Menilik Perkembangan Ekosistem Startup Indonesia Melalui Gelombang Baru Unicorn

Tidak dimungkiri, semenjak pandemi justru kucuran investasi banyak diberikan para investor kepada startup semakin subur hingga melahirkan potensi unicorn generasi baru dari Indonesia. Xendit menjadi startup selanjutnya dari vertikal fintech yang telah resmi menyabet status unicorn pada 15 September kemarin.

Ada sejumlah startup yang sudah mencapai centaur tahap akhir [valuasi di atas $500 juta], seperti Akulaku, Ruangguru, SiCepat, Kopi Kenangan, serta Ajaib yang diramalkan akan segera menyusul Xendit. Fenomena ini menarik karena bisa semakin banyaknya unicorn berdampak pada ekosistem startup yang jauh lebih kompetitif.

Untuk membahas hal ini, #SelasaStartup mengundang Founder & Managing Partners AC Ventures Adrian Li sebagai pembicara. AC Ventures merupakan salah satu investor awal Xendit. Ia banyak berbagi terkait kondisi pendanaan hingga impresi awal bagaimana dirinya bertemu dengan CEO Xendit Moses Lo. Berikut rangkumannya:

Faktor pendukung ekosistem startup

Dibandingkan kondisi saat AC Ventures pertama kali berinvestasi di Indonesia pada 2014, saat ini kondisi untuk merintis startup jauh lebih mudah. Infrastruktur, penetrasi smartphone, logistik, hardware sudah jauh lebih maju daripada sebelumnya. Di samping itu, generasi awal unicorn lahirkan bibit entrepreneur baru yang menjadi bekal bagus untuk mencetak unicorn berikutnya.

Adrian menuturkan, ekosistem yang berhasil dibentuk oleh generasi awal unicorn Indonesia sebelum era pandemi, memicu lahirnya entrepreneur baru yang berani untuk merintis startupnya sendiri. Berbagai bekal pengalaman yang mereka bawa dari kantor lama ke startupnya bisa dipastikan memiliki kualitas baik dan pemecahan solusi yang lebih tepat guna.

“Selain itu, kami sendiri juga sudah membangun jaringan dengan berbagai entrepreneur dari jauh-jauh hari. Setiap tingkatan kebutuhan founder, kami memiliki fund masing-masing,” kata Adrian.

Dari faktor-faktor tersebut membuat level disrupsi startup jauh lebih signifikan daripada sebelumnya. Indonesia pun dianggap sebagai pasar yang cukup besar untuk mencetak unicorn lebih banyak dari saat ini. Dari hitungan kasar saja, Indonesia sudah berhasil mencetak delapan unicorn, setidaknya, dari total 2 ribu startup yang ada saat ini.

“Dari awal kita berinvestasi di 2014, kita hanya berharap suatu saat nanti ada perusahaan bernilai $1 miliar yang akan muncul, tapi tidak mengantisipasi bakal ada decacorn lahir di Indonesia. Jadi ke depannya jangan heran kalau dalam lima tahun lagi akan ada lebih banyak perusahaan bernilai miliaran dolar lahir dari sini.”

Suplai pendanaan tahap awal masih kurang

Meski sudah didukung dengan banyak faktor pendukung, sambung Adrian, Indonesia sebenarnya masih kekurangan investor tahap awal. Jumlahnya pun perlu ditingkatkan setidaknya antara tiga sampai lima kali lipat dari jumlah VC tahap awal yang ada saat ini.

Di Tiongkok sendiri ada ribuan VC yang fokus berinvestasi tahap awal yang akhirnya mampu memproduksi ribuan unicorn pada beberapa tahun kemudian. “Jadi kita butuh lebih banyak backup dari banyak perusahaan lokal, jadi enggak harus mengandalkan investor dari luar saja.”

Bagi AC Ventures sendiri, mendanai startup pada tahap awal memang memiliki risiko gagal yang tinggi. Dengan berbagai pengukuran metriks, AC Ventures selalu memasang mindset dan mencari tahu apakah perusahaan yang akan didanai ini bisa bernilai jutaan dolar di kemudian hari.

Hal tersebut juga terjadi saat Adrian bertemu dengan Moses Lo (Co-founder Xendit). Ia menuturkan apa yang dilakukan Xendit pada awal berdiri dengan saat ini sangat jauh berbeda. Awalnya Xendit ingin permudah pembayaran dengan adanya split bill dan transfer uang jauh lebih mudah, kini menjadi perusahaan payment gateway yang fokus pada kemudahan untuk konsumen bisnis.

“Xendit sejak awal memiliki tim yang begitu solid, banyak credit yang saya berikan pada tahap awal itu untuk timnya karena ini bukan perjalanan yang mudah, membuat payment gateway dengan proses yang sangat user friendly.”

Prediksi unicorn berikutnya

Sesuai dengan prediksi Adrian sebelumnya, bahwa akan ada banyak cikal bakal unicorn yang datang dari berbagai vertikal startup dalam beberapa tahun mendatang. Dari berbagai faktor tersebut, dia meramalkan setidaknya dalam lima hingga 10 tahun mendatang akan ada banyak perusahaan bernilai $2 miliar hingga $3 miliar datang dari Indonesia.

Ia mencontohkan, vertikal fintech yang luas akan menjadi penerus unicorn berikutnya, setelah Xendit dan OVO. “Lending akan menjadi area lainnya yang menarik untuk menciptakan unicorn berikutnya, seperti Kredivo dan Akulaku. Pun juga digital bank yang akan agregate seluruh layanan keuangan digital.”

Startup logistik juga akan menyumbang sebagai generasi unicorn berikutnya, mengingat industri e-commerce yang tengah menggeliat sepanjang pandemi. Terlebih itu, industri e-commerce adalah penyumbang utama ekonomi digital di Indonesia menurut berbagai riset.

“Kalau healthtech dan edtech ini memang adalah market yang besar, tapi masih didominasi oleh bisnis tradisional. Ini old business jadi sulit untuk mengubah kebiasaan. Meski adopsi keduanya meningkat pesat selama pandemi, tetap saja akan butuh waktu yang lama [untuk mendominasi market].”

Kendati Adrian memprediksi tiap industri akan menyumbang unicorn, bukan berarti akan menjadikan startup  tersebut memonopoli pasar. Pasalnya, di industri startup teknologi menganut pasar oligopoli. Artinya, ada sejumlah pemain besar yang mendominasi pasar.

“Ada yang monopoli, ada juga yang multiplayer. Contohnya, di industri e-commerce ada Tokopedia, Shopee, Bukalapak yang unggul. Apalagi di fintech ada banyak vertikal yang muncul sebagai unicorn karena besarnya kesempatan dan keunikan di masing-masing produk sebagai value proposition-nya,” tutup dia.

[Video] Menilik Kategori Startup yang Jadi Pilihan Openspace Ventures

Bagi perusahaan venture capital, mengetahui fundamental dan tren startup yang berkembang dalam ekosistem di kawasannya menjadi dasar dalam keputusan pendanaan.

DailySocial bersama Tania Shanny Lestari dari Openspace Ventures membahas tentang bagaimana strategi, fokus, dan seperti apa kategori perusahaannya dalam memilih startup yang cocok untuk investasi.

Untuk video menarik lainnya seputar startup dan teknologi, kunjungi kanal YouTube DailySocialTV.

Kusumo Martanto dari Blibli: Inovasi Jadi Kunci Keberlangsungan Industri E-commerce

Artikel ini adalah bagian dari Seri Mastermind DailySocial yang menampilkan para inovator dan pemimpin di industri teknologi Indonesia untuk berbagi cerita dan sudut pandang.

