DSConnect: Connecting Startups and Investors

About 12 unicorns with 57 centaurs in 2021 prove that Indonesia’s startup ecosystem has successfully passed its first decade. Even during the pandemic.

The tech industry has proven to generate great economic value and wealth creation globally, empowering various sectors to optimize their potential through technology. Although the list of startups with huge valuations continues to grow, the new generation of founders is still appearing with a more solid skillset and a better understanding of the industry.

DSConnect from DailySocial.id is launched to bridge between startups and investors. Using DSConnect, investors can find a list of startup founders currently fundraising with the details of the company, founders as well as the fundraising. With a click of a button, founders and interested potential investors can get an email introduction they can follow up with further meetings.

We believe that in this marketplace of founders and investors, we have to keep the quality of entities as pure as possible. So for now, we will be curating both sides: investors and fundraising founders. Details for applying as founders and investors are on the website.

We also believe that now is the right moment for DSConnect. We see rapid growth in managed funds as well as the expansion of the venture capital investment hypothesis. In addition, there is a trend among founders, serial entrepreneurs and startup leaders who also become angel investors to participate in investment rounds to early-stage startups.

DSConnect can be accessed via https://connect.dailysocial.id/, where you can register and login using your DailySocial account. The platform is completely free to access for now, as we hope to become an investment hub for early-stage startups and the investment community.

If you are a startup founder and are still fundraising, please select the “Connect to Investor” option and tell us more about your startup and the fundraising.

Meanwhile, if you are a venture capitalist or angel investor, please “Apply as Investor” and give us a little bit of information about you before we decide to admit you to the platform. We go through a tight curation process to make sure the fundraising and investors list contains awesome startups and investors worth connecting so it might take us a few days, but we’re doing it as fast as we can.

AC Ventures Menutup Dana Kelolaan Ketiga Senilai 3 Triliun Rupiah

AC Ventures (ACV) mengumumkan telah menutup dana kelolaan ketiganya (Fund III) senilai lebih dari $205 juta atau setara 3 triliun Rupiah dalam committed capital. Perolehan ini menjadikan total Asset Under Management (AUM) mencapai $380 juta untuk seluruh dana kelolaannya.

Beberapa limited partner (LP) tergabung ke jajaran investor, mulai dari International Finance Gorup (IFC) milik Bank Dunia dan Disrupt AD yang merupakan lengan ventura dari Abu Dhabi Developmental Holdings.

Sebagian dana dari Fund III telah aktif diinvestasikan sejak penutupan pertama putaran tersebut pada Maret 2020 lalu. Hingga saat ini sudah mengalir ke 30 pendanaan startup, dari 35 yang ditargetkan — ACV mematok target bisa menyalurkan $100 juta hingga akhir 2021.

“Berbekal pengalaman pribadi kami sebagai pengusaha yang membangun bisnis di pasar negara berkembang dari awal hingga akuisisi dan IPO, kami memosisikan diri sebagai mitra untuk para pendiri startup yang menjadi portofolio kami dalam mengatasi berbagai tantangan yang dihadapi perusahaan rintisan yang berkembang pesat. Para pendiri ACV memiliki pengalaman yang kuat dan beragam dari pasar Amerika Serikat, Tiongkok, dan Indonesia,” ungkap Founder & Managing Partner ACV Adrian Li.

Adrian melanjutkan, “Lebih dari itu, para pendiri ACV juga memiliki pengalaman investasi yang luas dalam bisnis digital yang sukses, sehingga kami mampu menghadirkan jaringan luas dan wawasan mendalam yang dapat dimanfaatkan oleh para pendiri startup yang menjadi portofolio kami.”

Lanjutkan hipotesis

Turut disampaikan dana kelolaan terbaru masih akan digunakan untuk melanjutkan strategi ACV sebelumnya, yakni fokus pada startup tahap awal di Indonesia. Mereka menggunakan pendekatan tematik yang mendalam dan disiplin yang kuat dalam berinvestasi pada startup dengan latar belakang pendiri yang kuat. ACV turut menggunakan analisis model bisnis dan pendekatan pasar yang tepat untuk membangun keahlian yang mendalam terhadap suatu sektor.

Selain pendanaan, ACV juga membantu para founder untuk membangun perusahaan melalui pengalaman mereka sebagai investor di berbagai perusahaan, serta melalui tim value creation yang terdiri dari para ahli yang memiliki pemahaman mendalam dan pengalaman yang luas di berbagai sektor industri. Tim ini akan mendukung masing-masing portofolio perusahaan ACV dalam hal rekrutmen, pengembangan bisnis, regulasi, dan peningkatan modal.

“Selain memberikan dana investasi, kami membantu para portfolio founder untuk menghubungkan mereka ke dalam ekosistem perusahaan dan platform digital yang lebih luas, serta para domain expert di seluruh dunia,” imbuh Founder & Managing Partner ACV Michael Soerijadji.

