Tahun 2020 GrabKios Hadirkan Sejumlah Produk Baru, Termasuk Asuransi dan Pinjaman Dana

Di tahun 2020 ini banyak rencana yang akan dilancarkan GrabKios (sebelumnya Kudo). Bukan hanya menambah jumlah mitra kios menjadi 3,8 juta hingga tahun 2021, tapi juga ingin menghadirkan berbagai layanan finansial dan asuransi untuk mitra agen, pengemudi hingga konsumen.

Head of GrabKios Agung Nugroho mengungkapkan, sudah ada lini bisnis yang mengalami pertumbuhan positif. Dan ke depannya GrabKios akan menambah kemitraan dengan institusi finansial, perbankan hingga startup yang relevan untuk menambah pilihan layanan.

“Kami percaya dengan mitra kios yang besar jumlahnya hingga ekosistem yang ada di Grab, bisa menjadikan GrabKios platform unggulan yang bisa dimanfaatkan oleh jaringan agen untuk membeli produk hingga memanfaatkan fitur tambahan lainnya.”

Asuransi, P2P lending hingga pembelian FMCG dan produk segar

Didirikan sejak 2014, hingga saat ini GrabKios telah memberdayakan lebih dari 2,8 juta mitra dengan jaringan yang tersebar di 505 kota dan kabupaten di Indonesia. Masih fokus kepada warung kelontong, tahun 2020 ini GrabKios juga akan memberikan layanan kepada merchant GrabFood.

Salah satunya dengan menawarkan pinjaman tunai disalurkan melalui kerja sama dengan perusahaan fintech terpercaya yang telah mendapatkan lisensi dari OJK. GrabKios juga akan menyediakan asuransi mikro, ditujukan bagi mitra dan para pelanggan melalui kerja sama dengan perusahaan asuransi.

Sebagai langkah awal, di kuartal pertama 2020 GrabKios akan mulai menawarkan produk pinjaman tunai ini ke mitra pilihan. Untuk mendukung “Gerakan Non Tunai Bank Indonesia”, mereka juga akan menyediakan alternatif metode pembayaran untuk pelanggan mitra berupa Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS). Dengan kode QR tersebut, pelanggan warung dapat berbelanja dan membayarnya dengan aplikasi dompet digital yang mereka miliki.

Dengan bergabung menjadi jaringan agen GrabKios, semua mitra diberikan akses dashboard yang bisa digunakan untuk membeli kebutuhan tambahan hingga melakukan pembayaran dari konsumen untuk pembayaran listrik hingga membeli voucher pulsa. Dengan demikian akan terlihat secara langsung rekam transaksi mereka yang mempengaruhi penilaian mereka jika berencana untuk mengajukan pinjaman.

“Karena bentuknya adalah capital loan rata-rata pinjaman yang akan diberikan adalah dibawah Rp10 juta. Untuk pembayaran akan dilakukan setiap bulannya. Sementara untuk cash loan tergantung dari persyaratan yang ditetapkan oleh masing-masing asssetmen loan penyedia pinjaman,” terang Agung.

Tidak disebutkan lebih lanjut siapa perusahaan asuransi, platform p2p lending hingga perbankan yang akan digandeng. Untuk produk asuransi tersebut, GrabKios menjamin memiliki harga yang terjangkau dan bisa dimanfaatkan oleh pemilik warung kelontong agar terhindar dari persoalan keuangan jika terjadinya bencana dan risiko lainnya.

“Intinya GrabKios akan melakukan kolaborasi dengan pihak terkait mulai dari layanan p2p lending, perbankan hingga startup agritech untuk menghadirkan pilihan tersebut. Hal itu yang membedakan kami dengan platform seperti p2p lending yang langsung menawarkan produk mereka kepada konsumen, GrabKios justru membuka kesempatan platform terkait untuk bermitra bersama kami,” kata Agung.

“Untuk penyediaan barang-barang yang dibutuhkan oleh warung kelontong dan warung makan kita sudah bekerja sama dengan perusahaan FMCG hingga supplier lainnya, dan saat ini sudah kita lakukan dalam lini bisnis wholesale GrabKios. Untuk penyediaan produk bahan segara, GrabKios bermitra dengan TaniHub.”

 

Menyambut baik persaingan

Selama 5 tahun terakhir GrabKios telah menghadirkan beberapa layanan yang secara signifikan menambah penghasilan para mitranya. Mulai dari berbagai produk digital: pulsa dan paket data, token listrik, pembayaran tagihan (air, listrik, telepon, multi-finance) hingga pendaftaran mitra pengemudi Grab. Ke depannya perusahaan akan terus menambah variasi produk digital lain untuk meningkatkan pendapatan mitra.

Berdasarkan hasil Laporan Dampak Sosial Grab, pendapatan mitra GrabKios meningkat sebesar 51% dengan rata-rata penghasilan mencapai Rp10 juta per bulan. Melalui peningkatan pendapatan mitra yang cukup signifikan, GrabKios telah berkontribusi sebesar Rp2,7 triliun terhadap perekonomian Indonesia dalam 12 bulan terakhir (hingga Maret 2019).

Saat ini makin banyaknya layanan e-commerce, marketplace hingga startup berbasis teknologi yang sengaja menyasar warung atau toko kelontong. Menurut Agung hal tersebut sah-sah saja dilakukan dan menyambut baik makin bertambahnya jumlah kompetitor yang ada.

Menurut Agung selama ini masih banyak pemain lain yang fokus untuk mengakuisisi end consumer, sementara GrabKios memanfaatkan peranan jaringan agen untuk melakukan proses tersebut yang mereka sebut sebagai “cascaded approcach“.

“Yang membedakan, GrabKios memiliki teknologi buatan sendiri yang cara kerja serupa dengan aplikasi Salesforce. Melalui teknologi tersebut, yang saat ini sudah dimanfaatkan oleh ekosistem di Grab (GrabFood) untuk mengakuisisi merchant, kami percaya bisa memberikan layanan lebih baik memanfaatkan jaringan mengakuisisi lebih banyak lagi end consumer,” tutup Agung.

