Noice Umumkan Pendanaan Strategis dari RANS Entertainment

Platform konten audio Noice mengumumkan pendanaan strategis dengan nominal yang dirahasiakan dari RANS Entertainment milik Raffi Ahmad dan Nagita Slavina. Sebagai tahap awal kemitraan strategisnya, RANS akan menghadirkan konten podcast original secara eksklusif di platform Noice.

Sebagai informasi, RANS Entertainment merupakan perusahaan konten hiburan yang menaungi berbagai lini bisnis, mulai dari RANS Music, RANS Sportainment, RANS FC, RANS Basket, RANS e-sports, dan RANS Beauty. Saat ini, RANS Entertainment memiliki lebih dari 100 juta follower dan subscriber di berbagai jejaring media sosial.

RANS juga mulai masuk ke ekosistem startup dengan menghadirkan RANS Ventures. Dua portofolio awalnya adalah Upbanx dan VCGamers.

Sebelumnya, Noice memperoleh putaran pendanaan pra-seri A yang dipimpin oleh Alpha JWC Ventures dan Go-Ventures, serta partisipasi dari Kinesys Group dan Kenangan Kapital di 2021.

Adapun, Alpha JWC Ventures, Kenangan Kapital, dan Kinesys Group telah berpartisipasi pada pendanaan awal Noice.

Dalam keterangan resminya, CEO Noice Rado Ardian mengungkap bahwa posisi RANS sebagai media powerhouse di Indonesia dapat memperkuat konten dan membuka peluang kolaborasi dengan talent-talent di bawah naungan RANS Entertainment dan RANS Music.

“Pendanaan ini akan digunakan untuk mengembangkan konten berkualitas bagi masyarakat di Indonesia. Dengan partner strategis seperti RANS, jalan untuk mengembangkan ekosistem konten audio di Indonesia melalui konten cross-platform, baik visual ke audio maupun sebaliknya, akan semakin terbuka,” tutur Rado.

Lewat kemitraan ini, pengguna Noice dapat mengakses berbagai konten baru RANS Entertainment secara eksklusif. Selain itu, RANS Entertainment akan menggunakan fitur Noice Live untuk berinteraksi langsung dengan para fans mereka. Noice Live adalah fitur social networking dalam format audio yang memungkinkan interaksi real-time antara kreator, pendengar, musisi, fans, hingga expert.

Chairman RANS Entertainment Raffi Ahmad menambahkan, “Apa yang dilakukan Noice sejalan dengan visi dan misi RANS Entertainment untuk mengembangkan ekosistem konten digital dan industri kreatif di Tanah Air. Hal-hal tersebut membuat kami sangat tertarik untuk berinvestasi di Noice.”

Saat ini, Noice menyebut telah memiliki lebih dari 20.000 episode podcast dengan total waktu pengguna mendengarkan konten lebih dari satu miliar menit. Noice punya lebih dari 1,5 juta pengguna dan lebih dari 300 konten kreator.

Strategi hyperlocal

Noice berkomitmen untuk menciptakan ekosistem konten audio berkualitas di Indonesia, dengan menghadirkan multi-vertikal audio terlengkap, seperti podcast, audiobook, radio, dan live audio.

Dalam wawancara DailySocial terdahulu dengan Rado Ardian, ia selalu menekankan strategi hyperlocal sebagai value proposition layanannya demi menjadi rumah bagi konten audio di Indonesia.

Strategi ini mengedepankan aspek bahasa Indonesia dan daerah dengan topik-topik relevan di setiap wilayah. Menurutnya, industri podcast dan audio non-musik terus bertumbuh, namun platform penyedia konten audio non-musik yang berkualitas masih sangat terbatas.

Dengan diversifikasi lini bisnis dan basis penggemar yang besar, kolaborasi Noice dengan RANS Entertainment dapat menjadi strategi yang tepat untuk mendominasi konten podcast lokal. Dan bisa jadi ini bukan kolaborasi eksklusif terakhir Noice dengan perusahaan sejenis.

Apalagi, jika diperhatikan selama beberapa tahun terakhir, publik figur maupun selebritas Indonesia sudah mulai membentuk kanal hiburan sendiri dengan memanfaatkan jaringan media sosial, seperti YouTube dan Instagram. Jumlah follower dan subscriber mereka pun besar. Tren ini turut sejalan dengan meningkatnya penggunaan smartphone dan berkurangnya intensitas masyarakat Indonesia untuk menonton televisi.

Application Information Will Show Up Here

Cashlez Aims for Business Growth Through Online Merchant and Company Acquisition

PT Cashlez Worldwide Tbk (IDX: CASH) plans to acquire a company to encourage inorganic business growth in 2022. To support this plan, Cashlez is to held a fundraising through the Pre-emptive Rights (HMETD) scheme or rights issue in the first quarter of 2022.

Cashlez brought up the news during a virtual media visit with DailySocial.id’s editorial team. The Chief Revenue Officer, Djayanto Suseno and Corporate Secretary Hendrik Adrianto also attended this session.

His team said that Cashlez is to hold the first phase of the rights issue with a value of $10 million or around Rp143.8 billion to be used as working capital and product development. Furthermore, Cashlez will conduct a second phase of rights issue for acquisition inquiry.

Djayanto mentioned, the company is currently preparing a five-year roadmap which includes an organic and inorganic business strategy. Regarding inorganic strategy, Cashlez to create option for company acquisition. However, Djayanto could not provide further details on the business categories and lists of companies.

“That is why we fundraise through a rights issue. We are currently looking for investors who are prepared to be standby buyers. There are foreign investors want to chip in, also the local investors. We have submitted everything to our financial advisor, Bahana [Sekuritas],” he said.

