Hi App dan Optimismenya Merebut “Kue Bisnis” di Aplikasi Pesan Instan

Aplikasi pesan instan lokal Hi App meresmikan kehadirannya ke publik pada Selasa (20/10) kemarin. Sebagai pendatang baru, mereka cukup optimis dapat meraup kue di bisnis aplikasi pesan instan yang “berat sebelah” karena dikuasai oleh pemain dari luar.

Dalam tulisan DailySocial sebelumnya, salah seorang narasumber mengatakan bahwa salah satu pangkal isu mengapa belum ada aplikasi messaging lokal yang mendominasi di negaranya sendiri adalah tidak berhasil menciptakan efek jaringan (network effect), bagian terpenting karena ini adalah fundamental dari aplikasi messaging.

Network effect merupakan efek yang menciptakan pengguna dan orang-orang di sekitar mereka menggunakan aplikasi yang sama untuk berkomunikasi satu sama lain.

Hi App punya pandangan bahwa untuk menciptakan hal tersebut, berkorelasi dengan fitur-fitur yang ditawarkan. Managing Director Hi App Michelle Kusuma menuturkan, fitur ini sangat penting dan dalam menciptakannya tidak akan terjadi dalam semalam saja.

“Elemen apa yang hilang dalam masyarakat kita yang dapat merevolusi cara kita berkomunikasi satu sama lain? Tidak ada satu jawaban mutlak untuk pertanyaan ini dan itu akan selalu berkembang,” ucap Michelle kepada DailySocial.

Pengembangan Hi App saat ini dan ke depannya sangat bergantung pada analisis data komprehensif dan riset pasar untuk menentukan fitur mana yang secara khusus akan berguna untuk pasar Indonesia. Perusahaan akan melakukan survei dan wawancara dengan berbagai kelompok orang untuk mendapatkan pemahaman lebih baik tentang masalah komunikasi yang dihadapi banyak orang di Indonesia.

Juga, berkolaborasi dengan komunitas-komunitas sesuai dengan segmentasinya, sehingga para pengguna dapat mencoba dan merekomendasikan Hi App ke orang-orang di sekitarnya.

Di Indonesia sendiri, saat ini ada beberapa aplikasi pesan yang dibuat pengembang lokal. Selain Hi App, ada ChatAja, liteBIG, Catfiz, dan lainnya. Bahkan beberapa yang pernah hadir di pasar akhirnya berguguran.

Fitur dan target Hi App

Sejauh ini fitur-fitur yang terdapat di Hi App adalah penerjemah, chat organizer, berbagi file, mode terang dan gelap.

Product Specialist Hi App Fanny Febriani Susilo menjelaskan, fitur penerjemah dihadirkan untuk orang Indonesia yang saat ini juga berinteraksi dengan orang lain yang tidak bisa berbahasa Indonesia, sehingga menjadi kendala saat berkomunikasi. Bahasa yang dapat diterjemahkan saat ini adalah Bahasa Indonesia ke Bahasa Inggris dan sebaliknya.

Lalu, fitur chat organizer yang memisahkan ruang obrolan personal dan grup, sehingga tidak tercampur seperti aplikasi sejenis yang sudah ada. Hal ini disesuaikan dengan karakteristik orang Indonesia yang sifatnya cenderung komunal, gemar berbincang-bincang, serta berbagi informasi di grup.

Untuk mendukung keleluasaan pengguna dalam berbagi file, Hi App menyediakan kapasitas file yang bisa dibagikan maksimal 100 Mb. Pengguna dapat berbagi dokumen, foto, dan video di ruang obrolan mereka.

Aspek lainnya yang diperhatikan Hi App adalah memanfaatkan end-to-end encryption secara default untuk setiap pesan yang dikirimkan dan tidak pernah menyimpan pesan pengguna di server dalam format biasa. Hal ini untuk menjamin perlindungan data dan privasi pengguna.

Ditambah, menerapkan sistem identitas end-to-end yang aman dengan menggunakan autentikasi nomor telepon melalui verifikasi OTP. Fanny menuturkan, aplikasi Hi App dirancang sangat ringan, sehingga bisa digunakan dengan lancar dalam berbagai jenis ponsel, baik low-end hingga high-end.

“Aplikasi ini sudah bisa dipasang pada ponsel dengan sistem operasi minimum Android 5.1 Lollipop dan iOS 11.”

Michelle melanjutkan, saat ini Hi App baru bermain di segmen B2C terlebih dulu, baru melanjutkan ke B2B. “Tim pengembang Hi App saat ini sedang mengerjakan fitur berikutnya yang kami harap dapat membantu bisnis-bisnis beradaptasi.”

Fitur tersebut belum dapat ia beberkan, tapi ia yakin bahwa fitur akan dirancang dengan mempertimbangkan sinergitas antara sektor bisnis formal dan informal, terutama menyangkut dukungan terhadap sektor usaha mikro, kecil, dan menengah.

Dari peluncuran ini, ia berharap Hi App mampu menarik setidaknya lebih dari 700 ribu unduhan hingga tahun depan. “Perkiraan seperti ini mungkin akan berubah seiring kami merilis lebih banyak fitur dan menganalisis lebih banyak data pasar ke depannya,” tutupnya.

Application Information Will Show Up Here

Philoit Q&A Platform for Millennials’ Creative Space

Not just building a question-and-answer platform, Philoit was initiated last year because of the uneasiness of the “unconscious problem” or the phenomenon of unconscious problems in society, which was felt by the Co-Founders Philoit Aldi Tahir and Pieter Surya. They feel that young people in Indonesia spend their energy on content that does not build literacy and knowledge in digital media.

From the data Aldi quoted, more than 60% of Indonesia’s young people spend more than 4 hours on the Internet. In fact, as many as 7% of them spent more than 11 hours on the internet. In other words, the youth’s time and energy is spent on media discussion content that does not build knowledge, such as the thousands of comments on YouTube and Instagram that every opinion written on them will not be read and lead to ongoing discussion.

“This anxiety makes it difficult for us to share the background of [the Philoit being initiated], because the problem we are solving is called an” unconscious problem “. But fortunately recently there was a Netflix documentary “The Social Dilemma” which can very clearly describe the problem in the algorithm on the internet, making us bound and become a product of media consumption, “explained Aldi to DailySocial.

