Hadi Kuncoro Mundur dari aCommerce Indonesia, Kini Jadi CEO Feedr

CEO aCommerce Indonesia, Hadi Kuncoro, telah mundur dari jabatannya dan kini menjadi CEO perusahaan baru bernama Feedr. Perusahaan tersebut juga salah satunya bergerak di bidang logistik dan fulfillment untuk memfasilitasi bisnis dalam hype perdagangan digital saat ini.

Feedr memiliki misi utama untuk menghubungkan pedagang di Indonesia ke kanal distribusi melalui medium digital. Sistem yang disuguhkan mengintegrasikan layanan logistik dan pembayaran sekaligus dalam satu dashboard. Saat ini pihaknya mengklaim telah menjangkau di 9 negara dengan mengintegrasikan lebih dari 24 marketplace di wilayah tersebut.

Dalam menjalankan bisnisnya, Feedr bermitra dengan layanan pembayaran online iPaymu.

Untuk memudahkan bisnis dapat diakses oleh pembeli global, Feedr menyediakan beberapa kanal termasuk Channel Integration untuk membantu bisnis menyiapkan akun di marketplaace global sekaligus mengintegrasikan sistem pembayaran. Disediakan juga Sales Channel untuk operasional bisnis, dari pemrosesan pesanan hingga layanan pelanggan. Ada pula sistem logistik, fulfillment dan pemasaran.

Feedr ingin memberikan solusi end-to-end dengan mengakomodasi sistem pemasaran digital, konversi transaksi dengan COD dan solusi payment gateway dan logistik yang terintegrasi. Untuk merealisasikan misi tersebut, mereka telah menjalin beberapa kemitraan strategis dengan perusahaan logistik dan pembayaran digital.

Siasat aCommerce, Blanja, dan Pinjam Menjaga Retensi Karyawan

Karyawan itu adalah aset yang sangat berharga bagi perusahaan. Oleh karena itu, menjaga karyawan untuk tetap betah bekerja adalah suatu hal yang perlu diperhatikan oleh pemimpin perusahaan. Tidak perlu menyediakan fasilitas yang “wah” bila pembagian kerja dengan tim tidak jelas. Bukan juga memberikan fleksibilitas kerja, yang tanpa mempertimbangkan fasilitas tunjangan lainnya.

Sebenarnya, hal-hal apa saja yang perlu diperhatikan founder startup untuk menjaga karyawannya agar tetap betah? DailySocial merangkum hasil wawancara singkat dengan tiga founder startup dari aCommerce, Pinjam, dan Blanja. Berikut hasilnya:

Buat program pengembangan talenta terstruktur

Menurut CEO aCommerce Hadi Kuncoro, solusi yang dilakukan perusahaan untuk menjaga retensi karyawannya dengan fokus pada membangun budaya organisasi korporat dengan semangat “hybrid startup”. Ini diimplementasikan dalam program pengembangan talenta terstruktur untuk seluruh lapisan pekerjaan.

Agar karyawan tetap puas bekerja di aCommerce, pihaknya rutin mengadakan kegiatan mentoring dan konseling, serta melatih talenta jiwa kepemimpinan untuk seluruh divisi. Tujuannya agar tingkat kepuasan bekerja tetap tinggi.

Dari sisi penilaian kinerja, sambung Hadi, perusahaan menerapkan standar manajemen kinerja yang tepat. Untuk karyawan dengan kinerja terbaik, terbuka kesempatan baginya melanjutkan ke jenjang berikutnya.

“Dalam berkomunikasi, kami juga menerapkan sesi one-on-one untuk seluruh lapisan kerja. Ini penting untuk menjaga hubungan baik antara karyawan dengan atasannya,” terangnya.

Lakukan komunikasi terbuka

CEO Blanja Aulia E Marinto menjelaskan dirinya melakukan komunikasi terbuka dan konstruktif dengan tim. Aulia menyediakan waktunya untuk diakses oleh seluruh karyawannya, kapanpun mereka butuhkan.

Juga, ruang untuk melakukan “error” demi mendapatkan solusi dan keputusan bisnis terbaik dan pendekatan dari bawah ke atas terkait inovasi dan implementasi suatu ide.

“Ini adalah beberapa langkah konkret yang kami lakukan untuk membuat para talent terbaik ini betah, nyaman, dan selalu memiliki sense of belonging yang tinggi terhadap Blanja,” ucap Aulia.

Hal lainnya yang dilakukan adalah memberikan remunerasi yang kompetitif, ruang kerja yang nyaman, dan memfasilitasi berbagai macam kegiatan internal seperti olahraga dan kesenian. Tujuannya ingin membangun tim kerja yang solid, sekaligus memberikan “life balancing”.

Adapun tindakan yang menurut Aulia sebaiknya harus dihindari founder saat menjaga rentesi karyawan, adalah membuat keputusan yang jelas terhadap arah dan strategi perusahaan. Ini dikhawatirkan akan menggiring karyawan jadi tidak nyaman.

Beri tantangan dan tunjukkan apresiasi

Sedangkan menurut CEO dan Co-Founder Pinjam Teguh B Ariwibowo, karyawan terbaik itu sangat menyukai dengan hal baru sebagai peluang mereka untuk belajar dan mendapatkan apresiasi. Menurutnya, untuk menjaga kenyamanan karyawan, sebaiknya founder beri mereka tantangan dengan jabatan dan tanggung jawab.

Hal di atas dilakukan Pinjam Misalnya ada beberapa proyek yang diberikan langsung kepada mereka yang menjadi best performer. Ketika mereka berhasil melampaui dari tantangan yang diberikan, berilah suatu apresiasi secara personal.

“Kebiasaan di Pinjam, kami ambil dua sampai tiga orang dari divisi bisnis dan teknologi yang memang outstanding performer. Saya siapkan kadonya sendiri untuk mereka. Bentuk apresiasi lainnya, kami umumkan kinerja mereka di townhall meeting,” kata Teguh.

Sementara itu, untuk hal-hal yang sebaiknya tidak lakukan adalah founder terhadap karyawannya adalah sikap yang tidak profesional, terlalu cepat merespon terkait perubahan organisasi. Padahal, itu memerlukan pertimbangan yang matang karena berhubungan dengan organisasi, struktur, atau man power.

Layanan E-Commerce Khusus Lingerie Lolalola Resmi Tutup Layanan

Setelah menjalankan bisnisnya selama dua tahun, layanan fashion commerce yang secara khusus menghadirkan produk pakaian dalam wanita atau lingerie, Lolalola resmi menutup bisnisnya hari ini. Startup yang mendapat dukungan investasi dari Ardent Capital ini resmi meluncur di Indonesia pada bulan Maret 2015 setelah sebelumnya melakukan soft launching Agustus 2014 silam.

Ditutupnya layanan niche yang menyasar kalangan perempuan ini merupakan salah satu startup pertama yang secara resmi tidak lagi beroperasi di tanah air di awal tahun 2017. Lolalola merupakan salah satu startup pertama yang menghadirkan produk khusus pakaian dalam untuk perempuan, startup lain yang kemudian mencoba layanan serupa dan terbilang baru usianya adalah Asmaraku.

Sejak awal berdiri, Lolalola, yang juga mendapat dukungan fulfillment dan logistik dari aCommerce, telah melengkapi layanannya dengan pilihan pembayaran yang cukup beragam, yaitu pembayaran melalui kartu kredit hingga COD (Cash on Delivery). Pengiriman barang pun disanggupi bisa disebar di seluruh Indonesia.

Minat dari konsumen juga terlihat cukup antusias setelah melakukan proses uji coba. Kepada DailySocial CEO Lolalola Donna Lesmana mengungkapkan Lolalola ingin mengubah cara pelanggan di Indonesia berbelanja produk lingerie atau pakaian dalam.

