TokenWiz Hadir sebagai Asisten Virtual Investasi Aset Digital

Aset digital atau cryptocurrency makin diminati oleh masyarakat Indonesia, khususnya untuk investasi. Melihat potensi tersebut, TokenWiz hadir sebagai asisten virtual untuk investasi mata uang digital di Indonesia. Mengandalkan teknologi kecerdasan buatan, TokenWiz berusaha menyediakan fitur analisis pasar yang akurat.

“Indonesia memiliki populasi 260 juta, populasi terbesar keempat di dunia, dengan peta demografis yang sangat besar. Perkembangan sektor blockchain di Indonesia masih dalam tahap awal, orang-orang mengharapkan untuk memahami teknologi blockchain dan investasinya. Ada market yang sangat besar untuk blockchain,” terang CEO TokenWiz LongMan.

Sebagai layanan asisten virtual, TokenWiz fokus pada penyampaian informasi yang cepat dan akurat dengan analisis yang mendalam mengenai mata uang digital. Termasuk menyajikan penasihat investasi yang cerdas.

Salah satu kemampuan unggulan TokenWiz adalah penggunaan teknologi pintar untuk menganalisis data pasar, sehingga bisa memberikan strategi yang cukup mumpuni untuk para investor mata uang digital yang menggunakan TokenWiz.

“TokenWiz bertekad untuk menjadi asisten yang cerdas dalam investasi mata uang digital menggabungkan teknologi kecerdasan buatan, termasuk leading casual timming analysis bernama entity recognition (NER), konstruksi fitur pembelajaran mendalam multi bahasa, dan teknik lainnya. Analisis keseluruhan mata uang yang ada di TokenWiz, diagnosis multi-dimensi,” imbuh Long Man.

Kehadiran TokenWiz di Indonesia juga bekerja sama dengan INDODAX, salah satu platform investasi atau jual beli mata uang digital ternama di Indonesia. Namun sayangnya belum ada keterangan lebih dalam mengenai kerja sama ini. Pihak TokenWiz hanya menyebutkan keduanya sudah menjalin kerja sama yang mendalam dan spesifik.

“INDODAX adalah platform pertukaran mata uang digital terbesar di Indonesia, dengan basis pengguna dan pengaruh merek yang kuat, sementara TokenWiz memiliki teknologi yang kuat dan kemampuan riset dan pengembangan produk. Kerja sama antara keduanya akan menjadi aliansi yang kuat. Pihak kami dengan INDODAX elah membentuk kerja sama yang mendalam, dan spesifiknya mengenai konten kerja sama kami akan kembangkan secara bertahap,” jelas Long Man.

Di tahun pertamanya di Indonesia TokenWiz menargetkan untuk bisa berkembang dengan cepat dan menjadi portal investasi mata uang digital terbesar dan menjadi pilihan para investor mata uang digital yang membutuhkan analisis mengenai pasar mata uang digital.

Application Information Will Show Up Here

Halofina Lakukan “Soft Launching” di Acara Gerakan Indonesia Cerdas Finansial

Setahun setelah peluncuran Gerakan Indonesia Cerdas Finansial (GICF) di Jakarta, Syamsi Dhuha Foundation bersama dengan Halofina kembali menyelenggarakan GICF 2.0 kemarin (28/8) di BLOCK71 Jakarta. Kegiatan tersebut bertujuan membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya literasi dan inklusi keuangan. Acara tersebut dibarengkan dengan agenda soft launching aplikasi Halofina.

Seperti yang sudah dibahas sebelumnya dalam wawancara dengan DailySocial, Halofina merupakan aplikasi asisten virtual untuk membantu pengguna merencanakan keuangan pribadinya. Tidak hanya berupa chatbot, Halofina melengkapi platformnya dengan berbagai fitur, seperti pencatat dan perencana keuangan, perencanaan investasi, dan perhitungan risiko investasi. Pasca soft launching pengguna dapat mendaftarkan diri untuk mencoba aplikasi tersebut secara gratis, dengan mengunjungi situs resminya.

“Halofina ingin mengubah stigma masyarakat yang menganggap pengelolaan keuangan sebagai hal rumit menjadi sesuatu yang mudah dan menyenangkan.  Fitur ‘Lifeplan’ di Halofina akan memudahkan pengguna mewujudkan tujuan finansial. Dimulai dari awal perencanaan, menghitung kebutuhan investasi, memilih instrumen atau produk investasi, hingga menyediakan laporan kemajuan portofolio investasi secara real-time,” ujar Co-Founder Halofina, Adjie Wicaksana.