The background of the two co-founders has to do with the core product of Philoit. Aldi mastered technical expertise in data & machine learning which was strengthened by literacy from books about technology and its relation to human behavior in consuming the digital world, and the use of AI.

Meanwhile Pieter has a passion in education in the field of teaching teachers and tutors. He previously started a startup called Tutoreal, to connect parents who need tutors. “But before Pieter launched its digital product, we met and agreed to build a Philoit.”

Philoit is one of the startups participating in the DailySocial Launchpad 1.0 incubation program, the incubation program from TheGreaterHub SBM ITB, BekUP Bekraf for Startup 2020, Cubic Incubator (Bandung), and one of the startup partners at Block71 Bandung.

Currently, Philoit is still actively mentored by Aji Santika from Feedloop-DeepTech-StartupBandung and Novistiar from HarukaEdu.

Zhihu as an objective not Quora

Aldi continued, a popular question-and-answer platform, especially in Indonesia, is Quora, which is always used as a mecca. Even though the basic functionality of the platform is similar, he claims Philoit is more focused on providing features to engage active users in discussions within the application.

These features include gamification, points & levels, titles & achievements, and the digital currency “Philoit COIN” which can be exchanged for prizes. “Philoit wants to stand in the middle as a combination of conventional forums and media-based applications full of various unique features because its aim is to target young people.”

He prefers to place Philoit as an “expert hub” by taking the mecca of a Chinese player named Zhihu. This question and answer platform is included in the top 10 most accessed applications in the Bamboo Curtain country. Its features are more or less the same as Philoi, there are gamification and stats features, like playing games in the form of sharing and discussion.

“Apart from that, the demographics and forms [of habits] of Indonesians and Chinese are similar, which can be good examples in building a similar success platform.”

Because he is passionate about becoming an expert hub, Aldi admits that his party is still perfecting Philoit’s features and core business which will be implemented by inviting experts to join. This is because the company wants to build an ecosystem from a question and answer platform first, then inviting credible people into it.

This strategy was taken because the lessons learned were drawn from the failures of previous players, that in the early stages they immediately used experts / public figures to attract the audience. Meanwhile, the discussion ecosystem in which the form is formed and has not even been validated, which in the end faces difficulties in maintaining the experts / figures in it.

Business plan and challenges

Aldi said that currently Philoit has not carried out monetization. However, in the plan, the company will implement a business model form “Pay Per Question”, not freemium or subscribe. For that, he invites credible experts or resource persons to the platform to answer any questions.

“Just like experience in the game world, users are required to buy diamonds which will later be used to ‘unlock’ content from experts.”

According to him, this concept is the customization of the user experience because users can choose what content they need and want to access. Moreover, this method is in accordance with the habits of young people who tend to be choosy. Users only need to pay for content for which they want to read answers, opinions, or opinions, from experts who are experts in their fields.

As for the challenge itself, considering that Philoit has a coin redeem feature as a form of appreciation for every opinion, discussion, point of view, and a form of content contribution from anyone and gives the same right to benefit.

“This is very different from other UGC platforms which do manual filtering of people who become partners or special contributors and get benefits such as money and others.”

However, at the beginning of the test, many users took advantage of the gap in order to collect as many coins as possible in various ways. Common examples include answers that do not fit the context of the question, copy and paste other people’s answers or from other content without including links, spam best answers, spam unvotes, and use multiple accounts.

“There are even those who directly attack our system and access coin changes through the database. Honestly, that’s not what we wanted from this coin system. ”

Finally, the team made a strategy change by updating the terms and conditions of the redemption, and updating the system that could automatically differentiate content quality based on text analysis. You do this by giving weight to the input from the user, so that the provision of content by the system varies.

Meanwhile, to minimize negative content, his party chose several active users to become moderators who manually report on existing content.

“For other challenges in the future, we believe there will still be, but on the way, we believe that honesty from users, sincerely sharing opinions along with a balance of benefits to be obtained, will form a good sharing ecosystem in Philoit.”

Aldi explained that in the future he wants to apply AI technology like those already used by large platforms such as Quora and Zhihu. Also, developing other interesting features such as Room to accommodate the questions and answers that occur during an event

“We have tried this feature by conducting several independent events and inviting experts in the form of sharing and online discussions. Every question submitted to the expert at the event will be shown live in a specific room that can be accessed by anyone, even after the event ends, “he concluded.

Philoit has so far been bootstrapping and is planning to do some fundraising. Since its release last year, now Philoit has more than 20 thousand registered users with a total of about 190 thousand question and answer content and 14 thousand blog posts. The application has been downloaded more than 10 thousand times on the Play Store.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Cooklab Jajakan Bahan Makanan Siap Masak Lewat Aplikasi Digital

Meskipun pertumbuhan plaform penyedia bahan makanan “ready to cook” sempat mengalami penurunan kuantitas selama beberapa tahun terakhir, namun tidak menyurutkan minat penggiat startup untuk menyediakan layanan serupa.

Nama BlackGarlic sempat familiar beberapa tahun lalu di kalangan pecinta kuliner, namun saat ini platform tersebut sudah tidak lagi beroperasi. BerryKitchen yang juga menawarkan layanan serupa dan katering online sejak tahun 2012, lalu diakuisisi oleh Yummy Corp tahun 2019. Kini adalah startup baru yang coba bermain di sana, namanya adalah Cooklab.

Kepada Dailysocial, Kartika Baswara (co-founder) menerangkan, platform Cooklab yang didirikannya bersama rekannya, Clarence Eldy, memiliki model bisnis yang terletak pada penjualan paket masak melalui kanal e-commerce dan aplikasi. Paket masak yang dijual sudah termasuk bahan sesuai takaran, menu card, dan juga video resep. Ke depannya, mereka ingin mengeksplorasi kesempatan bekerja sama dengan penyedia bahan masak lokal, untuk membuat menu kolaborasi.

