Aruna Memperoleh Suntikan Dana Senilai 81 Miliar Rupiah

Aruna berhasil mengamankan pendanaan anyar senilai $5,5 juta atau sekitar 81 miliar Rupiah. Startup bidang kelautan dan perikanan ini memperoleh suntikan modal anyar dari investor-investor mereka terdahulu.

Melalui pernyataan resmi disampaikan bahwa East Ventures, AC Ventures, dan SMDV merupakan nama-nama yang terlibat dalam pendanaan Aruna ini. Dana segar tersebut ditengarai berkat pertumbuhan Aruna yang mencapai 86 kali lipat di tengah pandemi.

“Selama pandemi ini, pendapatan Aruna pada semester I/2020 tumbuh 86 kali dibanding semester I/2019. Aruna adalah salah satu perusahaan yang terdampak positif oleh krisis. Hal ini membuat kami bersemangat,” ucap Co-Founder & Managing Partner East Ventures, Willson Cuaca.

Alokasi dana

Aruna sudah memiliki sejumlah rencana dalam pemanfaatan dana segar tersebut. Co-Founder & CEO Aruna Farid Naufal Aslam menjelaskan, perluasan ekspansi jadi fokus pertama perusahaan. Aruna sendiri saat ini sudah menggandeng ribuan nelayan di 31 lokasi pesisir dari Sumatera hingga Papua.

Ekspansi yang dimaksud oleh Farid adalah memperbanyak titik-titik penyerapan ikan di dalam satu provinsi. Penambahan jangkauan ke daerah-daerah baru juga dilakukan seperti ke Kalimantan Timur, Sulawesi, dan Papua.

Farid menyebut dana itu juga akan dipakai untuk menjaring talenta-talenta baru, mengembangkan produk-produk baru termasuk penggunaan Internet of Things (IoT) untuk memperkuat kualitas produk mereka. Yang tak kalah penting Aruna juga mengalokasikan dana anyar itu untuk memperkuat basis komunitas nelayan dan peningkatan produktivitas mereka terhadap kualitas dan standardisasi produk.

“Aruna berencana mendukung usaha pemerataan ekonomi dengan menjangkau lebih banyak titik pesisir di berbagai wilayah Indonesia,” tegas Farid.

Permintaan yang tinggi

Farid menyebut ada sejumlah faktor yang menyebabkan Aruna tumbuh cukup pesat meski di masa pandemi begini. Pertama adalah banyaknya nelayan yang memilih bergabung dengan Aruna. Banyaknya nelayan yang baru bergabung itu tak lepas dari faktor kedua yakni permintaan yang meningkat.

Farid mengakui produk mereka tadinya lebih banyak diserap untuk kebutuhan ekspor. Namun sejak pandemi berlangsung, logistik dan transportasi melemah sehingga memaksa Aruna menengok pasar ritel domestik. Di samping itu ia juga menyebut faktor kenaikan harga produk perikanan di awal tahun.

“Karena permintaan yang tetap besar itu kita menambah daerah aktivitas produksi,” imbuh Farid.

Startup Marketplace Bahan Pangan TokoWahab Pilih Tumbuh secara Organik

Mendirikan startup, mengumpulkan pendanaan sekian seri, lalu mengembangkan bisnis seluas mungkin merupakan template kesuksesan mayoritas startup di mana pun. Namun jalan itu bukan pilihan bagi William Sunito bersama startupnya TokoWahab.

William adalah generasi ketiga di keluarganya yang memiliki bisnis distribusi di bidang pastri dan bakeri sejak 1957. Sepulangnya dari sekolah di Amerika Serikat pada 2015, William mengembangkan bisnis keluarga tersebut menjadi sebuah marketplace bernama TokoWahab yang menyediakan segala kebutuhan UKM di bidang pastri dan bakeri.

Sebelum marketplace tersebut berdiri, William mengaku bisnis keluarganya hanya memasok untuk pabrik dan perusahaan waralaba bakeri/pastri yang tersebar di pusat-pusat perbelanjaan. Namun dari riset yang ia temukan, William mendapati 70% total bisnis bakeri dan pastri justru berasal dari UKM. Setelah mengetahui itu, ia memberanikan diri meluncurkan TokoWahab.

“Hingga saat ini ada lebih dari 20 official brand nasional dan internasional di platform kita,” ucap William.

Memilih pertumbuhan organik

Pria yang belum lama menerima predikat “30 Before 30” dari Forbes itu menyebut potensi pasar bakeri dan pastri sekitar $2-3 miliar atau sekitar Rp30 triliun hingga Rp45 triliun. Namun yang membuatnya lebih optimis adalah pertumbuhannya yang ia sebut masih di kisaran 12%-13%, lebih tinggi dibanding pertumbuhan nilai jenis pangan lain.

Bahkan di saat pandemi begini, William mengaku bisnis kue masih menjadi selera publik. Pembatasan sosial berskala besar pada pertengahan Maret 2020 memang sempat membikin seret usaha, namun keadaan disebut membaik sejak Mei ketika musim libur idulfitri. Bahkan dua bulan terakhir William mengatakan animo masyarakat terhadap produk pastri & bakeri justru menguat berkaca dari kian populernya sejumlah jenis roti belakangan ini.

Dengan asumsi ingin berkembang lebih cepat, mencari tambahan permodalan ke modal ventura atau entitas serupa seharusnya menjadi pilihan yang lazim. Namun tidak bagi William. Ia mengaku sejauh ini sudah ada beberapa VC yang tertarik menaruh uangnya di TokoWahab. Namun untuk menjaga perusahaan tumbuh secara organik dan keberlanjutan yang lebih terjamin, William mengaku belum butuh melakukan pengumpulan dana.

“Kita masih prefer pertumbuhan yang sustain karena kita masih bisa grow dari profit kita. Kita juga belum memikirkan growth yang signifikan, so far organik aja,” imbuhnya.

