Optimisme BorongBareng Usung Konsep “E-commerce Sosial”

BorongBareng, e-commerce yang berada di bawah naungan PT Digital Imagination Space meresmikan kehadirannya di Indonesia pada Juni 2020. Mereka usung konsep e-commerce sosial, mengoptimalkan keterlibatan banyak pengguna di beberapa fitur/programnya. Dalam debutnya, dihadirkan sejumlah program menarik untuk akuisisi pengguna seperti Slash-it (program game menurunkan harga), Super Deal (program diskon), dan Group-Buy (program beli rame-rame).

BorongBareng dari awal memfokuskan diri menyasar pengguna mobile. Hal ini terlihat dari mereka yang langsung menyuguhkan interface khas mobile pada situs webnya. Aplikasi BorongBareng sendiri sedang dalam proses pengembangan, segera diluncurkan dalam waktu dekat.

Sebagai pemain baru di industri e-commerce, tampaknya founder cukup optimis dengan konsep dan strategi yang diagendakan. Fitur Slash-It misalnya, merupakan salah satu fitur yang diharapkan bisa mengundang banyak pengguna, karena semakin banyak pengguna lain yang diundang maka harga produk bisa semakin murah.

“Tiga minggu setelah soft launching, kami memiliki 50 ribu pengguna yang sudah terdaftar di platform. Ini adalah prestasi luar biasa dan kami bersemangat untuk melayani pelanggan di Indonesia dengan layanan dan kualitas produk yang baik dan harga yang terjangkau,” terang CEO BorongBareng Peter Zhou.

Optimisme di tengah pandemi

Industri e-commerce menjadi penggerak ekonomi terbesar di Indonesia, dengan dinamika dan persaingan bisnis yang cukup ketat. Beberapa pemain muncul dan menghilang, beberapa masih berusaha bertahan dengan susah payah. Tugas semakin berat bagi BorongBareng mengingat kondisi pandemi seperti sekarang ini. Daya beli masyarakat menurun, arah konsumsinya pun berubah ke arah makanan pokok, kesehatan, dan sejenisnya. Kendati demikian, mereka mengklaim cukup optimis untuk berkembang.

“Meskipun menghadapi kuartal yang sulit karena pandemi, hari ini kami dengan bangga memperkenalkan BorongBareng ke masyarakat Indonesia. BorongBareng hadir di Indonesia untuk memenuhi kebutuhan konsumen dengan pandangan yang berfokus pada pertumbuhan populasi digital. Kami ingin semua orang memiliki akses ke produk yang lebih baik, dengan harga terbaik dan memiliki kekuatan untuk memperoleh kualitas hidup yang lebih baik,” terang Peter.

BorongBareng di awal kemunculannya menawarkan berbagai macam jenis kategori produk. Produk-produk ini merupakan hasil kerja sama atau kemitraan dengan beberapa produsen. Seperti untuk buah dan sayuran segar mereka bermitra dengan Eden Farm. Kerja sama in diklaim akan terus dijajaki terutama untuk mengembangkan pertumbuhan bisnis lokal di Indonesia.

Tim juga menjelaskan bahwa semua barang yang dijual di dikirim langsung oleh BorongBareng untuk memastikan harga barangnya sudah cukup terjangkau untuk para pelanggannya.

Untuk saat ini BorongBareng tengah fokus pada pertumbuhan bisnisnya. Dengan modal dari beberapa angle investor mereka menargetkan setidaknya bisa mendapatkan 300 ribu pengguna di penghujung tahun ini, juga merampungkan pendanaan pra seri A.

GetGo to Boost AI Technology for Retail Transaction

The development of artificial intelligence technology for retail consumers in Indonesia has not been as massive as in more developed countries. The implementation is quite intended for the corporations or governments, for example by making chatbot or CCTV detectors. This opportunity was used by GetGo as an AI startup focused on retail consumer transaction solutions.

“We focus on the daily issues in retail transactions, although there are many challenges to be solved with AI. AI for retail is quite small [its players], even in the region it is still not big enough,” GetGo’s Co-Founder and CEO, Erdian Tomy told DailySocial.

Erdian, along with Andika Rachman as Chief AI Officer in developing GetGo since July last year. Both are strong in their respective backgrounds, for example, Erdian has experience in advertising and Andika is strong in the AI-based innovation.

The journey begins when there are problems shopping at offline stores, sellers can not know the character and habits of buyers to do upselling. Even buyers cannot feel a seamless shopping experience.

“Starts from there we began to enter the offline realm by creating a GetGo Mini Cashier-less Store product, in collaboration with co-working space at seven locations earlier this year.”

