Pendanaan Seri F Gojek Disebut Bakal Capai $3 Miliar, Partisipasi Mitsubishi Mantapkan Status “Decacorn”

Mitsubishi kemarin (08/7) secara resmi mengumumkan telah berinvestasi di Gojek. Secara mendetail pendanaan yang masuk babak seri F tersebut diikuti tiga entitas meliputi Mitsubishi Corporation, Mitsubishi UFJ Financial Group, dan Mitsubishi Motors.

Sebelumnya JD, Tencent, Google, dan Astra International juga telah terlebih dulu mengumumkan partisipasinya dalam pendanaan tersebut. Putaran seri F telah dimulai Gojek sejak Oktober 2018.

Memastikan status “decacorn”

Menurut kabar yang beredar, perusahaan menargetkan pengumpulan dana hingga $3 miliar atau setara 42,3 triliun Rupiah di seri F, meningkat dari target sebelumnya $2 miliar. Setidaknya untuk putaran kali ini dikabarkan telah terkumpul $1,6 miliar, sehingga bisa dipastikan masih dibuka partisipasi dari investor lain.

Januari 2019 lalu, pasca pembukaan seri F oleh JD, Tencent, dan Google, valuasi Gojek ditaksirkan telah mencapai $9,5 miliar. Dengan penambahan dari Astra di Maret 2019 dan Mitsubishi di Juli 2019 maka dipastikan status “decacorn” sudah dimiliki oleh perusahaan ride-hailing lokal tersebut.

Sejak April 2018 lalu Gojek sudah digadang-gadang berhasil menjadi decacorn pertama Indonesia.

Mantapkan ekspansi Asia Tenggara

Dalam rilisnya, Chairman Mitsubishi Motors Osamu Masuko mengatakan, ketertarikan grup perusahaan berinvestasi di platform “super app” tersebut lantaran keyakinan dapat bersama-sama memenangkan pasar Asia Tenggara.

Seperti yang diungkapkan Nadiem Makarim, komitmen perusahaan melakukan fundraising pada tahap seri F memang untuk melancarkan ekspansi bisnis. Realisasinya sudah terlihat di beberapa negara, termasuk Vietnam, Thailand, dan Singapura.

Sebelumnya juga pernah diumumkan pada awal tahun, Gross Transaction Value (GTV) Gojek telah mencapai lebih dari $9 miliar, didominasi dari transaksi Go-Pay yang memproses $6,3 miliar dan Go-Food memproses $2 miliar.

Lantas berbicara jika berbicara persaingan, maka masih akan berkutat antara Gojek vs Grab. Keduanya, dengan ambisi super app, sama-sama ingin memenangkan pasar Asia Tenggara, dengan bentuk layanan yang nyaris serupa.

Keduanya juga sama-sama telah mencapai milestone decacorn. Terakhir diketahui, pasca investasi dari SoftBank’s Vision Fund valuasi Grab mencapai $14 miliar.

Application Information Will Show Up Here

Survei Alvara: Gojek Unggul di Tiga Layanan Digital Menurut Milenial Indonesia

Lembaga riset Alvara Research Center menyebut Gojek, beserta dua layanannya Go-Food dan Go-Pay, sebagai pemimpin untuk tiga layanan digital menurut kalangan milenial Indonesia. Traveloka dan Lazada menjadi aplikasi yang unggul di kategori lain, yakni pemesanan tiket dan hotel, dan belanja online.

Alvara mendefinisikan aplikasi e-commerce sebagai produk dan jasa yang dijual dalam bentuk digital, sehingga layanan on-demand dan OTA dimasukkan dalam survei yang bertajuk dalam judul penelitian “Perilaku dan Preferensi Konsumen Milenial Indonesia terhadap Aplikasi E-Commerce 2019.”

CEO dan Founder Alvara Research Hassanudin Ali menerangkan Gojek memimpin tiga kategori lantaran ekosistemnya mencakup banyak layanan dan saling terintegrasi.

“Kalau pesaingnya [Grab], menggunakan provider lain [untuk layanan pendukung]. Gojek juga diuntungkan karena first mover advantage. Setiap pionir pasti dapat manfaat dari sisi pengguna,” terangnya, Selasa (9/7).

