor, biaya pernikahan, biaya perpanjangan SIM, dan lainnya.

“Sejak awal berdiri, Tokopedia berkomitmen mempermudah masyarakat Indonesia, baik dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari hingga mencapai lebih. Dengan adanya fitur pembayaran ‘Penerimaan Negara’ di Tokopedia, masyarakat bisa dengan lebih mudah membayar pajak dan bentuk penerimaan negara lainnya kapan pun dimana pun,” ujar Co-Founder & CEO Tokopedia William Tanuwijaya.

William menambahkan, bahwa peluncuran fitur ini merupakan upaya Tokopedia untuk membantu pemerintah dalam mempermudah proses pembayaran pajak demi meningkatkan penerimaan negara, mengingat pajak dan penerimaan negara lainnya merupakan jembatan pemerataan ekonomi.

Sementara itu Menteri Keuangan Republik Indonesia Sri Mulyani mengungkapkan bahwa pihaknya menyambut baik proses pembayaran pajak yang mudah dengan demikian diharapkan bisa meningkatkan partisipasi wajib pajak.

“Kami menyambut baik agar proses pembayaran pajak dapat semudah membeli pulsa. Untuk itu kami bekerja sama dengan berbagai channel pembayaran pajak yang salah satunya adalah Tokopedia sebagai salah satu cara untuk lebih mempermudah masyarakat dalam membayar pajak. Kemudahan ini diharapkan bisa mendorong partisipasi Wajib Pajak dalam melakukan pembayaran pajak sehingga berdampak pada peningkatan penerimaan negara,” jelas Sri Mulyani.

Untuk melakukan pembayaran pajak masyarakat cukup mendapatkan kode bayar atau kode billing dari portal masing-masing institusi pajak, seperti DJP Online untuk Dirjen Pajak, Simponi untuk Dirjen Anggaran, dan CEISE untuk Dirjen Bea Cukai. Setelah itu masuk ke fitur pembayaran “Penerimaan Negara” dan menyelesaikan transaksi dengan metode pembayaran yang disediakan, seperti Ovo Cash, transfer, virtual account, kartu debit dan kredit, dan beberapa lainnya.

Application Information Will Show Up Here

Chasing on OTT Company Taxes

The taxes of OTT companies, such as Google, Facebook, and Amazon has been the talk around many countries including Indonesia back then. The potential tax might help with some country’s income. Now, the tax issues have come to an end. The Financial Minister, Sri Mulyani said that in the G20 summit last week, all members decided to set a new framework.

Sri Mulyani explained, as two things have decided, about base erosion and profit shifting (BEPS) or the tendency for companies to find places with low tax and about economy digital. England and France are examples with successful with tech company taxes.

“England and France, in particular, forming unilateral to impose digital economic taxes. It’s not only for the digital economy in terms of VAT, as the simplest one, but also for income tax where the economic presence becomes a tax source as an approach. It’s not the residential place, the business might take place in Ireland with low tax, but when the activities are mostly in England, the tax will follow England’s rate. It was what happened in England and France,” Sri Mulyani said.

Currently, Indonesia has around 260 million population with 100 million internet users, but the tax revenue is yet to be reflected in it. The challenge is having no office building in Indonesia. Moreover, the redefined permanent establishment is still a priority.

“The digital activity has a different business model with the non-digital because it doesn’t require BUT (permanent establishment) in a country or jurisdiction to operate cross-countries,” the Financial Minister said as quoted by Liputan6.

She added further, “What makes it difficult is the tax based on a physical presence. However, digital companies can make it without opening branches or permanent establishment. It’s not only in Indonesia, so the physical presence can no longer count as a reference.”

Quoted from Kontan, DDTC Tax Observer, Bawono Kristiaji said if the effort to implement tax for OTT companies like Google, Amazon, Facebook, and Apple success, Indonesia will take the advantage.

He said, there are two main issues that freed those companies of taxes, first is a permanent establishment and the profit allocation. Even though it’s a permanent establishment, profits that can be taxed in a jurisdiction should reflect the contribution of the state entity towards value creation in a multinational group.

“Unfortunately, the current international tax system does not regulate these two, the status of the permanent establishment has not been based on a significant economic presence and profit allocation has not reflected fair value creation,” he added.