Application Information Will Show Up Here

Bremble Furniture Arrives in Indonesia, to Provide Augmented Reality Based Product Browsing

Was founded in 1991, Bramble Furniture officially expands to Indonesia. The US-based furniture company has placed a fabrication center in Indonesia. For better customer experience, a new showroom was built in Jakarta. However, something’s unique with its debut in the local market, in order to improve the customer experience for product awareness, the company developed an Augmented Reality (AR) based app.

Using a combination of showroom and technology, it’s expected to help customers to directly see the products. Bramble has also formed a local team in Indonesia to help market penetration.

Bramble Furniture’s Director, Jeremiah Bramble said Indonesia is an ideal market for the company. Not only focus on B2B but Bramble is currently targeting middle to upper-class consumers with lists of luxury design products available online and offline.

“Despite providing definite benefits, the B2B market makes it difficult for us to build direct relationships with customers. With the launch of the showroom and the AR-based technology in the platform, it is expected to increase the number of new customers,” he added.

AR technology implementation

Bremble furniture
Bramble furniture

In the app development, Bramble collaborates with Ars.App. In particular, Ars.App helps brand and designers to share interactive content digitally through AR. Using the developed app, users can directly see the designed furniture in detail.

“Only by downloading the Ars.App application on PlayStore, users can directly select all Bramble furniture products. This method is to facilitate customers with easy transaction while enjoying a unique experience when purchasing products online,” Ars.App’s Co-Founder, Jonathan Aditya said.

Every digitalized product in 3D format by Ars.App always based on Bramble data on customer’s interest obtained from their activities in the e-commerce platform.

“Currently, not only millennials capable of using kinds of technology like AR but common people are also using it. It certainly makes it easier for us to promote this feature to customers to facilitate them for purchasing by virtually see the products in its original form,” Aditya said.

In addition to the AR technology, Bramble and Ars.App will collaborate to implement Virtual Reality (VR) technology into the platform. In the development process, VR technology is expected to help customers while providing opportunities for companies to collect relevant data also acquiring new customers using technology.

“In the future, I can see the AR and VR technology not only through smartphones but also through glasses or smart contact lenses in which currently being developed in the United States,” he said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

GoFood Aims for Expansion and Profitable Business in 2020

First launched in 2015, GoFood is now one of the services that builds up the Gojek’s “super app” ecosystem and contributes the most for the company. Currently, the food delivery service provides around 12 million menus from 500 merchants in Southeast Asia, 96% are SMEs.

Based on the company’s internal data, as of the end of 2019, GoFood has acquired 75% market share in its operational areas. It is also said GoFood users are 1.5 times exceeding competitors. While the total transactions have reached 50 million per month.

Gojek’s VP Corporate Affairs Food Ecosystem, Rosel Lavina told DailySocial that GoFood’s mission this year is to add some new features backed by the most advanced technology, in order to facilitate easy transaction.

“We stick to Gojek’s pillars of speed, innovation and social impact. Then, we realize that innovation is the key to aligning the user’s demand. Therefore, it is very important for GoFood to continue learning user’s demand that is getting complex in order to create new innovations as solutions to answer all those.”

The public’s high demand for food delivery is a promising opportunity for platforms, such as Gojek, to further develop GoFood as one of its core services in the ecosystem.

Previously, Gojek Group’s Chief Food Officer Catherine Hindra Sutjahyo mentioned, all investors’ support has led GoFood to a business model that is in line with its aims for profitability. GoFood benchmark has developed over time along with its achievements, starts from transaction number to gross transaction value (GTV), and now revenue.

“We are now on the right track, the progress gets along with our plan. That (information) is what I can share, for now,” she said.

GoFood’s rapid growth is actually nothing compared to similar industries in China. The food delivery industry there has reached 13% -15% of total consumption, while in Indonesia it is still far below that. As a result, various innovations implemented in the sleeping giant country often become a reference for food delivery players.

GoFood focus in 2020

(left-right) Gojek's Chief Corporate Affairs Nila Marita, Ban-Ban Co-Owner Wenny Chen, and Gojek Group's Chief Food Officer Catherine Hindra Sutjahyo at GoFood's launching of latest technology
(left-right) Gojek’s Chief Corporate Affairs Nila Marita, Ban-Ban Co-Owner Wenny Chen, and Gojek Group’s Chief Food Officer Catherine Hindra Sutjahyo at GoFood’s launching of latest technology

In order to improve services and increase profits from GoFood, the company has introduced four new innovations earlier this year. Among those are GoFood Pickup, GoFood Turbo, GoFood Plus and collaboration with Google Assistant for users to order food through voice commands.

There are now more than 40 GoFood Kitchen corners and the GoFood Festival as their flagship program, with plans to continue for more locations. In the future, these locations can provide merchant partners with low cost and risk to expand the network of outlets due to the infrastructure that has been provided.

In case GoFood has plans to spin off or being independent outside the Gojek ecosystem is not mentioned. However, GoFood is to focus on developing three things as its long-term business strategy, which is prioritizing customer satisfaction, business expansion, and innovation.

“Through the reliability of GoFood technology, we also offer services to make it easy and fun for culinary lovers and GoFood customers when ordering food. The development of GoFood technology and facilities for driver partners is also expected to benefit the driver partners to provide maximum service to consumers,” Rosel said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Penerapan Strategi “Omnichannel” di Bukalapak dan Tokopedia untuk Tingkatkan Pengalaman Pengguna

Hingga tahun 2023 mendatang, Market Research Future memprediksi pasar platform ritel omnichannel global tumbuh hingga US$11,1 miliar. Dalam 2-3 tahun ke depan, faktor pendorong utamanya peningkatan adopsi layanan e-commerce dan meningkatnya penggunaan smartphone/tablet untuk transaksi jual-beli.

Menurut Chief Strategy Officer Bukalapak Teddy Oetomo, strategi omnichannel di layanan e-commerce dan marketplace dilakukan untuk membuahkan diversifikasi di berbagai lini produk dan program, baik secara online maupun offline.

“Kami ingin menyebut Bukalapak sebagai technology commerce, di mana seluruh kegiatan dagang di platform dan program yang dijalankan memanfaatkan teknologi inovatif sebagai akselerator bisnis para UKM. Namun yang terpenting adalah, apapun bentuknya, Bukalapak akan terus berkomitmen pada visinya  menjadi perusahaan yang mampu memberdayakan UKM Indonesia dan penggerak perekonomian bangsa,” kata Teddy.