Sebagai aplikasi transportasi, 70,4% responden menyebut Gojek lebih banyak dipakai. Alasannya karena mudah digunakan, lebih cepat, dan termurah. Sementara Grab diasosiasikan dengan aplikasi termurah, promo banyak, dan mudah digunakan.

Gojek juga unggul untuk layanan pesan-antar makanan. Sebanyak 71,7% responden menggunakan Go-Food karena aspek kualitas layanan dan banyak pilihan menu. Sedangkan GrabFood lebih diasosiasikan dengan harga dan promo murah.

Layanan pembayaran Go-Pay paling banyak dipakai oleh milenial sebanyak 67,9% responden. Mereka menggunakan Go-Pay karena masuk dalam ekosistem Gojek, banyak promo, dan aman.

Untuk kategori aplikasi belanja online, Lazada (47,9%) jadi brand yang paling dikenal oleh responden. Disusul Shopee (32,2%), Tokopedia (15,4%), Bukalapak (14,4%), OLX, dan Blibli.

Terakhir, untuk aplikasi pemesanan tiket dan hotel, 79% responden memilih Traveloka karena menawarkan banyak promo, banyak promo, dan mudah digunakan. Disusul, Tiket.com dan KAI Access sebagai layanan yang dipilih responden karena aplikasinya mudah digunakan.

Ketua Bidang Ekonomi Digital dari idEA Bima Laga menuturkan hasil survei ini menggambarkan sebagian masyarakat Indonesia. Namun dari sini bisa terlihat bahwa Indonesia sudah terbentuk segmentasi pasarnya sehingga bisa menjadi parameter dalam menentukan strategi bisnis perusahaan.

Survei ini dilakukan kurang lebih selama 2,5 bulan, dari April sampai pertengahan Juni 2019, melalui survei tatap muka. Metode yang dipakai adalah cluster random sampling, analisa data dan penulisan laporan.

Total responden mencapai 1.204 orang dari Jabodetabek, Bali, Padang, Yogyakarta, dan Manado. Margin of error penelitian berada di kisaran 2,89%.

“Parameter yang kami ukur adalah brand awareness, perilaku dan kebiasaan konsumen, serta tingkat kepuasan pelanggan,” katanya.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kebiasaan dan perilaku konsumen milenial dalam menggunakan aplikasi e-commerce, baik buatan lokal maupun asing.

Agak disayangkan, kesimpulan yang diambil Alvara melalui survei ini dinyatakan terlalu mendikotomi dengan memisahkan layanan digital buatan dalam negeri dan luar negeri. Memang pada kenyataannya, seluruh perusahaan ini lahir di Indonesia, namun dari segi kepemilikan sahamnya tidak berkata demikian.

Survei lainnya

Dari perspektif hasil survei yang lain, misalnya dari iPrice Group, mengungkapkan secara umum Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee menjadi aplikasi e-commerce paling banyak dikunjungi orang Indonesia hingga kuartal pertama 2019. Lazada, Blibli, dan JD.id menyusul secara berurut di posisi berikutnya.

iPrice menyebut Tokopedia dikunjungi oleh 137,2 juta MAU, sementara Bukalapak memiliki 115,25 juta MAU, dan Shopee 74,99 juta MAU. Temuan ini cukup kontras dengan hasil dari Alvara, tapi cukup wajar karena profil responden yang diambil Alvara lebih spesifik ke kalangan milenial.

DailySocial pun juga pernah menerbitkan hasil survei mengenai e-commerce di tahun lalu. Di situ disebutkan, Shopee (33,63%) menjadi aplikasi yang paling banyak digunakan, disusul Tokopedia (28,18%), Lazada (14,3%), dan Bukalapak (17,5%).

Kendati banyak digunakan, tidak bisa diterjemahkan sebagai aplikasi dengan revenue tertinggi. Menurut App Annie, Tokopedia dinobatkan sebagai aplikasi paling banyak dipakai oleh pengguna, sementara Shopee adalah aplikasi yang paling banyak diunduh.

Dari sisi aplikasi pembayaran digital, Go-Pay mendominasi dengan 79,39%. Kemudian disusul Ovo (58,42%), T-Cash (kini LinkAja) 55,52%, dan Dana (34,18%).