TokoWahab memakai model bisnis B2B. Mereka menyeleksi sendiri dengan ketat produk-produk dari pemasok berkualitas dan memiliki lisensi Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Dari sekian jenis produk yang ada di marketplace itu, William menyebut produk keju, coklat, dan mentega sebagai primadona. Penjualan ketiga jenis itu bisa mencapai 50% total penjualan mereka.

Adapun keuntungan TokoWahab berasal dari selisih harga produk dan biaya bantuan pemasaran untuk merek-merek yang bekerja sama. Dari keduanya, William mengaku saat ini perusahaan terus tumbuh tanpa uang dari modal ventura mana pun.

Target besar

William mendirikan TokoWahab salah satunya karena berniat membantu menginspirasi UKM di bidang terkait. Namun secara perusahaan, ia bertekad menjadikan TokoWahab sebagai marketplace nomor wahid di bidang pastri dan bakeri di Indonesia.

William mengklaim pihaknya sudah menjadi pilihan bagi sekitar 4000 UKM. Dalam kurun beberapa tahun ke depan ia menargetkan TokoWahab dapat melipatgandakan angka tersebut. Jika hal itu tercapai, William cukup yakin perusahaannya mungkin tak akan pernah melakukan pendanaan.

“Dalam satu-dua tahun kita menargetkan menembus 10 ribu UMKM belanja di kita,” pungkas William.

Guna mencapai target tersebut, TokoWahab membuat sejumlah strategi dan penyesuaian. Terlebih di masa pandemi ini, bisnis makanan dan minuman mengalami masa-masa sulitnya. Ribuan restoran tutup dan platform penyuplai pun mengalami kesulitan hingga berhenti beroperasi. Menangkap rasa bosan masyarakat yang terus-menerus di rumah, William memilih menggencarkan pemasaran tentang cara membuat berbagai jenis kue serta tips & trik untuk membuka usaha.

Cara itu ia klaim membantu mereka melewati periode sulit di Maret dan April lalu. “Bahkan penjualan kita di Juni naik signifikan hingga dua kali lipat dibandingkan tahun lalu.”

Meski Ada Pajak Digital, Startup Lokal Masih Belum Kompetitif Terhadap Layanan Global

Peran layanan digital dari luar negeri makin penting dalam menemani hari-hari sunyi banyak orang selama masa pandemi ini. Dianggap makin penting karena layanan digital luar negeri menghadirkan pilihan alternatif bagi konsumen Indonesia.

Ambil contoh Netflix. Animo konsumen begitu besar ketika kabar Telkom akhirnya membuka blokir mereka terhadap Netflix. Telkom bahkan menyebut ada kenaikan trafik data yang cukup tinggi di jaringan mereka setelah pelanggannya sudah bisa mengakses Netflix.

Di masa pandemi ini juga, pemerintah akhirnya bisa mulai menarik pajak digital lewat pajak penjualan (PPn) atas transaksi perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) per 1 Agustus kemarin. Besaran PPn yang ditarik adalah 10% dari harga produk yang ditawarkan. Ini artinya layanan dari pelaku usaha PMSE luar negeri, seperti Amazon, Google, Google, Spotify, serta Netflix akan membebankan pelanggannya dengan pajak tersebut.

Ketentuan penarikan pajak PMSE ini adalah Perppu Nomor 1 Tahun 2020 yang diatur lebih rinci dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 48 Tahun 2020. Alasan yang kerap digaungkan oleh pemerintah mengenai penarikan pajak ini adalah penyamarataan level kompetisi antara penyedia jasa luar negeri dan dalam negeri.

Yang jadi pertanyaan adalah apakah pajak itu benar-benar bisa membantu pemain lokal bersaing dengan para raksasa digital tadi?

Jarak terlalu jauh

Salah satu jarak paling jauh antara pemain lokal dan asing dalam bisnis digital di Indonesia adalah layanan komputasi awan. Amazon Web Service, Google Cloud, Microsoft Azure, dan Alibaba Cloud adalah penguasa pangsa pasar komputasi awan di dunia, termasuk di Indonesia. Pemain lokal umumnya masih menjadi minoritas di bawah para raksasa tadi.

Ketua Asosiasi Cloud Computing Indonesia (ACCI) Alex Budiyanto mengakui perbedaan kelas dengan para pemain luar negeri sangat besar dari aspek modal, teknologi, maupun sumber daya manusia. Jarak yang begitu mencolok itu membuat Alex skeptis pemberlakuan PPn sudah cukup untuk menyetarakan kesempatan bersaing dengan pemain lokal.

“Kami melihatnya ini belum fair,” tegas Alex.

Alex berpendapat, komponen pajak lain perlu diterapkan terhadap OTT asing seperti halnya yang dialami pemain lokal. Memang dalam rencananya, pemerintah juga akan membuat aturan turunan yang memungkinkan mereka menarik pajak penghasilan (PPh) dan pajak transaksi elektronik (PTE). PTE sendiri adalah pajak layanan digital (digital service tax/DST) yang kini sudah diterapkan berbagai negara.

Namun membagi beban setara pun tak otomatis membuat medan kompetisi berimbang. Pemerintah juga punya sikap berhati-hati agar tidak membuat kabur investor lari karena beban pajak yang terlalu tinggi. Itu sebabnya Alex berharap ada semacam insentif bagi pemain lokal yang selama ini ia rasa belum ada.

Level playing field ini seharusnya bukan hanya sharing beban yang sama. Ini kan soal kelas bulu lawan kelas berat. Seharusnya [pemerintah] mengangkat kelas bulu tadi dengan memberi tambahan support, yang kelas berat dikasih beban agar setara,” jelas Alex.

Alex mungkin ada benarnya. Pemerintah Tiongkok, misalnya, melakukan apapun untuk membesarkan dan membantu perusahaan teknologi lokalnya agar mampu bersaing di level global. Tanpa insentif bagi penyedia layanan digital lokal, argumen bahwa pajak untuk OTT luar negeri untuk menyetarakan arena kompetisi bisa jadi hanya alasan tempelan belaka. Ia merasa tanpa insentif khusus ke pemain lokal, maka tinggal menunggu waktu mereka tergilas hegemoni raksasa tersebut.