He said, the company will continue to empower existing resources to encourage organic business development. However, that is considered insufficient considering that Cashlez wants to develop a larger digital payment ecosystem.

“For us, what is more important now is not about what to acquire, but how much funds to be raised. That way, we’ll know what to buy,” he added.

Cashlez was founded by Teddy Setiawan Tee in 2015 which offers financial solutions, payment gateways, payment aggregators, and mPOS solutions. In 2017, Cashlez obtained investments from Mandiri Capital Indonesia (MCI), and Sumitomo Corporation in 2019.

Targeting online merchants

On the general note, Cashlez has proceed 18 billion total transactions from 436 merchants in 2016. By the end of 2021, the company had served 13,000 merchants in six cities connected to 7,000 EDC devices. In further details by merchant category, 30% of users come from the retail segment, 18% from restaurants, and 12% from fashion.

Cashlez recorded Rp5.9 trillion total Gross Transaction Value (GTV) in 2020. Djayanto said that there will be a decline in GTV in 2021 at Rp4.3 trillion to Rp4.4 trillion. It is occurred due to the mall shutdown in a number of areas. The situation makes it difficult for merchants to sell out.

In order to anticipate the decline, Djayanto added, Cashlez will continue to increase the number of merchants, but will focus on MSME merchants that serve online transactions. As a comparison, the composition of offline merchants at Cashlez is 90%, and the remaining 10% is online. This year, Cashlez will significantly increase the online [transactions from merchants].

“To date, there has been no fintech with the ability [to serve transactions] on an O2O basis. Usually, it is solely has strong online presence. Therefore, we are the only ones with the O2O capabilities todau,” he said.

Social commerce

The trend of buying and selling products through social media, aka social commerce, is growing significantly in Indonesia. Apart from the large population of social media users, the Covid-19 pandemic situation in Indonesia has actually triggered the emergence of small business players selling online.

A number of reports project that social commerce trends will continue to grow given the high potential in tier 2 and 3 cities that are starting to shift into online transactions. According to McKinsey research, social commerce transactions in Indonesia are estimated to account for $25 billion of the projected total GMV of e-commerce of $65 billion in 2022.

 

In reference to the Momentum Works report, social commerce is an attractive area for MSME players with cheaper cost for customer acquisition and more flexible users in exploring or finding the product they are looking for.

In the sampling, this trend is also predicted to provide a great opportunity for payment system considering that MSME players are yet to have access or the ability to provide it.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Mendorong Literasi Kesehatan Mental Melalui Platform Konseling Online

Tak dapat dimungkiri, pandemi Covid-19 menjadi salah satu faktor yang memicu gangguan kesehatan mental (mental health) masyarakat Indonesia. Berdasarkan laporan Kementerian Kesehatan di sepanjang 2020, sebanyak 18.373 orang mengalami gangguan kecemasan, lebih dari 23.000 mengalami depresi, dan 1.193 orang melakukan percobaan bunuh diri.

Meningkatnya kesadaran terhadap pentingnya kesehatan mental sejak beberapa tahun terakhir mulai dimanfaatkan oleh sejumlah pelaku startup untuk membantu menghubungkan masyarakat dengan ahli psikolog melalui teknologi.

Di antaranya adalah platform Kalbu yang didirikan oleh Founder & Chief Visionary Officer Iman Hanggautomo karena tergerak untuk meningkatkan kesehatan mental di Indonesia, terutama bagi anak-anak.

Pada sesi #SelasaStartup, memaparkan berbagai insight menarik dari Iman terkait upayanya memperkenalkan literasi kesehatan mental dan menjangkau masyarakat yang membutuhkan pertolongan.

Kesehatan mental saat pandemi

Iman menilai, kesehatan mental dulu masih dianggap sebagai sesuatu yang tabu di kalangan masyarakat Indonesia. Bisa jadi dikarenakan kesehatan mental tidak diajari dalam sistem pendidikan. Menurutnya, sektor sekolah menjadi jalan masuk yang tepat untuk memperkenalkannya

“Kami berkolaborasi dengan sekolah untuk meningkatkan literasi kesehatan mental sejak dini karena platform-platform semacam ini tidak dapat berjalan sendiri. Ini juga yang tengah diupayakan Kalbu untuk menjadikan kesehatan mental sebagai kurikulum sekolah,” tuturnya.

Berkaca dari situasi beberapa tahun terakhir ini, Iman menilai kesehatan mental mulai menjadi salah isu yang paling sering dibicarakan. Sejumlah kasus yang memicu gangguan mental terjadi selama pandemi Covid-19. Di antaranya, ungkap Iman, angka perceraian naik 15% sehingga banyak permintaan konseling untuk pasangan. Kemudian, kekerasan orang tua terhadap anak meningkat sebesar 42%.

Orang tua mengalami burn out karena aktivitas kerja dari rumah (WFH) yang membuat tidak ada batas antara jam kerja dan waktu di rumah. Belum lagi, mereka harus beres-beres rumah dan menemani anak sekolah (home learning). Mental anak pun ikut drop.

“Kita harus sukses dalam menjalankan aspek kerja, hubungan, hobi, dan self- reward sehingga hidup bisa berkualitas. Jadi jangan coba menolong diri sendiri, seek professional. Pentingnya platform ini agar masyarakat tidak self-diagnose. Kesehatan mental bukan untuk anak saja, tetapi orang tua,” tambahnya.

Lebih efektif dan optimal

Dalam mendorong penggunaan platform konseling online, Iman berupaya melakukan edukasi kepada pengguna dan psikolog bahwa konseling secara online sama optimalnya dengan konvensional. Salah satunya melalui sejumlah program edukasi, seperti workshop.