Startup E-Book Ketix Resmi Hadir, Dorong Penulis Muda Terbitkan Buku Sendiri

Rendahnya minat baca dan susahnya penulis untuk menerbitkan buku menjadi beberapa alasan yang membuat tingkat literasi membaca di Indonesia cukup tertinggal dibandingkan negara lain. Di samping itu, kehadiran aplikasi e-book yang beredap dianggap cukup mengkhawatirkan karena tidak memuat norma yang berlaku.

Menanggapi isu di atas, Tendi Murti, King Bagus, dan Dewa Eka Prayoga mendirikan Ketix sejak April 2019. Semangat yang ingin diusung Ketix tidak hanya mewadahi penulis muda untuk berkarya, tetapi ingin meningkatkan literasi membaca di Indonesia.

Baik Tendi maupun Dewa merupakan penulis dengan beberapa karya yang sudah mereka terbitkan. Tendi sendiri adalah pendiri Komunitas Menulis Online.

Status pendanaan Ketix masih dalam menggunakan dana sendiri (bootstrap). Tendi mengaku pihaknya mencari investor dengan misi tidak hanya mencari untung, tapi juga punya misi sosial yakni mencerdaskan bangsa.

“Harapan kami dengan mempermudah proses menulis dan menerbitkan buku, Indonesia akan punya makin banyak penulis, makin banyak orang yang belajar menulis, dan akhirnya semakin tinggi minat membaca masyarakat kita,” kata Co-Founder dan CEO Ketix Tendi Murti, Selasa (9/7).

Aplikasi Ketix didesain untuk langsung mengakomodir penulis untuk menulis dari nol. Tersedia template untuk gambar cover buku, jikalau penulis tidak punya kemampuan mendesain. Hasil tulisan dapat disimpan dalam bentuk draft atau langsung dipublikasikan.

Karya mereka juga dapat dijual dalam bentuk e-book. Ada royalti yang bisa mereka dapatkan, komposisinya 80% untuk penulis dan sisanya untuk Ketix. Penulis dapat berinteraksi dengan para penggemarnya dalam ruang diskusi bernama TixRoom. Di situ, pembaca bisa memberikan tanggapan atas buku yang dipublikasikan oleh penulis tersebut.

“Inspirasi awal mendirikan TixRoom dari komunitas membaca yang orang-orangnya dikumpulkan lewat aplikasi chat. Tiap penulis nanti bisa punya ruang diskusi sendiri agar intimasi dengan pembaca semakin terasa.”

Buat pembaca, ada sejumlah fitur yang memudahkan seperti daftar rekomendasi koleksi buku gratis di menu Recommended Stories, Popular Stories. Bahkan bisa berdasarkan genre favorit, atau menurut penulis dengan jumlah follower teratas dalam menu TixStar.

Fitur lainnya, Ketix memberikan pilihan dalam membaca buku, mulai dari warna halaman, ukuran, hingga bentuk font yang bisa disesuaikan dengan kenyamanan pembaca. Pengaturan tersebut tetap tidak akan berubah, meski pembaca membaca buku lain.

Diferensiasi dengan pemain sejenis

Tampilan aplikasi Ketix / Ketix
Tampilan aplikasi Ketix / Ketix

Uniknya, Ketix tidak hanya menempatkan diri sebagai aplikasi e-book saja. Dilengkapi pula dengan fitur pendukung seperti e-commerce bekerja sama dengan penerbit buku dan entertainment berbentuk live streaming, yang mana hal tersebut meningkatkan utilitas aplikasi.

Founder Ketix King Bagus menerangkan, Ketix adalah kompilasi dari fitur Line, Medium, Ruangguru, dan T Series (India). Alhasil, pendekatan ini berbeda jauh dengan pemain sejenis seperti Wattpad, Webnovel, dan Baboo.

Disebut seperti Line karena ada fitur chat dan commerce. Begitupun Ruangguru karena disediakan kelas mentoring online dengan penulis. Sementara, Medium karena setiap orang diberi kemudahan untuk menulis.

“Kami sedang mempersiapkan film pendek tentang horor yang diangkat dari novel populer yang dipublikasi lewat Ketix. Tujuannya untuk mengapresiasi setiap hasil karya yang bagus, dan telah melalui proses kurasi,” terang King.

Untuk mencegah plagiarisme, Ketix telah menyiapkan setiap karya yang dipublikasi tidak bisa di-copy paste sama sekali oleh pengguna. Mengenai ketentuan tema tulisan, Ketix sejak awal memberikan disclaimer bahwa setiap karya yang ditulis tidak boleh mengandung unsur hoaks.

Oleh karena itu, Ketix juga melengkapi sistemnya dengan menambahkan kata kunci agar lebih cepat mendeteksinya. Ke depannya, sistem akan terus dimutakhirkan apabila jumlah tulisan yang masuk semakin banyak.

“Apabila ada yang melanggar ada tahapannya, sampai akhirnya kami cabut karyanya secara permanen. Kami cukup ketat untuk tema tulisan karena kami ada semangat moral dan sosialnya,” tambah Tendi.

Sejumlah platform e-book lokal sempat menghiasi percaturan industri, namun belum ada yang mampu menjadi pemimpin pasar. Wattpad bisa dibilang menjadi pemimpin pasar bagi penulis independen berbasis digital, meskipun konsepnya bukan berupa e-book.

Rencana Ketix

Aplikasi Ketix sementara ini baru tersedia untuk versi Android, telah diluncurkan sejak 23 Mei 2019. Dari peluncuran hingga sekarang, diklaim telah diunduh lebih dari 5 ribu kali. Pembaca aktifnya mencapai 3.500 orang.

Dari segi database, Ketix memiliki 2.400 buku yang sudah dipublikasi oleh lebih dari 1.000 penulis. Tendi menargetkan sampai 2021, pihaknya dapat menargetkan 1 juta penulis muda dengan 5 juta karya yang terpublikasi. Mayoritas kategori buku adalah fiksi.

“Kami juga ingin go Asia pada 2021, sebab saat ini Komunitas Membaca Online punya cabang di Hong Kong, Malaysia, dan Turki. Rencananya akan buat kantor di sana,” tutup Tendi.

Application Information Will Show Up Here

Go-Ventures Terlibat dalam Pendanaan Seri D Rebel Foods, Kucurkan Investasi Lebih dari 70 Miliar Rupiah

Go-Ventures sebagai unit ventura milik Gojek kembali memberikan investasi untuk startup asal India. Kali ini giliran pengembang platform cloud kitchen Rebel Foods. Nilai pendanaan mencapai $5 juta, dalam putaran seri D.

Sebelumnya di putaran yang sama, beberapa investor lamanya yakni Sequoia Capital India, Lightbox, dan Evolvence India Fund turut berpartisipasi memberikan pendanaan mencapai $15,8 juta.

Rebel Foods sebelumnya lebih dikenal dengan brand Faasos, didirikan pada tahun 2011 oleh Jaydeep Barman dan Kallol Banerjee. Melalui layanannya, pengguna dapat memanfaatkan jasa pesan antar berbagai makanan yang diproduksi dari dapur rumahan.

Jaydeep turut mengatakan kepada media setempat, bahwa masih ada rincian putaran pendanaan seri D yang tengah diselesaikan. Sehingga belum pada tahap penutupan. Sehingga ada kemungkinan nilai investasi untuk putaran ini akan terus bertambah.

Sebelumnya Go-Ventures juga dikabarkan memberikan pendanaan 430 miliar Rupiah kepada pengembang platform e-sports asal India bernama Mobile Premier League.

Tech in Asia PDC 2019 Bahas Beragam Topik Pengembangan Produk

Tech in Asia tahun ini kembali menggelar Tech in Asia Product Development Conference 2019 (TIA PDC 2019). Konferensi khusus teknologi dan pengembangan produk ini berlangsung di Menara Mandiri Jakarta, pada 3-4 Juli 2019 lalu.

TIA PDC 2019 membawa 9 tracks (fokus pembahasan), mulai dari manajemen produk, pengalaman pengguna, desain produk, hingga analisis data. Terdapat 70 pembicara dari berbagai industri teknologi dengan total 60 sesi content stage.

Melalui sesi-sesi tersebut, para pemateri membagikan insight serta best practice masing-masing, sehingga para peserta bisa mempelajari tren pengembangan produk digital.

Main Stage menjadi panggung yang paling banyak menyita perhatian peserta. Hampir sebagian besar peserta terlihat memadati panggung menyimak sesi dari CPO OVO Albert Lucius yang membawakan topik “Building Product with Massive Fragmented Variables and Facets” dan sesi dari CEO Bukalapak Achmad Zaky yang berbicara tentang “A Flashback Story: Bukalapak’s Product Journey”.

Peserta yang juga berkesempatan untuk mengikuti rekrutmen dan menghadiri pameran teknologi yang diadakan beberapa perusahaan seperti Kata.ai, InstaMac, Tokopedia, Tunaiku, Nodeflux, serta Netcore.

Sesi menarik lainnya ada pada diskusi penel yang diisi oleh praktisi dari Tokopedia, Kata.ai dan Moka. Mereka membahas tentang manajemen produk, mengisyaratkan bahwa pengembangan roadmap harus mengacu pada visi. Peran project manager menjadi krusial untuk menyusun strategi mencapai visi, mulai mengelola timeline kerja hingga prioritas.

Metodologi “design language system” juga menjadi salah satu poin bahasan yang disampaikan. Dengan alur kerja tersebut memungkinkan tim produk dan tim pemasaran untuk berkolaborasi, sehingga pengembangan produk dapat selalu beririsan dengan kebutuhan bisnis.

TIA PDC 2019 diharapkan dapat membantu para penggiat produk agar mampu membuat produk yang mampu melayani kebutuhan pasar dengan dukungan teknologi. Selain itu juga diyakini mampu mendorong produk digital lokal untuk terus beradaptasi, sehingga dapat memfasilitasi para penggunanya dengan baik.

Disclosure: DailySocial merupakan media partner dari Tech in Asia Product Development Conference 2019

Segera Tersedia di Gojek, LinkAja Jadi Alternatif Metode Pembayaran

LinkAja segera menjadi alternatif pembayaran dalam aplikasi Gojek, selain Go-Pay. Pengumuman ini menandakan pertama kalinya Gojek membuka ekosistemnya dengan gaet pihak ketiga, sekaligus mematahkan persepsi publik yang menganggap kehadiran LinkAja memanaskan peta persaingan uang elektronik di Indonesia.

President Gojek Andre Soelistyo mengatakan, fitur ini akan segera tersedia dalam waktu dekat tahun ini. Pihaknya menganggap dengan menerapkan ekosistem terbuka dan kolaborasi dengan semua pihak, maka akan lebih banyak masyarakat yang bisa merasakan dampak positifnya.

“Gojek mengucapkan selamat atas diluncurkannya LinkAja dan kami menyambut positif kehadiran LinkAJa dalam platform kami,” terang Andre dalam keterangan resmi.

Managing Director Go-Pay Budi Gandasoebrata menambahkan, LinkAja membawa misi yang serupa dengan Gojek dan Go-Pay, yaitu mendukung akselerasi Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT), memperkenalkan, dan mengedukasi masyarakat Indonesia tentang manfaat pembayaran non tunai.

Andre menambahkan, ke depannya baik Gojek dan Go-Pay akan selalu terbuka pada kolaborasi yang bertujuan untuk memberikan dampak positif kepada masyarakat, serta membangun ekonomi Indonesia dari piramida terbawah.

LinkAja sendiri baru diperkenalkan secara resmi pada 30 Juni 2019 sebagai uang elektronik dari sinergi Telkomsel dan tujuh BUMN. Beberapa hari yang lalu, CEO LinkAja Danu Wicaksana menjelaskan strategi LinkAja saat adalah fokus ke layanan yang menjadi kebutuhan dasar masyarakat, sehingga bukan memperbanyak promo pada layanan gaya hidup.

Ada sejumlah pilot project untuk penambahan layanan baru seperti remitansi, transportasi kereta api, tol, SPBU.

Salah satu layanan yang telah resmi tersedia adalah pinjaman. LinkAja bermitra startup lending Kredit Pintar untuk pengadaan layanan tersebut. Pengguna bisa meminjam dana cash loan mulai dari Rp600 ribu sampai Rp1,2 juta.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Debut di Pasar Internasional, Layanan Bike Sharing “Gowes” Miliki 130 ribu pengguna

Layanan bike sharing Gowes segera mulai debutnya di pasar internasional tahun ini, dengan menyasar Miami (Amerika Serikat), Bogota dan Cartagena (Colombia) dengan nama layanan Poing, dan Swedia dengan nama Ozone.

