Saat Hoaks yang Dibuat Makin Canggih, Kecerdasan Buatan Jadi Harapan Melawannya

Persoalan berita palsu atau hoaks bukan soal remeh-temeh lagi. Selain muatannya yang berbahaya, sebarannya yang masif melalui media sosial merupakan ancaman nyata bagi siapa pun termasuk sebuah negara.

Seiring berkembangnya teknologi, berita palsu dan hoaks juga menjelma lebih canggih seperti menggunakan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) untuk memanipulasi audio atau video. Namun seperti halnya kejahatan itu dibuat, solusi dalam melawan berita palsu dan hoaks juga terletak pada AI seperti yang dijelaskan CEO Prosa.ai Teguh Eko Budiarto dalam #SelasaStartup edisi kali ini.

Produksi dan sebaran hoaks memang tanpa henti. Kementerian Komunikasi dan Informatika mengidentifikasi sekitar 771 hoaks dan 800.000 situs penyebar hoaks sepanjang Agustus 2018 hingga Februari 2019. Chatbot Anti Hoaks, chatbot buatan Kominfo dan Prosa yang ada di Line dan Telegram, menerima 2.103 aduan hoaks dari April-Agustus 2019.

“Untuk menggunakan manusia saja untuk melawan ini tidak cukup. Kita perlu mengotomatisasi deteksinya lalu menetralisasinya,” ujar Teguh.

Seperti yang dikatakan Teguh di awal, dampak hoaks memang sudah tak bisa dianggap remeh. Amerika Serikat dilanda badai berita palsu dan hoaks pada pemilu terakhir, Myanmar mengalami kerusuhan besar antaretnis akibat hoaks di Facebook, hingga Jerman menciptakan peraturan baru untuk menghukum platform media sosial jika gagal mencegah penyebaran hoaks di sana.

Menurut Teguh, sebuah kabar palsu atau hoaks kerap kali difabrikasi dengan tujuan tertentu, entah itu untuk melenyapkan legitimasi targetnya atau untuk menggoyang pemerintahan yang demokratis.

“AI sama manusia beda. Ketika bohong manusia merasa tingling atau seperti merinding tapi AI tidak. Perlu AI untuk mengetahui berita palsu buatan AI,” ucap Teguh.

Hoax Intel buatan Prosa merupakan contoh pemanfaatan AI untuk membasmi berita palsu. Chatbot Anti-Hoaks juga menjadi wujud pemanfaatan lain yang dilakukan bersama Kominfo untuk menjaring hoaks yang lebih banyak di tengah masyarakat.

Cara kerja mesin ini sederhananya dimulai dari memasukkan sebuah kabar yang sudah beredar untuk diverifikasi. Mesin kemudian bakal melakukan analisis terhadap kueri dan memeriksa di pangkalan data untuk menguji apakah kabar itu hoaks atau bukan.

Dari rangkaian proses itu, keterlibatan manusia hanya terletak pada pengaduan yang bisa dilakukan lewat situs web pemerintah, aplikasi Line, dan Telegram; serta diskusi dalam menarik kesimpulan tentang informasi tersebut.

Teguh mengatakan sejauh ini mesin mereka masih terbatas pada teks. namun ia menjanjikan deteksi serupa dapat dilakukan pada hoaks berbentuk gambar dan video serta terintegrasi di media sosial dan mesin pencari sesegera mungkin.

“Ini masih jauh dari sempurna tapi setidaknya kita sudah menemukan titik terang. Ada harapan dengan banyaknya informasi yang tersebar kita punya senjata untuk memeranginya,” pungkas Teguh.

Menilik Pentingnya Kebijakan Satu Data bagi Daerah

Apa dampak terburuk dari data yang tidak akurat, tercerai-berai, dan tidak sinkron bagi sebuah negara? Bisa menjadi awal terbentuknya kebijakan-kebijakan yang tidak sesuai, bahkan bencana nasional. Untuk menyiasati hal tersebut, Indonesia pun tengah dalam perjalanan menciptakan agenda “satu data” yang komprehensif untuk menunjang pembangunan.

Data berperan penting di tiap pengambilan keputusan. Ada berapa banyak warga miskin yang butuh bantuan kesejahteraan, berapa anak yang belum tersentuh pendidikan agar dibuatkan sekolah, atau berapa banyak cadangan beras untuk menentukan kecukupan pangan dalam satu tahun; merupakan contoh bagaimana data bagi pemerintah dalam mengatur hajat hidup orang banyak.

Contoh paling ekstrem mungkin terjadi pada Nigeria pada 2014 lalu. Saat itu tiba-tiba saja Nigeria menjadi negara dengan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) terbesar di Afrika sesederhana karena mereka mengganti metode penghitungannya.

Deputi II Kantor Staf Presiden Yanuar Nugroho dalam International Lokadata Conference 2019 menceritakan pentingnya kebijakan satu data. Dengan sekian banyak agenda pemerintahan yang sedang dan akan berjalan, data yang tepat jadi kebutuhan terpenting untuk melakukan semua itu.