Salah satu contoh program online-to-offline mereka adalah Mitra Bukalapak. Perusahaan mencoba merangkul agen individual dan warung tradisional agar  memanfaatkan teknologi dan fitur yang dimiliki Bukalapak, sehingga mereka mendapatkan nilai tambah.

Hal senada juga diungkapkan Head of Brand Tokopedia Nirmala Rahmawati, sesuai dengan DNA perusahaan yaitu “focus on consumer” diharapkan bisa memberikan pengalaman terbaik bagi lebih dari 90 juta pengguna bulanan aktif.

“Kami terus berupaya memahami masyarakat dalam menggunakan berbagai fitur dan layanan kami. Brand harus bisa menggunakan berbagai alat dan solusi untuk membangun pengalaman pelanggan yang mudah dan berkesan di berbagai platform.”

Strategi konten cross-channel

Seiring masifnya pemanfaatan teknologi, pasar global telah melihat perubahan besar dalam perilaku konsumen, termasuk Indonesia. Akibatnya, sebagian besar industri menghadapi tantangan baru untuk memenuhi tersebut. Kebutuhan masyarakat yang berbeda-beda membutuhkan pendekatan dan perspektif kreatif baru untuk menyelesaikan masalah.

Strategi omnichannel juga sering dikaitkan dengan distribusi konten secara cross-channel demi meningkatkan pengalaman pengguna. Hal tersebut mencakup integrasi dari pesan yang ingin dikomunikasikan melalui medium digital dan non-digital.

“Dengan mempelajari perilaku konsumen berdasarkan analisis data menggunakan AI dan machine learningkami dapat mempersonalisasi setiap pesan yang dikirim melalui berbagai kanal untuk memastikan relevansi bagi pengguna Tokopedia. Langkah ini sangat penting dalam menciptakan brand experience yang bermakna. Selain itu, informasi tersebut juga membantu kami menyampaikan berbagai pesan lewat beragam kanal yang sesuai dengan preferensi pengguna kami, sehingga kami dapat mengubah perilaku konsumen untuk melakukan pembelian lewat platform Tokopedia,” kata Nirmala.

Saat ini Tokopedia mengklaim telah memiliki lebih dari 250 juta produk terdaftar dengan harga transparan yang dipasarkan oleh lebih dari 7,2 juta pedagang. Selain itu, mereka juga memiliki 35 produk digital yang melayani berbagai kebutuhan masyarakat Indonesia. Dengan begitu banyak produk dan fitur yang tersedia di Tokopedia untuk memenuhi berbagai jenis kebutuhan konsumen, maka diperlukan pengalaman omnichannel yang semulus mungkin.

Menurut Business Delopment Manager MoEngage Divya Jagwani, brick and mortar telah menjadi pelopor untuk industri ritel sejak dulu, namun dalam beberapa tahun terakhir model pembelian telah bergeser untuk pengguna dan sekarang penjualan online nilainya setara atau bahkan lebih tinggi dibandingkan penjualan secara offline. Salah satu alasannya adalah, makin bertambahnya jumlah konsumen yang mencari kenyamanan sekaligus jaminan yang pasti atas produk yang mereka beli.

“Saya percaya untuk saat ini tidak ada banyak perbedaan di toko offline atau online. Harapan konsumen adalah agar toko offline bisa menjadi perpanjangan dari toko online yang menawarkan pengalaman yang sama kepada mereka di seluruh channel dan sebaliknya,” kata Divya.

Secara khusus pendekatan secara online bisa menargetkan konsumen yang tepat, sesuai dengan segmentasi dan produk yang ditawarkan oleh brand. Contohnya pada penempatan iklan digital seperti display dan video, serta penggunaan homepage banner di berbagai platform digital.

Di sisi lain pendekatan secara offline memungkinkan konsumen untuk melihat dan merasakan secara langsung barang yang menarik minat mereka. Contohnya adalah menggunakan iklan TV, beberapa penempatan billboard dan kegiatan pemasaran out-of-home lainnya seperti , seperti titik spot iklan di MRT Jakarta. Untuk itu dibutuhkan biaya yang cukup besar ketika strategi omnichannel mulai dilakukan.

“Poin yang paling penting untuk bisa dipahami oleh brand adalah, konsumen tidak melihat perbedaan antara situs, smartphone, toko offline, email atau SMS. Bagi mereka, penting bagi brand untuk mengenal mereka, tidak peduli channel apa atau cara komunikasi apa yang dipilih untuk bisa lebih personal. Dengan begitu banyaknya data yang dimiliki brand saat ini, mereka seharusnya tidak lagi memasarkan kepada pelanggan dengan mengirim buletin dan kampanye promosi biasa, tetapi menambah nilai pada kehidupan mereka sehari-hari melalui komunikasi di seluruh channel,” kata Divya.

Personalisasi dan penggunaan data

Personalisasi adalah jantung dan faktor penting dalam dunia digital saat ini. Dikenal sebagai “brand intimacy”, kemampuan untuk menghasilkan emosi positif dengan pelanggan diklaim bisa membantu brand mendorong penjualan dan loyalitas pelanggan.

Pada tahun ini diprediksi makin banyak brand yang mencoba untuk “memanusiakan” titik kontak di seluruh channel yang mereka miliki dengan tujuan membangun hubungan emosional yang kuat. Untuk itu bagi brand yang masih menjalankan bisnis secara konvensional sudah harus mulai mengadopsi teknologi, penjualan langsung ke konsumen dan meningkatkan hiper-personalisasi, analisis perilaku pelanggan, dan kemampuan pembelajaran mesin oleh AI.

“Kami berupaya melakukan personalisasi untuk setiap pengguna Tokopedia berdasarkan berbagai data yang kami kumpulkan saat pengguna berinteraksi dengan platform kami. Seluruh langkah ini kami lakukan dengan tujuan untuk membangun hubungan yang kuat dengan pelanggan kami dan mempermudah masyarakat Indonesia untuk memulai dan menemukan apa pun lewat Tokopedia,” kata Nirmala.