In this first product, employees of coworking space can shop from products sold in the box and pay without cashiers. The payment process is done online. Nearly three months of running, GetGo managed to get 761 unique users.

This mid-March must stop because there is an obligation to quarantine at home because of the pandemic in Indonesia. “Finally from March until now our first product had to stop temporarily because of all the WFH offices, so there were no employees leaving.”

Erdian and the team finally racked their brains to continue to innovate, finally releasing a second product targeting online consumers called GetGo Visual Search. This product is an API that is integrated with e-commerce platform owners to be used by consumers when searching for goods online.

In the initial stages, GetGo can only be able to detect fashion products. The way for consumers is to simply take pictures that they can through the camera features in e-commerce applications. Product results will be immediately listed based on what they are looking for.

“This product is B2B. So we have an API that can be used by e-commerce partners. Consumers don’t need to install additional applications because AI GetGo has already been embedded in the e-commerce application.”

GetGo Mini Cashier-less Store di salah satu lokasi / GetGo
A location of GetGo Mini Cashier-less Store

Future business plans

Armed with the knowledge following the Gojek Xcelerate accelerator program, GetGo is more determined to get these two products mature. Erdian said that his team currently in the process of an agreement with two e-commerce platforms. Also, an additional AI’s ability to detect furniture products.

“Later, for the monetization model, we will charge per month to e-commerce. Meanwhile, Mini Cashier-less products use advertisements in each store. ”

Erdian believes that these two products will be widely accepted in the future and feel the impact of everyday transactions. Moreover, this product is built by local people, so there is more value offered, apart from pricing that is much cheaper.

“The technology is a commodity that cannot actually be used by certain countries. In the US and China, AI has become a part of life, they used to shop offline without cashiers. We have value, from the price is much cheaper and the approach is done locally. ”

Towards a new normal, he expects GetGo to be more expansive in developing business, including seeking funding. So far the company is still using its own funds, aka bootstrapping. The total GetGo team currently consists of six people and mostly are engineers.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

GetGo Ingin Populerkan AI untuk Permudah Transaksi Ritel

Pengembangan teknologi kecerdasan buatan untuk konsumer ritel di Indonesia belum semasif seperti negara-negara yang lebih maju. Implementasinya sejauh ini masih diarahkan untuk kebutuhan korporasi atau pemerintah, misalnya dengan membuat chatbot atau CCTV pendeteksi. Kekosongan ini dimanfaatkan GetGo sebagai startup AI yang fokus untuk solusi transaksi konsumer ritel.

“Kita fokus ke masalah transaksi sehari-hari di ritel, padahal di sini ada banyak tantangan yang bisa diselesaikan dengan AI. AI for retail ini masih kecil [pemainnya], bahkan di regional saja masih sedikit,” ucap Co-Founder dan CEO GetGo Erdian Tomy kepada DailySocial.

Selain Erdian, ia ditemani Andika Rachman sebagai Chief AI Officer dalam merintis GetGo sejak Juli tahun lalu. Keduanya kuat di latar belakang masing-masing, misalnya Erdian yang punya pengalaman di bidang periklanan dan Andika kuat di bidang AI.

Perjalanan dimulai ketika ditemukan masalah belanja di toko offline, penjual tidak bisa mengetahui karakter dan kebiasaan pembeli untuk melakukan upselling. Pembeli pun tidak bisa merasakan pengalaman belanja yang seamless.

“Dari situ kita mulai masuk ke ranah offline dengan membuat produk GetGo Mini Cashier-less Store, bekerja sama dengan coworking space ada di tujuh lokasi pada awal tahun ini.”

Pada produk pertama ini, karyawan dari coworking space tersebut bisa berbelanja dari produk-produk yang dijual di dalam kotak dan membayarnya tanpa kasir. Proses pembayaran dilakukan secara online. Hampir tiga bulan berjalan, GetGo berhasil mendapat 761 unique user.

Pertengahan Maret ini harus terhenti karena ada kewajiban untuk karantina di rumah karena pandemi merebak di Indonesia. “Akhirnya dari Maret sampai sekarang produk pertama kita harus berhenti sementara karena semua kantor WFH, jadi tidak ada karyawan yang keluar.”

Erdian dan tim akhirnya putar otak untuk terus berinovasi, akhirnya merilis produk kedua yang menyasar konsumen online bernama GetGo Visual Search. Produk ini berupa API yang dintegrasikan ke pemilik platform e-commerce agar bisa digunakan oleh konsumennya saat mencari barang secara online.

Pada tahap awal, GetGo baru bisa mampu mendeteksi produk fesyen. Caranya konsumen cukup mengambil gambar yang mereka dapat melalui fitur kamera di dalam aplikasi e-commerce. Hasil produk akan langsung tertera berdasarkan yang mereka cari.

