Investor Tanggapi Kesenjangan Pendanaan Startup “Environmental Impact” di Indonesia

Industri startup Indonesia sebagian besar diisi model bisnis yang bersifat customer-centric. Terpopuler adalah e-commerce, ride-hailing, fintech, logistik, edtech, dan healthtech. Dari seluruh vertikal ini, Indonesia berhasil mengantongi enam unicorn dan jumlah ini diprediksi terus bertambah.

Meskipun demikian, ada yang luput dari fenomena ini. Kita melihat bahwa beberapa tahun terakhir ini semakin banyak startup yang concern terhadap perbaikan lingkungan. Produk yang dikembangkan bervariasi, seperti energi terbarukan (renewable energy), produk kemasan yang dapat terurai (biodegradable), atau manajemen sampah/limbah (waste management).

Fenomena ini menunjukkan bahwa tak hanya dampak sosial saja yang menjadi misi utama yang diemban oleh pelaku startup di Indonesia, tetapi juga lingkungan (environmental impact). Padahal, biasanya kegiatan semacam ini banyak dilakukan oleh korporasi berskala besar lewat program CSR, yayasan, atau lembaga non-profit.

Kendati demikian, geliat pertumbuhan startup ini belum diimbangi oleh venture capital (VC) apabila dibandingkan dengan vertikal bisnis lain sebagaimana disebutkan di atas. Bagaimana Patamar Capital, New Energy Nexus, dan Kolibra Capital menanggapi tren kesenjangan investasi ini?

Saling menunggu siapa yang mengambil langkah pertama

Kesenjangan investasi rupanya tak hanya dialami oleh pelaku startup di tahap awal. Sempat ada masa di mana startup ini sulit mencari pendanaan karena investor semakin selektif berinvestasi. Alih-alih, mereka justru memperbanyak portofolionya pada startup tingkat lanjut yang scalability bisnisnya lebih jelas.

Bagi Direktur Investasi New Energy Nexus Indonesia Yeni Tjiunardi, kesenjangan ini juga dirasakan startup lingkungan. Ia menilai masih banyak persepsi bahwa investasi di bidang ini sulit untuk bisa profitable. Artinya profitabilitas diprediksi baru terealisasi dalam jangka waktu yang panjang. Persepsi ini membuat jumlah investor peminat menjadi terbatas.

Di Indonesia, jika mengacu pada tabel di bawah ini, dapat terlihat bahwa belum banyak VC yang terlibat dalam pendanaan. Justru lembaga non-profit, angel investor, dan accelerator maju duluan untuk menutup gap tersebut. Hingga per kuartal ketiga 2020, DailySocial mencatat hanya dua startup lingkungan yang mendapat pendanaan, yakni Xurya dan Bina Usaha Lintas Ekonomi (BLUE) yang menaungi produk Warung Energi.

Announcement Date Startup Stage Category Investors/Accelerators
2016 SMASH (Sistem Manajemen Online Sampah) Unknown Waste Management Generasi IT Kreatif (Genetik)
2017 MallSampah Unknown Waste Management Angel Investor
2018 Xurya  Seed Renewable Energy East Ventures, Agaeti Ventures Capital (currently ASC) 
Evoware Grant Biodegradable Solutions DBS Foundation 
Magalarva Unknown Waste Management SKALA
2019 Waste4Change Unknown Waste Management East Ventures, Agaeti Ventures Capital (currently ASC)
Gringgo Grant

Pre-Seed Round

Waste Management Google

Google Launchpad Accelerator

Weston Solar Energy Unknown Renewable Energy NYALA Energy Accelerator
Replus Unknown Renewable Energy NYALA Energy Accelerator
TAZ Indonesia Unknown Renewable Energy NYALA Energy Accelerator
After Oil Unknown Renewable Energy NYALA Energy Accelerator
2020 Xurya Seed Round Renewable Energy Clime Capital
Bina Lintas Usaha Ekonomi (Warung Energi) Seed Renewable Energy New Energy Nexus

Sumber: Dari berbagai referensi / DailySocial 

New Energy Nexus merupakan satu dari sekian perusahaan yang fokus pada pendanaan startup lingkungan. Bahkan lembaga non-profit ini beberapa bulan lalu meluncurkan program “Indonesia 1 Fund” yang membidik startup energi terbarukan di Indonesia dari tahap seed hingga seri A.

Indonesia 1 Fund akan difokuskan untuk sepuluh area utama, antara lain renewable energysmart gridenergy efficiencyenergy managementcustomer experiencee-mobilitybusiness model innovation, Internet of Things (IoT) & digitization, serta energy access & energy storage.

“Kami berupaya menjembatani gap investasi, terutama di early stage karena investor saling menunggu siapa yang akan mengambil langkah pertama. Padahal, sama seperti early stage investment di kategori lainnya, yang membedakan kesuksesan dan perjalanan bisnis setiap perusahaan adalah kemampuan eksekusi dan pemahaman pasar dari tim tersebut,” ungkapnya.

Malahan, menurutnya situasi pandemi menjadi momentum bagi setiap orang untuk berpikir tentang inovasi dan alternatif dari bisnis. Dengan situasi ini, ia melihat semakin banyak pihak memahami dan meyakini potensi ekonomi dari energi terbarukan. “Investasi ini dapat membantu mempercepat transisi Indonesia ke sistem ekonomi berbasis energi terbarukan,” tuturnya.

Model bisnisnya sulit di-scale up

Ada alasan mengapa teknologi menjadi kunci utama bagi startup dalam mengembangkan produk. Traveloka dan Gojek menjadi kasus sukses di mana teknologi berhasil mendorong traksi layanan secara signifikan.

Berdasarkan pengalamannya berinvestasi di Asia Tenggara, Partner Patamar Capital Dondi Hananto mengatakan bahwa masuk ke bisnis yang melibatkan teknologi dapat mendorong scalability lebih cepat. Ini mengapa pihaknya belum tertarik berinvestasi ke startup yang fokus pada environmental impact.

“Sebetulnya tidak harus [mengembangkan produk] fully tech, tetapi setidaknya ada tech enablement karena most of our business challenge terbanyak ada di operasional bukan teknologi,” jelasnya kepada DailySocial beberapa waktu lalu.

Menurutnya, jika ingin masuk ke sini, startup perlu melakukan blended-finance yang modalnya tidak hanya datang dari investor. Artinya perlu ada kolaborasi dengan yayasan, program CSR, atau pemberian dana sosial.

Sementara, menurut Ekonom INDEF Bhima Yudhistira, ada beberapa faktor mengapa investasi startup di bidang lingkungan terkendala. Pertama, kesadaran konsumen atau pasar di Indonesia terkait kepedulian lingkungan hidup masih rendah.

Untuk penerapan energi terbarukan saja, ia mencontohkan, porsinya dalam bauran energi primer nasional masih di bawah 15%. Sebanyak 37,5% dari batubara dan 33% minyak bumi alias dominan fosil. “Ini menandakan komitmen pemerintah sendiri masih rendah terhadap energi ramah lingkungan,” tuturnya dalam pesan singkat kepada DailySocial.

Kedua, ia menilai ekosistem pembiayaan ramah lingkungan di dalam negeri belum berkembang. Meskipun ada pembiayaan ramah linkungan atau green banking, faktanya penyaluran kredit sebagian besar masih lari ke sektor pertambangan dan perkebunan sawit.

Belanja modal besar, komersialisasi produk lama

Senior Investment Analyst di Kolibra Capital William Auwines mencoba mengelaborasi beberapa hal krusial dalam menanggapi fenomena ini. Pertama, startup lingkungan umumnya membutuhkan periode waktu yang panjang, baik dari SDM maupun proses R&D.

Di periode waktu tersebut, mereka masih berupaya mencari dampak positif yang ingin dihasilkan. Karena masalah waktu, ini justru menunda proses komersialisasi produk dan bakal berisiko terhadap investasi.

Kedua, pengembangan produknya membutuhkan belanja modal (capex) yang besar. Ambil contoh, produk berbasis energi. Solusi semacam ini dinilai membutuhkan belanja modal (capex) besar. Startup energi biasanya punya kapasitas spesifik dan pengeluaran yang pasti. Ini dibandingkan dengan perusahaan tradisional.

“Ini kurang cocok bagi nature VC yang umumnya membidik startup teknologi yang lebih bisa di-scale up. Sejujurnya, kami banyak didekati oleh sejumlah startup yang mencoba mengembangkan produk ramah lingkungan, seperti power plant atau plastic recycling plants,” ujarnya kepada DailySocial.

Tak dimungkiri bahwa investasi sebuah bisnis tidak 100 persen sempurna. Artinya, jika sebuah produk memiliki dampak sosial yang luas, pasti akan ada satu hal yang perlu dikorbankan. Misalnya, biaya lebih besar atau kualitas buruk.

Ia mencontohkan bagaimana startup lingkungan di luar negeri berhasil mengantongi pendanaan besar untuk mengurangi limbah makanan, yakni Too Good to Go dan Karma dari Eropa. Mereka mampu menyempurnakan formula agar bisa menguntungkan dengan tetap fokus pada dampak sosial.

Startup Category Origin Series/Amount
Too Good to Go Food Recycling Denmark Unknown/$21 million
Karma Food Recycling Sweden Series A/$18 million
Impossible Foods Plant-based Substitutes USA Series G/$1,5 billion
Choose Energy Marketplace for Clean Technology and Services USA Series C/$25,7 million

Sumber: Dari berbagai referensi / DailySocial 

Hingga saat ini, ia mengakui belum menemukan startup di bidang lingkungan di Indonesia yang mampu mengukur dan mempertahankan metrik keuangan. “Begitu startup semacam ini muncul, kami pasti akan tertarik,” ujar William.

Pada akhirnya, sulit bagi perusahaan greentech untuk menonjol karena sejumlah faktor di atas. Karena VC adalah platform untuk investasi alternatif, yang didukung oleh investor yang mencari keuntungan, metrik keuangan akan menjadi salah satu prioritas utama.

“Kami menuju ke sana karena kami melihat produk ramah lingkungan, solusi pengelolaan limbah, perangkat energi terbarukan semakin lebih baik. VC tidak perlu sepenuhnya menghindari kategori ini meski risikonya besar. Ini masa depan dan ada banyak peluang besar, tapi masalahnya ada pada waktu,” paparnya.

[Review] Western Digital My Passport SSD 1 TB: Mungil namun Sangat Kencang Berkat NVMe

Western Digital saat ini sudah bukan lagi produsen hard disk drive saja. Semenjak mengakuisisi SanDisk, saat ini WD juga mengeluarkan produk-produk berbasis NAND flash. Namun, saat ini WD tidak mematikan merek SanDisk sehingga keduanya juga bersaing di pasaran. Seperti salah satu produk WD yang baru-baru ini diluncurkan untuk mengambil hati para konsumen dengan WD My Passport SSD.