“Ke depan apa yang kita kerjakan? Infrastruktur diteruskan, SDM dibangun, investasi didorong, reformasi birokrasi, penggunaan teknologi. Tapi untuk melakukan itu semua butuh akurasi data dan ketersediaan data,” ujar Yanuar.

Inilah yang melandasi terbitnya Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2019 tentang “Satu Data Indonesia“. Perpres ini diupayakan untuk menghilangkan perbedaan data di lembaga dan kementerian sekaligus menyirnakan ego sektoral yang kerap muncul sehingga kerap timbul data yang tumpang-tindih di tubuh pemerintahan sendiri.

Contoh data tumpang-tindih itu terjadi pada kisruh impor beras yang melibatkan Kementerian Perdagangan dan Bulog pada pertengahan tahun lalu. Saat itu Kemendag bersikeras untuk mengimpor beras karena data menunjukkan ada kekurangan, namun di saat bersamaan Bulog sebagai operator impor tidak setuju karena stok beras nasional dianggap masih mencukupi.

Pihak swasta juga pernah mengkritik pemerintah akibat data pemerintah yang tak akurat itu. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) pernah protes karena data produksi jagung yang ditampilkan Kementerian Pertanian menunjukkan peningkatan, padahal data asosiasi dan citra satelit membuktikan produksi menurun. Imbasnya, harga jagung melambung, harga barang melonjak, ketersediaan pangan defisit, hingga kemungkinan impor.

Efek satu data bagi daerah

Kebijakan satu data tentu bakal berpengaruh hingga ke layanan publik di tiap pemerintahan daerah. Dalam era penyelenggaraan smart city, Staf Khusus Kepala Bappenas Danang Rizki Ginanjar menyampaikan, pemerintahan daerah terjebak dalam konsep smart city yang canggih dengan anggaran yang sangat besar dan ujungnya jadi tidak efisien.

Setelah kebijakan satu data diteken, pemerintah menyiapkan sistem pemerintahan berbasis elektronik (SPBE). Sehingga nantinya pemerintah daerah cukup menduplikasi dan menyesuaikan sendiri dari satu aplikasi yang disiapkan pusat.

“Kalau SPBE ini adalah pilar, di bawahnya harus ada fondasi dulu berupa data yang sama,” ujar Danang.

Wali Kota Padang Panjang Fadly Amran menyepakati bahwa data yang sudah dikalibrasi sangat penting bagi pemerintahan daerah. Padang Panjang merupakan contoh kota yang sudah memakai konsep smart city dalam memecahkan masalah di daerahnya. Masalah utama yang jadi kendala mereka adalah data antara kantor dinas saja dapat berbeda-beda. Padahal hal ini menurut Fadly berpengaruh pada strategi mereka dalam mengentaskan kemiskinan.

“Tujuan Padang Panjang dengan smart city-nya adalah mempunya satu data, satu peta, yang benar-benar terintegrasi dan dipakai semua dinas,” ungkap Fadly.

CEO Qlue Rama Raditya mengatakan konsep smart city makin penting untuk menyelesaikan masalah suatu daerah. Salah satu yang Rama soroti adalah arus urbanisasi yang diperkirakan terus meningkat. Bank Dunia bahkan memperkirakan arus urbanisasi di Indonesia meningkat terus hingga 70 persen pada 2030. Namun seperti diketahui urbanisasi dipastikan membawa masalah baru mulai dari kemacetan, meningkatnya jumlah sampah, dan lain-lain.

“Di DKI sendiri banyak orang yang pikir Qlue sudah tidak ada tapi sebenarnya tindak lanjutnya masih di atas 91 persen dari pemprov, membantu meningkatkan kepercayaan masyarakat pada pemerintah hingga 87 persen,” pungkas Rama.

Menggandeng perusahaan smart city seperti Qlue ini merupakan salah satu alternatif yang dapat diambil pemerintahan daerah selain membuat platform mereka sendiri. Cara ini terbilang cukup populer dan praktis melihat dari 15 kota yang bekerja sama dengan Qlue dalam mengembangkan smart city di daerah mereka.

Hary Tanoe Usul Pemerintah Bentuk Venture Capital Patungan BUMN dan Swasta

Bos MNC Group Hary Tanoesoedibjo mengusulkan pemerintah membentuk perusahaan modal ventura untuk mendukung perkembangan startup Indonesia. Ia menilai langkah itu perlu untuk mencegah kepemilikan pemilik modal asing yang berlebihan.

Sebagai solusi, Hary menyarankan pemerintah menggerakkan semua elemen pengusaha mulai dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN), swasta, hingga individu; agar berpartisipasi dalam pembentukan perusahaan modal ventura tersebut.

“Kumpulkan BUMN, perusahaan-perusahaan swasta, individu-individu, semua chip-in, 2 ribu pihak kalau rata-rata Rp10 miliar sudah terkumpul Rp20 triliun,” ungkap Hary seperti dikutip dari iNews.

Menurut sang taipan media, pembentukan venture capital oleh pemerintah penting agar Indonesia tetap memiliki startup yang tumbuh dan besar di Tanah Air. Pasalnya ia melihat ada kecenderungan investor di startup lokal yang sudah besar justru lebih banyak berasal dari luar negeri.