“Produk ini b2b. Jadi kita punya API yang bisa dipakai oleh mitra e-commerce. Konsumen jadi tidak perlu install tambahan aplikasi karena AI GetGo sudah ditanamkan di dalam aplikasi e-commerce tersebut.”

GetGo Mini Cashier-less Store di salah satu lokasi / GetGo
GetGo Mini Cashier-less Store di salah satu lokasi / GetGo

Rencana bisnis berikutnya

Berbekal ilmu yang didapat mengikuti program akselerator Gojek Xcelerate, GetGo semakin mantap untuk mematangkan produk keduanya tersebut. Erdian mengatakan saat ini pihaknya sedang dalam proses kesepakatan dengan dua platform e-commerce. Juga menambah kemampuan AI untuk mendeteksi produk furnitur.

“Nanti model monetisasinya, kita akan charge per bulan ke e-commerce-nya. Sementara untuk produk Mini Cashier-less menggunakan iklan di tiap store-nya.”

Erdian meyakini, kedua produk ini ke depannya dapat diterima secara luas dan merasakan dampaknya dalam transaksi sehari-hari. Terlebih produk ini dibangun oleh orang-orang lokal, sehingga ada nilai lebih yang ditawarkan, selain dari pricing yang jauh lebih murah.

“Teknologi itu adalah komoditas yang sebenarnya tidak bisa dipakai oleh negara tertentu saja. Di AS dan Tiongkok, AI sudah jadi bagian kehidupan, mereka biasa belanja offline tanpa kasir. Kita punya value, dari harga jauh lebih murah dan approach-nya dengan cara lokal.”

Menuju kondisi normal baru, dia berharap GetGo lebih ekspansif untuk mengembangkan bisnis, termasuk mencari pendanaan. Sejauh ini perusahaan masih memanfaatkan dana sendiri alias bootstrapping. Adapun total tim GetGo saat ini berjumlah enam orang dan mayoritas adalah engineer.

Lifepal Mudahkan Pengguna Membandingkan dan Membeli Produk Asuransi

Mengutip dari berbagai sumber, termasuk data OJK, penetrasi produk asuransi di Indonesia masih sangat rendah. Baru sekitar 2-3% dari total populasi yang menggunakan (di luar produk pemerintah seperti BPJS yang makin diwajibkan). Banyak hal-hal fundamental yang menghambat pertumbuhan asuransi di Indonesia, misalnya terkait informasi dan akses. Dari permasalahan tersebut, inovasi berbasis teknologi asuransi (insurtech) dimunculkan dengan berbagai bentuk.

Salah satunya Lifepal, startup insurtech yang hadir dalam bentuk platform marketplace , layanannya membantu membandingkan, membeli, dan menggunakan produk asuransi sesuai dengan kebutuhan dan anggaran. Adapun produk yang ditawarkan mulai dari asuransi kesehatan, asuransi jiwa, asuransi mobil, asuransi perjalanan, dan lain sebagainya.

“Lifepal bekerja sama dengan puluhan asuransi dan membantu pengguna membandingkan ratusan pilihan polis terbaik yang mereka butuhkan. Konsultan kami juga siap membantu jika membutuhkan informasi lebih lanjut terkait produk asuransi yang mereka cari. Pengguna bisa mengelola polis dan mendapatkan bantuan jika dibutuhkan,” ujar Co-Founder & CMO Lifepal Benny Fajarai kepada DailySocial.

Menunjukkan statistik penggunanya, Benny menyampaikan saat ini Lifepal rutin mendapatkan 3-4 juta pengunjung aktif per bulannya. Sebagian besar pengguna hadir dari kalangan menengah ke atas, berusia dewasa (25+ tahun).

Selain Benny, Lifepal turut didirikan oleh Reza Muhammad, Nicolo Robba, dan Giacomo Ficari. Perusahaan sendiri sudah didirikan sejak November 2018 dengan misi memberikan akses informasi dan perlindungan finansial untuk semua orang. Turut disampaikan, saat ini Lifepal sudah mendapatkan pendanaan eksternal, hanya saja untuk detail investor dan tahapannya belum bisa diungkapkan detail.

Mendobrak pendekatan lama

Insurtech hadir untuk memberikan kemudahan, memungkinkan pengguna untuk mengakses produk-produk asuransi secara langsung, serta mendapatkan informasi yang transparan. Platform marketplace memang menjadi salah satu model bisnis favorit di vertikal ini. Terbukti, di Indonesia sudah ada beberapa platform terkait. Selain Lifepal, platform seperti Cermati, CekAja, Qoala, Premiro dll sajikan layanan serupa dengan spesialisasi masing-masing.