Dengan pendekatan tersebut, dana ACV sebelumnya dikatakan terus menunjukkan performa yang luar biasa di kuartil tertinggi dengan vintage fund pada 2015 mencapai 2,99x MOIC (Multiple of Invested Capital), dan vintage fund pada 2018 mencapai 2,41x MOIC. Sementara Fund III sejauh ini telah menunjukkan performa dengan MOIC mencapai 1,94x dalam kurun kurang dari 2 tahun sejak penutupan pertama.

Lahirkan unicorn dan centaur

AC Ventures adalah entitas gabungan dari Convergence Ventures (berdiri sejak 2014) dan Agaeti Venture Capital (berdiri sejak 2018). Keduanya resmi menyatukan entitas bisnis, dana kelolaan, dan tim pada 2019 lalu. Kini mereka telah turut melahirkan beberapa startup unggulan dengan titel unicorn dan centaur.

Dua unicorn yang menjadi portofolionya adalah Carsome dan Xendit. Sementara untuk startup yang telah mencapai tonggak centaur di antaranya Shipper, Stockbit, Ula, Aruna, BukuWarung, dan CoLearn. Dalam 18 bulan terakhir, seiring dengan percepatan adopsi digital akibat pandemi, pertumbuhan portofolio ACV meningkat pesat dan menghasilkan lebih dari $500 juta pendanaan tambahan pada beberapa portofolio terbaru ACV yang turut dipartisipasi oleh investor global, seperti Sequoia, Tiger Global, dan Prosus.

“Pandemi COVID-19 semakin mengakselerasi adopsi dan konsumsi digital di berbagai segmen bisnis di seluruh Indonesia. Ketahanan ekonomi Indonesia dalam menghadapi kesulitan ini tidak hanya memberi peluang besar bagi sektor internet untuk pulih, melainkan juga membuka kesempatan exit yang semakin menjanjikan seiring dengan meningkatnya jumlah perusahaan teknologi raksasa regional yang go public,” terang Founding Partner AC Ventures Pandu Sjahrir.

Sepanjang tahun 2021, hingga bulan November, ACV telah berinvestasi di 18 startup lokal – beberapa partisipasinya di lebih dari 1 putaran. Daftar startup tersebut meliputi:

Startup Putaran Pendanaan
Eden Farm Seri A
Astro Seed
Nama Beauty Seed
majoo Seed
Esensi Solusi Buana Seri A
Legit Group Seed
Alami Seri B
Durianpay Seed
Aruna Seri A
Oy! Seri A
KLAR Seri A
Finantier Seed
Bibit Seri A
CoLearn Seri A
Shipper Seri B
KitaBeli Seri A
Segari Seed
Raena Seri A

 

 

BRI Ventures to Launch a New Fund “Sembrani Kiqani”, Targeting D2C Sector

After launching the Sembrani Nusantara Venture Fund last year which focuses on early-stage startups funding, BRI Ventures (BVI) is to launch another investment vehicle named “Sembrani Kiqani”.It is still targeting the early-stage startups, but rather focuses on consumer brands targeting the direct-to-consumer (D2C) sector.

BVI’s CEO, Nicko Widjaja, in his opening remarks at the BRI Ventures Networking Day (23/11) mentioned the potential of the D2C sector growth in Indonesia for the fashion, F&B, and beauty segment. He said, this sector is capable to drive the current industry, especially amidst the economic recovery from the Covid-19 pandemic.

Marcel Lukman, owner of one of the well-known retail groups 707company, also one of the Partners at Sembrani Kiqani said that apart from D2C, this managed fund is also targeting the blockchain industry and its derivatives related to cryptocurrencies. BVI alone is planning to strengthen its investment to develop the crypto ecosystem in the country.

Previously, through Sembrani Nusantara, BVI has invested in the beverage brand developer Haus!, which is also its first non fintech portfolio. They disbursed around 30 billion Rupiah in the debut fund for startup. In addition, the local shoe product developer Brodo also received funding through its series A round.

Indonesian D2C industry

Retail is one of the industries that highly contributes to the national economy. However, the Covid-19 pandemic that shaken this industry’s resilience had caused many businesses to change strategies or even give up on the situation. The one strategy being used is currently to directly target the consumers or direct-to-consumer (D2C).

According to data compiled in the “Driving Growth with D2C” report by Ogilvy, Commercetolls, and Verticurl, it is considered a must for brand owners to have a D2C digital strategy to win the market. The main goal is to build a more personal relationship with customers, thereby creating a more effective and engaging brand experience as a value proposition. D2C provides invaluable ownership of customer data.

In Indonesia alone, there are already several startups have adopted the D2C concept, including Brodo and Saturdays (fashion), Kopi Kenangan, Fore Coffee, Lemonilo (F&B), Dropezy (grocery), as well as the retail group startup Hypefast which focuses more on being a venture builder. VCs such as East Ventures are also targeting this sector, proven by its two newest portfolios, mohjo and Kasual.

Blockchain invesment

In early 2010, perhaps not many people understood the concept of blockchain and its utility in the technology industry. Today, discussions regarding crypto assets that run on blockchain platforms are heard everywhere both in the real world and on social media. However, the crypto ecosystem in Indonesia is quite premature and still requires in-depth education.