Jika tren itu berlanjut, Hary menilai Indonesia sendiri yang berpotensi tidak akan bisa menikmati kesuksesan startup buatan warganya.

“Saya dengar Gojek lagi negosiasi sama Amazon mau masuk. Padahal prinsipalnya sendiri, pemegang saham lokal Gojek itu sudah kurang dari 5 persen,” imbuhnya.

Di Indonesia, jumlah pelaku industri modal ventura sudah cukup banyak. Per Juni 2019, OJK mencatat pelaku industri ini mencapai 61 perusahaan, terdiri dari 57 konvensional dan 4 syariah. Adapun penyertaan modal dari 61 perusahaan itu tercatat Rp10,62 triliun per Juli 2019, atau naik dari Rp8,13 triliun pada Juli tahun lalu.

Angka itu terbilang relatif masih kecil jika dibandingkan dengan kucuran modal yang mengalir dari perusahaan luar negeri. Sebagai contoh misalnya, Gojek saat ini tercatat sudah menghimpun dana hingga US$3,1 miliar atau Rp44 triliun. Sebagian besar investor mereka berasal dari perusahaan asing mulai dari Tencent, Google, Temasek, hingga Visa. Hanya Global Digital Niaga dan Astra International yang tercatat sebagai investor lokal di Gojek.

Hal ini juga terjadi di unicorn lain seperti Traveloka, Bukalapak, dan Tokopedia yang banyak dihuni oleh pemodal dari luar negeri.

“Joint Venture” dengan iQiyi Adalah Bentuk Keseriusan MNC Group Dominasi Pasar Asia

Dominasi sepertinya sudah jadi kata teratas dalam kamus dagang pemimpin MNC Group Hary Tanoesoedibjo. Sekian lama menguasai bisnis televisi teresterial dan televisi berlangganan, Hary berniat mendominasi pasar layanan streaming di Indonesia dan Asia.

Pembentukan joint venture dengan ‘Netflix Tiongkok’, iQiyi, merupakan bukti keseriusan MNC dalam menggarap pasar layanan streaming. Dalam kesepakatan itu, MNC memiliki 51 persen kepemilikan. Entitas baru ini akan diisi gabungan koleksi konten milik MNC dan iQiyi.

Dalam wawancaranya dengan KrAsia, Hary meyakini pasar layanan streaming di Asia masih hampir tak tersentuh. Melihat peluang besar itu, setidaknya menurut Hary ada 3 kunci untuk mengeruk keuntungan dari layanan streaming yakni dengan mendominasi dari aspek iklan, konten, hingga jumlah pelanggan.

Hary mengatakan belanja iklan digital sudah mendekati 20 persen dengan kemungkinan bertambah menjadi 30 persen pada tahun depan. Sementara tahun ini Hary memperkirakan MNC memperoleh pendapatan Rp750 miliar dari iklan digital.

Dari aspek konten, semua platform di bawah MNC Group menghasilkan 23.000 jam konten per tahun mulai dari drama, animasi, pencarian bakat, dan lainnya. Mereka juga memiliki rumah produksi yang sanggup menghasilkan konten asli sendiri. Sementara kerja sama dengan iQyi yang notabene berstatus pemain terbesar di Tiongkok bakal menambah kekuatan konten mereka.

“Kalau ranah digital kita sudah matang, kita bisa ekspansi ke internasional. Namun untuk saat ini kita harus kuat di Indonesia dulu,” ujar Hary dalam wawancaranya dengan KrAsia.

Sebagai tambahan bukti keseriusan MNC dalam menggarap bisnis digitalnya, Hary pun turun langsung. Mengaku tak lagi aktif di dunia politik untuk sementara, Hary menilai bisnis digital ini harus cepat dan presisi.  Ia bahkan ragu tanpa campur tangannya, semua akan berjalan lambat.

“Saya rasa kalau saya tidak terlibat, perubahannya akan lambat. Saat ini, segalanya speerti perlombaan menuju digital. Itulah alasannya saya kembali,” imbuhnya.

Kita tidak bisa menganggap enteng ambisi taipan media ini. Hingga saat ini MNC Group tercatat memiliki 4 stasiun televisi nasional dan sejumlah televisi lokal, jaringan televisi berbayar terbesar, dan menguasai 45 persen belanja iklan dari total pendapatan di sektor tersebut.

Perlu diingat juga bahwa MNC Group punya portofolio cukup padat di bisnis digital. Mereka punya MNC Now, Metube, sejumlah investasi di iFlix, dan yang terbaru adalah peluncuran free-to-air TV yakni RCTI+. Namun hal itu dianggap belum cukup jika ingin menguasai pasar di luar Indonesia.

Inilah yang melatarbelakangi kerja sama antara MNC dengan iQiyi. Layanan streaming milik Baidu itu adalah platform streaming terbesar di Tiongkok dengan 100 juta pelanggan berbayar. Hary sadar untuk merambah pasar di luar Indonesia ia harus berkongsi dengan perusahaan besar lainnya.