Model ini menurut para pemain memang relevan, untuk mendobrak pendekatan lama yang dirasa kurang efektif. Benny pun berpendapat, “Selama ini distribusi produk asuransi sebagian besar menggunakan agen, yang bekerja pada satu perusahaan asuransi saja. Tentunya hal ini membuat rekomendasi menjadi sangat subjektif, dan belum tentu yang terbaik untuk nasabah. Selain itu, mengandalkan agen asuransi dengan penjelasan yang tidak dapat ter-monitor menciptakan pemahaman dan ekspektasi yang berbeda di mata konsumen.”

Dalam sebuah studi bertajuk “Insurance Technology Survey 2019” yang dilakukan DSResearch, mengemukakan fakta bahwa sebenarnya pendekatan teknologi untuk distribusi produk asuransi dipahami cukup baik. Dari 1296 responden pengguna produk asuransi, 70% di antaranya familiar dengan “insurtech”. Sebagian besar mendefinisikan sebagai layanan digital yang memudahkan proses pencarian informasi, pendaftaran layanan, dan klaim.

Sebagian besar responden juga setuju, bahwa hadirnya insurtech memberikan kemudahan berarti untuk kebutuhan mereka terkait produk asuransi.

Temuan DSResearch tentang testimoni pengguna terhadap insurtech di Indonesia
Temuan DSResearch tentang testimoni pengguna terhadap insurtech di Indonesia

Potensi pertumbuhan bisnis

Dari catatan Lifepal, pasar asuransi di Indonesia tumbuh 2 digit setiap tahunnya. Salah satunya dipengaruhi bertambahnya golongan masyarakat kelas menengah di Indonesia, mereka semakin sadar dan memiliki pemahaman finansial yang baik. Kondisi ini dilihat sebagai potensi besar bagi para pemain insurtech untuk bermanuver.

“Produk keuangan dan asuransi secara khusus akan terus berkembang seiring bertumbuhnya literasi finansial masyarakat. Kami percaya, fintech akan menjadi the next big thing,” imbuh Benny.

Kondisi tersebut membuat persaingan pun semakin menguat, sehingga setiap pemain perlu membentuk value proposition-nya agar tetap diminati pasar. Untuk Lifepal sendiri, Benny mengungkapkan ada tiga hal yang terus dioptimalkan. Pertama terkait inventory, ia mengklaim saat ini termasuk yang terlengkap di Indonesia, mengakomodasi ratusan hingga ribuan pilihan produk asuransi. Kedua, Lifepal mencoba menawarkan layanan secara menyeluruh, dari proses mencari informasi, pembelian, hingga bantuan setelah pembelian dan jika ada kesulitan klaim dan kendala dengan pihak perusahaan asuransi.

Dan poin ketiga, Lifepal berusaha secara objektif memberikan perbandingan dan ulasan produk dari sudut pandang perencana keuangan tersertifikasi. Untuk itu, mereka saat ini masih ingin fokus pada produk asuransi saja, belum berminat memperluas cakupan ke produk finansial lainnya. “Saat ini kami fokus memberikan pelayanan terbaik untuk customer yang mencari produk asuransi,” terang Benny.

Schoters Accommodates Student’s Requirements to Pursue Education Abroad

In an objective to help high school/vocational graduates and professionals who want to pursue a higher-level education, Radyum Ikono (CEO) and Muhammad Aziz (COO) created Schoters. Operating since January 2019, this edutech platform is formed as a marketplace accommodating users to get access to education abroad.

“I see many Indonesians from high school students to professionals who want to study abroad to get a better-quality education. However, there is limited access to information and preparation. We then created Schoters as a platform that provides end-to-end solutions for everyone who wants to study abroad in various countries,” Ikono said.

Schoters platform offers some features, such as campus registration consulting and scholarships, TOEFL / IELTS preparation, test preparation such as SAT / GRE / GMAT, document translation services, other foreign language courses (German, Japanese, Korean, Arabic), installment assistance, and tuition payment. Schoters intends to solve any problems faced by prospective students. In addition to being accessible through the website, Schoters also provides an application on the Android platform.

“Schoters’ business model is a marketplace that involves partners with expertise in specific services. Schoters takes fees from each transaction made by students to these partners,” Ikono said.

Available for everyone

Regarding the key features that distinguish Schoters with previous platforms, Ikono highlighted some companies engaged in similar business sectors tend to reach only the upper middle segment. Therefore, it is perceived that studying abroad is expensive and only affordable for certain classes.

“At Schoters, we present an affordable alternative preparation service, that anyone can make their dream of studying abroad come true. In addition, unlike Schoters which already full online, some other companies are still opening and outreach conventional offline-based classes (with branches in big cities),” Ikono said.

