Melihat Hubungan Erat Bukalapak, Warung, dan Jawa Barat

Roda ekonomi Indonesia digawangi oleh 99,97% pelaku UKM dengan kontribusi lebih dari 60% terhadap ekonomi negara. Pemilik warung tradisional masuk ke dalam salah satu komponennya, karena punya andil penting sebagai denyut nadi ekonomi di kehidupan sehari-hari.

Menurut data Eurominitor International 2018, mayoritas masyarakat Indonesia, India dan Filipina berbelanja di toko kelontong. Dari total nilai pasar ritel sebesar $521 miliar, sebanyak $479,3 miliar atau 92% di antaranya merupakan transaksi toko kelontong.

Dibalik potensi yang besar, ekonomi kelas bawah ini menyimpan tantangan yang besar bagaimana kehadiran teknologi bisa membantu mereka bisa “naik kelas” lewat go digital. Isu yang perlu dijawab, tidak hanya bagaimana mereka dapat lebih mudah memasarkan produknya lewat platform digital.

Aspek lainnya yang perlu diselesaikan, mulai dari sistem pembayaran, logistik, hingga rantai pasokan yang harus efisien. Kesadaran ini akhirnya dicoba dijawab oleh berbagai startup digital, baik yang sudah menyandang status unicorn maupun yang masih berstatus startup.

Solusi yang ditawarkan sangat beragam dan bisa mewakili apa yang menjadi isu selama ini buat pemilik warung. Bukalapak bisa menjadi contoh bagaimana proyek awal khusus pemberdayaan warung tradisional “Mitra Bukalapak” bisa menjadi bisnis yang serius hingga pencetak cuan yang nyata.

Sebagai prolog, pada 2016 Bukalapak membuat sebuah inisiatif bernama Juragan Pulsa Bukalapak yang merupakan cikal bakal dari Mitra Bukalapak. Layanan yang ditawarkan adalah penjualan produk virtual seperti pulsa telepon, paket data, voucher game dan token listrik prabayar.

Dari situ berkembang menjadi Agen Bukalapak untuk menciptakan bisnis O2O pasca memperoleh antusiasme yang positif dari masyarakat. Setahun berikutnya, agen diguyur dengan tambahan layanan agar lebih banyak yang bisa mereka jual, seperti tiket transportasi dan Grosir Agen Bukalapak untuk menciptakan saluran distribusi perdagangan.

Pada tahun berikutnya, memilih untuk rebranding menjadi Mitra Bukalapak sekaligus merilis aplikasinya. Penambahan fitur terus dilakukan pada 2019, dengan merilis fitur investasi emas, pemanfaatan QRIS untuk metode pembayaran dan kolaborasi dengan Google Bisnisku agar lebih mudah menemukan warung melalui Google Maps.

“Kontribusi sudah lumayan meski saya tidak bisa sebut persisnya. Tapi sudah double digit percentage dari total kontribusi bisnis di Bukalapak. Dulu pas awal-awal, masih di bawah 10%, sekarang [Mitra Bukalapak] sudah menjadi bisnis yang menjanjikan,” ujar Co-Founder & Presiden Bukalapak M. Fajrin Rasyid saat ditemui DailySocial di Bandung, pekan lalu (8/3).

Kini Mitra Bukalapak disebutkan sudah berjumlah lebih dari 3,3 juta mitra, terdiri dari 1,5 juta mitra warung tersebar di 189 daerah dan sisanya berbentuk agen individu. Menariknya, sekitar 30% atau setara 500 ribu mitra berada di Provinsi Jawa Barat.

Peta persaingan sebagai bisnis baru

Pada saat yang bersamaan, Bukalapak mengumumkan tambahan fitur baru yang disematkan untuk Mitra Bukalapak. Di antaranya fitur Kirim Uang (bersama Bank Mandiri), Tabungan Emas (bersama Pegadaian), pembayaran E-Samsat dan Samolnas (Samsat Online Nasional), tagihan Telkom/Indihome, dan voucher game.

Untuk sementara, pembayaran samsat ini baru tersedia untuk konsumen dan Mitra Bukalapak yang berdomisili di Jawa Barat. Disebutkan pembayaran e-samsat yang disalurkan lewat Mitra Bukalapak mencapai Rp30 miliar untuk membayar pajak 40 ribu kendaraan.

Dengan Kirim Uang, masyarakat dapat memanfaatkan keberadaan 1,5 juta warung Mitra Bukalapak sebagai ATM untuk mengirim uang tanpa harus memiliki rekening. Sementara untuk Tabungan Emas, masyarakat dapat berinvestasi emas dari harga Rp10 ribu di warung.

Fajrin menyebut perusahaan akan perluas ke provinsi lainnya agar semua orang bisa memiliki kemudahan. Seluruh fitur teranyar ini adalah pengembangan dari kebutuhan mitra di lapangan. Juga hasil kolaborasi internal bersama dengan mitra.

“Pembayaran Samsat online sebenarnya sudah di aplikasi [konsumen] sudah bekerja sama dengan banyak provinsi. Kita akan segera tambahkan [provinsi lainnya] ke aplikasi Mitra Bukalapak.”