“Jadi kalau ditanya mampu bersaing atau tidak, kalau jawab mampu dan bisa ya itu terlalu pede. Kita memang suffer. Dari capital kalah, dari teknologi kalah, dari dukungan pemerintah pun tak ada,” imbuh Alex.

Jika menelisik sedikit ke belakang, adakah sebenarnya pemain lokal yang saat ini sanggup berkompetisi dengan Google, Netflix, AWS, hingga Spotify? Di antara keempatnya, mungkin hanya di sektor video on demand pemain lokal masih punya kesempatan bersaing ketat melalui Vidio atau GoPlay

Berdasarkan survei DailySocial pada April dan Mei lalu, layanan Vidio dikonsumsi hingga 25% responden, menjadi pilihan setelah Netflix (42%), Viu (36%), iflix (32%), dan Hooq (28%) yang saat ini sudah berhenti beroperasi. Angka itu terbilang cukup baik, apalagi jika digabung dengan pangsa pasar GoPlay (14%) dan Genflix (11%).

Kepada DailySocial, Vidio menyebut pihaknya mendukung penuh pemberlakuan PPn bagi OTT asing untuk menyetarakan lapangan berkompetisi. Namun hampir senada dengan Alex soal insentif, Vidio berharap negara dapat memberi dukungan lebih besar dalam memberantas pembajakan konten.

“Maka dari itu kami membutuhkan dukungan dan bantuan pemerintah untuk membantu kami para pelaku bisnis OTT lokal untuk mengedukasi masyarakat luas dalam menikmati tayangan hiburan secara legal dan berbayar,” tulis VP Brand Marketing Vidio Rezki Yanuar.

Di sektor lain, seperti layanan streaming musik, keadaannya jauh lebih timpang. Dari sekian pemain, hanya LangitMusik (27%) yang terlihat masih bisa bersaing dengan Spotify (71%) dan Joox (61%).

Sementara layanan komputasi awan didominasi raksasa digital yang punya kekuatan modal dan teknologi paling unggul. Maka tidak heran pangsa pasar mereka secara global begitu dominan. AWS misalnya sebagai pemimpin pangsa pasar global berani berinvestasi hingga US$2,5 miliar atau Rp35 triliun untuk Indonesia saja.

Negara membutuhkan pajak

Ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal ada dua hal yang dipetik dari pengenaan PPn terhadap OTT asing. Pertama adalah formalisasi kehadiran Netflix dkk. melalui instrumen pajak. Fithra menilai hal ini menjadi keputusan semua-menang. “Sebelumnya kan ini sembunyi-sembunyi, tapi sekarang jadi win-win solution bagi mereka, pemerintah, perusahaan telekomunikasi, juga pengguna,” ujar Fithra.

Hal kedua yang menurutnya perlu digarisbawahi adalah kebutuhan pemerintah mencari kanal pemasukan baru di tengah ancaman resesi ekonomi. Kekhawatiran akan resesi ekonomi global sudah menjadi ancaman dari tahun lalu. Pandemi Covid-19 mempercepat proses tersebut. Hasilnya laporan keuangan kuartal kedua Indonesia diumumkan turun hingga -5,32%.

Potensi tambahan pemasukan dari pajak digital merupakan sedikit titik cerah bagi pemerintah. Kementerian Keuangan dalam naskah akademik RUU Omnibus Law telah memperkirakan negara bisa mengantongi hingga Rp10,4 triliun dari tujuh jenis transaksi elektronik sebesar Rp104,4 triliun.

“[PPn] ini saya rasa bentuk ketanggapan pemerintah karena ke depan akan ada perubahan perilaku masyarakat dalam mengonsumsi layanan digital. Oleh karena itu pemerintah coba menangkap peluang ekonominya,” pungkas Fithra.

Riset Kredivo: Tren Positif E-commerce Masih Berlanjut Sampai Masa Pandemi

E-commerce menjadi salah satu sektor digital yang menguat selama era pandemi ini. Platform kredit online Kredivo yang fokus di transaksi e-commerce turut mendapat pengaruh baik itu. Namun disampaikan oleh perwakilan perusahaan, pengaruh baik itu juga tak lepas dari capaian mereka di sepanjang 2019.

Untuk mendalami tren yang ada, Kredivo bekerja sama dengan Katadata Insight Center melakukan analisis data primer dari 10 juta lebih transaksi dari 1 juta pengguna Kredivo di enam e-commerce meliputi Tokopedia, Shopee, Bukalapak, Lazada, Blibli, dan JD.ID sepanjang 2019.

Ada beberapa poin penting yang dikemukakan riset ini. Namun yang menjadi fokus utama dari riset ini adalah transaksi selama 2019 yang cukup kuat. Salah satu indikatornya adalah peningkatan transaksi hingga 22% dibanding rata-rata jumlah transaksi bulanan.

Direktur Riset Katadata Insight Center Mulya Amri menjelaskan bahwa dalam kurun setahun pengguna Kredivo menimbulkan pola belanja tertentu di e-commerce tiap bulan. Januari dan Februari menunjukkan transaksi mereka jauh di bawah rata-rata. Baru pada Mei kenaikan transaksi yang signifikan mulai terlihat.

Mulya menyebut hal itu tak lepas dari faktor hari raya Idulfitri, nilai transaksi pengguna di e-commerce naik signifikan. Turun di Juni, jumlah transaksi stabil naik dari Juli dan memuncak di Desember dengan yang mencapai 22% di atas rata-rata. Program Harbolnas 12.12 tahun lalu misalnya berhasil mendongkrak jumlah transaksi harian hingga lima kali lipat.

Perbandingan nilai transaksi e-commerce dalam momen-momen tertentu / Kredivo
Perbandingan nilai transaksi e-commerce dalam momen-momen tertentu / Kredivo

Temuan-temuan menarik perilaku konsumen e-commerce

Riset ini juga berhasil merekam temuan-temuan menarik terkait perilaku konsumen e-commerce yang menggunakan layanan Kredivo. Mulai dari temuan kelompok umur Generasi Z (18-25 tahun) dan Milenial (26-35 tahun) menghabiskan uang paling banyak dari pendapatannya untuk berbelanja di e-commerce masing-masing dengan rasio 4,7% dan 5,1%. Temuan ini berbanding lurus dengan literasi layanan digital yang lebih mapan di dua kelompok usia tersebut.