To date, Schoters has more than 200 thousand active users throughout Indonesia. They noted many students from outside the city who are yet to have access by other service providers.

“The fun thing is when they took part in the Schoters program and finally managed to go abroad for Bachelor, Master, or Doctoral degree. Schoters currently has helped students get hundreds of admissions on campus and scholarships in more than 15 countries. Starting from Japan, United Kingdom (UK), Australia, New Zealand, Korea, China, Russia, the Netherlands, Switzerland, Thailand, Malaysia and so on,” Ikono added.

In the near future, the company plans to raise Pre-Series A fund. During the Covid-19 pandemic, it is quite affecting the course of the company’s business. However, Schoters claims to solve it with a special strategy.

“Using the right marketing strategy, the team managed to make a turnaround, which is uniquely attract many students to come and study at Schoters for more productive time during work and study at home. It s enough said, there is no significant negative impact from The Covid-19 pandemic to our business,” Ikono said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Schoters Jembatani Kebutuhan Pelajar Lanjutkan Pendidikan ke Luar Negeri

Bertujuan untuk membantu siswa lulusan SMA/K dan profesional yang ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, Radyum Ikono (CEO) dan Muhammad Aziz (COO) kemudian mendirikan Schoters. Beroperasi sejak Januari 2019, platform edutech ini berbentuk marketplace yang memberikan kemudahan kepada penggunanya untuk mendapatkan akses pendidikan di luar negeri.

“Saya melihat bahwa begitu banyak warga Indonesia dari pelajar SMA hingga profesional yang ingin kuliah ke luar negeri untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Namun demikian, akses terhadap informasi dan persiapannya sangat terbatas. Kami kemudian mendirikan Schoters sebagai platform yang memberikan end-to-end solution untuk siapa pun yang ingin study abroad ke negara manapun,” kata Ikono.

Fitur-fitur yang ditawarkan pada platform Schoters adalah konsultasi pendaftaran kampus dan beasiswa, persiapan TOEFL/IELTS, persiapan tes seperti SAT/GRE/GMAT, layanan penerjemahan dokumen, kursus bahasa asing lainnya (Jerman, Jepang, Korea, Arab), hingga bantuan cicilan pembayaran uang kuliah. Schoters ingin agar masalah apapun yang dihadapi oleh calon siswa dapat dibantu untuk diatasi. Selain bisa diakses melalui situs web, Schoters memiliki aplikasi untuk platform Android.

“Model bisnis Schoters adalah marketplace yang melibatkan mitra yang memiliki keahlian dalam jasa-jasa yang spesifik. Schoters mengambil fee dari setiap transaksi yang dilakukan oleh siswa terhadap mitra tersebut,” kata Ikono.

Menjangkau seluruh kalangan

Disinggung apa yang membedakan Schoters dengan layanan serupa yang sudah hadir lebih dulu, Ikono menegaskan beberapa perusahaan pada sektor study abroad lainnya cenderung hanya menyentuh segmen menengah ke atas. Sehingga dipersepsikan bahwa kuliah ke luar negeri itu mahal dan hanya terjangkau untuk kalangan tertentu.

“Di Schoters, kami menyajikan alternatif layanan persiapan yang terjangkau, sehingga siapa pun bisa mewujudkan mimpinya untuk kuliah ke luar negeri. Selain itu, berbeda dengan Schoters yang sudah full online, beberapa perusahaan lain di sektor study abroad masih membuka kelas dan outreach konvensional berbasis offline (dengan cabang-cabang di kota besar),” kata Ikono.

Hingga saat ini Schoters telah memiliki lebih dari 200 ribu pengguna aktif, yang berasal dari seluruh wilayah Indonesia. Schoters mencatat, banyak para siswa berasal dari kota-kota yang umumnya tidak dijangkau oleh penyedia layanan lainnya.

“Yang menyenangkan juga adalah ketika mereka mengikuti program Schoters dan akhirnya berhasil berangkat ke luar negeri untuk jenjang S1, S2 maupun S3. Saat ini Schoters telah membantu siswa mendapatkan ratusan acceptance pada kampus dan beasiswa di lebih dari 15 negara. Mulai dari Jepang, United Kingdom (UK), Australia, New Zealand, Korea, Tiongkok, Rusia, Belanda, Swiss, Thailand, Malaysia dan lain sebagainya,” kata Ikono.

Dalam waktu dekat, perusahaan berencana melakukan penggalangan dana untuk tahapan Pra- Seri A. Selama pandemi virus Covid-19 berlangsung saat ini, cukup mempengaruhi jalannya bisnis perusahaan. Namun Schoters mengklaim telah mengakalinya dengan strategi khusus.