Saat ini situs Lolalola masih bisa diakses namun tidak lagi menampilkan ragam produk pakaian dalam kepada konsumen. Dalam situs tersebut tertulis produk Lolalola masih dapat dibeli melalui akun media sosial seperti Instagram, Facebook Page, dan Line.

Kerasnya persaingan fashion commerce di Indonesia

Tutupnya layanan fashion commerce Lolalola menjadi bukti kerasnya persaingan layanan fashion commerce di Indonesia. Bukan hanya harus bersaing dengan penjual yang memanfaatkan media sosial seperti Instagram dan Facebook Page, Lolalola juga harus bersaing dengan marketplacce raksasa seperti Tokopedia, elevenia hingga Lazada yang juga memiliki kanal khusus untuk produk pakaian dalam wanita.

Meskipun mengklaim memiliki produk yang unik dan menarik, jika tidak dibarengi strategi pemasaran dan akuisisi pelanggan yang cukup masif akan sulit mencapai kondisi sustainable, seperti yang dialami Lolalola.

aCommerce Indonesia Tunjuk COO dan CCO Baru

Perusahaan e-commerce enabler aCommerce Indonesia hari ini mengumumkan dua orang baru di jajaran manajemen, yaitu Chief Operating Officer (COO) Mustofa Kamal Hamka dan Chief Commercial Officer (CCO) Donny Wardhana. Bergabungnya dua pimpinan baru di organisasi aCommerce Indonesia diharapkan bisa mewujudkan rencana aCommerce sebagai end-to-end e-commerce enabler dan menjadi operating system untuk commerce di Asia Tenggara pada tahun 2020.

Memiliki pengalaman dan wawasan yang tepat untuk aCommerce

Dipilihnya Mustofa Kamal Hamka sebagai COO baru aCommerce Indonesia berdasarkan pengalaman yang telah dimiliki sebelumnya yaitu bekerja di perusahaan ternama seperti, MAP, Metrox, LION, Lazada, dan terakhir menjabat sebagai CEO di etobee sebelum bergabung bersama aCommerce. Nantinya Kamal akan bertanggung jawab terhadap Operations, Distribusi, Cross-order dan layanan pelanggan.

“Saya melihat peluang yang besar bagi aCommerce untuk semakin mengembangkan bisnis dan posisinya di pasar, terlebih dengan komitmen yang diberikan oleh seluruh tim manajemen lokal dan regional untuk menjadi pemain terbaik di Asia Tenggara,” kata Kamal dalam siaran pers yang dikirimkan hari ini.

Saat ini aCommerce sedang memfokuskan kepada otomasi dan optimisasi menyeluruh untuk semakin mengurangi proses manual dan meningkatkan produktivitas dan efisiensi cost. Disisi lain posisi Kamal nantinya juga dituntut untuk menciptakan komunikasi yang transparan antar tim dan people development.

Sementara itu direkrutnya Donny Wardhana sebagai CCO berdasarkan pengalaman terdahulu yang telah dimiliki yaitu bekerja di perusahaan logistik ternama seperti DHL, TNT, UPS, JNE, dan terakhir sebagai Direktur di Quantum Solutions Logistics Indonesia.

“Saat ini aCommerce merupakan pemimpin di industrinya, terutama di Indonesia, dan sangat memungkinkan bagi perusahaan ini untuk scale up lebih cepat mengingat besarnya potensi pasar e-commerce Indonesia yang masih belum kita kembangkan dengan maksimal. I want to be a part of the winning team,” ujar Donny.

Sebagai CCO, Donny memegang peranan kunci untuk mengembangkan bisnis dan portfolio aCommerce di Indonesia dengan memimpin tim Business Development dan memfokuskan Segmen B2B (Business to Business) dan B2E (Business to Employee).

CEO aCommerce Indonesia Hadi Kuncoro menyambut baik kehadiran dua jajaran manajemen baru yang nantinya bakal memperkuat rencana-rencana terdekat aCommerce dapat dieksekusi dan dikelola semakin maksimal.

“Dari Desember 2016 hingga Januari 2017 nanti kami akan meluncurkan beberapa brand e-commerce site dan akan ada produk/jasa baru yang hadir di kuartal pertama 2017,” kata Hadi.

Kemunculan Chatbot: Membidik Tren Chat Commerce di Asia Tenggara

Uji coba sistem pembayaran melalui messenger yang dilakukan Facebook di Thailand menandakan semakin bertumbuhnya potensi social commerce di Asia Tenggara. Seiring dengan dominasi messaging sebagai bentuk interaksi sosial, tidak mengherankan apabila bisnis juga mulai beralih ke platform ini untuk memberi informasi, memahami, dan berjualan kepada pelanggan mereka. Tahap berikutnya dari revolusi teknologi ini jelas: robot otomatis yang bisa berinteraksi dengan pelanggan untuk mendorong dan memfasilitasi penjualan, menirukan percakapan manusia dan melakukan tugas berulang-ulang.

Butuh bantuan untuk menemukan sepatu yang cocok dengan sebuah pakaian? Bayangkan bisa mengetik “sepatu apa yang cocok dengan pakaian ini?” diikuti dengan foto pakaian yang Anda kenakan, dan hanya tinggal menunggu algoritma yang bisa langsung menganalisis dan memberikan tiga pilihan berbeda sesuai dengan kriteria Anda. Bayangkan bisa menyelesaikan pembelian Anda tanpa harus meninggalkan aplikasi messaging tersebut. Bisnis menyediakan pelanggan sebuah layanan yang nyaman, hemat waktu, dan mudah digunakan. Win win.

Di mana posisi chatbot saat ini?

Ada banyak tipe chatbot di lingkungan ecommerce saat ini yang dibuat untuk melayani kebutuhan yang berbeda seperti; menjawab pertanyaan pelanggan, menyediakan rekomendasi produk, dan menyederhanakan proses pembelian. Di bawah ini adalah beberapa contoh yang tersedia saat ini:

Facebook Messenger
Saat Facebook mengumumkan integrasi kemampuan ecommerce ke dalam aplikasi messenger populer mereka pada konferensi developer F8 di bulan April lalu, CEO Mark Zuckerberg mendemonstrasikan bagaimana mudah dan cepatnya proses mengirimkan bunga. Menggunakan 1-800-Flowers, pengguna diberikan saran memilih bunga untuk berbagai macam acara (“Terima Kasih”, “Ulang Tahun” dan “Cinta dan Romantis”), dan semua detail didapatkan langsung melalui tampilan chat.

Contoh tampilan bot Facebook
Contoh tampilan bot Facebook

Banyak bisnis sudah menginvestasikan nominal yang besar dari anggaran marketing mereka untuk memiliki halaman Facebook yang engaging dan personal untuk melengkapi brand mereka dan mendorong trafik ke website. Ini juga merupakan transisi yang logis bagi mereka bagi mereka untuk juga mengadopsi chatbot dalam aplikasi native messaging milik Facebook.

Kik
Kik adalah platform sosial media lainnya yang telah menjadi semakin populer di AS dengan lebih dari 270 juta pengguna. Layanan chatbot-nya telah menarik perhatian banyak perusahaan terkenal – salah satunya adalah makeup retailer, Sephora. Layanan chatbot mereka tidak saja menyediakan metode bagi pengguna untuk berbelanja produk, tetapi juga memungkinkan mereka untuk bertanya apapun tentang kecantikan, ulasan makeup, rekomendasi produk, dan tips. Interaksi ini juga dihiasi oleh emoji yang membuat balasan otomatisnya terlihat seperti dilakukan oleh perwakilan manusia sebuah brand.