Sementara dari pihak iQiyi, kerja sama dengan MNC memudahkan jalan mereka merebut pasar baru di luar Tiongkok. iQiyi punya kompetitor berat di negara asal seperti Tencent Video dan Youku Tudou yang juga sudah mulai merambah pasar luar negeri. Indonesia akan jadi batu loncatan iQiyi sebelum memperluas layanan mereka ke 10 negara lain di Asia Tenggara.

Layanan streaming baru ini nantinya bakal mengadopsi sistem freemium. Dari kesepakatan kedua belah pihak, diketahui MNC akan fokus pada aspek promosi dan pemasaran, sementara iQiyi lebih fokus ke teknologi dan pengembangan di masa depan. Layanan baru ini akan dirilis pada kuartal ketiga.

Hary menolak bercerita lebih detail mengenai rencana yang akan mereka usung melalui layanan streaming baru itu. Hanya saja ia menggarisbawahi bahwa platform itu ditujukan untuk menjadi yang terbesar di seluruh Asia.

“Saya tidak bisa jelaskan sekarang, tapi ketika iQiyi umumkan detailnya, kami akan kabarkan. Tapi poinnya adalah kami ingin menjadikannya platform konten terbesar di Asia,” pungkas Hary.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Pelaku Industri Pembayaran Digital Sepakat Potensi Pasar di Indonesia Masih Sangat Besar

Penggunaan e-wallet atau aplikasi pembayaran digital memang tampak sudah umum di berbagai kota di Indonesia. Namun, di balik itu ruang untuk tumbuh bagi pembayaran digital ternyata masih besar — masih tersedia berbagai potensi dan peluang pasar yang dapat dioptimalkan.

Vice President Director BCA Armand Hartono memberikan gambaran, saat ini baru ada sekitar 50-60 persen penduduk Indonesia yang memiliki rekening bank. Namun Di samping itu –memberi contoh dari BCA—sekitar 98 persen frekuensi transaksi terjadi secara elektronik. Kendati demikian 2 persen transaksi sisanya (non-elektronik) punya nominal lebih besar.

“Dua persen itu secara nilai berkontribusi 55 persen. Paham ya, faktanya Indonesia seperti apa tetap pada cash,” ujar Armand dalam acara Indonesia Lokadata Conference 2019.

CEO Dana Vincent Iswara membenarkan bahwa pasar pembayaran digital di Indonesia masih terbuka luas. Itu pula yang menyebabkan timnya meluncurkan Dana pada November 2018.

Dibanding dua pemain besar e-wallet seperti Gopay, OVO dan LinkAja (dulu Tcash), kemunculan Dana terbilang relatif terlambat. Namun ia mengaku tetap berani terjun ke industri ini karena potensi pasarnya masih terbuka lebar.

Ia mencontohkan pada 2017 lalu angka penetrasi pembayaran digital di Indonesia hanya kurang dari 3 persen. Dan hingga kini angka penetrasi tersebut baru merangkak hampir menjadi 7 persen.

Sebagai perbandingan, Vincent mencontohkan penetrasi pembayaran digital di Tiongkok mencapai 30 persen namun potensi pertumbuhannya masih ada.

“Jadi kenapa saya sangat antusias memasuki industri ini karena terlihat keuntungan yang jelas dari digital payment salah satunya adalah membentuk digital financial inclusion,” ucap Vincent.

Vincent pun mengakui kondisi masyarakat di Indonesia mulai bergeser ke digital meski masih perlahan. Kendati demikian, jalan menuju masyarakat nontunai dianggap masih cukup panjang dan memakan waktu.

Chief Data Officer OVO Vira Shanty menilai masih ada sejumlah pekerjaan rumah para pemain pembayaran digital. Salah satu yang disoroti adalah cara top up saldo e-wallet.

“Kenyataannya top up e-wallet masih banyak lewat cash dan untuk mengelola cash ini pun tidak murah ongkosnya,” imbuh Vira.


DailySocial adalah media partner Indonesia Lokadata Conference 2019

Data Sovereignty on BPJS Kesehatan System Improvement

Coordinating minister for maritime affairs, Luhut Binsar Pandjaitan initiates an idea to improve the Health Facilities Information System (BPJS Kesehatan) performance, in terms of premium collection. It is for China’s tech giant, Ping An, to support efficiency in the technology system.

He said Ping An would do at least two things for the BPJS Kesehatan, to evaluate the information system and fix the crack. From his statement, Ping An is said to offer the collaboration first.

“They didn’t sell hardware, only software used in 282 cities in China. One of the most efficient companies in China,” he said as quoted by CNN Indonesia.

Ping An is the biggest insurance company in China with market capitalization reached up to $220 billion. It’s a subsidiary of PA Group, a financial holding includes insurance, banking, and investment.

The helping hand aims to solve some issues on BPJS Kesehatan, such as outstanding payment and increasing financial deficit.

Per June 30th, 2019, the collectibility rate has reached 94.04% from Non-Wage Workers (NWW) and 89.03 from registered citizens in the region. In fact, the deficit number is increasing, from Rp1.9 trillion in 2014 to Rp19.4 trillion in 2018. Outstanding payment and the small amount of premium considered as the fundamental issue.