Tidaklah mudah mendirikan perusahaan yang berkelanjutan, perusahaan yang baik dibangun dengan fondasi dan strategi yang kokoh. Kusumo Martanto membangun Blibli dari nol menggunakan pendekatan customer-centric. Selepas merayakan ulang tahun ke-10, perusahaan telah meraih pencapaian signifikan. Selain itu, beliau juga berperan sebagai COO dari GDP Venture sebagai saluran dalam menciptakan kendaraan investasi untuk lebih mengembangkan industri digital Indonesia.

Sebelum memasuki era industri teknologi, Kusumo yang akrab disapa Pak Kus telah terlatih dalam mengatasi tantangan. Mulai dari pendidikan, adaptasi terhadap budaya baru dengan kosa kata yang terbatas, serta bertahan hidup sebagai mahasiswa asing dengan tuntutan beasiswa dan pekerjaan paruh waktu. Namun, semua upayanya terbayar saat ia mendapat kesempatan untuk mengejar karir di industri teknologi.

Sebagai Co-Founder dan CEO Blibli, salah satu perusahaan e-commerce terkemuka di Indonesia, Kusumo bertujuan untuk menciptakan perusahaan yang berkelanjutan dengan membawa nilai dan dampak positif bagi masyarakat. Dalam proses mendaki puncak tertinggi, tantangan kerap muncul dan perusahaan harus siap. Ia mempercayai bahwa kunci dari industri yang dinamis ini adalah inovasi, dan kolaborasi menjadi jalur yang tepat untuk membangun keberlanjutan.

DailySocial berkesempatan untuk melakukan wawancara eksklusif dengan Pak Kus dan mendiskusikan lebih lanjut pemikirannya tentang lanskap e-commerce Indonesia dan potensinya di masa depan.

Seperti apa masa-masa awal perjalanan Anda sebelum memasuki industri teknologi?

Menilik kebelakang, saya telah terlatih untuk mengatasi tantangan. Sejak masa sekolah saya sudah tertarik dengan ilmu teknik, yang ketika itu tidak dapat dipisahkan dari perangkat komputer dan saya tidak memilikinya saat itu. Lagipula, saya hanyalah seorang anak laki-laki dari Jawa Tengah dengan mimpi besar. Tidak pernah terpikir oleh saya untuk bisa belajar di luar negeri mengingat banyaknya biaya dan dokumen yang harus dipersiapkan, tetapi saya memiliki kemauan yang kuat. Kemudian, dengan semua sumber daya yang tersedia saat itu, saya mencoba mencari jalan ke daerah metropolitan. Untungnya, orang tua saya sangat mendukung. Dengan banyak pertimbangan serta melalui proses yang panjang, saya berhasil mendaftar dan melanjutkan studi di Iowa State University.

Perjuangan nyata terjadi dalam dua tahun pertama beradaptasi dengan negara dan budaya baru menggunakan kosakata yang terbatas. Sementara itu era sebelum internet. Saya harus merekam kelas kuliah dari waktu ke waktu dan mendengarkannya beberapa kali sebelum benar-benar bisa memahami intinya. Tahun kedua, saya mengajukan permohonan beasiswa sembari bekerja paruh waktu untuk menutupi biaya hidup, tidur 8 jam saja tidak memungkinkan. Kondisinya tidak mudah, tapi saya tidak menyerah.

Kusumo Martanto / GDP Venture

Anda berhasil lulus dari program teknik ternama di Iowa State University dan melanjutkan program Master di Institut Teknologi Georgia. Pengalaman seperti apa yang bisa Anda bagikan terkait kondisi kehidupan dan studi di luar negri mempengaruhi keahlian dan perspektif Anda hingga saat ini?

Melihat kembali ke zaman saya, banyak sekali yang berbeda dalam hal pengajaran dan pembelajaran. Di Indonesia, menghormati berarti mentaati. Di kelas, kita dapat mengajukan pertanyaan tetapi tidak untuk mempertanyakannya. Di Amerika, kami dipaksa untuk berpartisipasi, untuk berbicara. Tidak hanya berpikir kritis tetapi juga memahami konteks. Konsep itu tertanam dan telah membentuk pola pikir saya.

Apa yang membuat Anda memutuskan untuk pulang? Mengapa tidak melanjutkan mengejar karir di Amerika?

Sejujurnya, saya pernah berpikir kembali ke tanah air untuk bekerja sebelum melanjutkan gelar master. Saya melamar beberapa pekerjaan di Indonesia, tetapi juga mempersiapkan Rencana B dan mengajukan aplikasi untuk melanjutkan studi. Ketika saya tiba di Indonesia, saya sudah mendapat tawaran untuk bekerja di sebuah perusahaan. Namun, ketika sedang menetap di kampung halaman, saya mendapat surat penerimaan dari Amerika. Setelah diskusi panjang lebar dengan orang tua, saya memutuskan untuk langsung melanjutkan studi di AS.

Perjalanan saya selanjutnya mejadi bagian yang menarik dan menyenangkan. Pertama kali saya mengejar karir di industri kedirgantaraan, mengingat dulu pernah bercita-cita menjadi pilot. Saat itulah saya terpapar industri teknologi. Selanjutnya, saya pindah ke perusahaan perangkat lunak; dan itu murni tentang teknologi. Kemudian, saya bergabung dengan intel dan sampai sekarang terbawa jauh ke dalam industri ini dan menikmati setiap perjalanannya.

Setelah itu, saya mulai memikirkan orang tua di Indonesia yang semakin bertambah usia. Lagipula, merasa cukup berkontribusi untuk negara yang mengadopsi saya, mengapa tidak mencoba membuat sesuatu dan bekerja untuk tanah kelahiran. Indonesia sendiri memiliki potensi luar biasa dengan penetrasi internetnya yang terus meningkat. Hal ini benar-benar mengubah segala hal mulai dari komunikasi sampai industri yang lebih spesifik. Saya, kemudian, mengambil kesempatan tersebut.

Bagaimana sebenarnya ide awal Blibli, salah satu produk digital pertama Djarum? Seperti apa tantangan yang Anda temui dan bagaimana mengatasinya?

Secara historis, Indonesia telah menjadi pusat perdagangan selama berabad-abad, dan konsep tersebut telah mengakar dalam masyarakatnya. Negara ini memiliki potensi besar dalam banyak hal. Salah satu yang paling esensial adalah bonus demografi. Kita punya banyak anak muda di usia produktif yang siap mencurahkan energi untuk menciptakan kemakmuran di negeri ini. Apalagi sebagian besar dari orang-orang ini memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, juga mau beradaptasi dan mengadopsi. Ritel berkembang pesat dan menjadi amunisi besar untuk menopang perekonomian.

Saat itu pada tahun 2011, penetrasi internet Indonesia hanya 12,3% dari total populasi. Namun, angka tersebut lebih signifikan daripada populasi satu negara. Dari segi geografi, negara ini amat luas, merupakan sebuah keuntungan sekaligus tantangan untuk sektor distribusi. E-commerce menjadi sebuah ide yang amat sangat mungkin muncul dengan fakta-fakta yang telah dikemukakan sebelumnya.

Kami memulai Blibli dengan tujuan untuk menjadi e-commerce pertama yang memberikan pengalaman customer-centric terbaik bagi pembeli dan penjual. Dalam proses mendaki puncak tertinggi, kami menghadapi banyak tantangan. Berbeda dengan AS dan China dengan daratan yang luas, Indonesia memiliki lautan yang luas dalam hal distribusi. Ini adalah salah satu tantangan terbesar untuk menyediakan logistik yang hemat biaya. Selanjutnya, pembayaran menjadi batu sandungan lain di industri ini. Saat itu efisiensi perbankan belum seperti sekarang.