Dari aspek perilaku, riset ini mendapati pola-pola tertentu konsumen Kredivo berbelanja. Contohnya adalah jam tersibuk mereka untuk belanja adalah di sepanjang hari kerja dengan pengecualian Senin. Lalu jika dilihat lebih rinci lagi, jam makan siang dan jam makan malam hingga jelang tidur sebagai waktu paling ramai terjadinya transaksi di e-commerce. Sementara secara nilai transaksi, orang-orang lebih banyak mengeluarkan uang dalam satu transaksi pada akhir pekan.

Riset ini juga menemukan bahwa perempuan punya kecenderungan lebih sering belanja di e-commerce dalam setahun yang rata-rata bisa mencapai 26 kali. Namun laki-laki ternyata lebih murah hati merogoh koceknya saat berbelanja karena rata-rata nilai transaksi mereka lebih besar dari konsumen perempuan dengan Rp227.526 per transaksi.

Perbandingan jumlah transaksi e-commerce pengguna pria dan wanita / Kredivo
Perbandingan jumlah transaksi e-commerce pengguna laki-laki dan perempuan / Kredivo

Sementara dari sisi produk, kategori fesyen, kosmetik, dan gadget masih jadi primadona di kalangan pengguna Kredivo yang berbelanja di e-commerce. Produk fesyen dan kecantikan mendominasi secara jumlah transaksi yang mencapai 30% dan 16%, sementara produk gadget dan aksesorisnya mendominasi dengan angka 33% secara nilai transaksi.

General Manager Kredivo Lily Suriani mengatakan, pihaknya berniat memperluas tren positif di sejumlah kategori tersebut dengan memperluas jangkauannya yang saat ini sudah menggandeng lebih dari 300 merchant online khususnya di kategori fesyen. “Ada beberapa yang kita sedang tahap integrasi dengan pemain-pemain fashion besar. Tidak menutup kemungkinan juga dengan kategori lain yang punya nilai transaksi tinggi seperti gadget dan elektronik,” jelas Lily.

Ada sedikit pergeseran

Lily menyebut Kredivo memiliki hampir 2 juta pengguna saat ini. Ia mengklaim jumlah pengguna baru dan yang mengajukan kredit terus meningkat tak hanya di tahun lalu tapi juga hingga sekarang. Menurut Lily hal itu tak lepas dari penetrasi internet yang terus membaik di Indonesia serta kepercayaan konsumen dalam bertransaksi online yang terus meningkat baik dari frekuensinya maupun nilainya.

Head of Marketing & Alliances Kredivo Indina Andamari mengklaim capaian positif di tahun lalu itu masih terlihat setidaknya di satu semester 2020. Dari aspek perilaku konsumen menurut Indina hal itu masih terjaga. Namun ia juga mengakui bahwa ada pergeseran terutama dari besaran nominal yang dibelanjakan konsumen mengingat pandemi mengharuskan banyak orang memperketat bujetnya.

“Tapi memang ada pergeseran juga di pengeluaran mereka dengan kondisi ekonomi seperti sekarang yang banyak mengalami kesulitan ekonomi jadi secara nilai rata-rata agak menurun sedikit,” imbuh Indina.

Application Information Will Show Up Here

Beautytech dan Perannya Membentuk Industri Kecantikan

Industri kecantikan tak dimungkiri menjadi salah satu yang paling naik daun dalam setengah dekade terakhir. Female Daily adalah bagian dari saksi melambungnya industri ini. Sebagai platform komunitas online di bidang kecantikan.

Co-Founder & CEO Female Daily Hanifa Ambadar mengatakan, ada sejumlah faktor pasar kecantikan kian membesar. Tren global, kemunculan merek-merek lokal, hingga serbuan kultur K-Drama dan K-Pop yang berakibat banyaknya produk kosmetik asal Korea yang mencoba peruntungan di sini. Platform review seperti Female Daily mengamplifikasi semua hal tersebut sehingga menghasilkan ekosistem yang lengkap.

“Sampai sekarang apa yang kita bangun di Female Daily itu berdasarkan feedback user,” ujar Hanifa.

Dalam #SelasaStartup minggu keempat bulan Juli, Hanifa menjelaskan bagaimana beautytech seperti Female Daily membentuk industri kecantikan, mulai dari aspek kemunculan pelaku industri, makin beragamnya produk yang ditawarkan, hingga perubahan perilaku konsumen produk kecantikan.

Komunitas sebagai kunci

Kiprah Female Daily sebagai beautytech sejak 2005 tak bisa lepas dari peran basis komunitas mereka yang kuat. Hanifa menilai, kuatnya komunitas tak lepas dari kualitas anggotanya di masa awal mereka berdiri. Model bisnis di masa lampau membuat mereka tumbuh secara organik meski di satu sisi butuh waktu yang lebih lama untuk bisnisnya tumbuh.

Berawal dari blog, kini Female Daily adalah platform yang memiliki 50 juta anggota dengan 4 juta unique users per bulan. Besarnya komunitas berbanding lurus dengan pengaruh mereka ke industri. Hanifa memberi contoh ketika ada rencana peluncuran produk dari suatu merek, maka si pemilik produk akan menggandeng Female Daily untuk mendengar masukan dari anggota komunitas.

Tidak perlu heran jika platform review seperti Female Daily bisa punya pengaruh sekuat itu. Pasalnya pengetahuan para anggotanya tentang kosmetik dan kecantikan tak bisa diremehkan. Ada yang bekas majalah fesyen, ada yang pernah bekerja di industri fesyen. Menjadi yang paling cepat mewadahi pengetahuan orang-orang itu adalah sebuah keuntungan.