“Saya dan partner sudah memulai bisnis di bidang fresh product sejak Oktober 2019. Pada saat itu, kami menyuplai sayur dan buah ke restoran dan kafe di Bali. Semua sourcing-nya kami dapatkan dari petani lokal, dan sampai akhirnya bulan Maret 2020, kami berhasil bekerja sama dengan lebih dari 10 restoran dan 150 petani sebagai mitra,” kata Kartika.

Pandemi dan dampaknya untuk bisnis

Saat pandemi, Cooklab kemudian mulai melancarkan aksi strategis dengan melakukan pivot. Menyadari bahwa tidak bisa meneruskan menyuplai ke restoran seperti biasanya akibat terdampak efek pandemi, mereka kemudian melihat tren masak di rumah yang cukup meningkat selama masa karantina mandiri.

“Kami berpikir bahwa akan sangat memudahkan ya, kalau orang mau masak tapi semua kebutuhan sudah menjadi satu paket. Karena sudah sesuai takaran, jadi tidak ada yang tersisa. Dari sana, kami memulai untuk membuka cabang di Surabaya pada bulan Agustus, dan ekspansi ke Jakarta pada bulan Oktober ini. Cooklab sendiri memiliki kantor pusat di Jakarta,” kata Kartika.

Langkah tersebut ternyata memberikan hasil yang positif. Ia mengklaim saat ini mengalami pertumbuhan bisnis yang sangat pesat di Surabaya. Salah satu alasannya adalah, karena belum banyak pemain (startup digital F&B) masuk ke pasar Surabaya. Sehingga masyarakat di sana tertarik untuk mencoba.

“Menariknya pada saat itu, DM Instagram kami lumayan banyak dipenuhi oleh orang Jakarta yang juga ingin mencoba. Karena hal tersebut, kami memutuskan untuk buka cabang di Jakarta lebih awal dari rencana semula yaitu bulan Januari 2021,” kata Kartika.

Untuk pelanggan di Surabaya, terdapat sekitar 85 pengguna yang sudah mencoba produk Cooklab untuk 2 bulan terakhir. Sementara untuk untuk di Jakarta, karena belum diluncurkan, masih seputar teman dan keluarga saja pelanggannya. Setiap pengguna Cooklab mencatat, biasanya berjumlah antara 2-3 pesanan. Kisarannya sekitar 220 paket masak yang sudah terjual di Surabaya.

Rencana penggalangan dana

Tim Cooklab
Tim Cooklab

Disinggung apa yang membedakan Cooklab dengan pemain serupa lainnya, Kartika menegaskan, Cooklab menyediakan paket masak yang sudah sesuai takaran sehingga membuat penggunanya bisa masak tanpa ada waste. Cooklab juga memiliki video masak yang didemokan langsung oleh juru masak profesional.

Saat ini mereka masih berupaya fokus kepada “survival mode” atau mengakali agar bisnis bisa bertahan. Selain menyukseskan ekspansi, target selanjutnya adalah memulai kegiatan penggalangan dana di pertengahan bulan November 2020 mendatang.

“Pasti kami merasakan lebih banyak orang yang berhati-hati dalam berinvestasi, dan itu wajar. Namun, kami tetap optimis untuk bisa menutup fundraising di akhir Januari 2021 sebagai seed round kami,” kata Kartika.

Application Information Will Show Up Here

Platform Tanya-Jawab Philoit dan Ambisinya Wadahi Milenial untuk Berdiskusi

Tidak sekadar membangun platform tanya-jawab, Philoit dirintis pada tahun lalu karena ada kegelisahan masalah “unconscious problem” atau fenomena masalah yang tidak disadari di dalam masyarakat, yang dirasakan oleh Co-Founder Philoit Aldi Tahir dan Pieter Surya. Mereka merasa anak muda di Indonesia menghabiskan energinya kepada konten-konten yang tidak membangun literasi dan pengetahuan dalam media digital.

Dari data yang Aldi kutip, lebih dari 60% generasi muda Indonesia menghabiskan waktu lebih dari 4 jam di Internet. Bahkan, sebanyak 7% di antaranya menghabiskan lebih dari 11 jam di internet. Dengan kata lain, waktu dan energi generasi muda habis di dalam konten-konten diskusi media yang tidak membangun pengetahuan, seperti ribuan komentar di YouTube dan Instagram yang setiap opini yang ditulis di dalamnya tidak akan dibaca dan menimbulkan diskusi berkelanjutan.

“Kegelisahan ini membuat kami kesulitan untuk menceritakan latar belakang [Philoit dirintis], sebab masalah yang kami selesaikan disebut “unconscious problem”. Tapi untungnya baru-baru ini muncul dokumenter Netflix “The Social Dilemma” yang bisa menggambarkan dengan sangat jelas masalah tersebut ada di algoritma di dalam internet, membuat kita terikat dan menjadi produk dalam konsumsi media,” terang Aldi kepada DailySocial.

Latar belakang kedua co-founder ini berkaitan dengan inti produk Philoit. Aldi menguasai keahlian teknis mengenai data & machine learning yang diperkuat dengan literasi dari buku-buku tentang teknologi dan kaitannya mengenai perilaku manusia dalam mengonsumsi dunia digital, serta penggunaan AI.

Sementara Pieter memiliki passion di pendidikan untuk bidang pengajaran guru dan tutor. Ia sebelumnya merintis startup bernama Tutoreal, untuk menghubungkan orang tua yang membutuhkan guru les. “Tetapi sebelum Pieter melakukan launch produk digitalnya, kami bertemu dan sepakat untuk membangun Philoit.”

Philoit merupakan salah satu startup yang mengikuti program inkubasi DailySocial Launchpad 1.0, program inkubasi dari TheGreaterHub SBM ITB, BekUP Bekraf for Startup 2020, Cubic Incubator (Bandung), dan salah satu startup partner di Block71 Bandung.

Saat ini, Philoit masih aktif dimentori oleh Aji Santika dari Feedloop-DeepTech-StartupBandung dan Novistiar dari HarukaEdu.

Zhihu sebagai kiblat, bukan Quora

Aldi melanjutkan, platform tanya-jawab yang populer, terutama di Indonesia, adalah Quora yang selalu dijadikan kiblatnya. Walau fungsi dasar platformnya serupa, tapi ia mengklaim Philoit lebih fokus menyediakan fitur-fitur untuk meng-engage pengguna aktif berdiskusi di dalam aplikasi.