Inspirasi fitur berikutnya yang akan dibawa ke Mitra Bukalapak, menurut Fajrin, bakal ada yang berasal dari aplikasi konsumer. Sebab pada dasarnya, semua fitur tersebut memungkinkan untuk disediakan. Kendala tetap ada, sambungnya, meski sebatas ke hal-hal teknis.

Misalnya, Bukalapak punya fitur investasi reksa dana bernama BukaReksa. Untuk membeli reksa dana pertama kali, butuh proses KYC yang secara teknis ini akan lebih rumit. Beda halnya dengan pembelian tabungan emas yang terbilang lebih simpel.

“Semua fitur di aplikasi Bukalapak kita usahakan juga hadir di aplikasi Mitra, jadi mudah-mudahan bisa ada tambahan [fitur] berikutnya.”

Gencarnya Bukalapak merupakan dalam rangka menciptakan masyarakat inklusif yang tidak hanya terjadi di kota besar, tapi juga di 3T (terdepan, terluar, dan tertinggal). Hal ini dapat dilakukan melalui warung sebagai salah satu caranya, melalui Mitra Bukalapak.

Produk ini akan menjadi fokus perusahaan hingga lima tahun ke depan karena dianggap sebagai platform penggerak utama yang dapat meningkatkan adopsi digital dan inklusi keuangan. Menurut laporan “E-warung: Indonesia’s New Digital Battleground” yang dirilis CSLA di 2019 menunjukkan warung tradisional di Indonesia berjumlah sekitar 6 juta.

Fajrin menyebut, pencapaian Mitra Bukalapak hingga saat ini membuat perusahaan cukup berbangga diri karena secara kuantitas dan fitur bisa dikatakan lebih unggul ketimbang pemain lain.

“Awalnya kita bergerak di online dan kita sadar bahwa UKM offline juga perlu diberdayakan. Mungkin kita jadi perusahaan yang bergerak di keduanya secara serius dan [skalanya sudah] besar, ini bisa menjadi kunci diferensiasi yang mungkin belum dijumpai perusahaan lain. Ada perusahaan yang besar
di online, tapi offline-nya enggak terlalu, atau sebaliknya.”

Produk sejenis yang dibuat Tokopedia, bernama Mitra Tokopedia mencatatkan per akhir tahun lalu telah menjaring sekitar 400 ribu pengusaha mikro baik pemilik warung, toko kelontong, dan usaha sejenis lainnya. Sejak dirilis pada November 2018, mitra dapat berjualan produk digital seperti PPOB hingga membeli stok barang.

Shopee juga tidak mau kalah. Sejak aplikasinya dirilis di Play Store pada September 2019, fiturnya pun tidak jauh berbeda. Hingga kini, Shopee belum bersedia merilis produk ini secara resmi ke publik.

Menurut CSLA, model B2B yang diambil para pemain marketplace ini berpeluang mendorong laba sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi (EBITDA) perusahaan ke arah positif.

Dari vertikal bisnis lain, ranah ini juga diramaikan oleh pemain lain seperti GrabKios by Kudo, Warung Pintar, Wahyoo, Payfazz, Netzme dan masih banyak lagi. Konsep yang ditawarkan saling beririsan dengan isu yang selama ini dihadapi agen dan warung tradisional.

Payfazz misalnya menempatkan diri sebagai agen keuangan di desa. Sementara, Wahyoo memosisikan diri sebagai pembentuk ekosistem warung makan dengan memberikan kemudahan stok barang.

Dalam wawancara bersama DailySocial, Co-Founder & CEO PayFazz Hendra Kwik mengklaim model bisnis yang dianut perusahaan yakni B2B2C dianggap mampu memberikan kontribusi bisnis yang positif. Bahkan dia menyebut perusahaan sudah mencetak laba tapi belum positif.

“Tahun ini harusnya positif kalau misalnya hiring stop, tapi kita investasi terus di situ, spent-nya besar,” katanya.

Kontributor terbesar Payfazz berasal dari penjualan produk PPOB karena layanan pembayaran yang disediakan cukup komprehensif. Selain dijual oleh para agennya, PPOB juga didistribusikan secara API (host-to-host/H2H) melalui anak usahanya Billfazz. Lewat Billfazz, API dari PPOB Payfazz dapat digunakan mitra perusahaan yang ingin menjual PPOB.

Hubungan spesial Jawa Barat dengan Bukalapak

Secara historis dan geografis, Jawa Barat punya hubungan yang spesial dengan Bukalapak. Tak heran kalau disebutkan ada lebih dari 500 ribu mitra berada di provinsi ini dari total 3,3 juta di seluruh Indonesia.

CEO Bukalapak Rachmat Kaimuddin menjelaskan, Bandung dipilih sebagai tuan rumah peluncuran juga merupakan bagian dari inisiatif perusahaan tahun ini untuk roadshow ke daerah lainnya untuk mengidentifikasi potensi UKM lokal yang dapat dikolaborasikan dengan berbagai pemangku kepentingan.

“Memasuki dekade kedua, Bukalapak memang berfokus untuk mengoptimalkan potensi UKM yang ada di tiap daerah Indonesia. Warung sebagai salah satu tempat masyarakat dalam beraktivitas ekonomi, memiliki potensi besar untuk jadi kekuatan ekonomi daerah dan mendorong pertumbuhan nasional,” terang Rachmat.

Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil yang turut hadir pada acara peresmian, menyebutkan pemanfaatan teknologi di warung dapat menjadi basis kekuatan ekonomi daerah. Menurutnya, semakin banyak warung yang menjual produk virtual, maka semakin menguntungkan bagi pemilik warung dan masyarakat sekitar yang pada akhirnya meningkatkan perekonomian daerah.

Di provinsi ini, lanjutnya, 80% perekonomiannya didukung oleh sektor UKM dengan porsi terbanyak berada di sektor kuliner. Diklaim pula, penetrasi digital telah mencapai angka yang sama. Kondisi ini membuat Pemerintah Provinsi optimis dalam tiga sampai lima tahun mendatang semua jenis perdagangan bisa dilakukan secara digital.

“Tiga basis inilah yang sudah go digital. Saya yakin dalam hitungan tiga sampai lima tahun semua jenis perdagangan di Jawa Barat, baik skala besar atau kecil dan riil seperti warung, bisa menggunakan platform digital,” ujar Kang Emil, panggilan akrab Ridwan Kamil.

Dia menyebut untuk merealisasikan ambisi tersebut Pemprov tengah menggenjot pengembangan ekonomi berbasis digital untuk UMKM, warung, dan pesantren dengan model kolaborasi Pentahelix.

Konsep ini memperkenalkan bahwa kekuatan pembangunan di suatu negara atau wilayah perlu didukung oleh semua elemen, tidak bisa satu pihak saja. Lima elemen tersebut, mulai dari pemerintah, masyarakat atau komunitas, akademisi, pengusaha dan media.

Mendukung pernyataan Kang Emil, menurut hasil laporan EV-DCI 2020 memaparkan Jawa Barat memiliki skor indeks 55.0 (skala 100) menempati posisi kedua, setelah Jakarta berdasarkan skor berkaitan kesiapan daya saing digital.

Faktor pendukungnya, antara lain SDM yang didukung dengan jumlah program studi dan dosen bidang digital tertinggi di Indonesia. Alhasil, jumlah tenaga kerja di sektor TIK tergolong tinggi. Infrastruktur digital sudah memadai dan berada di posisi ketiga, setelah DKI Jakarta dan Bali.

Kendati begitu, laporan ini juga menitikberatkan pada tergolong rendahnya kontribusi ICT terhadap PDRB (Produk Domestik Regional Bruto). Lantaran, kepemilikan komputer masih rendah, masuk urutan tiga terendah di antara provinsi lain di Pulau Jawa.

Akses internet melalui laptop di provinsi terendah di Pulau Jawa dan tiga terbawah di level nasional. Fasilitas keuangan seperti ATM belum terbesar merata karena perekonomian di provinsi ini terpusat di beberapa kota saja. Dengan kata lain, Jawa Barat masih punya peluang besar untuk terus berkembang karena tingkat pertumbuhan PDRB sektor ICT adalah tertinggi di Indonesia.

Application Information Will Show Up Here

Grab dan BRI Ventures Resmi Membuka “Grab Ventures Velocity” Gelombang Ketiga

Warung makan dan logistik menjadi tema pilihan Grab untuk gelombang ketiga program Grab Ventures Velocity (GVV). Potensi pasar yang sedang besar-besarnya menjadi alasan mereka memilih kedua vertikal tersebut.

GVV merupakan program akselerasi milik Grab yang berjalan sejak 2018. Sejasa, BookMyShow, SayurBox, dan Qoala adalah beberapa nama startup yang dipilih dari dua gelombang yang sudah diadakan.

Banyaknya pelaku usaha mikro kecil menengah (UMKM) adalah alasan fundamental kenapa usaha mikro dalam berbagai sektor jadi peluang bagi startup digital. Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki mengatakan, warung merupakan salah satu jenis usaha mikro yang punya masa depan cerah jika terhubung dengan ekosistem.

“Jumlah usaha mikro itu 63 jutaan mulai dari pertanian, perkebunan, perikanan sampai warung; namun sesuai namanya usahanya mereka kecil-kecil, di sektor pertanian lahan mereka pun sempit. Jadi dibutuhkan startup baru yang bisa jadi partner usaha mikro untuk bisa terhubung dalam ekosistem,” ujar Teten.

Managing Director Neneng Gunadi menambahkan, meningkatnya industri kuliner dan kebutuhan pergudangan serta pengantaran untuk mendukung dunia usaha.

“Untuk usaha warung makan itu potensinya cukup besar, kuliner jadi sesuatu yang ngetren. Kedua, logistik jadi sangat penting di Indonesia. Jadi pada tahun ini kita menyasar ke dua hal itu,” sambung Neneng.

Gandeng BRI Ventures

Grab menggandeng BRI Ventures sebagai mitra strategis penyelenggeraan GVV tahun ini. Dalam kerja sama ini baik Grab maupun BRI Ventures sama-sama urunan dana dan fasilitas untuk mengakomodasi peserta.

“Tidak hanya cash, tapi fasilitas juga. Ekosistem yang dimiliki oleh Grab dan ekosistem yang dimiliki oleh BRI, nilai alokasinya kurang lebih 50-50,” ucap CEO BRI Ventures Nicko Widjaja.