Namun besarnya komunitas Female Daily tak tercapai dalam semalam. Sebagai salah satu platform pertama yang membahas serba-serbi kecantikan, Female Daily membuka diri dan merawat anggotanya agar tempatnya jadi pilihan utama para beauty enthusiast. Salah satu bentuknya adalah mempererat hubungan antara anggota dengan perusahaan.

“Kita juga di awal nutruring lewat offline events. Walaupun kita online community tapi kedekatan itu juga lebih erat karena adanya offline event,” imbuh Hanifa.

Pengaruh ke pelaku industri 

Berkembangnya beautytech seperti Female Daily mempercepat penyebaran informasi produk kecantikan. Menurut Hanifa perusahaan kosmetik terbantu kehadiran beautytech karena produk mereka punya kesempatan disorot ke audiens yang lebih luas serta mendapat masukan yang lebih dalam tentang produknya.

“Sekarang hampir semua perusahaan kecantikan punya satu orang khusus untuk mempelajari semua percakapan yang ada di Female Daily.”

Suara-suara konsumen itu tak hanya dijadikan bekal membuat produk berikutnya, tapi juga membaca selera dan manuver kompetitor, serta merancang kampanye pemasaran. Menurut Hanifa hal itu terutama dilakukan oleh merek lokal. Ia juga menambahkan saat ini tren yang berkembang di industri kecantikan memang melibatkan konsumen dalam menentukan produk berikutnya.

Mengubah perilaku konsumen

Selain ke produsen kecantikan, kehadiran beautytech tentu turut mengubah perilaku konsumen produk kecantikan. Satu hal yang paling disadari oleh Hanifa adalah review sudah jadi kebiasaan tak terpisahkan dari konsumen saat ini. Konsumen juga jauh lebih lapar akan informasi produk kecantikan yang hendak dibeli.

Makin mudanya penikmat produk kecantikan juga ditengarai berpengaruh terhadap perilaku konsumen. Contohnya adalah selektifnya mereka karena menyesuaikan bujet yang terbatas. Maka rekomendasi dan hasil review menjadi pegangan utama mereka.

“Yang kedua menurutku adalah kecintaan terhadap merek lokal. Jadi sekarang banyak orang yang dukung merek lokal bukan karena lokalnya saja, tapi juga karena produknya yang keren-keren,” ucap Hanifa.

Tantangan yang masih dihadapi

Hanifa menekankan tantangan mereka sebagai platform online adalah sebaran informasi tentang kecantikan yang lebih luas. Jika dahulu sumber distraksi masih cukup terbatas, kini jauh berbeda. Tanpa faktor pembeda, orang tidak bisa lagi berlama-lama di dalam satu situs saja karena sumber distraksi makin banyak. Female Daily berkeinginan menjadi satu ekosistem terpadu tentang produk kecantikan.

Salah satu masalah itu terjadi ketika seseorang hendak mencari informasi tentang suatu produk yang ingin ia beli, namun ia harus mengunjungi situs/aplikasi/tempat lain untuk membeli barang yang dicari. Maka dari itu Female Daily mendirikan Beauty Studio, e-commerce produk kecantikan yang melengkapi ekosistem mereka.

“Jadi kita mikir bagaimana caranya agar user kita enggak ke mana-mana lagi. Terekspos, diskusi, beli di situ, memberi review, jadi satu ekosistem untuk memfasilitasi journey customer di Female Daily,” lengkap Hanifa.

Menurut Hanifa sebenarnya masih ada satu hal yang ingin mereka lengkapi dalam ekosistem Female Daily yakni toko ritel fisik. Produk kecantikan memang bergantung penginderaan manusia. Namun pandemi memundurkan rencana tersebut yang tadinya ingin dieksekusi akhir tahun ini.

Di samping itu, Hanifa juga berharap mereka dapat menggunakan kecerdasan buatan (AI) yang lebih jauh di platform mereka. Ia menyebut teknologi itu dapat memudahkan pengguna memperoleh rekomendasi produk kecantikan yang sesuai dengan preferensi dan kebutuhannya.

“Yang menarik beauty itu banyak banget datanya. Jadi kalau misal aku review product, ketahuan aku sukanya produk apa saja, komposisi apa saja, dan formulasi apa saja. itu bisa ditebak dan dipelajari,”

Lawgo Introduces Marketplace App for Lawyer Service

The demand for legal services in Indonesia is quite high. It is also shown in the number of local legaltech and regtech startups that increase over time. The high-demand and not-inclusive law services have inspired Lawgo as legaltech.

Lawgo was founded in November 2018 with Luki Amalah as founder and CEO. The service was launched as a mobile application in last year’s first half, but they re-released the application this month. Luki said the reason he created Lawgo was that public access to fair and transparent law enforcement was not really inclusive.

“We’ve seen Indonesia, in particular, many people are quite oppressed or have lost their rights, yet doing nothing because they don’t really know where to go or what to do to for this issue,” Luki said.

Product and business model

Lawgo runs B2C business model as a marketplace. With the current platform, users can search and use legal consulting services of some lawyers. The types of legal services they provide are also quite diverse ranging from mediation, criminal defense, advocacy, debt problems, to divorce.

Luki said that Lawgo made revenue by taking fee from each transaction that occurred. This fee is included in the price of the services offered to customers.

“For any lawyer who wants to join to become a Lawgo partner and submit their profile on our application, it’s free, but when they start accepting clients through our application, then the amount of fee they receive will be deducted for the Lawgo fee portion,” Luki explained.

To date, there have been quite a few lawyers partners who joined Lawgo, while the number of their app downloads has reached over 1000. There are at least two Lawgo’s leading features, Chat with Lawyer and Meet the Lawyer.

Both features have a fixed rate. Chat with Lawyer costs around Rp. 17,500 to Rp. 30,000 for one 20-minute session. While the Meet the Lawyer feature (to be released soon) will cost around Rp. 300,000-Rp. 500,000 per consultation.

“The different rate based on the lawyer classification, young and senior based on experience,” Luki added.