Di GICF 2.0 juga diadakan sesi diskusi mengusung topik peran fintech dalam peningkatan literasi dan inklusi keuangan. Sebagai panelis hadir Eko P. Pratomo (Co-Founder Halofina), Andi Taufan Garuda (CEO Amartha), dan Afia Fitriati (CEO Gadjian). Dalam sesi tersebut para panelis berbagi pandangan dan solusi konkret terkait  upaya-upaya peningkatan literasi dan inklusi keuangan masyarakat Indonesia, melalui pendekatan teknologi.

“Berbagai program edukasi sudah kami jalankan dalam berbagai  bentuk seperti pelatihan, sharing session, workshop, dan live radio talkshow. Juga meluncurkan e-learning platform Finapedia Course bersama Badan Ekonomi Kreatif (BEKRAF) sebagai kelas keuangan online bagi UMKM. Selain itu juga dibentuk 100 Duta Cerdas Finansial yang diharapkan bisa menjadi katalisator dalam memperluas  jangkauan edukasi literasi keuangan melalui lingkungan dan komunitas terdekat mereka,” jelas Eko.

Acara GICF 2.0 juga dihadiri oleh beberapa pemain fintech lainnya, seperti Lintasarta, Mandiri Capital, Mandiri Manajer Investasi, BNP Paribas Investment Partners , Tanam Duit, dan KSEI. Acara ditutup dengan sesi penandatanganan MoU kerja sama antara Halofina bersama Amartha, Mekar, Tamasia dan Gadjian selaku rekanan strategis untuk debut bisnis selanjutnya.

Halofina Hadirkan Asisten Virtual untuk Perencanaan Keuangan Pribadi

Halofina merupakan aplikasi perencana keuangan pribadi. Konsep kerjanya dibuat sebagai asisten virtual. Hal tersebut didasarkan pada kecenderungan masyarakat menganggap pengelolaan keuangan adalah aktivitas yang rumit. Harapannya ketika ada teman (virtual) yang memberikan pengetahuan tentang keuangan, kegiatan pengelolaan tersebut menjadi lebih nyaman.

Di lanskap digital, produk chatbot memang tengah menjamur. Satu hal yang coba ditekankan dalam Halofina, chatbot yang disebut “Robo Advisor” akan melakukan asisten si secara personal. Tim Halofina menyebutkan bahwa produk besutannya telah mengikuti standardisasi global dan didukung oleh pakar di industri keuangan.

Para pakar digandeng untuk berdiskusi dengan tim produk dan teknis untuk membangun algoritma yang akan memberikan rekomendasi cerdas. Rekomendasi yang diberikan Halofina didasarkan pada bagaimana preferensi keuangan (syariah/konvensional), profil risiko, kondisi keuangan, dan tujuan keuangan pengguna.

Beberapa fitur Halofina yang melengkapinya sebagai asisten virtual / Halofina
Beberapa fitur Halofina yang melengkapinya sebagai asisten virtual / Halofina

“Pada saat pertama kali mengakses Halofina, pengguna akan melakukan serangkaian personal assessment yang ditujukan agar sistem mempelajari karakter pengguna dan memberikan rekomendasi terbaik sesuai kondisi,” terang Co-Founder & CEO Halofina Adjie Wicaksana.

Misi Halofina memberikan edukasi dan rekomendasi pengelolaan keuangan. Halofina akan menjadi sebuah aplikasi gratis bagi masyarakat. Secara model bisnis, Halofina akan mendapatkan keuntungan melalui sistem commission fee dan subscription fee dari fitur edukasi dan konsultasi keuangan online di aplikasi.

Soft launching akhir bulan ini

Saat ini aplikasi baru dapat diakses oleh kalangan terbatas, namun melalui situs resminya Halofina sudah membuka pendaftaran untuk early access. Rencananya akan dilakukan soft launching pada 28 Agustus 2018 mendatang. Sejauh ini Halofina menjalankan operasional secara bootstrapping.

Adjie mengatakan pihaknya sedang intensif berbicara kepada venture capital untuk pendanaan tahap awal. Baru-baru ini Halofina juga terpilih menjadi salah satu peserta program akselerator Plug and Play Batch 3 bersama 16 startup lainnya.

Startup berbasis di Bandung ini didirikan oleh dua orang founder. Selain Adjie, ada seorang rekannya bernama Eko Pratomo. Adjie adalah lulusan University of Southern California. Semangatnya untuk menghasilkan bisnis berdampak sosial, terutama untuk mendorong tingkat literasi dan inklusi keuangan di Indonesia yang melahirkan pemikiran tentang Halofina.