Dari sudut pandang psikolog, konseling online dapat membantu mereka yang selama ini memiliki keterbatasan akses. Bisa jadi karena lokasi jauh dan harganya lebih mahal apabila melakukan konseling tatap muka (offline).

Dengan dukungan teknologi, psikolog dapat mengadakan sesi konseling online dengan pengguna melalui video call. Menurut Iman, konseling bisa saja dilakukan melalui telepon, tetapi kurang efektif karena psikolog tidak dapat mengobservasi mimik muka dan ekspresi si pengguna.

“Pada konseling konvensional, biasanya psikolog akan menggali masalah. Namun, saya melihat konseling online punya efektivitas tersendiri. Pengguna mengisi consent form ketika mendaftar dan mereka bisa isi apa masalahnya. Dari situ, psikolog lebih mudah menyiapkan solusi pada pertemuan pertamanya karena mereka sudah punya semacam kisi-kisi dari consent form,” ujarnya.

Dari sudut pandang pengguna, konseling online lebih terjangkau dan efisien karena mereka tidak perlu menghabiskan waktu di jalan. Penyedia platform dapat mengurangi sejumlah biaya sehingga harga konseling bisa lebih murah. Dengan kata lain, platform ini memungkinkan siapa saja untuk memakai.

Hambatan konseling online

Terlepas dari efektivitasnya, Iman melihat tetap ada hambatan ketika konseling online. Beberapa di antaranya adalah potensi pengguna melakukan aktivitas lain ketika sesi (multitasking) sehingga menyulitkan mereka untuk fokus. Bisa saja sambil mengecek pekerjaan kantor. Faktor lain yang menghambat adalah kestabilan koneksi internet.

“Tapi kami sudah menyiapkan langkah mitigasi melalui code of conduct kepada pengguna. Misalnya mereka harus berada di ruangan private dan tidak memikirkan hal lain agar lebih fokus,” paparnya.

Di Kalbu sendiri, Iman mengungkap bahwa pihaknya tengah meningkatkan sejumlah aspek, seperti tampilan website, fitur baru, dan aplikasi mobile, untuk meningkatkan kualitas layanan konseling.

“Semenjak akhir 2021, kami lihat gangguan dan kesehatan mental semakin menjamur, khususnya di kalangan anak muda dan generasi Z. Banyak yang bahas anxiety, depresi, dan impostor syndrome di media sosial. Apabila sudah ada demand, supply saja semakin banyak, artinya ekosistemnya mulai matang.”

Cashlez Bidik Pertumbuhan Bisnis Lewat Akuisisi Perusahaan dan Tambah Merchant Online

PT Cashlez Worldwide Tbk (IDX: CASH) berencana melakukan akuisisi perusahaan untuk mendorong pertumbuhan bisnis secara anorganik di 2022. Demi mendukung rencana ini, Cashlez akan menggalang dana lewat skema Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (HMETD) atau right issue di kuartal I 2022.

Hal ini disampaikan Cashlez saat sesi media visit ke tim editorial DailySocial.id secara virtual. Dalam sesi ini turut hadir Chief Revenue Officer Djayanto Suseno dan Corporate Secretary Hendrik Adrianto.

Pihaknya mengungkap bahwa Cashlez akan menggelar right issue tahap pertama dengan nilai $10 juta atau sekitar Rp143,8 miliar yang akan digunakan sebagai modal kerja dan pengembangan produk. Kemudian, Cashlez akan melakukan right issue tahap kedua untuk kebutuhan akuisisi.

Menurut Djayanto, saat ini perusahaan tengah menyusun roadmap selama lima tahun ke depan yang mencakup strategi bisnis secara organik dan anorganik. Mengenai strategi anorganik, Cashlez membuka opsi untuk mengakuisisi perusahaan. Namun, Djayanto belum dapat merincikan lebih lanjut tentang kategori bisnis dan perusahaan yang akan diakuisisi.

“Itulah mengapa kami mau fundraise lewat right issue. Kami sedang sedang mencari investor yang siap menjadi standby buyer. Ada investor luar tertarik, ada juga investor internal. Semua sudah kami serahkan ke financial advisor kami, yaitu Bahana [Sekuritas],” ungkapnya.

Menurutnya, perusahaan akan tetap memberdayakan sumber daya yang ada untuk mendorong pengembangan bisnis secara organik. Akan tetapi, itu saja dinilai tidak cukup mengingat Cashlez ingin mengembangkan ekosistem pembayaran digital yang lebih besar.

“Bagi kami saat ini yang lebih tepat bukanlah apa yang akan kami akuisisi, melainkan berapa jumlah dana yang terkumpul. Dengan begitu, kami bisa tahu apa yang dapat kami beli,” tambahnya.

Cashlez didirikan oleh Teddy Setiawan Tee pada 2015 yang menawarkan solusi keuangan, yakni payment gateway, payment aggregator, dan solusi mPOS. Di 2017, Cashlez memperoleh investasi dari Mandiri Capital Indonesia (MCI), dan Sumitomo Corporation di 2019.

Bidik merchant online

Sebagai informasi, Cashlez mengantongi 18 miliar transaksi total dari 436 merchant di 2016. Per akhir 2021, perusahaan telah melayani 13.000 merchant di enam kota yang terhubung ke 7.000 perangkat EDC. Dirinci berdasarkan kategori merchant, sebanyak 30% pengguna berasal dari segmen ritel, 18% restoran, dan fesyen 12%.

Cashlez mencatat total Gross Transaction Value (GTV) di 2020 sebesar Rp5,9 triliun. Djayanto menyebut ada penurunan GTV di 2021, yakni berkisar Rp4,3 triliun-Rp4,4 triliun. Penurunan ini terjadi karena penutupan mal di sejumlah area. Situasi ini membuat para merchant sulit untuk berjualan.