Digital tax pursuits for OTT companies are indeed profitable for countries with large consumers such as Indonesia. However, with the complex digital economy, another challenge risen for government in pursuing OTT corporate tax is policy, especially in quantitative calculations related to the significant presence, and to define low or no tax jurisdiction. Including the formula and the basis of the calculation.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Mengejar Pajak Perusahaan OTT

Pajak perusahaan OTT seperti Google, Facebook, hingga Amazon sudah menjadi perbincangan di banyak negara termasuk Indonesia beberapa waktu lalu. Potensi pajak dari mereka diharapkan bisa memberikan sumbangsih pendapatan negara. Kini perpajakan untuk perusahaan-perusahaan tersebut menemui titik terang. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan bahwa dalam pertemuan G20 pekan kemarin para negara anggota sepakat untuk menyusun kerangka kerja baru.

Sri Mulayani menjelaskan ada dua setidaknya hal yang disepakati, pertama soal base erosion and profit shiftting (BEPS) atau kecenderungan perusahaan mencari tempat dengan tingkat pajak rendah dan juga mengenai digital ekonomi. Inggris dan Perancis merupakan dua negara yang menjadi contoh telah berhasil mengenakan pajak terhadap perusahaan teknologi.

“Terutama Inggris dan Perancis yang melakukan unilateral untuk meng-impose pajak digital ekonomi. Dia bahkan melakukannya bukan hanya untuk digital ekonomi dari sisi VAT, karena yang paling mudah, tapi juga dari sisi income tax PPh di mana mereka juga menggunakan pendekatan economic presence-nya lebih dijadikan sumber pajaknya. Jadi bukan tempat tinggalnya jadi dia bisa saja tetap di Irlandia yang tarif pajaknya sangat rendah, tapi kalau aktivitasnya lebih banyak di Inggris maka pajaknya tetap di Inggris. Itu yang dilakukan Inggris dan Perancis,” jelas Sri Mulyani.

Saat ini Indonesia kurang lebih memiliki 260 juta populasi dengan 100 juta pengguna internet, namun realisasi penerimaan perpajakan belum tercermin dari sana. Tantangannya adalah tidak ada kehadiran secara fisik perusahaan di Indonesia. Oleh karena itu redefinisi dari Bentuk Usaha Tetap menjadi prioritas.

“Kegiatan digital itu bisnis modelnya berbeda dengan non digital karena mereka tidak harus memiliki BUT (Bentuk Usaha Tetap) atau permanent establishment di suatu negara atau yurisdiction sehingga beroperasi di lintas negara,” terang Menkeu seperti dikutip dari Liputan6.

Ia lebih jauh menambahkan, “Jadi itu yang membuat kesulitan karena basis pajak adalah kehadiran perusahaan secara fisik. Tapi perusahaan digital bisa lakukan tanpa buat cabang atau permanent establisment. Jadi ini tidak hanya di Indonesia saja. Sehingga kehadiran secara fisik tidak bisa lagi dijadikan acuan.”

Dikutip dari Kontan, Pengamat Perpajakan DDTC Bawono Kristiaji menyampaikan bahwa upaya memberlakukan pajak untuk perusahaan OTT seperti Google, Amazon, Facebook, dan Apple bila direalisasikan maka akan sangat menguntungkan Indonesia.

Menurutnya saat ini ada dua hal utama yang menghindarkan perusahaan OTT tersebut terhindar dari pajak, pertama soal BUT dan yang kedua soal pengalokasian laba. Jadi meskipun sudah menjadi BUT laba yang bisa dipajaki di suatu yuridiksi seharusnya merefleksikan kontributi entitas negara tersebut terhadap pembentukan nilai dalam group multinasional.

“Sayangnya sistem pajak internasional yang saat ini berlaku tidak mengatur kedua hal tersebut yaitu status BUT belum berdasarkan significant economic presence dan alokasi laba yang belum merefleksikan pembentukan nilai secara fair,” imbuh Bawono.

Pengejaran pajak digital untuk perusahaan OTT memang menguntungkan dengan negara dengan konsumen besar seperti Indonesia. Namun dengan kompleksitas ekonomi digital tantangan lainnya yang dihadapi pemerintah dalam mengejar pajak perusahaan OTT adalah formulasi kebijakan, khususnya pada perhitungan kuantitatif terkait significant persence dan mendefinisikan low or no tax jurisdictions. Termasuk formula dan dasar perhitungannya.