WD My Passport SSD dengan kode WDBAGF0010BBL-WESN ini merupakan sebuah perangkat SSD eksternal yang menggunakan teknologi NVMe. Perangkat ini sendiri baru diluncurkan pada bulan September 2020 silam. Sebuah SSD eksternal tentu saja akan menambah kinerja dari sebuah pekerjaan yang dilakukan pada sebuah komputer. Hal yang sangat terasa tentu saja pada saat PC tersebut menggunakan HDD.

WD MyPassport SSD

Sebuah SSD tentu saja memiliki banyak kelebihan dibandingkan dengan sebuah HDD. Yang pertama (dan sering kali saya katakan pada artikel-artikel sebelumnya dan setelah ini) adalah ketahanannya terhadap guncangan yang bahkan ekstrim sekali pun. Anda bisa mengguncang-guncangkan SSD ini saat sedang digunakan dan tidak perlu takut kehilangan data.

Spesifikasi dari WD My Passport SSD yang saya dapatkan adalah sebagai berikut

Kapasitas 1TB
Interface USB 3.2 Gen 2×2
Tipe konektor USB-C dan USB-A adaptor
Dimensi 100 x 55.12 x 8.89 mm
Bobot 45.7 gram

Selain dengan 1 TB, Western Digital juga menjual My Passport SSD yang baru ini dengan kapasitas lainnya. Yang lebih murah dijual pada kapasitas 500 GB sedangkan yang paling mahal memiliki kapasitas 2 TB.

Unboxing

Hanya kabel USB-C ke USB-C dan adaptor USB-C ke USB-A saja yang ada pada paket penjualannya

WD MyPassport SSD - Unboxing

Desain

Sepertinya bentuk mungil saat ini sudah menjadi standar drive portabel dari Western Digital. Setelah WD GameDrive P50 dan SanDisk Extreme Pro yang memiliki ukuran kecil, My Passport SSD juga memiliki dimensi yang mirip. Hal ini tentu saja berkaitan dengan tipe SSD NVMe yang dipasang didalamnya. Dengan ukuran sebesar kartu kredit, tentunya sangat mudah dimasukkan ke dalam kantong baju atau celana.

WD MyPassport SSD - USB-C

WD My Passport SSD yang satu ini menggunakan body dengan bahan plastik polikarbonat. WD memang membuat lapisan plastiknya cukup tebal sehingga saat ditekan, badan dari perangkat ini tidak mudah masuk ke dalam. Namun, finishing dari SSD yang berwarna merah ini terasa licin di tangan, sehingga cukup mudah untuk selip dari tangan.

Seperti kebanyakan perangkat eksternal, bagian port USB-C yang ada pada WD My Passport SSD ini tidak tertutup. Semoga saja, pengguna perangkat ini tidak menjatuhkan minumannya saat perangkat ini sedang tertancap pada sebuah laptop. Kabel bawaannya sendiri memiliki interface USB-C ke USB-C. Untuk menancapkan ke USB-A, tinggal memasang adaptor yang ada pada paket penjualannya.

WD MyPassport SSD - Converter

Bobot yang dimiliki oleh WD My Passport SSD ini sangat ringan, hanya 45,7 gram saja. Perangkat ini memiliki dimensi 100 x 55.12 x 8.89 mm, yang membuatnya paling mungil yang pernah saya pegang hingga artikel ini dibuat. Kabel USB-C yang dimiliki juga cukup tebal sehingga tidak mudah tertekuk.

Pengujian

Mengetahui bahwa WD My Passport SSD ini menggunakan NVMe, saya sudah membayangkan betapa kencangnya dalam membaca dan menulis data. WD sendiri menjanjikan kecepatan hingga 1.050 MB/s pada SSD yang satu ini. Hal tersebut tentu saja akan tercapai jika kita menggunakan USB 3.2 Gen 2 atau 3.1 Gen 2. Jika tidak, maka kecepatan yang didapat pasti di bawah angka tersebut.

Saat ini saya melakukan pengujian pada WD My Passport SSD ini dengan menggunakan port USB 3.1 Gen 2. Di atas kertas, port USB ini memiliki bandwidth tinggi, yaitu 10 Gb/s. Kinerja yang didapat dengan menggunakan port USB yang satu ini tentu saja akan membuat WD My Passprot SSD akan berlari dengan kecepatan tinggi.

Untuk menguji perangkat yang satu ini, saya menggunakan laptop yang digunakan sehari-hari pada kantor DailySocial. Laptop ThinkPad A485 yang saya gunakan memiliki sebuah port USB-C dan USB 3.1 Gen 2 yang bisa membuat WD My Passport SSD ini bekerja pada kecepatan paling tingginya. Berikut adalah hasil pengujian dengan menggunakan software benchmark

Saat digunakan dalam jangka waktu yang lama, tentu saja panas akan timbul pada SSD yang satu ini. Hal tersebut memang berkaitan erat dengan penggunaan SSD NVMe yang memang menimbulkan panas yang cukup terasa. Namun saat dipegang, panas yang dihasilkan tidak terlalu mengganggu. Mungkin hal ini berkaitan dengan penggunaan bahan plastik polikarbonat tersebut.

Kinerja ini sudah sangat bagus dijadikan sebuah drive untuk menyimpan game. Selain itu, pengguna PC atau laptop yang masih memakai HDD dengan kecepatan yang tidak kencang bisa mendapatkan manfaat dari SSD ini. Saat pengujian berlangsung, saya menggunakan WD My Passport SSD ini sebagai drive ReadyBoost Windows 10. Hal ini tentu saja sangat membantu meningkatkan kinerja PC secara keseluruhan.

Satu hal yang pasti, saya melakukan instalasi game Valorant yang biasanya memakan waktu cukup lama untuk loading pada sebuah HDD di laptop. Dengan melakukan perpindahan dari HDD ke SSD, tentu saja waktu loading serta kinerja gaming akan menjadi lebih baik.

Verdict

Untuk seorang profesional dan gamer, menggunakan sebuah hard disk eksternal sepertinya bisa menghambat kerja mereka. Hal tersebut dikarenakan selain membutuhkan kapasitas, kecepatan transfer data juga sangat dibutuhkan. Oleh sebab itu, sebuah SSD yang mampu dibawa ke mana saja saat ini sudah diperlukan. Hal tersebut bisa dilakukan dengan menggunakan WD My Passport SSD.

WD MyPassport SSD - 02

Tak usah meragukan kinerja dari perangkat penyimpanan yang mungil ini. Dengan kecepatan di atas 900 MB/s, membuat SSD ini bisa digunakan untuk bermain game-game AAA serta melakukan rendering video secara langsung. Selain itu, SSD ini juga bisa meningkatkan kinerja perangkat yang masih menggunakan hard disk, seperti menggunakannya sebagai cache drive. 

Solusi WD pada SSD ini untuk keterbatasan dukungan port USB-C memang cukup unik. Dengan memberikan sebuah adaptor dan bukan kabel USB-A, memastikan bahwa bandwidth yang dibutuhkan tidak akan bottleneck pada kabelnya. Namun, adaptor seperti ini kerap hilang karena tidak memiliki tali penghubung dengan kabel utama.

Western Digital mematok harga yang cukup tinggi pada SSD yang satu ini. Anda bisa memiliki My Passport SSD dengan kapasitas 1 TB pada harga Rp. 2.999.000. Dengan harga tersebut, pengguna bisa mendapatkan sebuah drive eksternal berkapasitas besar dan memiliki kecepatan transfer data yang tinggi pula.

Sparks

  • Kinerja tinggi dengan NVMe
  • Menyediakan solusi dua port, USB-C dan USB-A
  • Tahan benturan
  • Ringan

Slacks

  • Harga yang cukup mahal untuk sebuah penyimpan 1 TB
  • Tanpa indikator LED
  • Adaptor USB-C ke USB-A mudah hilang

Perkembangan Ekonomi Digital Indonesia Tahun 2020

Google, Temasek, dan Bain & Company kembali merilis laporan tahunan mereka “e-Conomy SEA 2020” yang mengulas tentang perkembangan bisnis digital atau internet di Asia Tenggara. Kali ini, judul yang diambil adalah “At full velocity: Resilient and racing ahead” — mengindikasikan bagaimana ambisi pemain digital bertahan dan mencoba menjaga pertumbuhan di tengah keterpurukan ekonomi global.

Ada 7 sektor digital yang disorot. Selain yang sudah ada sebelumnya, yakni e-commerce, transport & food, online travel, online media, dan financial services; tahun ini riset menambahkan dua lanskap bisnis baru yakni healthtech dan edtech — karena keduanya mengalami pertumbuhan signifikan di tengah pandemi Covid-19.

Pandemi juga mendorong penetrasi pengguna internet di regional, tercatat ada sekitar 40 juta pengguna baru di tahun 2020. Sehingga secara total di Asia Tenggara ada sekitar 400 juta pengguna internet — setara dengan 70% dari total populasi. Adanya pembatasan sosial membentuk kultur baru seperti kegiatan bekerja/sekolah dari rumah, memberikan dampak pada konsumsi layanan digital meningkat derastis.

Satu hal yang cukup menarik, di Indonesia 56% dari total konsumen layanan digital tahun ini datang dari luar area metro, sementara sisanya yakni 44% masih dari seputaran area metro. Sehingga bisa dikatakan, sampai saat ini perkembangan digital memang masih Jabodetabek-sentris; dan itu tidak dimungkiri karena ditinjau dari aksesibilitas sampai infrastruktur memang ada jenjang yang cukup signifikan antara area metro dan non-metro.

Gross Merchandise Value (GMV) jadi matriks yang digunakan untuk mengukur unit ekonomi dalam laporan ini; yakni mengisyaratkan pada nilai transaksi/penjualan yang terjadi dalam kurun waktu tertentu oleh pengguna. GMV untuk ekonomi internet di Asia Tenggara (mengakumulasi dari nilai yang didapat dari 7 sektor yang disorot) diproyeksikan akan melebihi $100 miliar. Indonesia akan memberikan sumbangsih $44 miliar atau setara 621 triliun Rupiah.

Di Indonesia, mayoritas GMV masih disokong oleh layanan e-commerce, yakni sebesar $32 miliar, disusul platform trasport & food senilai $5 miliar, online media $4,4 miliar, dan online travel $3 miliar.