Sementara Eko Pratomo telah berpengalaman 20 tahun di industri keuangan dan investasi reksa dana. Ia sempat mendapatkan penghargaan sebagai “Indonesia’s Asset Manager CEO of the Year 2008” dari Asia Asset Management.

Founder Halofina, Adjie Wicaksana dan Eko Pratomo / Halofina
Founder Halofina, Adjie Wicaksana dan Eko Pratomo / Halofina

“Visi Halofina adalah to be the leading robo advisory apps in Indonesia. Untuk mendukung visi tersebut, kami membagi capaian dalam 3 babak besar, yaitu product development, customer development, dan strategic partnership,” ujar Adjie.

Adjie melanjutkan, “Di tahun ini, kami menargetkan dapat bekerja sama dengan berbagai Fintech, Bank, Fund Manager, dan lembaga keuangan lain untuk memperkuat layanan. Di sisi produk, kami akan terus menguatkan platform Halofina dengan komponen artificial intelligence untuk memberikan rekomendasi terbaik.”

Mengantar pengguna pada tujuan investasi

LifePlan merupakan fitur utama Halofina yang akan memberikan rekomendasi investasi sesuai tujuan hidup pengguna. Melalui LifePlan, Halofina mengelompokkan siklus hidup seseorang dalam empat fase finansial. Fase pertama, saat seseorang belum berpenghasilan dan masih bergantung pada orang tua. Fase kedua, saat seseorang mulai berpenghasilan, mandiri secara finansial, dan muncul berbagai kebutuhan. Fase ketiga, saat seseorang berada pada puncak karier dan kebutuhan meningkat. Dan fase keempat, saat memasuki usia senja, bahkan mungkin tidak berpenghasilan.

Berdasarkan pada empat fase tersebut, dipahami bahwa seseorang memiliki berbagai kebutuhan finansial di masa depan yang perlu dipersiapkan sejak dini, misalnya biaya pendidikan, kepemilikan rumah, ibadah, liburan hingga pensiun.

“Fitur LifePlan akan memudahkan pengguna mewujudkan tujuan finansial. Halofina memberikan asistensi penuh dari awal hingga akhir. Mulai dari proses merencanakan, menghitung kebutuhan investasi, memilihkan investasi yang tepat, berinvestasi secara rutin, hingga laporan perkembangan investasi,” tutup Adjie.

Google Siap Menguji Kemampuan Assistant untuk Menelepon dan Berbicara Secara Alami

Salah satu pengumuman paling menarik dari ajang Google I/O bulan Mei lalu adalah Google Duplex, teknologi yang pada dasarnya memungkinkan Google Assistant untuk menelepon semisal salon atau restoran dan melakukan pemesanan atas nama ‘tuan’ atau ‘nyonyanya’. Yang lebih mengejutkan lagi, gaya berbicara Assistant dalam skenario ini terdengar begitu alami.

Dari rekaman yang diputar Google di atas panggung, kita tidak akan mengira kalau percakapan tersebut hanya melibatkan satu manusia saja andai tidak ada yang memberi tahu. Pasalnya, Duplex memungkinkan Assistant untuk berbicara dengan cara yang sangat mirip seperti manusia, mulai dari pemilihan kata sampai intonasinya.

Google pun tidak mau berlama-lama merealisasikan Duplex. Mereka berencana mengujinya bersama sejumlah mitra terpilih di kota New York dan San Francisco dalam beberapa minggu ke depan. Kendati demikian, Google bakal menetapkan sejumlah batasan pada uji coba Duplex perdana ini.

Yang paling utama, tujuan panggilan teleponnya tidak lebih dari sekadar menanyakan jam buka suatu tempat usaha pada saat libur musim panas tiba nanti. Untuk menguji kemampuannya membuat reservasi restoran maupun salon sepertinya masih harus menunggu di lain kesempatan.

Terkait kemampuan membuat reservasi ini, Google cukup percaya diri bahwa Assistant mampu menyelesaikan empat dari lima interaksi telepon tanpa bantuan manusia. Andai Assistant menjumpai kesulitan dalam suatu percakapan telepon, ia bakal memberi tahu lawan bicaranya bahwa ia bakal menyerahkan teleponnya ke supervisor-nya, sebelum akhirnya percakapan dilanjutkan oleh operator manusia.

Setiap panggilan telepon yang dilakukan Assistant bakal direkam supaya Google bisa terus menyempurnakannya menggunakan data yang terkumpul. Oleh karena itu, usai memperkenalkan diri di awal panggilan telepon, Assistant akan selalu memberi tahu lawan bicaranya terkait hal ini. Gambaran lengkapnya bisa Anda simak pada video di bawah.