Dampak Pembatalan “Pajak E-Commerce” Bagi Industri

Hari ini Menteri Keuangan Sri Mulyani resmi membatalkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 210 Tahun 2018, lebih dikenal sebagai “Pajak E-Commerce”, yang seharusnya resmi diberlakukan mulai 1 April 2019 mendatang. Menurut keterangan resmi yang disampaikan Kementerian Keuangan, ada kebutuhan koordinasi antar lembaga dan kementerian untuk memastikan pengaturan e-comemerce tetap sasaran, berkeadilan, efisien, dan mendorong pertumbuhan ekosistem ekonomi digital.

Dengan ditariknya PMK ini, merchant tidak lagi memiliki kewajiban melaporkan NPWP ke penyedia layanan marketplace, sementara pihak marketplace tidak perlu mengembangkan sistem untuk memungut, menyetor, melaporkan PPN dan PPh terkait penjualan barang dagangan.

Yang tetap berlaku adalah kewajiban perpajakan untuk UKM, berupa pajak final 0,5%, bagi mereka yang memiliki omzet di bawah 4,8 miliar Rupiah per tahun.

Dampak bagi industri

Kehadiran Pajak E-Commerce sempat dianggap momok bagi para pelaku industri. Di saat usianya yang masih sangat balita, tambahan pajak yang diberlakukan di platform marketplace akan mengurangi tingkat kompetitif merchant di pasar yang sangat sensitif soal harga ini. Belum lagi kewajiban pelaporan NPWP yang dianggap merepotkan.

Di awal Januari, ketika peraturan tersebut disahkan, pihak asosiasi e-commerce Indonesia (idEA) langsung mengajukan penangguhan. idEA, melalui Ketua Umumnya Ignatius Untung, beralasan saat ini jumlah merchant yang hadir di marketplace masih minoritas jika dibandingkan mereka yang berjualan bebas di media sosial. Jika yang minoritas ini diperberat dengan berbagai syarat dan perpajakan, ditakutkan industri yang baru dibangun ini malah “bubar jalan”.

Sri Mulyani sendiri langsung merespon dengan menyebutkan peniadaan kewajiban pelaporan NPWP oleh merchant.

Batalnya pemberlakuan Pajak E-Commerce ini menjadi “kado” insentif bagi pemain industri yang sedang giat-giatnya menarik UKM untuk berjualan secara online. Di sisi lain, marketplace — setidaknya saat ini — tidak perlu berinvestasi untuk membangun sistem perpajakan.

idEA sendiri menyebutkan pihaknya tengah melakukan kajian mengenai dampak pungutan pajak terhadap penjual, marketplace, dan ekonomi negara. Studi ini bakal melibatkan lintas institusi dan Untung memprediksi dibutuhkan setidaknya sekitar satu tahun untuk memberikan rekomendasi bagaimana seharusnya penerapan perpajakan untuk e-commerce.

Contoh di Amerika Serikat

Di negara maju seperti Amerika Serikat, perpajakan e-commerce juga termasuk hal pelik. Acuan keputusan Mahkamah Agung tahun 1992 tentang peniadaan kewajiban pajak penjualan tanpa kehadiran operasional bisnis secara fisik (saat itu masih berupa katalog) mendorong pertumbuhan industri e-commerce yang sangat pesat, bak jamur di musim hujan.

Setelah 26 tahun, di tahun 2018, muncul keputusan Mahkamah Agung baru yang mulai mengatur soal pajak penjualan untuk layanan online. Di masa ini nilai e-commerce Amerika Serikat mencapai lebih dari $500 miliar.

Menurut data Google-Temasek, nilai e-commerce Indonesia tahun 2018 diperkirakan baru sekitar $12 miliar. Angka itu masih jauh dari ideal dan dibutuhkan insentif lebih banyak untuk mendorongnya mencapai batas psikologis $50 miliar di tahun 2025. Kehadiran wacana pajak tambahan di awal bisa membuyarkan target-target tersebut.

Penutup

Penarikan Pajak E-Commerce sangat diapresiasi untuk mendorong pertumbuhan ekosistem ekonomi digital. Menurut hemat kami, insentif supply chain, logistik, dan perpajakan dari Pemerintah menjadi hal krusial untuk mendorong pemerataan distribusi ketika e-commerce memudahkan konsumsi dari Sabang sampai Merauke.