Semua tantangan ini memaksa kami untuk lebih kreatif dan inovatif dalam mengembangkan platform. Saya juga percaya bahwa untuk membuat ekosistem berfungsi, kita perlu bekerja sebagai satu kesatuan. Oleh karena itu kami juga bekolaborasi dengan mitra yang sangat terpercaya untuk melayani masyarakat dengan lebih baik. Inovasi adalah kunci industri yang dinamis dan kolaborasi menjadi jalur yang tepat untuk membangun keberlanjutan.

Inovasi apa saja yang sudah atau akan dikembangkan Blibli dalam waktu dekat?

Kami telah meluncurkan banyak inovasi sejak awal beroperasi. Bahkan, Blibli seringkali menjadi yang pertama menawarkan inovasi baru. Misalnya, pengiriman gratis dan cicilan 0% sementara yang lain masih mengenakan biaya tambahan untuk pembayaran kartu kredit. Selain itu, kami menjamin keaslian produk yang ditawarkan dalam platform. Untuk memastikan hal itu, kami hanya bekerja sama dengan mitra terpercaya. Inovasi lainnya adalah saat kami memperkenalkan fitur pre-order, bekerja sama dengan Telkomsel.

Kendati itu, kami percaya bahwa online tidak akan pernah 100% menggantikan ekosistem offline, namun untuk saling melengkapi. Oleh karena itu, tahun lalu kami meluncurkan inisiatif omnichannel untuk memenangkan pasar offline. Ada beberapa fitur termasuk Blibli in-store, Click & Collect, dan BlibliMart untuk grosir dalam rangka memperkuat strategi ini.

Di masa pandemi ini, kita juga menyadari bahwa banyak orang yang berjuang dengan pendapatan yang tidak stabil. Oleh karena itu, kami meluncurkan layanan PayLater dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar pengguna. Selain itu, UMKM menjadi salah satu sektor yang paling terdampak akibat pandemi ini. Kami menemukan salah satu pain points mereka berada pada tempat penyimpanan produk. Kami mencoba memecahkan masalah ini dengan memperkenalkan fulfillment oleh Blibli.

Yang terbaru, kolaborasi lintas industri dengan BCA Digital, menjadikan Blibli sebagai platform e-commerce pertama yang terintegrasi penuh dengan bank digital di Indonesia. Saya percaya bahwa pengembangan ekosistem digital di Indonesia dapat mencapai potensi penuh melalui kolaborasi. Oleh karena itu, kami akan terus berinovasi dan beradaptasi dengan pasar yang terus berubah dengan menjawab tantangan dengan pengalaman.

Peresmian gudang Blibli Cakung

Apakah menurut Anda status “unicorn” itu penting? Nilai esensial seperti apa yang harus dimiliki perusahaan untuk bida berkelanjutan?

Wajar jika sebuah perusahaan startup ingin meraih status atau pencapaian tertentu. Meskipun kami belum mengumumkan status apa pun secara terbuka, ukuran bisnis kami telah melampaui miliaran dolar. Dengan begitu, apakah saya bisa mengatakan bahwa kami telah mencapai status unicorn? Ya. Namun, sebagai perusahaan digital, yang sangat kami inginkan adalah menciptakan perusahaan yang berkelanjutan dengan membawa nilai dan dampak positif bagi masyarakat.

Dari segi nilai, saya pikir semua hasil yang luar biasa membutuhkan kerja keras dan ketekunan. Saya mencoba menanamkan pola pikir seperti ini pada semua anggota kami di Blibli. Bahwa kita bukan hanya sebuah perusahaan, tetapi juga bagian dari masyarakat. Oleh karena itu, selalu lakukan yang terbaik untuk menciptakan dampak positif melalui teknologi dan inovasi. Selain itu, ketika sebuah bisnis telah tumbuh besar, sulit untuk tidak berpuas diri, namun kita tetap perlu menjaga agility agar tetap kuat. Selalu waspada dan bersiap dengan hal yang tak terduga.

Selaku COO dari GDP Venture, bagaimana peran Anda dalam organisasi ini, apakah Anda juga melakukan investasi pribadi?

Ketika membangun Blibli, para pemegang saham kami mempertimbangkan untuk menciptakan sarana investasi untuk lebih mengembangkan industri digital Indonesia. Semua yang telah kita diskusikan hanya akan berhasil ketika seluruh negeri mencapai kemakmuran. Oleh karena itu, saya membantu Martin Hartono mendirikan perusahaan investasi dan mengusulkan ide nama GDP Venture. Saya juga telah berinvestasi sebagai angel, dan yang terpenting, saya berkontribusi dengan pengalaman saya, termasuk sebagai penasihat.

Langkah investasi GDP Venture di tahun 2017

Setelah mengelola Blibli sekian lama dari nol hingga tahap ini, pernahkah terpikir untuk membuat sesuatu yang baru? Atau menjelajahi industri lain?

Satu hal tentang kreasi adalah Anda dapat melakukannya dalam berbagai macam cara. Seseorang dapat menjadi pendiri, investor, atau bagian dari anggota tim. Saya punya banyak ide, yang sekarang lebih banyak disalurkan ke kegiatan investasi atau mentoring. Saya memulai di industri e-commerce, dan ini baru permulaan, potensi ke depan masih sangat panjang.

Mengenai minat, saya lebih suka industri “jadul” seperti kesehatan. Di Indonesia, negara lapis pertama pun masih kesulitan mendapatkan akses ke fasilitas kesehatan yang memadai. Namun, karena saya ingin membuat sesuatu di industri yang berbeda, saya ingin itu bisa menjadi bagian dari Blibli dan grup. Ketika brainstorming untuk rencana tersebut, saya diperkenalkan dengan pendiri startup yang ingin memulai bisnis serupa. Alih-alih bersaing, kami memutuskan untuk berinvestasi di startup yang saat ini kita kenal dengan Halodoc. Saya kemudian menjadi penasihat perusahaan.

Dalam hal lain, menurut saya industri edtech cukup menarik. Di atas segalanya, semua jenis industri itu bagus. Saya, secara pribadi tertarik pada bidang yang dapat berdampak langsung pada masyarakat, seperti kesehatan dan pendidikan. Selama masih ada makhluk hidup, industri ini akan selalu dibutuhkan.

Sebagai pemimpin yang berpengalaman, apa yang dapat Anda katakan untuk para penggiat teknologi di luar sana yang ingin mulai membangun sebuah warisan?

Setiap orang memiliki bakat dan panggilan hidup masing-masing. Tidak semua orang harus menjadi pengusaha, saya sendiri masih belajar. Untuk menjadi pengusaha atau apa pun, kita tidak bisa hanya mengandalkan keterampilan atau pengetahuan. Orang perlu memiliki karakter yang solid untuk membangun sesuatu yang berkelanjutan. Dan lagi, tidak ada yang namanya kesuksesan instan, kesuksesan itu diwujudkan.


Artikel asli dalam bahasa Inggris, diterjemahkan oleh Kristin Siagian

Blibli’s Kusumo Martanto on E-commerce Industry: Innovation is the Key to Sustainability

This article is a part of DailySocial’s Mastermind Series, featuring innovators and leaders in Indonesia’s tech industry sharing their stories and point of view.