Untuk mengantisipasi penurunan, ucap Djayanto, Cashlez akan terus menambah jumlah merchant, tapi difokuskan pada merchant UMKM yang melayani transaksi online. Sebagai pembanding, komposisi merchant offline di Cashlez sebesar 90%, dan sisanya 10% online. Tahun ini, Cashlez akan meningkatkan porsi [transaksi dari merchant] online secara signifikan.

“Sampai saat ini belum ada fintech yang memiliki kemampuan untuk [melayani transaksi] secara O2O. Biasanya hanya kuat di online saja. Jadi kami satu-satunya yang memiliki kemampuan O2O saat ini,” tuturnya.

Social commerce

Tren jual-beli produk melalui media sosial alias social commerce berkembang signifikan di Indonesia. Selain karena populasi pengguna media sosial yang besar, situasi pandemi Covid-19 di Indonesia justru memicu kemunculan pelaku usaha kecil yang berjualan secara online.

Sejumlah laporan memproyeksi tren social commerce akan terus berlanjut mengingat ada potensi di kota tier 2 dan 3 yang mulai mencicipi transaksi online.  Menurut riset McKinsey, transaksi social commerce di Indonesia diestimasi menyumbang $25 miliar dari total proyeksi GMV e-commerce sebesar $65 miliar di 2022.

Sementara mengacu laporan Momentum Workssocial commerce menjadi salah satu opsi menarik bagi pelaku UMKM karena biaya akuisisi pelanggan lebih murah, dan pengguna lebih leluasa dalam mengeksplorasi atau menemukan produk yang dicari.

Di sampling itu, tren ini juga diprediksi memberikan peluang besar terhadap kebutuhan sistem pembayaran mengingat pelaku UMKM tidak punya akses maupun kemampuan untuk menyediakan hal tersebut.

Application Information Will Show Up Here

BCA to Allocates Rp400 Million in a New Managed Fund Central Capital Ventura

PT Bank Central Asia Tbk (IDX: BBCA) is to allocate IDR 400 billion to Central Capital Venture (CCV) to support investment into the startup ecosystem. BCA’s President Director Jahja Setiaatmadja said that CCV has invested in 26 startups.

In a press conference on BCA’s 2021 performance, Jahja said that the funds will be used to add more good quality startup portfolios, purposely to generate more profits later.

“We provide CCV the authority to determine which fields for its focus,” Jahja said as quoted from Katadata.

On the general note, CCV was formed as BCA’s investment arm to support the development of digital innovation within the company. CCV has a mission to create collaboration between BCA and portfolio, especially in terms of embedded finance.

Since the establishment of CCV in 2017, BCA has invested around IDR 200 billion focusing on the fintech vertical. Some of CCV’s portfolios include Akseleran, Qoala, and Oy!.

Based on the performance report in 2020, CCV has disbursed around Rp157 billion for investment, an increase of 20% from Rp119.3 billion in the previous year. CCV also secured an operational profit of IDR 1.71 billion from a loss of IDR 1.7 billion in 2019.

In addition to CCV, BCA established a new digital bank, BCA Digital, which focuses on being a tech incubator and expanding the ecosystem under the parent company. BCA Digital was officially established in mid-2021 by launching the “blu” mobile banking application.

CVC in 2021

Based on our records, several corporate venture capital (CVC) in Indonesia are still actively investing in startups throughout 2021. Last year, PT Bank BTPN Tbk (IDX: BTPN) and PT Bank BTPN Syariah Tbk (IDX: BTPS) formed a new CVC named BTPNS Ventura.

The thing is, we oobserve that several CVCs started to offer different initiatives apart from new managed funds. For example, MDI Ventures introduced the eMerge platform to connect a network of angel investors and startups in Indonesia.

There is also a collaboration between MDI Ventures and cryptocurrency exchange platform Binance to form a consortium through a joint venture. This collaboration is carried out to develop a digital asset exchange platform in Indonesia.

Corporate Venture Capital (CVC) in Indonesia / Source: DS Research

Furthermore, we have BRI Ventures that started to expand its investment vertical by introducing the Tokocrypto Sembrani Blockchain Accelerator (TSBA) with Tokocrypto. The goal is to empower startup projects with blockchain technology and tokenization in Indonesia.

Moreover, the Government launched the Merah Putih Fund (MPF) last year as an effort to encourage the acceleration of innovation, digital potential, and startups in Indonesia. The government involved the five SOEs including Telkom, Telkomsel, Mandiri, BRI, and BNI to manage the MPF with a Rp4.3 trillion funding.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

BCA Menambah Dana Kelolaan Central Capital Ventura Senilai Rp400 Miliar

PT Bank Central Asia Tbk (IDX: BBCA) akan mengalokasikan dana sebesar Rp400 miliar ke Central Capital Ventura (CCV) untuk mendukung upaya investasi ke ekosistem startup. Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja menyebutkan bahwa CCV telah berinvestasi ke 26 startup hingga saat ini.

Dalam konferensi pers paparan kinerja BCA 2021, Jahja mengatakan bahwa dana tersebut digunakan untuk menambah portofolio startup berkualitas bagus dan dapat menghasilkan keuntungan nantinya.

“Kami memberikan wewenang kepada CCV untuk menentukan bidang mana yang akan dimasuki,” ujar Jahja seperti dikutip dari Katadata.

Sebagai informasi, CCV dibentuk sebagai perpanjangan investasi BCA untuk mendukung pengembangan inovasi digital di lingkup perusahaan. CCV memiliki misi untuk menciptakan kolaborasi antara BCA dan portofolio, terutama peluang embedded finance.

Pada awal pendirian CCV di 2017, BCA menyuntik dana sebesar Rp200 miliar dengan fokus utama pada vertikal fintech. Beberapa portofolio CCV antara lain Akseleran, Qoala, dan Oy!.