On E-Commerce Tax: The Government Agrees Not To Require TIN for Online Sellers

Finance Minister Sri Mulyani agreed not to require online sellers to have Taxpayer Identification Number (NPWP). It’s a result of an agreement with Indonesian E-Commerce Association (IDEA) held this afternoon (16/1).

Sri Mulyani said this decision was taken after considering many sellers in marketplace platform have income below the Non-Taxable Income (PTKP) or Rp54 million per year. Therefore, TIN is not required in the policy.

“We’ve had a lot of discussion with them on what idEA said most sellers are students or housewives who want to start running business through marketplace platform. They don’t need to be requested for ID or TIN,” she said, quoted Katadata.

Further detail of the regulation will be issued by Directorate General of Taxation, said Sri Mulyani. However, she emphasized, the Financial Ministry Regulation (PMK 210) won’t change. The government’s enthusiasm as outlined in this policy is not merely a desire for a single tax. In fact, they’re encouraging a new industry growth with strict regulations.

“This PMK is not the one that collects online taxes but the procedures are implying that it requires ID or TIN. We announce that there’s no need for ID or TIN number. It’ll be in Directorate General Regulation (Perdirjen).”

The second decision is a commitment to maintain the level of playing field between marketplace platform organizer with social media. Sri Mulyani aware of the fear and committed to make an intensive discussion with all business players to maintain the ecosystem.

Last, is to make it easier to report for the marketplace platform organizers. In t erms of regulation, they’ve informed some data to Kemkominfo, BPS, and BI.

The government will make information distribution from the marketplace as simple as possible. If necessary, it’ll be made seamless or currently attached in the business model that wouldn’t require special effort.

“Therefore, they [marketplace platform] don’t need to feel bothered to go after institutions one by one. No special effort to deliver necessary information for institution because we’ll be the one to coordinate it,” she explained.

On the same occasion, Ignatius Untung is attended as the Chairman of IDEA. He appreciates Sri Mulyani’s response to their opinion.

“We, from idEA, are so glad. We have the same spirit, not to create fear for the business but otherwise. We [e-commerce] are very comply with the regulations and Finance Ministry to support other business model growing the same playing field,” he mentioned.

Previously, idEA showed its objection to the government after the PMK 210 was issued on (1/14).


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Soal Pajak E-Commerce, Pemerintah Sepakat Tak Wajibkan Pedagang Online Punya NPWP

Menteri Keuangan Sri Mulyani menyetujui untuk tidak mewajibkan pedagang online memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Keputusan ini merupakan salah satu hasil kesepakatan dengan Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) yang diadakan siang tadi, (16/1).

Sri Mulyani menjelaskan keputusan ini diambil setelah memperhatikan bahwa banyak pedagang di platform marketplace yang memiliki penghasilan di bawah batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) atau di bawah Rp54 juta per tahunnya. Dengan alasan itu, maka kewajiban NPWP tidak masuk dalam kebijakan tersebut.

“Kami sudah diskusi banyak dengan pelaku bahwa yang disampaikan idEA banyak pedagang dari mahasiswa, ibu rumah tangga yang ingin memulai bisnis lewat platform marketplace. Mereka tidak perlu dihalangi dengan menyerahkan NPWP maupun NIK,” terangnya dikutip dari Katadata.

Sri Mulyani menyebut aturan tersebut lebih detil akan diterbitkan oleh Dirjen Pajak. Akan tetapi dia menegaskan bahwa PMK 210 tidak ada yang diubah isinya. Semangat pemerintah yang dituangkan dalam beleid ini bukan melulu keinginan untuk menarik pajak saja. Justru pemerintah ingin mendorong industri yang baru tumbuh dengan aturan-aturan agar lebih tertib.

“Bahwa PMK ini bukan PMK yang memungut pajak online, melainkan tata cara di dalamnya yang menimbulkan reaksi seperti adanya keharusan membuat NPWP atau NIK. Kita sampaikan bahwa tidak ada keharusan untuk sampaikan NPWP atau NIK. Nanti diatur dalam Perdirjen.”

Keputusan kedua yang akan ditindaklanjuti adalah komitmen untuk terus menjaga level of playing field antara penyedia platform marketplace dengan media sosial. Sri Mulyani memahami ketakutan tersebut dan memberikan komitmen untuk terus berdiskusi secara intensif dengan para pelaku usaha demi menjaga bentuk ekosistemnya.