Potensi yang dimiliki Duplex jelas sangat besar. Ke depannya, bukan tidak mungkin situasinya dibalik: bukannya membuat reservasi atas nama seseorang, Assistant malah bisa ditugaskan untuk menerima panggilan telepon dan mengatur permintaan reservasi dari konsumen. Ini merupakan kabar buruk bagi profesi resepsionis atau customer service, jadi semoga saja Google belum punya rencana untuk itu.

Sumber: Engadget.

Berbicara dengan Google Assistant Kini Tak Memerlukan Frasa “Hey Google” Setiap Kali

Google memaparkan sejumlah kemampuan baru Assistant pada ajang Google I/O bulan Mei lalu. Salah satu yang sangat menarik adalah fitur mereka sebut dengan istilah Continued Conversation, di mana percakapan dengan Assistant bisa berlangsung secara lebih alami karena kita tidak harus memulainya dengan frasa “Hey Google” atau “OK Google” setiap kali.

Fitur baru tersebut akhirnya sudah resmi tersedia di deretan smart speaker Google, yakni Home, Home Mini dan Home Max. Sejauh ini belum ada informasi mengenai ketersediaannya di smartphone, kemungkinan dikarenakan fitur ini membutuhkan kinerja mikrofon yang optimal, dan smart speaker jelas lebih superior soal ini.

Google juga memilih untuk menjadikannya sebagai fitur opsional. Perlu dicatat, kita masih perlu memanggil Assistant dengan frasa “Hey Google” atau “OK Google” pada awalnya. Namun setelahnya, Assistant bakal terus aktif dalam durasi yang cukup lama guna merespon perintah suara lanjutan dari pengguna tanpa harus diawali dengan frasa pemicunya itu tadi setiap kali.

Google mengilustrasikannya sebagai berikut: semisal kita baru bangun dan hendak mengecek ramalan cuaca, kita bisa memulainya dengan “Hey Google, what’s the weather today?” Lanjutannya bisa dengan “And what about tomorrow?”… “Can you add a rain jacket to my shopping list”… “And remind me to bring an umbrella tomorrow morning.” Lalu ditutup oleh “Thank you!”

Frasa “thank you” atau “stop” ini bakal ditangkap oleh Assistant bahwa sesi percakapan spesifik itu sudah usai sehingga ia bisa kembali ‘tidur’. Selanjutnya, kita perlu mengucapkan frasa “Hey Google” atau “OK Google” untuk kembali memanggil Assistant.

Untuk sekarang fitur Continued Conversation ini baru tersedia hanya dalam bahasa Inggris. Sayangnya Google belum bisa memastikan kapan dukungan untuk bahasa lain bakal tersedia.

Sumber: Google.

Xiao AI Ialah Virtual Assistant Besutan Xiaomi, Tantang Google Assistant dan Siri?

Google punya virtual assistant bernama Google Assistant, Apple memiliki Siri, Microsoft – Cortana, Amazon – Alexa, dan Samsung dengan Bixby. Xiaomi juga tak mau ketinggalan dan ikut menciptakan virtual assistant berbasis kecerdasan buatan bernama Xiao AI.

Menurut Xiaomi, virtual assistant yang ada saat ini memiliki banyak keterbatasan, mulai dari hambatan bahasa, budaya, dan minimnya integrasi dengan perangkat lain. Itulah sebabnya, Xiaomi menciptakan virtual assistant-nya sendiri.

Xiao AI merupakan virtual assistant berbahasa China untuk pasar China yang dibuat khusus untuk smartphone Xiaomi. Saat ini Xiao AI tersedia untuk Mi Mix 2S dan juga akan hadir ke smartphone Xiaomi lainnya lewat update untuk MIUI versi China.

Penasaran seperti apa Xiao AI? Xiaomi telah mengunggah sebuah video berdurasi 2 menit di YouTube. Seperti yang Anda lihat, kemampuan Xiao AI mirip dengan Google Assistant dan Siri. Di mana Anda bisa melontarkan berbagai perintah suara.

Xiao AI bisa membantu Anda membuka aplikasi, mengambil foto, menerjemahkan menu, memeriksa cuaca, menyalakan lampu, dan banyak lagi. Selain itu, Xiao AI bakal terintegrasi dengan banyak peralatan smart home garapan Xiaomi. Misalnya robot vacuum cleaner yang ditampilkan dalam video di atas.