In an effort to develop the crypto ecosystem in Indonesia, BRI Ventures in collaboration with Tokocrypto, is planning a new initiative called the Tokocrypto Sembrani Blockchain Accelerator (TSBA). The first blockchain project is targeted to be launched in 2022.

In addition to crypto assets, a product that is currently captured the market, especially among tech enthusiasts, is NFT. As one of the unique digital assets, all types of media can be printed or tokenized and converted into NFT. This product has been available in various industries from digital art, virtual real estate, also collectibles, games, and many more.

The NFT hype encourages people to try this platform as an alternative investment commodity, supported by the presence of secondary markets on various popular marketplace platforms. Nonetheless, NFT is still a very new market, therefore, being prudent is mandatory.

There are several NFT marketplace platforms available in Indonesia, including TokoMall, Kolektibel, and Paras Digital.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

BRI Ventures Segera Luncurkan Dana Kelolaan “Sembrani Kiqani” untuk Startup D2C

Setelah tahun lalu meluncurkan Dana Ventura Sembrani Nusantara yang fokus mendanai startup tahap awal, BRI Ventures (BVI) kembali akan menghadirkan kendaraan investasi mereka yang diberi nama “Sembrani Kiqani”. Masih dengan misi untuk mendanai startup tahap awal, hanya saja difokuskan untuk consumer brands menyasar sektor direct-to-consumer (D2C).

Dalam kata sambutannya di acara BRI Ventures Networking Day (23/11), CEO BVI Nicko Widjaja juga menyinggung tentang potensi pertumbuhan sektor D2C di Indonesia yang kian meningkat baik di bidang fesyen, F&B, dan kecantikan. Menurutnya, sektor ini mampu menjadi penggerak industri terutama di tengah pemulihan ekonomi dari pandemi Covid-19.

Marcel Lukman, pemilik salah satu grup ritel ternama 707company, juga salah satu Partner Sembrani Kiqani turut menyampaikan, selain D2C dana kelolaan ini juga ditargetkan untuk menyasar industri blockchain serta turunannya yang terkait dengan cyptocurrency. BVI sendiri tengah berencana memperkuat investasi untuk mengembangkan ekosistem kripto di tanah air.

Sebelumnya, melalui Sembrani Nusantara, BVI telah berinvestasi kepada pengembang brand minuman Haus!, yang juga menjadi portofolio pertama mereka di luar fintech. Dana yang dikucurkan mencapai 30 miliar Rupiah untuk debut ke startup. Selain itu, pengembang produk sepatu lokal Brodo juga mendapat suntikan dana dalam putaran seri A mereka.

Industri D2C di Indonesia

Ritel merupakan salah satu industri yang berkontribusi besar pada perekonomian nasional. Namun, pandemi Covid-19 yang sempat mengguncang daya tahan industri ini menyebabkan banyak usaha harus mengubah strategi bahkan menyerah dengan situasi. Salah satu strategi yang sedang ramai digunakan adalah dengan langsung menyasar konsumen atau direct-to-consumer (D2C).

Menurut data yang dihimpun dalam laporan “Driving Growth with D2C” oleh Ogilvy, Commercetolls, dan Verticurl, pemilik brand saat ini dinilai harus memiliki strategi digital D2C untuk dapat memenangkan pasar. Tujuan utamanya untuk membangun hubungan yang lebih personal dengan pelanggan, sehingga bisa menciptakan pengalaman brand yang lebih efektif dan menarik sebagai proposisi nilai. D2C memberikan kepemilikan data pelanggan yang tak ternilai.

Di Indonesia sendiri, sudah ada beberapa startup yang mengadopsi konsep D2C ini termasuk Brodo dan Saturdays (fesyen), Kopi Kenangan, Fore Coffee, Lemonilo (F&B), Dropezy (grocery), juga startup grup ritel Hypefast yang fokusnya lebih menjadi venture builder. VC seperti East Ventures juga semakin gencar menyasar sektor ini, termasuk dua portfolio terbaru mereka mohjo dan Kasual.

Investasi di industri blockchain

Di awal tahun 2010, mungkin belum banyak orang yang mengerti konsep blockchain serta utilitasnya dalam industri teknologi. Dewasa ini, pembahasan terkait aset kripto yang dijalankan di atas platform blockchain semakin marak terdengar baik di dunia nyata maupun media sosial. Meskipun begitu, ekosistem kripto di Indonesia masih terbilang prematur dan membutuhkan edukasi mendalam.

Dalam upaya mengembangkan ekosistem kripto di Indonesia, BRI Ventures bekerja sama dengan Tokocrypto, sedang merencanakan inisiatif baru yang dinamakan Tokocrypto Sembrani Blockchain Accelerator (TSBA). Proyek blockchain pertama ini ditargetkan untuk bisa segera meluncur di tahun 2022.