A company is not something you easily founded, a good company is built with a solid foundation and solid strategy. Kusumo Martanto built Blibli from scratch using a customer-centric approach. Recently celebrating its 10th anniversary, the company has reached some major milestones. Also, he plays a role as the COO of GDP Venture as a channel to create an investment vehicle to further develop Indonesia’s digital industry

Before the tech industry era, Martanto has been trained to overcome challenges. From educational struggle, adapting to the new culture with limited vocabulary, and surviving the life of an overseas student with scholarship demands and a part-time job. However, all his constant effort pays off as he finally gets a chance to pursue a career in the tech industry.

As the Co-Founder and CEO of Blibli, one of the leading e-commerce companies in Indonesia, Martanto aims to create a sustainable company with positive value and impact on society. In the process of climbing the top ladder, challenges often appear and the company has to be ready. He also believes that the key to this dynamic industry is innovation, and collaboration is a way to make it sustainable.

DailySocial has an opportunity to have an exclusive interview with Martanto and further discuss his thoughts on the Indonesian e-commerce landscape and its future potential.

How were your early days before the tech industry happened in your life?

Looking back to my journey, I was trained to overcome challenges. Engineering has started to draw my attention in school, which cannot be separated from computers and I did not have one back then. Also, I was just a boy from Central Java with big dreams. It never occurred to me that I could study abroad with all the cost and paperwork, but I have this strong will. Then, with all the resources available at that time, I look for a way in the metropolitan area. Fortunately, my parents are very encouraging. With many considerations and through a long process, I managed to register and continue my study at Iowa State University.

The real struggle happened within the first two years of adapting to a new country and culture with limited vocabulary. And that was before the internet era. I had to record my lectures from time to time and listen to them multiple times before I really grasp the gist. The second year, I have applied for a scholarship and was doing part-time to cover my expenses, 8-hour sleep was off the table. It was tough, but I was tougher.

Kusumo Martanto / Dokumentasi GDP Venture

You’ve graduated from a top-ranked engineering program at Iowa State University and a continuing Master’s program at Georgia Institute of Technology. Can you share a bit of your experience of how living and studying abroad can help you upskill and what kind of perspective you’ve gained outside this country?

Looking back to my era, it was very different in terms of teaching and learning. In Indonesia, respect means to obey. In class, we can ask questions but never questioning them. In the States, we are forced to participate, to speak up. Not only to have critical thinking but also to understand the context. It goes a long way and has shaped my mindset.

What made you decide to come home? Why not continue pursuing a career in the States?

Honestly, I thought of getting back home to work before continuing my master’s degree. I applied for several jobs at home country, but also prepared for Plan B and submitted an application to continue studying. When I arrived in Indonesia, I already got an offer to work for a company. However, during my stay in my hometown, I received an acceptance letter from the States. After a lengthy discussion with my parents, I decided to pursue my master’s degree in the US.

My next journey is actually the interesting and fun part. My first career attempt is in the aerospace industry since I dream of becoming a pilot. That time I got exposure to the tech industry. Furthermore, I moved into a software company; and it was pure technology. Then, I joined intel and up until now I have drifted deep into this area and enjoy where I’m going.

After that, I started to think of my parents in Indonesia as they’re getting old. Besides, I already contribute enough to the country that adopted me, why not try to make something work in my home country. Indonesia alone has excellent potential with its growing internet penetration. It totally changed the whole thing from communication to a lot more specific industries. I, then, take my chance.

What was the idea behind the creation of Blibli, one of Djarum’s first digital products? What kind of challenges you’ve encountered and how to overcome that?

Historically speaking, Indonesia has been a center of commerce for ages, and the concept has been deep-rooted in its people. This country holds great potential in terms of many factors. One of the most essential is the demographic bonus. We have many young people in the productive age, ready to pour energy into building this country’s prosperity.  Moreover, most of these people have high curiosity, also willing to adapt and to adopt. Retails are rapidly growing and have become the great ammo to support the economy.

Back then in 2011, Indonesia’s internet penetration was only 12,3% of the total population. Still, it is more significant than one country’s population. In terms of geography, this is a vast country, it is an advantage as well as a challenge for distribution. The idea of e-commerce will be very much likely to appear given the previous facts stated.

We started Blibli with the aim to be the 1st leading e-commerce to deliver the best customer-centric experience for both buyers and sellers. In the process of climbing the top ladder, we encounter lots of challenges. Unlike the US and China with vast land, Indonesia has a wide ocean in terms of distribution. This is one of the biggest challenges to provide cost-efficient logistics. Furthermore, the payment becomes another rocky road in this industry. It was not as efficient as today’s banking.

All these challenges only forced us to be more creative and innovative in developing our platform. I also believe that to make the ecosystem work, we need to work as a unity. That is why we also collaborated with our very trusted partners to serve the community better. Innovation is the key to the dynamic industry and collaboration is what makes it sustainable.

What kind of innovations Blibli has or will develop in the near future?

We have launched lots of innovations since the very beginning of our operations. In fact, Blibli is often the first one to offer new innovation. For example, the free delivery and 0% installment while others still charge additional costs for credit card payment. Also, we guarantee the originality of the products offered on our platform. To ensure this, we only collaborated with trusted partners. Another highlight is when we introduce the pre-order feature, in collaboration with Telkomsel.

Moreover, we believe that online will never 100% replace the offline ecosystem, only to complement each other. Therefore, last year we launched our omnichannel initiative to win the offline market. There are several features including Blibli in-store, Click & Collect, and BlibliMart for grocery to strengthen this strategy.

In this time of the pandemic, we also realize that many people are struggling with stable income. Therefore, we also launched the PayLater service to cover basic needs for users. Aside from that, MSME becomes one of the most affected sectors due to this pandemic. We discover one of their pain points is the place to keep their products. We tried to solve this problem by introducing fulfillment by Blibli.

The latest one, a cross-industry collaboration between BCA Digital and us, has made Blibli the first e-commerce platform fully integrated with digital banks in Indonesia. I believe that the development of a digital ecosystem in Indonesia can reach its full potential through collaboration. Therefore, we will continue to innovate and adapt to the changing market by responding to the challenges and experiences.

The launching of Blibli’s warehouse Cakung

Do you think “unicorn” status is important? What kind of essential value the company should have in order to reach sustainability?

It is only reasonable for a startup company to want to achieve a certain status or major milestone. Although we have not openly announced any kind of status, our business size has exceeded billions of dollars. Can I say that we have reached unicorn status? Yes. However, as a digital company, what we really want is to create a sustainable company with positive value and impact on society.

In terms of value, I think all the remarkable outcomes require hard work and perseverance. I tried to plant this kind of mindset in all of our members in Blibli. That we are not just a company, but also part of the society.  Therefore, always do your best to create a positive impact through technology and innovation. Also, when a business has grown large, it is hard not to be complacent, that is why we need to keep the agility strong. Always be prudent and expect the unexpected.

You’re also the COO of GDP Venture. What kind of role you’ve played in this organization, do you also make personal investments?

During the Blibli creation, our shareholders also consider creating investment vehicles to further develop Indonesia’s digital industry. Everything we have been discussing will only work when the whole country can prosper. Therefore, I helped Martin Hartono set up the investment company and proposed the idea of the name GDP Venture. I have also been investing as an angel, and above all, I contribute with my experience, including as an advisor.

GDP Venture’s investment activity circa 2017

After a long time managing Blibli from scratch to this stage, have you ever thought of starting another company? Or exploring another industry?