Sumber: Androidauthority

Tren Voice Assistant dan Kemunculan Kategori Produk Baru, Smart Display Speaker

Ada pemandangan yang tidak biasa saat perwakilan DailySocial bertandang ke Las Vegas guna menghadiri perhelatan CES 2018 dua pekan lalu: logo Alexa dan Google Assistant tampak bertebaran di mana-mana. Dari keduanya, Google tampil lebih agresif, menempatkan personil-personilnya di semua booth perangkat yang mendukung Google Assistant, sampai menyulap kereta monorel Las Vegas menjadi baliho berjalan bertuliskan “Hey Google”.

Untuk pertama kalinya dalam sejarah, kehadiran Google begitu terasa di CES meskipun mereka sama sekali tidak membawa perangkat keras buatannya sendiri, dan ini juga bukan disebabkan oleh sejumlah smartphone Android yang dipamerkan. Virtual assistant, voice assistant, smart assistant, atau apapun nama yang lebih sreg di benak Anda, bakal menjadi kunci di balik inovasi-inovasi teknologi yang bakal kita jumpai sepanjang tahun 2018 ini.

Terlepas dari persaingan panas antara Alexa dan Google Assistant, tidak bisa dipungkiri bahwa pengaruh yang dibawa keduanya begitu besar. Begitu besarnya, voice assistant pada dasarnya berhasil memicu kemunculan kategori produk baru, dan produk ini lebih menjurus ke sisi lifestyle ketimbang gadget secara umum.

Tren voice assistant dan kemunculan kategori smart display speaker

Amazon Echo Show / Amazon
Amazon Echo Show / Amazon

Produk yang saya maksud adalah smart display speaker, yang sejatinya merupakan smart speaker dengan imbuhan layar sentuh interaktif. Amazon memulai kategori ini lewat Echo Show yang diperkenalkan Mei tahun lalu, kemudian Google menyusul baru-baru ini melalui mitra-mitranya seperti JBL, Lenovo, LG dan Sony. Dalam kesempatan yang sama, Baidu juga memamerkan perangkat serupa dengan voice assistant besutannya sendiri.

Bagi saya pribadi, smart display speaker semacam ini lebih cocok dikategorikan sebagai produk lifestyle. Mengapa? Ada banyak alasan. Salah satunya, hampir semuanya mengusung desain apik yang lebih pantas dijadikan dekorasi rumah ketimbang disembunyikan di sudut ruangan.

JBL Link View / Harman
JBL Link View / Harman

Foto produk Amazon Echo Show dan JBL Link View sama-sama menunjukkan skenario penggunaannya di dapur. Perpaduan layar yang menampilkan resep masakan, plus voice assistant yang bertugas membacakan konversi satuan-satuan bahan makanan yang dipakai, membuat smart display speaker begitu ideal untuk skenario ini.

Namun dalam hati saya bertanya, bukankah tablet yang didudukkan di atas unit docking sebenarnya juga bisa difungsikan serupa? Benar saja, tapi smart display speaker tetap lebih unggul soal ini karena mengemas mikrofon yang selalu aktif mendengarkan instruksi dari pengguna. Dengan tablet, pengguna harus lebih dulu membuka aplikasi voice assistant-nya.

Singkat cerita, hampir semua yang smart display speaker bisa lakukan sebenarnya juga bisa dilakukan oleh tablet. Akan tetapi menyebut smart display speaker sebagai sebuah speaker yang ditempeli tablet adalah oversimplification alias penyederhanaan yang terlalu berlebih.

Komponen spesifik seperti mikrofon yang always-on dan yang biasanya mengadopsi teknologi beam-forming (bisa menangkap suara dari kejauhan meski sedang ada musik yang diputar cukup keras), membuat kinerja smart display speaker lebih efektif untuk semua hal yang mengandalkan perintah suara sebagai interface utamanya.

Smart display speaker vs. smart speaker

Google Home Max / Google
Google Home Max / Google

Smart display speaker di sisi lain juga tidak bermaksud menjadi smart speaker versi premium. Segmen itu sebenarnya sudah diisi oleh produk seperti Google Home Max, dan tidak lama lagi, Apple HomePod. Setidaknya untuk sekarang, kualitas audio premium dan layar sentuh interaktif masih belum bisa dijadikan satu paket.

Kalau melihat tampilan layar JBL Link View misalnya, wajar apabila kita berasumsi bahwa smart display speaker menjalankan sistem operasi Android, sedangkan smart speaker tidak. Pada kenyataannya, Google sudah menyiapkan platform baru untuk smart display speaker yang dijuluki Android Things.

Lenovo Smart Display / Lenovo
Lenovo Smart Display / Lenovo

Dari kacamata sederhana, Android Things adalah varian khusus Android yang diperuntukkan perangkat IoT (Internet of Things). Anda tidak bisa menjalankan aplikasi Android seperti biasa di smart display, yang ada justru adalah tampilan berbasis web yang telah dikemas dalam interface serba kartu seperti di Google Now.