Selain aset kripto, produk yang juga tengah digandrungi masyarakat, terutama di kalangan penggiat teknologi, adalah NFT. Sebagai salah satu aset digital yang terbilang unik, semua jenis media dapat dicetak atau diberi token dan diubah menjadi NFT. Produk ini sendiri telah hadir di berbagai industri, mulai dari seni digital, real estate virtual, hingga barang koleksi, game, dan masih banyak lagi.

Hype NFT membuat orang-orang berbondong-bondong menjadikan platform ini sebagai komoditas alternatif investasi, terlebih didukung kehadiran secondary market di berbagai platform marketplace populer. Meskipun demikian, NFT masih merupakan pasar yang sangat baru, sehingga perlu ekstra hati-hati.

Beberapa platform marketplace NFT yang sudah beroperasi di Indonesia termasuk TokoMall, Kolektibel, dan Paras Digital.

Mengupas Serba-Serbi Model Bisnis pada Startup

Startup tak melulu bicara soal merealisasikan ide menjadi sebuah produk. Founder tentu perlu memikirkan bagaimana produk atau jasa dapat dijual ke pasar, berapa biaya yang dibutuhkan, atau bagaimana cara meraup pendapatan dan keuntungan.

Hal-hal barusan sebetulnya berkaitan erat dengan model bisnis. Tanpa itu, tidak mungkin startup dapat berkembang. Maka itu, founder perlu mencari model bisnis yang tepat sesuai dengan produk atau jasa yang mereka buat.

Dalam rangkaian program inkubasi DSLaunchpad 3.0 bersama AWS, sesi #SelasaStartup kali ini akan mengupas serba-serbi model bisnis bersama Co-founder dan General Partner Alpha JWC Ventures Jefrey Joe. Simak rangkumannya berikut ini.

Menentukan model bisnis

Jefrey menilai, tidak ada formula yang mutlak tentang bagaimana menentukan model bisnis yang tepat. Idealnya, founder bisa saja membuat model bisnis untuk jangka pendek, menengah, atau panjang. Namun, berdasarkan pengalamannya menjadi entrepreneur, sulit rasanya untuk memikirkan dan merencanakan semua hal dalam jangka panjang.

Ada banyak hal tidak terduga yang terjadi di luar rencana. Untuk itu, ia menilai bahwa terkadang founder perlu menjalani dulu untuk tahu apakah cara ini tepat atau tidak.

Hal ini juga berlaku ketika Jefrey merintis venture capital melalui Alpha JWC Ventures. Kala itu industri dan ekosistem digital di Indonesia belum berkembang seperti sekarang. Ada banyak tanda tanya yang muncul ketika membangun bisnis.

“Sama seperti startup, kita tidak bisa menyontek model bisnis, bahkan dari luar negeri sekalipun, karena kita tidak tahu exactly what it is. Bagi saya, kita bisa saja membuat model bisnis jangka pendek, menengah atau panjang, tetapi seimbangkan dengan sedikit intuisi, fate, dan modal nekat,” ujarnya.

Di samping itu, founder harus yang sangat memahami tentang bisnis yang akan dijalankan dan pasar yang ingin dibidik. Dalam hal ini, VC punya peran untuk mendorong critical thinking si founder dalam mengeksekusi strategi bisnis.

“Yang dapat kami berikan sebagai saran, terutama bagi early stage, adalah memahami pasar, mau diajak brainstorming, hingga terbuka dengan kerja sama. Suksesor di Alpha JWC itu banyak, sebanyak 10% dari total portofolio kami tahun lalu menjadi unicorn. Bagi saya, suksesor itu yang terpenting punya cara berpikir yang kritis,” tambahnya.

Validasi model bisnis

Lalu, bagaimana cara memvalidasi model bisnis? Jefrey menyebut bahwa tidak ada metode pas untuk memvalidasi model bisnis. Semua itu bergantung dari kategori bisnis yang dijalani oleh founder. Ia menampik bahwa growth dan profitabilitas menjadi metrik wajib untuk memvalidasi suatu bisnis.

Ia menyotohkan ketiga portofolionya, yakni Ajaib, Lemonilo, dan Kopi Kenangan. Jika bicara growth, metrik ini mungkin bisa dipakai Ajaib dengan menggunakan jumlah unduhan aplikasi atau pengguna. Namun, metrik ini tidak berlaku bagi Kopi Kenangan mengingat startup coffee chain ini perlu mencari lokasi gerai terlebih dahulu untuk mencari transaksi.

“Sama juga dengan Lemonilo yang mungkin melihat aspek produksi [makanan]. Jadi, it’s never one size that fits all. Di sini, kami membantu founder untuk brainstorming dan [melakukan] critical thinking. Kira-kira apa playbook yang make sense [untuk bisnis mereka]? Apa saja yang bisa didorong? Ini tidak mudah,” ujarnya.