Fitur tersebut di antaranya gamifikasi, poin & level, title & achievement, dan mata uang digital ‘Philoit COIN’ yang dapat ditukar dengan hadiah. “Philoit ingin berdiri di tengah-tengah sebagai gabungan antara forum konvensional dan aplikasi berbasis media yang penuh berbagai macam fitur unik karena tujuannya untuk menyasar anak muda.”

Ia lebih ingin menempatkan Philoit sebagai ‘expert hub’ dengan mengambil kiblat pemain sejenis dari Tiongkok bernama Zhihu. Platform tanya jawab ini masuk ke dalam jajaran 10 besar aplikasi yang paling banyak diakses di negeri Tirai Bambu tersebut. Fiturnya kurang lebih sama dengan Philoi ada fitur gamifikasi dan stats, selayaknya bermain game dalam bentuk sharing dan diskusi.

“Selain itu, demografi dan bentuk [kebiasaan] orang Indonesia dan Tiongkok pun serupa yang bisa menjadi contoh baik dalam membangun platform sukses yang serupa.”

Karena semangatnya ingin menjadi expert hub, Aldi mengaku pihaknya masih menyempurnakan fitur Philoit dan core bisnis yang akan diimplementasikan dengan mengundang expert untuk bergabung. Pasalnya, perusahaan ingin membangun ekosistem dari platform tanya jawab terlebih dulu, baru mengundang orang-orang kredibel ke dalamnya.

Strategi tersebut diambil karena dari pembelajaran ditarik dari kegagalan pemain sebelumnya, bahwa pada tahap awal mereka langsung menggunakan expert/figur publik untuk menarik audiens. Sedangkan ekosistem diskusi di dalamnya bentuk terbentuk dan bahkan belum tervalidasi, yang pada akhirnya menghadapi kesulitan untuk mempertahankan para expert/figur di dalamnya.

Tantangan dan rencana bisnis

Aldi menuturkan saat ini Philoit belum melakukan monetisasi. Namun dalam rencananya, perusahaan akan mengimplementasikan bentu model bisnis ‘Pay Per Question’ bukan freemium atau subscribe. Untuk itu, ia mengundang expert atau narasumber yang kredibel ke dalam platform untuk menjawab setiap pertanyaan.

“Sama halnya seperti pengalaman dalam dunia game, pengguna diharuskan membeli diamond yang nantinya akan digunakan untuk ‘unlock’ konten-konten dari expert.”

Menurutnya, dengan konsep ini adalah kustomisasi user experience karena pengguna bisa memilih konten apa yang mereka butuhkan dan ingin untuk diakses. Lagipula cara ini sesuai dengan kebiasaan anak muda yang cenderung pemilih. Pengguna hanya perlu membayar konten yang ia ingin baca jawaban, opini, atau pendapat, dari expert yang ahli di bidangnya.

Adapun mengenai tantangannya itu sendiri, mengingat Philoit punya fitur coin redeem sebagai bentuk penghargaan terhadap setiap opini, diskusi, sudut pandang, dan bentuk kontribusi konten dari siapapun dan memberikan hak yang sama untuk mendapat keuntungan.

“Hal ini sangat berbeda dengan platform UGC lainnya yang melakukan penyaringan secara manual terhadap orang-orang yang dijadikan partner atau kontributor khusus dan mendapat benefit seperti uang dan lainnya.”

Akan tetapi, pada awal pengujian banyak pengguna yang memanfaatkan celah agar dapat mengumpulkan koin sebanyak-banyaknya dengan berbagai cara. Contoh yang umum terjadi adalah jawaban yang tidak sesuai konteks pertanyaan, copy-paste jawaban orang lain atau dari konten lain tanpa menyertakan tautan, spam jawaban terbaik, spam unvote, dan menggunakan akun ganda.

“Bahkan ada yang langsung menyerang sistem kami dan mengakses perubahan koin melalui database. Jujur, bukan itu yang kami inginkan dari adanya sistem koin ini.”

Akhirnya, tim melakukan perubahan strategi dengan memperbarui syarat dan ketentuan penukaran, dan pembaruan sistem yang secara otomatis dapat membedakan kualitas konten berdasarkan analisa teks. Caranya dengan memberikan bobot terhadap input dari pengguna, sehingga pemberian konten oleh sistem bervariasi.

Sementara untuk meminimalisir konten negatif, pihaknya memilih beberapa pengguna aktif untuk menjadi moderator yang melakukan pelaporan secara manual atas konten-konten yang ada.

“Untuk tantangan yang lainnya ke depan kami percaya masih akan terus ada, tetapi dalam perjalanan, kami percaya kejujuran dari pengguna secara tulus membagikan pendapat disertai dengan keseimbangan benefit yang akan didapat, akan membentuk suatu ekosistem sharing yang baik di Philoit.”

Aldi menerangkan ke depannya ia ingin menerapkan teknologi AI seperti yang sudah dipakai oleh platform besar seperti Quora dan Zhihu. Juga, mengembangkan fitur menarik lainnya seperti Room untuk mengakomodasi tanya jawab yang terjadi dalam suatu event.

“Fitur ini sudah kami coba dengan melakukan beberapa event independen dan mengundang expert dalam bentuk sharing dan diskusi online. Setiap pertanyaan yang diajukan kepada expert di event tersebut akan ditampilkan live di suatu room spesifik yang bisa diakses oleh siapa pun, bahkan setelah event berakhir,” pungkasnya.

Philoit sejauh ini bootstrapping dan berencana untuk melakukan penggalangan dana. Sejak dirilis pada tahun lalu, kini Philoit sudah memiliki 20 ribu lebih pengguna terdaftar dengan total sekitar 190ribu konten tanya jawab dan 14 ribu konten tulisan blog. Aplikasi sudah diunduh lebih dari 10 ribu kali di Play Store.