The thing with creation is you can do it in various kinds of ways. One can be a founder, investor, or part of a team member. I have lots of ideas, which now channeled more to the investment or mentorship activities. I started in the e-commerce industry, and this is just the beginning, the potential is still very long ahead to the future.

In terms of interest, I prefer the old-fashioned industry such as health. In Indonesia, even the first-tier country is still facing difficulty to have access to sufficient health facilities. However, as I want to create something in a different industry, I want this to be part of Blibli and the group. While brainstorming for the plan, I was introduced to the startup founder who wants to start a similar business. Instead of competing, we decided to invest in the startup that we have currently known as Halodoc. I became the advisor to the company.

Another thing, I reckon the edtech industry is quite interesting. Above all, any kind of industry is good. I, personally attracted to fields that can directly impact society, such as healthcare and education. As long as there are people, these industries will strive.

As an experienced leader, what can you say for those tech enthusiasts out there wanting to build their own legacy?

Everyone has their talents and call to life. Not everyone has to be an entrepreneur, I, myself, am still learning. To be entrepreneurs or anything, we cannot only rely on skill or knowledge. People need to have a solid character in order to build something sustainable. Also, there is no such thing as instant success, and success is earned.

[Data Interaktif] Pendanaan Startup Indonesia Q1 2021 Naik 2 Kali Lipat, Bukukan Rp8 Triliun

Tahun 2021 bisa dikatakan sebagai titik balik kebangkitan industri setelah berbulan-bulan dihantam distraksi akibat pandemi. Bebarengan dengan distribusi vaksin yang makin masif untuk mencegah penularan Covid-19, berbagai tatanan bisnis kembali menapaki jalur pertumbuhannya. Tak terkecuali di ekosistem startup Indonesia.

Di antara berbagai variabel yang dapat dijadikan patokan penilaian, transaksi pendanaan menjadi salah satu yang kami rasa cukup relevan. Cukup beralasan, setiap investor memiliki hipotesis yang sangat ketat – baik penilaian dari fundamental bisnis, hingga kondisi makro perekonomian nasional – sehingga meyakinkan mereka untuk meletakkan uangnya ke sebuah bisnis.

Dari catatan tim riset kami, sepanjang Q1 2021 terdapat 40 transaksi pendanaan startup Indonesia, membukukan dana [dari 24 transaksi yang nilainya diumumkan] senilai $554,7 miliar atau setara 8 triliun Rupiah. Nilai tertinggi didapatkan oleh putaran seri B SiCepat dengan total nilai mencapai $170 juta, disusul pendanaan seri A ajaib yang membukukan dana total $90 juta [gabungan dari Seri A dan Seri A+].

Menyusuri lebih dalam, sepanjang awal tahun ini pendanaan awal masih mendominasi. Namun berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, kini seri A jumlahnya lebih banyak [16 transaksi] dibandingkan dengan seed funding [12 transaksi].

Dibandingkan periode yang sama di dua tahun sebelumnya, secara nilai dan kuantitas pendanaan nilainya naik lebih dari 2x lipat. Tahun 2019 ada 26 pendanaan yang diumumkan dengan nilai transaksi $156,9 juta, sementara di tahun 2020 terjadi sedikit penurunan dengan 21 transaksi dan nilai yang diumumkan berkisar $42,9 juta.

Sebagai informasi, dalam grafik tersebut kami tidak mencantumkan putaran pendanaan di startup unicorn/decacorn. Pada Q1 2019 Bukalapak menutup putaran seri D dengan nilai $50 juta, sementara di Q1 2020 Gojek menutup putaran seri F dengan nilai $1,2 miliar.

Fintech mendominasi total pendanaan di kuartal pertama tahun ini dengan 14 transaksi, disusul SaaS [7] dan edtech [3]. Pun jika ditinjau dari sisi nilai pendanaan yang dibukukan, ekosistem fintech mengumpulkan total investasi senilai $315,8 miliar. Dan jika ditelusur lebih dalam, tipe layanan fintech-nya pun cukup beragam, mulai dari (1) platform investasi (Bibit, Ajaib, FUNDtastic, Pluang), (2) pinjaman (Amartha, Dana Cita, Pintek, GajiGesa, Alami), (3) open banking (Xendit, Brick), dan (4) pembayaran digital yang diwakili LinkAja serta (5) insurtech yang diwakili PasarPolis.

Analisis iklim investasi

Sepanjang Q1 2021, sebanyak 114 pemodal ventura (VC) berpartisipasi, termasuk belasan angel investor. VC berbasis di Indonesia seperti East Ventures [5 transaksi], AC Ventures [5], dan Alpha JWC Ventures [4] sementara penjadi yang paling aktif mengikuti putaran pendanaan startup. Menariknya makin banyak VC global dan regional yang turut terlibat, beberapa di antaranya dengan masing-masing tiga transaksi: Saison Capital, Sequoia India, Y Combinator, Insignia Ventures Partner.

Partisipasi investor global menjadi angin segar bagi perkembangan ekosistem, memungkinkan founder baru dengan inovasi uniknya mendapatkan eksposur lebih baik lagi. Di samping itu, memungkinkan adanya transfer pengetahuan yang lebih komprehensif – mengingat hingga saat ini perkembangan produk digital masih banyak berkiblat dari model bisnis yang ada di luar negeri. Kemudian, pengalaman global partner dapat memudahkan startup lokal yang akan berekspansi di luar Indonesia.

Kendati demikian, banyak investor global yang juga melihat berbagai permasalahan di Indonesia sebagai potensi yang bisa diselesaikan oleh startup. Terbukti dengan partisipasi mereka pada beberapa putaran investasi kepada startup yang memang memfokuskan bisnisnya ke pasar lokal – misalnya startup logistik.

Di sisi lain, siklus “founder ke investor” juga mulai tampak. Dalam rentang pendanaan Q1 2021, founder Kopi Kenangan dan Bukalapak melalui unit venturanya terlibat dalam investasi startup. Berdasarkan data Startup Report 2020, saat ini valuasi Kopi Kenangan sudah hampir menyentuh $1 miliar. Siklus ini juga memungkinkan founder baru untuk mendapatkan dukungan lebih baik – termasuk mempelajari kesuksesan yang telah didapat investornya dalam membangun bisnis di Indonesia.

Dengan iklim investasi yang ada, kami cukup optimis jika ekosistem startup Indonesia masih akan mendapati pertumbuhan yang lebih baik ke depan. Bisnis yang makin matang –dibuktikan dengan ketahanannya mengarungi pandemi—juga akan menjadikan validasi apik untuk mendapatkan kepercayaan lebih ke investor. Di sisi lain, konsumen digital di Indonesia juga mendapati jumlah yang terus bertambah di tengah digitalisasi selama masa karantina mandiri.


Gambar Header: Depositphotos.com

Ekosistem Startup Indonesia dan Singapura Masih Jadi Perhatian Utama Monk’s Hill Ventures

Sebagai venture capital yang fokus di Asia Tenggara, Monk’s Hill Ventures hingga saat ini masih melihat Singapura, Indonesia, dan Vietnam sebagai negara yang memiliki potensi lebih terkait kinerja startup dan potensi berinvestasi. Namun melihat perkembangan yang saat ini terjadi di negara lain di Asia Tenggara seperti Thailand, Malaysia dan Filipina, menjadi tidak mungkin ke depannya tiga negara tersebut bakal dilirik oleh mereka.

Dalam sesi media briefing yang digelar oleh Monk’s Hill Ventures (MHV) terungkap, beberapa fokus yang kemudian menjadi highlights sepanjang tahun 2020. Diungkapkan juga rencana investasi, peluang dan sektor yang dilirik oleh MHV untuk tahun 2021.