Jefrey juga menggarisbawahi pentingnya untuk menemukan pain point sebuah masalah dan mengeksekusinya dengan baik. Ia menilai, hal tersebut dapat menjadi tantangan terbesar, sekaligus berpotensi menjadi kesalahan apabila tidak dipahami benar oleh founder. Jangan sampai, kita berasumsi solusi yang dikembangkan ini diperlukan masyarakat, dapat menyelesaikan masalah mereka, dan orang mau membayar solusi yang kita buat.

Mencari investor hingga ekspansi tim

Selain model bisnis, Jefrey juga bicara soal faktor-faktor kunci lain terkait yang dapat relevan terhadap model bisnis. Ia kembali mencontohkan Kopi Kenangan yang menurutnya tetap bisa sukses tanpa keterlibatan Alpha JWC. Ia bahkan menyebut Kopi Kenangan sudah untung sebelum mendapat kucuran investasi dari Alpha JWC.

Jika tidak mencari pendanaan, ini menunjukkan cara berpikir perusahaan yang dapat grow dan profitable sendiri. Namun, untuk mencapai unicorn atau katakanlah 1.000 outlet, mungkin butuh tujuh tahun. Di sini, VC berperan untuk mengakselerasi setengah dari waktu yang mungkin ingin dicapai.

Pasalnya, pendanaan dari VC dapat membantu startup untuk memperkuat tim. “Key success factor dari startup adalah tim, dan cara terbaik untuk memakai pendanaan tersebut adalah menambah tim. Mereka lah yang akan membangun great product and marketing.” tambahnya.

Memberi impresi ke investor

Untuk mengimpresi investor, Jefrey memberikan catatan menarik sebagaimana ia lihat dari pengalamannya berjumpa dengan banyak entreprenuer selama ini. Jika bicara soal impresi dari pitch deck saja, ia pribadi akan melihat sejumlah aspek, mulai dari latar belakang pendidikan, pengalaman kerja, apa saja yang telah ia kerjakan sebelumnya. Demikian pula pada problem yang ingin di-solve dan pasar yang diincar.

“Jika bicara impresi saat bertemu di 15 menit pertama, saya akan lihat apa visinya untuk tahu seberapa ambisius dia, apakah itu satu tahun saja atau lima tahun. Intinya, saya ingin tahu critical thinking mereka karena itu penting. Kalaupun tidak berlanjut ke tahap selanjutnya, saya tetap berikan feedback. Ini cara saya untuk memberikan respect karena mereka berani ambil risiko dan peduli dengan impact,” tuturnya.

Terkait latar belakang pendidikan, ia menilai bahwa hal tersebut menjadi salah satu indikator yang menentukan founder memiliki rasa tanggung jawab. Bisa saja ada founder yang punya latar belakang pendidikan biasa, tetapi meraup pendanaan besar. Begitu juga sebaliknya. Hal ini tidak menjadi patokan sepenuhnya.

Namun, ia menggarisbawahi bahwa rasa tanggung jawab ini dapat diterjemahkan sebagai upaya founder mengembangkan skala timnya. “Company pasti hire orang yang lebih pintar dari kita [founder]. Bagaimanapun juga, kita perlu bekerja sama dengan orang yang lebih pintar dari kita untuk bisa maju.”

Antler Indonesia and Its Mission to Foster Local Startup Communities

After officially announcing the Indonesia’s first cohort, a startup builder program Antler has plans to launch quality startups from local founders.

Antler Indonesia’s Partner & Country Head, Subir Lohani revealed to DailySocial, if the previous program provided opportunities for startup founders globally, this program is specifically made for Indonesian startup founders with aim to provide the best solutions in Indonesia.

Similar to the program in Singapore, all programs provided to the participans of Indonesian cohort programs are still the same. In order to adapt to market trends and conditions, the program is localized to suit the ecosystem and startup community in Indonesia.

Nevertheless, Subir emphasized, diversity remains Antler’s vision. Although the program will be held in Jakarta, it is possible for startups from other regions to join and participate in the program intensively. Likewise, the startup category is quite agnostic.

“Since the beginning, we have tried to always be hands-on to those who take part in the program. Whether it’s an existing team to startup founders who don’t have a team and co-founders. We are trying to find the right team and of course the relevant business model,” Subir said.

In the previous program held in Singapore, most of the chosen ones were startup founders with working background in unicorn to decacorn startups, for Indonesia’s special programs, all startup founders with different backgrounds have the same opportunities as startup founders with experience.

Base and Sampingan are the two startups that have participated in the Antler’s previous programs from Indonesia. Both founders are Gojek graduates.

“It is undeniable that those who have previously worked in well-known technology companies in Indonesia, mostly have experience and insight to quite sharp skills, when they finally decide to establish a startup,” Subir said.

The company plans to invest in at least 100 companies in Indonesia within the next 4 years, with the first investment in Indonesia to be made in early 2022.

Global expansion

Antler is currently available across 17 locations globally. Most recently, the program launched in Toronto and Ho Chi Minh City. There is a specific reason why Antler is expanding their presence in different countries. Especially in a country with warm and great potential for a startup community.

In terms of program, Antler considers this activity as enriching their knowledge about market conditions and startup communities in various countries. However, from an investment perspective, Antler also sees greater opportunities to invest in various countries.