Direktur Utama Gowes Iwan Surya Putra menerangkan ekspansi ini berada di bawah jaringan Gowes Alliance yang terbentuk pasca pengumuman kerja sama strategis dengan produsen e-scooter asal Tiongkok, Freego High Tech dan Shenzhen TeteZhiZao (TTec).

“Tahun 2019, untuk di dalam negeri Gowes berencana tetap konsentrasi di kota-kota yang sudah ada. Sedangkan di luar negeri, jaringan Gowes Alliance akan beroperasi di Miami, Bogota, Cartagena, dengan nama layanan (Poing) dan Swedia dengan nama layanan (Ozone),” terang Iwan kepada DailySocial.

Gowes Alliance memungkinkan teknologi Gowes digunakan operator lokal e-scooter sharing yang menggunakan unit dari Freego dan TTec. Para operator scooter dapat menggunakan merek Gowes atau merek sendiri, yang dibubuhi dengan nama “Powered by Gowes.”

Adapun di dalam negeri, layanan Gowes telah tersedia di Jakarta dan Tangerang dengan tujuh titik, di antaranya Bintaro Cluster Discovery, Monas, Gelora Bung Karno, UI, NavaPark BSD dan sebagainya. Kota lainnya, tersedia di Bali (Kuta, Legian, Seminyak, Garuda Wisnu Kencana), Semarang (Simpang Lima), dan Bandung (Telkom University).

Dari seluruh lokasi tersebut, sambungnya, Gowes telah menjaring 130.103 pengguna sejak tahun lalu sampai sekarang. Lokasi terbaru yang diumumkan Gowesa adalah di Jalan Thamrin, Jakarta.

Menurut Iwan, ini adalah hasil dukungan dari Pemprov DKI Jakarta atas usulan dari Institute for Transportation & Development Policy (ITDP). Sekarang masih dalam tahap uji coba di sekitar pintu MRT Bundaran Hotel Indonesia untuk tahap sosialisasinya.

Perusahaan masih menunggu keputusan dari Pemprov DKI Jakarta untuk rencana jangka panjang layanannya di lokasi tersebut. “Antusiasme masyarakat cukup besar dan kami berharap dapat segera beroperasi penuh dalam waktu dekat.”

Mengenai inovasi berikutnya, Iwan enggan membeberkan lebih lanjut. Namun, menurutnya sebagai startup teknologi, mengedepankan inovasi selalu jadi hal utama.

“Saat ini Gowes sedang melakukan beberapa pengembangan. Tunggu tanggal mainnya,” pungkasnya.

Application Information Will Show Up Here

Bekraf Game Prime 2019 Siap Digelar, Beri Panggung Developer Game Lokal Unjuk Gigi

Bekraf Game Prime 2019 kembali digelar untuk keempat kalinya, tepatnya tanggal 13-14 Juli 2019 di Jakarta. Bekraf bekerja sama dengan Asosiasi Game Indonesia (AGI) dan portal berita esports GGWP.id dalam menggelar pameran game tahunan terbesar di Indonesia ini.

“Saat ini game bukan hanya sekadar hiburan, melainkan dapat menjadi alat edukasi, periklanan bahkan bisa memberikan kontribusi dalam ekonomi nasional. Selain itu, industri game telah menjadi salah satu profesi baru dengan jenjang karier yang jelas,” kata Deputi Infrastruktur Bekraf Hari Sungkari, Jumat (5/7).

Pihaknya telah menyiapkan 50 game developer dalam negeri yang sudah terkurasi untuk unjuk game terbaru mereka, sampai turnamen esports. Tak hanya buka booth, mereka akan berbagi pandangan terkait industri game serta jenjang kariernya di sana. Harapannya akan semakin banyak talenta muda yang tertarik terjun.

Menurut Presiden AGI Narenda Wicaksono, banyak developer lokal yang berbakat tapi jauh dari radar publikasi. “Semua game developer terbaik di sini akan berkumpul, mereka bisa saling berkolaborasi dan memperkenalkan produknya. Inginnya yang datang bisa terinspirasi untuk buat game,” katanya.

Game developer yang diajak Bekraf untuk unjuk gigi ini sekitar 10% di antaranya datang dari luar Jawa. Ini memperlihatkan bahwa game yang mereka hasilkan punya kualitas yang tidak kalah dengan game developer di dalam Jawa.

“Kami lakukan kurasi bukan dari lokasi tapi lihat kualitasnya. Ketika melihat hasilnya, ternyata ada partisipan dari luar Jawa yang masuk, ini artinya kualitas game di Indonesia sudah melebar,” tambah CEO GGWP.id Ricky Setiawan.

Selama dua hari, pengunjung akan disuguhkan dengan area khusus untuk bermain game VR dan AR. Di samping itu, juga disediakan berbagai macam board game hasil karya desainer lokal dan area dingdong untuk sekadar nostalgia game masa lalu.

Pengunjung bisa mencoba simulator balap Arcade Retro yang biasa digunakan pembalap profesional untuk latihan. Bagi para artist, baik itu komikus, ilustrator, dan artist game, disediakan area khusus untuk memamerkan koleksinya.

Hari menuturkan Bekraf menyiapkan penghargaan untuk game developer yang berprestasi selama beberapa tahun terakhir sebagai bentuk apresiasi. Bahkan berkesempatan untuk memamerkan karyanya di luar negeri.

Diprediksi jumlah kunjungan pada tahun ini dapat tembus antara 25 ribu sampai 30 ribu dari total pendaftaran yang masuk sekarang ada sekitar 19 ribu. Angka ini membludak dari gelaran di tahun sebelumnya sebanyak 16 ribu orang yang datang.

Sesi B2B ditiadakan

Satu hal yang paling mencolok dari BGP tahun ini adalah ditiadakannya sesi B2B. Padahal sebelumnya, secara rutin BGP punya dua konsep dengan target yang berbeda, untuk kalangan B2B dan B2C.

Sesi B2B ini memberikan kesempatan buat game developer untuk pitching di hadapan calon investor dan memberikan kesempatan bertukar pikiran dan membangun relasi untuk potensi kolaborasi jangka panjang.

Hari beralasan, sesi ini ditiadakan karena berkaca dari tahun lalu, realisasi investasi yang diberikan untuk game developer sangat minim. Investor lokal diasumsikan belum memiliki minat yang cukup untuk berinvestasi di segmen ini, beda halnya dengan investor di luar negeri.

Sebagai gantinya, Bekraf memutuskan untuk mengganti sesi B2B ini dengan mengajak developer pitching ke luar negeri.

“Dari segi ekosistem, investor lokal belum memiliki taste untuk berinvestasi ke perusahaan game. Justru [investor] lebih banyak datang dari luar negeri, makanya nanti mau kita ajak mereka ke sana.”

BGP tahun ini akan difokuskan untuk pemasaran produk game yang selama ini belum terlalu dikuasai oleh para developer. Kendati produk yang mereka hasilnya punya kualitas yang bagus, tapi banyak dari mereka yang belum tahu cara mengemasnya.


Disclosure: DailySocial adalah media partner Bekraf Game Prime 2019

Ovo Luncurkan “Smart Vending Machine” Ovo SmartCube

Perusahaan penyedia solusi pembayaran atau e-money Ovo meluncurkan Ovo SmartCube. Produk ini diklaim sebagai sebuah terobosan baru dalam wujud smart vending machine yang disebut mampu menghadirkan pengalaman terintegrasi baik bagi brand maupun pengguna.

Ovo SmartCube disebut sebagai smart vending machine pertama di Indonesia yang dilengkapi dengan kemampuan analisis data dengan menyuguhkan pengalaman digital interaktif sehingga mampu menyesuaikan produk dan layanan dengan kebutuhan dan kebiasaan pengguna. Saat ini Ovo SmartCube sudah tersedia di beberapa titik, seperti di Universitas Pelita Harapan dan Lippo Mall Puri, dan segera hadir di kota-kota besar lainnya tahun ini.

Inovasi terbaru Ovo ini dirancang untuk mampu mengevaluasi preferensi konsumen dengan memanfaatkan analitik data yang dapat menyediakan informasi secara instan, seperti kapan pembelian dilakukan, apa yang dibeli oleh pelanggan, sehingga bisa dimanfaatkan oleh brand mitra untuk memberikan penawaran-penawaran yang sesuai dengan target.

Smart vending machine ini nantinya juga akan menampilkan video iklan dari brand mitra untuk menawarkan produk mereka.