Short-term target

As a relatively new startup, Luki said education, introduction, and branding to the market are still Lawgo’s main focus. They also intend to develop new features to enrich their services. One of them is a feature that allows lawyers to assist clients to get right to court.

Luki saw the pandemic as an opportunity for Lawgo’s legal services to be more widely known by the public. The reason, the community’s concern about Covid-19 limits the movement of some people. That means that legal services based on the mobile application Lawgo could potentially be used by more people.

Thus, it is not surprising when Luki said Lawgo, a bootstrap startup, is yet to raise funding. “We’ve thought about fundraising, but it’ll not before early next year, mainly because our focus is more on brand and product introduction, also education to the public about the Lawgo service,” Luki concluded.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Lawgo Perkenalkan Aplikasi Marketplace untuk Akses Jasa Pengacara

Kebutuhan layanan hukum di Indonesia masih tinggi. Maka tak heran jumlah startup legaltech maupun regtech di dalam negeri akan terus bertambah seiring waktu. Kebutuhan layanan hukum yang masih tinggi dan belum merata inilah yang dirasakan oleh legaltech Lawgo.

Lawgo berdiri sejak November 2018 dengan Luki Amalah sebagai founder dan CEO. Lawgo merilis layanan mereka dalam bentuk aplikasi mobile sejak pertengahan tahun lalu, namun mereka merilis ulang aplikasinya di bulan ini. Luki mengatakan latar belakang pendirian Lawgo karena akses masyarakat ke penegakan hukum yang adil dan transparan belum merata.

“Kami melihat di Indonesia khususnya masih sangat banyak orang-orang yang tertindas atau kehilangan haknya tetapi nrimo saja, karena tidak tahu
harus ke mana atau berbuat apa guna memperoleh pemulihan haknya tersebut,” ucap Luki.

Model bisnis dan produk

Bisnis Lawgo adalah B2C yang berbentuk marketplace. Dengan platform Lawgo, seorang pengguna bisa mencari dan menggunakan jasa konsultasi hukum dengan sejumlah pengacara. Jenis layanan hukum yang mereka sediakan pun cukup beragam mulai dari mediasi, pidana, pendampingan, masalah utang, hingga perceraian.

Luki menjelaskan Lawgo memperoleh pendapatan dari kutipan biaya sekian rupiah dari tiap transaksi yang terjadi. Biaya tersebut sudah termasuk di dalam harga jasa yang ditawarkan ke pelanggan.

“Untuk siapapun lawyer yang ingin bergabung menjadi mitra Lawgo dan masuk profilnya di aplikasi kami itu gratis, tetapi saat mereka mulai menerima klien melalui aplikasi kami, maka besaran fee yang mereka terima akan dipotong untuk bagian fee Lawgo,” jelas Luki.

Sejauh ini mitra pengacara yang bergabung dengan Lawgo sudah ada puluhan, sedangkan jumlah unduhan aplikasi mereka sudah sekitar 1000 kali. Setidaknya ada fitur andalan Lawgo yang ditawarkan ke pasar yakni Chat with Lawyer dan Meet the Lawyer.

Kedua fitur tersebut dipatok dengan harga tetap. Layanan Chat with Lawyer dihargai sekitar Rp17.500 hingga Rp30.000 untuk satu sesi berdurasi 20 menit. Sementara fitur Meet the Lawyer yang nanti segera dirilis dihargai sekitar Rp300.000-Rp500.000 per sekali konsultasi.

“Di mana perbedaan harga layanan adalah tergantung pada klasifikasi dari lawyer-nya, muda dan senior berdasarkan pengalaman,” imbuh Luki.

Target dalam waktu dekat

Sebagai startup yang tergolong baru, Luki menyebut edukasi, pengenalan, dan branding Lawgo ke pasar masih menjadi fokus mereka untuk saat ini. Mereka juga berniat mengembangkan fitur-fitur baru untuk memperkaya layanannya. Salah satunya seperti fitur yang memungkinkan pengacara untuk membantu klien langsung hingga ke meja hijau.

Luki melihat pandemi sebagai kesempatan bagi layanan hukum Lawgo agar dikenal lebih luas oleh masyarakat. Pasalnya, kekhawatiran masyarakat akan Covid-19 membatasi pergerakan sebagian orang. Itu artinya layanan hukum berbasis aplikasi mobile Lawgo berpotensi digunakan lebih banyak orang.

Maka tak mengherankan Luki menyebut Lawgo yang masih menggunakan modal urunan para pendirinya belum berniat mengumpulkan pendanaan. “Ada niatan juga untuk fundraising tapi sepertinya itu masih di awal tahun depan, terutama karena fokus kita saat ini lebih pada pengenalan brand dan produk terlebih dahulu serta edukasi ke masyarakat mengenai hadirnya Lawgo,” pungkas Luki.

Application Information Will Show Up Here

Ralali Targetkan Balik Modal dalam Satu Tahun ke Depan

Kondisi pandemi memaksa platform marketplace B2B Ralali memilih jalan yang lebih konservatif. Founder dan CEO Ralali Joseph Aditya menegaskan bahwa untuk saat ini tak akan ada ekspansi atau pengeluaran yang gila-gilaan dari perusahaan di masa tak menentu seperti ini.

Patut diingat e-commerce B2B seperti Ralali ini merupakan salah satu yang paling terdampak dari lesunya ekonomi selama wabah Covid-19 melanda dunia. Lemahnya daya beli masyarakat dan rusaknya rantai pasokan bisnis memaksa Ralali untuk lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan. Masih segar di ingatan bagaimana startup marketplace B2B Stoqo gulung tikar pada April lalu.

Kehati-hatian dalam menghadapi potensi krisis tercermin dari ucapan Aditya. Dalam konferensi pers virtual siang tadi, Aditya menekankan bahwa selain tak akan ada pengeluaran besar-besaran, keputusan mereka harus berorientasi untung.

“Intinya yang kami lakukan itu membuahkan revenue atau return. Artinya semua cost yang berubah seperti variable cost harus bisa diukur menjadi revenue. Sementara untuk yang menjadi operasional harus dioptimalkan bertahan tidak naik drastis,” jelas Aditya.