Indonesia dan Singapura investasi terbesar

Dalam presentasi yang disampaikan oleh Managing Partner Monk’s Hill Ventures Kuo-Yi Lim, investasi terbesar yang telah digelontorkan oleh MHV selama ini adalah negara Singapura dan Indonesia.

Tercatat sejak tahun 2017, investasi yang dilakukan lumayan rutin oleh MHV, meskipun perusahaan mengklaim idealnya hanya sekitar 4-5 investasi saja yang diberikan per tahunnya. Namun memasuki tahun 2020 ketika pandemi mulai menyebar secara global, mereka memutuskan untuk melakukan penundaan investasi dan lebih melihat tren dan pergerakan sektor yang kemudian mengalami pertumbuhan saat pandemi.

“Sepanjang tahun 2020 angka menunjukkan dinamika naik-turun, terlihat lebih berat dari tahun sebelumnya,” kata Kuo-Yi Lim

Ditambahkan olehnya, sebelumnya kondisi tersebut telah diprediksi, karena kebanyakan venture capital, menunda investasi saat pandemi dengan kondisi pasar yang tidak menentu. Namun setelah melihat dinamika sektor yang ada, ternyata tahun 2020 menjadi waktu yang tepat untuk berinvestasi.

Dalam pemaparan tersebut juga disampaikan 10 sektor yang kemudian dilirik oleh MHV. Di antaranya adalah Fintech (17%), IT (18%), Software (11%), layanan finansial (9%), marketplace (7%), logistik (5%), healthcare (5%), layanan e-commerce (9%), SaaS (9%) dan Internet (8%). Sektor tersebut yang kemudian merupakan deal yang banyak dilancarkan oleh MHV sepanjang tahun 2020.

“Dari catatan kami terlihat banyak sektor yang kami lirik adalah layanan fintech, IT terutama mereka yang menawarkan layanan infrastruktur seperti software untuk layanan e-commerce. Logistik juga menjadi pilihan investasi kami. Data ini mewakili sektor yang kami lirik sepanjang tahun 2020 dan tahun 2021.”

Tahun 2021 ini ternyata tidak mengalami perubahan yang berarti bagi MHV terkait dengan sektor mana yang akan menjadi fokus. Secara khusus menyesuaikan sektor yang telah dipilih sebelumnya, tidak melihat perubahan yang cukup besar pada tahun 2021.

“Hal tersebut dilihat dari jumlah pemain yang masuk dalam sektor ini cukup banyak jumlahnya. Bersamaan dengan besarnya permintaan dari industri. Misalnya healthcare dan financial services, semua tetap menjadi key player. kita akan melihat pengaruh dari sektor-sektor ini,” kata Kuo-Yi Lim.

Tips investasi saat ini

Pelajaran paling penting yang kemudian diambil oleh MHV ketika melakukan investasi saat pandemi dan memasuki realitas baru adalah, untuk bisa beradaptasi dengan lingkungan kerja secara remote. Namun di sisi lain perlu melakukan proses due diligence lebih kritis dan tentunya lebih ketat lagi. Venture capital juga harus bisa melakukan pengecekan yang relevan, dan selalu melakukan komunikasi dengan jaringan di industri terkait.

Hal penting lainnya yang kemudian menjadi perhatian oleh MHV adalah, fokus kepada kualitas pendiri, terutama bagi mereka yang memiliki kualitas paling tinggi dengan fundamental yang solid dan higher conviction dari sebelumnya. Dan yang terakhir kemudian menjadi perhatian dari MHV adalah, menjadi penting untuk bisa menciptakan relasi lokal yang baik. Dalam hal ini adalah 5 negara yang disasar di Asia Tenggara.

“Hal tersebut telah memungkin kami untuk membangun kepercayaan dan relasi jangka panjang, di saat yang sama juga menghilangkan keterbatasan yang terjadi karena aturan perjalanan (travel restriction),” kata Kuo-Yi Lim.

Gambar Header: Depositphotos.com

Alpha JWC Ventures’ Focus and Plans Amid Pandemic

With many VCs performing tight curation, even postpone their investment plans to startup during the pandemic, Alpha JWC Ventures claimed to be quite aggressive in pouring fresh funds into startups in Indonesia. Reportedly, they have announced follow-on funding on 3 of the portfolios. Those include Kopi Kenangan, GudangAda, and Bobobox.

The three startups are Alpha JWC’s preference, as the business model innovations in the industry engaged with people’s basic needs. For example, FMCG – daily-consumed products, yet the industry is still constrained by supply chain structures and traditional transaction processes.

When the pandemic strikes and business activities are limited, these items cannot reach the end consumer as expected. Such startups as GudangAda plays an important role in providing solutions for traders to carry out the transaction (trading) flows, at various levels of the supply chain, in a simplified way through their marketplace platforms and logistics service.

Bobobox is also quite interesting. When the occupancy rate in the hotel industry has dropped dramatically, they provide long-stay accommodation for people who need adequate work-at-home facilities, and also modify their pods into medical rest space.

“We are looking for a startup with a clear vision, a distinctive value proposition, and an agile organizational and cultural structure, therefore, they can adapt to various challenges. Such companies will be able to maintain relevance, develop according to their potential expectations, and eventually became a market leader,” Alpha JWC’s Partner, Eko Kurniadi said.

Alpha JWC is also conducting an assessment of new startups in various funding phases. On the other hand, the team internally focused on helping founders in the current portfolio, both strategically and financial support in the form of follow-on funding.

Business adjustment during pandemic

In particular, Alpha JWC eyes structural changes in the startup business model, as a result of a pandemic that caused changes in consumer consumption behavior and patterns. Businesses are then ‘forced’ to look for new ways to maintain their relevance among consumers – including changes in the customer acquisition process, user experience innovation, and the search for new sources for monetization.

Another thing worth highlighting is the importance of strong business and financial fundamentals. The term ‘growing at all cost’ is no longer the single important line for startups. Startups are now required to show healthy unit economics calculations and clear business plans to achieve profitability.

On the other hand, adjustments or corrections to valuation calculations will also occur through natural selection. The number of startups with funding demand will rise, especially in difficult times. On the contrary, most investors take a more cautious and selective approach in choosing which companies to invest. It is due to the mismatch between supply and demand, price correction (valuation) in the market arose.

The tech industry has helped accelerate digital adoption in traditional industries. This has been visible in some sectors and it is expected that the changes are to spread to other industries such as FMCG, F&B, finance, agriculture, entertainment, and others. Pandemics also create opportunities for many consumers, who were previously conservative, to try technology products offering more convenience.

“Looking at some of the more mature (later-stage) startups in the sectors we discussed earlier, I believe they have the right ingredients to maintain this momentum, even after the pandemic ends – then, it’s a matter of proper execution at the right time,” Kurniadi said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Fokus dan Rencana Investasi Alpha JWC Ventures di Tengah Pandemi

Meskipun kebanyakan VC memilih untuk melakukan kurasi ketat, bahkan menunda, rencana investasinya ke startup, namun selama pandemi Alpha JWC Ventures mengklaim justru cukup agresif menggelontorkan dana segar kepada startup di Indonesia. Tercatat mereka telah mengumumkan pendanaan lanjutan (follow-on funding) bagi 3 dari portofolio. Di antaranya adalah Kopi KenanganGudangAda, dan Bobobox.