“Ovo SmartCube merupakan terobosan bagi brand untuk meningkatan interaksi dengan pelanggan mereka, sambil memberikan pengalaman berbelanja yang menarik, terutama dengan meningkatknya adopsi transaksi nontunai. Selain itu, Ovo SmartCube memungkinkan interaksi yang lebih bermakna antara brand dengan konsumen menyajikan pendekatan paling sesuai berdasarkan minat dan kebutuhan,” jelas Chief Data Officer Ovo Vira Shanty.

Application Information Will Show Up Here

 

Penikmat “Video Streaming” di Indonesia Tak Masalahkan Iklan

Era internet menghadirkan beragam cara baru bagi pengguna dalam mengakses hiburan. Salah satunya melalui layanan over-the-top (OTT) yang saat ini penetrasinya terus dimaksimalkan, baik oleh perusahaan lokal maupun global. Bentuk layanannya beragam, yang paling populer video on-demand (VOD), menyajikan tontonan gratis dan premium yang bisa dinikmati di berbagai perangkat.

Untuk memvalidasi kembali preferensi konsumen terhadap layanan OTT, Brightcove bekerja sama dengan Evergent dan SpotX melakukan riset bertajuk “The 2019 Asia OTT Research Report”. Indonesia menjadi satu dari 9 negara yang menjadi objek penelitian – karena dianggap cukup merepresentasikan karakteristik pangsa pasar di Asia; melibatkan sekitar 1000 responden.

Konten dan iklan

Terdapat beberapa temuan menarik yang didapat dalam survei, salah satunya mengenai alasan pengguna menggunakan lebih dari satu platform. Sebagian besar beralasan menginginkan konten yang lebih banyak dan konten yang lebih spesifik –biasanya layanan VOD punya konten khusus yang hanya tayang di platformnya.

Beberapa lainnya berpendapat, layanan OTT tergolong lebih hemat ketimbang opsi lainnya, misalnya televisi berbayar. Persentase tersebut nyaris mirip di banyak negara yang masuk dalam target survei.

Chart 1

Mekanisme pembayaran langganan juga menjadi bagian pertanyaan dalam survei. Untuk responden di Indonesia, 31% memilih mengakses konten gratis dengan banyak iklan dan 17% memilih membayar lebih murah kendati harus menyaksikan iklan dengan intensitas yang lebih kecil. Artinya pengguna tidak mempermasalahkan adanya sisipan iklan di tiap konten yang diputar, alih-alih melakukan upgrade untuk menghilangkannya.

Lantas bagaimana efektivitas iklan yang dibubuhkan pada konten VOD? Untuk pengguna di Indonesia 43% responden mengatakan mungkin mereka akan tertarik dengan merek tersebut. Sisanya 26% lainnya akan tertarik dan 19% mengaku tidak akan tertarik.

Terkait paket premium yang diminati pengguna, mengambil nilai rata-rata harga yang dianggap ideal antara Rp10.000-Rp50.000.

Menggaet pengguna baru lebih menantang

Dalam riset juga ditangkap tren terkait kemauan orang untuk berlangganan. Sebanyak 54% responden dari Indonesia yang pernah berlangganan VOD sebelumnya mengaku tertarik untuk berlangganan lagi untuk waktu mendatang. Sementara hanya 37% dari responden yang sebelumnya tidak pernah berlangganan yang menyatakan tertarik untuk mencoba berlangganan paket premium dari VOD.

Chart 2

Menurut pengguna, layanan OTT yang diharapkan mampu untuk menyajikan konten yang bisa dinikmati secara offline (39%), multi-perangkat (33%), dan tidak terlalu memakan banyak paket data ketika streaming (32%).

Layanan OTT favorit

Sebelumnya DailySocial pernah menerbitkan hasil riset bertajuk “Video on Demand Survey 2017“. Dari hasil survei yang dilakukan, ketahui Hooq (48,30%) menjadi layanan VOD yang paling banyak digunakan. Disusul Netflix (24,93%), Viu (25,02%) dan iFlix (24,35%).

Lalu di tahun 2018 DailySocial, juga merilis sebuah laporan terkait survei layanan OTT, khususnya untuk music streaming. Untuk layanan musik berlangganan, Joox (70,37%) jadi yang terfavorit. Disusul Spotify (47,70%), Langit Musik (28,51%) dan SoundCloud (19,75%).