Application Information Will Show Up Here

Nimbly Tawarkan Aplikasi untuk Bantu Bisnis Lakukan Audit Operasional

Setiap perusahaan pasti memiliki SOP (Standard Operating Procedure), sebuah panduan yang digunakan untuk memastikan kegiatan operasional berjalan sesuai ketentuan. Namun, dalam pelaksanaannya ada banyak tantangan di lapangan. Dibutuhkan waktu dan tenaga yang tidak sedikit untuk memastikan bahwa semua agenda berjalan sesuai dengan SOP yang diterapkan.

Hal ini juga yang dirasakan Daniel Hazman, Founder dan CEO Nimbly Technologies, ketika bekerja di Walmart bagian operasional. Pelaksanaan SOP kerap tidak transparan tanpa sepengetahuan kantor pusat, sampai tiba waktunya inspeksi periodik. Lalu, muncul masalah-masalah di lapangan yang kemudian dilaporkan namun tidak pernah ada tindak lanjut. Hal-hal seperti ini beresiko tinggi untuk profitabilitas perusahaan.

Berangkat dari pengalaman tersebut, Daniel mengembangkan solusi digital yang bisa digunakan untuk memberdayakan pegawai dalam pelaksanaan SOP/protokol serta memfasilitasi manajemen dengan data terkini di lapangan demi meningkatkan efisiensi sekaligus menghemat biaya.

Model Bisnis

Nimbly memiliki fitur utama Digital Routines untuk mendigitalkan checklist manual melalui aplikasi mobile. Pengguna cukup memasukkan kuesioner, Nimbly menawarkan fleksibilitas dalam tipe pertanyaan – tidak hanya berupa teks dan angka namun juga berupa Flag (Bendera), Skoring, Pilihan berganda bahkan stok inventori.

Dalam aplikasi ini, pengguna juga dapat menyertakan foto atau video yang diambil secara live untuk meminimalisir kemungkinan fraudulent behavior. Setelah itu, laporan akan terkirim secara otomatis.

“Semua fitur-fitur ini mengeliminasi penggunaan bermacam-macam platform pada inspeksi/audit operasional secara konvensional yang biasanya membutuhkan pen and paper, Whatsapp, email, call – sekarang cukup menggunakan satu aplikasi saja untuk memudahkan audit inspeksi yang lebih efisien,” jelas Daniel

Dari sudut pandang manajemen, semua hasil akan muncul dalam satu dasbor, memungkinkan mereka untuk melihat bagaimana berbagai toko, area, serta pegawai bekerja dari waktu ke waktu berikut mengidentifikasi tren dan peluang.

Dari awal berdiri, Nimbly sudah mulai memonetisasi layanan. Pihaknya mengakui hal ini memang jarang terjadi pada startup early-stage, namun dari awal pengguna Nimbly sudah merupakan pengguna berbayar.  

“Kami bertujuan untuk membantu perusahaan membuat frontliner mereka melakukan rutinitas harian dengan benar. Masalah yang kami lihat adalah saat kantor pusat kewalahan dengan jumlah masalah yang ditemukan di tingkat toko dan berusaha untuk terus menyelesaikan semuanya tepat waktu,” tambahnya.

Rencana ke depan

Selama beroperasi kurang lebih 2 tahun sejak Agustus 2018, Nimbly telah melayani puluhan klien di berbagai industri seperti F&B, ritel, FMCG/distribusi, manajemen fasilitas, manufaktur dan Agrikultur.

Dari sisi pendanaan, Daniel mengungkap bahwa Nimbly sedang dalam tahap penggalangan dana Seri A dengan harapan bisa close di akhir tahun ini. Dengan dukungan tim yang saat ini berjumlah lebih dari 40 orang, dan masih akan bertambah di 12-18 bulan ke depan, Nimbly masih akan terus bertumbuh.

“Saat ini kami berada dalam fase pertumbuhan eksplosif dan ingin memperluas lebih jauh di luar Indonesia.” tambahnya.

Sebagai salah satu startup jebolan program akselerator SYNRGY yang diselenggarakan oleh BCA bersama GK-Plug and Play, Nimbly berkesempatan untuk menjajaki potensi kolaborasi dengan layanan keuangan seperti operasional cabang bank dan call center.

“Kami ingin menjajaki bersama BCA dan para pelaku jasa keuangan lainnya bagaimana kami dapat membantu mereka dengan potensi eksekusi jarak jauh untuk operasi cabang, call center, dan surveyor multifinance,” ungkap Daniel

Platform Insurtech “Aman” Bantu Bisnis Kelola Tunjangan Kesehatan Karyawan

Salah satu sektor yang mengalami pertumbuhan positif dalam tiga tahun terakhir adalah insurtech. Salah satunya dibuktikan melalui statistik pertumbuhan adopsi produknya, sepanjang tahun 2019 premi yang berhasil dibukukan sudah mencapai 185,3 triliun Rupiah untuk asuransi jiwa dan 80,1 triliun Rupiah untuk asuransi kesehatan.

Ada beberapa alasan mendasar mengapa insurtech diproyeksikan berkembang baik di sini. Mengutip hasil studi Munich Re Economic Research, Indonesia akan memimpin pertumbuhan premi asuransi kesehatan dan jiwa dari tahun 2019-2030, dengan CAGR sebesar 9,1%.

Melihat peluang tersebut Steven Tannason kemudian mendirikan platform insurtech bernama Aman. Pengalamannya selama bekerja di ByteDance dan Google, kemudian mencetuskan ide untuk mendirikan startup asuransi berbasis teknologi.

“Semuanya berawal awal tahun ini. ketika saya sebagai orang Indonesia yang sudah sepuluh tahun tinggal di luar negeri memutuskan untuk pulang kampung membantu membangun bangsa. Saya terhubung melalui seorang teman dengan co-founder Le Khanh An, seorang warga negara Vietnam yang telah menyebut Jakarta sebagai rumahnya selama lima tahun terakhir,” kata Steven

Fokus bisnis Aman

Menyasar semen B2B, target pengguna Aman adalah perusahaan yang memanfaatkan tunjangan karyawan sebagai strategi menarik dan mempertahankan talenta. Strategi monetisasi yang diterapkan adalah, dengan membantu mitra asuransi untuk melayani perusahaan dan karyawan mereka di platform web dan seluler.