Dengan kerangka berpikir demikian, Aditya berani memasang target Ralali memperoleh break even point sebelum ulang tahun perusahaan berikutnya. “Kami inginnya bukan jadi e-commerce yang bakar-bakar duit, tapi menjadi e-commerce yang profitable,” imbuh Aditya.

Sumber keyakinan Aditya berasal dari kenaikan e-commerce B2B yang selama ini selalu didominasi oleh e-commerce B2C. Edukasi produk dan teknologi yang cukup lama dari para pelaku B2C menurutnya membantu Ralali dikenal lebih cepat oleh target pengguna.

Strategi bisnis ke depan

Ralali yang baru berusia 7 tahun sekarang punya sejumlah strategi untuk bertahan dari kencangnya guncangan ekonomi akibat pandemi. Salah satu di antaranya adalah dengan merancang hyperlocal business. Konsep ini memungkinkan satu titik bisa menyuplai kebutuhan bisnis di radius 15-20 kilometer.

Strategi lain yang diutamakan oleh Ralali adalah pendanaan UKM. Bedanya pendanaan yang disediakan oleh Ralali berbentuk barang. Menurut Aditya, pendanaan jenis ini dibutuhkan oleh para UKM yang kesulitan beroperasi kembali.

“Kita punya tim di lapangan untuk profiling yang nanti kita bisa beri bantuan dana dalam bentuk supply chain financing atau dengan kata lain pendanaan dalam bentuk barang. Jadi nanti dikasih barangnya dulu, lalu ketika produknya sudah terjual baru mereka bisa bayar ke kami,” terang Aditya.

Guna melewati masa-masa sulit saat ini, Ralali juga meluncurkan kampanye untuk mendukung dan menggandeng UMKM kembali bangkit. Kampanye tersebut meliputi promo, diskon, ongkir gratis, yang bisa dinikmati pembeli di platform Ralali.

Selama 7 tahun beroperasi, Ralali tercatat digunakan lebih dari 11.000 pemasok dan 160.000 UMKM. Angka-angka tersebut menjadikan Ralali sebagai salah satu e-commerce B2B terbesar di Indonesia.

Application Information Will Show Up Here

Zenius akan Terus Gratiskan Konten, Dua Produk Baru Diluncurkan untuk Topang Model Bisnis

Zenius mulai memperlihatkan keseriusannya bertransformasi sebagai platform edtech unggulan di tanah air sejak Rohan Monga bergabung sebagai CEO. Setelah pengumuman pendanaan seri A pada Februari kemarin, kini Zenius melakukan rebranding dengan mengubah logo dan menambah produk-produk baru.

Jika sebelumnya logo mereka didominasi dengan warna kuning-hitam, logo baru lebih dipenuhi dengan warna ungu dengan desain yang lebih sederhana. Mereka menyebut logo baru ini menandai Zenius sudah kian matang dan hidup di tengah-tengah masyarakat.

Gratis selamanya

Namun di antara pengumuman rebranding itu, ada penegasan yang penting yang keluar dari mulut Co-Founder & Chief Eduacation Officer Sabda PS. Dalam konferensi pers virtual, Sabda memastikan bahwa akses gratis mereka akan terus dipertahankan untuk selamanya. Konten gratis itu meliputi video konsep, latihan soal, serta jawabannya.

“Itu termasuk sebagian besar dari konten kita. Makanya target 30 juta pelajar yang punya akses internet seharusnya enggak ada masalah untuk mengakses Zenius,” ucap Sabda.

CEO Rohan Monga menambahkan, ada sekitar 80.000 konten video pembelajaran yang bisa diakses gratis. Menurut Rohan hal itu penting untuk memberikan kesempatan pelajar di nusantara untuk mengenyam konten pembelajaran yang berkualitas. “Karena kita ingin mengakselerasi high quality learning,” imbuh Rohan.

Zenius menggebrak skema edtech karena berani menggratiskan layanan mereka pada Desember 2019. Jika saat pengumuman penggratisan akses itu Zenius masih belum menyebut bagaimana monetisasinya, kini jawabannya sudah ada.

Produk baru

Rohan menjelaskan, ada dua produk baru mereka yakni Zenius Ultima dan Zenius Optima. Kedua produk ini memperkenalkan fitur interaksi langsung. Melalui fitur tersebut, pelajar bisa melakukan tanya jawab atau diskusi secara real-time dengan tutor senior Zenius baik untuk sekadar bimbingan belajar atau untuk persiapan ujian.

“Kita ingin pastikan edukasi berkualitas untuk segmen murid yang suka dengan interactive learning,” ujar Rohan.

Dalam paparan kemarin, Zenius mengklaim sudah memiliki 15,7 juta pengguna yang tersebar di 300 kota dan kabupaten. Tiga bulan terakhir Sabda menyebut aplikasi mereka sudah diunduh tiga juga kali. Selain faktor konten gratis, kondisi pandemi yang mengharuskan kegiatan belajar mengajar dilakukan di rumah juga berpengaruh.

Beroperasi sejak 2004, Zenius merupakan salah satu pionir edtech di Indonesia. Mereka dulu lebih dikenal berkat produk kepingan CD/DVD yang memuat konten-konten pembelajaran. Keberadaannya makin dikenal publik luas ketika bisa diakses lewat situs web dan aplikasi mobile.

Hampir 16 tahun unjuk gigi di Indonesia, Zenius sudah mengantongi pendanaan seri A senilai US$20 juta atau setara Rp260 miliar saat diumumkan Februari kemarin. Northstar Group, Kinesys Group, dan BeeNext berpartisipasi dalam pendanaan tersebut. Melihat agresivitasnya belakangan ini, bukan tidak mungkin Zenius mulai melirik pasar baru di luar Indonesia. Namun Rohan Monga langsung menampik kemungkinan tersebut.

“Ada banyak yang masih harus kita kerjakan dan fokuskan di Indonesia,” pungkas Rohan.