Ketiga startup tersebut menjadi pilihan Alpha JWC, dilihat dari inovasi model bisnis dalam industri yang justru merupakan basic needs dari masyarakat. Contohnya, FMCG — kebutuhan pokok masyarakat yang dikonsumsi sehari-hari, namun industri tersebut masih terkendala struktur supply chain dan proses transaksi yang masih tradisional.

Pada saat pandemi melanda dan berbagai kegiatan bisnis menjadi terbatas, barang-barang tersebut tidak dapat sampai ke pintu konsumen akhir seperti yang diharapkan. Startup seperti GudangAda memegang peranan penting dalam memberikan solusi bagi para pedagang agar tetap dapat menjalankan arus transaksi (jual-beli) mereka, di berbagai level supply chain, dengan jauh lebih mudah melalui platform marketplace dan layanan logistiknya.

Bobobox juga menjadi contoh menarik. Di saat occupancy rate di industri perhotelan menurun drastis, mereka menyediakan penginapan long-stay bagi masyarakat yang butuh fasilitas bekerja di rumah yang memadai, dan juga memodifikasi pods mereka menjadi tempat istirahat tenaga medis.

“Yang kami cari adalah startup yang memiliki visi jelas, value proposition yang distinctive, dan struktur organisasi dan culture yang agile, sehingga mereka dapat beradaptasi dalam menghadapi berbagai macam tantangan. Perusahaan seperti inilah yang akan mampu mempertahankan relevansi, berkembang sesuai harapan atas potensinya, dan akhirnya menjadi market leader,” kata Partner Alpha JWC Eko Kurniadi.

Alpha JWC juga sedang melakukan assessment kepada startup baru dalam fase proses pendanaan yang beragam. Di sisi lain, secara internal tim juga fokus untuk membantu founder dalam portofolio binaan, baik secara strategis maupun dukungan finansial dalam bentuk pendanaan lanjutan.

Penyesuaian bisnis startup saat pandemi

Secara khusus Alpha JWC melihat perubahan struktural pada model bisnis startup terjadi, akibat dari pandemi yang menyebabkan perubahan dalam perilaku dan pola konsumsi konsumen. Pelaku bisnis kemudian ‘dipaksa’ untuk mencari cara-cara baru untuk mempertahankan relevansi mereka di mata konsumen — termasuk perubahan dalam proses akuisisi pelanggan, inovasi user experience, dan pencarian sumber-sumber baru untuk monetisasi.

Hal lain yang kemudian menjadi perhatian adalah, pentingnya fundamental bisnis dan finansial yang kuat. Istilah ‘growing at all cost’ bukan lagi merupakan satu-satunya hal utama bagi startup. Startup kini dituntut untuk menunjukkan perhitungan unit economics yang sehat dan rencana bisnis yang jelas untuk mencapai profitabilitas.

Di sisi lain penyesuaian atau koreksi perhitungan valuasi juga akan terjadi melalui proses seleksi alam. Jumlah startup yang membutuhkan dana akan bertambah, terutama di masa sulit seperti ini. Namun sebaliknya, investor kebanyakan mengambil pendekatan yang lebih hati-hati dan selektif dalam memilih perusahaan mana yang akan didanai. Karena adanya mismatch antara supply dan demand, koreksi harga (valuasi) di pasar pun terjadi.

Industri teknologi juga turut membantu mempercepat adopsi digital di industri tradisional. Hal ini sudah terlihat di beberapa sektor tersebut dan diharapkan perubahan ini akan terus cepat menyebar ke industri lainnya seperti FMCG, F&B, keuangan, agrikultur, hiburan, dan lainnya. Pandemi juga menciptakan peluang bagi banyak konsumen, yang tadinya cenderung konservatif, untuk mencoba produk teknologi yang menawarkan convenience. 

“Melihat beberapa startup yang lebih matang (later-stage) di sektor-sektor yang tadi kita bahas, saya percaya mereka memiliki ingredients yang tepat untuk menjaga momentum ini, bahkan setelah pandemi berakhir — dari situ, hanya tinggal masalah eksekusi yang benar di saat yang tepat,” kata Eko.

Hipotesis-Hipotesis Investor dalam Mengucurkan Pendanaan

Pemodal ventura atau venture capital (VC) adalah salah satu elemen penting dalam ekosistem digital. VC menyalurkan pendanaan kepada startup tentu dengan sebuah proyeksi, baik keuntungan maupun pertumbuhan industri.

Banyak di antara kita yang pasti bertanya-tanya, kriteria apa saja yang sebetulnya diperlukan bagi VC sebelum memutuskan untuk menyuntik investasi kepada startup.  Apakah dari produk yang dikembangkannya? Atau idenya yang otentik?

Untuk menjawab hal ini, DailySocial kedatangan Co-Founder dan Managing Partner East Ventures Willson Cuaca yang berbagi pengalamannya seputar pendanaan startup pada sesi #SelasaStartup kali ini.

Mari kita simak ulasannya berikut ini:

Time capsule

Selama sepuluh tahun menjadi investor, Willson berbagi pengalamannya dalam mendanai startup-startup di Asia, khususnya di Indonesia. Dalam proses tersebut, ia menekankan perlunya membangun hipotesis sebelum membuat keputusan.

Willson bercerita bagaimana sepuluh tahun lalu tidak ada investor lokal yang mau berinvestasi di startup. Padahal, Indonesia merupakan pasar yang besar dengan sekelumit masalah. Ia berpikir sebaliknya karena sejumlah hipotesis yang ia yakini.

Sebagai contoh, vertikal e-commerce merupakan produk startup yang berkembang cepat di awal industri ini muncul. E-commerce dinilai menjadi lokomotif industri startup Indonesia. Menggunakan hipotesis model time capsule, e-commerce berkembang lebih dulu di negara-negara seperti Amerika Serikat, Jepang, Tiongkok, dan Rusia. Hal yang sama seharusnya akan hadir di Indonesia. Oleh karena itu, East Ventures memutuskan berinvestasi di sektor e-commerce.

“Kenapa mau investasi di startup sepuluh tahun lalu? Kita melihat adopsi digital di Indonesia cepat. Facebook dan Twitter saat itu belum ada kantor, tapi penggunanya banyak di Indonesia,” papar Willson.

Dengan banyaknya masalah di Indonesia sangat banyak, peluangnya juga semakin besar. Hal ini pula yang memperkuat keyakinannya untuk membangun industri ini.

Global knowledge, local execution

Terkait banyaknya berinvestasi ke founder yang memiliki pendidikan di luar negeri, khususnya Amerika Serikat, Willson menyebutkan sesungguhnya hal tersebut bukanlah hal yang utama.

Mereka yang berstudi di Amerika Serikat sudah mendapatkan knowledge dari negara-negara maju. Meskipun demikian, ketika akan diterapkan di Indonesia, mereka harus memperhatikan kondisi setempat, karena permasalahan di Indonesia biasanya unik dan berbeda dengan di negara maju.

Harus ada pendekatan pemahaman permasalahan dan eksekusi lokal untuk memberikan solusi di negara ini.

Single market domination

Willson meyakini konsep single market domination. Startup dapat fokus ke pasar yang diinginkan sebelum memutuskan untuk ekspansi.

Menurutnya, penting bagi startup untuk mengembangkan produk sesuai kebutuhan pasar dan target pengguna yang benar-benar dituju karena Indonesia memiliki pasar yang luas.

“40 persen populasi di Asia Tenggara itu dari Indonesia. Populasi Singapura itu tidak ada apa-apanya. Makanya, siapapun yang menang di Indonesia, pasti bisa kuasai Asia Tenggara.