Program GVV ini resmi dibuka mulai 03-31 Maret 2020. Sama seperti gelombang sebelumnya, Grab memperkenankan startup dalam negeri maupun luar negeri mengikuti program akselerasi ini.

Dan serupa sebelumnya, Grab menjanjikan startup yang diterima dalam program ini akan mendapatkan pilot project untuk menjajakan layanan mereka di platform Grab. Itu artinya startup tersebut punya kesempatan memperkenalkan produknya ke puluhan juta pengguna Grab.

“Itu kan sesuatu banget, karena mereka bisa memaksimalkan customer kita. Mereka bisa cek, pertumbuhannya akan seperti apa karena basisnya besar banget. Mereka juga akan dapat bimbingan dari C-level startup termasuk dari kami tentang bagaimana caranya agar jadi unicorn,” pungkas Neneng.

Program GVV gelombang ketiga ini dijadwalkan berlangsung selama 16 minggu. Pihak Grab berharap akan ada lebih banyak yang bergabung ke dalam program ini dengan asumsi dampak yang diberikan ke masyarakat juga akan lebih besar dari sebelumnya.

Disclosure: DailySocial.id adalah strategic partner Grab Ventures Velocity batch 3

Tahun 2020 GrabKios Hadirkan Sejumlah Produk Baru, Termasuk Asuransi dan Pinjaman Dana

Di tahun 2020 ini banyak rencana yang akan dilancarkan GrabKios (sebelumnya Kudo). Bukan hanya menambah jumlah mitra kios menjadi 3,8 juta hingga tahun 2021, tapi juga ingin menghadirkan berbagai layanan finansial dan asuransi untuk mitra agen, pengemudi hingga konsumen.

Head of GrabKios Agung Nugroho mengungkapkan, sudah ada lini bisnis yang mengalami pertumbuhan positif. Dan ke depannya GrabKios akan menambah kemitraan dengan institusi finansial, perbankan hingga startup yang relevan untuk menambah pilihan layanan.

“Kami percaya dengan mitra kios yang besar jumlahnya hingga ekosistem yang ada di Grab, bisa menjadikan GrabKios platform unggulan yang bisa dimanfaatkan oleh jaringan agen untuk membeli produk hingga memanfaatkan fitur tambahan lainnya.”

Asuransi, P2P lending hingga pembelian FMCG dan produk segar

Didirikan sejak 2014, hingga saat ini GrabKios telah memberdayakan lebih dari 2,8 juta mitra dengan jaringan yang tersebar di 505 kota dan kabupaten di Indonesia. Masih fokus kepada warung kelontong, tahun 2020 ini GrabKios juga akan memberikan layanan kepada merchant GrabFood.

Salah satunya dengan menawarkan pinjaman tunai disalurkan melalui kerja sama dengan perusahaan fintech terpercaya yang telah mendapatkan lisensi dari OJK. GrabKios juga akan menyediakan asuransi mikro, ditujukan bagi mitra dan para pelanggan melalui kerja sama dengan perusahaan asuransi.

Sebagai langkah awal, di kuartal pertama 2020 GrabKios akan mulai menawarkan produk pinjaman tunai ini ke mitra pilihan. Untuk mendukung “Gerakan Non Tunai Bank Indonesia”, mereka juga akan menyediakan alternatif metode pembayaran untuk pelanggan mitra berupa Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS). Dengan kode QR tersebut, pelanggan warung dapat berbelanja dan membayarnya dengan aplikasi dompet digital yang mereka miliki.

Dengan bergabung menjadi jaringan agen GrabKios, semua mitra diberikan akses dashboard yang bisa digunakan untuk membeli kebutuhan tambahan hingga melakukan pembayaran dari konsumen untuk pembayaran listrik hingga membeli voucher pulsa. Dengan demikian akan terlihat secara langsung rekam transaksi mereka yang mempengaruhi penilaian mereka jika berencana untuk mengajukan pinjaman.

“Karena bentuknya adalah capital loan rata-rata pinjaman yang akan diberikan adalah dibawah Rp10 juta. Untuk pembayaran akan dilakukan setiap bulannya. Sementara untuk cash loan tergantung dari persyaratan yang ditetapkan oleh masing-masing asssetmen loan penyedia pinjaman,” terang Agung.

Tidak disebutkan lebih lanjut siapa perusahaan asuransi, platform p2p lending hingga perbankan yang akan digandeng. Untuk produk asuransi tersebut, GrabKios menjamin memiliki harga yang terjangkau dan bisa dimanfaatkan oleh pemilik warung kelontong agar terhindar dari persoalan keuangan jika terjadinya bencana dan risiko lainnya.

“Intinya GrabKios akan melakukan kolaborasi dengan pihak terkait mulai dari layanan p2p lending, perbankan hingga startup agritech untuk menghadirkan pilihan tersebut. Hal itu yang membedakan kami dengan platform seperti p2p lending yang langsung menawarkan produk mereka kepada konsumen, GrabKios justru membuka kesempatan platform terkait untuk bermitra bersama kami,” kata Agung.