Untuk itu penting bagi brand mulai mengelola dengan baik data yang mereka miliki, untuk mendorong kegiatan pemasaran secara digital. Data ini memungkinkan brand untuk membangun algoritma AI dan machine learning yang secara progresif mempelajari lebih lanjut tentang pengguna, menyajikan analisis yang bermakna dan dapat ditindaklanjuti untuk brand yang pada gilirannya bisa memberikan pengalaman pengguna secara personal.

“Penting untuk memahami data dikumpulkan. Tidak cukup hanya melacak data pengguna, tetapi menyusun dan menemukan wawasan yang bermakna serta dapat ditindaklanjuti. Penting bagi brand untuk kemudian menggunakan data ini untuk mencapai komunikasi dengan pelanggan pada waktu yang tepat, melalui channel yang tepat dengan pesan yang tepat untuk mereka,¨tutup Divya.

Hadir di Indonesia, Bramble Furniture Sajikan Pengalaman Menjelajah Produk Lewat Augmented Reality

Berdiri sejak tahun 1991, Bramble Furniture resmi ekspansi ke Indonesia. Perusahaan furnitur asal Amerika Tersebut kini juga miliki pusat fabrikasi di Indonesia. Demi mendekatkan diri dengan konsumen, sebuah showroom juga baru diresmikan di Jakarta. Namun ada yang unik dengan debutnya di pasar lokal, untuk berikan pengalaman lebih dalam pengenalan produk, mereka kembangkan aplikasi berteknologi Augmented Reality (AR).

Dengan gabungan showroom dan teknologi yang dimiliki, harapannya bisa membantu pelanggan untuk melihat langsung produk yang dimiliki. Bramble juga sudah bentuk tim lokal di Indonesia untuk penetrasi pasar.

Menurut Director Bramble Furniture Jeremiah Bramble, Indonesia menjadi pasar yang sangat ideal untuk perusahaannya. Tidak hanya fokus untuk B2B, kini Bramble turut menyasar segmentasi konsumen menengah ke atas dengan pilihan produk berdesain mewah, dapat dipesan secara online dan offline.

“Meskipun memberikan keuntungan yang pasti, pasar B2B menyulitkan bagi kami untuk membina relasi yang langsung kepada pelanggan. Dengan diresmikannya showroom dan penerapan teknologi AR dalam platform, diharapkan bisa menambah jumlah pelanggan baru,” kata Jeremiah.

Penerapan teknologi AR

Demonstrasi teknologi AR dalam smartphone

Dalam pengembangan aplikasi, Bramble menggandeng Ars.App. Secara khusus Ars.App membantu brand maupun para desainer untuk berbagi konten interaktif secara digital melalui AR. Melalui aplikasi yang dikembangkan, pengguna bisa melihat secara langsung desain (furnitur) yang ingin dibeli secara mendetail.

“Hanya dengan mengunduh aplikasi Ars.App di PlayStore, pengguna bisa langsung memilih semua produk furnitur Bramble. Cara ini tentunya memudahkan pelanggan untuk mengambil keputusan sekaligus menikmati pengalaman unik saat melakukan pembelian produk secara online,” kata Co-Founder Ars.App Jonathan Aditya.

Setiap produk yang didigitalisasi dalam bentuk 3D oleh Ars.App selalu dilandasi data dari Bramble yang didapat dari ketertarikan pelanggan yang direkam melalui aktivitas di situs e-commerce.

“Saat ini bukan hanya kalangan milenial yang sudah terbiasa menggunakan teknologi seperti AR, tapi masyarakat umum pun sudah mulai terbiasa menggunakan. Hal ini tentunya memudahkan kami untuk mempromosikan fitur ini kepada pelanggan agar mempermudah mereka melakukan pembelian dengan melihat langsung produk tersebut secara virtual dalam bentuk aslinya,” kata Jonathan.

Selain teknologi AR, rencana ke depannya Bramble dan Ars.App juga akan menerapkan teknologi Virtual Reality (VR) ke dalam platform. Masih dalam proses pengembangan, harapannya teknologi VR bisa membantu pelanggan sekaligus memberikan kesempatan untuk perusahaan mengumpulkan data yang relevan sekaligus mengakuisisi pelanggan baru memanfaatkan teknologi.

“Ke depannya saya lihat bukan hanya teknologi AR dan VR melalui smartphone saja, namun juga melalui kaca mata atau softlens pintar yang saat ini sudah mulai dikembangkan di Amerika Serikat,” kata Jonathan.

Application Information Will Show Up Here

Fokus GoFood Perluas Bisnis dan Kantongi Profit di Tahun 2020

Diluncurkan sejak tahun 2015, GoFood kini jadi salah satu layanan yang memperkuat ekosistem “superapp” Gojek dan memberikan kontribusi paling besar untuk perusahaan. Saat ini fitur pesan-antar makanan tersebut menyediakan sekitar 12 juta menu dari 500 ribu merchant di Asia Tenggara, 96% di antaranya dari kalangan UKM.

Berdasarkan data internal perusahaan, per akhir 2019 GoFood telah memiliki market share 75% di wilayah operasionalnya. Disebutkan juga bahwa GoFood telah memiliki jumlah pengguna 1,5 kali lebih banyak dibandingkan kompetitor. Sementara total transaksinya telah sentuh angka 50 juta per bulannya.

Kepada DailySocial VP Corporate Affairs Food Ecosystem Gojek Rosel Lavina menyebutkan, misi GoFood tahun ini adalah menambah beberapa fitur baru didukung dengan teknologi paling advance, bertujuan untuk memudahkan proses transaksi pengguna.

“Kami berpegang teguh pada pilar Gojek yaitu kecepatan, inovasi dan dampak sosial. Berangkat dari hal tersebut, kami menyadari bahwa inovasi menjadi kunci untuk bisa menyelaraskan kebutuhan pengguna. Sehingga sangat penting bagi GoFood untuk terus mempelajari perkembangan kebutuhan pengguna yang semakin kompleks demi menciptakan inovasi baru sebagai solusi yang menjawab segala kebutuhan.”

Besarnya minat masyarakat terhadap layanan pesan-antar makanan dilihat menjadi peluang yang sangat menjanjikan bagi platform seperti Gojek untuk kemudian mengembangkan GoFood menjadi salah satu core service di ekosistem aplikasi.