Chatbot Sephora di Kik. [Sumber]
Chatbot Sephora di Kik. [Sumber]
WeChat
Dengan lebih dari 760 juta pengguna aktif bulanan, WeChat telah memposisikan dirinya sebagai aplikasi messaging yang dominan di Cina. Namun, fitur-fitur yang tersedia dalam WeChat telah jauh melampaui chatting. Tanpa harus meninggalkan aplikasi, beberapa hal yang bisa dilakukan pengguna adalah; memesan makanan, memesan taksi, membuat janji dengan dokter, mengikuti akun brand favorit mereka dan membayar tagihan. Melalui WeChat, Nike menciptakan chatbot yang menyediakan berita dan update perusahaan kepada penggemar, serta secara konsisten berkomunikasi dengan pengguna.

Chatbot Nike di WeChat [Sumber]
Chatbot Nike di WeChat [Sumber]

Mengapa chatbot? Mengapa sekarang?

Pertumbuhan Penetrasi Internet
Faktor utama yang mendorong ecommerce dan revolusi chatbot di Asia Tenggara adalah pertumbuhan jumlah orang yang menggunakan internet. Pengguna internet yang berjumlah 199 juta di tahun 2014 diprediksi akan meningkat menjadi 294 juta pengguna pada 2017. Dari 150 juta konsumen digital yang mencari produk secara online, dua pertiga dari mereka akan melanjutkan melakukan pembelian di sana.

Penetrasi pengguna internet di beberapa negara Asia Tenggara [Frost & Sullivan]
Penetrasi pengguna internet di beberapa negara Asia Tenggara [Frost & Sullivan]
Mobile adalah Raja
Bagi para pengguna, metode tradisional ecommerce – membuka browser, menavigasi melalui banyaknya halaman dan barang, dan memilih detail barang untuk check out – terasa membosankan dan tidak alami di mobile karena ukuran layarnya yang kecil dan kemampuan multitask yang terbatas. Bisnis perlu mencari solusi alternatif yang bisa memastikan bahwa proses pembelian bisa dilakukan sesederhana mungkin di perangkat seperti ini. Tampilan chatbot memanfaatkan prilaku pengguna yang telah mengadopsi telepon seluler: melakukan percakapan, di mana saja, kapan saja.

Penetrasi pengguna smartphone di beberapa negara Asia Tenggara [Frost & Sullivan]
Penetrasi pengguna smartphone di beberapa negara Asia Tenggara [Frost & Sullivan]
Pertempuran Aplikasi
Berkat pengenalan iPhone pada tahun 2007 lalu, aplikasi memainkan peran besar dalam membentuk teknologi serta berkontribusi terhadap ketergantungan kita pada ponsel. Yang kemudian menjadi masalah adalah konsumen tidak lagi ingin mencoba aplikasi baru dan menyadari bahwa mereka tidak memerlukan begitu banyak aplikasi.

Bukan saja memerlukan biaya yang mahal untuk membangunnya, memerlukan biaya mulai dari $50.000 sampai $1.000.000, namun juga diperlukan investasi untuk memasarkan aplikasi tersebut dan membuat pengguna mau mengunduh dan menggunakan aplikasi tersebut secara teratur. Dengan kejenuhan aplikasi baik pada iOS maupun Android serta terbatasnya aplikasi alat pencarian, semakin sulit pula bagi para pemain baru untuk muncul ke permukaan.

Pengguna smartphone menghabiskan kebanyakan waktunya di satu aplikasi, yang berarti, sebagai bisnis, di sanalah Anda harus berada.

Messaging: Sebuah platform baru
Membuat chatbot di dalam sebuah aplikasi messaging menjadi menarik karena sudah ada pihak lain yang melakukan sebagian besar dari kerja kerasnya untuk Anda. Di Asia Tenggara, ada lebih dari 73 juta orang yang menggunakan aplikasi LINE. Chatbot yang terintegrasi memberikan bisnis kesempatan untuk langsung menjangkau jumlah pengguna yang besar ini tanpa memaksa pelanggan potensial untuk mengunduh aplikasi lain lagi.

“Messaging apps are the platforms of the future, and bots will be how their users access all sorts of services.” — Peter Rojas, Entrepreneur in Residence at Betaworks

“Aplikasi messaging adalah platform yang akan digunakan di masa depan dan bot akan menjadi cara penggunanya mengakses semua layanan yang ada.” – Peter Rojas, Pengusaha di Betaworks

Lebih lanjut lagi, perusahaan-perusahaan ini juga menyediakan developer API sehingga lebih mudah bagi para perusahaan untuk membuat bot mereka sendiri karena kebanyakan tidak memiliki kemampuan teknis atau sumber daya yang dibutuhkan untuk membangun chatbot cerdas dari awal. Sebagai gantinya, platform ini dipenuhi dengan data pelanggan; mimpi bagi semua marketer.

Dengan keserbagunaan yang jelas terlihat melalui iklan Facebook yang memungkinkan perusahaan untuk menargetkan penerimanya berdasarkan apa pun, mulai dari lokasi hingga ke minat, bayangkan tingkat personalisasi dan segmentasi yang bisa dimungkinkan melalui ekstensi Messenger mereka.

Membangun masyarakat social commerce
Ekonomi Asia Tenggara sudah sangat terlibat dalam sosial commerce, marketplace yang dibangun dalam dinding-dinding media sosial. Menurut sebuah studi dari Bain & Company yang dirilis tahun ini, lebih dari 80% dari konsumen digital menggunakan media sosial atau aplikasi messaging untuk meneliti produk dan berhubungan dengan penjual. Selain itu, penjualan sosial menyumbang hingga 30% dari keseluruhan transaksi online.

Thailand memiliki pasar C2C terbesar di dunia dengan lebih dari 50% responden penelitian mengatakan bahwa mereka membeli barang-barang yang melalui jaringan sosial seperti Facebook dan Instagram.

Keajaiban chatbots adalah bahwa mereka mampu meniru esensi percakapan perdagangan. Diatur dalam tampilan yang sama, pengguna dapat berbicara dengan bot dengan cara yang sama dengan ketika mereka berbicara dengan penjual manusia melalui serangkaian pertanyaan dan jawaban. Dalam situasi seperti ini, algoritmanya bahkan bisa diciptakan untuk mensimulasi dialog tawar menawar yang terjadi dalam transaksi sehari-hari.

Jalan Masih Panjang

Melalui chatbots, bisnis memiliki kesempatan untuk memulai pembicaraan langsung dengan target konsumer mereka dengan sangat personal. Interaksi brand-to-customer adalah sesuatu yang belum pernah benar-benar scalable sampai sekarang. Meskipun chatbot tidak dapat menggantikan tampilan dengan beragam fitur seperti yang disediakan oleh sebuah situs web, mereka menjembatani kesenjangan antara fungsionalitas dan kenyamanan.

“Every brand is going to move into the mobile commerce space very quickly. In the next years, we will probably see 20-30% of the big brands having their own bots in chat apps, starting with Facebook’s messenger platform.” —  Pat Wattanavinit, Product Manager at aCommerce

“Setiap brand akan pindah ke ruang mobile commerce dalam waktu yang singkat. Kita akan melihat 20-30% brand besar akan memiliki bot-nya sendiri di berbagai aplikasi chat, di mulai dari platform Messenger milik Facebook.” – Pat Wattanavinit, Product Manager di aCommerce

Keadaan fungsi chatbot saat ini masih cukup linear dan kaku, terlalu dini bagi perusahaan untuk benar-benar menggantikan customer representatives mereka. Beberapa pengguna melaporkan bahwa percakapan yang terjadi saat ini memfrustasikan dan lambat karena pemahaman dan kemampuan bot yang terbatas, bayangkan ini seperti interaksi Anda dengan Siri.

Chatbot tidak akan benar-benar menjadi sangat berharga dan memuaskan sampai AI (artificial intelligence) mampu mencapai tingkat pemahaman manusia, namun hal itu adalah sebuah cerita yang berbeda.