“Untuk penyediaan barang-barang yang dibutuhkan oleh warung kelontong dan warung makan kita sudah bekerja sama dengan perusahaan FMCG hingga supplier lainnya, dan saat ini sudah kita lakukan dalam lini bisnis wholesale GrabKios. Untuk penyediaan produk bahan segara, GrabKios bermitra dengan TaniHub.”

 

Menyambut baik persaingan

Selama 5 tahun terakhir GrabKios telah menghadirkan beberapa layanan yang secara signifikan menambah penghasilan para mitranya. Mulai dari berbagai produk digital: pulsa dan paket data, token listrik, pembayaran tagihan (air, listrik, telepon, multi-finance) hingga pendaftaran mitra pengemudi Grab. Ke depannya perusahaan akan terus menambah variasi produk digital lain untuk meningkatkan pendapatan mitra.

Berdasarkan hasil Laporan Dampak Sosial Grab, pendapatan mitra GrabKios meningkat sebesar 51% dengan rata-rata penghasilan mencapai Rp10 juta per bulan. Melalui peningkatan pendapatan mitra yang cukup signifikan, GrabKios telah berkontribusi sebesar Rp2,7 triliun terhadap perekonomian Indonesia dalam 12 bulan terakhir (hingga Maret 2019).

Saat ini makin banyaknya layanan e-commerce, marketplace hingga startup berbasis teknologi yang sengaja menyasar warung atau toko kelontong. Menurut Agung hal tersebut sah-sah saja dilakukan dan menyambut baik makin bertambahnya jumlah kompetitor yang ada.

Menurut Agung selama ini masih banyak pemain lain yang fokus untuk mengakuisisi end consumer, sementara GrabKios memanfaatkan peranan jaringan agen untuk melakukan proses tersebut yang mereka sebut sebagai “cascaded approcach“.

“Yang membedakan, GrabKios memiliki teknologi buatan sendiri yang cara kerja serupa dengan aplikasi Salesforce. Melalui teknologi tersebut, yang saat ini sudah dimanfaatkan oleh ekosistem di Grab (GrabFood) untuk mengakuisisi merchant, kami percaya bisa memberikan layanan lebih baik memanfaatkan jaringan mengakuisisi lebih banyak lagi end consumer,” tutup Agung.

Application Information Will Show Up Here

Mom-and-Pop Stores Potential for Innovation This Year

In 2019, there are some specific solutions targeting mom-and-pop stores or warung in Indonesia, either food or supply chain segment. Names such as Wahyoo, Warung Pintar, Bukalapak, Tokopedia, and Grab are involved in the development of warung. Not only in terms of digitization, but also to improve the quality of the small businesses.

In the list of names mentioned, Wahyoo and Warung Pintar are quite different. Wahyoo, founded in 2017, aimed specifically at the food stall.

Using technology, Wahyoo delivers a solution for stall owners to have easy access to FMCG brands. Until the end of 2019, they’ve accommodated 13,050 food stalls.

Another one is Warung Pintar that provides solutions for mom-and-pop stores or personal retail. Modified the space with the latest trend, such as power outlets, wifi, TV, and many more.

Aside from Jabodetabek, Warung Pintar is expanding to Banyuwangi. Per 2019, Warung Pintar team is said to acquire 1,500 productive talents to gate the warung.

Meanwhile, Tokopedia, Bukalapak, and Grab are helping warung to grow in a particular way. Tokopedia with Mitra Tokopedia, Bukalapak with Mitra Bukalapak, and Grab with Grab Kios by Kudo. Those three have similar approach in terms of helping the warung business grow.

They provide warung’s owners with a special app, for the owners to have access also provide consumer’s needs through the app, such as balance top-up, data package, PPOB bills, and others.

2019 is the beginning, 2020 is for validation

What the tech-company did with solutions to the warung business is kind of innovative. In fact, it’s very potential to grow big. With tons of investment and 2019’s achievement, this year is going to be the stage for their solutions that is not only innovative but also comes with positive impact.

Wahyoo‘s CEO, Peter Shearer talked to DailySocial that they will be focused on product innovation and developing more features in the app.

“In 2020, we’re to focus on product innovation, developing more in-app features to answer their [warung’s owners] demand, build a strong relationship with strategic partners, such as Telco, financial institution, online transportation, supply chain startups, and many others,” he said.

Warung Pintar’s Co-founder and CEO, Agung Bezajrie Hadinegoro shared a similar response. After two years of listening to and learn from Warung Pintar’s merchant owners, he made a commitment to make a serious improvement in their services.

“This year’s innovation will be focused on providing high-quality services for warung’s owners. These past 2 years we’ve been learning from the owners, we’ve come to the conclusion that the grass-root community has been aware of the technology. It’s a matter of how the industry players create products in line with their needs and behavior. This year, we also aimed to expand to a broader area,” he continued.

For Tokopedia, Bukalapak, and Grab, the chance for warung’s prosperity is huge, considering those three are the giants that do not only create solutions but also grow the ecosystem. There are two things might happen to warung business, become the financial inclusion agent and the last supply chain distribution before it comes to consumers.