Berdasarkan laporan kinerja di 2020, CCV telah menyalurkan investasi sebesar Rp157 miliar atau naik 20% dari Rp119,3 miliar di tahun sebelumnya. CCV juga mengantongi laba operasional sebesar Rp1,71 miliar dari kerugian Rp1,7 miliar di 2019.

Selain CCV, BCA mendirikan bank digital baru BCA Digital yang berfokus sebagai tech incubator dan memperluas ekosistem yang sudah dimiliki oleh induk usaha. BCA Digital resmi berdiri pada pertengahan 2021 dengan meluncurkan aplikasi mobile banking “blu”.

Gerak CVC di 2021

Berdasarkan catatan kami, sejumlah corporate venture capital (CVC) di Indonesia masih aktif berinvestasi ke startup di sepanjang 2021. Tahun lalu juga ada kemunculan CVC baru bentukan PT Bank BTPN Tbk (IDX: BTPN) dan PT Bank BTPN Syariah Tbk (IDX: BTPS), yakni BTPNS Ventura.

Menariknya, kami melihat beberapa CVC di antaranya mulai menghadirkan inisiatif berbeda selain menambah dana kelolaan baru. Misalnya, MDI Ventures memperkenalkan platform eMerge untuk menghubungkan jaringan angel investor dan startup di Indonesia.

Ada juga kolaborasi MDI Ventures bersama platform pertukaran mata uang kripto Binance untuk membentuk konsorsium melalui joint venture. Kolaborasi ini dilakukan untuk mengembangkan platform pertukaran aset digital di Indonesia.

Corporate Venture Capital (CVC) di Indonesia / Sumber: DS Research

Kemudian, BRI Ventures juga mulai melebarkan vertikal investasinya dengan mendirikan Tokocrypto Sembrani Blockchain Accelerator (TSBA) bersama Tokocrypto. Tujuannya adalah memberdayakan proyek startup dengan teknologi blockchain dan tokenisasi di Indonesia.

Tak kalah penting, tahun lalu Pemerintah meluncurkan Merah Putih Fund (MPF) sebagai upaya untuk mendorong akselerasi inovasi, potensi digital, dan startup di Indonesia. Pemerintah melibatkan sebanyak lima BUMN meliputi Telkom, Telkomsel, Mandiri, BRI, dan BNI untuk mengelola MPF dengan dana kelolaan fase awal sebesar Rp4,3 triliun.

LinkNet Resmi Dicaplok XL Axiata

PT Link Net Tbk (IDX: LINK) resmi dicaplok oleh PT XL Axiata Tbk (IDX: EXCL) dan Axiata Berhad. Perusahaan melepas 1,81 miliar saham dengan nilai sebesar Rp8,72 triliun.

Dalam keterangan resminya, Direktur Eksekutif Lippo Group John Riady mengungkap divestasi saham ini menjadi salah satu strategi transformasi untuk memperkuat neraca dan mengumpulkan dana segar guna investasi lain di masa depan.

Saat ini, saham LinkNet dikuasai oeh Asia Link Dewa Pte Ltd dan Lippo Group melalui anak usahanya PT First Media Tbk (IDX: KBLV). Jumlah saham yang dilepas sebesar 1,81 miliar saham atau mewakili 66,03% dari jumlah saham disetor dan modal ditempatkan.

“LinkNet memiliki prospek cerah. Terlebih lagi, perusahaan mencatatkan kinerja keuangan sehat meskipun di momen pandemi Covid-19, tercermin dari nihilnya utang. Namun, perusahaan butuh strategi ekspansi lebih jauh dan signifikan untuk garap pasar digital di Indonesia,” tuturnya.

LinkNet akan memperkuat layanan konektivitas berbasis fiber optic dan VSAT berkecepatan tinggi, solusi TIK untuk memenuhi kebutuhan bisnis pelanggan, seperti cloud dan data center, dan perangkat penunjang berbasis teknologi lainnya.

Memperkuat bisnis fiber optic

Sebagaimana diketahui, XL Axiata memang tengah menggenjot pembangunan jaringan fiber optic di Indonesia untuk dapat memenuhi kebutuhan jaringan segmen B2B. Ini menjadi strategi diversifikasi bisnis XL Axiata ke jaringan tetap (fixed connectivity).

“Tujuan pengambilalihan saham ini adalah untuk mengembangkan dan memperluas jaringan usaha, serta memperkuat posisi XL dan induk usaha di bidang jasa telekomunikasi,” ungkap Sekretaris Perusahaan XL Axiata Ranty Astari Rachman seperti dikutip dari keterbukaan informasi BEI.

Saat ini XL menyediakan layanan broadband berbasis fiber optic melalui produk XL Home dan XL Satu Fiber. Pada produk XL Satu Fiber, layanan ini merupakan gabungan antara layanan fiber optic dan seluler yang dapat dipakai secara bersamaan.

Perusahaan menyebut jumlah rumah yang telah dilewati jaringan fiber optic-nya telah mencapai sebanyak 650.000 rumah di Indonesia. Hingga kuartal III 2921, XL telah membangun 153 ribu jaringan BTS, termasuk di antaranya adalah 69,9 ribu jaringan BTS 4G.

Sebelumnya, Ketua Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) Ririek Adriansyah memproyeksikan pertumbuhan pendapatan industri telekomunikasi keseluruhan sebesar 3% secara tahunan. Rinciannya, bisnis konektivitas diestimasi tumbuh 4%, bisnis Teknologi, Informasi, Komunikasi (TIK) 8%, dan bisnis digital sebesar 12% pada periode 2020-2024.