Disclosure: Tulisan ini dibuat Shirley Liu & Alexandre Henry dan disadur oleh Rara Kinasih setelah melalui penyuntingan. Artikel aslinya bisa diakses di sini.

Artikel ini adalah hasil kerja sama DailySocial dan eCommerceIQ.

Telco dan E-commerce, Definisi Baru Telecommerce di Indonesia

Sebagai negara mobile-first dengan jumlah pengguna koneksi mobile lebih banyak dibanding penduduknya, 326 juta pengguna vs. 255 juta penduduk, para penyedia telekomunikasi Indonesia sedang berada di posisi terbaik untuk membentuk masa depan e-commerce dan mobile commerce di Indonesia.

Namun meski sektor telekomunikasi menyumbang 3,14% dari total GDP di Indonesia pada tahun 2014, menempatkan pasar mobile di Indonesia sebagai yang terbesar keempat dan masuk ke dalam 10 besar pasar 3G, bagaimanakah posisi raksasa telekomunikasi  di tengah maraknya belanja online di kawasan ini?

Kondisi masyarakat digital Indonesia 2016
Kondisi masyarakat digital Indonesia 2016

Dari telekomunikasi ke ‘telecommerce’

Secara tradisional, perusahaan telco dulunya adalah satu dari sedikit pihak yang memiliki akses langsung ke pelanggan. Namun seiring dengan booming-nya e-commerce, hal ini perlahan berubah. Sektor telekomunikasi di Indonesia didominasi oleh tiga pemain besar; Telkom, Indosat Ooredoo dan XL Axiata, yang meraup 80% dari total market share di Indonesia.

Tiga perusahaan ini pun tidak melewatkan kesempatan untuk membantu membangun sektor e-commerce di nusantara, baik melalui investasi ataupun strategic partnership. Di bawah ini adalah snapshot landscape perusahaan telco di Indonesia dan partisipasi mereka dalam membangun perusahaan telecommerce.

Telkom x eBay: Blanja.com

Dimiliki negara sebesar 52.6%, Telkom memiliki jaringan dan merupakan penyedia layanan telekomunikasi terbesar di Indonesia. Telkomsel, subsidiary untuk penyedia layanan mobile, memiliki kontrol sebesar 46% dari total market share di Indonesia dengan lebih dari 152 juta pengguna.

Sejak tahun 2009, perusahaan ini telah menjelajah ke ruang e-commerce lokal dengan menginvestasikan $5 juta di sebuah perusahaan e-commerce bernama Plasa.com. Plasa.com kemudian berubah menjadi proyek di bawah MetraPlasa dan merger dengan Blanja.com, sebuah usaha bersama dari Telkom dan eBay yang diluncurkan pada tahun 2012.

Setelah kerjasama terjalin, eBay menyuntikkan dana sebesar $9.2 juta ke marketplace ini, memberikan eBay kepemilikan sebesar 49% dan 51% untuk Telkom. Sebagai tambahan, partnership ini juga mengizinkan merchant di Blanja bisa dengan mudah memasarkan produk mereka dalam skala global dan dengan harga yang lebih murah melalui koneksi eBay.

Sebagai tanda dari komitmen mereka untuk berpartisipasi di industri ini, bulan April lalu Telkom melalui subsidiary-nya, TelkomMetra, dan eBay menginvestasikan dana segar  sebesar $25 juta ke Blanja. Pendanaan ini akan dipimpin oleh Telkom yang akan berkontribusi sebesar 60% atau sekitar $15 juta. Blanja telah mencatatkan nilai transaksi sebesar $35 juta pada tahun 2015 dan saat ini ada di peringkat #198 untuk web traffic di Indonesia berdasarkan data dari SimilarWeb. Blanja saat ini dipimpin oleh CEO Aulio Marinto.

Namun demikian, bahkan dengan segala sumber daya tersebut di jangkauan mereka, pertumbuhan situs marketplace ini masih tertinggal jika dibandingkan dengan kompetitornya seperti Tokopedia dan Lazada. Hal ini diperkirakan juga disebabkan oleh pembatasan yang ditetapkan untuk para vendornya seperti keharusan memiliki izin resmi pemerintah untuk mendaftar di website dan larangan menjual barang second-hand.

Indosat Ooredoo: Cipika Store

Perusahaan telekomunikasi terbesar kedua di Indonesia ini memiliki 69.8 juta pengguna dalam database nya. Berdiri sebagai perusahaan milik negara, Indosat diakuisisi oleh perusahaan telekomunikasi asal Qatar, Ooredoo Group, pada tahun 2009 dan kemudian berubah nama menjadi Indosat Ooredoo pada tahun 2015. Saat ini pemerintah hanya memegang 14.29% saham di Indosat. Awal tahun ini, perusahaan ini juga mengumumkan kemitraan dengan IBM untuk mengembangkan dan memberikan solusi pada platform IBM, Bluemix.

Melalui anak perusahaannya, IM2, Indosat pernah meluncurkan sebuah marketplace yang disebut TokoOn pada tahun 2012. Di tahun 2014, marketplace ini kemudian berpindah ke sebuah platform e-commerce dengan nama baru, Cipika Store, yang menjual kuliner dan kerajinan lokal Indonesia. Sejak itu, beberapa kategori baru juga telah ditambahkan di marketplace ini; gaya hidup, gadget, rumah dan hiburan, buku, dan permainan. Platform ini juga memungkinkan orang untuk membeli produk grosir dengan harga lebih murah.

Situs ini berada di peringkat #4166 di Indonesia berdasarkan data SimilarWeb, tertinggal jauh dengan dua perusahaan “telecommerce” lainnya. Meskipun tidak menjual produk yang sama persis, situs ini menghadapi persaingan dari Qlapa dan KedaiKuka dalam kategori produk lokal Indonesia dan pemain seperti Lazada dan Tokopedia dalam kategori lain.

XL Axiata x SK Planet: Elevenia

XL adalah perusahaan swasta pertama di Indonesia yang menyediakan layanan telepon seluler yang awalnya merupakan sebuah perusahaan perdagangan dan jasa umum. Pada tahun 2009 perusahaan ini dibeli oleh Axiata Group dan sejak saat itu berganti nama dan logo menjadi XL Axiata. Per Maret 2016 XL Axiata memiliki 42.5 juta pengguna, turun 19% dari 52.1 juta pengguna pada Maret 2015.

Pada tahun 2013, Elevenia diluncurkan sebagai perusahaan patungan antara XL Axiata dan SK Planet, operator telekomunikasi Korea. Investasi awal yang dilakukan adalah $18.3 juta, dengan kedua perusahaan berbagi kepemilikan fifty-fifty. Dipimpin oleh James Lee sebagai CEO, total investasi yang telah dikantongi oleh marketplace ini sampai saat ini adalah $110 juta, menempatkannya sebagai salah satu dari lima startups paling didanai di Indonesia.

Sejak awal keberadaannya hampir tiga tahun yang lalu, Elevenia telah berusaha untuk membedakan dirinya dari marketplace yang lain dengan sistem poin dan rewards untuk penjual dan pembelinya. Penjual dapat menggunakan poin yang dikumpulkan untuk meningkatkan penjualan mereka dengan hal-hal seperti penempatan iklan dan memberikan diskon untuk pembeli. Elevenia juga menyediakan fasilitas edukasi untuk penjual di seksi ‘Seller Zone’ mereka.

Dibandingkan dengan perusahaan “telecommerce” yang disebutkan di atas, Elevenia memiliki kinerja terbaik sejauh ini dengan pendapatan sebesar $95 juta (1.3 triliun IDR) di tahun 2015. Situs ini ada di peringkat #21 di Indonesia dan mereka memproyeksikan potensi pertumbuhan penjualan lima kali lipat di tahun 2016.