Validasi baik untuk arah pertumbuhan ekonomi digital

Belum lama ini, APJII juga baru merilis laporan terbarunya terkait statistik pengguna internet di Indonesia. Spesifik di tahun 2020, kurang lebih ada 25 juta pengguna internet baru di tanah air (naik 8,9% dibanding tahun lalu). Berbagai dominasi Indonesia di banyak bahasan laporan Google-Temasek-Bain & Company turut memvalidasi Indonesia sudah berada di jalur yang benar dalam membangun ekonomi digitalnya.

Kendati tidak sedikit juga yang mengatakan bahwa fase ekonomi digital Indonesia masih “early stage”, setidaknya fondasinya sudah terbentuk dengan baik. Mengamati kembali pada satu dekade ke belakang, bisnis e-commerce dan ride-hailing mampu menjadi lokomotif industri yang baik, mereka memperluas cakupan digital savvy di Indonesia – baik dari kalangan konsumer maupun UKM. Implikasinya berbagai model bisnis (digital) baru lebih cepat diterima.

Covid-19 juga memberikan dampak yang sangat kasat mata. Beberapa sektor bisnis memang sangat terpukul, misalnya online travel, namun dari sana pula kita bisa melihat bagaimana penyelenggara layanan digital mampu beradaptasi cepat. Ambil contoh, gerak cepat OTA menyelamatkan bisnis dengan gencar mempromosikan layanan transportasi domestik atau model liburan “staycation”. Sehingga tidak mengherankan dalam statistik e-Conomy platform OTA masih punya posisi signifikan.

Di sisi lain, pandemi sebenarnya tengah mematangkan tingkat adopsi digital masyarakat. Keuntungannya bagi pemain digital mungkin bisa terlihat di kemudian hari. Saat lockdown masyarakat mulai membiasakan berbelanja, belajar, berkonsultasi kesehatan secara online, bisa jadi ini akan menjadi kebiasaan-kebiasaan baru yang bersifat seterusnya. Apalagi jika platform mampu mengakomodasi kebutuhan tersebut dengan baik, sehingga membawakan kesan yang lebih menyenangkan.

Dalam catatan internal kami, sepanjang pandemi ini transaksi pendanaan ke startup digital juga masih terus mengalir tanpa adanya perlambatan. Mengindikasikan tren baik terkait kepercayaan investor terhadap pelaku bisnis di Indonesia – di tengah resesi dan risiko kegagalan yang meningkat akibat dinamika ekonomi. Momentum ini tentu perlu dijaga untuk memastikan ekosistem startup Indonesia terus bertumbuh, dan merealisasikan visi bangsa untuk memimpin ekonomi digital Asia.

Gambar Header: Depositphotos.com

[Review] Lenovo Yoga Slim 7i Fabric Cover, Beda Dari Yang Lain

Pada awal bulan November ini saya kedatangan laptop premium unik yaitu Lenovo Yoga Slim 7i versi fabric cover. Model yang satu ini limited edition, jadi ketersediaannya terbatas dan akhiran i berarti ditenagai oleh prosesor Intel Core generasi ke-10.

Lalu, apa bedanya dengan Lenovo Yoga Slim 7i versi standar? Pertama material cover-nya, sesuai namanya penutup depan laptop ini menggunakan bahan kain yang membuatnya tampil beda, mewah, dan stand out tak seperti kebanyakan laptop yang ada. Untuk versi standar, cover-nya terbuat dari full metal.

Selain itu, yang membedakan selain lapisan cover ialah bagian layarnya. Di mana khusus untuk edisi fabric cover layarnya mendukung touchscreen, sisanya secara keseluruhan tidak ada perbedaan spesifikasi.

Untuk harganya, Lenovo Yoga Slim 7i versi fabric cover dengan prosesor Intel Core i7-1065G7 generasi ke-10 ini dibanderol Rp19.599.000 atau lebih mahal Rp1.350.000 dibanding versi full metal dengan spesifikasi yang sama.

Nah karena cover-nya dari kain, kalau misalnya kotor bagaiamana boleh dicuci tidak? Buat yang penasaran, simak review Lenovo Yoga Slim 7i fabric cover selengkapnya berikut.

Desain Mewah

Review-Lenovo-Yoga-Slim-7i-Fabric-Cover-2
Fabric Cover Lenovo Yoga Slim 7i | Photo by Lukman Azis / Dailysocial

Lenovo merancang fabric cover ini dengan detail dan presisi, bahan fabric/textile yang digunakan pun tahan terhadap api dan anti noda. Jadi cover kainnya bukanlah aksesori terpisah, tidak bisa dilepas maupun diganti apalagi dicuci, melainkan menyatu sepenuhnya dengan bodi aluminium.

Yang pasti perawatan Yoga Slim 7i versi fabric cover ini menuntut perlakuan khusus para penggunanya. Di dalam paket penjualannya, Lenovo memberi beberapa tips pemakian dan cara membersihkannya.

Antara lain jaga perangkat tetap kering saat digunakan dan disimpan. Hindari penggunaan di tempat yang memiliki suhu tinggi, paparan matahari secara langsung, dan hujan. Jauhkan dari benda yang rawan meninggalkan bekas noda dan simpan sebaik mungkin hindari dari benda tajam atau kasar untuk mencegah kain tergores atau sobek.

Review-Lenovo-Yoga-Slim-7i-Fabric-Cover-3
Fabric Cover Lenovo Yoga Slim 7i | Photo by Lukman Azis / Dailysocial

Kalau kotor bagaimana? Seka menggunakan kain lembut dan kering untuk membersihkan permukaan dan bila perlu basahkan sedikit kainnya. Menurut Lenovo, kain yang di sekitar tepi dan sudut layar relatif lebih rapuh, jadi hindari menggosok berulang kali di area tersebut.

Edisi fabric cover ini tersedia dalam warna slate grey saja, balutan warna lain seperti orchid dan dark moss tersedia untuk versi full metal. Dengan dimensi 320,6×208,18 mm dan ketebalan 14,9 mm, serta berat 1,43 kg. Ukuran bodinya sangat ringkas dan relatif cukup ringan.

Untuk konektivitas nirkabel, Yoga Slim 7i dibekali sudah WiFi 6 (2×2 802.11 ax) dan Bluetooth 5.0. WiFi 6 ini menawarkan latensi 75% lebih rendah daripada AC WiFi standar untuk streaming lebih lancar dan online surfing bebas buffering.

Untuk I/O port-nya, di sebelah kanan laptop terdapat slot microSD card reader, dua port USB-A 3.2 Gen 1, dan tombol power. Sedangkan, di samping kiri ada power in berbentuk port Type-C (PD 3.0), HDMI 2.0b, port Type-C Thunderbolt (USB 3.2 Gen 2 + DisplayPort 1.4b + PD 3.0), dan audio combo jack.

Layar & Keyboard

Review-Lenovo-Yoga-Slim-7i-Fabric-Cover-6
Layar Lenovo Yoga Slim 7i | Photo by Lukman Azis / Dailysocial

Saat laptop dibuka, terbentang layar 14 inci yang sedap dipandang berkat desain edge-to-edge dalam footprint 13 inci dan engsel bisa ditekuk hingga sudut 180 derajat. Bezel tepi layarnya terutama sisi kanan kirinya sangat tipis dan memiliki screen-to-body ratio mencapai 90%.

Layar 14 incinya ini ditopang resolusi 1920×1080 piksel menggunakan panel IPS. Layarnya sudah mendukung 100% sRGB, dengan tingkat kecerahan 300 nits, dan memiliki lapisan direct-bond glass yang dapat mengurangi pantulan.

Review-Lenovo-Yoga-Slim-7i-Fabric-Cover-7
Webcam Lenovo Yoga Slim 7i | Photo by Lukman Azis / Dailysocial

Posisi webcam berada di sisi atas bagian tengah dan dilengkapi dengan inframerah untuk facial recognition dengan dukungan Windows Hello. Fitur ini membuat proses masuk ke dalam sistem menjadi lebih praktis, tanpa perlu mengetikkan password.

Lenovo juga menyematkan fitur-fitur tambahan Smart AI seperti Smart Display yang mengenali ketika pengguna memalingkan muka dan secara otomatis menutupi konten di layar untuk keamanan tambahan. Serta, Snap Window yang memindahkan konten dari layar ke monitor yang terhubung hanya dengan menoleh.

Review-Lenovo-Yoga-Slim-7i-Fabric-Cover-8
Keyboard Lenovo Yoga Slim 7i | Photo by Lukman Azis / Dailysocial

Keyboard Yoga Slim 7i memiliki desain chiclet tanpa numpad dengan tampilan khas Lenovo dan dilengkapi backlit berwarna putih. Pengalaman mengetik dengan keyboard Yoga Slim 7i terasa nyaman, punya tactile–feedback dan responsif terhadap tekanan jari.

Kemudian pada bagian tengah dari palm rest terdapat touchpad yang cukup besar, letaknya sejajar dengan tombol space sehingga tidak mudah tersentuh tangan saat mengetik. Dilengkapi dengan driver Microsoft Precision dan memiliki beberapa fungsi gesture yang bisa diaplikasikan untuk kontrol dan navigasi.

Review-Lenovo-Yoga-Slim-7i-Fabric-Cover-9
Touchpad Lenovo Yoga Slim 7i | Photo by Lukman Azis / Dailysocial

Pada sisi kanan dan kiri keyboard terdapat dual speaker 4.0W yang didukung teknologi Dolby Audio menggunakan teknologi virtualiser surround untuk membuat audio tiga dimensi. Keluaran suaranya cukup lantang karena speaker tersebut menghadap ke atas sehingga tidak tertahan dan terdengar tetap jernih meski di volume tertinggi.

Hardware – Intel Core Ice-lake

Untuk spesifikasi, Lenovo Yoga Slim 7i sudah mengadopsi prosesor Intel Core Ice-lake generasi ke-10 yang lebih cerdas beradaptasi dengan para penggunanya. Sebab prosesor ini dioptimalkan dengan teknologi machine-learning untuk kinerja intuitif sesuai dengan kebutuhan.

 

Ada dua konfigurasi yang tersedia, varian dasar menggunakan prosesor Intel Core i5-1035G1 dengan RAM 8GB LP4X 3200 MHz dan storage 512GB SSD M.2 2280 NVME TLC. Varian top-nya menggunakan Intel Core i7-1065G7 dengan RAM 16GB LP4X 3200 MHz dual-channel, dan storage 1TB M.2 2280 NVME TLC.

Prosesor irit daya ini menggunakan fabrikasi 10nm dengan GPU terintegrasi Intel Iris Plus Graphics yang dapat menangani pengeditan video 4K dan pemprosesan foto beresolusi tinggi. Serta, kartu grafis diskrit NVIDIA GeForce MX350 2GB G5 yang menyediakan akselerasi grafis tambahan saat bermain game atau menjalankan tugas berat lainnya.

Khusus Lenovo Yoga Slim 7i fabric cover hanya tersedia dalam satu varian saja, yaitu dengan Intel Core i7-1065G7. Prosesor ini memiliki konfigurasi 4 core 1,3 GHz dan 8 thread, serta thermal design power 15 Watt. Berikut hasil benchmark-nya.

No Pengujian Skor
1 GeekBench 4 Single Core 1177
2 GeekBench 4 Multi Core 3877
3 PCMark 10 4275
4 Cinebench R15 705
5 Cinebench R20 1694
6 3DMark Sky Diver 12047
7 3DMark Cloud Gate 11837
8 3DMark Fire Strike 3701

Dengan baterai berkapasitas besar 60 Whr, Lenovo mengklaim daya tahan baterai laptop ini dapat bertahan hingga 14 jam. Lengkap dengan Rapid Charge Pro yang dapat mengisi baterai hingga 50% hanya dengan waktu pengisian 30 menit dan 80% dalam satu jam. Selain berkat kombinasi hardware yang hemat daya, itu juga berkat fitur Intelligent Cooling mode, cooling menggunakan AI ini dapat memperpanjang masa pakai baterai hingga rata-rata 15%-20%.

Verdict

Review-Lenovo-Yoga-Slim-7i-Fabric-Cover-16
Lenovo Yoga Slim 7i | Photo by Lukman Azis / Dailysocial

Lenovo merancang Yoga Slim 7i ini untuk para pekerja modern yang mencari laptop premium bodi ringkas dengan desain stylish. Namun memiliki performa yang powerful sesuai dengan lifestyle mereka yang sibuk.

Tak hanya sekedar tampil menawan dan cepat, Yoga Slim 7i juga dilengkapi fitur-fitur berbasis AI. Guna memberikan pengalaman yang lebih cerdas untuk membantu penggunanya agar lebih efektif dan efisien dalam pekerjaan sehari-hari.

Untuk Lenovo Yoga Slim 7i fabric cover merupakan limited edition, mewah dan beda dari yang lain. Seperti yang saya bilang di awal, perbedaannya dengan versi standar atau full metal terletak pada material cover dan penggunaan layar sentuh, sisa spesifikasinya identik.

Versi fabric cover atau full metal, keduanya memiliki pesonanya sendiri dan balik lagi ke selera masing-masing. Tentunya edisi fabric cover butuh perawatan ekstra untuk menjaganya tetap indah.

Untuk konfigurasi prosesor Intel Core i7-1065G7, versi fabric cover dibanderol Rp19.599.000 dan Rp18.249.000 untuk versi full metal, harganya memang tergolong sangat tinggi. Menurut saya konfigurasi Intel Core i5-1035G1 yang dibanderol Rp14.399.000 adalah opsi terbaik, performanya masih cukup kencang untuk komputasi sehari-hari.

Lagi pula, bila Anda membutuhkan performa yang lebih tinggi lagi. Saya pikir lebih cocok memilih laptop gaming seperti Lenovo Legion 5i karena menggunakan prosesor Intel Core tipe high performance graphics.

Sparks

  • Fabric cover yang tampil beda
  • Dimensi bodi ringkas dan build quality premium dengan kerangka alumunium
  • Prosesor Intel Core generasi ke-10 yang powerful dan dibekali fitur cerdas
  • Khusus edisi fabric cover memiliki panel touchscreen

Slacks

  • Fabric cover menuntut perawatan ekstra
  • Harganya tinggi

Apple Ungkap Generasi Baru Mac yang Dibekali Prosesor Bikinannya Sendiri

Setelah bertahun-tahun memercayakan pasokan prosesor lini Mac kepada Intel, Apple memutuskan sudah tiba saatnya bagi mereka untuk menggarap prosesor komputernya sendiri. Langkah ambisius ini pertama kali mereka umumkan di ajang WWDC 2020 pada bulan Juni lalu, dan realisasinya sudah bisa konsumen nikmati sekarang juga.

Chipset pertama Apple yang dirancang khusus untuk platform Mac ini mereka namai M1. Secara teknis, M1 merupakan sebuah system-on-a-chip (SoC) berarsitektur ARM – Apple Silicon kalau mengacu pada istilah yang digunakan Apple. Artinya, yang tertanam di M1 bukan cuma prosesor saja, melainkan juga GPU dan memory (RAM) sekaligus.

Seperti halnya chipset A14 yang terdapat pada iPhone 12 dan iPad Air generasi keempat, M1 juga dibuat menggunakan proses pabrikasi 5 nanometer, dengan total jumlah transistor yang mencapai angka 16 miliar. Secara struktural, chip M1 terdiri dari prosesor 8-core, GPU 8-core, dan Neural Engine 16-core.

Dalam presentasinya, Apple tidak segan memaparkan klaim demi klaim bahwa M1 tak hanya mempunyai kinerja yang lebih kencang daripada chip laptop pada umumnya, tapi juga menawarkan efisiensi daya yang jauh lebih tinggi. Apple mengilustrasikan bahwa kalau dibandingkan dengan “chip laptop terkini”, prosesor milik M1 sudah bisa menyamai performa maksimalnya hanya dengan mengonsumsi seperempat dari total energi yang dibutuhkan.

Untuk GPU-nya, Apple bilang total daya komputasinya mencapai 2,6 teraflop, paling tinggi untuk ukuran chip grafis terintegrasi. Apple bahkan sempat menunjukkan bagaimana game AAA seperti Baldur’s Gate 3 bisa berjalan mulus di M1. Meski demikian, kita juga tidak boleh lupa bahwa prosesor terbaru Intel juga punya performa gaming yang sangat mumpuni.

Selanjutnya, kehadiran Neural Engine berarti Mac yang ditenagai chip M1 bakal lebih cekatan dalam mengerjakan tugas-tugas berbasis machine learning seperti voice recognition, face recognition, object detection, dan lain sejenisnya. Hal ini cukup krusial mengingat belakangan semakin banyak aplikasi yang menawarkan fitur-fitur berbasis machine learning.

Eksistensi M1 secara otomatis juga menuntut Apple untuk mengoptimalkan macOS buat platform ARM, dan itulah yang mereka lakukan pada versi terbarunya, macOS Big Sur. Semua aplikasi bawaannya kini dapat berjalan secara native, namun Apple turut memastikan bahwa aplikasi pihak ketiga yang belum sempat di-update pun tetap bisa berjalan secara normal. Juga sangat menarik adalah fakta bahwa semua aplikasi iPhone dan iPad kini kompatibel dengan macOS.

Tiga Mac pertama yang dibekali chip M1

MacBook Air M1

Apple bilang bahwa proses transisi dari platform Intel ke Apple Silicon ini bakal memakan waktu sekitar dua tahun. Di tahap awal ini, mereka langsung memperbarui tiga model Mac sekaligus dengan chip M1, yaitu MacBook Air, MacBook Pro 13 inci, dan Mac Mini.

Memilih MacBook Air sebagai kandidat pertama merupakan keputusan yang sangat rasional. Pasalnya, Air selama ini merupakan model terlaris dari seluruh lini Mac, dan ia juga merupakan laptop paling terjangkau yang Apple jual saat ini. Di saat yang sama, Air juga adalah yang paling lemah kinerjanya di antara model MacBook lain.

Berkat penggunaan chip M1, Apple mengklaim kinerja prosesor MacBook Air bisa naik sampai 3,5x dibanding generasi sebelumnya. Performa grafisnya malah bisa 5x lebih kencang, dan pada praktiknya, MacBook Air yang ditenagai chip M1 ini sanggup mengedit sekaligus memutar video 4K dalam format ProRes di aplikasi Final Cut Pro tanpa kesulitan.

Semua itu tanpa mengorbankan efisiensi energinya. Menurut Apple, baterai milik MacBook Air generasi terbaru ini baru akan habis setelah dipakai menonton video selama 18 jam, atau 6 jam lebih lama daripada generasi sebelumnya.

Selebihnya, MacBook Air generasi terbaru ini masih mengadopsi desain yang sama persis seperti sebelumnya. Harga jualnya pun tidak berubah, masih $999 untuk konfigurasi terendahnya.

MacBook Pro M1

Selain MacBook Air, M1 juga mendapat tempat di MacBook Pro 13 inci. Hal ini tentu terdengar menarik, sebab selama ini lini MacBook Pro selalu menawarkan performa yang lebih tinggi daripada MacBook Air. Berhubung sekarang chipset yang digunakan sama persis, keduanya tentu menawarkan kinerja yang identik, bukan?

Tidak sepenuhnya, sebab ada satu perbedaan fundamental: MacBook Pro 13 inci datang membawa kipas pendingin, sedangkan MacBook Air sama sekali tidak dilengkapi kipas. Asumsi saya, ini berarti MacBook Pro mampu mempertahankan performa puncaknya lebih lama daripada MacBook Air. Dengan kata lain, performa MacBook Pro 13 inci semestinya bisa lebih konsisten ketimbang MacBook Air meski mengemas chipset yang identik.

Lalu kalau dikomparasikan dengan MacBook Pro generasi sebelumnya, Apple bilang ada peningkatan performa CPU hingga 2,8x dan GPU sampai 5x. Kala dipraktikkan, ini berarti MacBook Pro 13 inci dengan chip M1 mampu memutar video 8K dalam format ProRes di aplikasi DaVinci Resolve secara lancar.

Selain performa yang lebih konsisten, keuntungan lain memilih MacBook Pro 13 inci ketimbang MacBook Air adalah daya tahan baterai yang lebih lama lagi, sampai 20 jam pemutaran video nonstop kalau kata Apple, atau dua kali lebih awet daripada generasi sebelumnya.

Sisanya lagi-lagi sama. Touch Bar-nya masih sama, dan secara keseluruhan tidak ada sedikit pun yang berubah dari bentuknya. Apple juga masih mempertahankan harga jual mulai $1.299 untuk MacBook Pro 13 inci. Namun yang menarik, Apple juga masih menjual MacBook Pro 13 inci yang ditenagai prosesor Intel.

Pertanyaannya, untuk apa Anda harus memilih MacBook Pro 13 inci versi Intel kalau sudah ada yang versi M1? Saya menemukan setidaknya ada dua skenario, yakni ketika Anda membutuhkan kapasitas RAM yang lebih besar dari 16 GB, dan apabila dua port USB-C saja tidak cukup buat Anda. Jadi kalau Anda merasa RAM 32 GB dan empat port USB-C itu wajib, sejauh ini opsi tersebut cuma ada pada versi Intel.

Mac Mini M1

Terakhir, chip M1 juga ikut merambah segmen desktop, dimulai dari Mac Mini. Dibandingkan dengan generasi sebelumnya, Mac Mini yang ditenagai chip M1 ini diyakini mampu menyuguhkan kinerja CPU 3x lebih kencang dan kinerja grafis 6x lebih gegas.

Untuk mengilustrasikan peningkatan performanya, Apple bilang bahwa Mac Mini dengan chip M1 mampu membuka tiga kali lebih banyak plugin pada aplikasi Logic Pro, serta sanggup menjalankan game Shadow of the Tomb Raider pada frame rate 4x lebih tinggi. Sama seperti MacBook pro 13 inci, Mac Mini turut dilengkapi kipas pendingin demi meminimalkan terjadinya thermal throttling.

Yang paling menarik, Mac Mini generasi baru ini dibanderol mulai $699, atau $100 lebih murah daripada harga generasi sebelumnya yang ditenagai prosesor quad-core Intel. Di Amerika Serikat, ketiga Mac versi ARM ini sudah mulai dipasarkan sekarang juga.

Sumber: Apple 1, 2.

PlayStation 5 Tiba di Indonesia 22 Januari 2021

Wahai para gamer yang sudah tidak sabar menanti kehadiran PlayStation 5 di Indonesia, saya punya kabar buruk sekaligus kabar baik. Kita mulai dari kabar buruknya lebih dulu: libur akhir tahun 2020 ini terpaksa harus Anda lalui tanpa dampingan console next-gen tersebut. Ya, meskipun Sony bakal segera menjual PS5 di beberapa negara, Indonesia baru akan kebagian jatah mulai tahun depan.

Kabar baiknya, yang dimaksud tahun depan adalah Januari 2021. Berdasarkan siaran pers yang saya terima dari Sony, PlayStation 5 bakal tersedia secara resmi di tanah air pada tanggal 22 Januari 2021, dan konsumen sudah bisa melakukan pre-order sejak 18 Desember 2020.

Lalu berapa banyak tabungan yang harus Anda sisihkan agar bisa meminang console terbaru Sony ini? Rp8.799.000 untuk PS5 versi standar yang dilengkapi Ultra HD Blu-ray disc drive, atau Rp7.299.000 untuk PS5 Digital Edition yang tidak punya optical drive sama sekali.

Harga PlayStation 5 di Indonesia

1,5 juta rupiah adalah selisih harga yang cukup lumayan di antara kedua model PS5 tersebut. Sebagai gambaran, satu unit controller DualSense dihargai Rp1.269.000 kalau konsumen ingin membeli unit ekstra. Seandainya tidak ada perubahan pada versi yang dipasarkan di Indonesia, paket penjualan PS5 sendiri sudah mencakup satu unit controller DualSense.

Untuk aksesori PS5 lainnya, rincian harga resminya adalah sebagai berikut:

  • Pulse 3D Wireless Headset – Rp1.699.000
  • HD Camera – Rp999.000
  • Media Remote – Rp499.000
  • DualSense Charging Station – Rp499.000

Untuk game-nya sendiri, Sony telah menyiapkan setidaknya lima judul next-gen karya studio internalnya sendiri:

  • Astro’s Playroom (Japan Studio) – pre-installed di PS5
  • Demon’s Souls (Bluepoint Games / Japan Studio) – Rp1.029.000
  • Marvel’s Spider-Man: Miles Morales (Insomniac Games) – Rp729.000
  • Marvel’s Spider-Man: Miles Morales Ultimate Edition (Insomniac Games) – Rp1.029.000
  • Sackboy A Big Adventure (Sumo Digital / XDEV) – Rp879.000

Grab Resmikan Markas Kedua di Jakarta, Sekaligus Jadi Pusat Inovasi UKM

Grab meresmikan kantor pusat keduanya atau dual headquarter di Jakarta, setelah Singapura. Kantor tersebut sekaligus menjadi Tech Center atau pusat inovasi kawasan Asia Tenggara yang didedikasikan untuk mengembangkan berbagai solusi teknologi untuk UKM Asia Tenggara.

Dalam peresmiannya, turut mengundang jajaran menteri. Mereka adalah Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Menteri Komunikasi dan Informatika, Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional, Menteri Perhubungan, Menteri Koperasi dan UKM, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Menteri Keuangan, dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal.

Selain menteri, Ilham Habibie selaku perwakilan keluarga BJ Habibie turut hadir untuk meresmikan aula BJ Habibie Hall yang berlokasi di Tech Center.

Grab Tech Center ini bertempat di Gama Tower, di kawasan Kuningan (Jakarta) seluas lebih dari 12 ribu meter persegi, menempati sembilan lantai gedung.

Co-Founder dan Group CEO Grab Anthony Tan menerangkan, Indonesia adalah rumah bagi lebih dari 64 juta UKM, baru 16% di antaranya yang telah terdigitalisasi. Artinya 8 dari 10 UKM belum memperoleh manfaat dari ekonomi digital.

“Pusat teknologi kami akan difokuskan pada pengembangan solusi “Buatan Indonesia” untuk para UKM, merchant, dan agen GrabKios. Kami akan membangun fitur-fitur yang disesuaikan dengan kebutuhan para pelaku usaha Indonesia,” terangnya dalam konferensi pers secara virtual, Selasa (10/11).

Sesuai dengan tujuannya, Tech Center akan difokuskan untuk meriset, merancang, dan menguji coba berbagai perangkat dan teknologi yang ditujukan bagi para UKM di Indonesia terlebih dulu. Lalu, akan diekspor ke pasar berkembang lainnya di Asia Tenggara, di mana Grab beroperasi.

Ia akan menaungi tim yang fokus pada penelitian dan pengembangan (R&D) GrabKios, Merchant, dan GrabFood, dengan serangkaian divisi lengkap yang diperlukan untuk pengembangan produk yang menyeluruh. Hal ini mencakup manajemen produk, desain produk, analisis produk, software engineering, hingga quality assurance engineering.

Grab berencana untuk semakin memperkuat kapabilitas di backend engineering, mobile front-end engineering, serta site reliability engineering. Salah satu tanggung jawab utama tim Tech Grab Indonesia adalah mengembangkan platform berbagai produk digital Grab. Melalui itu, akan dibangun berbagai jenis produk guna menciptakan sumber pendapatan tambahan bagi para pengemudi dan mitra agen Grab.

Anthony mencontohkan, salah satu inovasi yang dikerjakan adalah bertambahnya 7 ribu pasar tradisional ke sistem pemetaan Grab sejak bulan lalu. Dengan demikian, kini pelanggan dapat menemukan pasar favorit dari lokasi terdekat dengan menggunakan Grab Assistant, layanan concierge pribadi.

“Para pemimpin dan tim kami di Indonesia telah melakukan banyak hal dalam delapan bulan terakhir, dan menunjukkan betapa pedulinya mereka terhadap mitra-mitra kami. Dengan pusat teknologi ini, kami akan berinvestasi lebih banyak untuk mengembangkan talenta teknologi lokal dan mendidik generasi pemimpin teknologi Indonesia berikutnya.”

Contoh inovasi lainnya adalah fitur aplikasi GrabMerchant yaitu Self-Onboarding (Pendaftaran Mandiri) yang memungkinkan pengusaha makanan untuk mendaftarkan diri dan menjalankan bisnisnya di Grab dalam waktu 24 jam. Fitur ini dibuat oleh tim Grab Indonesia dan diklaim berhasil mempercepat upaya perusahaan untuk mendigitalkan lebih banyak pelaku UKM selama pandemi.

Antara bulan Mei sampai September 2020, tercatat ada lebih dari 70 ribu merchant di Indonesia telah bergabung dengan Grab melalui fitur tersebut. Perusahaan berencana untuk meluncurkan fitur ini di pasar-pasar lain di kawasan Asia Tenggara.

Presiden of Grab Indonesia Ridzki Kramadibrata melanjutkan, Grab memiliki komitmen jangka panjang dan berkelanjutan di Indonesia. Grab Tech Center ditujukan untuk meningkatkan kapabilitas teknologi Grab di Indonesia dalam rangka membangun berbagai solusi yang dibutuhkan masyarakat Indonesia.

“Namun tidak terbatas pada itu saja. Kami juga ingin berkontribusi dalam mengembangkan potensi teknologi Indonesia dan berharap dapat memboyong teknologi Buatan Indonesia ke seluruh Asia Tenggara,” ujarnya.

Di Indonesia, Grab telah beroperasi di lebih dari 500 kota dan memberdayakan lebih dari enam juta pengusaha UKM. Perusahaan juga berhasil mendigitalisasi lebih dari 450 ribu UKM selama pandemi. Ridzki menyebut lewat Tech Center, pihaknya akan menambah 5 juta UKM yang dapat didigitalkan sampai lima tahun mendatang.

Application Information Will Show Up Here

LinkAja Announces 1.4 Trillion Rupiah Series B Funding Led by Grab

E-money platform LinkAja announced the Series B funding worth around $100 million (1.4 trillion Rupiah) led by Grab. Also participated in this round the previous investors, Telkomsel, BRI Ventures, and Mandiri Capital. There is no mention of LinkAja’s current valuation. This funding is the first funding for LinkAja from a company outside the BUMN.

This funding will be fully utilized to accelerate LinkAja‘s growth to become a national financial technology leader that focuses on middle-class consumers and SMEs in Indonesia.

Grab’s strategic investment includes a wide range of synergies and potential collaborations for both parties. This synergy and collaboration in terms of ecosystem access and technology will accelerate financial inclusion for the Indonesian people.

In an official statement, LinkAja President Director Haryati Lawidjaja said that his team is very enthusiastic on Grab’s involvement as a shareholder in the company. He believes this strategic partnership supported by investment and the power of Grab’s technology will strengthen LinkAja’s services in presenting effective solutions to provide financial and economic access for the Indonesian people.

“We are very grateful for the trust and support of all shareholders and the Ministry of BUMN. The Series B investment from Grab, Telkomsel, BRI Ventures, and Mandiri Capital is a form of trust in the business model and initial achievements that LinkAja has achieved in one fell swoop since its establishment,” he said, Tuesday (10/11).

Grab Indonesia’s Managing Director, Neneng Goenadi also said that the company decided to invest in LinkAja because the two companies could accelerate the goal of accelerating financial inclusion in Indonesia.

“The strategic collaboration between LinkAja and our digital ecosystem, including OVO and Tokopedia, allows us to provide a variety of cashless services for all levels of Indonesian society safely, comfortably and easily accessible,” said Neneng.

Previously, in November last year LinkAja was available as a payment option in the Grab application and also its competitor Gojek.