“Dengan strategi marketing yang tepat, tim berhasil melakukan turnaround, yang justru uniknya banyak siswa yang datang dan ingin belajar di Schoters karena ingin mengisi waktu produktif selama masa bekerja dan belajar di rumah. Dapat dikatakan bahwa secara bisnis, tidak ada dampak negatif yang signifikan dari pandemi Covid-19 ini,” kata Ikono.

Application Information Will Show Up Here

Izidok Develops Medical eRecord Service to Help Doctors with Private Practice

Digital transformation is starting to multiply in the health sector. As one of the technology service providers in the insurance and health sector, PT Medlinx Asia Teknologi introduces Izidok as a platform that helps doctors manage medical records.

Izidok’s team explained, they developed SaaS products with various Medical e-Record features. In addition to supporting standardized ICD 10 diagnosis, they also claim to be able to receive complete medical record inputs, such as history taking, physical examination along with photos of organs, diagnosis, and procedures. It is also possible for doctors to upload other examination supporting data such as X-rays, lab results, and other examination results.

“Another Izidok’s key feature is Write and Type Ready. Using this feature, doctors can input the patient’s data by typing or writing with a stylus pen. Thus, doctors can still use the traditional way for more modern operations,” explained the Chief Operating Officer ( COO) PT Medlinx Asia Teknologi Timur Bawono.

In addition, Izidok also provides a dashboard to monitor and manage queues, daily income amounts, and input data assistant to help operations in the practice. Next, there is also a schedule control reminder feature that is automatically created.

Izidok's interface
Izidok’s interface

On the medical e-record regulation and future plans

Technological developments in the digital sector should be prudent. Regulations issued by the government are also quite strict because it involves a lot of personal data that is crucial, such as medical records. In Indonesia alone, technology is slowly changing the way people access health services, there are telemedicine, drug delivery services, and applications to make appointments with doctors.

Izidok, currently is in a different segment. The solution is similar to Medigo’s Klinik Pintar, however, Izidok specifically targets doctors in private practice, while Medigo targets the Clinic.

Bawono said, the idea of ​​making this service departs on operational problems which often encountered by doctors in opening private practices. Medical records in the conventional form are prone to damage. Therefore, Izidok tried to transform it with the help of digital technology.

“In accordance with Minister of Health Regulation No. 269 / MENKES / PER / III / 2008, medical records in non-hospital health service facilities must be kept for at least 2 years from the date the patient was last treated. Referring to this regulation, Izidok can also help private practice doctors comply with regulations with the application that keeps patient data stored in Izidok’s system for 3 years since the medical record was made,” he said.

In addition, Izidok also claims that they store the data safely as it’s secured by encryption, therefore, the data is accessible only by the doctor concerned. To date, the service, which has its debut in April 2020, is still focused on reaching doctors throughout Indonesia.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Izidok Kembangkan Layanan e-Rekam Medis untuk Bantu Dokter Jalankan Praktik Mandiri

Transformasi digital mulai jamak di sektor kesehatan. Sebagai salah satu perusahaan penyedia layanan teknologi di bidang asuransi dan kesehatan, PT Medlinx Asia Teknologi memperkenalkan Izidok sebagai platform yang membantu dokter dalam mengelola rekam medis.

Dijelaskan pihak Izidok, mereka merupakan produk SaaS dengan berbagai macam fitur e-Rekam Medis. Selain dukungan standardisasi diagnosis ICD 10, mereka juga mengklaim mampu menerima input rekam medis secara lengkap, seperti anamnesis, pemeriksaan fisik disertai dengan gambar organ, diagnosis, dan tata laksana. Dokter juga dimungkinkan untuk menggunggah data penunjang pemeriksaan lainnya seperti foto rontgen, hasil lab, dan hasil pemeriksaan lainnya.

“Fitur unggulan Izidok lainnya adalah Write and Type Ready. Dengan fitur ini dokter dapat mengmasukkan data pasien dengan cara mengetik atau pun menulis dengan stylus pen. Dengan demikian, dokter tetap bisa memakai kebiasaan lama untuk operasionalisasi yang lebih modern,” jelas Chief Operating Officer (COO) PT Medlinx Asia Teknologi Timur Bawono.

Selain itu Izidok juga memiliki dasbor yang bisa digunakan untuk memantau dan mengatur antrean pasien, jumlah pendapatan harian, dan masukan data asisten untuk membantu pengoperasian di tempat praktik. Kemudian ada juga fitur pengingat jadwal kontrol yang dibuat secara otomatis.