The risk of foreign access

Ping An involvement in the HFIS’ IT system improvement draws negative feedback, in terms of data sovereignty. Timboel Siregar from BPJS Watch seen this collaboration as a possibility for the foreign party to access citizen’s data.

“If it includes foreign party, the big data might be accessed by them. This is very risky related to our national security. They will have Indonesia’s health statistic data, including armies and police officers,’ he said in the official release.

BPJS Kesehatan’s Principal Director, Fachmi Idris once said the company owns the biggest data in Indonesia. A sample might work for the utilizing method. Researchers, academics, even the BPJS Kesehatan itself capable of using the data for the policymaking in the national health insurance program.

The government has realized the significance of medical records. It’s stated under Article 6 paragraph 3 on Personal Data Protection Bill which includes medical records in terms of personal data. For the record, BPJS Kesehatan members have reached 222.5 million. Therefore, there are at least 222.5 million personal data sets and health data belonging to participants.

He also added on the idea to improve the IT system is not a solution for public compliance to pay the premium on time. He afraid this could be an opportunity for Ping An to get into BPJS Kesehatan data which is a lot more sensitive.

“In terms of premium, there should be regulations, it’s not about the system. Let’s say we have good IT but weak regulation, there will be no difference,” he said.

Iqbal Anas Ma’ruf, BPJS Kesehatan’s PR confirmed the potential data management by Ping An in the collaboration. However, he also guarantees the plan is still on exploration.

“There will be follow-up because we’re all under regulation, it’s too early to go that far,” he said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Mempertahankan Kedaulatan Data Jadi Isu Penting Saat Perbaikan Sistem BPJS Kesehatan

Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan melempar usulan untuk memperbaiki performa BPJS Kesehatan, khususnya dalam penagihan iuran. Luhut menyarankan raksasa asuransi asal Tiongkok, Ping An, akan membantu sistem teknologi BPJS Kesehatan agar lebih efisien.

Menurut Luhut, Ping An setidaknya akan melakukan dua hal dengan BPJS Kesehatan yakni mengevaluasi sistem teknologi informasi dan memperbaiki celah sistem tersebut. Dari penuturan Luhut diketahui pihak Ping An yang menawarkan diri untuk membantu BPJS Kesehatan.

“Mereka tidak jualan hardware, hanya software yang sudah dipakai 282 kota di Tiongkok. Salah satu perusahaan yang paling efisien di Tiongkok,” ucap Luhut seperti diwartakan CNN Indonesia.

Ping An adalah perusahaan asuransi terbesar di Tiongkok dengan kapitalisasi pasar mencapai hampir $220 miliar. Ia merupakan anak perusahaan dari PA, sebuah holding jasa keuangan yang meliputi asuransi, perbankan, hingga investasi.

Uluran tangan Ping An ditujukan untuk menyelesaikan sejumlah masalah yang membelit BPJS Kesehatan seperti tunggakan iuran peserta dan defisit keuangan yang terus membengkak.

Data per 30 Juni 2019 diketahui kolektibilitas iuran mencapai 94,04 persen dari kelompok Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan 89,03 persen dari penduduk yang didaftarkan pemerintah daerah. Adapun defisit yang diderita oleh BPJS Kesehatan terus meningkat, dari Rp1,9 triliun pada 2014 hingga Rp19,4 triliun pada 2018. Tunggakan iuran peserta dan besaran iuran peserta yang terlalu kecil ditengarai penyebab utama besarnya defisit BPJS Kesehatan.

Berisiko diakses pihak asing

Wacana pelibatan Ping An dalam pembenahan sistem TI dari BPJS Kesehatan mengundang kritik, terutama dalam hal kedaulatan data pribadi masyarakat. Timboel Siregar dari BPJS Watch memandang rencana kerja sama itu memungkinkan data masyarakat yang terhimpun dalam sistem BPJS Kesehatan diakses pihak asing.

“Kalau ada pihak asing yang ikut terlibat maka data besar tersebut akan berpotensi terakses oleh pihak asing. Ini sangat berbahaya karena terkait dengan ketahanan bangsa kita. Nanti asing akan mendapat data statistik kondisi kesehatan rakyat Indonesia termasuk data tentang TNI dan Polri kita yang sakit,” ujar Timboel dalam keterangan resminya.

Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris pernah menyampaikan bahwa pihaknya merupakan pemilik data kesehatan terbesar di Indonesia. Data sampel dapat menjadi metode pemanfaatan data tersebut. Peneliti, akademisi, maupun BPJS Kesehatan sendiri dapat menggunakan data sampel tersebut yang nantinya dapat digunakan untuk pengambilan kebijakan dalam program jaminan kesehatan nasional.

Pemerintah sebenarnya sudah menyadari pentingnya data kesehatan. Hal ini tertuang dalam Pasal 6 ayat 3 RUU Perlindungan Data Pribadi yang memasukkan data kesehatan ke dalam kategori data pribadi. Sebagai catatan, jumlah peserta BPJS Kesehatan berjumlah 222,5 juta jiwa. Dengan demikian bisa disimpulkan setidaknya ada 222,5 juta set data pribadi dan data kesehatan milik peserta.