Sebelumnya, Chief Food Officer Gojek Group Catherine Hindra Sutjahyo mengungkapkan, seluruh dorongan investor membuahkan GoFood dalam model bisnis yang sesuai dengan arah profitabilitas. Dari waktu ke waktu benchmark pencapaian GoFood berkembang, dari awalnya angka transaksi menjadi gross transaction value (GTV), dan sekarang revenue.

“Sekarang kita ada di track yang benar, progresnya sesuai dengan yang kita rencanakan dari awal. Baru itu (informasi) yang bisa saya bagikan,” katanya.

Pencapaian GoFood yang pesat sebenarnya belum seberapa dibandingkan industri serupa di Tiongkok. Industri food delivery di sana penetrasinya sudah mencapai 13%-15% dari total konsumsi, sedangkan di Indonesia masih jauh di bawah itu. Alhasil, berbagai inovasi yang diterapkan di negeri tirai bambu tersebut seringkali menjadi acuan para pemain food delivery.

Fokus GoFood di tahun 2020

(kiri-kanan) Chief Corporate Affairs Gojek Nila Marita, Co-Owner Ban-Ban Wenny Chen, dan Chief Food Officer Gojek Group Catherine Hindra Sutjahyo saat acara peluncuran inovasi terbaru GoFood
(kiri-kanan) Chief Corporate Affairs Gojek Nila Marita, Co-Owner Ban-Ban Wenny Chen, dan Chief Food Officer Gojek Group Catherine Hindra Sutjahyo saat acara peluncuran inovasi terbaru GoFood

Untuk terus meningkatkan layanan dan profit dari GoFood, awal tahun ini perusahaan telah menghadirkan empat inovasi baru. Di antaranya GoFood Pickup, GoFood Turbo, GoFood Plus dan kolaborasi dengan Google Assistant untuk para pengguna memesan makanan lewat perintah suara.

Sekarang sudah ada lebih dari 40 lokasi GoFood Kitchen dan GoFood Festival sebagai program unggulan mereka, dengan rencana untuk terus menambahkan lokasi yang lebih banyak. Lokasi-lokasi ini ke depannya bisa memberikan mitra merchant biaya dan risiko rendah untuk memperluas jejaring outlet karena infrastrukturnya telah disediakan.

Disinggung apakah nantinya GoFood memiliki rencana untuk spin off atau berdiri sendiri diluar ekosistem Gojek, tidak disebutkan lebih lanjut. Namun ke depannya, GoFood akan fokus mengembangkan tiga hal sebagai strategi bisnis jangka panjang, yakni mengutamakan kepuasan pelanggan, ekspansi bisnis dan  inovasi.

“Lewat keandalan teknologi GoFood, kami juga menawarkan pelayanan yang memudahkan dan menyenangkan bagi para pencinta kuliner dan pelanggan GoFood saat memesan makanan. Berkembangnya teknologi GoFood dan fasilitas bagi mitra driver juga diharapkan dapat menguntungkan mitra driver untuk memberikan pelayanan maksimal kepada konsumen,” kata Rosel.

Application Information Will Show Up Here

Pertimbangan Menentukan Gaji Founder Startup Menurut Co-Founder Bukalapak Fajrin Rasyid

Selain fokus mengembangkan bisnis, Co-Founder & President Bukalapak Fajrin Rasyid cukup aktif memberikan kiat pengembangan bisnis digital, baik sebagai pemateri di berbagai acara maupun melalui blog pribadinya. Ulasan terbaru yang ia tulis di laman Medium memberikan tips menarik seputar penentuan gaji founder startup yang ideal.

DailySocial berkesempatan untuk berbincang langsung dengan Fajrin untuk mendalami topik tersebut. Menurutnya, ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan sebagai takaran gaji ideal seorang founder, meliputi latar belakang pendidikan, pengalaman hingga kondisi startup.

“Secara umum latarbelakang pendidikan dan pengalaman dari sisi kandidat yang menentukan, namun juga dipengaruhi oleh sisi startup itu sendiri (tahapan startup, kondisi keuangan). Seorang kandidat yang sama bisa jadi akan ditawarkan gaji yang berbeda di dua startup yang berada di tahap berbeda,” terang Fajrin.

Kondisi keuangan startup

Secara langsung Fajrin menegaskan kondisi keuangan perusahaan mempengaruhi penentuan besar kecilnya gaji seorang founder atau CEO. Untuk startup baru idealnya harus memiliki sebuah patokan atau UMR untuk semua karyawan. Khusus untuk CEO, paling tidak bisa berada di atasnya. Nantinya jika startup mengalami pertumbuhan yang positif tentunya bisa disesuaikan lagi.

Ia turut mencatat dua poin penting yang wajib diperhatikan. Pertama, sebuah perusahaan pasti memiliki komponen gaji karyawan. Targetkan agar keuangan startup segera membaik sehingga dapat segera menggaji founder. Apabila startup tidak pernah mungkin menggaji founder, barangkali perlu dipikirkan kembali model bisnis startup tersebut, jangan-jangan memang tidak sustainable. Bagaimana mungkin startup akan sustainable atau memperoleh keuntungan jika membayar gaji saja tidak bisa?

Poin penting lainnya ada di laporan keuangan, harus tetap menuliskan komponen gaji founder di dalam laporan laba rugi. Namun, di dalam neraca, idealnya dapat memasukkan kembali komponen tersebut ke dalam perusahaan sebagai tambahan modal. Hal ini memiliki beberapa manfaat, yakni laporan laba rugi yang lebih sesuai dengan kenyataan, serta gambaran akan modal utuh yang founder keluarkan untuk membangun startup tersebut. Apabila nantinya startup memiliki dana cukup untuk menggaji, tambahan modal ini dapat dihentikan.