Powerbrain “Menghijaukan” Bangunan Lewat Manajemen Energi Berbasis IoT

DailySocial.id kembali mengeksplorasi jejak pelaku startup berdampak (impact) di Indonesia yang membawa misi terhadap peningkatan kualitas hidup dan lingkungan. Kali ini, kami berkesempatan berbincang dengan Founder & CEO Powerbrain Irvan Farasatha.

Sekilas informasi, Powerbrain berdiri di awal 2020 dan menawarkan solusi smart energy management berbasis IoT dan aplikasi bagi segmen bangunan di Indonesia. Powerbrain juga terpilih sebagai salah satu finalis peserta program Startup Studio Indonesia oleh Kementerian Kominfo.

Berawal dari pengalamannya bekerja di perusahaan terdahulu di bidang energi, Irvan terinspirasi untuk berkontribusi terhadap penghematan energi di Indonesia demi mengurangi efek pemanasan global.

Seperti diketahui, penggunaan listrik dan panas lewat pembakaran bahan bakar fosil merupakan salah satu faktor utama yang memicu global warming. Indonesia memang telah menerapkan penggunaan energi terbarukan, tetapi baurannya baru mencapai 11,5% menurut data Badan Pusat Statistik di 2020.

Sementara, mengutip data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), konsumsi listrik di Tanah Air mencapai 1.109 kilowatt jam (kWh) per kapita pada kuartal III 2021 atau setara dengan 92,2% dari target 2021 sebesar 1.203 kWh per kapita.

Bagaimana Powerbrain dapat mengoptimalkan operasional bisnis melalui sistem manajemen energi cerdas dan berkontribusi terhadap pengurangan emisi?

Awal mula

Ketertarikan Irvan Farasatha untuk berkontribusi terhadap pengurangan efek pemanasan global bermula ketika ia bekerja di HydroSmart Srl, sebuah perusahaan di bidang energi terbarukan berbasis di Italia. Saat itu, ia menggarap proyek untuk memonitor, melacak, dan mengoptimalkan konsumsi energi.

Irvan terpikir untuk menerapkan proyek ini di Indonesia karena sesuai dengan visinya dalam mendukung upaya zero carbon emission. Melihat perkembangan kondisi pemanasan global, Indonesia berpotensi terdampak signifikan mengingat posisinya sebagai negara tropis dengan suhu panas dan dilewati oleh garis khatulistiwa.

“Saya pikir [proyek] ini dapat diimplementasi di Indonesia. Along the way, saya bertemu dengan Rilwanu Lukman (Co-founder) untuk mendirikan bisnis [Powerbrain] ini,” ungkap Irvan.

Mengutip sebuah riset, ia mengatakan bahwa efek pemanasan global utamanya dipicu oleh aktivitas yang bersifat energy activation process, 30% disumbang dari industri manufaktur, 20% dari transportasi, dan 20% dari pemakaian listrik untuk barang elektronik.

Dengan terlibat dalam upaya mendukung zero carbon emission, ujarnya, ia bisa saja beralih ke pemanfaatan energi yang lebih ramah lingkungan. Namun, bukan berarti harus masuk ke produksi energi terbarukan (renewable). 

Menurutnya, di lingkup energi terbarukan, Irvan menilai masih ada sejumlah tantangan. Salah satunya adalah intermitensi atau ketidakmampuan pembangkit listrik energi terbarukan untuk menghasilkan energi secara terus menerus.

Pain point

Di 2020, Irvan, Rilwanu, dan timnya mulai mengembangkan smart energy management sebagai solusi penghematan konsumsi energi pada bangunan.

Berdasarkan riset yang dilakukan, ia menemukan bahwa pemilik usaha atau bangunan kecil dan medium jarang menerapkan sistem manajemen energi. Pada bangunan berskala besar, sistem semacam ini memang terpasang, tetapi penerapannya kurang optimal karena mungkin pengetahuan pekerja terbatas.

Di samping itu, ia juga menemukan pemilik bangunan jarang mempekerjakan building manager dengan keahlian optimalisasi energi. Posisi ini istilahnya semacam versi digitasi dari energy manager untuk bangunan. Ada opsi lain, misalnya menyewa engineering team, tetapi biayanya tidak murah.

Menurutnya, manajemen energi identik dengan labor-intensive process dan capital-intensive process. Artinya, butuh proses kerja dan modal yang besar untuk mencapai sebuah hasil.

Sumber: Powerbrain

“Untuk itu, kami memulai dari kecil, mengumpulkan data terkait konsumsi energi. Di sini, kami dapat membantu pelaku bisnis untuk mengoptimalkan konsumsi energi mereka. Kami melihat banyak bangunan yang konsumsi energinya melebihi dari kemampuan optimal,” ujarnya.

Hipotesis Irvan adalah setiap pelaku bisnis ingin menghemat energi tanpa perlu mengganggu aktivitas di bangunan tersebut. Biayanya lebih terjangkau dan tidak lebih besar dibandingkan pengurangan energi yang bisa didapatkan oleh pemilik usaha atau gedung.

Produk yang ditawarkan

Powerbrain menawarkan solusi smart energy management melalui perangkat IoT (termasuk sensor), automation software untuk memaksimalkan utilisasi energi dan menghemat biaya opex, serta aplikasi berbasis web dan mobile untuk memantau dan melacak konsumsi listrik.

“Kami melihat kebutuhan data di sektor energi sangat besar. Ketika kita memutuskan untuk menuju zero emission carbon, data akan menjadi fundamental,” ucapnya.

Dari ketiga produk ini, hanya software dan backend yang digarap sendiri oleh Powerbrain untuk mendukung transfer data dan analitik. Sementara, perangkat IoT-nya diproduksi dan diimpor dari Tiongkok.