Terakhir adalah memberi kemudahan untuk sisi pelaporan buat penyedia platform marketplace. Secara ketentuan, marketplace memang sudah menginformasikan beberapa data kepada Kemkominfo, BPS, dan BI.

Pemerintah tetap mengupayakan skema penyampaian informasi dari marketplace sesederhana mungkin. Bila perlu, skemanya dibuat seamless atau sudah ada di model bisnisnya sehingga tidak memerlukan upaya khusus.

“Sehingga mereka [platform marketplace] tidak perlu merasa direpotkan harus mendatangi kembali satu per satu instansi. Mereka tidak perlu effort khusus untuk menyampaikan informasi yang dibutuhkan tiap instansi karena dari kami yang akan koordinasikan,” pungkas Sri Mulyani.

Dalam kesempatan yang sama, turut hadir Ketua idEA Ignatius Untung. Dia mengapresiasi respons Sri Mulyani atas masukan yang sudah mereka berikan.

“Kami dari idEA mengucapkan terima kasih. Semangatnya sama, ini bukan untuk membuat orang buat usaha jadi takut justru sebaliknya. Kita [e-commerce] paling comply dengan aturan dan Menkeu dukung model bisnis lain agar tumbuh playing field yang sama,” kata Untung.

Sebelumnya, idEA menunjukkan keberatannya kepada pemerintah pasca diterbitkannya PMK 210 pada Senin lalu (14/1).

Kisruh Pajak E-Commerce, idEA Minta Penangguhan

Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210/PML.010/2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan melalui Sistem Elektronik. Pemerintah menyebut peraturan ini hanya mempertegas tata laksananya saja.

Dalam pasal 2 PMK ini, menjelaskan sistem perpajakan di platform e-commerce meliputi Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), dan Pajak Penghasilan (PPn).

“Ini bukan hal baru, tapi yang kami atur adalah tata laksananya,” jelas Menteri Keuangan Sri Mulyani dikutip dari CNN Indonesia.

Tata caranya juga terbilang serupa dengan badan usaha lain, yakni wajib memiliki NPWP, mau memungut PPN dan PPh terkait penjualan barang, dan penyediaan layanan platform marketplace, dan wajib melakukan rekapitulasi transaksi setiap periodenya.

Sri Mulyani juga menyatakan bahwa skema pajak yang diterapkan di platform e-commerce ini bertujuan untuk menjaga iklim investasi makanya disusun dengan sangat hati-hati. Meskipun demikian, dia mengaku masalah perpajakan ini memang sesuatu yang masih sensitif.

“Saya selaku Menteri Keuangan juga harus menjaga iklim investasi. Masalah perpajakan itu bukanlah hal mudah.”

Tak hanya mengatur platform e-commerce, beleid ini juga menyentuh pelaku usaha yang melaksanakan kegiatan perdagangan barang dan jasa melalui online ritel, classified ads, daily deals, dan media sosial. Keseluruhannya wajib mematuhi ketentuan terkait PPN, PPnBM, dan PPh sesuai aturan yang berlaku.

idEA minta penangguhan

Pasca aturan ini terbit, Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) langsung meminta kepada pemerintah untuk segera menangguhkan pelaksanaannya yang sudah ditetapkan pada 1 April 2019 mendatang. Keputusan yang diambil asosiasi tentunya secara tidak langsung demi kepentingan anggotanya dan pihak terkait.

Dalam konferensi pers yang diadakan idEA pada hari ini (14/1), Ketua Umum idEA Ignatius Untung mengkhawatirkan terjadinya perpindahan para pengusaha mikro yang sudah memanfaatkan platform e-commerce ke media sosial.

Pasalnya menurut hasil studi internal idEA, 95% pelaku UKM masih berjualan di platform media sosial dan hanya 19% yang sudah menggunakan marketplace.

“Seharusnya yang dikejar adalah yang 95% [yang berjualan di media sosial,” katanya.

Seperti yang disebutkan, aturan baru memang sudah menyentuh perpajakan di media sosial dan platform sejenis. Akan tetapi, masih sulit untuk pemerintah pungut pajaknya karena belum ada kajian konkret mengenai tata cara memajaki penjual yang memanfaatkan media sosial untuk berjualan. Apalagi, baik individu maupun pelaku usaha belum banyak yang sudah memiliki NPWP.