The e-money development with other digital payments is very likely to be integrated with warung and its position as the closer ones to the communities. In general, warung’s consumers are those in the neighborhood. The demand for warung that is used to be daily supply, such as rice, soaps, and others, can expand to financial needs, such as money transfer, disbursement, and others.

On the other side, to create a distribution chain with promising offers can make more benefits for warung business. Also, the various scheme of payments is to grow the warung business even bigger.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Potensi Inovasi Warung Tahun Ini

Di tahun 2019 lalu ada beberapa solusi yang spesifik menyasar warung, baik warung makan maupun toko kelontong. Nama-nama seperti Wahyoo, Warung Pintar, Bukalapak, Tokopedia, dan Grab tercatat sebagai perusahan teknologi yang ambil bagian di dalamnya. Tidak hanya soal digitalisasi, tetapi juga mengupayakan bisnis warung menjadi lebih baik.

Dalam daftar nama yang disebutkan di atas, Wahyoo dan Warung Pintar sedikit berbeda. Wahyoo yang didirikan pada tahun 2017 secara spesifik menargetkan warung makan.

Dengan teknologi, Wahyoo berupaya membawa solusi untuk memudahkan para pemilik warung mendapatkan produk dari brand FMCG.  Hingga akhir tahun 2019 kemarin, Wahyoo sudah berhasil mengajak 13.050 warung makan.

Kemudian ada Warung Pintar yang menyediakan solusi yang mentransformasikan toko kelontong atau personal retail. Mengemas ulang tampilan warung lengkap dengan fasilitas kekinian, seperti colokan listrik, wifi, televisi, dan lain sebagainya.

Selain Jabodetabek, Warung Pintar mulai tersedia di Banyuwangi. Per 2019 kemarin, pihak Warung Pintar mengklaim berhasil menyerap 1.500 tenaga kerja produktif untuk menjadi penjaga warung.

Sementara itu Tokopedia, Bukalapak, dan Grab membantu warung untuk tumbuh dengan program masing-masing. Tokopedia punya Mitra Tokopedia, Bukalapak ada Mitra Bukalapak, dan Grab memiliki Grab Kios by Kudo. Ketiganya memiliki pendekatan yang serupa dalam hal membantu pemilik warung berkembang.

Ketiganya hadir dengan menyediakan aplikasi khusus bagi para pemilik warung. Melalui aplikasi tersebut pemilik warung dapat mengakses dan melayani kebutuhan beberapa kebutuhan finansial para pembeli, seperti pulsa, paket data, pembayaran tagihan PPOB, dan lain-lain.

2019 adalah awal, 2020 adalah pembuktian

Apa yang dilakukan para perusahaan teknologi dengan solusinya terhadap warung cukup inovatif. Hanya saja potensi untuk jadi lebih besar terbuka sangat lebar. Dengan sejumlah investasi dan capaian yang ada di tahun 2019, tahun ini akan menjadi ajang pembuktian bahwa solusi mereka selain inovatif tapi juga memberikan dampak yang positif.

CEO Wahyoo Peter Shearer kepada DailySocial menyebutkan bahwa mereka akan fokus pada inovasi produk dan memperkaya fitur di dalamnya.

“Karena ini di tahun 2020, fokus kami lebih ke inovasi produk, memperkaya fitur yang ada di dalam aplikasi sesuai dengan kebutuhan mereka [pemilik warung], memperkuat partnership dengan mitra yang strategis seperti perusahaan Telko, institusi finansial, transportasi online, startup penyuplai bahan baku, dan lain-lain,” terang Peter.

Hal senada juga disampaikan Co-founder dan CEO Warung Pintar Agung Bezahrie Hadinegoro. Setelah dua tahun mendengar dan belajar dari pemilik warung Warung Pintar berkomitmen untuk terus meningkatkan kualitas layanan mereka.

“Inovasi di tahun ini akan fokus dalam memberikan quality service yang terbaik untuk juragan warung. Setelah 2 tahun kami belajar bersama para juragan, kami percaya masyarakat akar rumput telah cakap dengan teknologi. Tinggal bagaimana para pemain di industri ini menciptakan produk yang sesuai dengan needs dan behavior pemilik warung. Tahun ini juga fokus kami untuk ekspansi ke berbagai wilayah yang lebih luas,” jelas Agung.

Bagi Tokopedia, Bukalapak, dan Grab, peluang untuk menyejahterakan warung terbuka lebar, mengingat ketiganya adalah “raksasa” perusahaan teknologi yang tidak hanya membangun solusi juga menumbuhkan ekosistem. Ada dua hal yang mungkin bakal terjadi pada warung, menjadi agen inklusi keuangan dan juga sebagai mata rantai terakhir distribusi sebelum sampai ke pengguna.

Pertumbuhan e-money dan juga pembayaran digital lainnya sangat mungkin dikombinasikan dengan warung dan posisinya sebagai agen yang paling dekat dengan masyarakat. Pada umumnya warung memiliki pelanggan yang hidup di sekitarnya. Kebutuhan terhadap warung yang awalnya hanya soal barang seperti beras, sabun, dan lainnya bisa ditingkatkan menjadi kebutuhan untuk tranfer uang, mencairkan uang, dan kegiatan finansial semacamnya.