Statistik perusahaan telecommerce di Indonesia
Statistik perusahaan telecommerce di Indonesia

Membangun ekosistem

Masuk ke ranah e-commerce hanyalah satu cara bagi para perusahaan telekomunikasi ini untuk memaksimalkan penggunaan sumber daya yang ada di ujung jari mereka. Terbukti bahwa memiliki akses langsung ke pengguna tidak cukup untuk memastikan keberhasilan mereka dalam dunia ritel online.

Telco perlu memanfaatkan jaringan mereka lebih lagi untuk meningkatkan keberhasilan bisnis e-commerce mereka. Kabar terbaru tentang partisipasi MDI, modal ventura milik Telkom, dalam pendanaan terbaru bagi e-commerce-enabler aCommerce adalah salah satu cara membangun ekosistem e-commerce yang berkelanjutan.

Masih banyak perubahan yang perlu dilaksanakan agar peralihan ke  ‘telecommerce’ dapat berhasil. Mengingat pasar yang ditargetkan Cipika Store adalah niche, akan sulit untuk memperbesar bisnis (scale up) tanpa menghabiskan banyak uang untuk mendapatkan lebih banyak pengguna. Pembatasan yang dilakukan karena asosiasinya dengan pihak pemerintah menjadi salah satu alasan pertumbuhan Blanja tidak optimal, meskipun Telkom memiliki lebih dari tiga kali lipat pengguna dibanding XL Axiata. XL Axiata sementara itu memiliki portofolio e-commerce yang paling sukses dari tiga e-commerce di atas, kemungkinan karena nilai unik yang ditawarkan marketplace ini kepada para penjual maupun pelanggannya.

E-commerce di Indonesia masih berada pada tahap awal dari sebuah “lomba marathon” yang panjang, dan meskipun sekarang berposisi di belakang pemain besar seperti Lazada dan Tokopedia, masih banyak putaran selanjutnya bagi perusahaan-perusahaan ini untuk meningkatkan posisi mereka sebelum mencapai garis finish.


Disclosure: Tulisan ini dibuat oleh Rara Kinasih setelah melalui penyuntingan. Artikel aslinya bisa diakses di sini.

Artikel ini adalah hasil kerja sama DailySocial dan eCommerceIQ.

Evolusi Model Bisnis E-commerce di Asia Tenggara

Sebagai pendatang baru, e-commerce di Asia Tenggara memiliki keuntungan untuk belajar dari kesalahan-kesalahan yang telah terjadi di pasar e-commerce yang lebih berkembang seperti AS dan Tiongkok. Kita sudah melewati lebih dari 20 tahun setelah Amazon (1994) dan eBay (1995) didirikan. Jack Ma memulai Alibaba di apartemennya di Hangzhou pada 1999, persis sebelum era internet 1.0 berakhir.

Banyak hal yang telah terjadi di industri e-commerce global sejak itu, termasuk pergerakan yang perlahan tapi pasti dari Amazon, naik dan turunnya kehadiran situs daily deals dan flash sale, serta IPO Alibaba yang menakjubkan di tahun 2015. Lalu apa yang akan terjadi selanjutnya? Ulasan sejarah ini menciptakan dua kerangka; Siklus Kehidupan E-commerce dan E-commerce 1.0/2.0, untuk membantu memprediksi kesempatan bagi e-commerce di Asia Tenggara di masa depan.

(1) Siklus Hidup E-commerce – Bagaimana Model E-commerce Berevolusi dari Waktu ke Waktu

Ada pola berbeda yang telah muncul dari evolusi pasar e-commerce yang lebih dewasa yang menawarkan sejumlah perkiraan bagi e-commerce di Asia Tenggara. Hal ini mengikuti perkembangan dari Iklan Baris dan C2C ke B2C hingga kemudian Brand.com. AS memulai dari Craiglist, eBay dan Amazon ke situs brand seperti Nike, J.Crew dan Gap. Tiongkok memulai dari Taobao, Tmall dan JD hingga ke banyak situs brand dan marketplace seperti Estée Lauder, Burberry dan Coach.

Asia Tenggara saat ini mengikuti pola yang serupa namun dengan langkah yang lebih cepat karena “1 to n,” kemajuan horisontal, dan hasil dari prilaku leapfrogging. Di Asia Tenggara, kita memiliki Iklan Baris (OLX), C2C (Tarad, Tokopedia, Shopee), B2C (Lazada, Zalora, MatahariMall) dan Brand.com (L’Oreal, Estée Lauder, Adidas) semua terjadi bersamaan dalam rentang waktu yang sangat singkat.

E-Commerce Lifecycle Model
E-Commerce Lifecycle Model

Ciri khas lokal memberikan jalan bagi model bisnis e-commerce unik

eBay hanya bisa diciptakan di AS karena model lelangnya cocok bagi budaya konsumerisme yang ditandai oleh barang yang berlebihan dan banyaknya pengkolektor (contohnya kolektor kartu baseball dan Pez dispenser). Di sisi lain, eBay tidak berhasil di Tiongkok karena banyak alasan, salah satunya karena model lelang tidak menarik bagi pengguna di Tiongkok yang lebih suka membeli barang baru dan bernegosiasi secara langsung via chat.

Model B2B2C Tmall berasal dari Tiongkok karena bentuknya yang seperti bazaar, situasi belanja yang hiruk-pikuk yang sudah biasa dialami oleh orang Tiongkok di dunia offline mereka.

Asia Tenggara adalah hybrid dari AS dan Tiongkok

Lazada, platform e-commerce yang dominan di Asia Tenggara, adalah gabungan dari Amazon dan Tmall. Didirikan pada tahun 2011 oleh Rocket Internet sebagai “Amazon dari Asia Tenggara”, Lazada saat ini mendapatkan 70% GMV (Gross Merchandise Value)-nya dari pihak ketiga, transaksi marketplace, dengan sisa 30% didapatkan dari ritel “tradisional” langsung ala Amazon. Setelah akuisisi Alibaba, besar kemungkinan bahwa Lazada akan mengikuti model Tmall dan bergerak sebagai 100% marketplace dengan segala keuntungan scaling yang terkait dengan model ini.

Bandingkan ini dengan Amazon, yang secara tradisional dulunya 100% bergerak di model retail langsung namun kini beralih ke model marketplace. Saat ini, Amazon mendapatkan 59% GMV-nya dari B2B2C.

B2B, B2B2C, dan Brand.com terjadi secara bersamaan

Di Cina, brand berproses dari berjualan di Tmall sebagai batu loncatan untuk kemudian mengoperasikan situs brand.com mereka sendiri. Salah satu contohnya adalah Uniqlo yang memulai berjualan melalui toko flagship Tmall lalu kemudian menambah webstore brand.com mereka sendiri.

Di Asia Tenggara, kita melihat banyak brand melakukan kedua hal tersebut dalam waktu yang bersamaan, berjualan melalui Lazada dan juga toko brand.com mereka sendiri, sebagai tambahan dari pendistribusian melalui e-tailor seperti Central Online dan MAP. Hal ini didorong oleh teknologi yang membuat brand semakin mudah untuk berjualan melalui channel yang berbeda-beda namun juga seolah menjadi keharusan karena fragmentasi yang tinggi di pasar e-commerce saat ini. Konsolidasi diprediksi akan terjadi secepatnya.

Asia Tenggara adalah mobile-first, C2C e-commerce beralih langsung ke mobile marketplace

Jika di pasar e-commerce yang sudah matang, C2C melalui desktop masih memainkan peran yang sangat penting, di Asia Tenggara loncatan ke mobile mengacaukan marketplace desktop-first tradisional. Mobile-only C2C marketplace seperti Carousell dan Shopee sedang membuat gerakan agresif melawan rival desktop mereka yang telah muncul terlebih dahulu seperti Tarad di Thailand dan Tokopedia di Indonesia.