Hal lain yang menjadi perhatian adalah infrastruktur penyedia marketplace untuk memungut pajak atau memverifikasi NPWP. Hingga kini belum ada integrasi dengan sistem Ditjen Pajak atau Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil).

“Kesiapan infrastruktur itu enggak akan kekejar sampai 1 April karena ini butuh koneksi dengan antar bagian pemerintah. Kalau NPWP-nya palsu bagaimana? kan verifikasinya repot.”

Dengan berbagai alasan inilah yang memutuskan untuk meminta penundaan implementasi PMK 210 hingga ada kajian lebih lanjut. Adapun saat ini idEA tengah melakukan kajian mengenai dampak pungutan pajak terhadap penjual, marketplace dan ekonomi negara. Karena studi ini bakal melibatkan lintas institusi, dia memprediksi hitungan kasar yang dibutuhkan sekitar satu tahun.

“Studinya enggak mungkin selesai dalam tiga bulan. Kami meminta untuk ditangguhkan penerapan pada 1 April ini sampai studi selesai. Dugaan kami harusnya tidak [selesai] di 2019 paling cepat di 2020, dengan catatan semua prosesnya lancar.”

“Kami sudah kirim surat untuk audiensi dengan Kemenkeu,” tutup Untung.

Penangguhan kurang beralasan

Pengamat Informasi Teknologi (IT) dan Siber dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Kun Arief Cahyantoro mengatakan pendapat idEA kurang beralasan. Menurutnya, di Pasal 3 Ayat 9 dan 10 telah menjelaskan bagaimana aturan terkait pedagang mikro tersebut (pada PMK-10 disebut sebagai pedagang kecil) bahwa pedagang mikro yang belum melewati batasan pengusaha kecil “dapat tidak dikukuhkan” sebagai PKP.

“Sehingga poin penting dalam PMK ini terkait pajak pedagang mikro bahwa pedagang mikro akan “sangat diuntungkan” karena mereka tidak akan dibebani pajak sama sekali,” terangnya kepada DailySocial.

Di sisi lain, sambungnya, sesuai PMK-10 Pasal 6, seluruh pedagang dan penyedia jasa “wajib memiliki NPWP” menjadi poinpenting yang menguntungkan pedagang mikro. Karena dengan aturan ini para pedagang akan dijamin usahanya terutama menghadapi persaingan usaha dengan pedagang-pedagang yang berasal dari luar negeri.

Lagipula, tujuan utama dari setiap pedagang punya NPWP adalah jaminan keamanan ekonomi bukan hanya lokal bahkan nasional. Ketiadaan data pedagang yang terdaftar, menjadi potensi pencucian uang seperti kejadian beberapa tahun lalu yang terjadi pada bisnis pulsa elektronik seluler. Di mana uang dicuci melalui pelapak-pelapak kecil dari penjual pulsa.

“Masalah shifting ke platform media sosial, PMK-10 pasal 3 ayat 1 (b) menjelaskan bahwa media sosial adalah salah satu platform yang juga menjadi pengawasan pajak,” tandasnya.

Pemerintah Libatkan Pemain Fintech untuk Salurkan Kredit Ultra Mikro

Kementerian Keuangan mengumumkan uji coba penyaluran kredit ultra mikro (UMI) dengan menggandeng pemain beberapa fintech. Beberapa pemain yang diajak kerja sama yakni Gopay, Tcash, Bukalapak dan T-Money. Tujuannya agar distribusi bantuan dari pemerintah buat pengusaha mikro dapat lebih maksimal daripada sebelumnya.

UMI adalah program lanjutan dari bantuan sosial menjadi kemandirian usaha yang menyasar usaha mikro di lapisan terbawah, khususnya untuk yang belum bisa difasilitasi perbankan melalui program kredit usaha rakyat (KUR). UMI memberikan fasilitas pembiayaan maksimal Rp10 juta per nasabah dengan tenor sampai 52 minggu dan kupon 2%-4%.

Kredit disalurkan oleh lembaga keuangan bukan bank (LKBB). Di antaranya Pegadaian, Bahana Artha Ventura, dan Permodalan Nasional Madani (PNM). Sumber pendanaan UMI diambil dari APBN, kontribusi pemerintah daerah, dan lembaga keuangan.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan pemerintah menganggarkan dana untuk subsidi KUR sebesar Rp11,8 triliun pada tahun ini. Sementara pada tahun depan anggarannya meningkat jadi Rp12,1 triliun.