Meng-install software update di smart display pastinya lebih mudah karena bisa langsung dari layarnya sendiri, sedangkan di smart speaker seperti Google Home, dibutuhkan smartphone sebagai perantaranya. Terlepas dari itu, baik smart display maupun smart speaker sama-sama didampingi oleh voice assistant yang sama cerdasnya.

Alexa punya Skills, Google Assistant punya Actions / Amazon
Alexa punya Skills, Google Assistant punya Actions / Amazon

Pernyataan terakhir ini penting karena pada akhirnya semua pertimbangan bakal jatuh pada platform voice assistant yang dipilih. Sebagus apapun layar milik Amazon Echo Show, Anda tidak bisa memakainya untuk menonton video YouTube akibat keegoisan Google. Pengorbanan besar ini mau tidak mau harus diterima oleh mereka yang banyak berlangganan layanan milik Amazon, sekaligus yang merasa Alexa lebih pas di hatinya ketimbang Google Assistant.

Di sisi sebaliknya, Google mulai mengejar ketertinggalannya dari Amazon dengan menyiapkan directory khusus terkait apa saja yang bisa dilakukan Google Assistant, yang mereka sebut dengan jargon “Actions”. Amazon sendiri menggunakan istilah “Skills” untuk Alexa, dan kini keduanya sedang dalam fase adu banyak dengan menarik perhatian developer.

Tidak peduli apa mediumnya (smart display atau smart speaker), sejarah bakal mencatat 2018 sebagai babak pertempuran sengit antara Alexa dan Google Assistant. Siri dan Bixby sengaja tidak saya masukkan hitungan, mengingat keduanya dari awal sudah dikembangkan secara tertutup oleh masing-masing pencetusnya (Apple dan Samsung); sedangkan untuk Cortana, well, Microsoft masih harus bekerja lebih keras lagi dari sekadar bermitra dengan Harman.

Aplikasi “Virtual Assistant” Lenna Resmi Meluncur, Manfaatkan Perintah Suara

Aplikasi virtual assistant Lenna resmi meluncur di bawah PT Sinergi Digital Teknologi. Lenna menawarkan layanan kecerdasan buatan dengan fitur perintah suara untuk membantu kegiatan dan kebutuhan personal.

“Kami lihat masalah yang terjadi dan menawarkan solusi dengan experience yang baru, yakni menggunakan suara daripada model typing. Ini jadi keunikan kami. Kami juga percaya voice command ini akan jadi era teknologi berikutnya,” terang CEO Lenna Rissandi, Selasa (23/1).

Menurut Rissandi, Lenna memanfaatkan NLP (Natural Language Processing) dengan engine yang dikembangkan sendiri oleh tim Lenna, dinamai Brainlethics. Kemudian, menggabungkan teknologi dari Google yakni Google Text-to-Speech untuk menuliskan setiap perintah suara yang dituturkan pengguna.

Menariknya NLP yang dipakai Lenna dapat memahami Bahasa Indonesia dengan kosakata sehari-hari. Lenna merekam setiap tuturan sebagai data untuk meningkatkan kemampuannya. Rissandi mengungkapkan, saat ini Lenna sedang dipersiapkan agar dapat memahami Bahasa Inggris dan Bahasa Arab.

Dia melanjutkan, Lenna tidak hanya dapat menjadi asisten pribadi namun juga bisa diajak berbincang selayaknya berbicara dengan teman sendiri. Pasalnya, Lenna juga dapat memberi informasi terbaru, ramalan cuaca, mesin pencarian, review gadget, hingga pergerakan saham.

Untuk fiturnya sendiri, Lenna dapat melayani pembayaran kebutuhan bulanan seperti pulsa, token listrik, BPJS. Pembelian tiket kereta, bioskop, dan pesawat. Untuk provider penyedia seluruh layanan tersebut, sementara ini Lenna bermitra dengan pemain operator telekomunikasi dan Tiket.com.

“Kami akan menambah mitra e-commerce ke dalam platform kami agar pengguna semakin banyak mendapat pilihan produk yang sesuai keinginan.”

Untuk pembayarannya, dihadirkan Lenna Wallet yang sudah terintegrasi dengan Doku Wallet dan Telkom Finnet untuk sumber dananya. Selain itu juga disediakan pembayaran via ATM dan mobile banking.

Hadirkan produk B2B

Lenna juga dihadirkan untuk menyasar segmen B2B. Untuk segmen ini, teknologi Lenna dapat diintegrasikan untuk meminta laporan penjualan. Pemilik perusahaan dapat mengecek hasil penjualan via perintah suara secara harian, mingguan, hingga bulanan kepada setiap tenaga penjualnya meski beroperasi di luar kota.