Tampilan layar Izidok
Tampilan layar Izidok

Tentang aturan e-rekam medis dan rencana selanjutnya

Perkembangan teknologi di sektor digital harusnya penuh kehati-hatian. Regulasi yang dikeluarkan pemerintah juga cukup ketat karena banyak data pribadi yang bersifat krusial di sana, seperti rekam medis. Di Indonesia sendiri saat ini teknologi perlahan mengubah cara masyarakat mengakses layanan kesehatan, ada telemedicine, layanan pengantaran obat, dan aplikasi untuk membuat janji dengan dokter.

Izidok, saat ini berada pada segmen yang berbeda. Solusinya serupa dengan Klinik Pintar dari Medigo, hanya saja Izidok spesifik menyasar dokter dalam praktik mandiri, sedangkan Medigo menargetkan Klinik.

Diceritakan Timur, ide pembuatan layanan ini berangkat pada masalah operasional yang sering ditemui dokter dalam membuka praktik mandiri. Catatan rekam medis yang masih bersifat konvensional rawan rusak. Oleh karena itu Izidok mencoba mentransformasikannya dengan bantuan teknologi digital.

“Sesuai Peraturan Menteri Kesehatan No. 269/MENKES/PER/III/2008, rekam medis pada sarana pelayanan kesehatan non-rumah sakit, wajib disimpan sekurang-kurangnya dalam jangka waktu 2 tahun sejak tanggal terakhir pasien berobat. Jika mengacu pada regulasi ini, izidok pun dapat membantu para dokter praktik mandiri mematuhi regulasi karena dengan aplikasi izidok data pasien akan tersimpan pada sistem izidok selama 3 tahun sejak rekam medis dibuat,” terang Timur.

Selain itu Izidok juga mengklaim bahwa data yang mereka simpan cukup aman karena terlindungi enkripsi sehingga data hanya bisa dibaca oleh dokter yang bersangkutan. Untuk saat ini, layanan yang mulai diresmikan April 2020 ini masih fokus untuk menjangkau dokter di seluruh Indonesia.

Kasvlo Hadir Tawarkan Solusi Manajemen Keuangan untuk UKM

Badai pandemi belum selesai menghantam sektor UKM di Indonesia. Di tengah situasi krisis ini, Unzyp Software sebuah pengembang SaaS mencoba menawarkan solusi untuk bantu para pebisnis. Bekerja sama dengan Tech Data, pengembang software asal Malaysia, Unzyp meluncurkan aplikasi Kasvlo, buat bantu manajemen keuangan UKM.

CEO Unzyp Software Untag Pranata mengatakan, banyaknya keluhan akan data para pelaku bisnis yang tidak tersimpan di cloud sehingga menyebabkan hilangnya data saat restorasi smartphone, menjadi salah satu yang mendorong timnya untuk merampungkan layanan ini.

Solusi bisnis untuk UKM

Kasvlo menawarkan tiga solusi bisnis, yaitu fitur pencatatan pengeluaran dan pemasukan keuangan, fitur hutang piutang, dan pembuatan laporan secara otomatis. Dengan biaya berlangganan per bulan/tahun, semua data pelanggan akan tersimpan di cloud dan bisa diakses kapan saja melalui aplikasi.

Ketika disinggung mengenai ketersediaan layanan mereka di area dengan koneksi terbatas, Untag menyebutkan bahwa pihaknya juga mengembangkan fitur “db sync”, memungkinkan data tetap tersimpan secara offline di perangkat dan online di server. Nantinya, apabila pengguna tidak memiliki akses internet, data akan tetap tersimpan, lalu ketika koneksi sudah tersambung akan secara otomatis tersinkronisasi.

Saat ini, aplikasi Kasvlo sudah tersedia di platform Android dan iOS.

Strategi dan model bisnis

Kasvlo sendiri saat ini masih mengandalkan self-funding dalam menjalankan bisnis mereka. Hal ini juga terkait bisnis mereka yang tidak hanya bergerak di bidang SaaS, namun juga sebagai software house yang menyediakan perangkat lunak untuk korporasi

“Dari situlah kami menemukan sebuah pola dari banyaknya permintaan yang sebetulnya sama, maka itu kami berani berinvestasi untuk membangun Unzyp Cloud yang kiranya dapat membantu UMKM,” jelas Untag.

Selain itu, Unzyp Cloud tidak hanya memiliki Kasvlo saja tetapi juga memiliki banyak solusi lainnya seperti Aksesa yaitu software password management, dan juga Billing On untuk sistem penagihan otomatis. Rencananya, akan ada sekitar 9 produk baru untuk selanjutnya diluncurkan.