“Itu subsidi bunganya. Sementara untuk penyalurannya bisa melampaui Rp100 triliun atau 30% dari total korporasi kredit usaha menengah,” katanya, Selasa (11/12).

Menurutnya selama ini penyaluran KUR banyak dilakukan oleh bank pelat merah seperti BRI yang memiliki jaringan hingga ke pelosok desa. Namun saat ini teknologi digital membantu penetrasi ke usaha kecil, tanpa harus ada banyak overhead cost yang harus dikeluarkan.

Dengan menggandeng empat pemain fintech, uji coba ini bertujuan untuk mengukur tingkat penerimaan debitur pembiayaan UMI terkait transaksi secara elektronik.

Tahun depan UMI bakal memasuki tahun ketiganya. Pemerintah mengalokasikan dana ultra mikro sebesar Rp2,5 triliun, pada tahun lalu sebesar Rp1,5 triliun. Sebanyak Rp3 triliun sudah disiapkan untuk tahun depan.

Basis data debitur lebih terekam

Direktur Utama BAKTI Kemkominfo Anang Latif menjelaskan, untuk pengajuan UMI cukup mudah karena hanya dengan melampirkan kartu keluarga dan KTP. Debitur bisa memilih penerimaan dananya mau tunai atau lewat elektronik melalui Gopay, Tcash, T-Money, atau Bukalapak.

Untuk dorong transaksi elektronik di tingkat masyarakat lapis bawah, pemerintah akan mendorong pemain fintech tersebut untuk memperbanyak merchant yang bisa menerima pembayaran elektronik dengan metode scan kode QR. Bakal dibuka pula, integrasi kode QR dapat lintas pemain fintech, tidak hanya berlaku untuk satu pemain saja.

Dengan demikian, pemerintah pun akan semakin mudah merekam kebiasaan debitur dari transaksi non tunai yang mereka lakukan sehari-hari, agar bisa lebih cepat menyalurkan bantuan sosial sebelum mereka butuhkan.

“Ini masih uji coba mau kita lakukan selama tiga bulan. Nanti ada evaluasi kalau memang perlu diperpanjang ya tidak masalah, fleksibel lah.”

Terkait penyimpanan data, sambungnya, belum diputuskan bolanya apakah basis data ini bakal disimpan di Kemkominfo atau di Kemenkeu.

Dalam kesempatan yang sama CEO Tcash Danu Wicaksana menambahkan, perusahaan akan menyasar anggota koperasi di kawasan Lombok Timur, NTT untuk penyaluran kredit UMI. Di sana terdapat lebih dari 1.200 debitur koperasi yang masih menerima pinjaman dalam bentuk tunai.

“Wilayah ini secara khusus dipilih sebagai salah satu upaya Tcash dalam membantu masyarakat setempat yang memiliki keterbatasan akses terhadap layanan keuangan formal untuk pengembangan bisnis mereka,” kata Danu.

Nantinya debitur akan diarahkan untuk memanfaatkan salah satu metode pembayaran di Tcash yakni kode akses USSD *800# mengakomodasi masyarakat unbanked yang masih menggunakan feature phone.

Sektor Digital Membawa Optimisme Perkembangan Ekonomi Indonesia

Di sela-sela pertemuan IMF-WB Annual Meeting beberapa waktu lalu di Bali, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan banyak hal seputar hasil diskusi di forum. Salah satunya tentang bagaimana teknologi digital berperan dalam perkembangan ekonomi Indonesia, sekaligus mendisrupsi berbagai bidang. Ia mencontohkan, bagaimana usaha rumahan atau UMKM kini dapat menjangkau pasar di seluruh Indonesia berkat platform seperti Bukalapak atau Tokopedia. Dengan dukungan finansial dan teknologi yang kuat sebagai platform, para unicorn memberikan solusi yang sangat riil.