“Kami fokus pada ruang tunjangan kesehatan karyawan (employee health benefits). Mungkin Anda akan berasumsi bahwa pasar tersebut telah dilengkapi dengan teknologi. Namun, sebenarnya bukan seperti itu situasinya, kebanyakan pengalaman mencari, membeli, dan mengelola asuransi kesehatan karyawan masih dilakukan dalam proses manual berbasis kertas,” kata Steven.

Kondisi pandemi seperti saat ini menjadi pembuktian tersendiri bagi platform insurtech seperti Aman untuk memvalidasi dan mengembangkan bisnis. Steven melihat, banyak orang Indonesia yang jauh lebih sadar akan pentingnya kesehatan dan jaring pengaman.

“Berkali-kali kami mendengar dari karyawan yang tidak keberatan mengambil pekerjaan baru dengan gaji lebih rendah tetapi tunjangan kesehatan yang lebih baik. Namun, seperti yang telah kita saksikan selama beberapa bulan terakhir, kita telah dipaksa untuk mengubah cara kita melakukan berbagai hal dan ini pasti berlaku untuk proses lama, manual, berbasis kertas,” kata Steven.

Singkatnya, platform digital Aman membantu perusahaan untuk dengan mudah mencari, membeli, dan mengelola asuransi kesehatan untuk karyawan mereka, yang mencakup pendaftaran tunjangan, pemantauan klaim, serta pelaporan dan analitik.

Di Indonesia sendiri, lanskap insurtech mulai menjadi perhatian banyak pihak. Laporan DSResearch bertajuk “Insurtech Strategic Innovation” telah memetakan beberapa startup lokal yang sudah beroperasi di lanskap tersebut.

Insurtech in Indonesia

Program akselerator SYNRGY

BCA Virtual Demo Day SYNRGY Batch 3
BCA Virtual Demo Day SYNRGY Batch 3

Aman merupakan salah satu startup yang mengikuti program akselerator SYNRGY Batch 3 yang diinisiasi BCA. Disinggung seperti apa pengalaman dan benefit yang didapatkan Aman selama mengikuti program, Steven mengungkapkan program tersebut memberikan inspirasi bagi perusahaan.

“Kami terkesan dengan kaliber dari rekan-rekan startup yang berpartisipasi dalam program ini, termasuk founders yang berani memecahkan masalah besar di ruang seperti AR/VR dan blockchain. Inilah yang dibutuhkan bangsa kita saat ini, lebih dari sebelumnya – pendiri yang cukup berani untuk memecahkan masalah besar,” kata Steven.

Meskipun baru beberapa bulan saja diluncurkan, namun saat ini Aman mengklaim telah mendapat sambutan positif dari pelanggan dan mitra. Saat ini mereka berupaya untuk bisa “on track” melayani beberapa ribu karyawan di platform. Sebagai bisnis yang duduk di persimpangan tiga bidang, yaitu sumber daya manusia, asuransi dan kesehatan; Aman memiliki target yang ingin dicapai tahun ini, yaitu fokus kepada pelanggan.

“Pelanggan kami adalah pusat dari semua yang kami lakukan, oleh karena itu rencana kami adalah memastikan bahwa kami memberikan pengalaman tunjangan karyawan dan kesehatan finansial terbaik untuk mereka. Saat kita fokus pada pelanggan kita, nilainya akan teratasi dengan sendirinya,” kata Steven.

Introducing nafas, Air Quality Monitoring Application in Jabodetabek

The 2018 Asian Games in Jakarta & Palembang creates a moment of air quality as a talk among citizens and the media on a national scale. The cases of forest and land fires that have occurred several times are also categorized as incidents that have triggered this issue to become a national issue. However, the air quality issue is still insufficient for the daily conversation of the community.

Piotr Jakubowski, former CMO of Gojek, tries to bring this conversation to life through a platform. Together with Nathan Roestandy, he founded “nafas”. Piotr serves as chief growth officer, while Nathan serves as chief executive officer. According to Piotr, Nathan, who was previously known as the founder of Zulu, has been researching this topic since 2016. In short, they both established nafas as a platform to help Jakarta residents and its surroundings in accessing data and educational sources regarding hyperlocal air quality.

Piotr said that this idea originated from the worsening air quality and the lack of local initiatives to describe the situation based on data. It was very bad, DKI Jakarta Governor Anies Baswedan even said that air pollution has cost Rp60 trillion loss.

Therefore, what nafas actually offers to the public? Air quality data is the answer. There are a number of basics according to Piotr that differentiate breath from other air quality platforms. First in terms of accuracy. Nafas uses its own sensors to display captured data instantly and in real-time.

Piotr said, there are several other platforms that collect data from second hand via API or use satellite data only. There are also those whose data recording is not in real-time.

“It can be misleading and not beneficial to users because good data recording yesterday does not mean the current air quality is good either. Breath only displays the latest data,” Piotr said.

Nafas has installed 46 sensors spread across Jabodetabek. Their sensors can update air quality data every 20 minutes. The data presented in the application are levels of Air Quality Index (AQI) and Particulate Matter (PM) 2.5.

The application also displays recommendations of activities according to the latest air conditions. With this number of sensors, Piotr claims nafas as the largest air quality data provider in Jakarta.

Bank Mandiri menjadi salah satu sponsor di nafas.
Bank Mandiri as one of the sponsor

Piotr didn’t say nafas as a non-profit organization. The method they take to run nafas is through a sponsorship program. Specifically, nafas embraces individuals or companies with concern to ESG (environmental, social, governance) to sponsor the installation of censorship. One of the companies already become nafas’ sponsor is Bank Mandiri.

Apart from helping the public to access better air quality data, nafas also offers a number of advantages. One of them is by displaying the sponsor’s logo in the application as part of sponsorship branding.

“In the sponsorship plan, we have some initiatives with partners including branding sponsorship in the application, collaborative marketing activities, and access to more detailed data,” Piotr added.

However, the goal that Piotr and Nathan coveted through nafas faced some challenges. Education to the community is the biggest homework. In fact, bringing the issue of air pollution dangers is like scaring people because the threat is not visible. Also, the resulting consequences shorten a person’s life expectancy by up to 4.8 years.