Solusi Powerbrain tidak dikembangkan secara kustom, kecuali untuk jumlah instalasi perangkat. Pengguna juga tidak dikenakan biaya instalasi perangkat, melainkan lewat model berlangganan per bulan dengan maksimal target penghematan energi sebesar 30%. Powerbrain menggunakan skema profit sharing dari penghematan yang dihasilkan.

Contoh penghematan energi oleh klien Powerbrain / Sumber: Powerbrain

Pada salah satu use case-nya, penggunaan Smart Relay (salah satu perangkat Powerbrain) yang terintegrasi dengan server dapat memampukan cooler untuk bekerja secara full-load selama jam operasional. Di luar jam operasional, Smart Relat bisa menjaga temperatur dalam suhu ruang dengan menyesuaikan compressor. Pemilik usaha dapat menghemat 40% atau Rp1,7 juta per tahun.

Saat ini, Powerbrain dijalankan oleh tujuh orang, termasuk di antaranya Irvan dan Rilwanu. Di sepanjang 2021, Powerbrain telah mendapatkan 60 proyek instalasi, di mana 90% berasal dari kawasan Jabodetabek.

Pendanaan dan scale up

Di tahun pertamanya mengembangkan Powerbrain, Irvan mengaku mengalami kesulitan untuk mengakselerasi bisnisnya. Hal ini disebabkan oleh belum siapnya pasar dalam memahami pentingnya konsumsi energi. Ini juga yang membuat sales process di Powerbrain cukup panjang karena perlu upaya edukasi pasar.

Kedua, sektor energi merupakan salah satu industri raksasa di dunia. Jika bicara soal peralihan ke energi terbarukan saja, misalnya, prosesnya tidak mudah dan memakan waktu karena produknya tidak 100% digital. Adopsinya tidak akan bisa secepat disrupsi pada e-commerce yang platformnya mencakup one-for-all.

“Energi termasuk high-risk tolerance dalam konteks inovasi. Masyarakat pun memiliki risk tolerance yang tajam terhadap error di bidang energi. Bayangkan saja jika ada kesalahan sedikit terhadap transmisi energi, hal ini bisa berpotensi blackout. Dampaknya sangat signifikan terhadap bisnis, bisa rugi ratusan juta atau miliar rupiah dalam beberapa detik,” paparnya.

Ketiga adalah sumber permodalan. Venture Capital belum banyak yang tertarik berinvestasi ke sektor ini karena isu skalabilitas bisnis. Kendati begitu, Powerbrain mengandalkan bootstrapping serta berhasil memperoleh pendanaan dari program bootcamp Shell LiveWIRE dan angel investor untuk menggerakkan bisnisnya. “Malahan, baru-baru ini kami menutup pendanaan pre-seed. Namun, kami belum bisa sebutkan nilai dan investornya,” tuturnya.

Untuk mengukur pertumbuhan bisnis, Powerbrain menggunakan metrik pendapatan dari instalasi perangkat dan software di bangunan. Adapun, metrik dampak diukur dengan mengacu pada penghematan konsumsi energi yang dihasilkan dan pengaruhnya terhadap zero emission carbon.

Standardisasi produk

Mengingat model bisnis ini masih terbilang baru, Irvan menargetkan pendanaan ini difokuskan untuk standardisasi perangkat dan memperkuat lini produk. Terlebih, bisnis di bidang manajemen energi terbilang risiko tinggi sehingga membutuhkan SNI.

“Di 2022, kami akan memperkuat produk dan energy analytic karena kami ingin mengejar another milestone dengan target sales lebih dari Rp5 miliar. Tahun lalu, kami generate more than Rp1 miliar di 2021,” ujarnya.

Secara business nature, ungkapnya, kegiatan operasional Powerbrain tidak membakar uang untuk mengakuisisi pelanggan. Artinya, Powerbrain tidak perlu melakukan fundraising berkali-kali.

“Kami ingin coba menjadi perusahaan pertama di Indonesia yang memiliki extensive product di energy analytic. Kami akan siapkan infrastrukturnya di tahun ini. Kalau berjalan dengan lancar, rencananya kami ingin masuk ke infrastruktur data untuk kendaraan listrik di tahun mendatang.”

BNI akan Akuisisi 63,92% Saham Bank Mayora, Langkah Strategis Bangun Bank Digital

PT Bank Negara Indonesia Tbk (IDX: BBNI) akan mengakuisisi PT Bank Mayora melalui pengambilalihan saham sebesar 63,92%. Aksi korporasi ini menjadi langkah strategis BNI untuk mendirikan bank digital.

Berdasarkan prospektus akuisisi yang diterbitkan pada 22 Januari 2022, BNI akan mengambil alih saham Bank Mayora melalui penerbitan saham baru sebanyak-banyaknya 1,02 miliar saham atau 54,9% dari saham yang telah ditempatkan dan disetor penuh.

BNI juga akan mengambil sebanyak 169,08 juta saham Bank Mayora milik International Finance Corporation (IFC). Dengan demikian, BNI akan mengantongi 1,19 miliar saham Bank Mayora atau setara 63,92% dari total saham ditempatkan dan disetor ke Bank Mayora.

Sebelumnya, IFC pernah berinvestasi melalui penyertaan modal sebesar Rp290 miliar ke Bank Mayora untuk mendukung pembiayaan UMKM di Indonesia.

Perwakilan manajemen BNI mengungkap tren kemunculan produk digital, terutama pada layanan keuangan, mendorong perusahaan untuk mencaplok Bank Mayora. Dengan strategi anorganik ini, pihaknya dapat mendorong transaksi keuangan di kalangan masyarakat dengan layanan digital.