Untuk konsumen B2B, mereka bisa memilih opsi apakah ingin menanamkan fitur khusus B2B dalam aplikasi di smartphone. Atau menanamkan teknologi Lenna dalam sistem mereka.

Lini ini menjadi cara Lenna melakukan monetisasi, disamping mengambil komisi dari penjualan produk digital untuk pengguna B2C.

“Jadi aplikasi kita hanya satu, tapi untuk konsumen B2B akan ada tambahan fitur yang hanya bisa diakses oleh mereka,” terang CTO Lenna Alen Boby Hartanto.

Mengenai target, Rissandi akan menambah fitur-fitur lainnya yang dapat berguna bagi setiap penggunanya. Sampai akhir tahun ini diharapkan pengguna Lenna dapat mencapai 500 ribu. Adapun dalam jangka waktu dekat sampai kuartal satu ini ditargetkan bisa mencapai 50 ribu pengguna dengan target nominal transaksi Rp5 miliar.

Rissandi mengaku Lenna dikembangkan kurang lebih selama satu tahun. Sejauh ini Lenna sudah mendapat suntikan investasi tahap awal dari investor lokal dengan nilai dan identitas yang tidak disebutkan.

Sementara ini Lenna baru tersedia untuk versi Android, situs desktop, platform messanging seperti Line, Messenger, dan Telegram.

Telkomsel’s Long-Term Plan on Digital Transformation

Telkomsel is getting serious for digital transformation as a step of business efficiency and service optimization. In 2021, virtual-shaped assistant digital service “Veronika” is targeted to be available  across platforms to get closer to users. The expansion will be in sync with adding functionality.

Some of the platforms Telkomsel tried to be integrated with Veronika are Direct Messages on Twitter, Whatsapp for Business, and MyTelkomsel app. The Twitter plan will be launched early next year. In addition, there are other platforms will be targeted, such as motion devices with voice-based controls like a smartwatch.

Furthermore, Veronika’s function will take over the role of Grapari outlets as customer service (CS), such as handling customer surveys. CS agents will be shifted to do more productive things, such as cross-selling and upselling Telkomsel products.

Launched four months ago, Veronika has been able to serve top-up balance, check the remaining quota, swap Telkomsel POIN, provide information about MyGrapari location, or other information about Telkomsel service. Recently, Veronica has been added with a new service to handle the re-listing of prepaid cards.

Presented by Telkomsel, Veronika is currently have reached 1.5 million users spread across three platforms, namely Line, Telegram, and Facebook Messenger. In developing Veronika, Telkomsel took Kata.ai as the developer and Accenture as project manager.

For Grapari, the plan is to redesign it as the last place to serve customers. Grapari later will be divided into several modes to adjust the target and customer type. There is thematic, which targets are young people or companies. The other one is for regular users.

Veronika’s presence did not merely threaten Grapari’s presence. As Telkomsel goal is to shift the transaction to online.

The current number of active Grapari is 400 outlets spread across Indonesia. It represents Telkomsel area, so it can not be closed.

“Grapari will be divided into several types, the amount is still, but the size will be minimized. It will be more of self service, and a video call with CS agent. The physical agent will not be there, it will directed to other activity. There is nothing to be worried regarding CS agents that will be inefficient,” explained Telkomsel VP Customer Care Management Andri Wibawanto while attending Digital Summit Indonesia 2017 on Wednesday (11/8).

Other than relying on Veronica virtual assistant and Grapari, Telkomsel will also add digital kiosk machines. The machine will serve the purchase of a new SIM card, upgrade to 4G, pay bills, top-up balance and others. One machine consists of two dispensers that can accommodate 500 card slots each. According to Andri, the machines are spread in 80 points throughout Indonesia.

Expected on all digital plans, transactions from digital channels in Telkomsel will reach 70% compared to 30% of  traditional channels in 2021. Nowadays, traditional channels is still dominating at 85% , and the rest is occupied by online channel.

Digital Transformation Impact

According to Andri, the digital application will target three pillars. It includes improving services from Telkomsel to customers, decreasing the cost, and increasing revenue.

He took an example, traditional channels cost more than digital. Telkomsel can reduce loads by 60-70 percent when developing digital channels. With this efficiency, companies can offer better programs to customers.

“Our cross-sell and upsell will get better. It surely getting better for increasing revenue. This is what we can get from the digital transformation,” said Andri.