Timboel melanjutkan bahwa usulan memperbaiki sistem TI BPJS Kesehatan bukan solusi untuk kepatuhan dalam membayar iuran yang masih rendah. Ia khawatir dari perbaikan sistem teknologi, Ping An dapat menjamah data peserta BPJS yang sifatnya lebih sensitif.

“Soal penagihan iuran itu sebenarnya kan tinggal dilakukan penegakan hukum, bukan masalah TI-nya. Kalaupun TI bagus, tapi penegakkan hukum lemah, ya sama seperti ini,” imbuh Timboel.

Humas BPJS Kesehatan Iqbal Anas Ma’ruf mengamini bahwa ada potensi pengolahan data oleh Ping An dalam rencana kerja sama mereka. Akan tetapi ia meyakinkan bahwa rencana tersebut masih berusia dini dan masih terus mereka pelajari.

“Itu tentu perlu tindak lanjut lebih dalam karena kita tunduk pada regulasi yang mengatur, tapi ini kan baru permulaan belum sampai dalam seperti itu,” pungkas Iqbal.

Application Information Will Show Up Here

Telefast Jadi Startup Teranyar yang Memilih IPO Sebagai Jalur Pendanaan

Satu lagi perusahaan digital melantai ke bursa saham. Kali ini pelakunya adalah PT Telefast Indonesia Tbk (TFIN) yang merupakan anak perusahaan PT MCash Integrasi Tbk (MCAS).

Telefast menjadi startup berikutnya yang melakukan listing ke Bursa Efek Indonesia (BEI). Startup yang bertindak sebagai penyedia solusi pengelolaan dan pengembangan sumber daya manusia ini merupakan startup ketiga dari grup Kresna Graha Investama.

Direktur Utama Telefast Jody Hedrian menyebut pihaknya menargetkan mendapat menawarkan 414.666.500 saham baru atau setara dengan 25 persen modal yang disetorkan. Adapun harga saham yang ditawarkan dalam initial public offering (IPO) nanti sekitar Rp170-Rp210 per saham.

Telefast sendiri memiliki sejumlah produk dan layanan digital berupa aplikasi layanan karyawan HRKU, perusahaan outsourcing Emitama Wahana Mandiri (EWM), dan aplikasi rekrutmen karyawan Bilik Kerja. Di samping itu, Telefast masih mempertahankan bisnis awal mereka sebagai agen penjualan produk telekomunikasi untuk kebutuhan outlet pulsa.

Bisnis pengelolaan SDM ini terbilang baru untuk Telefast. Mereka mengakuisisi Bilik Kerja pada Desember 2018, mengoperasikan HRKU pada Maret 2019, dan mengakuisisi EWM pada April 2019. Kendati demikian, Jody meyakini produknya lebih praktis bagi konsumen karena layanan mereka yang saling berkaitan dan terintegrasi. Ia mengklaim hal itu tak dimiliki oleh pesaing mereka yang menurutnya memiliki layanan yang terpisah.

“Tidak semua HR company punya solusi terintegrasi seperti kita. Solusi terintegrasi ini pun bisa kita berikan secara penuh atau apa yang mereka butuhkan saja,” ujar Jody dalam paparan publik Telefast.

Menurut Jody langkah IPO yang mereka ambil bukan untuk mengumpulkan modal semata. Ada sejumlah keuntungan yang ia sebut lebih membantu ketimbang lewat jalur pendanaan lain.

Jody mengatakan salah satu keuntungan yang dapat dipetik dari IPO adalah pengawasan regulator. Ia meyakini pengawasan yang ketat dari regulator justru akan membantu pengeolaan perusahaan agar lebih tertib dan teratur.

“Di satu sisi kita juga mendapatkan guideline, bagaimana mengelola perusahaan secara baik dan benar,” imbuh Jody.

Total dana yang ingin direngkuh Telefast lewat IPO ini berkisar Rp70,5 miliar – Rp87 miliar. Dari total tersebut, Telefast berencana memakai sekitar 70 persen untuk modal kerja, 25 persen untuk belanja modal, dan 5 persen untuk investasi SDM mereka. Modal kerja itu dipecah untuk membiayai bisnis mereka di bidang pengelolaan SDM dan distribusi voucher pulsa.

Dalam struktur perusahaan, MCash menguasai 58,58 persen saham Telefast, Diva 7,56 persen, dan Telefast Investama Indonesia 33,84 persen.

Adapun linimasa rencana IPO Telefast dimulai dari book building period sejak 21 Agustus – 28 Agustus dan resmi listing di BEI pada 16 September 2019.

Kredivo Luncurkan Fitur “Zero-Click Checkout” untuk Percepat Transaksi di E-commerce

Pengembang layanan kartu kredit virtual Kredivo merilis fitur Zero-Click Checkout. Tujuannya untuk memantapkan posisi perusahaan sebagai metode pembayaran paling cepat yang dapat diakses di platform e-commerce.

Transaksi dari e-commerce masih mendominasi peminjaman uang di Kredivo. CTO Kredivo Alie Tan mengatakan, fitur Zero-Click Checkout dibuat bukan karena motivasi kecepatan belaka, namun meminimalkan drop rate yang terjadi pada saat konsumen melakukan pembayaran di e-commerce.

“Jadi misalnya waktu user memasukkan OTP, user malas memasukkan nomor handphone atau lupa PIN. Kita ingin memecahkan masalah itu, kita ingin zero friction,” ujar Alie.

Sebelum fitur anyar ini diperkenalkan, proses pembayaran melalui Kredivo di e-commerce hanya melalui dua kali klik. Dengan Zero-Click Checkout ini, pengguna dapat menyelesaikan pembelian di e-commerce seketika mereka mengeklik Kredivo sebagai metode pembayarannya.

Fitur ini dimungkinkan karena Kredivo sudah menyimpan kredensial penggunanya sehingga pada saat pembayaran tak ada lagi permintaan mengisi sejumlah kolom. Kendati begitu, Kredivo menyebut kredensial itu kapan pun dapat dihapus oleh pengguna.

Perihal keamanan fitur ini, Head of Product Kredivo Iswara Gozali menjamin pihaknya punya mekanismen untuk mendeteksi kejadian yang tak diinginkan. Iswara mencontohkan jika ada orang yang tak berhak memakai dan bertransaksi menggunakan akun seseorang, sistemnya dapat membaca hal itu.

“Kita akan mendeteksi transaksi anomali dan akan mengujinya denga kode OTP yang dikirim ke nomor pemilik,” kata Iswara.

Kredivo berharap fitur baru ini dapat memangkas hambatan untuk checkout dan menggenjot penjualan merchant yang diklaim sudah naik 30 persen selama fitur diperkenalkan.

Untuk sementara waktu, Zero-Click Checkout ini hanya tersedia di Tokopedia dan berangsur-angsur muncul di e-commerce lain pada September besok. Mereka menargetkan fitur ini dapat meningkatkan pencapaian mereka yang saat ini sudah mengumpulkan 1 juta pengguna, 250 mitra merchant e-commerce, dan 3 juta transaksi per bulan.

“Ke depannya kita juga mau fokus ke growth 3-4 kali dan melakukan inovasi-inovasi lain,” pungkas Alie.

Application Information Will Show Up Here

Mengenal dan Menjaga Pentingnya Data Pribadi

Penyalahgunaan data pribadi merupakan keniscayaan dalam arus informasi yang begitu cepat seperti sekarang. Celahnya ada di mana-mana. Sekali tak antisipasi, dampaknya bisa merembet ke mana saja.

Data pribadi merupakan jenis data yang meliputi identitas kependudukan seperti nama lengkap, NIK, tanggal lahir, hingga tempat tinggal. Pasal 6 ayat 3 RUU Perlindungan Data Pribadi menyebut apa yang dimaksud data pribadi mencakup keyakinan, data kesehatan, biometrik, genetika, kehidupan seksualitas, pandangan politik, catatan kejahatan, data anak, data keuangan pribadi, keterangan tentang kecacatan fisik dan mental. Meski masih belum disahkan, definisi tersebut memberi gambaran jelas tentang spektrum data pribadi.

Dalam era digital seperti sekarang, data adalah segalanya. Saat seseorang menikmati suatu layanan digital secara gratis, disadari atau tidak, dapat dipastikan mereka membayarnya dengan data.

Cara termudah mengetahui suatu perusahaan digital mengambil data sebagai “ongkos” layanannya adalah dengan mengintip izin aplikasi mereka. Ambil contoh Facebook. Di Google Play terlihat Facebook meminta hampir 40 jenis akses ke ponsel yang hendak mengunduhnya, mulai dari akses mengambil gambar dan video, merekam audio, lokasi akurat, hingga memanggil nomor telepon yang ada di kontak.

Nilai dari Data

Sebelumnya harus dipahami bahwa ada tiga jenis data kita yang dapat dipanen oleh pihak lain dari yakni: data sukarela diberikan, data yang diamati, dan data yang disimpulkan. Seperti namanya, data sukarela adalah data yang diberikan secara sukarela ke platform online, seperti yang kita lakukan saat registrasi ke suatu layanan. Sementara data hasil observasi adalah data yang diambil dari aktivitas online seseorang seperti riwayat peramban serta lokasi GPS. Terakhir, data yang disimpulkan merupakan gabungan dua jenis data sebelumnya.

Ketiga jenis data itu tentu berharga, terutama untuk perusahaan digital yang membutuhkan banyak sekali pasokan data untuk memoles produknya. Laporan The Atlantic menyebutkan data dari satu akun profil seseorang setara US$0,005. Sementara Google dan Facebook dilaporkan dapat memeras keuntungan masing-masing US$5 dan US$20 dari data tiap penggunannya.

Di Indonesia, data pribadi belum dianggap hal penting oleh masyarakat luas. Ini menjadi masalah ketika layanan digital sudah mengepung hampir semua sendi lapisan hidup masyarakat.

Literasi digital ini yang kemudian dimanfaatkan oleh beberapa pihak yang mencuri dan menyalahgunakan data pribadi yang bukan miliknya. Kasus yang ditemukan Hendra Hendrawan (23) dalam sebuah grup Facebook bernama Dream Market Official merupakan contoh bagaimana rentannya data pribadi disalahgunakan.