“Untuk dapat mendukung transaksi digital dan sejalan dengan transformasi BNI, perseroan akan membentuk suatu bank digital melalui strategi anorganik, yakni mengambil alih Bank Mayora yang selanjutnya akan ditransformasikan menjadi bank digital,” tulis manajemen BNI.

Adapun, saat ini saham Bank Mayora tersisa 36,98% yang struktur kepemilikannya terdiri dari Bank Mayora (80%) dan IFC (20%). Kesepakatan pengambilalihan saham telah disetujui oleh direksi dan dewan komisaris kedua bank terkait.

BNI akan menggelar Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) pada 15 Maret 2022 untuk meminta persetujuan pemegang saham terkait akuisisi Bank Mayora. Pihaknya menargetkan dapat mengantongi izin OJK pada April 2022 sehingga akuisisinya terhadap Bank Mayora dapat efektif pada Mei 2022.

Sebagai informasi, Bank Mayora merupakan bank di bidang ritel dan konsumer yang menawarkan berbagai produk keuangan, mulai dari pinjaman (lending) dan simpanan (funding). Beberapa produk pinjaman yang ditawarkan di antaranya Kredit Kendaraan Bermotor (KKB), Kredit Multi Guna (KMG), dan Kredit Kepemilikan Rumah (KPR).

Pengembangan produk keuangan UMKM

Sebagaimana diungkap Direktur Utama BNI Royke Tumilaar beberapa waktu lalu, bank digital baru ini akan membidik segmen UMKM dan menggandeng mitra strategis berpengalaman untuk mengembangkan produk keuangan digital.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), terdapat sebesar 65,5 juta UMKM di 2019 atau naik 1,98% dari 64,2 juta di 2018. Sementara, baru sekitar 8 juta atau 13% UMKM yang terintegrasi atau memanfaatkan teknologi digital.

Apabila bicara strategi akselerasi, bank digital baru ini dapat memanfaatkan ekosistem jaringan rantai pasokan yang dimiliki Grup Mayora melalui produk lending dan saving sebagai langkah awal.

Bahkan, mengutip Kontan, Direktur IT & Operasi Bank BNI YB Hariantono mengungkap akan menggandeng Sea Group sebagai mitra strategisnya. Ia juga menyebut induk usaha Shopee ini akan menjadi pemegang saham di bank digital BNI. Ini menjadi menarik mengingat Sea Group sebelumnya telah masuk ke bank digital dengan mencaplok Bank Kesejahteraan Ekonomi (sekarang SeaBank).

Jika dipetakan dalam lingkup bank BUMN, BNI menyusul BRI yang menggunakan kendaraan bank bermodal kecil untuk mendirikan bank digital. Sebelumnya, BRI mentransformasikan anak usahanya BRI Agro menjadi Bank Raya. Berbeda dengan bank digital BNI, Bank Raya membidik target pasar pekerja informal atau gig economy di 2022.

Sementara itu, Bank Mandiri memilih untuk bertransformasi digital secara penuh tanpa perlu mengonversi menjadi neobank lewat akuisisi bank baru. Mandiri akan memperkuat segmen perbankan ritel dan wholesale dengan me-rebranding platform Mandiri Online menjadi Livin ‘by Mandiri. Mandiri akan menambah sejumlah fitur dan ekosistem layanan demi menyempurnakan konsep “super app“.

Lumina Receives Funding from Y Combinator and Alpha JWC Ventures

The working community platform Lumina received funding from Y Combinator (YC) and Alpha JWC Ventures with an undisclosed amount. Through this funding, Lumina is to facilitate around 80-120 million blue-collar workers in Indonesia with limited access and decent opportunities to find work and develop careers.

Lumina claims to be the first platform that provides professional community features for blue collar workers in Indonesia. This platform provides a community based recruitment and benefits system.

In the official statement, Lumina’s Co-founder & CEO, Aswin Andrison said, his team seeks not only to provide access to employers, but also to self-development, and opportunities to improve the economy .

“By leveraging the power of our exclusive community and artificial intelligence-based job recommendations, we want to democratize hiring and automate quality matching between blue-collar workers and employers,” said Aswin.

Lumina was founded in September 2021 by Aswin Andrison, a serial entrepreneur focusing on blue-collar workers, FMCG, wholesalers, and MSMEs for the past 16 years. Aside from Aswin, former Twitter developer Tri Ahmad Irfan also co-founded Lumina.

Aswin himself previously founded Stoqo in 2017, the business was eventually shut down in April 2020.

In the last two months, Lumina has facilitated 100 thousand job seekers, of which 20 thousand job vacancies have been occupied. Lumina also recorded 1,000 new registrants and additional 3,000 new workers every day.

Y Combinator’s Group Partner, Gustaf Alstromer said this funding will help  Lumina to unlock its potential in order to change the Indonesian workforce. “We have seen startups in other countries take this labor market online and Lumina  is the right team to face this challenge,” he said.

Meanwhile, Co-Founder & General Partner of Alpha JWC Ventures, Jefrey Joe, said that Lumina will play an important role in maximizing workforce, individual and business potential.

An effort to accomodate blue-collar workers

Blue collar is defined as people who do menial work for an organization and are paid hourly wages. Workers in this category are often identified as workers who do not require higher education and only need physical strength. Generally, blue-collar workers cover the fields of manufacturing, mining, to constructions.

According to a research, the turnover rate of blue-collar workers has reached 20%. This can be burdensome for the company because according to the same survey, the cost to overcome turnover can reach $4,569. According to BPS data in 2019, low-skill workers dominate the informal sector with a 57.27% rate.

Startup players in Indonesia have started to look for opportunities to overcome various problems among blue-collar workers since the last few years. Some startups that provide blue-collar jobs include MyRobin, Sampingan, and Workmate. There are applications based platforms or job marketplaces.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian