TELMI: Langkah Awal Yang Baik Untuk Industri Musik, Tapi…

Minggu lalu, di IESE, Badan Ekonomi Kreatif meluncurkan platform Telinga Musik Indonesia, disingkat TELMI. Dari yang bisa saya baca dari liputan yang ada di media, pada dasarnya platform TELMI ini terdiri dari dua komponen:

  1. hardware, berupa sebuah kotak internet-enabled yang kelihatannya dibuat dari platform Arduino atau Raspberry Pi, yang bertugas merekam lagu yang sedang dimainkan di sekitarnya dan mengirimkan ke aplikasi TELMI
  2. software aplikasi TELMI, berupa web-based application yang bertugas untuk menerima rekaman lagi dari hardware TELMI, mengenali lagunya apa, dan merekam ke dalam database.

Secara hukum (menurut UU Hak Cipta No. 28 tahun 2014), pencipta lagu, produser dan artis berhak mendapatkan sebuah royalti saat lagu mereka diperdengarkan ke umum di ruang komersil seperti hotel, restoran dan kafe. Selama ini, implementasi pengumpulan royalti ini. baik berdasarkan UU no. 28 tahun 2014 ataupun UU Hak Cipta sebelumnya, masih kurang efektif, karena beberapa hal:

  • sosialisasi atas hak royalti ini ke pihak hotel, restoran dan sebagainya masih kurang luas
  • dalam pengelolaan pengumpulan royalti sebelumnya, metode-metode yang digunakan masih kurang tepat (dari cara pengumpulan royalti yang, um, agak preman, sampai formula perhitungan royalti yang tidak transparan)
  • distribusi royalti yang tidak transparan

Semangat dari UU Hak Cipta No. 28 Tahun 2014 adalah perbaikan pengumpulan royalti ini, yang sering diistilahkan public performance, dengan dibentuknya Lembaga Manajemen Kolektif Nasional, dengan para komisionernya.

Salah satu tugas LMKN ini adalah menentukan tarif besaran royalti, yang setahu saya sampai saat ini belum diputuskan secara final. Namun, perangkat hukum dan birokrasi ini memang perlu ada dahulu sebagai fondasinya.

TELMI ini sebenarnya sebuah terobosan, karena akhirnya ada jawaban dari industri teknologi terhadap kebutuhan dari industri musik. Kebanyakan perusahaan teknologi yang ada lebih mencari peruntungan dengan menawarkan sesuatu langsung ke konsumen, yang pada akhirnya berkisar pada layanan musik download maupun streaming, dan perusahaan teknologi yang melakukan sesuatu yang lain masih sangat sedikit; mungkin karena ketidaktahuan komunitas teknologi mengenai masalah dan kesempatan dalam industri musik (bukan salah mereka, karena industri musik sendiri terkadang lupa akan berbagai kesempatan lain dalam industrinya sendiri).

Tapi kok…

Masalah pertama

Saya melihat diagram dari artikel ini (yang entah dari mana dapatnya, mungkin dibuat sendiri) dan seperti ada yang kurang.

bagan alir cara kerja TELMI
bagan alir cara kerja TELMI

Kotak TELMI diletakkan di sumber musik, yang akan merekam lagu, mengirimkannya ke aplikasi TELMI, yang dengan teknologi song fingerprinting seperti yang dimiliki Shazam, akan mengenali lagu tersebut dan memasukkannya dalam laporan. Laporan ini kemudian dapat diakses oleh pencipta lagu, produser, komposer dan musisi. Laporan ya, bukan uang. TELMI tidak mengumpulkan uang dan lebih berupa teknologi pengawasan/monitoring.

Yang melakukan pengumpulan uang dari pengguna musik seperti hotel, restoran dan sebagainya? Para Lembaga Manajemen Kolektif, sesuai persetujuan dari LMKN.

Dari liputan para media pun, Kepala Bekraf Triawan Munaf pun mengatakan bahwa TELMI itu untuk memberikan gambaran royalti yang bisa didapat oleh para musisi. Ya ini hanya satu langkah dari beberapa langkah yang perlu dilakukan, termasuk berkoordinasi dengan LMKN dan para LMK.

Siapa yang akan melakukan koordinasi? Apakah LMK melakukan pengumpulan laporan secara independen? Kalau ada perbedaan laporan gimana?

Masalah kedua

Ini bukan pertama kali pengawasan pemerintah berupa kotak berisi elektronik diletakkan dalam ruang-ruang komersil — pengawasan pajak sudah melakukan ini dengan memasang kotak yang mencatat transaksi pada kasir. Sebuah kotak berisi elektronik, yang tetap membutuhkan listrik, dan tetap membutuhkan sang pemilik usaha untuk menyalakannya dan memastikan kotak tetap nyala.

Bukan tidak mungkin, tapi tetap memerlukan perangkat pengawasan lain berupa hukuman dan insentif. Ini sudah ada atau belum? Dan di bawah wewenang siapa?