Benchmark

Co-Founder Bukalapak Fajrin Rasyid dan CEO Bukalapak Rachmat Kaimuddin saat menyambut kunjungan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo di kantornya / Bukalapak
Co-Founder Bukalapak Fajrin Rasyid dan CEO Bukalapak Rachmat Kaimuddin saat menyambut kunjungan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo di kantornya / Bukalapak

Poin menarik yang juga menarik disebutkan oleh Fajrin adalah persoalan benchmark atau patokan. Karena setiap startup itu unik, menjadikan proses penentuan tersebut tidak bisa disamakan. Dalam hal ini Fajrin memberikan contoh jika startup berada di tahap seed dan mengetahui bahwa rata-rata startup di tahap tersebut menggaji founder sebesar 10–15 juta Rupiah, maka rasanya terlalu berat bagi apabila ingin menggaji founder sebesar 40 juta Rupiah.

“Jika dibandingkan dengan kondisi di luar negeri seperti Amerika Serikat menurut saya perlu penyesuaian. Karena biaya hidup di tiap negara berbeda-beda. Gaji 3000 dolar di AS mungkin cukup bagi founder startup di tahap seed, tetapi bisa jadi terlalu besar bagi startup di tahap yang sama di Indonesia,” kata Fajrin.

Ia juga menambahkan apabila startup sudah memiliki investor, maka investor tersebut — terlebih jika ia sudah berinvestasi di banyak startup — dapat memberikan data benchmark terkait hal ini. Pada akhirnya jika startup sudah memiliki investor, maka sebaiknya keputusan akan gaji founder tidak lagi hanya diambil oleh CEO, tetapi juga atas persetujuan investor.

Hal lain terkait benchmark yang juga bisa menjadi pertimbangan adalah dengan bertanya hal ini: Apabila saya resign atau posisi saya digantikan oleh seorang profesional, berapa biaya yang kira-kira saya mau bayarkan untuk menggaji orang tersebut? Belum tentu biaya untuk menggaji orang tersebut sama dengan menggaji founder, tetapi setidaknya ini memberikan gambaran akan batas atas.

“Menurut saya, semestinya untuk komponen gaji pokok iya sama. Namun barangkali bagi founder atau CEO ekspatriat ada komponen semacam tunjangan kepindahan atau rumah untuk meng-cover kebutuhan perpindahan dari negara asal,” kata Fajrin.

Perlunya penentuan gaji founder

Di akhir ulasannya Fajrin menjelaskan alasan mengapa seorang founder startup perlu memiliki gaji yang ideal. Salah satunya pemimpin startup bekerja secara day to day. Founder digaji atas pekerjaan yang dia lakukan. Itulah mengapa, apabila ada lebih dari satu founder, tidak harus semuanya digaji dengan angka yang sama. Founder dapat digaji berbeda tergantung dari ruang lingkup pekerjaan dan tanggung jawabnya.

“Hal tersebut juga berlaku dengan co-founder lainnya, pada prinsipnya sama (mempertimbangkan kondisi startup). Yang membedakan adalah tanggung jawab dan beban kerja masing-masing. Tentunya hal ini perlu didiskusikan secara bersama di level pemegang saham,” kata Fajrin.

Intinya adalah gaji yang ditetapkan kepada pendiri startup idealnya tidak terlalu besar, namun lebih kepada bagaimana jika kondisi startup ideal profitable. Salah satu mindset yang dapat dipegang adalah keinginan membangun startup untuk jangka panjang.

Application Information Will Show Up Here

Kiat Menyiapkan Diri Menjadi Pemimpin Startup ala Hadi Wenas

#SelasaStartup edisi pertama tahun 2020 cukup spesial. Hadi Wenas hadir sebagai pemateri, menceritakan pengalamannya saat memimpin bisnis digital di Indonesia. Sejak Mei 2019 ia menjabat sebagai COO Amartha, dengan track record kepemimpinan di Zalora, aCommerce, hingga Mataharimall.

Dalam pemaparannya ada banyak aspek penting yang disorot Wenas, sebagai landasan dalam memimpin sebuah bisnis digital. Berikut ulasannya:

Menentukan prioritas

Menurut Wenas, salah satu pekerjaan krusial di kepemimpinan startup adalah menentukan prioritas pekerjaan. Di dalamnya termasuk proses memahami isu, mencarikan solusi dan melakukan kalkulasi untuk setiap pengarahan yang akan diberikan kepada timnya.

Bagi Wenas, cara cepat untuk menentukan prioritas adalah sesegera mungkin mengeksekusi pekerjaan yang telah dibebankan. Setelah dijalankan nantinya akan terlihat proses dan perkembangan.

“Intinya langsung saja mulai bekerja dan pada akhirnya prioritas atau urutan yang sesuai akan segera terlihat. Jangan terlalu lama memikirkan planning, langsung saja mulai bekerja,” kata Wenas.

Jangan takut gagal

Kegagalan tentunya kerap menghantui semua pendiri startup. Apakah itu saat mulai membangun startup hingga startup sudah berjalan selama 2-3 tahun. Ketika startup pada akhirnya mengalami kegagalan, ada baiknya untuk tidak menyalahkan diri sendiri.

Menurut Wenas, faktor keberuntungan terkadang menjadi kunci keberhasilan atau kegagalan sebuah bisnis. Jika bisnis berjalan dengan baik, menurutnya faktor mujur tadi bisa menjadi salah satu penyebabnya. Untuk itu ketika gagal lakukan introspeksi dan mulai mencari inspirasi hingga cara untuk mulai lagi dengan bisnis atau usaha yang baru.

Ketika Wenas dipercaya untuk menjabat sebagai CEO MatahariMall, terdapat tugas cukup berat yang wajib diselesaikan oleh timnya. Untuk itu penting bagi pimpinan untuk bisa mengenali terlebih dulu kepribadian diri dan timnya, sehingga ketika beban kerja mulai dirasakan, semua tantangan dan permasalahan yang dihadapi bisa diselesaikan secara tuntas.

Hadi Wenas saat menjabat sebagai Co-CEO aCommerce
Hadi Wenas saat menjabat sebagai Co-CEO aCommerce

Temukan jati diri

Poin penting lainnya yang kemudian disampaikan oleh Wenas adalah menemukan jati diri. Sebagai seorang introvert, ia terkadang merasa kesulitan untuk melakukan sosialisasi, namun di sisi lain sifat tersebut menjadikan dirinya menjadi lebih teratur dan haus akan detail. Sifat kurang sabar yang sebelumnya menjadi kendala ternyata saat ini justru dianggap sifat yang mendukung kinerja Wenas, karena semua pekerjaan bisa selesai dengan cepat dan membantu dirinya hingga tim untuk bekerja lebih baik lagi.