Original article is written in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Rencana Transformasi Digital Jangka Panjang Telkomsel

Telkomsel makin serius untuk transformasi ke digital sebagai langkah efisiensi bisnis dan optimalisasi layanan. Ditargetkan tahun 2021, layanan digital berbentuk asisten virtual “Veronika” akan hadir di seluruh platform agar makin dekat dengan pengguna. Perluasan ini juga akan dibarengi dengan menambahkan fungsionalitas.

Beberapa platform yang sedang dicoba Telkomsel untuk diintegrasikan dengan Veronika di antaranya Direct Messages di Twitter, Whatsapp for Business, dan aplikasi MyTelkomsel. Rencananya untuk Twitter akan diluncurkan pada awal tahun depan. Selain itu terdapat juga platform lain yang akan turut disasar, misalnya perangkat gerak dengan kontrol berbasis suara seperti smartwatch.

Ke depannya, fungsi Veronika akan menggeser peran gerai Grapari sebagai costumer service (CS), misalnya melayani survei pelanggan. Agen CS fisik pun akan beralih ke hal-hal yang lebih produktif, misalnya untuk cross selling dan up selling dari produk Telkomsel.

Sejak empat bulan lalu diluncurkan, Veronika baru bisa melayani pembelian pulsa, mengecek sisa kuota internet, menukar Telkomsel POIN, memberikan informasi lokasi MyGrapari, atau informasi lainnya seputar layanan Telkomsel. Belum lama ini Veronika juga dibubuhi layanan baru untuk mampu melayani daftar ulang kartu prabayar.

Disampaikan pihak Telkomsel, saat ini pengguna Veronika telah mencapai 1,5 juta orang yang tersebar di tiga platform, yaitu Line, Telegram, dan Facebook Messenger. Dalam mengembangkan Veronika, Telkomsel menggandeng Kata.ai sebagai pihak pengembang dan Accenture sebagai project manager.

Untuk Grapari sendiri, rencananya akan didesain ulang sebagai tempat terakhir melayani pelanggan. Nantinya Grapari akan terbagi menjadi beberapa jenis menyesuaikan target dan tipe pelanggan. Ada yang tematik, menyasar anak muda atau perusahaan. Satu lagi untuk pengguna reguler.

Kehadiran Veronika bukan semata-mata mengancam kehadiran Grapari. Sebab tujuan yang ingin disasar Telkomsel adalah menggeser transaksi ke arah online.

Saat ini jumlah Grapari yang aktif beroperasi ada 400 gerai tersebar di seluruh Indonesia. Jumlah persebaran ini merepresentasikan daerah perwakilan Telkomsel, sehingga tidak bisa bila ditutup begitu saja.

“Grapari akan jadi beberapa jenis, jumlahnya tetap, tapi ukurannya akan dikecilkan. Arahnya bakal lebih ke self service, ada video call dengan agen CS. Agen fisik malah tidak ada, sebab kami akan arahkan untuk kepentingan lain. Jadi tidak ada kekhawatiran agen CS akan diefisiensi,” terang VP Customer Care Management Telkomosel Andri Wibawanto saat menghadiri Digital Summit Indonesia 2017, Rabu (8/11).

Selain mengandalkan asisten virtual Veronika dan Grapari, Telkomsel juga akan menambah mesin kios digital. Mesin tersebut melayani pembelian kartu SIM baru, upgrade ke 4G, bayar tagihan, beli pulsa dan lainnya. Satu mesin terdiri atas dua dispenser yang mampu menampung masing-masing 500 slot kartu. Menurut Andri, mesin ini tersebar di 80 titik di seluruh Indonesia.

Diharapkan dari seluruh rencana digital ini, transaksi dari channel digital di Telkomsel akan mencapai 70% dibandingkan channel tradisional 30% pada 2021 mendatang. Adapun saat ini, channel tradisional masih mendominasi dengan porsi 85%, dan sisanya ditempati channel online.

Dampak transformasi digital

Andri melanjutkan dampak dari penerapan digital ini ada tiga pilar yang disasar. Yakni, meningkatkan pelayanan dari Telkomsel untuk pelanggan, menurunkan beban pengeluaran, dan meningkatkan pendapatan.

Dia mengambil contoh, channel tradisional lebih memakan ongkos daripada digital. Telkomsel dapat menekan beban sekitar 60-70 persen ketika mengembangkan channel digital. Dengan adanya efisiensi ini, perusahaan dapat membuat program yang lebih bagus untuk ditawarkan ke pelanggan.

“Jadinya cross sell dan up sell kami akan semakin bagus. Tentunya ini akan lebih bagus untuk meningkatkan pendapatan. Ini yang bisa kita dapat dari transformasi digital,” pungkas Andri.