Pendekatan bottom up

Hal lain yang disoroti adalah bagaimana mereka membangun produk yang dibuat. Sebagai investor, Willson memilih startup yang mengedepankan pendekatan bottom up, bukan top down dalam mengembangkan produknya.

Pendekatan bottom-up yang ia maksud adalah bagaimana startup melihat masalah yang ada di lapangan dan mencari solusinya.

“Yang harus dilakukan founder adalah amati masalahnya apa dan di mana. Bukan cari [masalah] dari berita yang ada internet. Kalau perlu dites apakah masalahnya betul ada, berarti ada problem statement. Apabila ada yang mau pakai produk kita, artinya sudah market fit,” jelasnya.

Yang penting orang dan industri

The key about investing adalah bukan tentang produknya, tetapi orang dan industrinya,” ungkap Willson.

Ia bercerita pengalamannya saat East Ventures berdiri. Ada tiga hal yang menjadi kriteria utama dalam menentukan investasi kepada startup, yaitu people, product, dan potential market (3P).

Seiring berjalannya waktu, Willson menilai bahwa produk tidaklah lagi menjadi kriteria utama, tetapi people dan potential market. Ia meyakini good people (team) dapat membangun produk yang baik.

People‘ yang dimaksud dalam hal ini juga merujuk pada founder. Menurutnya, penting untuk memiliki founder yang paham pasar. Dengan begitu, produk yang dibuat dapat relevan dalam mengatasi masalah-masalah yang ada.

“Untuk menjadi founder startup, mereka harus punya global knowledge dan local experience. Indonesia itu negara kepulauan terbesar dengan 17.000 pulau. Orang [luar] tidak bakal mengerti kompleksitas di sini,” ujarnya.

Founder muda tanpa pengalaman

Masih bicara tentang founder, Willson punya pemikiran terbalik dalam menentukan pendanaan kepada startup. Dalam hipotesisnya, ia lebih memilih founder yang tidak berpengalaman daripada yang punya banyak pengalaman.

Menurutnya, founder yang berpengalaman cenderung akan terjebak dalam pemikirannya sendiri. Hal ini dinilai akan menghambat startup dalam berkembang karena hanya mencari solusi masalah dari cara founder berpikir.

“Kalau founder terlalu paham, saya justru takut berinvestasi. Karena saat solving problem, mereka akan terjebak di pemikiran founder-nya saja. Makanya di East Ventures, kami tidak suka mentorship. Kami tidak ingin mereka terkungkung mengerjakan sesuai pemikiran investor,” tutur Willson.

Bagaimana Seharusnya Pendiri Startup Berinteraksi dengan Investor

Acara Clapham Startupfest 2018 menghadirkan sejumlah sesi yang memberikan wawasan baru bagi para peserta yang datang, termasuk para founder startup. Salah satu sesi yang cukup menarik adalah diskusi dengan para investor. Sesi ini menghadirkan Christopher Angkasa, Founder Clapham yang juga mulai aktif sebagai investor, Andy Zain dari Kejora Ventures, dan Kevin Darmawan dari Coffee Ventures. Ketiganya membagikan tips mengenai bagaimana seharusnya menjadi founder startup yang bisa “mengambil hati” para investor.

Bagaimana seharusnya menjadi founder

Setiap investor tentu memiliki preferensi sendiri tentang perusahaan yang ingin ia investasi. Ketiga narasumber sepakat akan memperhatikan faktor menarik yang disajikan para founder. Semacam personal interest yang setidaknya bisa membuat mereka memperhatikan dan mulai ingin mendengar apa yang coba disampaikan founder.

Yang harus digarisbawahi bagi setiap founder untuk bisa setidaknya melangkah mendekati investor adalah mencari pribadi yang passionate, percaya diri, tidak money oriented dan menjadi pribadi ingin belajar atau menerima masukan. Yang diharapkan adalah bahwa setiap founder tidak hanya mengejar uang, tetapi juga mengejar pengalaman dan saran dari investor yang tentu telah menjumpai berbagai macam jenis kesalahan dalam berbisnis.

Industri startup berubah dalam dua tahun terakhir. Akses terhadap kapital semakin mudah, persaingan yang semakin ketat baik dari dalam dan luar negeri, dan banyak hal lainnya membuat semua orang yang ingin terjun di dalam startup akhir-akhir ini benar-benar paham apa yang ingin mereka selesaikan.

“Kalau kalian tidak melakukannya [menjalankan startup] dengan benar-benar baik dan benar-benar mengerti tentang pasar, [dan menunjukkan] kamu punya kelebihan yang khusus di sana, itu bakal susah kompetisinya,” terang Andy.

Hal yang senada disampaikan Kevin. Bahwa persaingan sudah semakin ketat, banyak startup dari luar seperti Tiongkok datang ke Asia Tenggara tidak hanya dengan talenta berbakat tetapi juga dana. Selain itu mereka juga datang dengan “lapar” dan itu yang seharusnya membuat para founder dari Indonesia harus lebih giat dalam belajar.

“Tiap orang beda tapi buat saya itu passion. Gua mau lihat orang datang itu dengan passion,” terang Chris.

Sementara bagi Andy, percaya diri adalah hal yang harus dimiliki oleh seorang founder. “Lebih baik GR daripada telmi” , ujar Andy saat diskusi. Selain percaya diri memahami diri sendiri juga sangat perlu untuk bisa spesifik memilih atau menargetkan investor.

“Kamu harus tahu siapa kamu, kelebihan kamu apa, dan kamu butuh siapa. Jangan random datang ke semua orang,” ujarnya.

Terhubung dengan investor

Tidak banyak kesempatan bagi startup untuk menghubungi investor dengan cara yang biasa-biasa saja. Harus ada sedikit usaha untuk membuat berbeda dan menarik perhatian para investor. Beberapa yang dikisahkan ketiganya saat berada di sesi diskusi Clapham Startupfest 2018 adalah bagaimana bisa di-notice oleh para investor.

Yang pertama adalah dengan menjadi pribadi yang passionate atau percaya diri. Jadi ketika memiliki kesempatan bertemu atau berdiskusi dengan para investor bertemulah dengan energi dan semangat yang positif. Hal tersebut bisa menunjukkan bahwa ada rasa antusiasme dan semangat tinggi ketika bertemu dengan investor.

Selanjutnya adalah mempersiapkan pitch deck dengan baik. Kesempatan bertemu dengan investor adalah hal yang banyak dinantikan oleh setiap pendiri startup, untuk tidak menyianyiakan hal tersebut selalu siapkan pitch sebaik-baiknya. Investor akan lebih senang bertemu dengan founder yang mempresentasikan masalah dan solusi yang ingin diselesaikan dibanding dengan mereka yang hanya membicarakan soal uang dan besaran valuasi.

Kemudian yang terakhir adalah network atau jaringan. Bisa terhubung dengan investor tidak harus langsung bertatap muka, bisa juga mengandalkan jaringan. Misalnya, sebagai seorang founder yang benar-benar membutuhkan bantuan dan bimbingan seorang investor langkah pertama adalah cari tahu seperti apa pola investasi dan daftar portofolio mereka. Selanjutnya seleksi dan pilih yang sekiranya tertarik dengan bidang yang sedang dikerjakan.

Langkah tersebut bisa disambung misalnya dengan mendekati portofolio mereka dan meminta untuk dibantu dihubungkan dengan investor dan lain sebagainya. Yang paling penting adalah buat koneksi sebanyak mungkin untuk membuka kesempatan terhubung.


Disclosure: DailySocial adalah media partner Clapham Startupfest 2018