“Bagi saya yang seorang introvert justru menyukai segala hal serba teratur. Dengan demikian semua permasalahan dan bagaimana cara tepat untuk bisa mengatasinya bisa dengan mudah diselesaikan secara bertahap. Secara otomatis jika ritme kerja sudah ditemukan, pekerjaan tersebut akan selesai lebih cepat,” kata Wenas.

Meditasi mendukung produktivitas

Salah satu kebiasaan yang sudah dilakukan oleh Wenas sejak tahun 2008 lalu adalah secara rutin melakukan meditasi. Meskipun pada awalnya lebih kepada proses penyembuhan tubuh, namun meditasi yang dilakukan olehnya secara rutin justru kini mampu melatih kesabaran hingga meningkatkan produktivitas kerja. Intinya adalah temukan work-life balance, yang akan memberikan pengaruh positif untuk kesehatan tubuh dan karir.

“Meditasi mampu membantu saya melatih kesabaran dan menemukan keseimbangan tersebut. Apakah Anda seorang introvert, extrovert, gemar melakukan secara teratur atau peduli dengan detail. Jika sudah ditemukan jati diri tersebut, pada akhirnya semua pekerjaan akan bisa diselesaikan lebih santai dan tentunya lebih mudah,” tutup Wenas.

SociaBuzz Tribe Bantu Hargai Kreator Konten dalam Berkarya

Setelah menjalankan bisnis selama empat tahun, platform marketplace jasa kreatif SociaBuzz meluncurkan fitur baru bernama SociaBuzz Tribe. Kepada DailySocial, CEO SociaBuzz Rade Tampubolon mengungkapkan, rencana fitur ini sudah ada di roadmap sejak tahun 2017 lalu.

“Cara kerjanya tidak berbeda jauh dengan Patreon, platform yang memungkinkan pelanggan untuk menyumbangkan sejumlah uang setiap kali seorang konten kreator atau talenta kreatif menciptakan sebuah karya seni. Perbedaan yang dimiliki oleh Tribe adalah pilihan pembayaran yang semuanya mengedepankan dompet digital lokal, bukan kartu kredit, sehingga memudahkan proses pembayaran.”

Pilihan pembayaran yang tersedia saat ini adalah melalui Ovo. Alternatif melalui LinkAja, GoPay, Dana, dan transfer bank segera menyusul dalam waktu dekat. Platform serupa sebelumnya sudah hadir dalam bentuk Karyakarsa. Beberapa kreator di platform tersebut kini sudah memiliki lebih dari 100 pelanggan berbayar.

Konsep yang dihadirkan Patreon dan Tribe diklaim memberikan kemudahan bagi semua orang yang memiliki skill dan ingin melakukan monetisasi. Fitur SociaBuzz Tribe dapat dimanfaatkan tipe kreator konten apapun, termasuk YouTuber, podcaster, komikus, penulis, musisi, jurnalis, dan lain sebagainya.

“Kami sangat antusias dengan diluncurkannya layanan baru ini. Karena selain dapat membantu content creator hidup dari karyanya, kami juga berharap ini bisa menjadi salah satu roda penggerak ekonomi kreatif di Indonesia,” kata Rade.

Fokus ke “Passion Economy”

Salah satu fokus SociaBuzz tahun adalah menerapkan konsep “Passion Economy”, sebuah istilah yang diperkenalkan Managing Partner NFX Venture Capital James Currier. Di tulisannya disebutkan, dalam waktu 10 tahun ke depan semua akan mulai menyasar ke “Market Network”. Jaringan pasar ini diklaim akan menghasilkan kelas baru perusahaan unicorn dan berdampak pada bagaimana jutaan profesional dan layanan akan bekerja dan mencari penghasilan.

“Fakta tersebut yang kemudian menjadi perhatian kami dari SociaBuzz dan melihat apa yang sudah kami hadirkan dan akan kami luncurkan di masa mendatang sudah sejalan dengan konsep tersebut. Intinya adalah semua orang kini bisa berkarya dan menghasilkan uang yang menjanjikan secara digital,” kata Rade.

Saat ini perusahaan telah memiliki 39.000 talenta dan kreator konten yang telah bergabung di platform. Fokus SociaBuzz kini masih terus menambah jumlah kreator ke dalam platform. Rade percaya bahwa pelanggan yang masif akan mengunjungi dan menggunakan platform jika mereka memiliki kreator konten yang berkualitas dan berjumlah besar.

Meskipun saat ini SociaBuzz masih meng-cater brand besar yang ingin melakukan kegiatan pemasaran melalui agensi, namun untuk scale-up perusahaan masih berupaya menghadirkan fitur baru, termasuk penyediaan platfrom SaaS untuk talenta kreatif.

“Tentunya tidak mudah bagi kami untuk bisa menjadi plaform seperti saat ini. Dibutuhkan penyesuaian hingga penyederhanaan fitur yang sebelumnya banyak kami tawarkan. Tujuan kami tentunya adalah bisa menjadi platform yang bisa dimanfaatkan semua content creator untuk berkarya,” kata Rade.

Disinggung apakah SociaBuzz memiliki rencana meluncurkan aplikasi, Rade menyebutkan, penggunaan SEO untuk tujuan pemasaran digital masih relevan bagi platform berbasis web. Mengklaim perusahaan telah memperoleh keuntungan, Rade juga enggan menyebutkan rencana penggalangan dana.

“Saat ini kita sudah mendapatkan profit dan fokus kami selanjutnya adalah merilis fitur baru yang menarik belajar dari platform asing yang sedang tren untuk kebutuhan content creator dan pengguna SociaBuzz,” tutup Rade.

CEO Indodax Oscar Darmawan Optimis Popularitas Aset Kripto Kembali Meningkat

Pada bulan Desember 2017, harga aset kripto Bitcoin mencapai angka tertinggi, US$17.549 per koinnya. Fluktuasi tersebut membuat mata uang kripto (cryptocurrency) menjadi perbincangan hangat di berbagai forum. Seiring perkembangannya, berbagai kalangan masyarakat turut menjadikannya sebagai opsi berinvestasi.