Pendapat tersebut makin memantapkan Menkominfo Rudiantara, melalui lembaganya ia ingin mendukung perkembangan startup digital secara lebih optimal. Salah satunya melalui Nexticorn, sebuah forum mempertemukan pelaku startup dengan calon investor potensial dari dalam dan luar negeri. Dengan demikian regulator sepakat untuk mengarahkan regulasi yang memperlancar akselerasi pertumbuhan industri digital di tanah air, khususnya yang menggarap sektor riil seperti perdagangan, keuangan, pendidikan, dan lain sebagainya.

Kendati demikian, mereka juga sadar betul bahwa hadirnya teknologi juga memberikan implikasi buruk. Salah satu yang disampaikan berkaitan dengan kemungkinan hilangnya banyak lapangan pekerjaan. Misalnya, jika nanti beli barang di toko sudah menggunakan konsep “New Retail” dengan pengalaman yang seamless digital, maka pekerja seperti kasir sudah tidak diperlukan lagi. Terlebih saat berbicara tentang implementasi tingkat lanjut dari teknologi seperti Artificial Intelligence dan Internet of Things.

Tidak hanya regulator saja, namun para pemain di industri digital cukup optimis. Hal ini seperti yang disampaikan Teddy Oetomo (CSO Bukalapak) saat menjawab pertanyaan tentang Indonesia di masa depan. Ia meyakini bahwa akan banyak hal yang mengejutkan terkait growth di industri, khususnya berkaitan dengan inklusi ekonomi dari sektor digital. Aldi Haryopratomo (CEO GO-PAY & Founder Mapan) turut menyampaikan hal serupa. Ia mengatakan kolaborasi yang ada saat ini, baik antar startup, regulator, hingga investor akan menjadi awal yang baik dalam membentuk kematangan ekonomi digital di Indonesia.

“Pemikiran founder sekarang sudah bagus. Melahirkan startup bukan semata-mata untuk menjadi unicorn, tapi fokus untuk terus berinovasi menghasilkan pemecahan masalah,” ujar Teddy sesi panel pembuka di Nexticorn 2018.

Nexticorn 2018
Sesi panel yang menyuguhkan perspektif dari para startup unicorn Indonesia / DailySocial

Sukarela Batunanggar, Komisioner OJK, di sesi panel lain mengungkapkan. Startup tidak lagi selalu “lemah” ketika berhadapan dengan regulasi. Karena startup digital itu memiliki model bisnis yang unik, dengan mengadopsi strategi yang tangkas dan fleksibel. Hal tersebut dinilai membuat akhir-akhir ini otoritasnya memang mengeluarkan cukup bayak izin untuk fintech, kendati dengan persyaratan yang cukup ketat.

Lantas bagaimana dengan kesiapan persaingan global

Boleh saja kita optimis melihat perkembangan yang ada, namun yang harus dipastikan kita tidak boleh lengkah terhadap persaingan global. Terlebih di era teknologi nantinya sekat-sekat pembatas tersebut akan semakin samar, inovasi tidak hanya bisa mendisrupsi negara asalnya, melainkan bisa juga ke berbagai belahan dunia. Melihat tren teknologi yang berkembang, hampir setiap pelaku di sektor teknologi sepakat, bahwa AI akan mendominasi ke depannya. Banyak transformasi yang akan disebabkan dari aplikasi berbasis AI. Lantas pertanyaannya, sesiap apa Indonesia menghadapi era tersebut?

Dalam sebuah data yang diterbitkan World Economic Forum, disajikan tentang peringkat negara dengan kemampuan AI tertinggi. Amerika, Tiongkok, dan India berada di peringkat teratas. Sayangnya Indonesia belum masuk peringkat besar yang digambarkan. Talenta menjadi penting, pasalnya akan mendorong perkembangan di negara terkait. Lalu untuk meningkatkannya perlu sinergi yang baik antara berbagai pihak, tidak hanya industri saja, melainkan perlu peran dominan dari regulator hingga sektor akademik.

Peringkat AI
Peringkat negara dengan kemampuan AI / WEF

Sehingga sampai sini dapat diambil sebuah kesimpulan. Perkembangan digital yang ada boleh jadi membuat kita sangat optimis menyambut kemajuan – menggenggam visi menjadi digital energy of Asia – melihat ke luar untuk menilik seberapa jauh negara lain sudah berkembang juga diperlukan. Tujuannya agar dapat belajar, mengidentifikasi kekurangan, dan mempersiapkan diri, agar populasi masyarakat digital yang besar tidak hanya menjadi pangsa pasar produk luar negeri.