However, since the pandemic began, Piotr assessed that people’s views on air quality have changed. In addition, nafas intends to work with various types of organizations and individuals to improve education to the Indonesian people about air quality.

“The key to success is educating as many people as possible that bad air quality can affect health and how to reduce exposure to bad air as much as possible,” Piotr said.

Currently, nafas is available in the Greater Jakarta area. Piotr said the plan is yet to expand the scope of his work area because he still wanted to strengthen its presence in Jabodetabek. Nafas is now accessible on the Play Store and AppStore.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Mengenal nafas, Aplikasi Pemantau Kualitas Udara di Jabodetabek

Asian Games 2018 di Jakarta & Palembang mungkin menjadi momen di mana kualitas udara menjadi perbincangan warga dan media dalam skala nasional. Kasus kebakaran hutan dan lahan yang terjadi beberapa kali tentu juga menjadi masuk sebagai kategori kejadian yang memicu isu itu menjadi isu nasional. Namun sepakat atau tidak, pembicaraan mengenai kualitas udara masih jauh dari cukup dalam perbincangan sehari-hari masyarakat.

Piotr Jakubowski, eks CMO Gojek, mencoba menghidupkan perbincangan ini melalui sebuah platform. Bersama Nathan Roestandy, ia mendirikan “nafas”. Piotr berperan sebagai chief growth officer, sementara Nathan menduduki posisi chief executive officer. Menurut penuturan Piotr, Nathan yang sebelumnya dikenal sebagai pendiri Zulu, telah meneliti topik ini sejak 2016. Singkatnya mereka berdua mendirikan nafas sebagai platform yang dapat membantu warga Jakarta dan sekitarnya dalam mengakses data dan sumber edukasi mengenai kualitas udara yang bersifat hiperlokal.

Piotr bercerita, ide ini berawal dari kian buruknya kualitas udara dan minimnya inisiatif lokal untuk menggambarkan situasi berbasis data. Saking buruknya, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan bahkan menyebut kerugian yang ditimbulkan akibat polusi udara mencapai Rp60 triliun.

Lalu apa yang sebenarnya nafas tawarkan kepada publik? Data kualitas udara adalah jawabannya. Ada sejumlah sejumlah mendasar menurut Piotr yang membedakan nafas dengan platform kualitas udara lainnya. Pertama dari segi akurasinya. Nafas menggunakan sensor sendiri yang menampilkan data yang diambil langsung dan real time.

Menurut Piotr, beberapa platform lain ada yang hanya mengambil data dari tangan kedua melalui API atau memakai data satelit saja. Ada juga yang perekaman datanya tidak secara real time.

“Itu bisa menyesatkan dan tidak menguntungkan pengguna karena perekaman data yang baik kemarin tidak berarti kualitas udara saat ini baik juga. Nafas hanya menampilkan data terkini,” papar Piotr.

Nafas sudah memasang 46 sensor yang tersebar di Jabodetabek. Sensor mereka dapat memperbarui data kualitas udara setiap 20 menit. Adapun data yang disajikan dalam aplikasi nafas berupa kadar Air Quality Index (AQI) dan Particulate Matter (PM) 2,5.

Aplikasi juga menampilkan rekomendasi yang perlu dilakukan sesuai keadaan udara terkini. Dengan jumlah sensor tersebut, Piotr mengklaim nafas sebagai penyedia data kualitas udara terbesar di Jakarta.

Bank Mandiri menjadi salah satu sponsor di nafas.
Bank Mandiri menjadi salah satu sponsor di nafas

Piotr tidak mengatakan nafas sebagai organisasi non-profit. Metode yang mereka tempuh untuk menjalankan nafas adalah melalui program sponsor. Lebih jelasnya, nafas merangkul individu atau perusahaan yang menaruh perhatian pada ESG (environmental, social, governance) untuk menjadi sponsor pemasangan sensor. Salah satu perusahaan yang sudah menjadi sponsor di nafas adalah Bank Mandiri.

Selain membantu publik mengakses data kualitas udara yang lebih baik, nafas menawarkan sejumlah keuntungan bagi mereka. Salah satunya dengan menampilkan logo sponsor ke dalam aplikasi sebagai bagian dari sponsorship branding.

“Dalam rencana pensponsoran, kami punya sejumlah inisiatif bersama para mitra termasuk sponsorship branding di dalam aplikasi, kerja sama kegiatan pemasaran, dan akses ke data yang lebih mendetail,” cetus Piotr.

Kendati demikian, tujuan yang diidamkan Piotr dan Nathan melalui nafas punya tantangan tidak kecil. Edukasi kepada masyarakat menjadi pekerjaan rumah terbesar. Pasalnya mengangkat isu tentang bahaya polusi udara itu seperti pekerjaan menakut-nakuti sebab faktor pengancamnya tak terlihat. Padahal akibat yang ditimbulkan memperpendek harapan usia seseorang hingga 4,8 tahun.

Namun semenjak pandemi berlangsung, Piotr menilai pandangan orang mengenai kualitas udara sudah berubah. Selain itu nafas juga berniat bekerja sama dengan berbagai jenis organisasi dan individu untuk menggenjot edukasi kepada masyarakat Indonesia mengenai kualitas udara.

“Kunci suksesnya adalah edukasi ke sebanyak mungkin orang bahwa udara yang buruk bisa memengaruhi kesehatan dan bagaimana sebisa mungkin mengurangi paparan udara yang buruk,” pungkas Piotr.

Sejauh ini nafas baru tersedia di wilayah Jabodetabek. Piotr mengatakan belum ada rencana nafas memperluas cakupan wilayah kerjanya karena masih ingin memperkuat keberadaannya di Jabodetabek. Nafas sudah bisa diakses di Play Store maupun AppStore.

Application Information Will Show Up Here

Mengenal Startup Logistik BiteShip, Berawal Pivot Kemudian Profit

BiteShip sebuah platform yang mengintegrasikan sejumlah layanan logistik mengklaim sudah berhasil mendapatkan profit di usianya yang belum menginjak satu tahun. Sering disebut sebagai layanan agregator, BiteShip adalah pivot dari layanan Noompang, aplikasi jasa nebeng. Memutuskan pindah haluan setelah melihat tren bisnis logistik membawa hal positif dalam bisnis mereka.