“Kami harapkan dengan adanya solusi dari kami, dapat membantu UMKM di Indonesia menjadi lebih produktif dan efektif,” tambahnya.

Faktanya, UMKM menjadi penyumbang 60% Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Hal ini diduga menjadi pemicu banyaknya layanan teknologi bermunculan untuk ikut menunjang bisnis UKM. Baik dari sisi penjualan, distribusi, manajemen keuangan, juga pencarian talenta.

Sementara, sebenarnya layanan SaaS serupa untuk UKM di Indonesia pilihannya sudah sangat banyak. DailySocial pernah memetakannya dalam “Daftar Layanan-Layanan Pendukung Pengembangan Bisnis UKM“.

Application Information Will Show Up Here

Tera Logistics Jembatani Eksportir dan Importir Temukan Perusahaan Logistik yang Tepat

Berawal dari adanya kesulitan bagi para eksportir dan importir baru untuk menemukan perusahaan logistik yang tepat sesuai dengan jenis kargo dan destinasi barang yang dituju, menjadi alasan yang membuat Handoyo, Iman, dan Leonardus mendirikan platform Tera Logistics.

“Kami bertiga merupakan satu alumni kampus Prasetiya Mulya. Setiap dari pendiri memiliki pengalaman dalam ekspor impor barang dari luar negeri dan mengalami kesulitan dalam menemukan perusahaan logistik yang kredibel,”kata Co-Founder CEO Tera Logistics Handoyo Prasutiyo kepada DailySocial.

Ia menambahkan, setiap perusahaan logistik memiliki spesialisasi dalam menangani jenis kargo dan destinasi negara tertentu. Melalui platform Tera Logistics maka para eksportir dan importir dapat mengklasifikasi perusahaan logistik dalam hitungan menit.

Hingga kini Tera telah memiliki 7 ribu pengguna per bulan dan jumlah mitra terdaftar lebih dari 680 freight forwarder, 58 warehouse provider, dan 30 trucking company. Saat ini sebagian besar pengguna lokal yang menggunakan platform Tera berasal dari Jabodetabek, namun terdapat juga beberapa pengguna dari negara lain seperti Singapura, Saudi Arabia, Tiongkok, Amerika, dan berbagai negara lainnya.

“Saat ini Tera Logistics masih melakukan bootstrap (pendanaan dari internal) selama dua setengah tahun dan tidak menutup kemungkinan bahwa Tera akan mengajukan pendanaan dari luar ke depannya,”kata Handoyo.

Fitur unggulan

Secara keseluruhan Tera Logistics memiliki dua fitur unggulan yang bisa dimanfaatkan oleh pengguna. Adalah Quotation Bidding yang memudahkan para pengguna untuk memperoleh harga terbaik dari perusahaan logistik.

Para pengguna hanya cukup untuk memasukkan informasi terkait jenis kegiatan serta tanggal ekspor/impor yang ingin dilakukan, mode transportasi, serta jenis kargo beserta dengan volume dan tonase. Kemudian informasi tersebut akan di forward kepada perusahaan logistik terdaftar untuk diberikan penawaran harga. Dengan demikian para pengguna dapat membandingkan berbagai penawaran harga dari berbagai perusahaan logistik.

Kedua ada fitur Logistics Marketplace, memudahkan para pengguna untuk melakukan penyaringan perusahaan logistik secara langsung berdasarkan lokasi perusahaan, jenis kargo yang bisa ditangani, jenis jasa yang ditawarkan, serta tujuan pengiriman. Saat ini terdapat 3 jenis marketplace pada platform Tera yakni untuk freight forwarder, warehouse provider, dan trucking company.

“Untuk monetisasi kami menerapkan subscription fee yang dibayarkan setiap bulan. Terdapat tiga jenis paket yang ditawarkan yaitu free, premium, dan enterprise. Adapun perbedaan dari masing-masing paket adalah adanya validasi legalitas bisnis dan jumlah minimum visitor yang mengakses company profile perusahaan logistik tersebut per bulan,” kata Handoyo.

Proses monetisasi yang mereka terapkan menjadi salah satu perbedaan dengan pemain lainnya. Saat ini sebagian besar platform lain mengambil keuntungan dari komisi, sedangkan Tera mengambil keuntungan dari subscription.

Selain itu perusahaan juga memiliki fitur Data Sharing, memungkinkan para mitra untuk menampilkan brand masing-masing perusahaan serta informasi perusahaan tersebut.

“Hal ini dilakukan agar para pengguna bisa berinteraksi dan melakukan transaksi secara langsung. Sedangkan pada platform kompetitor logistik lainnya mereka menutupi informasi para mitra sehingga seluruh transaksi hanya melalui platform tersebut,” kata Handoyo.