Dengan estimasi 85% dan 79% dari transaksi belanja online di luar area metro besar di Thailand dan Indonesia terjadi di mobile, tidak mengherankan apabila perusahaan seperti Facebook juga bertaruh pada C2C mobile. Raksasa iklan ini baru saja meluncurkan pembayaran mobile di Thailand di mana 50% dari transaksi C2C diestimasi terjadi di jaringan sosial.

(2) E-commerce 1.0 ke E-commerce 2.0: Empat Strategi untuk Menghindari ‘Pertumpahan Darah’ E-commerce di Asia Tenggara

Asia Tenggara adalah e-commerce goldrush yang selanjutnya. Karena alasan ini juga, di kawasan ini terjadi pertarungan e-commerce yang sengit. Kita telah melihat banyak korban, terutama di ruang B2C yang menjual brand pihak ketiga. Seperti yang telah kami perkirakan sebelumnya, Zalora yang didirikan oleh Rocket Internet harus menjual operasi mereka di Thailand dan Vietnam kepada retailer lokal Central Group.

Di tahun ini pula, Cdiscount Thailand, bagian dari konglomerat ritel asal Prancis, Groupe Casino, terjual sebesar $31.5 juta (28 juta EUR) kepada TCC, perusahaan lokal asal Thailand yang juga memiliki brand bir populer, Chang.

E-commerce 1.0: Menjual barang orang lain ke publik dengan margin rendah

E-commerce guru Andy Dunn mengadopsi sebuah strategi yang membuat bisnisnya memiliki kesempatan bersaing dengan Amazon di pertarungan di AS.

“If you’re selling other people’s brands, you are competing not via a local group of competitors but with everyone. In this type of market, you might imagine having one large national winner. You might imagine that winner is ruthless about scale and cost, and is run by a visionary leader who with an extreme long-term focus. Such a company might not make real money for a long time — but when it does — it will be incredibly powerful.”

“Jika Anda menjual merek milik orang lain, bukan saja Anda berkompetisi dengan satu grup kompetitor lokal namun juga semua orang. Pada tipe pasar seperti ini, Anda bisa membayangkan munculnya satu pemenang di skala nasional. Anda bisa membayangkan pemenang tersebut tidak peduli tentang skala dan uang (yang dikeluarkan) dan dijalankan oleh seorang pemimpin yang memiliki fokus jangka panjang. Perusahaan seperti itu mungkin tidak menghasilkan uang dalam waktu yang lama namun saat mereka melakukannya mereka akan menjadi sangat kuat.”

Dengan masuknya Alibaba di wilayah ini melalui akuisisi Lazada senilai $1 miliar, ‘Alizada’ semakin nampak sebagai ancaman besar bagi para retailer lainnya di pasar ini, baik di ruang pemain e-commerce murni atau pun omni-channel. Pertarungan ini akan semakin intensif dan semakin banyak konsolidasi akan terjadi di beberapa tahun mendatang.

Saat ini, belum ada pemain B2C atau e-commerce 1.0 di ASEAN yang mendominasi market share.

Perlu diakui bahwa Lazada memiliki awal yang bagus dengan dugaan 20% market share di tahun 2014, namun angka ini masih sedikit bila dibandingkan dengan Amazon yang mendominasi 60% di AS, atau Tmall dengan 50.6% dan JD dengan 51.9% (pasar ritel langsung B2C) di Tiongkok.

Raksasa e-commerce 1.0
Raksasa e-commerce 1.0

Selama lima hingga enam tahun ke depan, B2C di Asia Tenggara akan melalui konsolidasi lebih lanjut yang bisa berakhir dengan satu sampai dua pemain.

Tidak ada cara yang lebih baik untuk memvisualisasikan konsolidasi terus-menerus di E-commerce 1.0 selain dengan data ‘search interest’ di Google Trends. Grafik untuk Thailand menunjukan naik turunnya desktop C2C dan daily deals, fragmentasi di kategori B2C dan kenaikan pesat Lazada.

Pencarian Google menunjukkan konsolidasi E-commerce 1.0
Pencarian Google menunjukkan konsolidasi E-commerce 1.0

Di sinilah semuanya menjadi menarik. Di mana E-commerce 1.0 adalah sebuah permainan “fisik” yang murni mengandalkan kekuatan, E-commerce 2.0 mengeksploitasi celah 1.0 dengan banyak cara kreatif untuk menghindari permainan zero-sum melawan pemain seperti ‘Alizada’.

“This next generation of e-commerce companies is as much about what you exclude as what you include. It is a paradox that excluding some things takes more time than including everything. The new models are fundamentally — whether the merchandise is proprietary or not — about merchandising.” — Andy Dunn on E-commerce 2.0

“Generasi perusahaan e-commerce saat ini adalah tentang apa yang kecualikan dan anda sertakan. Sebuah paradoks dimana mengecualikan beberapa hal memakan lebih banyak waktu dibanding menyertakan semuanya. Model-model baru yang ada secara fundamental baik produk hak milik atau bukan adalah tentang mendagangkannya.” Andy Dunn tentang E-commerce 2.0.

Konsep E-commerce 2.0 dan 4 strategi menghindari "pertumpahan darah"
Konsep E-commerce 2.0 dan 4 strategi menghindari “pertumpahan darah”

Gilt, salah satu contoh nyata dari E-commerce 2.0, bangkit dari abu pada krisis 2008 dengan sebuah bisnis model unik yang menawarkan barang mewah dengan harga yang jauh lebih murah dari harga aslinya melalui flash sales terbatas. Satu dari unicorn pertama di New York ini, Gilt kemudian harus berjuang saat ekonomi mulai pulih dan brand tidak lagi memerlukan channel distribusi untuk barang stok lama.

Sementara Gilt bermain dengan harga, pemain lainnya seperti Birchbox dan Rent the Runway berinovasi di sisi produk dengan menawarkan pengalaman belanja yang unik. Birchbox memulai tren perdagangan langganan kecantikan dan menginsiprasi kloning “Birchbox for X” yang tak terhitung jumlahnya. Rent for Runway pada dasarnya adalah fashion on-demand yang menyediakan akses untuk menyewa rancangan busana high-end bagi para penggunanya.

E-commerce 2.0 di Asia Tenggara: Sekilas Harapan Bagi Calon Pengusaha E-commerce?

Dengan masih terjadinya pertumpahan darah di e-commerce 1.0 di Asia Tenggara sampai saat ini, beberapa pengusaha telah menyadari bahwa adalah sia-sia untuk bersaing melawan pemain sejenis Lazada dan MatahariMall tanpa kantong yang dalam atau strategi lainnya. Sebaliknya, mereka fokus pada peluang yang muncul di e-commerce 2.0 dan memposisikan diri mereka dengan cara yang unik.

Perbandingan industri e-commerce 2.0, antara global dan Asia Tenggara
Perbandingan industri e-commerce 2.0, antara global dan Asia Tenggara

(3) Masa Depan E-commerce di Asia Tenggara

Jika kita menerapkan baik kerangka Siklus Hidup E-commerce atau E-commerce 1.0/2.0, kita akan lebih mudah melihat ke mana e-commerce di Asia Tenggara mengarah.

Perang B2C akan terus berlangsung empat sampai lima tahun ke depan hingga para pemain kehabisan uang dan menyerah. Di Cina, proses ini memakan waktu hampir satu dekade dengan Tmall berkembang dari market share 0% hingga 50.6% selama periode 2008-2014. Di ruang ritel B2C langsung, JD berkembang dari 15% menjadi 51.9%. Pada periode yang sama, pemimpin sebelumnya seperti Dangdang (16.2%) dan Amazon China (15.4%) perlahan menjadi tidak relevan dengan sisa market share sebesar 4% dan 3.5% pada 2014.