“We can also help startups participating in the program to expand their business globally, if they have plans to expand in the future,” he said.

After obtaining $300 million funding last October, Antler plans to use the fresh funds to invest in advanced startups. In Southeast Asia, Antler has the South East Asia Fund, most of which is used for Antler’s operations in Southeast Asia.

“We see that there are many venture capital focused on advanced stage investments today. We have helped startup growth since the beginning, we want to continue to support startups to grow until they exit,” Subir said.

In terms of advanced funding, Antler creates opportunities for investors to partner with them, providing fresh capital to help startups grow their companies. Currently, Antler has partnered with various global venture capitalists. In Indonesia alone, Antler with its startup graduates, are attracting investors.

In this case, Subir emphasized that it is not surprising for investors to have an eye for Antler’s startup graduates. As it happens with Y Combinator graduates. He said, apart from quality startups, with global experience, the Antler team can see what trends and business models are relevant and certainly have the potential to grow. There are some of Antler’s startup graduates who then continued their program at Y Combinator.

“With my experience as a professional and in the tech industry, as well as the support of the team, I hope to be able to help Indonesian startup founders provide relevant insights and tips for their startup growth,” Subir said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Antler Indonesia dan Misinya Dukung Pertumbuhan Komunitas Startup Lokal

Setelah resmi mengumukan peluncuran cohort pertama Indonesia, program startup builder Antler memiliki rencana untuk meluncurkan startup berkualitas dari founder lokal.

Kepada DailySocial.id, Partner & Country Head Antler Indonesia Subir Lohani mengungkapkan, jika program sebelumnya memberikan kesempatan kepada pendiri startup secara global, di program ini khusus untuk pendiri startup Indonesia yang ingin memberikan solusi terbaik d Indonesia.

Tidak berbeda dengan program di Singapura, di cohort Indonesia semua program yang diberikan kepada peserta masih sama. Untuk menyesuaikan tren dan kondisi pasar, program tersebut dilokalisasi menyesuaikan dengan ekosistem dan komunitas startup di Indonesia.

Meskipun demikian, Subir menegaskan, keragaman tetap menjadi visi dari Antler. Meskipun nantinya program akan berlangsung di Jakarta, namun tidak menutup kemungkinan bagi startup asal daerah lain untuk bisa bergabung dan mengikuti program secara intensif. Demikian juga dengan kategori startup yang diusung yaitu agnostik.

“Sejak awal kami berupaya untuk selalu hands on kepada mereka yang mengikuti program. Apakah itu tim yang sudah ada hingga pendiri startup yang belum memiliki tim dan co-founder. Kami berupaya untuk menemukan tim yang tepat dan tentunya bisnis model yang relevan,” kata Subir.

Jika pada program sebelumnya yang masih digelar di Singapura kebanyakan yang dipilih adalah pendiri startup yang pernah bekerja di startup unicorn hingga decacorn, untuk program khusus di Indonesia semua pendiri startup dengan latar belakang berbeda memiliki kesempatan yang sama dengan pendiri startup yang telah memiliki pengalaman.

Startup yang pernah mengikuti program Antler sebelumnya asal Indonesia adalah Base dan Sampingan. Kedua pendiri startup tersebut merupakan lulusan Gojek.

“Tidak dimungkiri mereka yang sebelumnya sudah pernah bekerja di perusahaan teknologi yang sudah ternama di Indonesia, kebanyakan memiliki pengalaman dan wawasan hingga skill yang cukup tajam, ketika akhirnya memutuskan untuk mendirikan startup,” kata Subir.

Perusahaan berencana untuk berinvestasi di setidaknya 100 perusahaan di Indonesia selama 4 tahun ke depan, dengan investasi pertama di Indonesia akan dilakukan pada awal 2022.

Perluas lokasi secara global

Saat ini Antler telah tersebar di 17 lokasi secara global. Yang terbaru adalah diluncurkannya program di Toronto and Ho Chi Minh City. Ada alasan khusus mengapa Antler memperluas kehadiran mereka di berbagai negara. Terutama di negara yang memiliki komunitas startup yang sedang hangat dan memiliki potensi.

Dari sisi program Antler melihat kegiatan ini bisa memperkaya pengetahuan mereka tentang kondisi pasar dan komunitas startup di berbagai negara. Namun dari sisi investasi Antler juga melihat peluang lebih besar untuk berinvestasi di berbagai negara.

“Kami juga bisa membantu startup yang mengikuti program untuk memperluas bisnis secara global, jika mereka memiliki rencana untuk melakukan ekspansi ke depannya,” kata Subir.

Setelah mengantongi pendanaan senilai $300 juta bulan Oktober lalu, Antler berencana untuk memanfaatkan dana segar tersebut untuk memberikan investasi kepada startup tahapan lanjutan. Di Asia Tenggara sendiri, Antler memiliki South East Asia Fund, yang sebagian besar dana tersebut digunakan untuk operasional Antler di Asia Tenggara.