Melihat minat pasar yang terus meningkat, berbagai koin baru pun terus diperkenalkan ke publik, termasuk melalui inisiatif penggalangan dana ICO (Initial Coin Offering) untuk sebuah proyek. Di Indonesia ada beberapa startup yang turut meramaikan, seperti Playgame (dengan koin PXG).

Pada akhir tahun 2018, nilai Bitcoin turun tajam di angka US$3.625, dan terus bergejolak hingga pada 13 Januari 2020 nilainya tercatat US$8.740. Diskusi di kalangan masyarakat tentang aset kripto pun cenderung menurut — di tengah perkembangan platform investasi lain seperti reksa dana, saham, hingga emas.

Untuk mendalami tentang perkembangan aset kripto di Indonesia, DailySocial berbincang dengan Founder & CEO Indodax Oscar Darmawan. Perusahaan rintisan yang sebelumnya bernama Bitcoin.co.id ini merupakan salah satu pionir platform perdagangan aset kripto. Saat ini mereka sudah memiliki sekitar 1,8 juta pengguna dengan puluhan jenis aset kripto yang diperjualbelikan.

Akui penurunan minat

Mengawali perbincangan, Oscar memaparkan data volume perdagangan aset kripto dunia dari tahun ke tahun. Ada penurunan signifikan sepanjang tahun 2019, terlebih jika dibandingkan dengan puncak popularitas di tahun 2017. Kendati demikian, nilai kapitalisasinya dinilai masih memiliki performa yang tertinggi dibanding dengan aset investasi lainnya.

Oscar masih sangat optimis kalau aset kripto akan kembali menanjak popularitasnya. Ada beberapa alasan, salah satunya dampak dari dinamika global yang mulai terjadi di tahun 2020. Bitcoin sebagai aset investasi yang tergolong “safe haven” (cenderung lebih aman untuk dimiliki) dinilai akan diminati lebih banyak orang, karena secara komoditas tidak terhubung langsung dengan ekonomi global, fluktuasinya lebih terkontrol di tengah konflik.

“Dengan tidak terhubungnya Bitcoin dengan sistem ekonomi dunia, membuatnya jadi aset yang aman dan mampu untuk terus mengalami peningkatan meskipun krisis terjadi. Misalnya di tengah konflik yang terjadi antara Amerika Serikat dan Iran, justru mengalami efek yang positif untuk nilai Bitcoin. Saat ini harga Bitcoin di Iran naik hingga $25.000. Hal ini serupa dengan perseturuan Amerika Serikat dan Korea Utara tahun lalu yang juga ikut mendorong harga Bitcoin,” terang Oscar.

Cryptocurrency dari sudut pandang investasi / DailySocial

Di samping itu, faktor lain, menurut Oscar, adalah hadirnya kebijakan pelonggaran moneter oleh sebagian bank sentral dalam upaya pengentasan perang dagang Tiongkok-Amerika Serikat serta berkurangnya persediaan Bitcoin akibat “Halving Day 2020” akan membuat permintaan meningkat.

Seperti diketahui, jumlah peredaran aset kripto seperti Bitcoin memiliki batasan sampai titik nilai tertentu. Tidak seperti mata uang konvensional yang bisa ditambah-cetak setiap tahun.

Perkembangannya di Indonesia

Presiden Joko Widodo dalam sebuah kesempatan menyampaikan, anak muda didorong untuk mengetahui tren teknologi global, tak terkecuali mengenai aset kripto seperti Bitcoin. Pernyataan tersebut disambut optimis oleh pemain industri terkait seperti Indodax.

Melalui asosiasi, komunikasi dengan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi Indonesia (Bappebti) terus digalakkan. Salah satunya menelurkan peraturan No. 5 Tahun 2019 tentang ketentuan teknis penyelenggaraan pasar fisik aset kripto di bursa berjangka. Aturan ini ditandatangani pada 8 Februari 2019.

Adanya beleid yang mengatur, baik dari sisi komoditas dan industri, membuat masa depan perdagangan aset kripto semakin cerah. Payung hukum memberikan dampak keyakinan kepada masyarakat, sembari mengurangi risiko kecurangan bisnis yang mungkin bisa terjadi di tengah proses edukasi pasar.

“Kami sendiri di Indodax akan terus bekerja dengan Bappebti untuk menciptakan ekosistem dan industri yang positif di Indonesia. Awal tahun ini kami berharap bisa mengantongi izin resmi dari Bappebti (sebagai penyelenggara platform),” ujar Oscar.

Proyek blockchain dan eliminasi industri

Blokchain sebagai teknologi fundamental yang menghasilkan produk mata uang kripto makin banyak dieksplorasi oleh perusahaan untuk mendukung sistem yang lebih transparan. Bahkan banyak lembaga pemerintah di dunia yang mulai mendalami riset implementasi blockchain di sektor publik.

Menurut Oscar, sepanjang tahun 2016 hingga 2017 belum banyak perusahaan yang membutuhkan blockchain. Kebanyakan baru dimanfaatkan untuk keperluan ICO. Namun memasuki tahun 2018 hingga awal tahun 2020, mulai banyak proyek blockchain yang memiliki kredibilitas baik dan relevan. Di sisi lain, ia juga melihat kalangan investor saat ini sudah lebih dewasa sehingga mereka lebih skeptis terhadap rumor atau berita miring yang beredar tanpa dasar.

Hingga saat ini token yang paling populer masih sedikit jumlahnya. Merek seperti Ethereum dan Bitcoin masih menjadi pilihan utama. Namun dalam dua tahun terakhir banyak pemain seperti startup yang merilis token milik mereka sendiri.

Faktanya tidak mudah untuk mengelola sebuah token, sehingga selama dua tahun terakhir banyak token-token yang terbilang tidak jelas fungsinya mulai tereliminasi. Efek dari eliminasi tersebut akhirnya menjadikan beberapa di antara pemain token untuk kemudian melakukan merger dan mendirikan sebuah entitas yang baru.

Menurut Oscar, langkah seperti sah-sah saja untuk diambil, karena pada akhirnya untuk bisa memperbesar industri ini, ekosistem harus diciptakan dan semua pemain yang terlibat tidak bisa menjalankan bisnis secara independen.