Selama periode waktu ini, kita juga akan melihat lebih banyak startups dan venture capital memasuki ruang E-commerce 2.0. E-commerce 2.0 bukanlah hal yang baru untuk Asia Tenggara banyak yang telah mencoba untuk membawa model Birchbox ke wilayah ini namun gagal karena kondisi pasar yang belum siap. Namun, beberapa tahun ke depan mungkin menjadi waktu yang tepat, terbukti dari traksi yang didapatkan perusahaan seperti Pomelo Mode, Sale Stock, dan Motif.

Apakah ini berarti kita bisa langsung maju dan menyalin sesuatu seperti Gilt ke Asia Tenggara? Jawabannya sangat tergantung. Sebuah model bisnis seperti Gilt membutuhkan akses ke inventori lama brand-brand premium, di mana di pasar seperti Thailand dan Indonesia dimonopoli oleh satu atau dua distributor seperti Central dan MAP. Ini adalah masalah yang sama yang menyebabkan kejatuhan Zalora di pasar yang sama. Setiap model E-commerce 2.0 yang diluncurkan di Asia Tenggara perlu disesuaikan dengan pasar lokal.

E-commerce di Asia Tenggara masih relatif baru dengan hanya 1% kontribusi online pada total GMV ritel, jauh tertinggal bila dibandingkan dengan 7.1% dan 15.9% di AS dan Cina. Namun demikian, wilayah ini sudah banyak disebut sebagai pemimpin pasar e-commerce terbaru, dan penelitian terbaru memprediksi pasar ini akan tumbuh sebesar 32% year-on-year dan mencapai $88 miliar pada tahun 2025 (penetrasi 6.4%), naik dari angka $5.5 miliar saat ini (penetrasi 0.8%). Seperti yang ditunjukkan dalam analisis kami, ada banyak peluang di e-commerce bagi mereka yang berkantong tebal juga bagi mereka yang mengadopsi strategi unik dan lokal.

“Don’t always go through the tiny little door that everyone is trying to rush through… maybe go around the corner and go through the vast gate that no one’s taking.” Peter Thiel

“Jangan hanya pergi melewati pintu kecil yang dilalui oleh semua orang.. coba pergi ke sudut yang lain dan pergi melalui pintu besar yang tidak ada dilalui orang.” Peter Thiel


Disclosure: Tulisan ini dibuat oleh Sheji Ho dan disadur ke bahasa Indonesia oleh Rara Kinasih setelah melalui penyuntingan. Artikel aslinya bisa diakses di sini.

Artikel ini adalah hasil kerja sama DailySocial dan eCommerceIQ.

aCommerce Umumkan Perolehan Pendanaan yang Dipimpin MDI Ventures

Hari ini (19/7) layanan e-commerce enabler asal Thailand aCommerce mengumumkan telah mendapatkan pendanaan baru yang dipimpin oleh MDI Ventures dengan nilai pendanaan diestimasi mencapai delapan digit dalam dolar Amerika Serikat. Investor sebelumnya, DKSH juga turut berpartisipasi dalam putaran pendanaan kali ini diikuti oleh BlueSky. Dana ini akan digunakan untuk perluasan pasar secara agresif di Singapura, Malaysia, dan Vietnam bersamaan dengan memperkuat posisi di pasar yang sudah beroperasi seperti Thailand, Indonesia, dan Filipina.

Co-Founder dan Grup CEO aCommerce Paul Srivorakul mengatakan, “Bermitra dengan MDI dan Grup Telkom, yang pada dasarnya adalah perpanjangan tangan teknologi pemerintah Indonesia, cocok dengan visi aCommerce untuk memecahkan tantangan e-commerce seperti infrastruktur, logistik, dan sistem pembayaran di pasar terbesar dan tercepat di Asia Tenggara.”

Managing Partner MDI Ventures Nicko Widjaja menambahkan, “Melalui investasi strategis kami di e-commerce enabler terkemuka Asia Tenggara, kami melihat peluang untuk menawarkan layanan digital dan perdagangan baru di seluruh ekosistem Telkom [dengan] memanfaatkan lebih dari 150 juta pelanggan [yang dimiliki Telkom].”

Di balik kesepakatan investasi

CEO aCommerce Indonesia Hadi Kuncoro mengungkapkan bahwa kesepakatan investasi ini berlangsung dengan cepat. Pertemuan antara MDI Ventures dan aCommerce yang berujung pada kesepakatan investasi ini diawali dari acara aCommerce yang digelar pada Januari 2016. Dari sana, setelah saling mengenal satu sama lain lebih jauh, kesepakatan pun berhasil dicapai.

Hadi mengatakan, “Dari sisi Telkom sendiri tentu ingin mencari diversifikasi model bisnis [dan] investasi ini fokus awalnya adalah logistik. Tapi ini akan berkembang. Dari sisi aCommerce sendiri, kami melihat Telkom punya infrastruktur yang cukup baik di seluruh Indonesia. Sebagai perpanjangan pemerintah di dunia telekomunikasi, tentu ini menjadi suatu peluang juga bagi aCommerce sendiri untuk membangun eksistensi model bisnis aCommerce dengan network infrastructure yang mereka miliki.”

Sementara itu Senior Associate MDI Ventures Kenneth Li menjelaskan, ”Alasan yang kami lihat [untuk berivestasi] adalah bahwa e-commerce belum melihat tanda-tanda melambat di Indonesia dan bagian dari pertumbuhan ini melibatkan infrastruktur yang mendukung bisnis e-commerce. Cina memiliki sekitar 9% penetrasi e-commerce, tetapi di Indonesia hanya sekitar 1%. Kami percaya bahwa semua infrastruktur pendukung pertumbuhan harus dibangun juga [logistik, pembayaran, dan lainnya].”

“Kami sudah memiliki marketplace [Blanja] yang merupakan perusahaan patungan dengan eBay yang berarti langkah logis selanjutnya adalah berinvestasi di pemain dan untuk mendukung e-commerce Indonesia. Telkom pemain di bidang infrastruktur dan kami fokus pada pembangunan mendukung ekosistem. Dalam hal kemitraan strategis, kami ingin bekerja sama erat dengan aCommerce untuk memperkuat logistik B2C dengan memanfaatkan properti Telkom yang ada dan infrastruktur logistik sekaligus juga mereplikasi model C2C mereka di Indonesia,” lanjutnya.

Rencana ke depan aCommerce Indonesia terkait pendanaan

Dana segar yang baru diterima aCommerce ini menurut Hadi juga akan berdampak pada rencana perluasan wilayah mereka di Indonesia. Di samping itu, Hadi juga mengungkap bahwa mereka akan menambah talenta-talenta baru seiring dengan perluasan wilayah yang dilakukan. Sebagai informasi, belum lama ini aCommerce Indonesia telah membuka fulfillment center baru di Cawang dan berencana untuk memperluas sayap ke 15 kota besar di Indonesia.

Di sisi lain, potensi untuk bersinergi dengan ILCS (Integrasi Logistik Cipta Solusi) juga telah didiskusikan. ILCS sendiri merupakan anak perusahaan Telkom yang bergerak di sektor logistik dan berdiri sejak tahun 2012 silam.

Kenneth mengatakan, “Untuk ILCS, apa yang kami lihat adalah bahwa aCommerce akan menjadi infrastruktur pendukung e-logistik perdagangan lintas batas. Kami berpikir bahwa dalam waktu dekat ini perdagangan lintas batas tidak akan terelakan karena ILCS bekerja sama dengan otoritas pelabuhan dan klien perusahaan besar kami yang lain.”