Hendra menemukan grup itu bebas memperjualbelikan jutaan data pribadi orang-orang dalam NIK dan KK pada 26 Juli lalu. Investigasi Kompas mendapati data pribadi yang diperjualbelikan di kalangan tenaga pemasaran kartu kredit merentang dari Rp300 hingga Rp50.000 per data. Data itu memuat sejumlah informasi dari nama lengkap, alamat, nomor telepon, nama ibu kandung, hingga kemampuan finansial seseorang. Ia lantas melaporkan kejadian ini ke publik dan mendapat respons dari Kementerian Dalam Negeri.

Pada kasus yang berbeda, ada banyak warga yang datanya diambil dan disalahgunakan. LBH Jakarta terakhir mengumumkan ada 5.000 lebih pengaduan terkait penyalahgunaan data pribadi. Kasus yang mereka tangani salah satunya berasal dari pinjaman uang online. Contoh imbas terburuk dari penyalahgunaan data ini adalah pelecehan seksual hingga perundungan.

Koordinator Regional SAFEnet (Southeast Asia Freedom of Expression Network) Damar Juniarto kepada DailySocial menjelaskan, banyaknya kasus penyalahgunaan data pribadi tak lepas dari tingkat literasi digital masyarakat yang masih rendah.

Damar mengatakan, terlepas dari motivasi para pelaku, masyarakat masih kesulitan membedakan mana data yang bisa disebar ke publik dan mana yang tidak. Bahkan hingga saat ini, cukup dengan menelusuri mesin pencari, seseorang bisa menemukan data pribadi seperti NIK dan KK.

Kesulitan serupa juga muncul ketika mengunduh suatu aplikasi tanpa menengok izin akses yang mereka berikan ke pihak aplikasi. Masalahnya, sebanyak dan semengganggu apa pun suatu aplikasi meminta akses ke data penggunanya, permintaan itu bersifat legal jika pengguna menyetujui permintaan saat memasang aplikasi tersebut.

“Misal saat memasang aplikasi, kita wajib mempertimbangkan saat apps minta permission. Saat minta permission untuk akses kamera misalnya, harus dipikir itu perlu atau tidak,” ujar Damar.

Damar menyarankan pengguna media sosial tidak memperlihatkan data-data yang bersifat sensitif baik di bio maupun profil mereka.

Namun potensi penyalahgunaan data tak hanya berasal dari aktivitas online seseorang. Tak sedikit aktivitas offline dapat berakibat pada penyebaran data pribadi kita.

Contoh paling mudah adalah fotokopi KTP yang tercecer. Kerawanan yang sama juga ada ketika permintaan meninggalkan KTP dan nomor telepon ketika hendak memasuki suatu gedung.

“Kalau untuk masuk akses gedung harus wajib kasih KTP enggak masalah. Yang jadi persoalan kalau dia minta data lebih dari itu seperti nomor telepon. Padahal kan enggak ada hubungannya. Itu bisa disiasati dengan mengganti tiga nomor terakhir,” saran Damar.

Menolak Data Digunakan

Ketika data pribadi sudah tersebar ke banyak tangan, tak banyak yang bisa dilakukan. Namun dalam konteks telepon telemarketing yang kerap mengganggu, pengguna bisa meminta. Ini memungkinkan karena ada aturan hukum yang mendukungnya.

Aturan pertama adalah Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 1/POJK.7/2013. Aturan itu melarang telepon atau SMS penawaran produk dari bank, lembaga keuangan lain, dan telemarketing freelance yang memakai telepon seluler. Masyarakat dapat mengadu ke OJK di nomor telepon (021) 5006555 jika mendapat telepon atau SMS penawaran produk.

Pasal 17 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik juga melarang secara tidak langsung marketing. Beleid itu menyatakan informasi pribadi, termasuk nomor telepon, sebagai informasi yang bersifat rahasia. Terakhir, negara sendiri sudah mengakui privasi dalam Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 28 G ayat (1), Pasal 28 H ayat (4), dan Pasal 28 J UUD 1945.

Pentingnya UU Perlindungan Data Pribadi

Kendati sudah ada beberapa aturan yang mengatur mengenai data, Damar menilai publik tetap membutuhkan aturan khusus yang fokus menangani data yakni UU Perlindungan Data Pribadi (PDP).

Keberadaan UU PDP, menurut Damar, akan memayungi aturan mengenai data yang tersebar di berbagai sektor. Pada akhirnya beleid ini akan memudahkan negara dan masyarakat dalam menangani kasus penyalahgunaan data yang kerap kali dilakukan secara terpisah dan memakan waktu karena butuh koordinasi antarsektor.

“Kalau UU PDP ini muncul, dia akan jadi omnibus law yang memayungi semuanya menjadi lebih kuat,” pungkas Damar.

Sayangnya kebutuhan akan UU PDP ini masih terganjal dalam proses legislasi. Setelah beberapa tahun berbentuk draf, Rancangan UU PDP berhasil masuk daftar prioritas program legislasi nasional di DPR. Namun hingga sekarang ketika masa kerja DPR berakhir, rancangan itu tak kunjung disahkan.