Masalah ketiga

TELMI beroperasi dengan mendengarkan lagu yang diputar. Nah, di ruang komersil seperti cafe atau restoran, ada yang menyetel lagu dari CD/MP3/file digital, ada pula dari live music. Apakah penerapan teknologi listening dan song fingerprinting ini akan selalu tepat guna?

perangkat Telmi / Liputan 6 - Dewi Widya Ningrum
perangkat Telmi / Liputan 6 – Dewi Widya Ningrum

Ada beberapa perusahaan di luar negeri yang melakukan sesuatu yang jauh lebih praktis untuk pemilik usaha: pengelolaan playlist lagu dan streaming dengan alat khusus, langsung ke sound system para pemilik usaha. Pencatatan lagu dapat lebih akurat (nggak perlu pakai song fingerprinting, wong lagunya dari server), pemilik usaha juga mendapatkan sebuah layanan yang mempermudah dan memperkuat usaha mereka, bukan cuma “dipalak” karena nyetel lagu. Mungkin gabungan teknologinya TELMI dan layanan streaming khusus bisnis ini bisa lebih cocok?

Masalah keempat

Song fingerprinting sangat tergantung database lagu yang lengkap, dari data fingerprint itu sendiri, sampai informasi seperti judul lagu, nama artis, pencipta lagu, publisher, dan seterusnya. Apakah database seperti ini sudah ada? Belum ada yang komprehensif.

Rasanya ini lebih mendesak untuk dibangun, dan lebih dekat pada kepentingan nasional (bukan saja kepentingan industri, tapi juga sebagai rekam budaya, misalnya). Informasi seperti ini malah lebih fokus dikumpulkan oleh layanan streaming/download, ataupun lembaga seperti Irama Nusantara. Rasanya ini lebih penting pada fondasi tadi, ketimbang memikirkan end user applications.

Masalah kelima

Yang membuat TELMI canggih, menurut saya, adalah song fingerprinting. Tapi menurut saya, ada kegunaan yang lebih cocok, yaitu media monitoring. Pasangkan aplikasi TELMI dengan seluruh siaran radio terestrial maupun online, sehingga kita benar-benar tahu lagu apa sedang disetel di radio mana dan kapan. Top 10 yang resmi dan datanya dapat dipertanggungjawabkan. Data ini berguna untuk pendengar musik, pelaku industri musik, brand maupun perusahaan riset. Teknologi yang sama juga dapat digunakan untuk media monitoring iklan — berapa kali sebuah iklan radio (atau TV) tayang? Jual data ini ke perusahaan riset atau langsung ke brand. Jadi satu startup deh.

Memang, menjadi komentator sesuatu yang sudah jadi memang sangat mudah. Ah kurang ini, harusnya seperti itu, dan setelah itu puas karena sudah merasa lebih pintar ketimbang yang membuat. Di zaman penuh teknologi ini, terkadang masalah dan kekurangan pada sebuah produk teknologi baru jelas terlihat saat sudah dibuat dan dilempar ke pasar.

Ide — dan komentar — itu murah dan mudah didapat. Membuat sesuatu, apalagi punya nilai guna yang baik ke orang lain, itu yang susah. Berkarya tak mudah dan tak akan luput dari kritisi. Saya nggak mau sok lebih pintar, karena belum tentu juga saya bisa mengerjakan ini sendiri. Demi industri musik yang lebih luas, kompeten, berkesinambungan, interconnected, dan transparan.


Disclosure: Artikel ini pertama kali terbit di Medium dan dipublikasi ulang atas izin penulis, Ario Tamat.

Ario adalah co-founder Ohdio, layanan streaming musik Indonesia. Ia bisa dikontak melalui Twitter di @barijoe atau di blog-nya di http://barijoe.wordpress.com.

Industri E-Commerce Berikan Solusi Industri Musik Lewat Perangkat Internet of Things Telmi

Jum’at (29/4) perhelatan akbar Indonesia E-commerce Summit & Expo (IESE) 2016 yang digelar Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) memasuki hari ketiga. Bersamaan dengan itu, Bekraf meresmikan peluncuran perangkat Internet of Things Telmi yang bekerja sama dengan Lembaga Manajemen Kreatif Nasional (LMKN) dan Lembaga Manajemen Kolektif (LMK). Pada dasarnya, Telmi dapat menjadi media untuk mengakomodir hak ekonomi berupa royalti bagi musisi Indonesia.

Perangkat IoT Telmi

Kepala Bekraf Triawan Munaf dalam peresmian Telmi

Tak ada yang memungkiri, pertumbuhan industri digital yang pesat telah membuka pintu peluang baru bagi tiap sektor bisnis konvensional dan yang paling disorot adalah e-commerce. Sektor musik pun mendapat kesempatan yang sama, lewat hak royalti. Bila dahulu royalti didapat dari penjualan kaset atau CD, kini hal tersebut coba digali lebih jauh memanfaatkan perangkat IoT bernama Telmi yang diluncurkan oleh Bekraf pada gelaran IESE 2016 di hari ketiga.

Telmi sendiri dikembangkan sekelompok praktisi teknologi yang terdorong untuk memajukan industri musik Indonesia. Di gelaran IESE 2016, Telmi yang dikembangkan secara open source secara resmi diserahkan kepada Bekraf. Selanjutnya, Bekraf sendiri memfasilitasi LMKN dan LMK untuk menyedikan perangkat Telmi dan SDM yang diperlukan.

Dalam hal ini, LMKN juga berwenang menyusun regulasi, menentukan besar dan pembagian royalty, sosialisasi Telmi, hingga penerapan dan pengawasan Telmi. Sedangkan LMK dapat memungut royalty dari yang memutar musik.