“Kita melihat saat ini sudah banyak venture capital yang fokus kepada investasi tahapan lanjutan. Kami telah membantu pertumbuhan startup sejak awal, kami ingin terus mendukung startup untuk berkembang hingga exit,” kata Subir.

Untuk pendanaan tahapan lanjutan, Antler membuka kesempatan bagi investor untuk bermitra dengan mereka, memberikan modal segar untuk membantu startup mengembangkan perusahaan. Saat ini Antler sudah banyak bermitra dengan berbagai venture capital secara global. Di Indonesia sendiri kehadiran Antler dengan startup lulusannya, banyak yang kemudian dilirik oleh investor untuk berinvestasi.

Melihat hal tersebut Subir menegaskan tidak heran ketika startup lulusan program Antler menjadi pilihan investor. Demikian juga dengan startup lulusan Y Combinator. Menurutnya selain startup berkualitas, dengan pengalaman yang dimiliki secara global, tim Antler bisa melihat tren dan model bisnis apa yang relevan dan tentunya memiliki potensi untuk berkembang. Sudah banyak startup lulusan program Antler yang kemudian melanjutkan program di Y Combinator.

“Dengan pengalaman yang saya miliki sebagai profesional dan di dunia teknologi, serta dukungan tim, saya berharap bisa membantu pendiri startup Indonesia memberikan insight dan tips yang relevan untuk pertumbuhan startup mereka,” kata Subir.

Alpha JWC Ventures Announces Third Fund of 6.1 Trillion Rupiah

Alpha JWC Ventures today (09/11) announced its third managed fund (Fund III) worth $433 million or equivalent to 6.1 trillion rupiah; bringing its Assets Under Management (AUM) to $630 million. In the press conference, Jefrey Joe as Co-Founder & General Partner said that this number has exceeded the initial target of $300 million. Several regional and global LPs are involved, including the International Finance Corporation (part of the World Bank Group) and Morgan Stanley Alternative Investment Partners.

In general note, Alpha JWC Ventures was founded in 2015 by Jefrey, Will Ongkowidjaja, and Chandra Tjan; focuses on providing early-stage funding for startups in Indonesia and Southeast Asia.

Fund journey

Their journey began with the first Fund I amounting to USD 50 million in 2016. It has been distributed to 23 startup companies in Southeast Asia, the majority have operational in Indonesia. More than 90 percent of the companies have now received follow-up funding.

Meanwhile, Alpha JWC Ventures’ Fund II closed in 2019 oversubscribed with a nominal value of $143 million; and has invested in 30 companies. To date, Fund I has generated 37% IRR (Internal Rate of Return) and Fund II has generated 87% IRR.

They have also produced 9 exits, including the acquisition of DealStreetAsia by Nikkei, the acquisition of Spacemob by WeWork, and the acquisition of Base.vn by Vietnam’s largest technology company FPT Corporation.

Since its launching this year, Alpha JWC Ventures’ Fund III has invested in seven startups in the financial technology, B2B SaaS, and MSME business solutions sectors in Indonesia, Singapore and Vietnam. Some of them are Esensi Solusi Buana, Spenmo, VIDA, GudangAda, and others.

Jeffrey in his presentation also said that the fund’s ticket size has ranged from hundreds of thousands to millions of dollars. The largest can reach $60 million in several phases. He clearly emphasizes that Alpha JWC Ventures’ principle is to be the number-one supporter of a startup (early stage investor).

Furthermore, along with the new managed funds in quantity, the number of startups invested may remain the same. Which means, they will increase the ticket size and focus more on follow-on funding for its portfolio startups.

“Since the debut in 2015, we have had a clear mission of bringing Indonesia and Southeast Asia into the center of the new global digital economy. Our journey and the Alpha JWC Ventures portfolio have proven that Indonesian and Southeast Asian startups can compete globally. We will continue to be at the forefront to create change and will not stop here,” Alpha JWC Ventures’ Co-Founder & General Partner, Chandra Tjan said.

3 unicorns, 11 centaur

Alpha JWC Ventures through its fund has took three portfolio companies to the unicorn status, Kredivo, Carro, and Ajaib. It is also said that they have 11 centaurs, including Kopi Kenangan, Lemonilo, Modalku, GudangAda, and others.

Jeffrey said, one of the centaurs will soon to become a unicorn in the near future.

“As a VC originating, founded and operated by Indonesians, we are working to increase the positive impact of the digital economy in the country through our investments and portfolio companies. Together with them, we have reached nearly 1 million MSMEs through financial and market access, created more than 12 thousand jobs, empowered more than 200 thousand women through various business opportunities, inspired more than 1 million people to become retail investors, and much more,” Alpha JWC Ventures’ Partner, Erika Go said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Alpha JWC Ventures Umumkan Dana Kelolaan Ke-3 Senilai 6,1 Triliun Rupiah

Alpha JWC Ventures hari ini (09/11) mengumumkan telah menutup dana kelolaan ketiga (Fund III) senilai $433 juta atau setara 6,1 triliun rupiah; menjadikan Assets Under Management (AUM) mereka mencapai $630 juta. Dalam kesempatan temu media, Jefrey Joe selaku Co-Founder & General Partner mengatakan bahwa perolehan ini melebihi target awal mereka yakni $300 juta. Beberapa LP regional dan global terlibat, termasuk International Finance Corporation (bagian dari Grup Bank Dunia) dan Morgan Stanley Alternative Investment Partners.