Model bisnis BiteShip pertama kali ditemukan ketika tim Noompang meluncurkan Noompang Coolinary. Dari sana mereka banyak bersentuhan dengan layanan logistik dan menemukan masalah ketika harus mengirimkan makanan dari satu kota ke kota lainnya dalam waktu beberapa jam. Melihat sektor logistik yang cukup potensial akhirnya mereka memutuskan membangun BiteShip.

“Ketika kami ngerjain Noompang Coolinary, kami melihat sektor logistik yang kami kerjakan bertumbuh dan jadi lebih seru untuk digali lebih dalam lagi. Kebetulan saat itu ada salah satu temen dari partnerku memiliki problem di supply chain yang perlu diselesaikan, kami jadi tertarik dengan model bisnis B2B dan jadi deh namanya Biteship,” terang CMO BiteShip Afra Sausan.

Secara sederhana layanan BiteShip bekerja dengan mengintegerasikan beberapa penyedia logistik menjadi satu tempat. Beberapa penyedia pengiriman seperti JNE, Wahana, GoSend, Paxel, SiCepat, J&T Express, Tiki, Deliveree, FedEx, Anteraja, Grab, JetExpress, SAP, Lion Parcel, Qrim, Pos Indonesia, dan RPX sudah tersedia di platform mereka.

Tim Pendiri BiteShip

Klaim profit dari modal bootstrap

Bisnis logistik saat ini memang sedang kondisi naik. Meski ada dalam masa pandemi aktivitas mengirim barang tampaknya tidak berkurang. Sebagai layanan agregator logistik Biteship bukan menjadi satu-satunya. Di segmen ini juga ada Shipper yang dalam waktu 6 bulan belakangan cukup agresif mengeksekusi rencana mereka.

Potensi segmen layanan logistik juga terlihat dari beberapa layanan yang mendapat kucuran pendanaan dalam satu tahun terakhir. Ada Kargo, Triplog, Ritase, Waresix, Logisly, Shipper, Finfleet, dan Waresix. Meski memiliki pendekatan dan model bisnis yang berbeda-beda. Semua layanan tersebut berada di sektor logistik.

Saat ini Afra mengklaim sudah berhasil mendapatkan profit dari modal operasional mandiri yang mereka jalankan. Tiga produk mereka Biteship Lite (mobile apps), Biteship Web, dan Biteship fo Business disebut diterima dengan baik oleh penggunanya.

Yang paling baru, BiteShip juga menyediakan layanan fulfillment. Sehingga pelanggan bisa mendapatkan layanan penyimpanan, pengemasan, dan pengiriman sekaligus. Ini menjadi salah satu layanan yang melengkapi ekosistem mereka, sesuai dengan taglinenya, “Menjadi layanan logistik e-commerce untuk UKM di Asia Tengara”.

“Inti dari Biteship adalah mempermudah klien kami untuk pesan berbagai kurir dalam satu platform dan juga gratis pick up tanpa ada minimal order. Biteship juga jadi go to platform untuk para developer yang ingin mengembangkan situs webnya menggunakan teknologi yang tersedia dari Biteship karena lebih sederhana dan ringkas,” terang Afra menjelaskan keunggulan BiteShip. 

Untuk saat ini pihak BiteShip masih enggan membagikan capaian mereka. Hanya saja Afra menjelaskan mereka mendapatkan 40% sampai 50% pertumbuhan setiap bulannya.

“Kami berencana untuk membawa Biteship di beberapa negara lainnya, dimulai dulu dari SEA. Karena kami melihat bahwa Biteship dengan solusi yang ditawarkannya bisa membantu bisnis bukan hanya di Indonesia tapi juga di negara lainnya. Kebetulan saat ini kami sudah memiliki 4 clients di SEA (selain Indonesia),” tutup Afra. 

Application Information Will Show Up Here

Logistics Platform Prahu-Hub Provides Easy Cross-Island Delivery

The high cost of domestic shipping is one of the reasons why the Prahu-Hub digital logistics platform was established. Established in 2017, they exist as a marketplace designed to help Indonesians who want to send goods using containers.

Prahu-Hub’s Founder, Benny Sukamto told DailySocial that currently, domestic shipping costs are quite expensive and difficult than international shipping. The high cost of logistics will certainly affect the weakening of domestic trade power and increase dependence on foreign countries.

“Prahu-Hub exists as a marketplace that brings together domestic cross-island shippers (shippers) and shipping service providers (expedition, shipping, and trucking). From orders that occur in our marketplace, administrative fees will be charged to our partners, in case this is a delivery service provider,” Benny said.

In particular, Prahu-Hub focuses only on domestic cross-island shipments. This is what distinguishes Prahu-Hub services from other logistics services.

To date, Prahu-hub has more than 400 shippers who have used the service, and every week the website is visited by 1500 potential shippers. Prahu-Hub delivery services cover Sabang to Merauke. Prahu-Hub has also served more than 900 users who have used the platform as their trusted freight service.

In order to accelerate business growth, the company is yet to plan for fundraising. However, Prahu-Hub is quite open for the right investors to join together to build the Prahu-Hub business.

“For fundraising, we have not specifically planned. But we are starting a discussion with investors who share our view and want to grow together,” he added.

Pandemic and Alibaba Netpreneur

Founder Prahu-Hub Benny Sukamto
Prahu-Hub’s Founder, Benny Sukamto

Being asked about what Prahu-Hub’s business growth was like during the pandemic, Benny emphasized that logistics is one of the sectors that can survive this pandemic. However, the availability of goods and demand for goods has indeed decreased outside the island, not only in Java during this pandemic. Therefore, it quite affects the volume of shipments between islands.

In 2019, Prahu-Hub was selected to join the Alibaba Netpreneur from Indonesia. Prahu-Hub has gained a lot of experience, a startup founded by Benny Sukamto, after ten years living and working in the United States in the business intelligence software sector, he returned to Indonesia and developed his logistics business.

“By participating in Netpreneur training class #1 from Indonesia at Alibaba’s head office, I gained a lot of experience building a startup and transforming a brick and mortar company into a digital company to survive in the long run,” Benny said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian