Tren Konsolidasi Ekosistem Startup Indonesia Sepanjang Tahun 2020

Berdasarkan kaleidoskop ekosistem startup Indonesia 2020, sepanjang tahun lalu tercatat 13 aksi korporasi dalam bentuk merger and acquisition (M&A). Sebagian besar akuisisi dilakukan untuk memperkuat atau menambah model bisnis yang dimiliki oleh startup terkait. Misalnya saat platform agregator logistik Shipper mengakuisisi Porter dan Pakde dibarengi dengan inisiatif perusahaan memperluas cakupan bisnis ke pergudangan dan fulfillment. Belum lagi soal rumor yang santer beredar, terkait rencana merger antara Gojek dan Tokopedia.

Di tahun 2021, banyak pihak mengatakan tren konsolidasi bakal makin diprioritaskan oleh para startup. Managing Partner East Ventures Willson Cuaca dalam kesempatan wawancara bersama DailySocial mengatakan, “Konsolidasi akan banyak lagi di tahun ini. Semakin segmented pasar, kita akan melihat banyak orang mengerjakan hal berbeda-beda. Konsepnya seperti ini, kalau ada satu startup ditambah satu hasilnya bisa lebih dari dua, dalam artian bisa lebih efisiensi dan memperbesar peluang, maka konsolidasi sangat memungkinkan untuk membuat lebih powerful.”

Bagi startup yang sudah besar, misalnya di level unicorn, konsolidasi juga bisa dipandang sebagai strategi untuk memperluas cakupan model bisnis – semua ingin menjadi super app. Pilihannya memang ada dua, mereka bisa saja mengembangkan layanan serupa di internal. Namun beberapa tahun belakang tampaknya pola pikirnya mulai bergeser ke arah konsolidasi. Seperti yang dilakukan oleh Gojek yang beberapa tahun terakhir sibuk melakukan akuisisi, totalnya sampai 13 startup termasuk yang paling baru pemimpin bisnis point-of-sales lokal, Moka.

Ada banyak variabel penentu, namun yang paling diperhitungkan terkait biaya. Membuat semuanya dari baru, selain harus menyiapkan semua dari nol (tim, infrastruktur, pengetahuan dll), perusahaan dihadapkan dengan tantangan untuk melakukan edukasi pasar, akuisisi pengguna, bahkan melawan pesaingnya. Akuisisi bisa saja bernilai sama dalam hitung-hitungan tersebut, namun dengan tempo yang jauh lebih singkat. Contohnya kolaborasi cepat yang dilakukan Gojek dan Moka melahirkan GoStore pasca proses akuisisi rampung.

draft_konsolasi_startup-01

Peluang kolaborasi juga makin luas cakupannya, tidak hanya antarpemain di segmen pasar yang sama. Hal ini diceritakan oleh Co-Founder & CEO Mekari Suwandi Soh, bisnisnya adalah layanan SaaS untuk UKM dan korporasi.  Ia mengatakan, sepanjang 2020 banyak sekali kesempatan kemitraan yang mendekat. Kolaborasinya juga tidak hanya sekadar membahas integrasi produk lewat API, tapi meliputi proses bisnis, sampai strategi go-to-market. Beberapa perusahaan yang menawarkan kerja sama pun beragam, termasuk perbankan dan asuransi. “Jadi 2021 ke depan itu harusnya makin banyak opportunity untuk kolaborasi,” ujar Suwandi.

Lebarkan bisnis

Di sisi startup, kebanyakan memang cukup terbuka untuk menjajaki kolaborasi mutual. Misalnya disampaikan oleh perwakilan OVO, “Kami selalu terbuka untuk melakukan win-win collaboration. Kesediaan kami untuk berkolaborasi telah menjadi ciri khas dari strategi dan pendorong pertumbuhan kami. Kemitraan dengan Grab dan Tokopedia, misalnya, membantu meningkatkan penerimaan OVO secara signifikan dalam perjalanannya menjadi platform [berskala] nasional.”

Baik Tokopedia dan Grab sama-sama memiliki persentase saham di OVO. Dan untuk memperkuat inti bisnisnya, OVO sendiri juga sempat melakukan akuisisi terhadap startup fintech lending Taralite dan fintech investment Brareksa. Narasumber kami tersebut juga mengatakan, dengan misi kolaborasi yang digenggam, secara sistem OVO juga didesain untuk mampu menciptakan interoperabilitas untuk membantu mitra strategis terhubung ke dalam ekosistem aplikasinya.

Hal serupa juga dikatakan oleh CMO Halodoc Dionisius Nathaniel, di perusahaannya peluang kolaborasi adalah sesuatu yang dijalakan terus menerus. Fokusnya bukan ke siapanya, tapi lebih ke sinergi apa yang dapat mendukung vii masing-masing. Halodoc sendiri saat ini juga telah terintegrasi ke super app Gojek, diawali dengan investasi yang diberikan decacorn tersebut dalam seri A pada tahun 2016.

Konsolidasi juga tidak hanya berbicara antara startup dengan startup. Lebih dari itu, saat ini tidak jarang korporasi tertarik untuk melakukan sinergi dengan startup demi mendapatkan percepatan inovasi bisnis. Di sisi korporasi, corporate venture capital (CVC) menjadi strategi yang sejauh ini paling ampuh digunakan untuk menjaring kandidat startup potensial. Salah satunya dilakukan oleh MDI Ventures, CVC di bawah naungan Telkom Group yang kini diberi mandat untuk memperlebar jangkau integrasi, tidak hanya ke perusahaan induknya tapi juga ke perusahaan lain di lingkungan BUMN.

Kepada DailySocial, CEO MDI Ventures Donald Wihardja mengatakan, “Kami memiliki dua KPI utama yang terukur, yakni menciptakan valuation growth dari investasi yang diberikan dan men-deliver sinergi dengan Telkom dan perusahaan BUMN lainnya. Tugas kami memastikan startup terkait sudah terbukti, misalnya terkait market fit dan unit economic, sehingga ketika di-plug in ke korporasi dapat memberikan nilai lebih kepada masing-masing. Startup butuh kapital dan pasar, korporasi punya itu. Sementara korporasi membutuhkan inovasi digital, startup memiliki itu.”

MDI Ventures banyak memberikan pendanaan kepada startup later stage, seri B ke atas. Menurutnya ini juga menjadi proven layer untuk memastikan startup tersebut memang sudah benar-benar matang. Terkait konsolidasi startup dengan BUMN, ia juga bercerita tentang inisiatif “ecosystem building” yang digarap bersama CVC BUMN lainnya. Pada dasarnya ini adalah sebuah working group untuk mendorong digitalisasi di beberapa sektor strategis, mulai dari kesehatan, pertanian, dan logistik. Serta menjembatani inovasi potensial dengan perusahaan di lingkungan BUMN.

Dorongan exit

Golden Gate Ventures dalam laporannya berjudul “Southeast Asia Exit Landscape: A New Frontier” mengatakan, bahwa kematangan ekosistem startup di Asia Tenggara juga akan berimplikasi pada meningkatnya jumlah exit. Dorongan pemain besar regional untuk melakukan akuisisi membuat M&A jadi opsi keberhasilan exit yang akan banyak dicapai. Laporan tersebut dibuat sebelum pandemi melanda, namun dari sinyal yang diberikan pasar, justru banyak terjadi percepatan.

draft_konsolasi_startup-02

Jika ditelisik lebih dalam, M&A menjadi jalur exit ideal untuk portofolio yang tengah dalam tahap pertumbuhan (maksimal dengan valuasi setara centaur), sementara untuk startup yang sudah mapan IPO tetap jadi jalur yang terus diupayakan. Beberapa unicorn lokal sudah menggaungkan rencana untuk melantai di bursa dalam waktu dekat. Menanggapi ini Willson juga mengatakan bahwa memang sudah saatnya para startup di Indonesia memperhitungkan IPO sebagai jalur exit mereka.

“Ada pandemi ataupun tidak, IPO memang sudah waktunya. Contohnya, Tokopedia sudah 11 tahun, Traveloka 8 tahun dan lain-lain. Selain itu monetisasi sudah  mulai clear, banyak yang sudah mulai profitable, banyak yang makin jelas roadmap-nya, jadi tinggal bagaimana cara IPO-nya. Tapi karena pandemi, pemerintah banyak mengeluarkan stimulus. Khususnya di US, mereka mulai cetak uang, maka nilai uang jadi turun. Dan membuat public market semakin liquid, makanya semua stock market lagi hijau semua, masih murah melebihi tahun 2008. Jadi membuat kesempatan untuk IPO lebih dipercepat,” jelas Willson.

Untuk persiapan IPO, konsolidasi juga dapat memiliki arti. Pertama adalah untuk meningkatkan nilai dari perusahaan itu sendiri. Kedua, untuk mempersempit peluang persaingan pasar – terlebih jika kedua perusahaan dapat saling memperkuat lini bisnisnya. Dan yang ketiga, untuk meningkatkan kepercayaan publik terkait kekuatan bisnisnya. Belum banyak contoh startup melantai di papan pengembangan, menjadi penting untuk debutnya nanti benar-benar memberikan pengalaman terbaik bagi ekosistem.


Gambar Header: Depositphotos.com

Telkom Digs for Acquisition of Gaming, E-Commerce, and Big Data Startups

PT Multimedia Nusantara or Metranet, Telkom’s subsidiary, intends to place an investment through major shares acquisition of startups engaged in gaming, e-commerce, and big data. The company is currently amidst the exploration stage in those three businesses.

Widi Nugroho, Metranet’s CEO, said those three are local and global companies but refuse to give further details.

“Yes, [we are to acquire] major shares in Startups [gaming, e-commerce, and big data]. Startups [to acquire] have shown a good financial performance in the past three years. Currently on progress [due diligence],” he told DailySocial in a short message.

Telkom already has Blanja.com in its e-commerce line as a joint venture with eBay. Still, he admitted this acquisition will extend Blanja.com position in Indonesia’s e-commerce industry.

“There are many E-commerce business models, such as Business-to-Consumer (B2C), Business-to-Business (B2B), and Business-to-Government (B2G). It can be a marketplace, vertical commerce, online store. In various forms, including back-end, platform, and so on. The ones we’ll purchase are to support Blanja.com,” he explained.

Chiefly, Metranet has finalized its first acquisition last August by taking over 30.4 percent shares in Cellum Global Zrt, a Hungary-based fintech company. Quoted from BeritaSatu, Telkom pours $6 million funding (around IDR 90 billion) in two stage of equity participation.

Metranet is currently focused on digital content business (gaming, music, and video), advertising, smart platform, and financial service (fintech). It goes along with Telkom’s commitment to dominate the digital business industry in Indonesia and Southeast Asia, in addition to connectivity business.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Telkom Jajaki Akuisisi Startup Games, E-commerce, dan Big Data

PT Multimedia Nusantara atau Metranet, anak usaha Telkom, berniat menyuntik investasi lewat pembelian mayoritas saham startup di bidang games, e-commerce, dan big data. Saat ini, perusahaan tengah melakukan penjajakan di ketiga kategori bisnis tersebut.

CEO Metranet Widi Nugroho mengatakan ketiga startup ini berasal dari dalam dan luar negeri, namun ia enggan menyebutkan detailnya.

“Ya, [kami ingin caplok] mayoritas saham startup [games, e-commerce, dan big data). Startup [yang akan diakuisisi] sudah menunjukkan performa finansial yang bagus dalam tiga tahun terakhir. Saat ini dalam proses [due diligence],” ungkap Widi dalam pesan singkat kepada DailySocial.

Sebetulnya, di lini e-commerce, Telkom sudah memiliki Blanja.com yang merupakan bentuk perusahaan patungan (joint venture) antara Telkom dengan eBay. Namun, Widi mengaku akuisisi ini akan memperkuat posisi Blanja.com di industri e-commerce Indonesia.

“Model bisnis e-commerce bermacam-macam, seperti Business-to-Consumer (B2C), Business-to-Business (B2B), dan Business-to-Goverment (B2G). Bisa marketplace, vertical commerce, online store. Ada yang bentuknya back-end, platform, dan sebagainya. Yang akan kami beli akan memperkuat Blanja.com,” jelas Widi.

Sebelumnya Metranet sudah lebih dulu merampungkan akuisisi pertama pada Agustus lalu dengam mengambil alih 30,4 persen saham Cellum Global Zrt, perusahaan fintech asal Hungaria. Dikutip dari BeritaSatu, Telkom mengucurkan dana sebesar $6 juta (sekitar 90 miliar Rupiah) dalam dua tahap penyertaan saham.

Saat ini Metranet fokus terhadap pilar bisnis digital content (games, musik, dan video), advertising, smart platform, dan layanan jasa keuangan (fintech). Fokus bisnis ini sejalan dengan komitmen Telkom untuk menguasai bisnis digital di Indonesia dan Asia Tenggara, tak cuma melalui bisnis konektivitas.

Monk’s Hill: “Funding Gap” Picu Pendiri Startup Asia Tenggara Jual Perusahaannya Lebih Cepat

Selain perkembangan startup di 2017, Monk’s Hill Ventures dalam laporan terbarunya yang bertajuk The State of Southeast Asia Tech Report 2018 juga menyoroti terjadinya gap pada pendanaan (funding gap) industri startup Asia Tenggara, khususnya dari Seri A ke Seri B dan selanjutnya, dalam beberapa tahun terakhir. Gap itu disebut memicu penjualan perusahaan lebih cepat.

Menurut Director Mountain Partners Malaysia AJ Azizuddin, pendanaan startup di Asia Tenggara sebetulnya sangat berkembang, tetapi masih ada gap besar. Misalnya, pendanaan untuk Seri A banyak dan merata, namun perbedaannya sangat jauh dengan pendanaan di Seri B dan C.

“Ini artinya ada banyak hal yang perlu dilakukan oleh venture capital (VC) dalam melihat situasi ini,” ungkap Azizuddin.

Sepanjang 2017 pendanaan putaran awal (seed) diberikan sebanyak 148 kali, putaran Seri A sebanyak 55 kali, sedangkan Seri B hanya 23 kali.

Partner Golden Gate Ventures Michael Lints mengakui, adanya gap pada putaran pendanaan, khususnya antara Seri A dan B. Menurut Lints, gap ini membuat startup jadi terlalu cepat untuk diakuisisi perusahaan lain.

“Saya rasa bakal butuh tiga tahun atau lebih sebelum kawasan Asia Tenggara mengalami banyak aksi exit, apalagi kalau melihat dari bertumbuhnya kawanan startup unicorn. Lihat saja data global, butuh tujuh hingga delapan tahun sebelum perusahaan mampu menciptakan nilai dari pemegang saham yang sesungguhnya,” papar Lints.

Data startup yang exit di tahun 2017

Di laporan ini, Monk’s Hill juga menyoroti fenomena exit atau situasi ketika sebuah startup dicaplok dalam bentuk merger atau akuisisi (M&A). Dalam tiga tahun terakhir, jumlah startup yang exit dilaporkan semakin meningkat di Asia Tenggara.

Startup “exits” di Asia Tenggara di 2013-2018
Startup “exits” di Asia Tenggara di 2013-2018

Tercatat hanya ada sembilan startup secara resmi melakukan Initial Public Offering (IPO) di Asia Tenggara di tahun 2017, sementara 155 startup lainnya diakuisisi di periode yang sama. Berdasarkan data periode 2013-2018, tren akuisisi semakin meningkat.

Startup yang menjadi perusahaan publik lewat IPO mengalami tren naik turun selama periode 2013-2018. Tercatat ada 37 IPO di 2013, kemudian turun di 2014 (11 buah) dan 2015 (8 buah). Tren startup IPO naik lagi menjadi 13 buah di 2016, lalu turun di 2017 (9 buah).

CEO 1337 Ventures Bikesh Lakmichan menyebutkan, langkah exit melalui proses M&A akan terus berlanjut ke depannya. Hingga Juni 2018, sudah ada 64 akuisisi dan diperkirakan mencapai 121 akuisisi di sepanjang tahun ini.

“Banyak startup yang percaya diri untuk memulai langkah baru dengan akuisisi. Saya pikir tantangan pada valuasi menjadi faktor utama banyak startup yang menunda untuk exit. Tidak semua exit didominasi oleh Tiongkok. Saya rasa kita perlu melihat firma private equity global masuk ke permainan ini,” ungkap Lakmichan.