Seperti diketahui, Alpha JWC Ventures didirikan tahun 2015 oleh Jefrey, Will Ongkowidjaja, dan Chandra Tjan; fokus memberikan pendanaan tahap awal untuk startup di Indonesia dan Asia Tenggara.

Perjalanan dana kelolaan

Perjalanan mereka dimulai dengan peluncuran Fund I sebesar USD 50 juta pada 2016. Dana kelolaan tersebut telah disalurkan ke 23 perusahaan rintisan di Asia Tenggara yang mayoritas berada di Indonesia. Lebih dari 90 persen dari perusahaan tersebut kini telah menerima pendanaan lanjutan.

Sementara untuk Fund II Alpha JWC Ventures ditutup pada 2019 secara oversubscribed dengan nominal $143 juta; dan telah diinvestasikan ke 30 perusahaan. Hingga kini, Fund I telah menghasilkan 37% IRR (Internal Rate of Return) dan Fund II menghasilkan 87% IRR.

Mereka juga telah menghasilkan 9 exit, termasuk akuisisi DealStreetAsia oleh Nikkei, akuisisi Spacemob oleh WeWork, dan akuisisi Base.vn oleh perusahaan teknologi terbesar di Vietnam FPT Corporation.

Sejak diluncurkan tahun ini, Fund III dari Alpha JWC Ventures telah diinvestasikan ke tujuh perusahaan rintisan di sektor teknologi finansial, SaaS B2B, dan solusi bisnis UMKM di Indonesia, Singapura, dan Vietnam. Beberapa di antaranya Esensi Solusi Buana, Spenmo, VIDA, GudangAda, dan lainnya.

Jefrey dalam presentasinya juga mengatakan, bahwa sejauh ini ticket size pendanaan mereka berkisar ratusan ribu sampai jutaan dolar. Bahkan yang terbesar bisa mencapai $60 juta dalam bentuk pendanaan bertahap. Yang jelas ia selalu menekankan, bahwa prinsip Alpha JWC Ventures menjadi pendukung pertama sebuah startup (early stage investor).

Selanjutnya turut disampaikan, dengan dana kelolaan baru secara kuantitas mungkin jumlah startup yang akan diinvestasi tetap sama. Yang artinya, mereka akan meningkatkan ticket size dan turut memberikan fokus lebih pada follow-on funding untuk startup yang telah menjadi portofolionya.

“Sejak awal pendirian pada tahun 2015, kami memiliki misi yang jelas yaitu membawa Indonesia dan Asia Tenggara menjadi pusat ekonomi digital dunia yang baru. Perjalanan kami dan portofolio Alpha JWC Ventures selama ini telah membuktikan bahwa startup Indonesia dan Asia Tenggara mampu bersaing di kancah global. Kami akan terus berada di garis depan sebagai pembawa perubahan dan tidak berhenti di sini,” kata Co-Founder & General Partner Alpha JWC Ventures Chandra Tjan.

3 unicorn, 11 centaur

Melalui pendanaannya, Alpha JWC Ventures telah mengantarkan tiga perusahaan portofolio mencapai status unicorn, yakni Kredivo, Carro, dan Ajaib. Mereka juga mengatakan telah memiliki 11 centaur, beberapa di antaranya Kopi Kenangan, Lemonilo, Modalku, GudangAda, dan lain-lain.

Disampaikan Jefrey, salah satu dari centaur tersebut akan menyusul menjadi unicorn dalam beberapa waktu mendatang.

“Sebagai VC yang berasal dari, didirikan, dan dioperasikan oleh orang Indonesia, kami bekerja untuk meningkatkan dampak positif ekonomi digital di negara ini melalui investasi dan perusahaan portofolio kami. Bersama mereka, kami telah menyentuh kehidupan hampir 1 juta UMKM melalui penyediaan akses pasar dan keuangan, menciptakan lebih dari 12 ribu lapangan pekerjaan, memberdayakan lebih dari 200 ribu wanita melalui berbagai peluang usaha, menginspirasi lebih dari 1 juta orang untuk menjadi investor ritel, dan masih banyak lagi,” ujar Partner Alpha JWC Ventures Erika Go.

[Video] Menimbang antara Model Bisnis dan Pendiri Startup dari Kacamata VC

DailySocial bersama Justin Jackson dari Pegasus Tech Ventures membahas pandangan mengenai ekosistem startup di Indonesia dan seperti apa peranan perusahaannya dalam mendukung kemajuan bisnis startup di Indonesia.

Untuk video menarik lainnya seputar startup dan teknologi, kunjungi kanal YouTube DailySocialTV.