Application Information Will Show Up Here

Menengok Nasib Platform “Bike Sharing” di Tengah Tren Demam Bersepeda

Pandemi mengungkap sejumlah kebiasaan baru manusia. Tren bersepeda merupakan satu di antaranya. Bersepeda memang bukan kegiatan baru, namun tren bersepeda di masa pandemi ini tak bisa dipandang sebelah mata.

Ketika pandemi melumpuhkan banyak sekali aktivitas di luar ruang, bersepeda justru menjadi pilihan banyak orang. Tren ini tidak hanya terjadi di Indonesia tapi juga di seluruh dunia. Keadaan ini jelas membawa pengaruh yang tak kecil ke bisnis sepeda, khususnya bike sharing.

Ketika kami menyebut tren bersepeda terjadi secara global, artinya minat aktivitas ini tak hanya terjadi di dua-tiga negara. Jalanan di Amerika Serikat, Filipina, Italia, India, Indonesia, dan negara lainnya kian dipenuhi oleh pesepeda.

Ada beberapa alasan minat bersepeda kini sangat tinggi. Pertama, sepeda sebagai alternatif moda transportasi. Bahaya penyebaran Covid-19 di tempat-tempat ramai seperti kereta dan bus mencuatkan kembali sepeda sebagai sarana transportasi yang murah dan aman bagi para pekerja. Kedua, tidak banyak pilihan berolahraga selama pandemi ini. Sepeda menjawab kedua kebutuhan tersebut.

Lalu apa arti tren bersepeda bagi startup yang fokus bisnisnya bike sharing? Yang jelas dampaknya besar, meski tak selalu positif.

Dampak beragam

Di Indonesia, startup di vertikal ini memang belum banyak. Meskipun demikian, lonjakan permintaan unit sepeda di sini tak main-main. Itu sebabnya apa yang terjadi saat ini tak lepas dari observasi Speeda dan Gowes, dua startup yang bergerak di segmen bike sharing.

Dikutip dari Kompas.com, permintaan sepeda disebut meningkat hingga 3-4 kali lipat selama pandemi berlangsung. Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Sepeda Indonesia (Apsindo) Eko Wibowo Utomo menyebut kenaikan itu terjadi karena sepeda dilirik sebagai sarana transportasi dan rekreasi warga.

PT Surya Teknologi Perkasa yang membawahi layanan bike sharing Gowes menyebut situasi ini menguntungkan mereka. Presiden Direktur Iwan Suryaputra mengatakan antusiasme warga terhadap bersepeda berpengaruh positif atas penggunaan Gowes.

“Gowes hadir sebagai solusi alternatif transportasi jarak pendek, rekreasi, dan olahraga. Dengan adanya tren bersepeda yang berkembang saat ini, hal tersebut tentunya memicu peningkatan positif terhadap minat pengguna bike sharing,” ujar Iwan kepada DailySocial.

Nada berbeda disampaikan Speeda. Muhammad Reza dari tim Business Development Speeda menyampaikan, peningkatan kepemilikan sepeda saat ini bisa berarti kabar buruk bagi bisnis penyewaan sepeda seperti mereka. Reza menilai semakin banyak orang memiliki sepeda, maka semakin berkurang minat menggunakan bike sharing.

Jogjabike yang dihadirkan Speeda beroperasi di titik-titik wisata Yogyakarta. Semakin banyaknya penduduk lokal yang memiliki sepeda berimbas pada pendapatan dari penyewaan sepeda yang kini hanya bergantung pada pendatang luar kota. “Semakin banyak pemilik sepeda, semakin banyak pula orang yang datang ke lokasi dengan menggunakan sepeda mereka sendiri,” imbuh Reza.

Mengakali situasi

Gowes punya harapan lebih dari situasi demam bersepeda saat ini. Iwan mengatakan, pihaknya berniat terus menggenjot jumlah pengguna di dalam negeri. Kiat paling utama adalah dengan tetap beroperasi sembari menjalankan protokol kesehatan. Sayangnya, Iwan tak menjelaskan lebih detail protokol kesehatan yang dimaksud.

Tren bersepeda saat ini menjadi peluang emas bagi Gowes yang cukup agresif dalam melebarkan pasarnya hingga ke luar negeri. Covid-19 menunda banyak rencana mereka, termasuk ekspansi ke negara lain serta peluncuran inovasi baru.

“Total member kami yang sudah bergabung dengan aplikasi Gowes lebih dari 300.000 pengguna. Kami kemungkinan akan segera hadir di salah satu kota besar lainnya di Indonesia, namun sambil melihat perkembangan dengan adanya keadaan pandemi Covid-19 ini,” ujar Iwan.

Reza lebih realistis memandang situasi sekarang. Menurutnya, bisnis bike sharing di Indonesia memang bisa bertahan atau bahkan makin moncer jika diposisikan sebagai alat transportasi alternatif. Namun jika tetap dipaksakan sebagai kendaraan rekreasional, kondisi saat ini bagi bisnis bike sharing adalah momen yang terburuk.

Meskipun demikian, Speeda tidak berpangku tangan melihat pasar mereka remuk akibat tren bersepeda ini. Mereka mulai mempertimbangkan celah lain dalam bisnis penyewaan sepeda. Salah satu caranya adalah merangkul para pemilik sepeda untuk menyewakan sepedanya lewat platform sehingga mereka tak perlu lagi menyediakan sepeda sendiri.

“Meskipun jumlah pemilik sepeda meningkat, namun ada kemungkinan bahwa orang yang tidak memiliki sepeda masih lebih banyak. Oleh karena itu peluang penyewaan masih sangat besar,” cetus Reza.

Kendati demikian, bisnis bike sharing masih menghadapi persoalan besar. Jogjabike yang sudah punya 60.000 pengguna harus tetap mencari alternatif bisnis penyewaan untuk mengantisipasi pandemi yang berkepanjangan.

“Para pengusaha bike sharing harus memikirkan bagaimana menghasilkan revenue dengan apa yang mereka punya saat ini meskipun dengan angka penyewaan yang rendah,” pungkas Reza.

Application Information Will Show Up Here