Di sisi lain, membangun rantai distribusi dengan penawaran yang menjanjikan bisa membuat warung semakin diuntungkan. Belum lagi skema pembayaran beragam akan membuat bisnis warung semakin hidup.

Wahyoo takes Indonesian street food eateries to the next level: Startup Stories

Entrepreneur Peter Shearer started his career when he co-founded AR Group, a company that focused on augmented reality technology, in 2009. Then in 2016, when on-demand platforms like Gojek and Indonesia really took off in Indonesia, they inspired him to bring digital disruption to one particular sector: street-side eateries or wartegs.

Warteg is a casual and down-to-earth street food joint. You may find wartegs spread around near offices, campuses, construction sites, or residential areas in Jakarta, and other cities in Indonesia. A conventional warteg is usually simply furnished with one or two wooden benches. It offers an array of all-time favorite home cooked food at cheap prices in big portions to feed hungry workers, usually blue collars, during their break time.

Similar to grocery kiosks, the biggest problem of wartegs is that they don’t have proper operational and administration systems so they cannot track finances and make proper plans, hence their businesses become stagnant.

“Wartegs have been around since forever, but they are not well-developed. I tried to validate the idea of digitizing wartegs by discussing with the owners on how they run their business daily and their hopes for the business,” Shearer told KrASIA in a recent interview.

He officially established Wahyoo in 2017. The name Wahyoo comes from the Indonesian word “wahyu” which means “inspiration”. Shearer hopes his startup can become a source of inspiration and a channel of blessings for others.

Beginning with only 50 warteg partners, Wahyoo has since empowered more than 13,000 wartegs across Greater Jakarta.

“I believe that warteg is a part of Indonesian culture and it has great business potential with a huge market and high daily transactions. On average, one outlet can serve around 100 customers per day,” he continued.

Not just a place to eat, Shearer said that warteg could be an ideal advertising space for brands targeting the low-middle income market.

“There is a lot that we can do with warteg. Food has a long supply chain that we can support. For example, we’re working with startups like Sayur Box and Tani Hub to supply groceries, so we can ensure the good quality of food while supporting SMEs like farmers, vegetable vendors, and of course, warteg owners,” said Shearer.

Wahyoo supports warteg partners by providing them with a mobile app where they can purchase goods at competitive prices and have them delivered to their doorstep. They can also take part in various online and offline community events and register through the app. The app is also equipped with a help center feature so partners can ask for assistance when they encounter problems using the platform.

The startup also gives partners offline and online training and mentoring sessions through its Wahyoo Academy program, which aims to help partners manage business operations more professionally.

Peter Shearer, founder of Wahyoo, Photo courtesy of Wahyoo
Peter Shearer, founder of Wahyoo, Photo courtesy of Wahyoo

The training consists of three modules, namely how to deliver the best customer service, how to prepare high-quality food, including creating a clean, neat kitchen and outlet so that diners can dine in comfortably, as well as how to manage their cash flow and bookkeeping so they can better manage their finances.

With these improvements, warteg partners are expected to attract more customers and increase their revenue.

In addition, they will also get further sources of income through advertisement placements. Wahyoo’s partners can also serve as sales and distribution channels for SMEs who want to market their products on warteg outlets, Shearer said.

According to Shearer, there is a unique method that is used by many warteg owners in running their business. “An owner takes turns in managing his outlet with his relatives or colleagues. For example, if I manage the outlet now, you will take it over after four months, and so on. It means that we need to train different owners repeatedly. This is a unique challenge that does not seem to exist in other sectors,” he said.

In addition, many outlets are owned by families who want to hand over the business to their children, but not every young person is willing to take the job as operating a warteg is complicated and is not seen as a cool profession by many. “By becoming our partner, they can manage the warteg operations more conveniently and young people are getting more enthusiastic as now they are part of the digital economy transformation.”

Wahyoo’s warteg outlet. Photo courtesy of Wahyoo
Wahyoo’s warteg outlet. Photo courtesy of Wahyoo

Wahyoo doesn’t charge any commission or fee to partners who want to join the platform. Shearer said that the company applies th  e profit-sharing system for advertising and brands placements, as well as through partnership with companies and institutions who use Wahyoo’s outlet partners for customer acquisition, activation, and so forth.

The startup secured an undisclosed amount of seed funding in July 2019 from Agaeti Ventures, Kinesys Group, and East Ventures. Shearer said the Wahyoo is currently fundraising for its Series A round that is expected to close by year-end.

In the near future, Shearer plans to add more initiatives to help warteg owners become responsible entrepreneurs. He was inspired by the United Nations’ sustainable development goals and wants to apply those principles to Wahyoo’s partners. “We are collaborating with a number of organizations to help minimize food waste by recycling cooking oil waste into biodiesel. We’re also discussing with a company that wants to provide wartegs with cassava plastic bags that are environment-friendly.”

Going forward, Wahyoo wants to have at least 50,000 partners by the end of 2020. Shearer said that they will be focusing on Greater Jakarta first before expanding into other cities in Java island.

“Demand is high in this sector, we even got a request to expand into other provinces outside Java island. However, we will focus on grooming our partners for now and encourage them to actively utilize platforms. And hopefully, one day, we can reach more cities and empower wartegs all over Indonesia,” Shearer said.