“Ini adalah satu usaha untuk tingkatkan kesejahteraan para pencipta lagu. Selama ini para pemilik hak terkait karya musik  tidak terapresiasi dengan benar karena tidak ada alat ukur bila musiknya dimainkan. […] Nama atau brand sistem ini adalaah Telmi. Telinga musik indonesia. Ini adalah sebuah platform IOT,” ujar Kepala Bekraf Triawan Munaf.

Pada dasarnya, Telmi berbentuk sebuah box yang dapat mendeteksi musik yang dimainkan oleh pengguna venue yang memasangnya secara real time tiap 10 detik. Musik tersebut akan tercatat di server dan dari sana royalti bisa diurus lebih jauh. Telmi rencanaya akan dipasang di tempat-tempat umum seperti kafe, mall, dan coffee shop.

Membentuk 1000 technopreneur dan membangun industri e-commerce yang bisa dipercaya

Menteri Pendidikan Anies Baswedan di IESE 2016 / Dailysocial
Menteri Pendidikan Anies Baswedan di IESE 2016

Era digital yang berkembang pesat membuat pemerintah bergerak untuk mengjar ketertinggalan Indonesia dari negara-negara maju. Inisiatif ambisius untuk melahirkan 1000 technopreneur yang mendirikan startup pun lahir. Dan untuk mewujudkan hal tersbut bukan perkara mudah, karena tidak bisa mengandalkan program-program seperti hackathon saja.

CEO Bubu Shinta Danuwardoyo yang hadir sebagai pembicara mengatakan, “Tantangan terbesar adalah mendapatkan orang-orang berbakat khususnya developer. Sulit bagi kita [Indonesia], […] karena sebagian besar orang-orang terampil di inodnesia itu outsource. Pada waktu yang bersamaan, kita perlu dapat dukungan dari berbagai lembaga pemerintah, univesitas, wirausahawan berpengalanan, dalam bidang ini.”

Pada akhirnya, untuk menciptakan 1000 technopreneur yang dibutuhkan adalah aksi yang didukung oleh sistem, infrastruktur, dan ekosistem yang baik. Dari sisi entrepreneur sendiri, butuh passion yang lebih dari cukup untuk berani mengeksekusi mimpinya menjadi nyata.

Managing Partner Kejora Andy Zain mengatakan, “Get involved, karena top 20 orang terkaya di Amerika saat ini, enam darinya dari sektor teknologi. […] Indonesia belum, masih menunggu Anda.”

Tokopedia dengan William Tanuwijaya adalah salah satu dari sekian banyak role model lokal technopreneur yang sukses dan ingin diciptakan lebih banyak lagi oleh Indonesia lewat program 1000 startup. William sendiri yang hadir dalam gelaran IESE 2016 hari ketiga memberikan pesan bahwa saat ini adalah waktu yang tepat terlibat dalam industri digital, dan sudah waktunya Indonesia menjadi Komodo di negeri sendiri layaknya Alibaba yang diibaratkan sebagai Buaya di sungai Yang Tze oleh Jack Ma.

Bagi William, membangun sebuah platform e-commerce adalah membangun sebuah kepercayaan. Bila kepercayaan yang harus dibangun, faktor-faktor seperti dukungan infrastruktur untuk kemudahan dan kecepatan akses hingga faktor keamaman adalah elemen yang harus dipertimbangkan.

“Security sangat penting dan harus kita sadari sebagai pelaku e-commerce. Kita lakukan praktik terbaik seperti  tiga lapis keamanan, data, infrasturktur dan aplikasi. […] Semua orang harus menyadari keamanan sangat penting, tapi bukan berarti memperlambat pertumbuhan ekonomi,” ujar CEO Matahari Mall Hadi Wenas yang turut hadir sebagai pembicara IESE 2016.

Industri e-commerce yang tengah menggeliat seksi ini pun diminta untuk fokus mengembangkan sektor UKM. Tak ada yang memungkiri, UKM sudah menjadi tulang punggung ekonomi bagi Indonesia. Pendiri Nurbaya Initiative Andi Sjarif percaya bila UKM Indonesia menggunakan teknologi maka mereka bisa menumbuhkan bisnisnya dua kali lipat lebih baik.

Sementara itu, Menteri Pendidikan Anies Baswedan yang turut hadir di IESE 2016 menjelaskan bahwa untuk melahirkan entrepreneur di Indonesia saat ini harus dimulai dari mindset. Ada perubahan yang dibutuhkan Indonesia dari hulu ke hilir terkait pendidikan untuk menumbuhkan karakter yang baik.

Anies mengatakan, “Kami ingin agar kampanye tentang pendidikan tak berhenti di sekolah, tetapi muncul di rumah-rumah kita [warga Indonesia]. Karena pendidik terpenting dan pertama adalah orang tua. Parent is the most imporant educators. […] Kampanye paling masif adalah harus menjangkau orang tua. Bukan ajarkan mereka mendidik, tetapi ber-partner dan ajak mereka belajar. Ga ada rumus parenting, tapi saling belajar di antaranya.”

Di hari terakhir perhelatan terbesar untuk e-commerce yang digelar oleh idEA ini, turut hadir juga CEO GDP Venture Martin Hartono, Head of SMB Facebook SEA Nadia Tan, CEO Go-Jek Nadiem Makarim, Managing Director Intel Indonesia Harry K. Nugraha, Asisten Deputi Peningkatan Daya Saing Koperasi dan UMKM Yulius, dan pembicara-pembicara lain yang telah malang melintang di industri terkait.

Melalui perhelatan IESE 2016 ini diharapkan ada masukan bagi pemerintah dan juga pelaku industri terkait untuk mendorong industri e-commerce ke tingkat selanjutnya. Juga, masukan untuk membuat peta jalan e-commerce Indonesia lebih baik lagi.

Kerja Sama Bekraf dan Bukalapak Maksimalkan Potensi UKM Kreatif Nasional

Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) dan Bukalapak meresmikan kerja sama dalam komitmen memajukan pelaku ekonomi kreatif agar dapat bersaing di Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) melalui pendekatan digital. Secara seremonial, nota kesepahaman ditandatangani Kepala Bekraf Triawan Munaf dan CEO Bukalapak Achmad Zaky dalam rangkaian acara bertajuk “Kampanye Pahlawan Pelapak” di kantor Bukalapak.

Melalui kerja sama ini, Bukalapak dan Bekraf berkomitmen untuk melakukan pendampingan pemasaran online, fasilitasi hak cipta, dukungan finansial, pengembangan talenta serta pembinaan pengembangan produk kreatif bagi para pelaku ekonomi kreatif di seluruh Indonesia.

Dalam sambutannya, Triawan menyampaikan pandangan seputar kerja sama ini:

“Bekraf menyambut baik kerja sama yang akan kami lakukan dengan Bukalapak. Bukalapak memiliki misi untuk bersama-sama memajukan para pelaku ekonomi kreatif di Indonesia. Selain itu, dari 16 sub-sektor industri kreatif yang menjadi tugas pokok kami, tujuh di antaranya seperti fashion, kuliner, kerajinan, musik, desain komunikasi visual, aplikasi dan pengembangan game, hingga seni rupa dapat kita kembangkan melalui kerja sama dengan Bukalapak, Lebih lanjut kita juga dapat memfasilitasi para pelaku ekonomi kreatif ini agar dapat terus terkoneksi, terhubung dan bersaing di MEA melalui aplikasi Bukalapak.”

Para pelaku usaha di sektor kreatif disebut-sebut menjadi bagian penting dari jantung penggerak perekonomian Indonesia. Mereka memberikan kontribusi serta andil bagi badan usaha dan penyerapan tenaga kerja nasional. Melalui platform online marketplace Bukalapak, akan disinergikan sebuah program untuk mendorong para pelaku usaha mikro (UKM) guna memperluas pangsa pasar.

Para pelaku ekonomi kreatif dari Sabang sampai Merauke memiliki potensi yang sangat besar. Untuk membantu kelangsungan usaha dan persaingan di MEA, para pelaku usaha harus tetap terhubung dan terdukung.

Dalam sambutannya Zaky menyampaikan:

“Kami percaya bahwa ekonomi kreatif, termasuk di dalamnya para Pelapak di Bukalapak, adalah penggerak dalam industri perdagangan tanah air. Dengan usaha pemerintah untuk memberikan dukungan bagi para pelaku ekonomi kreatif, kami ingin turut berkontribusi untuk membantu pemasaran melalui pemanfaatan platform digital. Melalui kerja sama kami dengan Bekraf, kami berkomitmen untuk mengajak dan membantu 100.000 pelaku ekonomi kreatif untuk go online.”

Triawan menambahkan bahwa platform e-commerce secara luas adalah keniscayaan untuk meningkatkan pasar produk ekonomi kreatif Indonesia, baik untuk pasar nasional maupun internasional.

IDA, Bekraf, dan Baidu Rilis Studi Konsumsi Media Online di Indonesia

Indonesian Digital Association (IDA), Baidu, dan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) hari ini meluncurkan riset “Studi Konsumsi Media Online” di kantor Kaskus Jakarta. Acara yang turut dihadiri oleh Ketua IDA Edi Taslim, Kepala Bekraf Triawan Munaf, dan Country Director Baidu Bao Jianlei mengupas semua tren serta tingkat konsumsi berita melalui smartphone yang ternyata merupakan perangkat tertinggi di perkotaan Indonesia.

“Saat ini masih kurang riset yang dikeluarkan terkait dengan konsumsi media terhadap pemberitaan secara online, tentunya dengan diluncurkannya hasil studi ini dapat membantu angoota IDA secara khsusus dalam hal memberikan konten yang menarik dan bermanfaat untuk publik,” kata Edi.

Sementara itu Bekraf menyambut baik adanya riset yang dikeluarkan khusus untuk memantau aktifitas yang terjadi oleh konsumen terkait pemberitaan di smartphone, dengan demikian Bekraf selaku lembaga yang menaungi banyak insan periklanan dan lainnya dapat menerapkan hasil riset ini dengan baik dan tentunya tepat sasaran.

“Kami mengajak para kreator untuk terus berkreasi dan pintar dalam memanfaatkan teknologi. Hal ini sejalan dengan rencana pemerintah menjadikan Indonesia sebagai kekuatan baru ekonomi digital di Asia,” kata Triawan Munaf.

Indonesia sebagai negara di Asia Tenggara yang dikenal sebagai Mobile-First Country, memiliki kebiasaan yang cukup unik dan tentunya berbeda dengan negara lainnya di Asia Tenggara. GfK selaku perusahaan market research terkemuka di Indonesia, melakukan riset di 5 kota besar di Indonesia yaitu Jakarta, Bodetabek, Surabaya, Bandung dan Semarang di penghujung tahun 2015 dan mencakup 1521 panelis serta 775 responden yang dilakukan wawancara langsung.

Mengupas potensi media dan pemasaran berdasarkan panel digital media

Keberadaan smartphone saat ini sudah banyak merubah kebiasaan masyarakat memanfaatkan informasi, mengkonsumsi barang dan lainnya. Semua hal tersebut biasa dilakukan secara multitask oleh sebagian besar pengguna smartphone di Indonesia.

Dengan makin banyaknya konten yang ada di dunia digital saat ini, tentunya menjadikan tantangan untuk advertiser dan agency untuk menilai konten seperti apa yang sesuai, dimana lokasi, device apa yang ingin ditarget dan masih banyak lagi. Itulah perubahan yang dihasilkan berdasarkan makin maraknya konten digital saat ini.

Dalam hal ini, GfK melakukan pendekatan dengan cara multi approach untuk mendapatkan hasil studi yang relevan. Riset dikategorikan dalam 3 bagian, yaitu device behaviour, media behaviour (TV, radio, print, majalah) dan other data set (purchase data, demographic, lifestyle data)

Hasil studi menghasilkan bahwa pembaca berita online cenderung didominasi oleh kelompok usia 33-42 tahun dan lebih banyak dari kalangan pria daripada wanita. 60% di antaranya membaca berita secara rutin tiap minggu sementara 24% lainnya membaca berita setiap hari. Dari segi status sosial ekonomi lebih banyak didominasi oleh SES A dan B.

Konten yang paling banyak dibaca di smartphone di antaranya adalah berita hiburan, musik, dan film, disusul dengan isu sosial masing-masing mencapai 73% dan 70%. Sementara itu Detik merupakan portal berita favorit yang dipilih oleh responden disusul dengan BABE. Yang perlu diperhatikan oleh media online yang ada, terkait dengan pembuatan konten idealnya adalah buatlah konten yang bisa disesuaikan dengan target pasar yang ada, mulai dari kalangan millenial, pekerja hingga orang tua.

Sementara itu pembaca Indonesia lebih menyukai berkunjung ke situs yang menyuguhkan berbagai tipe konten sebanyak 83% dan sebanyak 17% lebih memilih untuk membaca di situs yang spesifik membahas kategori konten tertentu. Hal ini juga berhubungan dengan lanskap pemain lokal yang pada umumnya memang lebih banyak didominasi oleh situs berita umum. Sebagian besar responden menemukan berita melalui mesin pencari dengan persentase 31%, kanal di situs 28%, dan melalui media sosial sebanyak 24%, sementara hanya 10% saja yang langsung membuka dari halaman muka situs.

Snapchat, BBM, OLX, dan GO-JEK aplikasi favorit

GfK juga mencatat durasi pemakaian smartphone setiap harinya rata-rata sebanyak 5,5 jam, dan sebanyak 44 kali aplikasi dibuka oleh pengguna setiap harinya. Untuk platform chat messaging BBM dan WhatsApp masih mendominasi dan merupakan chat platform favorit di Indonesia. Sementara untuk media sosial, Facebook mengalami jumlah penurunan dan kenaikan yang kerap berubah sementara Instagram terus merangkak naik, mulai dari jumlah pengguna hingga engagement.

Untuk platform mobile, Android di Indonesia masih mendominasi dengan besar persentase 96%. Untuk aplikasi yang paling banyak diunduh oleh pengguna dalam smartphone adalah games/permainan, disusul dengan chat/messaging dan tentunya media sosial. Clash of Titans merupakan games paling banyak diunduh, Snapchat merupakan layanan pesan foto yang paling digemari, OLX menjadi aplikasi terkait e-commerce yang paling populer, dan GO-JEK merupakan aplikasi transportasi yang paling banyak diunduh oleh pengguna Android di Indonesia.

Yang menarik dalam hasil studi tersebut turut dibahas consumer behavior mengenai alasan konsumen mengunduh aplikasi, menghapus dan menjadikan aplikasi tersebut useful dan useless.

Secara keseluruhan hasil riset terbilang cukup lengkap dan tentunya rekevan dengan industri terkait, namun demikian hasil studi yang diluncurkan oleh IDA, Bekraf dan Baidu ini belum bisa dikonsumsi untuk publik dan hanya untuk kalangan terbatas. Seperti yang dijanjikan oleh Baidu, dalam waktu dekat Baidu juga akan merilis hasil studi penggunaan aplikasi mobile di Indonesia.

“Baidu sepenuhnya mendukung pengembangan ekosistem digital di Indonesia, pengadaan riset menjadi penting karena industri digital perlu didukung data industri untuk bisa berkembang. Kami berharap riset ini menjadi salah satu acuan bagi pemain digital di Indonesia dan mempelajari kebiasaan netizen di Indonesia,” ungkap Country Director Baidu Bao Jianlei.

Social Media Week Jakarta 2016 Sukses Digelar

Pagelaran Social Media Week Jakarta 2016 selesai digelar pada Minggu lalu. Antusiasme dari berbagai kalangan terlihat jelas dari terborongnya tiket di setiap sesi yang disediakan panitia. Mengangkat tema besar “The Invisible Hand: Hidden Force of Technology”, menjadi daya tarik tersendiri bagi orang-orang yang concern di dunia IT dan media sosial untuk mengetahui update terkini dari teknologi dunia.

Saat ditemui DailySocial di sela-sela sesi Minggu lalu, Chairman Social Media Week Jakarta Antonny Liem mengatakan:

“SMW yang ada saat ini sudah tidak lagi hanya tentang media sosial, tapi sudah menampilkan berbagai aspek tentang teknologi, media sosial menjadi salah satu bagian di dalamnya. Dalam satu minggu orang dari berbagai kalangan berkumpul mengikuti berbagai sesi untuk berdiskusi dan membicarakan tentang teknologi.”

Antonny juga menyampaikan bahwa acara yang dilakukan tahun ini merupakan tindak lanjut SMW Jakarta yang diadakan tahun lalu, yang merupakan pertama kalinya SMW dibawa ke Indonesia. Animo yang cukup tinggi pada batch pertama menantang penyelenggara untuk menyukseskan kembali SMW Jakarta untuk kali kedua.

Tema SMW tahun ini secara global ingin mencoba melihat lebih dekat berbagai teknologi yang saat ini sudah kian melekat di aspek kehidupan. Seperti disampaikan oleh Kepala Bekraf Triawan Munaf dalam sesi keynote-nya, bahwa saat ini hidden technology berada dalam dua kelompok besar, good force dan bad force.

Event SMW membawakan banyak case study dan insight untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa sisi bad force tersebut tidak mungkin dihilangkan, kecuali dengan memperbanyak sisi good force yang ada.

Rama Mamuaya dalam sesi keynote SMW Jakarta membahas tentang lanskap bisnis teknologi Indonesia

Banyak hal memang yang mencoba dikuak dalam SMW Jakarta kali ini. Salah satunya disampaikan CEO DailySocial Rama Mamuaya tentang lanskap bisnis teknologi di Indonesia. Rama menyampaikan banyak hal seputar tren startup di tahun 2015, mulai dari ulasan produk on-demand, pendanaan, hingga bisnis fintech yang mulai menjadi perbincangan hangat dewasa ini.

Sebagai salah satu pemateri keynote, Rama menyampaikan testimoninya untuk acara SMW di tahun ini:

“Di tahun kedua ini, SMW telah membuktikan diri menjadi event yang wajib dihadiri untuk semua insan digital di Indonesia, terutama marketer, startup dan siapa pun yang ingin mengetahui lebih lanjut mengenai dunia digital di Indonesia.”

Social Media Week masih akan bergulir di berbagai belahan dunia yang lain. Melihat antusias masyarakat di Indonesia yang begitu bersemangat, sangat dimungkinkan untuk putaran berikutnya SMW akan hadir kembali di Jakarta, dengan tema bahasan yang lebih segar, sesuai tren yang sedang menjadi perbincangan hangat di kancah teknologi global.


Disclosure: DailySocial adalah media partner Social Media Week Jakarta 2016

Badan Ekonomi Kreatif Luncurkan Aplikasi Mobile BIIMA

Badan Ekonomi Kreatif, atau yang lebih dikenal dengan Bekraf, kembali menunjukan keseriusannya perihal hak kekayaan intelektual dan hal semacamnya. Untuk lebih mengedukasi masyarakat, Bekraf baru-baru ini meluncurkan aplikasi mobile yang berisi panduan atau informasi mengenai hak cipta. Mulai informasi dasar hingga ketentuan atau persyaratan untuk mengurus perizinannya.

Aplikasi ini dinamakan BIIMA (BEKRAF’s IPR Info in Mobile Apps). Dalam informasi singkatnya aplikasi ini disiapkan Bekraf untuk menyajikan informasi mengenai hak kekayaan intelektual secara lebih praktis dan bisa diakses dari mana saja. Dengan tujuan untuk membantu masyarakat umum dan pelaku ekonomi kreatif dalam memahami perlindungan hak kekayaan intelektual bagi produk-produk ekonomi kreatif yang mereka hasilkan.

“Aplikasi BIIMA dikembangkan untuk mendukung kerja kreatif kita semua dalam konteks Hak Kekayaan Intelektual yang perolehannya dapat meningkatkan nilai ekonomis sebuah produk kreatif,” kata Kepala Bekraf Triawan Munaf dalam rilis pers yang kami terima.

Aplikasi Bekraf ini dikemas secara sederhana. Didominasi warna hitam dengan huruf logo huruf “B” di tengah aplikasi ini memajang tiga menu di halaman utamanya. Menu “Apa karya Anda?”, menu “Sentra Informasi”, dan menu “layanan bantuan”.

Screenshot_2016-02-24-13-42-53

Di menu pertama, pengguna bisa mencari informasi mengenai hak kekayaan intelektual berdasarkan kategori, seperti, suara, gambar atau foto, gambar bergerak, tarian, fashion, tulisan, kriya atau seni, kuliner, hingga teknologi atau perangkat lunak. Jika salah satu kategori dipilih pengguna akan dihadapkan dengan sub kategori yang detail yang akan memberikan pengguna informasi detil tentang sub kategori. Lengkap dengan biaya pemohonan.

Untuk menu kedua, pengguna disuguhkan informasi mengenai merek, paten, hak cipta, desain industry, tata letak sirkuit terpadu, dan rahasia dagang. Informasinya pun disajikan padat dan jelas. Termasuk biaya, baik pemohon baru atau perpanjangan.

Di menu ketiga, ada sub menu mengenai informasi aplikasi, informasi surel dan kantor bekraf, dan juga daftar pertanyaan umum mengenai hak kekayaan intelektual.

“Semoga aplikasi info HKI yang diluncurkan hari ini dapat membantu masyarakat untuk lebih memahami perlindungan hak kekayaan intelektual atas karya-karyanya,” tambah Deputi Fasilitasi HKI dan Regulasi Ari Juliano Gemma.

Aplikasi ini menurut kami bermanfaat, meskipun tidak ada fungsi aplikasi lain di luar sekedar informasi. Jika boleh berandai-andai, sebaiknya BIIMA memungkinkan hadirnya menu registrasi atau pengajuan HKI via aplikasi sebagai hal yang utama. Saat ini aplikasi BIIMA bisa diunduh melalui Google Play.

Application Information Will Show Up Here

Standar Pengukuran Online Audience Iklan Digital Nasional Segera Ditetapkan

Guna mengakselerasi pertubuhan belanja iklan digital di Indonesia, lima asosiasi periklanan bergabung untuk menentukan standar pengukuran online audience. Lima asosiasi tersebut terdiri dari Association of Asia Pacific Advertising Media (AAPAM), Asosiasi Perusahaan Pengiklan Indonesia (APPINA), Indonesian Digital Association (IDA), Indonesian E-Commerce Association (idEA), dan Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I).

Bersama dengan inisiatif ini, kelima asosiasi telah membentuk sebuah Komite untuk melaksanakan evaluasi secara komprehensif dari beberapa perusahaan penyedia jasa pengukuran. Komite akan melakukan penilaian berdasarkan beberapa kriteria, seperti kelengkapan data, kemampuan pembuatan laporan, tingkat pelayanan, dan juga biaya untuk menentukan perusahaan yang paling sesuai dengan untuk lanskap industri di Indonesia.

“Saat ini kita dihadapkan dengan kompleksitas yang menghambat potensi periklanan di dunia digital. Di satu sisi, pemilik media harus berlangganan ke beberapa layanan yang tentunya cukup mahal dan membingungkan. Di sisi lainnya, pengiklan dan agensi periklanan tidak mempunyai alat ukur yang sama untuk mengevaluasi media periklanan, yang menyebabkan penolakan terhadap validitas data. Kami percaya inilah saat yang tepat untuk memulai inisiatif tersebut,” ujar Danny Oei Wirianto selaku Co-Chairman Komite yang didirikan tersebut.

Berdasarkan laporan terakhir tahun ini terkait penetrasi internet di Indonesia, saat ini persentasenya sudah mencapai 29 persen (atau lebih dari 70 juta pengguna) dan angka ini diprediksi akan terus bertambah secara signifikan melampaui Jepang dan Brasil di masa yang akan datang. Akan tetapi, pengeluaran belanja iklan di Indonesia masih didominasi oleh media konvensional seperti TV dan media cetak.

Ke depannya hal ini akan berubah seiring pemindahan anggaran iklan menyesuaikan dengan perilaku konsumen. Suatu standar pengukuran nasional akan menjadi komponen yang penting untuk meyakinkan pemasang iklan dan agensi periklanan untuk meningkatkan belanja iklan di media digital.

“Inovasi untuk meningkatkan daya saing membutuhkan dasar acuan (benchmark) yang jelas. Menyaksikan inisiatif swadaya hasil kolaborasi para pelaku bisnis digital untuk menuangkan ide menentukan online audience measurement yang akan menjadi acuan pasar Indonesia untuk tumbuh bersama, patut diapresiasi dan didukung secara penuh. Langkah awal untuk inovasi yang berkesinambungan,” ujar Kepala Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) Triawan Munaf menanggapi inisiatif tersebut di atas.

Demi Picu Semangat Creativepreneur Indonesia, Line Gelar Creative Day 2015

Digagas oleh 15 teknisi NHN Japan kurang dari lima tahun silam, Line telah tumbuh begitu pesat sehingga ia menjadi lebih dari sekedar aplikasi komunikasi instan. Ratusan pilihan stiker serta emoji membuat Line unggul dari kompetitor dan digemari konsumen biasa. Dan semenjak Sticker Shop tersedia, terbuka pulalah peluang bagi para individu kreatif untuk berkarya, memupuk reputasi, sekaligus berbisnis.

Para kreator stiker dan tim pengembang app instant messaging pelan-pelan membangun sebuah simbiosis mutualisme. Line Corporation tentu saja terus mendapatkan konten baru. Di sisi lain, para seniman diberi kesempatan untuk mengubah kreasi jadi pemasukan, serta memastikan nama mereka lebih dikenal orang. Dan pada tanggal 5 November 2015, satu event bernama Line Creative Day 2015 diadakan demi merangkul bakat-bakat desain nusantara dalam menciptakan stiker dan komik digital.

Line Creative Day 2015 06

Developer turut mengundang pemilik bisnis dan komunitas buat mengkaji creativepreneur – telah terbukti sebagai platform yang sanggup mempercepat pertumbuhan usaha. Bagi Line, ajang tersebut merupakan tanda dimulainya ‘gerakan kreatif nasional’, apalagi didukung pula oleh BEKRAF (Badan Ekonomi Kreatif). Dan di sana, mereka juga mengumumkan pemenang lomba kompetisi stiker dan komik Webtoon nasional.

Line Creative Day 2015 11

Eunjung Lee selaku senior vice president menjelaskan betapa krusialnya Creative Day buat semua pihak. Ia bisa mengakomodasi potensi seniman-seniman bertalenta, serta menunjukkan bahwa Line siap memberikan kontribusi unuk menopang gerakan kreatif. Lee tak lupa menyebutkan harapannya: membantu inisiatif pemerintah Indonesia dalam meletakkan pondasi ekonomi yang bersandar pada daya cipta.

Line Creative Day 2015 04

Kepala BEKRAF Triawan Munaf bilang, Indonesia tak hanya menyimpan potensi. Pesatnya kemajuan teknologi memicu kita menyediakan konten yang sarat dengan warisan budaya serta kearifan lokal. Unsur-unsur Indonesia telah memperoleh tempat tak tergantikan di benak para konsumen. Di presentasi, Triawan menyatakan bahwa suatu saat nanti, talenta kita tak boleh ragu untuk memproduksi karya-karya bertema global.

Line Creative Day 2015 03

“Kami sangat menghargai segala upaya yang telah dilakukan dan diinisiasi pihak Line demi mendukung perkembangan industri kreatif anak-anak bangsa melalui stiker dan Webtoon,” kata Triawan melalui press release. “Hal tersebut sejalan dengan kebijakan pemerintah sekarang yang bekerja keras mencapai target kontribusi terhadap ekonomi dan kesejahteraan berbasis kreativitas. Line menyuguhkan peluang itu seluas-luasnya.”

Line Creative Day 2015 02

Dalam Creative Day 2015, peserta dipersilakan mengikuti berbagai sesi seminar, di antaranya mencari tahu cara menjadi desainer stiker dan komik digital, dipandu langsung tim ahli dari kantor pusat Line. Selain itu, seniman-seniman kawakan juga saling berbagi pengalaman, masukan dan tips – menyajikan medium untuk mengenal satu sama lain dan menambah relasi. Pengunjung dipamerkan pula galeri berisi karya-karya para pemenang kontes, dari mulai fase sketsa hingga versi jadinya.

Line Creative Day 2015 05

Lalu siapa saja yang mememangkan lomba stiker serta komik digital? Di kategori stiker, Line Corporation memilih sepuluh juara. Daftarnya bisa Anda lihat lengkap di bawah, angka menunjukkan peringkat:

1. Junaidi LimSarita Gadis Dayak (Rp 50 juta)
2. Rizka AmaliaAnak Kos (Rp 40 juta)
3. Donny RahmanJamu Gendong Mbok De (Rp 30 juta)
4. Bob Raigen Wayang Cilik (20 juta)

Line Creative Day 2015 09

Peringkat selanjutnya masing-masing meraih Rp 10 juta:

5. Emily & ImoKulkas Indo
6. Ayu Shabrina SoewandiSyerin Saraswati
7. Hellen MoresDuwa Wang
8. Kevin HoSi Satpam Komplek
9. Mochammad Punky NoorCapit Si Sandal Jepit
10. Melvina OktaviantiSi Onjai Ondel Jalanan

Terdapat enam pemenang kompetisi Webtoon, terbagi dalam tiga peringkat.

Line Creative Day 2015 07

  1. Annisa NisfihadiMy Pre Wedding
  2. Archie the Red CatEggnoid
    ChyntiaFlawless
  3. AfitNo Homo
    Vega & SatriaNusantara Droid War
    AngelinaAlice

Line Creative Day 2015 01

Dukung UKM di Indonesia, Facebook Adakan Facebook Marketing Bootcamp

Saat ini lebih dari satu miliar orang mengunjungi Facebook Pages setiap bulannya, Pages dapat menjadi tempat yang tepat untuk membangun sebuah bisnis dan menjaga eksistensi bisnis tersebut di dunia mobile. Di Indonesia sendiri, 61% pengguna Facebook telah terhubung dengan Pages UKM. Hal inilah yang mendasari digelarnya acara Facebook Marketing Bootcamp. Selama satu hari penuh (22/09), para pelaku bisnis UKM dan komunitas lainnya diundang oleh Facebook untuk menghadiri intensive class di SMESCO Indonesia Exhibition Hall.

Continue reading Dukung UKM di Indonesia, Facebook Adakan Facebook Marketing Bootcamp

Laporan Kasus Pembajakan Sering Mangkrak, Bekraf Dirikan Satgas Pengaduan Pembajakan

Pembajakan di Indonesia begitu masif, hanya belum tertangai secara serius / Shutterstock

Salah satu hal yang kini terus diupayakan oleh Badan Ekonomi Kreatif untuk melindungi produk kreatif dalam negeri ialah meminimalisir pembajakan. Dinilai langkah persuasif yang selama ini dilakukan, dengan mengadukan ke polisi, seringkali tak berkabar. Berusaha menanggulangi hal tersebut, Bekraf menginisiasi Satuan Tugas Penanganan Pengaduan Pembajakan Karya Musik dan Film. Continue reading Laporan Kasus Pembajakan Sering Mangkrak, Bekraf Dirikan Satgas Pengaduan Pembajakan