“Kami juga ingin mengintegrasikan sistem aCommerce dengan semua yang kami tawarkan melalui ILCS. Di sisi lain, kami juga bisa memperkuat aCommerce dengan pengetahuan lokal kami yang mendalam tentang distribusi pelabuhan, armada-pelacakan, optimasi rute, penyelesaian pelabuhan, dan lainnya. Kami melihat pasar yang besar yang bisa dimanfaatkan dalam hal e-logistik di B2B dan kami juga ingin menawarkan pilihan perusahaan klien kami untuk melakukan B2C logistik dengan aCommerce,” tandas Kenneth.

aCommerce Indonesia Bangun Fulfillment Center Baru di Cawang

Rencana e-commerce enabler asal Thailand aCommerce untuk pasar Indonesia di tahun 2016 ini satu demi satu mulai direalisasikan. Setelah ekspansi ke Surabaya dan Bandung dengan membangun hub pada bulan Februari lalu, Jum’at (3/6) kemarin fulfillment center aCommerce Indonesia terbaru di Cawang, Jakarta Timur resmi selesai dibangun. Gudang seluas 7.000 meter persegi ini rencananya akan didedikasikan untuk produk mode dari e-commerce Indonesia.

Gudang aCommerce yang resmi beroperasi sejak Jum’at kemarin ini memiliki luas 7.000 meter persegi, memiliki storage mezzanine 4-level yang luasnya setara dengan 17.000 meter persegi pada level ground space, dan secara keseluruhan diklaim dapat meningkatkan total kapasitas storage aCommerce Indonesia hingga empat juta unit produk. Di samping itu, fulfillment center aCommerce ini juga dilengkapi dengan  conveyor belt yang diklaim dapat mengefisiensi waktu pick-packing per order.

[Baca juga: Mengintip Rencana aCommerce Indonesia Tahun Depan]

Tujuan utama proyek fulfillment center aCommerce ini adalah untuk membangun gudang yang berorientasi pada teknologi (tech-oriented warehouse) yang secara spesifik dipilih untuk memenuhi kebutuhan industri retail dan fashion. aCommerce menyelesaikan pembangunan fulfillment center di Cawang dalam waktu tiga bulan untuk mengantisipasi tingginya permintaan dan pesanan di bulan suci Ramadhan yang terhitung sebagai peak season.

“Membangun gudang dari nol sampai kemudian menjadi FC yang memiliki kapasitas dan teknologi operasional hanya dalam waktu tiga bulan merupakan suatu tantangan. […] Tapi pada akhirnya kami sangat senang berhasil mengatasinya dan menyelesaikan pembangunan FC ini tepat waktu. Pembangunan FC ini menjadi milestone baru bagi aCommerce sebagai leading end-to-end solutions provider untuk para pemain industri e-commerce di Asia Tenggara,” ujar CEO aCommerce Indonesia Hadi Kuncoro.

Fulfillment center baru aCommerce di Cawang memiliki kapasitas untuk menampung empat juta unit produk / DailySocial
Fulfillment center baru aCommerce di Cawang memiliki kapasitas untuk menampung empat juta unit produk / DailySocial

Untuk menjalankan kegiatan operasional di fulfillment center baru mereka, aCommerce juga telah merekrut 400 orang yang dibagi dalam tiga shift. Dengan penambahan tenaga kerja tersebut, artinya jumlah anggota tim aCommerce Indonesia sudah mencapai lebih dari 800 orang dan diproyeksikan akan mencapai 1.000 karyawan pada akhir tahun 2016 ini.

Hingga kini, aCommerce Indonesia mengklaim memiliki kapasitas total di level ground (total ground capacity) seluas 30.000 meter persegi dan menangani 10-12 ribu pengiriman outbound setiap harinya. Dengan penambahan fulfillment center Cawang, tim Operasional memproyeksikan outbound bisa meningkat tiga kali lipat hingga 35-36 ribu pengiriman dalam waktu operasional 24 jam/7 hari.

[Baca juga: aCommerce Melakukan Ekspansi ke Bandung dan Surabaya]

Fulfillment center aCommerce di Cawang ini akan didedikasikan untuk produk fashion sedangkan fulfillment center aCommerce di Halim akan digunakan untuk kategori serba guna (multi user).  aCommerce Indonesia juga kini tengah bersiap meresmikan ekspansi ke 15 kota lainnya pada bulan Juli 2016, terutama setelah sukses meluncurkan dua hub baruya di Bandung dan Surabaya pada Februari lalu.

Inisiatif Penelitian eCommerceIQ dari aCommerce Hadir di Indonesia

Inisiatif penelitian untuk industri e-commerce yang terbentuk dari aCommerce, eCommerceIQ (eIQ), kini hadir di Indonesia. Ini ditandai dengan digelarnya acara Masterclass pertama di Jakarta pada Kamis (26/5) silam. Melalui acara tersebut aCommerce Research Unit, pihak yang terlibat di eCommerceIQ, membawa para ahli performance marketing Asia Tenggara untuk membantu pemain online meningkatkan kemampuan pemasaran melalui data, riset, dan workshop.

Hadirnya eCommerceIQ di Indonesia sebenarnya sudah pernah disinggung oleh CEO aCommerce Indonesia Hadi Kuncoro. Dijelaskan Hadi, eCommerceIQ akan menjadi kanal untuk membantu klien atau para pemain industri e-commerce mengambil keputusan dan membuat strategi berdasarkan data yang tersedia. Tujuan utama dari eCommerceIQ sendiri adalah untuk mengedukasi dan mengakselarasi pasar e-commerce di Asia Tenggara melalui reports, content, dan event.

Salah satu alasan kehadiran eCommerceIQ adalah besarnya potensi pasar e-commerce Indonesia yang hingga kini masih belum digarap maksimal. Head of eCommerceIQ dan Director of Research aCommerce Felicia Moursalien menyebutkan bahwa total penjualan e-commerce di ASEAN saat ini baru menyumbang 1% dari total penjual retail. Indonesia sendiri masih tertinggal jauh (0,7%) bila dibandingkan dengan China (8%) dalam hal pertumbuhan e-commerce.

eCommerceIQ tentang pertumbuhan e-commerce di China dan kawasan ASEAN / eCommerceIQ
eCommerceIQ tentang pertumbuhan e-commerce di China dan kawasan ASEAN / eCommerceIQ

Felicia mengatakan, “Indonesia merupakan pasar online yang paling cepat bertumbuh di Asia Tenggara. Namun dengan total penjualan e-commerce yang hanya menyumbang 1% dari total penjualan retail, masih ada banyak kesempatan tersisa bagi brand hingga pemain ritel tradisional untuk meraih 99% dari porsi yang tersedia.”

“Kami menciptakan Masterclass sebagai satu cara untuk mengatasi langsung beberapa poin tersulit yang dihadapi ecommerce di wilayah ini dan untuk membantu bisnis melewatkan tahapan pembelajaran yang mahal,” lanjutnya.

Sementara itu Head of Marketing aCommerce Indoneia Aditya Jamaludin menyampaikan, “Yang dilakukan para retailer tradisional dengan benar adalah offline branding dan memberikan pengalaman produk. Namun di era digital ini dunia marketing telah bertransformasi sepenuhnya, mulai dari tipe KPI [Key Performance Indicators] yang diukur hingga profil orang yang direkrut oleh para perusahaan.”

Performance marketing menjadi topik pertama dari seri Masterclass yang diisi oleh para praktisi in-house aCommerce, wawasan dari Google, studi kasus dari MatahariMall, dan studi kasus interaktif dengan para analis ahli dari Thailand. Ini juga merupakan kolaborasi kedua antara ecommerceIQ dan Google yang sebelumnya telah sukses menggelar eCommerceIQ Summit di Thailand.