This article first appeared on KrASIA. It’s republished here as part of our partnership.

Melalui Platformnya, Ko-In Ingin Digitalkan Warung dengan Pendekatan E-commerce

Pamor warung semakin tergerus karena berbagai faktor, membuat masyarakat di sekitarnya beralih ke ritel modern untuk belanja kebutuhan sehari-hari. Dampaknya omzet warung lambat laun menurun dan akhirnya gulung tikar. Mengatasi masalah ini, Toko Indonesia (Ko-In) hadir dengan pendekatan yang cukup berbeda.

Ko-In menawarkan solusi digital untuk warung dengan platform e-commerce. Melalui layanan tersebut, warung tidak hanya memiliki toko online yang menangani transaksi, tapi juga bisa membeli stok barang secara online dengan harga terjangkau.

Ko-In memiliki konsep gudang sebagai hub yang memproses pesanan secara online. Warung fisik akan diubah menjadi etalase, karena pemilik warung tidak diharuskan membuat stok barang yang ditempatkan di warung sendiri. Produk ditempatkan di dalam gudang untuk dikelola lebih lanjut oleh tim Ko-In.

Konsumen bisa melakukan pembelian langsung dari aplikasi atau di warung. Ko-In akan mengirimkan barang langsung dari gudang. Dengan model bisnis ini, diharapkan nilai warung di mata masyarakat akan meningkat, bahkan bisa bersaing secara sehat dengan ritel modern.

“Jadi kami ingin meningkatkan value warung. Konsumen bisa membeli barang dari warung terdekat dengan aplikasi, namun barangnya diambil dari gudang kami. Keuntungan buat warung, value dia meningkat, konsumen bisa mendapat produk yang terjamin, sehingga warung bisa bersaing,” terang COO Ko-In Tias Brian, Kamis (6/12).

Dalam menjaring kemitraannya dengan warung, Ko-In bergerak per kecamatan. Per kecamatan akan dibuat satu gudang yang menampung kebutuhan untuk 50 warung, termasuk mengelola pengiriman.

“Kalau diperhatikan di warung jarang ada yang jual susu formula. Tapi dengan aplikasi, konsumen bisa beli susu formula dari warung sebelah rumah. Jadi ada value yang diberikan kepada warung di hadapan para konsumennya.”

Model bisnis Ko-In

Warung yang bergabung ke Ko-In akan disaring ketat untuk memastikan tidak terjadi tumpang tindih. Beberapa pertimbangannya yang menjadi dasar penilaian tim seperti jarak warung, kerapatannya dengan ritel modern, populasi di lingkungan sekitar, dan beberapa lainnya.

Langkah Ko-In mengambil strategi per kecamatan ini untuk memastikan bahwa proses edukasi bisa berjalan dengan baik. Sebab mengubah kebiasaan lama ke kebiasaan baru butuh waktu.

Warung yang ingin bergabung pada tahap awal perlu komitmen investasi sebesar Rp5 juta. Uang ini akan dipakai untuk membeli stok barang di warung sebesar Rp3 juta. Sisanya digunakan untuk deposit apabila warung ingin restock barang maka biaya transaksi akan dipotong langsung dari sana.

Tersedia mitra bank syariah yang siap membantu permodalan warung agar bisa melancarkan kegiatannya, di antaranya Bank BNI Syariah, Bank Permata Syariah, Bank Muamalat, dan BMT Muhammadiyah.

Untuk monetisasi, Ko-In mengambil prinsip bagi komisi yang hanya berlaku apabila ada pemesanan secara online. Ko-In akan mendapat porsi 30% dan sisanya untuk warung. Apabila transaksi offline, seluruhnya akan masuk ke kantong pemilik warung.

Tias menjelaskan, di tahap awal Ko-In akan mulai debut di kecamatan Sukmajaya kota Depok dengan empat warung. Secara perlahan Ko-In akan perluas ke sepuluh kecamatan lainnya di seluruh kota Depok sampai pertengahan Maret 2019.

Di saat yang sama, secara Ko-In akan mulai ekspansi ke Tangerang Selatan sebelum akhirnya menyentuh Jakarta. Diharapkan sampai akhir tahun 2019 Ko-In bisa menjaring sekitar 5200 warung di Jabodetabek.

Terdapat 149 prinsipal besar dan 4 ribu mitra dari SMESCO yang siap menyuplai produk untuk mitra warung. Perusahaan juga tengah perkuat hubungan dengan pemerintah daerah dan asosiasi agar penetrasi bisnis bisa lebih cepat.

Produk lainnya

CEO Ko-In Devi Erna Rachmawati menambahkan, dalam waktu dekat akan ada produk turunan yang segera hadir. Di antaranya Ko-Gold dan Ko-Money Changer hasil kerja sama dengan iBank, perusahaan yang bergerak di bidang jual beli emas, mata uang asing, dan properti.

Produk lainnya yang tengah dipersiapkan adalah Ko-UMKM, Ko-Pulsa, Ko-Bills, Ko-Travel, Ko-Fresh, dan Ko-Food. Ko-In merupakan produk hasil kolaborasi antara Envy Technologies Indonesia dan Ritel Global Solusi.

Application Information Will Show Up Here