LinkAja achivements in 2020

Haryati continued that the success of raising investment in the midst of this pandemic has proven the investor’s trust in the LinkAja business with many of leading supports.

In terms of shareholders from state-owned boards; a unique business model resulting from strategic partnerships with state-owned enterprises, local, central and private governments, which come from multi-industry; hyperlocal knowledge base and distribution network with extensive coverage in second and third tier cities, plus more than 1 million cash in/cash out receiving points.

“An innovative product with a strong brand that is rapidly developing into an iconic local fintech platform, and a provider of daily necessities with payment methods that can be accepted across thousands of merchants, with a variety of e-commerce, and various means of transportation.”

LinkAja is claimed to be able to increase the gross transaction value (GTV) and the number of transactions in the third quarter of this year by 3 times compared to the same period in the previous year.

It is said that LinkAja now has 58 million registered users, with more than 80% of them coming from second and third tier cities. Last April, the company launched its sharia services and has received a Sharia Conformity certification license from DSN MUI and Bank Indonesia. This Sharia service is claimed to have more than one million users, within its six months operation.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Review Catalyst Black: Sensasi Keseruan Pertandingan 10 vs 10

Secara mengejutkan, Super Evil Megacorp meluncurkan versi “Geo-Beta Indonesia” untuk game terbaru yang berjudul Catalyst Black pada 7 November 2020 kemarin. Sang pengembang game Vainglory tersebut memang sudah terlihat mulai sibuk mempersiapkan sesuatu sejak dari 6 November 2019. Ketika itu, Super Evil Megacorp mengumumkan sesuatu bernama “Project Spellfire” yang akhirnya diungkap sebagai sebuah game bernama “Catalyst Black” pada tanggal 30 April 2020 kemarin.

Sebagai seorang penggemar Vainglory, rasa penasaran saya memuncak ketika Super Evil Megacorp mengumumkan akses terbuka terhadap Catalyst Black. Setelah meng-install dan mencobanya, ternyata Catalyst Black berhasil menyedot perhatian saya. Akhirnya sepanjang akhir pekan kemarin pun saya jadi keranjingan main Catalyst Black selama beberapa saat. Kenapa bisa begitu? Berikut ulasan saya terhadap game Catalyst Black.

 

Tiga Elemen Bersatu, MOBA + Battleground + Shooter

Menjadi inovatif sepertinya sudah ada di dalam nadi Super Evil Megacorp sebagai perusahaan pengembang game. Jika kita melihat ke belakang, Vainglory juga terbilang inovatif pada zamannya. Tahun 2014, ketika game bersifat real-time multiplayer untuk mobile masih seperti mitos, Super Evil Megacorp memutuskan mendobrak pintu tersebut dan menciptakan Vainglory.

Tak hanya itu, mereka juga menciptakan format 3 vs 3 di mobile. Dengan format tersebut Vainglory berhasil menyeimbangkan kesederhanaan game mobile dengan kompleksitas genre MOBA yang ada di PC. Walaupun begitu, Super Evil Megacorp terbilang tidak sepenuhnya mendobrak keadaan. Sebenarnya sudah ada juga beberapa MOBA untuk mobile pada zaman itu. Walau demikian, Vainglory terbilang menjadi salah satu MOBA pertama untuk mobile yang paling solid secara gameplay sebelum akhirnya Mobile Legends dan AOV rilis.

Dalam hal Catalyst Black, Super Evil Megacorp menyajikan konsep segar dalam bentuk genre yang disebut sebagai “Battleground Shooter”. Sebutan itu terbilang cukup asing karena nama genre Battleground Shooter terbilang belum pernah digunakan oleh developer game lain. Dibilang Shooter karena aksi peperangan Catalyst Black melibatkan tembak menembak antar pemain dengan menggunakan senjata api dari sudut pandang orang ketiga. Tapi apa maksudnya genre Battleground?

Dalam satu permainan, Catalyst Black bisa berisi sampai dengan 20 orang dengan format 10 pemain melawan 10 pemain. Walaupun begitu, jumlah dan ukuran medan pertempuran bisa bervariasi. Kadang Anda bisa bermain 5 vs 5 dengan map yang kecil atau bisa bermain di map yang besar dengan jumlah yang saya sebut di atas. Mungkin hal tersebut adalah alasan kenapa Catalyst Black dikelompokkan dalam genre “Battleground”.

Tapi jangan sampai salah kaprah antara Battleground dengan Battle Royale. Ciri khas genre Battle Royale adalah menjadi last-man standing. Sementara pada sisi lain, gameplay Catalyst Black bukan untuk menjadi last-man standing, melainkan bertarung dalam format tim vs tim dengan beberapa objektif. Jadi kalau harus dideskripsikan lebih sederhana lagi, Catalyst Black bisa dibilang punya gameplay mirip dengan Brawl Stars besutan Supercell tapi dengan tempo yang lebih cepat dan jumlah pemain yang lebih banyak di dalam satu pertandingan.

Bicara soal objektif permainan, Catalyst Black menyajikan tiga mode permainan pada fase geo-beta ini. Tiga mode tersebut adalah Capture The Flag, Flag Hunter, dan Core Rush.

Dalam mode Capture the Flag tugas Anda adalah untuk menyerang markas musuh, mencuri bendera, lalu membawanya ke markas Anda sendiri. Mode Flag Hunter agak mirip dengan mode Gem Grab di dalam game Brawl Stars. Tugas Anda sebagai pemain adalah mengalahkan monster besar yang memegang bendera. Setelah berhasil dikalahkan, ambil dan pertahankan bendera sebanyak mungkin sampai durasi permainan habis. Terakhir ada mode Core Rush. Dalam mode tersebut pemain memiliki tugas untuk mengalahkan monster besar bernama Keepers dan Alpha Keepers. Setelah sang monster dikalahkan, pertahankan area di sekitar tempat Anda mengalahkan monster selama beberapa saat. Mengalahkan Keepers memberikan 1 poin, mengalahkan Alpha Keepers memberikan 3 poin.

Sumber: Official SEMC
Sumber: Official SEMC

Menurut saya, Core Rush adalah mode yang membuat Catalyst Black unik. Mode tersebut juga menjadi salah satu mode Super Evil Megacorp menyelipkan sedikit elemen MOBA ke dalam Catalyst Black. Biasanya ada waktu tertentu Anda berebut monster besar demi mendapatkan Monster Buff di MOBA.

MLBB punya Lord, AOV punya Dark Slayer (DS), dan Wild Rift punya Baron untuk diperebutkan. Bertarung 5 vs 5 memperebutkan satu buah Lord/DS/Baron saja serunya sudah minta ampun. Sekarang coba bayangkan berebut 3 buah Lord/DS/Baron dalam format pertarungan 10 vs 10? Seperti itulah cerita saya kalau ada orang menanyakan “Catalyst Black seru atau enggak sih?” atau “seseru apa sih Catalyst Black?”.

 

Gameplay Kompetitif namun Terasa Casual Berkat Sistem Drop-In Drop-Out

Inti permainan Catalyst Black terbilang sangat kompetitif. Mode Core Rush mungkin bisa jadi contoh mode permainan yang paling kompetitif dari Catalyst Black. Dalam mode tersebut kita harus mengalahkan Keepers (Semacam Lord versi Catalyst Black) lalu mengambil Keepers Core untuk mendapat poin. Tim yang lebih dulu mencapai 15 poin (map besar) atau 10 poin (map kecil) akan menjadi pemenang.

Bayangkan apabila perolehan poin sedang sengit, 9-10 misalnya. Dalam keadaan tersebut pertarungan bisa menjadi begitu intens dan kompetitif karena ada 10 orang dari masing-masing tim saling memperebutkan satu area yang ditunjuk.

Serunya sensasi perang secara online lewat Catalyst Black. Hybrid.co.id oleh Akbar Priono
Serunya sensasi perang secara online lewat Catalyst Black. Hybrid.co.id oleh Akbar Priono

Menembak musuh adalah perkara mudah di Catalyst Black karena ada fitur auto-aim. Walau begitu Anda tetap butuh strategi yang tepat dalam memainkan Loadout yang Anda gunakan (lebih lanjut soal sistem Loadout akan kita bahas nanti). Salah langkah sedikit, Anda akan mati dan tim Anda akan kekurangan pasukan. Apabila kekurangan pasukan, maka usaha untuk memperebutkan area pun jadi jauh lebih sulit.

Meski saya menikmati Catalyst Black sebagai pemain kompetitif, saya merasa game ini membuka ruang yang cukup besar untuk para pemain casual. Mungkin ini juga terbilang sebagai pelajaran lain yang SEMC pelajari dari proses mereka mengembangkan Vainglory.

Dalam satu sesi Hybrid Talk saya sempat berbincang dengan Kevin Michael Johnson atau “Cloaken” selaku Live Design Director dari Super Evil Megacorp. Ketika itu Cloaken sempat menjelaskan bahwa salah satu yang mereka pelajari dari Vainglory adalah waktu matchmaking yang lama. Karena hal tersebut, beberapa pemain jadi merasa tidak nyaman.

Apalagi juga mengingat pola konsumsi game mobile yang cenderung ingin serba cepat. Menanggapi hal tersebut, maka Super Evil Megacorp menerapkan sistem Drop-In Drop-Out atau disingkat DIDO di dalam Catalyst Black.

Sebenarnya dalam perbincangan tersebut, Cloaken menjelaskan lebih lanjut cara sistem DIDO bekerja. Tetapi pada intinya, di dalam Catalyst Black Anda bisa keluar-masuk suatu pertandingan kapanpun Anda mau.

Saya tidak merasa terlalu takjub ketika awal mencobanya. Karena saya merasa bisa keluar pertandingan kapan saja bukan sesuatu yang spesial. Walau begitu, fitur tersebut tetap berguna terutama untuk menghindari hukuman AFK. Jadi Anda tidak perlu khawatir lagi kalau tiba-tiba disuruh mak membeli beras di warung ketika sedang main. Anda bisa keluar dari pertandingan kapanpun Anda mau dan tidak mendapat hukuman.

Tapi untuk saya yang bermental kompetitif sih, bisa keluar pertandingan kapanpun terbilang kurang terasa bermanfaat. Karena biasanya saya sudah meluangkan satu waktu untuk fokus sepenuhnya bermain game dan menyelesaikan pertandingan. Paling-paling, fitur tersebut baru berguna bagi saya apabila lagi asyik main lalu tiba-tiba ditelpon pacar… Hehe.

Istimewanya dari penerapan fitur tadi adalah kemungkinan untuk gabung pertandingan kawan kapanpun Anda mau. Ketika baru rilis, beberapa pemain sempat kelabakan karena bingung tidak ada fitur Party. Melihat keadaan tersebut, saya lalu mencoba Add Friend secara acak dari kawan-lawan yang saya temui di dalam pertandingan. Ternyata benar, fitur Party memang tidak ada. Tapi sebagai gantinya, kita bisa tahu apabila kawan sedang bermain dan mode permainan apa yang sedang ia mainkan. Apabila Anda ingin mabar, ada tombol Join di sebelah nickname yang langsung membawa Anda ke dalam pertandingan yang sedang dijalani sang teman.

Walau bisa Join kapapnpun yang kita mau, sistem DIDO tidak bisa memastikan apakah kita akan menjadi kawan atau lawan dari teman yang sedang bertanding. Fokus sistem DIDO adalah untuk terus menyeimbangkan pertandingan. Apabila ada satu orang dari fraksi biru keluar dari pertandingan, maka pemain baru yang join akan dimasukkan ke dalam fraksi tersebut demi menyeimbangkan jumlah pemain antar tim di dalam pertandingan.

Hal tersebut mungkin juga jadi alasan kenapa fitur Party jadi tidak ada. Mengapa begitu? Karena fitur Party bisa jadi membuat pertandingan tidak adil. Pemain dalam Party tentu berharap bisa disatukan di dalam satu tim tim.

Jika skenario yang saya sebut di atas terjadi, kehadiran fitur Party bisa saja membuat satu fraksi punya jumlah pemain yang lebih banyak dibanding fraksi lainnya. Kenapa begitu? Karena satu orang yang keluar jadi bisa digantikan dengan beberapa orang sekaligus dari Party. Dampak dari hal tersebut adalah jumlah anggota tim yang bertanding jadi tidak seimbang.

Foto Hybrid.co.id oleh Akbar Priono
Game akan memberi tahu apabila teman dari Friend List bergabung ke dalam pertandingan Anda. Foto Hybrid.co.id oleh Akbar Priono

Selain itu, sistem Catalyst Black juga sangat informatif terhadap teman dalam Friend List yang bergabung ke dalam pertandingan. Selain diberi tahu dalam bentuk announcer, sistem juga akan membedakan warna Heatlh Bar teman di dalam Friend List yang bergabung ke dalam pertandingan kita. Berkat sistem ini, pemain jadi punya pilihan “mabar” yang menarik.

Misalkan teman tergabung ke dalam pertandingan sebagai lawan, Anda mungkin bisa cegat pergerakannya dan ajak duel adu tembak teman Anda terlepas dari kondisi yang sedang terjadi di dalam pertandingan.

Misalkan teman tergabung ke dalam pertandingan sebagai kawan, maka Anda jadi bisa koordinasi lebih mudah untuk memenangkan pertandingan. Jadi, bermain bersama kawan di Catalyst Black sebenarnya terbilang cukup mudah. Selain langsung Join dari pertandingan yang sudah berjalan, Anda mungkin juga bisa menyiasatinya dengan cara Find Match secara bersamaan agar tergabung di dalam satu pertandingan yang sama.

Selain bisa keluar dari pertandingan kapanpun Anda mau, saya juga merasa permainan Catalyst Black cenderung mudah dan sangat casual-friendly walaupun memiliki kedalaman mekanik yang bersifat kompetitif.

Berhubung format pertandingan bisa mencapai 10 vs 10, sekadar asal tembak dan membunuh lawan yang ada di hadapan juga sudah tergolong membantu memenangkan permainan. Tidak perlu repot memikirkan objektif apa yang harus direbut ataupun strategi tertentu untuk bisa memenangkan permainan.

Tapi Anda juga bisa main “mikir” dan kompetitif di dalam Catalyst Black. Penyebabnya adalah karena game ini memiliki beberapa objektif yang jelas, sistem Loadout beragam dengan gaya main yang berbeda-beda, dan mekanik permainan yang beragam layaknya sebuah game MOBA.

 

Grafis Ciamik yang Teroptimasi Berkat EVIL Engine

Catalyst Black masih mewarisi peninggalan Vainglory. Catalyst Black menggunakan EVIL Engine yang terkenal bisa memproduksi grafis ciamik serta frame mulus tanpa harus memberi beban yang terlalu berat kepada komponen hardware di dalam smartphone.

Walaupun SEMC tidak merilis kebutuhan minimum hardware smartphone untuk memainkan Catalyst Black, tetapi saya merasa bahwa game ini sangat ringan. Saya sangat jarang merasakan lagframe-drop, ataupun stutter sepanjang saya memainkan Catalyst Black. Padahal, Anda bisa bayangkan sendiri betapa hebohnya efek tembakan, ledakan, dan cabikan dari monster apabila pertarungan 10 vs 10 + monster Alpha Keepers sedang berjalan begitu intens.

Device yang saya gunakan memang tergolong kelas menengah menuju atas yaitu Pocopohone F1 dan Samsung Galaxy A31. Pengaturan grafis default pada Pocophone F1 adalah Medium Detail dan Graphic Scale sebesar 70 poin. Sementara pada Samsung Galaxy 31 saya mendapat pengaturan grafis default berupa Medium Detail dan Graphic Scale sebesar 50 poin.

Tangkapan Gambar Pribadi - Akbar Priono
Hadir dengan gaya visual baru, Catalyst Black tetap menyajikan grafis ciamik khas dari game besutan SEMC. Tangkapan Gambar Pribadi – Akbar Priono
Tangkapan Gambar Pribadi - Akbar Priono
Contoh lain keindahan visual yang ditampilkan oleh Catalyst Black. Tangkapan Gambar Pribadi – Akbar Priono

Dengan pengaturan default, saya dapat menikmati Catalyst Black dengan animasi 60 fps yang mulus pada dua smartphone tersebut. Frame Rate game tetap bertahan pada kisaran 60an walaupun pertarungan sedang berjalan dengan intens.

Tapi memang, pengaturan default pada Samsung Galaxy A31 membuat game jadi terlihat “burik”. Model karakter jadi bergerigi dan terlihat “8-bit” walaupun lingkungan game secara keseluruhan masih sedap dipandang. Sementara pengaturan defaut pada Pocophone F1 terbilang tidak banyak memberi masalah. Animasinya mulus dan grafis juga lebih tajam karena tingkat Graphic Scale yang lebih tinggi.

Saya lalu mencoba mengotak-atik grafis sambil mencari pengaturan paling optimal. Saya menggunakan Samsung Galaxy A31 supaya hasil percobaan saya bisa lebih mewakili para pengguna device “kentang”.

Pertama-tama saya mencoba dengan pengaturan grafis rata kanan, High Detail, Graphic Scale sebesar 100 %, dengan Fog of War Smoothing dan High Quality Textures menyala. Hasilnya game jadi kurang playable walaupun grafis jadi sangat memikat. Game jadi kurang playable karena animasi menjadi sangat kasar, mungkin sekitar 10-15 fps. Karena animasinya tidak mulus, memperkirakan gerakan musuh jadi terasa sangat sulit.

Setelah itu saya lalu mencoba menjalankan game dengan Low Detail, Graphic Scale sebesar 100 poin, dengan Fog of War Smoothing dan High Quality Textures menyala. Hasilnya adalah animasi game berjalan mulus 60 fps dengan mempertahankan kualitas grafis.

High Detail, Graphics Scale 100. Tangkapan Gambar Pribadi - Akbar Priono
High Detail, Graphics Scale 100. Tangkapan Gambar Pribadi – Akbar Priono
Low Detail, Graphics Scale 0. Tangkapan Gambar Pribadi - Akbar Priono
Low Detail, Graphics Scale 0. Tangkapan Gambar Pribadi – Akbar Priono
Low Detail, Graphics Scale 100. Tangkapan Gambar Pribadi - Akbar Priono
Low Detail, Graphics Scale 100. Tangkapan Gambar Pribadi – Akbar Priono

Selain itu, saya juga merasa perbandingan kualitas grafis antara pengaturan Low Detail dengan High Quality Detail tidak berbeda jauh. Jadi sepertinya Low Detail dengan Graphic Scale 100 poin adalah pengaturan paling optimal untuk mendapatkan grafis paling ciamik dengan animasi paling mulus. Perbandingannya bisa Anda lihat sendiri pada kumpulan tangkapan gambar saya di atas paragraf ini.

Selain opsi tersebut, pengaturan Fog of War Smoothing dan High Quality Textures sepertinya tidak terlalu mempengaruhi performa game. Saya jadi berpendapat demikian karena animasi game tetap kasar walaupun dua opsi tersebut dimatikan saat saya menggunakan pengaturan rata kanan. Pada sisi lain, animasi game tetap halus ketika saya menyalakan dua opsi tersebut pada pengaturan Low Detail.

 

Sistem Loadout Dengan Potensi Menjadi Game Pay to Win?

Catalyst Black menggunakan sistem Loadout yang bisa diganti-ganti sebelum Anda terjun ke dalam pertempuran. Selain jenis senjata, ada banyak komponen lain pada karakter Anda yang bisa diganti. Cloaken menjelaskan sistem Loadout dengan tingkat kustomisasi yang beragam tersebut dibuat dengan maksud agar pemain jadi bisa merasakan pengalaman membuat “Hero MOBA mereka sendiri”.

Anda mau main layaknya Assassin? Main layaknya Marksmen? Atau main seperti Tanker? Tinggal pilih saja Loadout untuk menyesuaikan gaya main Anda. Loadout memiliki 7 komponen yang dapat diganti. Ada Masks, Power, Relic, Abilty, Trinket, Primary, dan Heavy.

Primary dan Heavy adalah senapan utama dan sekunder. Senjata utama bisa berupa senapan Rifle, Sniper, Shotgun, Rocket Launcher, Flak, atau Mortar. Mirip seperti game Shooter lain, senjata Primary akan habis pelurunya setelah digunakan untuk beberapa saat. Pemain harus reload untuk mengisi ulang senjata dan bisa melanjutkan tembakkan. Heavy adalah senjata sekunder. Tipe senjatanya masih mirip dengan Primary, hanya saja punya damage yang lebih besar. Senjata Heavy baru bisa digunakan setelah Anda mengumpulkan “loot” peluru di dalam peperangan.

Tangkapan Pribadi Akbar Priono
Tangkapan Pribadi Akbar Priono

Masks ibarat seperti skill ulti di dalam game MOBA. Masks memungkinkan pemain berubah menjadi Ancient Primal, monster besar dengan kemampuan perusak yang kuat. Ketika memulai permainan, Masks akan cooldown selama beberapa ratus detik. Cooldown tersebut dapat berkurang apabila Anda mengumpulkan semacam loot energi di dalam peperangan. Hanya ada 5 jenis Masks di Catalyst Black. Masing-masing Ancient Primal punya karakteristik yang berbeda-beda. Sebagai awalan Anda menggunakan Sunder, Ancient Primal dengan serangan melee berupa cakaran yang kuat.

Selanjutnya, Power, Relic, Ability, dan Trinket sebagai pelengkap pertarungan Anda. Ability dan Trinket adalah pelengkap untuk bertarung dalam wujud manusia. Ability memberikan kemampuan tambahan kepada pemain. Ability yang diberikan di awal permainan adalah Catalytic Heal yang bisa menyembuhkan kawan di dekat Anda. Trinket ibarat seperti skill pasif di dalam game MOBA. Secara default Anda akan diberikan Belt of Phasing yang akan memberi Anda Shield setelah melakukan dodge.

Pada sisi lain, Power dan Relic adalah pelengkap pertarungan dalam wujud Ancient Primal. Power adalah pilihan skill yang bisa Anda gunakan ketika dalam wujud Ancient Primal. Secara default, Power Anda adalah Leap Slam yang memungkinkan Sunder melompat dan memberi damage mematikan ke arah lawan. Terakhir ada Relic yang mirip seperti skill pasif MOBA. Namun bedanya Relic hanya aktif ketika Anda dalam wujud Ancient Primal. Secara default Anda memiliki Relic bernama Feral Inspiration yang membuat kawan di sekitarnya memberikan damage lebih besar saat Anda dalam wujud Sunder.

Masing-masing Loadout bisa di-upgrade untuk menambah damage dan bonus stats yang diberikan. Masing-masing Loadout juga bisa ditempeli Mod untuk memberi tambahan kekuatan pasif.

Selain itu, masing-masing Loadout juga memiliki beberapa variasi. Namun variasi tersebut hanya bisa dibuka melalui progress permainan atau membeli. Karena Anda bisa membeli untuk membuka variasi kemampuan tambahan, banyak yang merasa kalau Catalyst Black punya kecenderungan pay-to-win.

Walau begitu saya merasa ungkapan tersebut tidak sepenuhnya tepat. Mungkin akan lebih tepat kalau dikatakan sebagai pay-to-progress. Mengapa demikian? Karena kemenangan Anda tidak terjamin 100% walaupun Anda membeli bundel Luma Issia Set yang harganya hampir mencapai Rp1,5 juta di dalam game.

Foto Hybrid.co.id oleh Akbar Priono
Foto Hybrid.co.id oleh Akbar Priono

Tapi, kesempatan menang Anda mungkin jadi lebih besar. Penyebabnya adalah karena dalam paket tersebut Anda mendapat variasi Masks, Power, Relic, Primary dan Heavy Weapon, serta Mod yang cenderung lebih kuat dibanding persenjataan Default. Walaupun begitu, pertarungan di dalam Catalyst Black tetaplah tim melawan tim, 10 vs 10. Satu orang dengan persenjataan yang sangat kuat belum tentu bisa mengalahkan semua pemain di dalam peperangan secara sekaligus.

Mungkin bisa dibilang monetisasi yang dilakukan SEMC dalam Catalyst Black mirip seperti Supercell dalam Brawl Stars. Tanpa membeli sekalipun, kekuatan karakter Anda masih bisa meningkat. Tapi jika Anda membeli, maka kekuatan karakter Anda akan meningkat lebih cepat. Mungkin satu-satunya yang kurang menyenangkan dari sistem monetisasi ini adalah pembatasan progress yang bisa didapatkan pemain dalam satu hari.

SEMC menerapkan semacam sistem “energi” di dalam Catalyst Black. Dalam keadaan energi penuh, Anda akan mendapatkan XP perlengkapan yang lebih banyak apabila menang pertandingan.

Tapi kalau energi sudah habis, XP yang Anda dapat akan menjadi sangat dikit sekali. Selain itu SEMC juga menerapkan sistem Quest harian yang terbilang terlalu sedikit. Hanya ada dua Quest yaitu First Win of the Day dan dapatkan 3 Win dalam satu hari. Selain itu ada Quest Mingguan yang cuma satu buah dan bahkan bisa diselesaikan dalam satu hari jika Anda niat. Quest berhadiah Dust dan Quint. Dust bisa digunakan untuk menaikkan level senjata sementara Quint bisa digunakan untuk membeli variasi Loadout.

Foto Hybrid.co.id oleh Akbar Priono
Foto Hybrid.co.id oleh Akbar Priono
Foto Hybrid.co.id oleh Akbar Priono
Daftar Quest harian. Foto Hybrid.co.id oleh Akbar Priono
Foto Hybrid.co.id oleh Akbar Priono
Hadiah yang didapat dari Quest harian. Foto Hybrid.co.id oleh Akbar Priono
Foto Hybrid.co.id oleh Akbar Priono
Bundle perkenalan seharga Rp15.000 yang isinya kurang memuaskan. Foto Hybrid.co.id oleh Akbar Priono

Berhubung semua kemungkinan progress sangat dibatasi, maka ada kemungkinan pemain yang bersifat kompetitif jadi terpancing untuk membeli demi bisa membuat karakter jadi lebih kuat. Saya sempat mencoba membeli Bundle “perkenalan” seharga Rp15.000.

Hasilnya saya sangat tidak puas karena bundle tersebut hanya membuka sedikit variasi Loadout yang ada di dalam permainan. Jadi… Mungkin Anda benar-benar harus membeli bundle seharga Rp1,5 juta apabila ingin punya banyak variasi Loadout di dalam peperangan.

Apakah sistem tersebut membuat Catalyst Black menjadi pay-to-win? Saya sih masih kurang setuju karena sejauh ini pertandingan masih berjalan dengan seimbang walau mungkin ada beberapa pemain punya Loadout lebih bervariasi karena uang.

Selain itu, Loadout yang lebih kuat dan bervariasi juga tidak menjamin kemenangan. Karena pada kenyataanya Anda masih tetap butuh skill, strategi, dan pemahaman terhadap permainan untuk bisa memenangkan pertandingan. Mungkin nanti pendapat saya akan berubah kalau ternyata saya terus-terusan kalah dengan pemain yang top-up Rp1,5 juta… Hehe.

 

Melihat Kemungkinan Catalyst Black Sebagai Esports

Di zaman serba esports seperti sekarang, sepertinya tidak salah untuk mempertanyakan kemungkinan dari Catalyst Black sebagai esports. Jika melihat dari sudut pandang gameplay, menurut saya jawabannya adalah sangat mungkin. Malah, Catalyst Black bisa menawarkan konsep esports yang unik karena mode pertandingannya bisa mencapai 10 vs 10. Selain itu, penyebab lainnya adalah karena bermain Catalyst Black mengharuskan para pemainnya memiliki kemampuan makro seperti taktik dan strategi, serta kemampuan mikro seperti kemampuan kalkulasi dan pemahaman mekanik menggunakan skill.

Tetap jika kita melihat dari sisi kesiapan game-nya itu sendiri, saya bisa bilang bahwa esports Catalyst Black sepertinya masih jauh dari pandangan SEMC. Bukti pernyataan saya tersebut bisa terlihat salah satunya dari mode Custom Game yang masih belum tersedia pada fase Geo-Beta Indonesia saat ini. Selain itu Cloaken juga sempat menjelaskan kepada saya bahwa fokus pihak SEMC untuk saat ini adalah menciptakan sebuah game yang solid terlebih dahulu.

Tidak heran juga apabila SEMC memilih untuk tidak terburu-buru menuju ke esports dalam prosesnya mengembangkan Catalyst Black. Hal tersebut mengingat pengalaman mereka bersama Vainglory yang justru malah jadi gagal berantakan ketika SEMC terlalu banyak berinvestasi untuk esports. Terlepas dari semua itu, saya sendiri sangat berharap suatu hari nanti bisa ada esports Catalyst Black. Gameplay-nya yang unik dan format pertandingannya yang beda, menurut saya, membuat Catalyst Black akan memiliki daya tarik baru di dalam ekosistem esports nantinya.

Sony Bersiap Memasuki Bisnis Drone Lewat Proyek Bernama Airpeak

Sony sedang bersiap untuk memasuki bisnis drone. Demikianlah kesimpulan dari siaran pers yang mereka terbitkan terkait sebuah proyek anyar dengan branding Airpeak. Belum diketahui apakah Airpeak bakal menarget segmen consumer atau enterprise (atau dua-duanya), tapi yang pasti Sony sudah punya proyek drone enterprise bernama Aerosense yang merupakan hasil kolaborasinya bersama perusahaan robotik ZMP.

Misi yang ingin Sony capai melalui Airpeak adalah mengakomodasi kebutuhan para pembuat video semaksimal mungkin. Sony mungkin melihat bagaimana sebagian konsumen kamera mirrorless-nya juga punya drone, dan mereka mungkin tertarik untuk ikut mengambil keuntungan dari pasar tersebut.

Sony sejauh ini belum bicara banyak soal Airpeak. Video teaser yang diunggah bahkan hanya menunjukkan tidak lebih dari sebatas rotor drone yang berputar dalam tampilan close-up. Apakah ini berarti ke depannya kita bakal melihat drone bikinan Sony sendiri? Mungkin saja, dan kalau benar, itu berarti mereka harus siap ‘berperang’ melawan DJI, yang bisa dibilang sudah berhasil memonopoli pasar consumer drone.

Produsen kamera yang tertarik menggarap drone-nya sendiri bukanlah berita baru. Di tahun 2016, GoPro sudah lebih dulu melancarkan inisiatif serupa dengan meluncurkan drone bernama Karma. Namun seperti yang kita tahu, GoPro pada akhirnya memutuskan untuk menyerah dan mundur sepenuhnya dari area kekuasaan DJI tersebut.

Tentu saja kisah GoPro itu tidak bisa langsung dijadikan patokan bahwa produsen kamera bakal selalu gagal di bisnis drone, sebab kondisi pasarnya sendiri sudah sangat berbeda dibanding dua atau tiga tahun lalu.

Sebagai brand yang dipercaya oleh kalangan kreator profesional, Sony semestinya bisa menawarkan nilai lebih, seperti misalnya dukungan perekaman dalam mode S-Log, sehingga proses color grading pasca pengambilan gambarnya sama persis dengan kalau menggunakan kamera mirrorless Sony.

Alternatifnya, drone buatan Sony ini mungkin bisa dilengkapi kamera yang lensanya interchangeable, sehingga konsumen setia Sony dapat memanfaatkan koleksi lensa G Master-nya. Tentunya semua ini baru sebatas spekulasi, dan lebih jelasnya baru akan Sony rincikan pada peluncuran resmi Airpeak di musim semi 2021 nanti.

Sumber: Engadget.